Tuesday, December 28, 2010


[RESENSI]
Spiritualitas, Esensi Beragama
---M. Iqbal Dawami
Seputar Indonesia, Sabtu, 25 Desember 2010

KETIKA manusia mengalami peristiwa dahsyat yang bakal merenggut nyawanya,seketika itu pula dia membutuhkan kekuatan di luar  dirinya,yaitu Tuhan, yang bisa menyelamatkannya.

"Benar gak sih masih ada Tuhan dalam diri kita? Coba Anda tes dengan mengunjungi Gunung Merapi...Pasti Ada Tuhan!" Begitu bunyi status  Facebook seorang teman saat kejadian erupsi Gunung Merapi yang memakan korban jiwa. Status tersebut mengindikasikan ketika seseorang  dihadapkan pada musibah, biasanya manusia sadar bahwa mereka membutuhkan pertolongan Tuhan. Stalin, seorang tokoh komunis  Rusia, secara tidak langsung mengakui juga adanya Tuhan. Arvan Pradiansyah dalam buku You Are Not Alone mengisahkannya. Waktu itu Stalin bersama  rombongannya tengah berada di dalam pesawat, tiba-tiba pesawatnya mengalami kerusakan parah tepat di atas pegunungan.

Tak ayal, Stalin merasakan ketakutan yang luar biasa dan secara spontan dia berkata, "Tuhan, tolonglah aku!" Kisah Stalin itu menandakan  bahwa di dalam bawah sadar seorang ateis sekalipun terdapat kesadaran mengenai keberadaan Tuhan. Peristiwa dahsyat yang merenggut nyawa bisa menghentakkan kesadaran manusia akan keberadaan dan kekuatan Tuhan.

Lewat buku ini Arvan memberikan pesan bahwa  manusia senantiasa diperhatikan Tuhan.Tuhan selalu ada dalam kancah kehidupan manusia. Kehadiran Tuhan itu terejawantahkan lewat  agama. Hanya saja kemudian Arvan merenungkan, mengapa sebagian manusia beragama yang notabene memercayai adanya Tuhan tidak kunjung berkelakuan baik?

Mengapa agama seolah tidak berhasil membuat penganutnya menjadi orang yang baik? Mengapa Indonesia yang dikenal sangat religius  sekaligus juga dikenal sebagai negeri terkorup di dunia? Mengapa kita juga memperoleh predikat nomor dua untuk pornografi dan nomor tiga  untuk masalah narkoba?
___________________________________________
DETAIL BUKU

You Are Not Alone: 30 Renungan tentang Tuhan dan KebahagiaanPenulis: Arvan Pradiansyah
Penerbit: Elex Media Komputindo, 2010
Halaman: 252 hal., soft cover
ISBN: 978-979-27-7918-9      
Harga: Rp.52.800,-
___________________________________________

Agama Minus Spiritualitas

Arvan mencoba mencari akar penyebab perihal pertanyaan-pertanyaan di atas. Salah satu penyebabnya adalah manusia kerap kali  beragama,tapi minus spiritualitas. Padahal, esensi beragama sejatinya adalah spiritualitas. Inti spiritualitas adalah bagaimana menjadi orang  baik. Adapun landasan kecerdasan spiritualitas adalah kesadaran akan kehadiran Tuhan: dalam setiap situasi merasa selalu dilihat Tuhan dan  merasakan kebersatuan dirinya dengan Tuhan [hal. 7-8]. Kesadaran spiritual di atas membuat Arvan yakin bahwa masalah yang terjadi dalam hidup kita bisa selesai dengan sendirinya.

Betapa tidak, ketika seseorang demikian dihadapkan pada persoalan, dia akan langsung ingat Tuhan. Jika melakukan perbuatan buruk, dia  sadar bahwa dia akan mengecewakan Tuhannya yang senantiasa memperhatikannya dari waktu ke waktu. Sayangnya, kata Arvan, agama  sering kali terpisah dari spiritualitas. Sembari mengutip pendapat John Naisbitt, Arvan mengatakan pada abad ke-21 ini agama semakin kurang  diminati orang, sebaliknya orang semakin berminat terhadap spiritualitas. Minat ini tentu saja didorong kebutuhan untuk mengisi spiritualitas  kita yang semakin lama semakin kering karena percepatan kehidupan. Di sinilah terletak masalahnya: agama semakin terpisah dari  spiritualitas, padahal sebenarnya spiritualitas itulah inti dari keberagamaan seseorang [hal. 112].

Melalui buku ini Arvan mengajak pembaca untuk beragama secara spiritualitas. Spiritualitas merupakan kebutuhan manusia yang sangat  mendesak sekarang ini. Kita butuh tempat yang kokoh untuk bersandar, sesuatu yang memberikan ketenangan, kepastian, dan ketenteraman  yang sejati. Adapun efek dari beragama plus spiritualitas adalah rasa cintanya kepada sesama manusia. Manusia beragama seperti itu akan  senantiasa menghadirkan Tuhan dalam kesehariannya seperti pada saat bekerja dan berinteraksi dengan orang lain. Tuhan selalu hadir dalam  dirinya, dalam gerak langkahnya, dan dalam segala hal yang dilakukannya.

"Agama spiritualis" yang digagas Arvan ini sejatinya mirip dengan konsep tasawuf Ibnu Arabi, sufi-filsuf Andalusia, yaitu "tajalli." Kata "tajalli"  berarti "penampakan diri Tuhan" yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas. Dengan kata lain, Tuhan seolah-olah telah  menyatu kepada orang yang telah mengalami mukasyafah (merasakan kehadiran Tuhan). Karakter dan kepribadian mereka dipenuhi sifat-sifat  Tuhan, seperti mencintai, menyayangi, menolong, dan sebagainya. Tampaknya buku ini tepat sekali untuk menjadi obat dari tiga penyakit jiwa  masyarakat modern, sebagaimana dikatakan Sayyid Hossein Nasr, yaitu kehilangan orientasi ilahiah, kehampaan spiritual, dan degradasi  moral. Setiap pembahasan dalam buku ini dibuka dengan kisah-kisah yang segar, menarik, kadang berhumor, tapi sarat hikmah dan nilai-nilai  kebajikan.

Bentuk kisahnya pun beraneka ragam dalam pelbagai macam gaya. Namun,semuanya menarik pembaca kepada renungan-renungan soal  ketuhanan dan kebahagiaan. Terdapat kekuatan besar dari pelbagai kisahnya. Jika kita membaca buku ini dengan penuh penghayatan  mendalam kemudian mengamalkan pesan-pesannya, kita akan mendapatkan perubahan pikiran dan perilaku yang positif. Buku ini sangat  relevan dengan situasi yang ada sekarang.(*)

M. Iqbal Dawami, bergiat di Kere Hore Jungle Tracker Community (KHJTC) Yogyakarta.

Tuesday, December 14, 2010


[Halaman Ganjil]
Kesehatan, Kebaikan, Kesulitan, dan Keajaiban
---Anwar Holid

Tahun ini aku mendapati dua orang kawanku patah tangan dan seorang lagi patah kaki. Beberapa bulan lalu seorang lagi kawanku terpeleset waktu mau membuka gagang kunci kamar mandi, membuat jempolnya patah.

"Sekitar akhir Maret 2010 kemarin aku kecelakaan. Ketabrak ojek. Tangan kiriku patah. Dioperasi deh. Aduh, enggak kebayang kalau ketua yayasan tempatku kerja enggak membayari semua ongkosnya. Aku juga enggak cukup kaya bisa bayar 25-30 juta untuk operasi itu. Kesehatan ternyata kalau dihargai dengan uang adalah rejeki juga, ya...gede lagi jumlahnya..." demikian cerita temanku.

Patah tangan yang menimpa kawanku yang lain terdengar miris. Waktu itu dia survey ke desa. Jalan berlumpur, becek, dan licin. Mungkin karena kebiasaannya pakai sandal, dia terpeleset. Badannya yang gemuk menimpa tangan sampai patah. Dia terpaksa pulang kampung biar bisa dirawat maksimal oleh keluarga, sebab di Bandung dia hidup sebatang kara. Dia merasa malu kalau tambah merepotkan kawan-kawan yang selama ini berhubungan dekat dengannya.

Anak bungsuku, umur 3 tahun, jemarinya sempat terjepit oleh bantingan pintu mobil, tapi alhamdulillah baik-baik saja setelah dironsen. Ibu mertuaku dua kali terserang stroke, sampai membuat istriku mudik, ikut merawat berhari-hari, bahkan merelakan sebagian honornya untuk sedikit membantu pengobatan atau menyediakan makanan favorit bergizi untuk ibunya. Konyolnya, pada saat bersamaan kondisi keuanganku tengah buruk, membuatku memutuskan enggak menengok mertua. Sebab kalau tetap nekat konsekuensinya tambah berat dan merepotkan buat keluarga batihku sendiri.

Pada trimester kedua tahun 2010 aku terlibat menulis kisah perusahaan pembuat vaksin dan serum. Keterlibatan itu sungguh menyadarkan betapa kesehatan merupakan kondisi yang jangan sampai lengah kita jaga. Bahkan bila nahas, sudah kita jaga semaksimal pun bisa jadi penyakit menyerang tanpa permisi, dan orang langsung kelenger tanpa bisa menyalahkan siapa atau keadaan apa pun. Virus dan bakteri adalah dua sumber penyakit yang mustahil kita kendalikan. Bahkan sebagian penyakit belum ada obatnya atau belum ditemukan pencegahannya. Antivirus flu belum kita temukan. Penyakit malaria belum ada vaksinnya. Penyakit dari virus bisa menyerang kapan dan di mana saja. Kalau pasanganmu mengidap sirosis (gagal hati akut), kamu, keturunan (anak), bahkan anggota keluarga yang berinteraksi setiap hari bisa terkena tanpa disadari. Menggunakan gelas bekas minum orang lain, sikat gigi atau sisir orang lain berisiko menyebarkan penyakit karena virus. Ini bisa membuat kita mati kutu. Fakta: sejak Oktober 2010 ini wabah kolera menghantui negara Haiti dan telah merenggut nyawa lebih dari 5000 orang, seolah-olah merupakan lanjutan dari bencana gempa bumi di awal tahun di negeri itu dan menewaskan sekitar 300.000 jiwa. Kita di sini lebih peduli pada gunung berapi yang muntah-muntah tanpa kuatir bahwa bakteri kolera bisa menyebar entah lewat celah mana.

Kesehatanku sendiri prima sejak akhir 2009 dan hingga menjelang akhir 2010 tidak sakit ringan sama sekali, baik berupa flu, sakit perut, atau sariawan. Ini sangat menakjubkan dan rasa syukurku atas kondisi ini masih sangat kurang, mustahil bisa mengimbangi anugerah. Setiap kali ingat atas anugerah kesehatan yang hebat, aku berusaha berterima kasih kepada Tuhan, meski kerap tergesa-gesa dan cuma di dalam hati.

Kalau berkecukupan, asuransikanlah kesehatan maupun jiwa kita. Itu investasi yang pantas diambil. Di negara maju, itu jadi standar layanan masyarakat. Jujur, aku sendiri enggak punya asuransi kesehatan maupun jiwa. Kondisi ini kadang-kadang membuat aku nelangsa. Bayangkanlah kalau kamu mendadak celaka, mengidap penyakit fatal, langka, atau belum ada obatnya. Atau kalau ada ternyata harganya enggak terjangkau oleh penghasilanmu. Kita sudah sering tahu ada sebagian penduduk Indonesia gagal membayar obat dan yang bisa kita ekspresikan cuma mengulang umpatan Iwan Fals, "Hai modar aku. Hai modar aku!"

Kita baru bisa menghargai kesehatan setelah sengsara karena sakit.

Begitu juga dengan kebaikan.

Kebaikan itu semacam jaring pengaman bila kita ada di tubir putus asa dan gagal mengandalkan kekuatan sendiri untuk menolong diri sendiri. Kondisi paling khas dari situasi ini ialah ketika kita kehabisan uang, sementara kerjaan belum beres, deadline sudah lewat, dan kita frustrasi karena terdesak serta kesulitan menyelesaikan order dengan baik. Menagih panjer mungkin malah berisiko menghancurkan reputasi di mata klien. Siapa yang bisa menolong kamu? Bisa jadi teman dekat, teman jauh yang nyaman kamu utangi, mungkin orang tua kamu, atau saudara yang menurutmu baik dan lebih sukses.

Bentuk kebaikan sering mengejutkan dan rentangnya sulit kita perkirakan. Di awal bulan Puasa 1431 H perusahaan rekanan kerjaku mengirim sekarung beras kualitas prima, lima kilo minyak goreng, lima toples kue kering, lima kilo gula pasir, dua kotak susu bubuk, sirup, satu set jas hujan, dan sarung. Sampai Desember ini, sebagian di antara kiriman itu belum habis kami konsumsi. Buat aku sekeluarga, itu mencengangkan. Beberapa bulan sebelumnya, seorang kawan memberi aku laptop. Meski dia merendah bahwa itu barang lama dan baterenya sudah drop, tetap saja perangkat itu sebelumnya entah kapan bisa aku jangkau. Setelah Lebaran, seorang saudaraku membebaskan utang yang sudah terlalu lama sulit aku kembalikan. Dan di saat-saat kritis, aku ternyata sesekali masih kembali menelepon orang tua untuk minta bantuan. Pasti juga karena kebaikan bila aku diajak kerja sama oleh rekanan lama, yang insya Allah akan dimulai pada Januari 2011.

Memang tidak semua kebaikan terjadi sesuai keinginan. Aku sempat memohon bea siswa untuk ikut pelatihan jadi entrepreuner tangguh di sebuah lembaga milik seorang ahli perubahan perusahaan, tapi ditolak. Aku sesekali membalas para pengirim spam yang menjanjikan gaji tiga puluh tujuh juta per bulan sambil klak-klik di Internet mengikuti tawaran programnya untuk sekadar menyisakan dana CSR buat aktivitasku, tapi semua respons mereka negatif. Dari situ aku berprasangka mungkin mereka pun masih punya masalah finansial. Bahkan sempat terpikir menempel pesan begini: Tuhan, kamu tahu aku butuh keajaiban finansial, tapi kenapa transfer dari Gayus enggak sampai-sampai saja ke nomor  rekeningku? Tapi baru sekarang berani aku tulis.

Bila kawan mentraktir, mengajak liburan, menghadiahi sesuatu, memberi keringanan, kenalan lama memberi pekerjaan, maupun klien memanggil kita lagi sudah merupakan kebaikan, apalagi bila kita pada tahun ini terhindar dari malapetaka akbar berakibat fatal dan menyengsarakan banyak orang. Rasanya konyol bila kita berdoa jangan mendapat cobaan, sebab Tuhan bisa berbuat semaunya dan bencana yang maha merusakkan belum terjadi, tapi kita mesti bersyukur karena masuk daftar orang yang selamat.

Kesehatan dan kebaikan adalah dua hal yang ingin aku tebalkan menjelang akhir tahun 2010 ini.

Kesehatan dan kebaikan berpadu melahirkan energi untuk aktivitas sehari-hari, meski hasil dan kualitasnya bisa diperdebatkan. Misal soal tulisan. Ada orang bilang tulisanku mencerminkan keputusasaan, karena suka mengungkap kesulitan keuangan; sebagian lagi menilai tulisan itu mencerminkan aku terus berjuang demi mendapat penghasilan mencukupi. Aku sendiri suka masih merasa kekurangan, meski tidak berarti aku kehilangan alasan untuk bersyukur. Situasi ini absurd bagi orang beragama. Kamu mesti menghindari bencana, tapi jangan takut mati; sebab mati itu pasti terjadi. Bila kamu mati di tengah jalan demi menghindari bencana, kamu ada di jalan Tuhan dan dalam kesaksian terhadapnya. Kawanku berkata, "Biar aja soal rejeki mah. Yang penting berusaha. Aku juga sering merasa kekurangan kalau nurutin semua keinginan mah. Meski kekurangan, toh sampai hari ini aku masih hidup dengan baik dan bisa bercanda ria ha ha ha."

Apa pun kondisinya, jangan putus asa dan kita harus bersyukur.

Betul kesulitan menghadang, situasinya bisa bikin kondisi mental dan emosi labil, gagal menenangkan diri, atau jadi gelap mata, tapi kesempatan selalu ada. Hukum menyatakan manusia hanya akan menerima cobaan atau ujian sesuai kadarnya. Jadi semua orang pasti mampu mengatasi cobaan. Tapi kalau faktanya dia gagal? Artinya dia putus asa dan kurang berusaha. Itu membuat aku berpikir, kesulitanku sebenarnya masih biasa. Akui saja, aku suka kurang keras berusaha atau terlalu santai, hingga ketinggalan kereta.

Pikirkan kondisi Julian Assange, salah seorang pendiri Wikileaks---situs pembocor informasi sensitif, terutama yang dianggap sebagai rahasia negara, korupsi gila-gilaan, konspirasi rencana jahat, penyiksaan, kecurangan, dan kesewang-wenangan terhadap kemanusiaan. Setelah semua saluran donasi untuk organisasinya ditutup dan rekening banknya dibekukan, dia diuber-uber Interpol sebagai penjahat, dan barusan saja ditangkap di Inggris untuk dibawa ke Swedia dengan dakwaan perkosaan maupun pelecehan seksual. Situasi dia sangat sulit dan menyengsarakan. Apa pernah penangkapan menyenangkan? Tidak. Kecuali yang kamu tangkap adalah ikan bernama Gayus, karena kamu bisa kecipratan duit dari dia.

Assange, Gayus, Anwar Holid, juga kamu, sama-sama mengalami kesulitan dengan kadar dan kelas berbeda-beda. Maksudnya: manusia itu sama saja, cuma beda nasib dan pendapatannya.

Selama 2010 tercatat juga cuaca di Indonesia agak aneh. Musim hujan berlangsung sepanjang tahun, bahkan di sejumlah tempat kebanjiran. Kasihan ketika banjir melanda pesawahan, desa atau perkampungan, sebab ia menimpa banyak petani dan penduduk biasa yang sulit untuk segera mengungsi atau mendapat bantuan. Entah berapa ribu hektar tanah terendam dan mengakibatkan gagal panen. Deras hujan membongkar selokan, mengelupaskan aspal, melongsorkan tanah, membobol tanggul. Dari akhir 2009 hingga akhir 2010 curah hujan tetap tinggi, membuat musim kemarau batal mentas. Bagaimana 2011 nanti? Apa gantian ia bakal tampil gila-gilaan setelah setahun ngumpet? Entah. Tuhan tidak mengirim bocoran ramalan cuaca tahun depan ke Wikileaks.

Intinya aku bersyukur. Lepas dari kekurangan, keburukan, maupun sikap keterlaluan yang sudah aku perbuat ketika dalam kondisi terpuruk kehabisan kesabaran atau sulit menerima keadaan. Ingat: Tuhan tidak akan menguji manusia di luar batas kemampuannya. Sesengsara apa pun orang bakal diuji, potensi menang tetap ada, sebab ujian di bawah standar kemampuannya. Aku lega tahu kunci ini. Cobaan itu konon perlu bagi manusia, sebab ia jadi ukuran bagi kesempurnaan kualitas seseorang. Tapi kalau sudah menyangkut soal mental dan emosi, lain lagi reaksinya. Kadang-kadang suka kalap, terutama kalau lagi kesal karena kerjaan enggak selesai-selesai, penghasilan menipis, sementara transfer dari Gayus enggak datang-datang.[]

Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.

KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com

Copyright © 2010 Anwar Holid

Monday, December 06, 2010


[Review Album]
Sifat Bunglon dalam Diri Norah Jones

...Featuring Norah Jones
Musisi: Norah Jones (album kompilasi)
Durasi: 83 menit (19 track)
Rekaman: 2001-2010
Rilis: November 2010
Label: Blue Note
Genre: Jazz, pop, pop country, alternative rock
Rating: ***

Apa Norah Jones sudah baikan lagi dengan Lee Alexander hingga album kompilasi ini dirilis? Lee Alexander ialah pemain bass sekaligus produser yang menemani perjalanan karir musik Norah Jones sejak awal. Dia memimpin The Handsome Band, band yang dulu setia mendukung dan menemani Norah tampil di setiap tur. Lebih dari itu, Norah Jones dan Lee Alexander ialah sepasang kekasih sekaligus kawan kerja, sebelum akhirnya mereka pisah ketika Norah Jones merilis The Fall tahun 2009.

Apa kaitan hubungan personal dua orang ini dengan kompilasi ini? Album ini mengumpulkan nyaris semua proyek Norah Jones dengan musisi lain, sejak awal karir di awal tahun 2000-an hingga 2010. Ini artinya minimal di empat track, minimal secara virtual Norah harus bersanding lagi dengan Lee. Track pembuka pun berjudul "Love Me" yang mereka bawakan ketika sama-sama mendirikan The Little Willies di awal karir. Lantas "Loretta" (bareng The Handsome Band), "Creepin' in" (karena diambil dari album Feels Like Home yang di situ Lee berperan besar), bahkan ketika berduet amat mesra dengan M. Ward menyanyikan "Blue Bayou", itu pun dilakukan ketika bersama The Handsome Band konser di kota Austin, Amerika Serikat, dengan Ward sebagai musisi pembuka.

Kalau Anda telah mengikuti setiap proyek sampingan Norah Jones dengan musisi lain, album ini mungkin terasa kurang mengejutkan, meski tentu menyenangkan dan memuaskan selera fanatik karena sengaja mengumpulkan hampir semua proyek sempalan selain sebagai penyanyi solo. Memudahkan kita menyimak secara utuh. Dari album ini akan terasa betapa Norah Jones sangat adaptif, memberi energi positif, dan berusaha selalu tampil istimewa di setiap proyek yang melibatkan dirinya. Rentang musik dalam kompilasi berdurasi panjang ini lebar dan beragam sekali.

Norah terkenal berkat kekhasan musik, cara berdendang, dan permainan piano. Di kompilasi ini ketiga unsur tersebut menonjol dengan manis, baik saat jadi lead vocalist maupun ketika harus berduet dengan orang lain. Kehadiran Norah senantiasa berpengaruh baik dan perannya seakan-akan selalu memberi nilai lebih pada sebuah komposisi. Terlebih-lebih dalam lagu balada yang menuntut nafas panjang demi mengeluarkan energi lebih untuk mencapai nada tinggi, kemampuannya akan muncul secara maksimal.

Dia bisa muncul murni membawakan jazz murni bareng Ray Charles, Herbie Hancock, Dirty Dozen Brass Band, Charlie Hunter, juga Willie Nelson; memadukan dengan country bareng Sasha Dobson dan Dolly Parton; melantunkan lagu pop bersama M. Ward, Belle & Sebastian, Sean Bones; hip-hop dengan OutKast, Q-Tip, Talib Kweli, Wyclef Jean; juga merambah genre alternatif-manis bersama Foo Fighters, Ryan Adams, juga El Madmo---trio pseudo punk yang dibentuk Norah entah setelah kesambet apa. Di El Madmo Norah mencampakkan piano, mengganti nama, menyamar dengan mengenakan stocking jaring, rok mini, memakai wig blonde, bermakeup topeng, mengubah dirinya jadi lead guitarist sekaligus berani nyanyi dengan menggeram. Dari band ini dipilih "The Best Part", lagu bertempo lambat bernada repetitif-monoton, biar penggemar utama Norah tahu bahwa penyamarannya terbongkar meski berusaha keras menyembunyikan jati diri.

"Jelas sangat menggairahkan, menyenangkan, dan membuat tersanjung bila diminta bernyanyi dengan seseorang yang aku kagumi," kata Norah tentang album ini. "Bekerja dengan musisi lain memang sedikit menarik kamu ke luar dari zona nyaman. Kita mungkin cuma bisa meraba-raba apa yang bakal bisa diharapkan dari sana. Rasanya seperti jadi bocah yang sedang asyik main-main."

Di album ini kita akan menyaksikan Norah Jones berperan sebagai bunglon yang menunjukkan minat tinggi pada berbagai jenis musik dan bahkan mungkin memang sengaja ingin menghindarkan dirinya dari cap sempit terhadap genre tertentu. Hanya saja untuk tujuan komersil dan keterbatasan media, eksperimen musiknya yang sangat ajaib---misal dengan Mike Patton atau Anoushka Shankar---diabaikan dari daftar. Dia leluasa bekerja sama baik dengan musisi veteran, seumuran, maupun junior.

Karena campur aduk dari berbagai sumber, susunan daftar tracknya juga terasa makin pas. Di awal-awal kita mendengar lagu smooth jazz dengan nuansa main-main dan menghibur yang pasti bakal segera disukai para penggemar berat Norah. Di tengah album hadir musik hip-hop, alternatif, dan pop dengan kadar cukup besar, dan di akhir bagian kembali hadir lagu-lagu manis. Durasi yang sangat panjang seperti sengaja menjadi persembahan atau usaha memanjakan agar pendengar betah berlama-lama menyimak penyanyi favoritnya.

Kalau toh album ini dirilis semata-mata untuk keperluan komersil dan bukan untuk rekonsiliasi, kita masih bisa berharap bahwa di masa depan Norah Jones bisa bekerja sama dengan siapa saja, selama proyek itu menarik dan berhasil, meski untuk keperluan jangka pendek sekalipun. Sebab untuk mampu mengeluarkan album utuh memang butuh dukungan musisi dengan chemistry yang kuat, biar hasilnya lebih dari sekadar featuring.[]

Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.

KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com

Copyright © 2010 oleh Anwar Holid

Sunday, December 05, 2010


[HALAMAN GANJIL]

Sembilan Hari Lagi Kiamat!
---Anwar Holid

Sembilan hari lagi kiamat!

Bagaimana jika kita semua tahu persis bahwa sembilan hari lagi alam semesta ini bakal kiamat, dan Tuhan dengan cara tertentu sudah memberi tahu jauh-jauh hari? Kita tahu Tuhan senantiasa menepati janji maupun bisa melakukan apa pun sesuka-sukanya tanpa pernah bisa kita duga sama sekali. Ngeri kali kedengarannya.

Kemarin, seorang temanku pernah bilang dengan nada sedih, "Coba ya, sekarang kita selalu digiring oleh media. Kita diawaskan bahwa 66 hari lagi akan ada Piala Dunia. Seminggu lagi sebuah program akan ditayangkan di tv, atau sebulan lagi sebuah band manggung. Tanggal sekian album sebuah band akan dirilis. Tiga hari lagi buku seorang penulis terkenal akan diluncurkan. Atau kita tahu hari, jam, tempat, dan dengan siapa seorang selebritis menikah untuk ketiga kalinya. Coba, apa yang terjadi kalau semua orang tahu bahwa sembilan lagi dunia bakal kiamat? Atau katakanlah terjadi begitu saja, apa yang akan kita lakukan? Toh aku yakin kita juga enggak pernah tahu rencana Tuhan terhadap sesuatu."

Kata temanku lainnya, "Kalau sembilan hari lagi kiamat, mungkin aku harus ke diskotik atau klub eksekutif dulu, habis seumur-umur belum pernah menginjakkan kaki ke sana."

Ya, orang---bahkan aku sendiri---bisa berdebar-debar menantikan final Piala Dunia atau Liga Champions kapan saja berlangsung, gelisah menanti kelahiran anak, termehek-mehek mencari uang untuk biaya hidup, kecewa terhadap sebuah kejadian, jengkel menghadapi klien, menangisi kematian seseorang, atau gembira ria karena mendapatkan sesuatu, tapi tampaknya cuek saja terhadap segala rahasia yang dipegang Tuhan. Bisa juga malas-malasan mendekatkan diri pada rahasia dan rencana masa depan Tuhan. Padahal jika kita tahu persis bahwa kiamat bakal terjadi dalam sembilan hari ke depan, segalanya bisa jadi berubah sama sekali.

Memang belum ada jaminan bahwa sajadah, tasbeh, atau rosario akan jadi laku banget dalam hari-hari itu, atau gereja jadi dipenuhi umat, sejumlah orang melakukan pertobatan massal, atau aku langsung mengurung diri, tapi pastilah "peristiwa besar" seperti Piala Dunia, menanti kedatangan Barack Obama, serta-merta dihentikan kegiatannya, Amerika Serikat berhenti mencerca Islam, orang Islam berhenti bertikai dengan Israel dan Yahudi, dan aku berhenti menulis. Pada saat seperti itu, tampak bisa dipastikan semua orang hanya akan mempersoalkan satu masalah itu saja. Meskipun ada juga kemungkinan lain, misal seseorang harus merasakan sesuatu yang belum pernah dia cicipi, sebelum dunia ini bakal benar-benar berakhir dan berantakan.

Untuk menyambut dan mementingkan Piala Dunia saja, kita sudah melakukan banyak sekali hal, merelakan banyak waktu, meluangkan banyak kesempatan. Di supermarket orang memborong tv, karena mereka ingin nonton pertandingan seru. Sebuah kantor bahkan bisa menganggarkan dana khusus untuk beli tv. Industri maupun media massa bersaing demi memanfaatkan kesempatan hajatan besar empat tahunan itu. Jika melewatkan, itu artinya kehilangan sejumlah pasar dan uang. Untuk semua hal yang dianggap penting, kita tampak mustahil menghilangkan sopan-santun atau adat jika seseorang yang dipentingkan datang berkunjung. Bahkan dengan cara yang munafik sekalipun. Seperti itukah yang akan kita perbuat seandainya kita tahu betul bahwa sembilan hari lagi kiamat?

Itu memang persoalannya. Andai Anda kenal seseorang yang begitu dekat dengan Tuhan dan dia diberi tahu bahwa kiamat akan berlangsung sembilan hari lagi, akankah Anda percaya padanya? Sering kita justru tertawa jika ada orang mengaku bahwa dia mendapatkan sesuatu dari Tuhan. Andai Tuhan sejak dulu sudah bikin pengumuman di Al-Quran, Injil, maupun lembaran suci lain bahwa kiamat ditetapkan pada 9 Januari 2011, pukul 05.13 pagi, masih bisakah kita menyibukkan diri dengan persoalan lain kecuali tentang kiamat dan Tuhan sejak November 2010? Masihkah media massa atau kita, orang biasa, presiden, ulama, maupun para aparat pemerintahan menaruh perhatian pada penanggulangan bencana, konspirasi kekuasaan dan kejahatan, gejolak gunung berapi, gosip selebritas, korupsi, pornografi, pelanggaran HAM dan HAKI yang terjadi pada esok hari?


Sayang-disayang, tampaknya kita memang kehabisan satu orang pun yang bisa dipercaya bahwa dia tahu langsung dari Tuhan bahwa kiamat bakal terjadi pada tanggal itu atau nanti. Benarkah itu artinya jelas tiada manusia yang kenal langsung dengan Tuhan hingga dia tahu segala yang Dia rahasiakan? Mungkin bukan seputus asa ini artinya. Atau mungkin kita sangsi karena kita juga sangat ragu dengan kualitas pengenalan kita sendiri terhadap Tuhan?

Kata seorang guru ngaji, kita kesulitan mengenal Tuhan karena belum menjadikan ia sebagai isu paling penting dalam kehidupan kita. Akibatnya kita enggak tahu apa agenda Tuhan, prospek, berikut visi-misi Tuhan. Jangankan yang terang, apalagi pada hidden agenda Tuhan. Konon, andai ada seseorang tahu persis rahasia Tuhan, dia akan dihormati siapa pun sebelum hari mengguncangkan itu terjadi---karena semua orang akan bersandar dan berencana pada informasi mahabesar itu. Atau bisa juga sebaliknya: nyaris semua orang menolak berita fatal itu---kecuali sedikit dan merupakan lingkaran pertama dari pemegang rahasia itu. Kita bisa becermin dari peristiwa banjir bandang di zaman Nuh atau ketika kota Sodom dan Gomorah dihancurkan di zaman Luth.

Tapi lepas dari buta informasi itu, kita orang masih bisa berharap banyak pada Tuhan untuk selalu bermurah hati agar selalu menurunkan berkah dan kasihnya. Kita masih optimistik terhadap banyak hal, termasuk tetap berniat mau melangsungkan segala yang masih kita bisa. Sampai saatnya habis, untuk waktu yang tidak ditentukan. Itu mungkin pentingnya rahasia buat kita. Sebab kata seorang bijak, tidak hanya orang haus yang mencari air, air pun menghampiri mereka yang kehausan.

Jadi, tampaknya baik kalau kita bersiap-siap terhadap kemungkinan terburuk atau berdoa semoga lebih tabah, sebab bencana paling buruk pasti terjadi atau setiap orang pasti mengalami sesuai versi masing-masing. Sebab kita toh mustahil juga berjudi dengan itu, kan?[]
Heru Hikayat dari belakang.

Yang Lebih Diri
---Heru Hikayat

Setahun lalu ayah pergi. Mendadak. Kami, anak-anaknya, merasa tak siap. Bahkan para pedagang langganan ayah pun kaget. "Oh, Bapak itu, yang suka jalan-jalan dan jajan itu, kan dia sehat?", demikian komentar khas mengenai kepergian ayah.

Memangnya ada orang yang siap menyongsong kematian?

Konon ayah kehilangan kesadarannya dalam posisi sujud. Kami memang tidak tahu persis, tak ada di antara kami yang melihat kejadiannya langsung. Senja itu, gelap dan hujan. Ayah pulang dari mesjid. Kata seorang pedagang, ia melihat ayah duduk di pinggir jalan, pada sebuah pembatas tembok. Para tetangga yang kemudian membawa ayah ke pos jaga dan membersihkan tubuhnya bersaksi: wajah dan bagian lutut ayah kotor, namun tak ada jejak benturan keras, tampaknya beliau bersujud perlahan. Barangkali ia pusing luar biasa, karena stroke yang diakibatkan tekanan darah tinggi---keterangan yang kami dapat kemudian dari dokter.

Para tetangga sempat bingung, tak mengenali identitas ayah. Setelah beberapa usaha ditempuh, salah seorang dari mereka mengenali wajah ayah karena mereka sering sholat bersama di mesjid. Barangkali mesjid memang tidak semata-mata tempat bertemu dengan Tuhan, mesjid merupakan tempat pertemuan manusia dengan manusia.

Para tetangga itu, saat melihat sosok orang tua yang bersujud di pinggir jalan, di tengah hujan, menjadi lebih memanusia karena melihat manusia yang sedang tidak berdaya. Ada sesuatu yang lebih besar dari manusia hadir di sana.

Barangkali ayah sujud bukan karena tak tahan dengan rasa pusing. Barangkali ia melakukannya karena itu adalah posisi yang paling merendah. Ia merasa perlu merendah, serendah-rendahnya, di hadapan sesuatu yang mutlak tak terhindarkan: mati.

Aku teringat martir. Para martir bukan hanya menyongsong kematian dengan sukarela, mereka bersemangat seperti menjelang seorang kekasih. Bukankah semangat itu datang dari suatu keyakinan bahwa kematian mereka akan memiliki makna? Makna yang melampaui diri mereka sendiri. Makna itu, baru tampak ketika kita mau menerima, ada yang lebih besar dari kita. Dengan begitu, diri juga menjadi berarti.

Aku kira, memang ada orang yang siap menjelang kepastian mutlak bernama kematian itu.[]

Pasir Impun, 14 November 2010

Heru Hikayat

Note: awalnya esai ini diposting di Facebook pada 17 November 2010.

Monday, November 22, 2010

[Repost]

A Sort of Homecoming, An Evening with Dream Theater & Octavarium (Double CD)
Band: Dream Theater
Rilis: 2005
Label: Universal Music
Genre: Progressive Metal, prog-rock
Produser: Dream Theater
Rating: ***

Di Bandung, bisa jadi hanya Rumah Buku/Kineruku yang memiliki double cd langka ini: gabungan antara konser tur Dream Theater usai merilis album Train of Thought (2003) dan Octavarium (2005). CD pertama berisi live concert di Madison Square Garden, sebuah gedung pertunjukan legendaris di New York City, Amerika Serikat. CD ini antara lain berisi single hit "Caught in A Web" (dari album Awake tahun 1994), permainan drum solo Mike Portnoy, lantas berduet dengan bitang tamu Scott Rockenfield (drummer Queensryche), solo guitar John Petrucci, banyak melakukan jam session dan improvisasi berlama-lama, termasuk membawakan nomor instrumental berdurasi terpanjang mereka, yaitu "Stream of Consciousness" (11 menit).

Banyaknya jam sessions dan improvisasi ini membuat James LaBrie (vokalis) jadi sering menganggur. Bagi penikmat musik, terlebih-lebih penggila genre prog-rock, menu sajian seperti itu jelas seperti oleh-oleh dari surga---tentu surga versi pecinta musik, bukan versi penganut agama. Improvisasi dalam "The Spirit of St. Louis" misalnya, mula-mula seakan-akan mengurung pendengar di dalam hutan yang penuh oleh bunyi-bunyi misterius dan menakjubkan, namun mulai pertengahan hadir kejar-kejaran cukup lama antara solo dan melodi gitar John Petrucci dengan hentakan drum Portnoy, dibungkus dalam suasana sensasional yang melambungkan angan-angan. Sangat memuaskan.

Cd kedua persis berisi album Octavarium (2005). Member Rumah Buku/Kineruku sangat beruntung bila mau meminjam album ini, karena pinjam satu item dapat dua album. Dijamin.

Dream Theater merupakan band yang penuh pengabdian, baik demi mencapai kualitas keterampilan musikalitas maupun memuaskan para fans. Durasi lagu mereka panjang-panjang dan dengan senang hati mengumbar kepiawaian masing-masing anggota. Mereka jelas bukan jenis band yang jadi favorit pilihan di acara musik di teve-teve, tapi tetap saja mereka memiliki nomor yang mudah dinikmati dan sebenarnya cukup mudah didengar dan didendangkan, seperti "I Walk Beside You" dan "Caught in A Web."

Mau didengar per cd atau simultan langsung dua cd juga sama nikmat---tapi tentu durasinya jadi tambah lama lagi. Dengan dua cd seperti ini, dijamin pendengar segera mudah beralih-alih nuansa; dari suasana progressive rock/metal yang cepat, rumit, rancak, berubah-ubah tempo secara drastik, bisa juga menuju ke irama slow rock yang manis, antara lain berkat "Answer Lies Within" dan "I Walk Beside You."

Kekurangan A Sort of Homecoming yang mungkin bisa mengganggu para pendengar perfeksionis bertelinga super ialah sound yang dihasilkan dari konser ini terasa kurang jernih. Bisa jadi ini masalah teknis mixing rekaman, namun sebentar menyesuaikan equalizer akan menyelesaikan persoalan minor tersebut.

Sebagai band, Dream Theater saat kini boleh dibilang merupakan eksponen genre progressive rock/metal yang paling sukses dan berpengaruh sangat besar. Mereka juga inovatif dalam berkarya, termasuk antara lain merilis album "official bootleg" yang mula-mula disalurkan lewat Dream Theater's International Fan Club (DTIFC). Nah, cd pertama dari A Sort of Homecoming ini merupakan salah satu produk dari DTIFC.

Lepas bahwa Dream Theater sering dikritik karena selalu gagal menciptakan hits melalui jalur mainstream atau sukses komersial lewat jalur umum, band ini diakui oleh semua kritik sebagai band yang pantang menyerah dalam menyiasati perubahan zaman dan penjelajahan musik. Album studio terakhir mereka ialah Black Clouds & Silver Linings (2009), dan di tahun 2010 tersiar kabar mengejutkan dari band ini bahwa Mike Portnoy---drummer sekaligus satu dari tiga orang founding father dan konseptor band ini---memutuskan ke luar dan bergabung dengan band junior yang mengaku terpengaruh oleh Dream Theater, yaitu Avenged Sevenfold.[]

Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.

KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com

Copyright © 2010 oleh Anwar Holid

[Inmemoriam]

Cahaya Lilin yang Menerangi Sekeliling 
--Kenangan Bersama Pak Mula Harahap

Oleh: Bambang Joko Susilo

SAYA pertama kali bertemu Pak Mula sekitar tahun 2000. Waktu itu, seusai mengikuti pelatihan penulisan cerita anak yang diadakan oleh Pusat Perbukuan di Cipayung, Bogor, tahun 1999, saya menghadap Pak Frans M. Parera, Direktur Bank Naskah Gramedia, untuk menyerahkan lima naskah cerita anak. Kebetulan Pak Frans ikut memberi ceramah dalam pelatihan tersebut.

Dua minggu kemudian saya ditelepon Pak Frans. "Bambang, kamu milih ingin jadi pengarang atau mau bekerja?"
Saya langsung menjawab, "Ingin jadi pengarang, Pak!"
"Kalau begitu naskahmu sekarang ada di tangan Pak Mula Harahap. Coba temui dia!"
Lalu Pak Frans memberi alamat kantor Penerbit Komindo Mitra Utama di Jalan Howitzer, Cempaka Putih. Saya langsung menemuinya. Dari kantor itu saya dibawa Pak Mula menuju kantornya yang lain di daerah Rawa Lumbu.

Sesampainya di ruang kerjanya, lelaki bertubuh jangkung dengan ciri rambut putih setengah gondrong, berkumis, dan brewokan itu langsung menyelonjorkan kakinya di atas meja dengan posisi menyilang sementara saya duduk di hadapannya. Saya agak terkejut melihat gayanya itu, tapi saat itu juga saya dibuat tahu, dengan tampilan seperti itu Pak Mula seolah ingin menunjukkan dirinya bahwa ia orang yang bertipe santai dalam menjalani hidup. Ia menyalakan rokok sigaretnya, menghisap dengan gaya santai pula, lalu sambil mendecak-decakkan ujung lidahnya bertanya, "Sejak kapan kau menulis cerita anak-anak?" suaranya ngebas dan berwibawa. 

Saya pun bercerita tentang suka-duka pengalaman saya jadi penulis sambil menunjukkan buku kumpulan cerpen anak, Bebek dari Kakek (Balai Pustaka,1997). Pak Mula tertawa. Ia tertawa karena tiba-tiba teringat puluhan ekor bebek yang dipeliharanya di kandang belakang kantor Penerbit Kesaint Blanck. Saya diajaknya melihat bebek-bebek itu. "Bapak ternak bebek?" saya terheran-heran.

Lelaki yang selalu tampil bersahaja itu bercerita, saat menempati kantor itu ia didatangi seorang penduduk setempat yang menawarkan dua ekor bebek karena butuh uang. Pak Mula membelinya dengan niat menolong dan menaruhnya di kandang belakang. Lama-lama bebek itu menjadi banyak. "Sekarang pusing kepala saya dibuatnya!" katanya. (Belakangan 'ternak' bebeknya ditutup karena bau kotorannya dan suara berisik kwek-kweknya diprotes penduduk kampung yang tinggal di belakang kantornya itu).

Lalu, saya diajaknya kembali ke meja direkturnya. Dari percakapan singkat dengannya akhirnya saya tahu, Pak Mula dulunya juga seorang pengarang cerita anak. Cerpennya pernah dimuat di majalah si Kuncung; ia mengagumi Soekanto SA. Hari itu saya dipinjami beberapa buku karangannya untuk saya baca. Karangan Pak Mula, yang memakai nama Mulauli Haharap dalam setiap bukunya, sangat bagus. Tokohnya lucu dan jenaka, dan kadang nakal. Happy endingnya selalu mengejutkan!

Hari berikutnya, saya disuruh datang untuk menandatangani kontrak buku saya yang akan diterbitkannya. Saya diberi uang panjar satu juta rupiah. Akan tetapi, hingga satu setengah tahun kemudian, buku itu tidak terbit juga. Saya datang mondar-mandir ke kantornya untuk melihat proses editing naskah itu, baik yang ada di kantor Cempaka Putih maupun yang menumpang di Penerbit Kesaint Blanck di Rawa Lumbu. Klimaksnya terjadi tahun 2002, Jakarta dilanda banjir besar. Kantor Pak Mula di Cempaka Putih ikut kebanjiran. Dan lebih celaka lagi, lima naskah cerita anak saya yang sedang dalam proses terbit terkena imbasnya, terendam air.

Setelah banjir reda, dengan sisa-sisa semangat yang ada, saya kembali mendatangi kantornya menanyakan kelanjutan penerbitan buku saya. Pak Mula seperti menyerah. Agaknya ia sedang mengalami kesulitan uang, sehingga tidak jadi menerbitkan naskah saya. Saya pun agak lemas. Lalu ia mengamati keadaan saya, "Hei, kurus sekali kau sekarang?" katanya dengan logat Medan yang kental.
"Ternyata tidak mudah hidup jadi pengarang, pak!" jawab saya.
"Kalau begitu, coba kerjakan Warta IKAPI. Besok ada acara pembukaan Islamic Book Fair di Senayan. Liputlah!" Kemudian Pak Mula memberi saya uang dua ratus ribu.

Itulah awal saya dekat dengan Pak Mula dan awal kembali terjun ke dunia wartawan. Padahal sejak mengikuti pelatihan cerita anak, saya sebetulnya sudah berkomitmen ingin jadi pengarang. Tapi tak apalah, pikir saya. Hitung-hitung ini untuk memperluas pergaulan.

Hampir tiga tahun saya menangani Warta IKAPI sambil menggunakan sela waktu yang ada untuk mengarang. Saya pun sempat diminta menangani Siaran IKAPI Pusat. Setelah mengalami titik jenuh, akhirnya secara baik-baik saya minta izin kepada Pak Mula mengundurkan diri untuk kembali terjun ke dunia mengarang secara total agar bisa menghasilkan karya lebih baik. Sejak itu saya mulai jarang bertemu dengan Pak Mula. Apalagi setelah saya menikah tahun 2008. Waktu saya tersita habis hanya untuk menulis dan menulis demi mengejar kebutuhan hidup, sebab saya tidak punya penghasilan lain selain dari mengarang. Hanya sesekali kami bertemu di pameran buku. Namun komunikasi lewat sms atau telepon tetap berjalan.

Pada Ramadhan 1431 H kemarin, tiba-tiba keinginan saya berjumpa dengan Pak Mula begitu kuat. Setelah lebaran, saya berniat menemuinya. Bahkan saya telah mengepak beberapa buku cerita anak saya yang telah terbit untuk saya hadiahkan kepadanya. Akan tetapi Tuhan ternyata berkehendak lain. Berita itu datangnya begitu mengejutkan bagai petir di siang bolong. Beliau dipanggil ke pangkuan-Nya pada 16 September 2010 secara mendadak terkena serangan jantung. Alangkah sedih hati saya kehilangan orang sebaik beliau.

Bagi saya, perjalanan hidup Pak Mula yang singkat di dunia ini bagai nyala lilin yang menerangi sekeliling. Dirinya rela terbakar dan ikhlas berkorban demi untuk kebaikan dan kemajuan orang lain. Terlepas dari kekurangannya yang ada sebagai manusia, kita tidak bisa memungkiri bahwa jasa beliau sangat besar di dunia perbukuan.

Selamat jalan, Pak Mula. Selamat istirahat dengan tenang di Pangkuan Allah yang Maha Asih lagi Maha Agung. Jasamu takkan kami lupakan. Sejarah dan waktu telah mencatat dan mengukir namamu dengan indah. Selamat jalan, abangku...[]

Bambang Joko Susilo, pengarang, penulis cerita anak, mantan wartawan Warta IKAPI.

Link terkait:
http://mulaharahap.wordpress.com

Saturday, November 20, 2010


[REVIEW]
The Guru Behind the Axe
---Anwar Holid

Black Swans and Wormhole Wizards (album studio)
Musisi: Joe Satriani
Rilis: Oktober 2010 
Rekaman: Skywalker Sound, California, Amerika Serikat, 2010 
Durasi: 53:23 menit (11 track)
Label: Epic/RED
Genre: rock instrumental, hard rock
Produser: Mike Fraser & Joe Satriani
Rating: ***


Apa sebenarnya daya tarik rock instrumental bila sebagian musisi rock mutakhir telah menemukan genre post-rock yang mengksplorasi wilayah itu secara gila-gilaan? Apalagi rock instrumental dari dulu tipikalnya sangat bergantung pada permainan gitar? Ambil contoh "Brighton Rock" dari Queen, sebuah lagu yang memberi kesempatan sehebat-hebatnya kepada Brian May, gitaris mereka, untuk unjuk kepiawaian dan sebentar mengistirahatkan ketiga personil lain. Post-rock tidak mengistimewakan gitaris, dan justru memberi keleluasaan para anggotanya untuk menciptakan suasana yang cenderung psikedelik tanpa harus dibatasi oleh interpretasi terhadap lirik.

Tapi nyatanya genre instrumental rock tetap bertahan dan hingga kini secara konsisten melahirkan dewa-dewanya---terlebih-lebih gerakan yang dikomandani para gitaris utama (lead guitarist). Di antara para dewa itu tersebutlah nama Joe "Satch" Satriani yang reputasinya satu tingkat di atas mereka sebab beliau bergelar "Profesor Satchafunkilus" dan sudah lama dikenal sebagai mahaguru para dewa gitar itu. Kirk Hammett, Alex Skolnick, dan Paul Gilbert hanyalah sedikit dari muridnya yang sangat menonjol di kelas masing-masing, begitu juga muridnya yang terkenal lebih flamboyan dan atraktif bernama Steve Vai. Bila para muridnya sudah pada jago dan malang melintang menguasai dunia persilatan, apa perlu sang guru juga turun gunung? Mau membuktikan apa lagi dia bila tetap bersikeras ingin unjuk kebolehan? Barangkali ada pendekatan lain atau jurus baru yang hendak dia perlihatkan, bahwa dia terus berusaha inovatif dan dinamik.

Black Swans And Wormhole Wizards merupakan album yang dirilis sang mahaguru setelah dirinya bergabung dengan para veteran hard rock dalam supergrup Chickenfoot. Grup ini terbilang sukses sebab di Amerika Serikat saja album debut mereka terjual lebih dari 500 ribu kopi. Sejumlah pengamat menilai bahwa Satch melakukan pendekatan cukup lain dalam Chickenfoot, karena dia harus mengiringi vokalis untuk bernyanyi dan membangkitkan emosi, sementara pemain bas dan drummer mereka pun harus mendapat ruang setara. Pendekatan seperti itu konon terbawa lagi dalam Black Swans And Wormhole Wizards, meski tentu saja unsur vokal dan lirik dihapus bersih-bersih dari sini. Untuk proyek album ini Satch mengatur ulang studio dan peralatannya demi mendapatkan sound dan chemistry yang hebat di antara pendukungnya.

Hasilnya ialah mirip pertemuan antara album Joe Satriani dengan Strange Beautiful Music yang soulful, melodius, bluesy, enggak mengumbar efek atau teknologi berlebihan, cenderung minimalis, namun justru mencari sound yang dalam, catchy, serta mampu melahirkan efek emosional. Satch kembali ke pola lama yang terbilang tradisional dalam menjelajahi musik rock, sederhana, dan langsung menggebrak, sementara di tengah-tengah itu dia mengeksplorasi kekuatan dan kekhasannya di setiap track. "Premonition", sebagai track pembuka, menggambarkan itu dengan baik. Lagu ini dinamik, mampu membuat pendengar melonjak-lonjak, dan penuh dengan sayatan dan kocokan gitar yang menggairahkan. Unsur bluesy dan balada misalnya terungkap pada "Littleworth Lane", "Two Sides To Every Story", "The Golden Room", serta track pamungkas, "God Is Crying." Sisi simpel Satch hadir dalam nomor "Solitude" dengan memanfaatkan echo dan sentuhan sederhana, meskipun durasinya terasa terlalu singkat.

"Wind In The Trees", selain menjadi track terpanjang (berdurasi lebih dari 7 menit) bagi saya terdengar begitu sempurna dan karena itu mungkin bisa dibilang merupakan track terbaik di album ini. Lagu bertempo lambat ini seakan-akan mengumpulkan semua chemistry dan penjiwaan seluruh musisi pendukung yang terlibat dalam album ini, yaitu Allen Whitman (bass), Mike Keneally (keyboards), dan Jeff Campitelli (drums & perkusi). Keindahannya terletak pada harmoni antara gitar dan keyboards yang lama, intens, dan saling timpal sampai menjelang akhir lagu. Sangat melodius sekaligus emosional.

Di zaman post-rock, rock instrumental memang jadi terasa usang dan terkesan jadi pertunjukan perseorangan, bahkan bila itu merupakan karya sang mahaguru sekalipun---meski komentar ini mungkin sulit diterima dan bisa jadi gegabah di mata penggemar umum musik rock. Album seperti ini tetaplah kelanjutan dari formula-sukses-khas Satriani. Dia misalnya menolak merambah musik klasik atau orkestra sekadar untuk mengayakan khazanah, sebagaimana telah dilakukan Uli Roth, Vai, ataupun Malmsteen. Sementara mengubah instrumentasi jadi bernuansa post-rock juga berisiko dikecam lantaran latah dan belum tentu sukses. Satch lebih suka sedikit menoleh pada musik etnik (terutama dari wilayah Arab dan Afrika) atau mengentalkan unsur musik blues. Itu merupakan sikap dan pilihan sang profesor. Wajar bila sebagian orang tetap sulit menerima rock instrumental sebab jenis ini tidak menawarkan interpretasi lirikal. Dalam kasus aura musik Profesor Satch, dia menyodorkan imajinasi yang cenderung sci-fi dan futuristik, selain terasa sensasional.

Karena itu lebih menarik mengungkap sisi lain kesuksesan Black Swans and Wormhole Wizards. Di negeri Abang Sam, album ini terjual 10.000 kopi pada minggu pertama rilisnya, bertengger di urutan no. 45 daftar The Billboard 200. Rekor tersebut menjadi posisi pembukaan tertinggi bagi catatan penjualan album sang mahaguru dalam rentang karir musiknya yang panjang. Artinya album studio ke empat belas beliau ini masih diminati para umat penikmat musik rock dan jelas akan digalakkan lagi di panggung konser.[]

Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.

KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com

Copyright © 2010 oleh Anwar Holid

Monday, November 15, 2010


Menjala Keemasan Masa Kanak-Kanak
---Anwar Holid

Baru sekarang aku berkesempatan mengakses sebuah karya Tere-Liye, yaitu Pukat (Penerbit Republika, 2010, 343 hal.), padahal dia sudah menulis selusin karya fiksi dan banyak orang mengaku mengoleksi lebih dari setengah buku-bukunya. Blogger di tatayulia.wordpress.com mengaku: "Kalau ditanya siapa penulis/pengarang novel Indonesia yang paling saya favoritkan saat ini, jawabannya adalah Tere-Liye." Bambang Joko Susilo, penulis yang berdedikasi tinggi di ranah buku kanak-kanak, juga berpendapat positif tentang karya Tere-Liye. Bambang berkomentar: "Tere-Liye menurutku penulis berbakat, hebat, dan produktif. Bahasanya lincah dan lancar. Bukunya banyak yang best seller." Selain pembaca dewasa-umum, mayoritas pembaca karya Tere-Liye ialah anak-anak dan remaja.

Pukat merupakan buku ketiga dari tetralogi Serial Anak-Anak Mamak. Hanya karena munculnya acak, Pukat menjadi buku kedua yang terbit. Volume pertama dari seri ini yang sudah terbit ialah Burlian (2009), meski ia merupakan buku kedua. Kenapa membingungkan begitu? Di diskusi Goodreads.com, Tere-Liye menerangkan, "Serial Anak-Anak Mamak dimulai dari anak-anak cowok dulu, baru cewek, dan tidak urut kecil-besar atau sebaliknya. Bisa mulai dibaca dari mana saja." Tere menjanjikan bahwa dua buku tentang anak perempuan Mamak akan segera beredar, yaitu Eliana dan Amelia.

Dalam diskusi pada Jumat, 12 November 2010 di Masjid Salman ITB, Tere-Liye menyatakan bahwa Serial Anak-Anak Mamak punya ciri khas antara lain tiap judulnya memuat kisah tertentu (spesifik) tentang seorang anak di keluarga itu, bukan merupakan sekuensial, fokus memotret kehidupan anak-anak dan keluarga, serta bernostalgia dengan masa kanak-kanak di kampung---sebab sebagian pembaca kota tak mengalami peristiwa tersebut.
_________________________________________
DETAIL BUKU

Pukat
Penulis: Tere-Liye
Penerbit: Republika, 2010
Tebal: vi + 351 hal.; 205x135x0 mm; softcover
ISBN-13: 9789791102735
Harga: Rp 50.000 
_________________________________________

Seluruh keluarga Mamak menjuluki Pukat sebagai si anak pandai dan panjang akal karena rajin mencari tahu jawaban atas segala pertanyaan. Sifat tersebut berbeda dari Burlian yang dianggap si tukang tanya, meski dia dijuluki anak spesial. Karena pandai dan hampir tahu segala rupa, secara alamiah Pukat tumbuh menjadi anak yang bijak dan jujur. Meski begitu ada kala dia juga kurang sabar, enggan mengalah, bahkan bila perlu ngotot demi memegang prinsip yang dianggapnya benar.

Keluarga mereka tinggal di kampung di pulau Sumatera. Kampung itu cukup terpencil, berada di dekat hutan tropik, belum memiliki sarana listrik, namun jalan menuju kota cukup terbuka, dilalui jalur rel kereta api, dan ada stasiun kereta api di sana. Sungai di kampung itu masih jernih, di sanalah anak-anak mandi, saling terjun, dan bermain bola. Meski terbilang sederhana, keluarga Pukat memiliki televisi hitam-putih bertenaga aki untuk para tetangga dan kawan-kawan mereka suka menumpang nonton bersama.

Fokus dalam novel ini ialah ketika Pukat kelas 5 hingga lulus SD. Dalam dua tahun itu dia mengalami sejumlah peristiwa dramatik yang amat berbekas sekaligus membentuk mentalnya menuju masa pertumbuhan hingga dewasa. Kala itu, misalnya, dia bersama Burlian untuk pertama kali diajak ayah naik kereta api mengunjungi kawannya di kota kabupaten. Malang, persis ketika masuk terowongan panjang, kereta mereka dibajak dan para penumpangnya dirampok secara terencana. Setelah saling olok dan bantah-bantahan, Pukat akhirnya bermusuhan amat sengit dengan kawan dekat sekaligus pahlawan permainan bola air mereka, Raju. Bersama Can dan Burlian, dia juga nyaris mati terbakar hidup-hidup ketika ayahnya bersama para tetangga membuka hutan untuk dijadikan ladang. Kampung mereka juga sempat dilanda banjir dan menyengsarakan semua penduduknya.

Di masa kanak-kanak itu Pukat belajar arti kejujuran, kerja keras, rasa tabah, kasih sayang orang tua, persahabatan, berani bertindak, menghargai rezeki, sekalian belajar perbedaan pertumbuhan anak laki-laki dan perempuan, serta betapa panjang dan mengesankan perjalanan segenggam beras sampai akhirnya menjadi nasi yang siap disantap. Sikap positif di masa pembentukan mental yang bisa dikatakan terjaga itu membuat Kak Seto (Seto Mulyadi) memberi endorsement sebagai berikut: "Pukat mengajak kita untuk memahami nilai kejujuran, persahabatan, dan kreativitas yang dikemas dalam sebuah kecerdasan spiritual yang jernih." Karena itu, selain pantas disarankan sebagai bacaan anak-anak dan keluarga, idealnya novel ini dikoleksi perpustakaan sekolah di seluruh Indonesia.

Tere-Liye cukup mengesankan menuturkan kisah Pukat. Drama dan kelakuan khas anak-anak hadir secara proporsional dan segar, tokoh-tokohnya memiliki jiwa dan emosi, begitu pula dengan kejutan maupun denyut masyarakat kampung yang mayoritas penduduknya memeluk Islam. Penulis bertutur dari sudut pandang "aku" sebagai Pukat. Dia mengenang masa-masa pertumbuhan itu dalam perjalanan pulang dua belas jam dari Amsterdam ke Jakarta, ketika dirinya di luar dugaan menemukan jawaban atas teka-teki dari uanya yang seumur hidup jadi pertanyaan besar dalam dirinya dari surat yang dikirim Burlian dari Tokyo. Pertanyaan itu ialah "Apa harta karun paling berharga di kampung ini?" Penemuan itulah yang memberi dia energi untuk mudik menziarahi pusara uanya dan menyatakan dirinya telah menemukan rahasia atas limpahan kasih sayang yang selama ini memberkatinya.

Namun, karena merupakan kisah dari pengalaman orang dewasa yang sudah jadi orang kota, Pukat kini sudah sulit sekali melepaskan diri dari belitan kosakata urban seperti konfirmasi, disiplin, teknis, komunikasi, eksotis, juga ekstase yang jadi terdengar aneh dalam konteks cerita masa kanak-kanak, apalagi settingnya terjadi pada tahun 80-an. Sisi plusnya, novel ini mengandung kekayaan kosakata Indonesia yang khas, seperti lanting, umbut, dan belincong.

Sayang kualitas penyuntingan buku ini terbilang masih buruk. Ada banyak kesalahan di novel ini yang mengganggu pembacaan, terutama dari cara penulisan, penggunaan tanda baca, ejaan, juga inkonsistensi istilah. Kesalahan mendasarnya terlalu banyak. Contoh paling klise antara lain penulisan 'rubah', 'dimana', 'ijin', juga 'takjim.' Kecerobohan ini menunjukkan bahwa pekerjaan rumah bagi industri penerbitan Indonesia masih menumpuk---terutama untuk editor dan penulis. Bagi penulis berpengalaman seperti Tere-Liye, kekurangan ini patut disayangkan.[]

Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.

KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com

Copyright © 2010 oleh Anwar Holid

Link terkait:
http://darwisdarwis.multiply.com --> blog Tere-Liye
http://www.goodreads.com/author/show/838768.Tere_Liye
Facebook: Darwis Tere-Liye

Tuesday, November 09, 2010


Energi Menulis: Dari Mana Datangnya?
---Anwar Holid

Penulis punya pengalaman khas masing-masing yang menyebabkan mereka mampu bertahan untuk menghasilkan karya.

Kita lihat misalnya Jamal berlatar belakang seni rupa; dulu Clara Ng menerbitkan buku sendiri; Veven SP Wardhana terinspirasi fakta sejarah; Anjar sudah "mengandung" kisah dalam novel Beraja sejak 2000; sementara Djenar Maesa Ayu sejak awal kemunculannya konsisten membawa subjek seksualitas dari beragam aspek.

Tujuh tahun lalu aku dengar seorang peserta diskusi bertanya kepada Djenar Maesa Ayu kenapa kebanyakan ceritanya bertema seks. Dia menjawab, "Barangkali karena saya suka seks ya?" Ada kejujuran di sana, dan itu jadi salah satu pokok dalam proses menulis. "Kalau tidak jujur waktu menulis, buat apa karya itu?" dia balik tanya. Karena inti menulis ialah mengungkapkan perasaan secara kreatif, melepaskan gagasan, mencari pengakuan, sejumlah orang berpijak pada sesuatu yang sangat dekat dengan dirinya. Itulah hal yang dapat mereka ungkapkan dengan tepat dan tegas. Penulis harus tahu persis yang dihadapi dan ditulisnya.

Kenapa sejumlah orang memilih menulis fiksi? "Sebab dalam fiksi segala kemungkinan ada," jawab Veven. Ada dunia imajinasi dalam diri manusia atau angan-angan maha luas yang coba mereka isi dengan upaya pencarian makna. Di sana mereka mencari kemungkinan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan pelampiasan emosi, mental, maupun spiritual setelah lelah menghadapi alam fisikal yang kering, sukar berkompromi, bahkan kerap dipenuhi kebohongan. Jamal mendapat kenikmatan menulis fiksi karena dia mampu mereka-reka jalan hidup seseorang, menentukan nasib tokoh ciptaannya. Rupanya keinginan berperan bebas sebagai Tuhan (playing God) memotivasi Jamal dalam berkreasi.

Karena ada keinginan bermain-main dengan bahasa, jelas para penulis harus kreatif melakukan sejumlah eksplorasi literer. Perhatikan frasa "matahari malam hari" pada judul Centeng karya Veven. Apa frasa tersebut terkesan janggal atau malah membangkitkan rasa penasaran para pembaca? Clara Ng menjuduli novelnya Tujuh Musim Setahun, dan itu membuat orang terangsang untuk bertanya-tanya: di manakah tempat yang punya tujuh musim dalam setahun? Atau dia ingin menggunakan perlambang untuk mengungkapkan sesuatu secara khusus?

Permainan bahasa menunjukkan bahwa manusia memiliki dinamika dalam komunikasi dan persisten mencari kemungkinan baru. Misal, sebagian pengguna bahasa Indonesia masih merasa asing dengan kata "beraja", padahal sebenarnya bisa ditemukan di berbagai kamus bahasa Indonesia yang otoritatif. Anjar, seorang novelis tinggal di Bandung, dalam hal ini berusaha mengingatkan bahwa kita memiliki kekayaan bahasa luar biasa. Memang, demi menjaga dan mengembangkan bahasa, kita berutang banyak kepada penulis. Merekalah yang secara sinambung membangkitkan lagi kata yang lama dilupakan atau mencoba menciptakan kemungkinan makna dengan inovasi, menempuh cara ungkap berbeda yang sebelumnya di luar imajinasi generasi terdahulu.

Fiksi memiliki logika sendiri. Segila-gilanya imajinasi dalam fiksi, penulis biasanya tetap merujuk pada sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan. Ada alasan masuk akal kenapa sebuah dunia dalam ceritanya bisa berlangsung secara ajaib atau di luar nalar. Kekayaan pengetahuan, kedekatan dengan seseorang, atau subjek yang mereka kuasai, juga latar belakang kehidupan, biasanya kerap dirujuk untuk menjelaskan bahwa sejumlah peristiwa, percakapan, dan kejadian dapat ditelusuri jejak-jejaknya. Dalam novelnya, Clara Ng perlu menulis halaman bibliografi untuk membuktikan dirinya menolak berspekulasi tanpa dasar eksperimen yang pernah dilakukan orang lain, baik itu ilmuwan, sejarahwan, dan kritikus. Jamal melampirkan biografi filsuf Soren Kierkegaard dalam novelnya. Kini ada banyak novel yang ditambahi catatan kaki---baik yang sama-sama fiktif ataupun faktual.

Di luar latar belakang dan subjek karya, para penulis otomatik memberi pelajaran tentang proses dan kesabaran. Menurut pengakuan Clara Ng, total sekitar empat tahun dia habiskan untuk mewujudkan Tujuh Musim Setahun. Sebelum jadi novel, naskah itu awalnya berupa catatan berserak baik di kertas, komputer, juga ingatan. Dia mencoba menyimpan iktikad itu sekuat tenaga, memelihara, menjaga agar tak lenyap, bahkan ketika proses penciptaan terhenti oleh banyak hal. Sujinah, penulis In a Jakarta Prison, tak menyerah menulis meski di penjara tanpa proses pengadilan lebih dari lima belas tahun lamanya karena alasan politik. Dia menjadikan karya sebagai kesaksian atas hidupnya yang getir, keras, penuh perjuangan dan idealisme.

Pada dasarnya upaya menulis sebuah karya merupakan proses berlanjut. Pengorbanan waktu dan energi untuk menyelesaikannya membutuhkan kesabaran luar biasa. Berproses lebih dari dua tahun demi menunggu kelahiran buku tentu belum bisa dihadapi setiap orang dengan mudah. Anjar membuktikan dia berhasil melewati masa sejak awal persemaian hingga memetik buah atas bukunya. Ada sejumlah karya yang baru bisa terbit setelah bertahun-tahun kesulitan menemukan penerbit.

Di awal abad ke-21 para penulis berdesak-desakan muncul ke ranah sastra dan industri perbukuan. Generasi terbaru juga beruntung dapat menikmati kemajuan teknologi dan beragam media ekspresi. Dunia penerbitan tambah dinamik meramaikan khazanah sastra Indonesia. Di luar media cetak umum, banyak penulis melatih kemampuan dan eksperimentasi melalui internet, blog, Facebook, situs pribadi, termasuk Twitter. Energi menulis mereka meluap-luap secara luar biasa, gagasannya kadang-kadang tak tertampung sarana umum, dan eksplorasinya menarik untuk diperhatikan.

Bagi sejumlah orang, energi menulis bisa jadi tak pernah terbayang kapan akan muncul dan menggerakkan proses kreatif. Namun belajar dari banyak penulis, kita tahu proses itu ialah gabungan antara tekad besar, proses menciptakan, dan upaya memenangi pertarungan melawan keragu-raguan.[]

Note: Versi ini merupakan revisi dari yang aku tulis pada Rabu, 28 Mei 2003.

Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.

KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com

Copyright © 2010 oleh Anwar Holid

Tenang,Tuhan Selalu di Sekitar Kita
---Anif Punto Utomo

Buku ini bukan bercerita tentang pencarian Tuhan, namun mengingatkan keberadaan Tuhan. Suatu ketika, Stalin bersama seluruh anggota politbiro terbang menuju salah satu negara bagian Uni Soviet. Ketika pesawat melintasi daerah pegunungan yang terkenal dengan jurang-jurang menganganya, mendadak pesawat mengalami gangguan. Pilot segera mengumumkan kerusakan tersebut dan meminta penumpang memasang sabuk pengaman. Kemungkinan selamat fifty-fifty.

Pesawat terguncang dengan keras. Seluruh penumpang panik. Tiba-tiba, di antara kepanikan penumpang itu terdengar teriakan spontan, "Tuhan, tolonglah aku." Semua kaget dan menoleh ke suara itu. Ternyata, teriakan minta tolong kepada Tuhan itu ke luar dari mulut Stalin, sang ateis dedengkot komunis Uni Soviet. Peristiwa itu membuktikan kesadaran bahwa Tuhan itu ada---sekalipun pada diri orang ateis.

Lantas, di manakah Tuhan? Seperti ditulis Arvan Pradiansyah dalam buku terbarunya, Tuhan ada di mana-mana. Tuhan bukanlah sosok yang jauh. Tuhan sangat dekat dengan kita, bahkan selalu memperhatikan kita. Tuhan selalu berada di sekitar kita. Tuhan juga tak pernah sekali pun mengabaikan dan meninggalkan kita. Dalam khazanah mengingatkan akan adanya Tuhan, dari budaya Jawa muncul istilah Gusti Allah ora sare. Artinya, Tuhan tidak pernah tidur. Karena itu Tuhan memang selalu ada, bukan hanya mengawasi, tapi juga mencatat apa yang kita perbuat.
____________________________________
DETAIL BUKU

You Are Not Alone: 30 Renungan tentang Tuhan dan Kebahagiaan
Penulis: Arvan Pradiansyah
Penerbit: Elex Media, 2010
Halaman: 252 hal., soft cover
ISBN: 978-979-27-7918-9      
Kategori: Spiritualitas; Inspirasional; Pengembangan Diri
Harga: Rp.52.800,-
_____________________________________

Biasanya, manusia baru ingat Tuhan jika sedang terjadi musibah. Semakin besar musibah yang menimpa diri manusia, semakin kental ingatan akan Tuhan. Setiap saat nama Tuhan disebut. Sebaliknya, ketika sedang diuji dengan kegembiraan, nama Tuhan nyaris tidak pernah disebut. Ingatan akan Tuhan seolah masuk ke dalam laci dan terkunci rapat. Laci itu kelak akan dibuka ketika kegembiraan berganti dengan musibah.

Kehadiran Tuhan dirasakan Arvan ketika bersekolah di London, Inggris. Pada awal-awal kedatangannya, dia merasa kesepian. Sepi karena meninggalkan keluarga di tanah air, kawan dan sahabat, dan karena belum menemukan sahabat di kota itu. Di dalam suasana kesepian itulah kemudian dia merasakan lebih dekat dengan Tuhan. Baru tersadar bahwa di tengah kesepian di dunia ini Tuhan selalu hadir di dekat kita. Hati pun menjadi tenang. Pada dasarnya, menurut Arvan, kita tidak pernah sendirian. Karena itulah buku kelimanya ini diberi judul You Are Not Alone.

Dalam buku ini Arvan juga berani menyentuh masalah sensitif, yakni tentang orang beragama dan orang baik. Orang beragama belum tentu baik, begitu salah satu judul tulisannya. Bahasan ini sempat jadi perbincangan panas ketika dia mengangkatnya dalam siaran radio secara live. Topik ini memang sangat relevan, setidaknya kalau kita lihat fenomena yang terjadi di negeri kita sekarang ini. Ketika kehidupan beragama tampak begitu menonjol, perilaku melupakan Tuhan pun tak kalah meriah. Masjid dan gereja banyak didatangi umat, tetapi pub dan diskotek juga tak pernah sepi. Doa selalu dipanjatkan setelah shalat, tetapi korupsi jalan terus.

Situasi itu mencerminkan bahwa kesalehan spiritual tidak seiring dengan kesalehan sosial. Maksudnya, seseorang telah menjalankan ajaran agama sesuai perintah Tuhan, tetapi perilaku sosialnya bertentangan dengan perintah Tuhan.

Mengapa bisa terjadi kontradiktif semacam itu? Menurut Arvan, ada tiga kesalahan pokok dalam memaknai agama. Pertama, agama dimaknai hanya sebagai bentuk ritual, kita tidak diajarkan untuk memahami kenapa ibadah itu harus dilakukan. Kedua, agama sering diartikan sebagai kewajiban yang bila dilakukan akan memperoleh pahala dan masuk surga, sedangkan jika tidak, akan diganjar dosa dan masuk neraka. Ketiga, agama sering ditafsirkan sebagai urusan kita dengan Tuhan. Padahal, esensi beragama adalah kasih. Bukankah Tuhan itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang? Karena itu, orang beragama mestinya dikenal karena rasa cintanya terhadap sesama manusia.

Buku ini tetap menarik untuk menjadi bahan renungan---meski tidak sedalam buku-buku Arvan sebelumnya terutama The 7 Laws of Happiness. You Are Not Alone juga bisa menjadi bekal untuk mematangkan hubungan kita dengan Tuhan dan dengan sesama manusia. Ini juga bisa menjadi cermin apa selama ini kesalehan spiritual kita sudah sejalan dengan kesalehan sosial atau belum.[]

Resensi ini awalnya dimuat Republika, Minggu, 17 Oktober 2010.

Kartu Efek Domino Lalang
---Anwar Holid

Kesenangan terbaru Ilalang (10 tahun) ialah menyusun kartu hingga jadi rangkaian tertentu, lantas dirobohkan menjadi efek domino yang dramatik. Dia bisa menyusun kartu berpuluh-puluh menit baik dalam posisi tegak dan melintang---caranya dengan dilengkungkan sebelumnya---ditambah variasi antara lain berupa lorong, rangkaian bunga, memadukannya dengan tambahan buku, tanjakan, juga bisa dengan efek saling bertabrakan. Untung dia punya koleksi kartu yang amat banyak, bekas mainan favoritnya dulu, jadi rangkaian kartu itu bisa mengular panjang mengelilingi ruang.

Beberapa hari lalu dia tanya, "Yah, aku boleh pinjam kartu nama ayah enggak?"
"Buat apa?"
"Buat tambahan kartu Lalang."
Aku menjawab dengan mengambil segepok kartu nama yang cetakannya buruk. Aku sampai sungkan bila terpaksa memberi kartu itu ke rekanan baru. Sekarang ada manfaatnya. Aku berikan semua kartu itu ke dia; dan aku akan segera bikin yang baru. Kartu Ilalang tambah banyak dan itu menambah efek dramatik dalam kehancuran kartu-kartunya.

Kalau sudah mulai menyusun kartu, dia tahan berlama-lama tanpa ribut sama sekali. Konsentrasinya penuh, dan imajinasinya tentang efek domino sangat macam-macam. Dia sekarang bahkan sedikit lupa dengan game Command & Conquer yang suka dimainkan sehabis sekolah atau kalau diizinkan ibunya; dia juga jadi mengabaikan ngelayap berlama-lama dengan sepedanya.
 

Aku enggak tahu kapan persisnya dia mulai suka permainan itu atau dia dapat ide dari mana. Aku pernah tanya, tapi jawabnya cuma, "Dari video." Sebelumnya dia sempat tanya-tanya ke aku apa itu domino, di mana bisa dibeli, apa bahannya, dan seterusnya. Jawabanku jelas membuat dia mengira bahwa domino itu mahal, dan mustahil ayah atau ibunya bakal mau membelikan barang seperti itu. Tapi daya kreatifnya ternyata terus jalan. Dia memanfaatkan kartu-kartu yang dulu pernah digila-gilainya untuk diubah fungsi. Dulu dia menggunakan kartu untuk mengadu. Aku sendiri agak heran bagaimana dia akhirnya bisa mengumpulkan kartu sebanyak itu. Dia bilang itu dapat dari menang bertarung. Sudah lama ratusan kartu itu tampak dia lupakan, sampai akhirnya kini jadi berguna lagi.

Ilalang sangat menikmati saat mulai menyusun rangkaian dan mengembangkan imajinasi kira-kira akan seperti apa efek robohnya. Jadi saat yang dia nantikan ialah merobohkan kartu terakhir dan memperhatikan efeknya seperti apa.

Tapi jangan ditanya kalau sedang merangkai tiba-tiba kartunya tumbang sebelum waktunya, dia akan sangat ngambek. Apalagi kalau jatuhnya karena hentakan angin dari seseorang yang lewat. Wah, dia bisa nangis, marah, dan mengadu. Jadinya kelihatan rewel sekali. Huh, khas anak-anak saja.

Bagi Ilalang, kegiatan ini menyenangkan dan menenangkan. Bahkan mungkin merupakan segala-galanya. Sebuah kebahagiaan sederhana bagi anak-anak.[]

Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com.

Copyright © 2010 oleh Anwar Holid

Monday, November 01, 2010


[REVIEW ALBUM]
A Thousand Suns: Album Politis Linkin Park
---Anwar Holid

A Thousand Suns (album studio)
Band: Linkin Park
Produser: Rick Rubin, Mike Shinoda
Rilis: 8 September 2010
Proses rekaman: 2008-2010 
Genre: Alternative rock, nu-metal
Durasi: 47:56  (15 track)
Label: Warner Bros.
Rating: ****


Setelah bertindak cukup drastik di album Minutes to Midnight (2007), Linkin Park kembali mengambil inisiatif mengejutkan di A Thousand Suns, album studio ke empat mereka. Mereka membuat album konsep. Ini merupakan langkah ambisius dan berani bagi band yang sudah sangat hype, bahkan dianggap sebagai salah satu band terdepan dan tipikal nu-metal yang masih eksis namun tengah menghadapi tantangan besar karena genre ini terdengar mulai usang dan sebagian eksponennya mengalami kesulitan mengikuti perkembangan zaman. Di titik ini, Linkin Park bisa dianggap jadi komandan bagi genre rock/alternatif yang bisa bertahan dengan baik di medan peperangan industri musik, bahkan kini kembali menguasai jalannya pertempuran.

Seperti apa konsep di album ini? Mike Shinoda menyatakan, "Bila orang membayangkan album konsep, aku kira mereka membayangkan suatu kisah tertentu---nyaris seperti opera rock atau sesuatu yang bercerita tentang kisah tertentu, mulai dari konflik dan berakhir dengan resolusi. Kami merasa tampaknya pandangan seperti itu bakal sedikit mengekang. Jadi kami memutuskan akan membiarkan konsep itu sebagaimana yang ingin kami bicarakan, lantas membuatnya sedikit lebih abstrak dan lepas." Dalam wawancara dengan MTV, dia menambahkan, "Di album ini, konsepnya ialah gabungan antara gagasan manusia dengan teknologi."

A Thousand Suns merupakan metafora untuk ledakan bom atom. Album ini secara keseluruhan bicara tentang perang nuklir, militerisme, kehancuran, juga efek peperangan pada manusia. Boleh dibilang ini album politis. Maka bebunyian ledakan hebat, dentuman, derit kekacauan, rentetan tembakan, derap pasukan tengah melakukan penyergapan, kericuhan di medan perang, suasana chaos, teriakan marah, jeritan putus asa, suasana panik dan menderu-deru, juga makian kekesalan amat terasa di sini.

Album konsep idealnya didengar dari awal hingga akhir tanpa jeda. Linkin Park mengawali album ini dengan lagu kematian ("The Requiem") yang meski bertempo lambat dan bernada murung, tapi tetap optimistik:
God save us
everyone will be burn
inside the fires of a thousand suns


Lantas dilanjutkan dengan dentuman besar diiringi pernyataan ancaman akan munculnya perang nuklir, berasal dari ucapan Robert Oppenheimer, Direktur Proyek Bom Atom Los Alamos (1943-1945) dan Komisi Energi Atom Amerika Serikat (1946-1953), yang mengutip ucapan Wishnu di Bhagawad Gita: "Now I am become Death, the destroyer of worlds."

Dua intro itu menjebloskan pendengar pada intensitas situasi perang, para tentara yang terhadang kematian, betapa mereka jadi seperti robot yang sudah diprogram melaksanakan perintah untuk mengakhiri kehidupan, meskipun dahulu mereka cinta damai. Semua orang terancam keselamatannya. Tambah lama suasana semakin kacau. Dua lagu di pertengahan album ini menggambarkan situasi dengan sangat emosional. "Blackout" dan "Wretches And Kings" benar-benar penuh dengan kegaduhan bertempo cepat yang muncul dari semua instrumen, terutama turntable, distorsi gitar, dan derap drum; sementara duet Chester Bennington dan Shinoda mewartakan kehancuran dengan hebat. Resolusi di album ini berlangsung dengan mulus; situasi kembali damai, masa-masa gawat telah lewat, dan meyakinkan bahwa ke depan akan lebih selamat. Untuk itu mereka menawarkan lagu bertempo sedang dan balada yang kuat, terutama "The Messenger" yang jadi track penutup; di situ Brad Delson memainkan gitar akustik dengan perlahan-lahan. "Secara harfiah, lagu ini sebenarnya surat kepada anak-anakku betapa aku mencintai mereka," ungkap Bennington pada Yahoo!News. Lagu ini kalem, dalam, dan kembali optimistik:
When life leaves us blind
Love, keeps us kind!
When life leaves us blind
Love keeps us kind!


Kekuatan vokal Bennington menjadi pusat emosi album ini. Dia berteriak, meradang, menjerit, ngotot, sekaligus menyanyi dengan energi dan emosi yang kental. Mereka juga mengambil kekuatan aktivisme dari orasi Mario Savio dan Martin Luther King, Jr. yang menggugah. Secara musikal mereka berbalik lagi ke rap-metal dengan haluan cukup besar; kembali ada banyak sound bites dan berbagai manipulasi bebunyian. Satu-satunya lagu yang disertai solo gitar cukup menonjol hanya "Iridescent." Shinoda kembali banyak ngerap untuk menguatkan situasi, seperti muncul dalam "The Catalyst" dan "Waiting For The End" yang berturut-turut mereka lempar sebagai single dari album ini.

Selama hampir satu jam, A Thousand Suns menjadi karya yang bisa dinikmati secara utuh dan kuat. Mungkin belum sehebat The Dark Side of The Moon (Pink Floyd) atau seberani Radiohead saat bereksperimen dalam Kid A, namun Linkin Park maju selangkah lagi ke jenjang yang lebih dewasa dari tingkat sebelumnya. Ini memuaskan, patut dipuji dan dihargai.[]

Anwar Holid bekerja sebagai penulis & editor. Buku barunya ialah Keep Your Hand Moving (GPU, 2010).

KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com

Sunday, October 31, 2010


[Kompetisi Menulis]
Jakartabeat Music Writing Contest I
"Wajah Musik Indonesia"

Sejak era Bing Slamet membius para penggemar hingga gerakan indie menggebrak massa, musik Indonesia senantiasa menyajikan serpihan fenomena yang memikat untuk dicatat.

Jakartabeat.net mengundang mahasiswa di seluruh Indonesia untuk mengikuti kompetisi menulis musik yang baru pertama kali diadakan ini, berkontribusi pada peningkatan keragaman jurnalisme musik di Tanah Air, pun pada perkembangan musik Indonesia itu sendiri.

Apa yang bisa ditulis? Bisa tentang musisi, kelompok musik, perusahaan rekaman, album musik, produser, lirik lagu, radio yang mendedikasikan diri pada musik tertentu, komunitas fans genre tertentu, tentang toko musik/kaset/CD/piringan hitam legendaris di tempat Anda tinggal, komunitas indie di kota masing-masing, konser musik, hubungan politik dengan musik, dan apa saja, sejauh terkait dengan musik Indonesia, dari seluruh ragam genre dan lintas waktu.

Jakartabeat Music Writing Contest I juga bertujuan mengembangkan jurnalisme musik Indonesia pada teritori baru, melampaui pemahaman dan praktik jurnalisme musik yang hanya menyampaikan facts dan who’s who.

Tulisan sedapat mungkin mengikuti gaya tulisan Jakartabeat.net yang menekankan pada esai/feature, mengekspresikan pengalaman dan kecintaan pada musik, serta segala aspeknya. Peserta dipersilakan mengeksplorasi tulisan, tidak terbatas di rubrik musik, di http://www.jakartabeat.net.

KETENTUAN LOMBA

Peserta mengirimkan dua file: file pertama ialah tulisan yang diikutkan dalam lomba, file kedua berisi curriculum vitae (CV).

PESERTA

Mahasiswa program Strata 1 atau Diploma di seluruh kampus Indonesia.

PENULISAN NASKAH

- Tulisan diketik rapi, 1,5 spasi pada halaman kwarto, font Times New Roman 11 point.
- Panjang tulisan minimal 5 halaman, maksimal 8 halaman.
- Di pojok kiri atas, tuliskan nama dan nama kampus Anda.
- Peserta hanya bisa mengirimkan satu naskah.

PENULISAN CV

- Panjang CV cukup 1 halaman.
- Tiga informasi utama yang harus dicantumkan: (1) nama lengkap, (2) data kelahiran, (3) alamat lengkap.
- Tulis informasi pengalaman organisasi mahasiswa dan pengalaman menulis di media apa pun (bila ada).
- Cantumkan alamat blog pribadi Anda (bila punya).
- Di bagian bawah CV, tulis komentar pendek Anda tentang perkembangan jurnalisme musik di Indonesia.

PENAMAAN DAN PENGIRIMAN FILE

File naskah dan CV ditulis dalam format rtf.

Nama file naskah: nama Anda-judul naskah. Contoh: Agus Lirboyo-Iwan Fals, Kelahiran Baru Setelah Kematian Sang Anak
Nama file CV: nama Anda-CV. Contoh: Agus Lirboyo-CV.

File dikirim ke e-mail:
nuran@jakartabeat.net
cc: fakhri@jakartabeat.net

Subject: Jakartabeat Music Writing Contest I

DEADLINE

File paling lambat diterima pada Rabu, 5 Januari 2011, pukul 17.00 WIB.

PENGHARGAAN

Tiga pemenang terbaik akan diumumkan di Jakartabeat.net pada Senin, 31 Januari 2011.
  * Pemenang I memperoleh Rp 3 juta. 
  * pemenang II memperoleh Rp 2 juta. 
  * Pemenang III memperoleh Rp 1 juta. 
Ketiga pemenang ini juga akan bergabung menjadi kontributor Jakartabeat.net.

Seluruh naskah yang masuk jadi milik panitia dan mungkin dimuat di Jakartabeat.net (penulis akan diberi tahu via e-mail).

Informasi lebih jauh bisa diperoleh melalui dua e-mail di atas.

Keputusan dewan juri final dan tidak dapat diganggu-gugat.

TENTANG JAKARTABEAT MUSIC WRITING CONTEST I

Jakartabeat Music Writing Contest I diselenggarakan untuk merayakan ulang tahun kedua Jakartabeat.net, online magazine tentang musik, buku, film, dan ide humaniora yang jatuh pada Selasa, 18 Januari 2011. Program ini direncanakan akan menjadi kegiatan rutin tahunan Jakartabeat.net.

Kompetisi ini diselenggarakan atas kerja sama Jakartabeat.net dengan Yayasan Interseksi. Hingga hari ini, Jakartabeat.net adalah media online volunteer, para kontributor menulis sukarela tanpa imbalan. Kecintaan pada musik dan music writing, minat pada ide-ide humaniora, dan dorongan berbagi menjadi motivasi para kontributor Jakartabeat.net.

Yayasan Interseksi merupakan yayasan non-profit yang fokus pada kajian kultural dan hak minoritas di Indonesia. Kegiatan Yayasan Interseksi di antaranya penelitian, penulisan buku, dan pembuatan film dokumenter bertema budaya.
Link: http://www.interseksi.org.

TENTANG DEWAN JURI

Dewan juri Jakartabeat Music Writing Contest I terdiri dari empat orang, merupakan representasi empat wilayah: praktisi musik, jurnalis, akademisi, dan penulis lepas. Seluruh anggota dewan juri adalah kontributor Jakartabeat.net sendiri.

Anwar Holid, penulis beberapa buku, di antaranya Keep Your Hand Moving: Panduan Menulis, Mengedit, dan Memolesnya (Gramedia Pustaka Utama, 2010). Ia bisa dijangkau di http://halamanganjil.blogspot.com.

Harlan Boer, manajer band Efek Rumah Kaca dan produser Jangan Marah Records yang menaungi band-band indie seperti Bangkutaman; ia juga mantan personil The Upstairs.

M. Taufiqurrahman, wartawan harian berbahasa Inggris The Jakarta Post, rutin menulis tentang musik. Taufiq ikut serta mendirikan Jakartabeat.net. Belum lama berlalu ia menyelesaikan studi pascasarjana di Department of Political Science, Northern Illinois University, Amerika Serikat.

Roby Muhamad, staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Semasa SMA menekuni musik blues. Ia menyelesaikan studi doktoral di Columbia University, New York, Amerika Serikat pada 2010. Bidang keahliannya ialah social network. Roby pernah menjadi anggota tim penelitian bertaraf global, The Small World Project, yang berpusat di Columbia University. Sila lihat Roby menjelaskan riset ini di CNN via http://www.youtube.com/watch?v=V2biPHBGm3c.

Ikuti kami di:
Facebook Page: jakartabeat.net | Twitter: jakartabeat

Copyright © 2009-2012 Jakartabeat.net

Sunday, October 17, 2010


[REVIEW PRODUK]

Perekam Suara Digital ICR-FP550 Sanyo
---Anwar Holid

Dengan menunda kewajiban bayar tagihan rutin bulan Oktober 2010 ini, aku membeli perekam suara digital (digital voice recorder) untuk menunjang karir. Aku berharap perabot ini memudahkan pekerjaan, karena faktanya berkali-kali selalu ada fase aku harus menggunakan alat seperti itu, yaitu ketika wawancara atau merekam pembicaraan. Biasanya alat ini disediakan klien atau pemilik proyek, sampai terakhir kali aku kesulitan mendapatkan saat butuh untuk menyelesaikan pekerjaan. Dengan memilikinya, aku siap merekam atau wawancara kapan saja.

Awalnya aku ingin barang yang sudah biasa aku gunakan, yaitu alat keluaran pabrik S. Tapi karena harganya meningkat tajam dari info yang aku dapat dan spesifikasinya juga berlebihan, akhirnya aku beli barang ini, yang harganya Rp.750.000,-

"Ini biasanya dipakai mahasiswa dan dosen, pak," promo penjualnya. Oh, jadi aku disangka mahasiswa atau dosen, bukan profesional atau wartawan. Aku mengira mungkin para wartawan asli dia tawari produk S itu. Tapi ah, aku juga biasa menggunakan benda itu kok.

Penjual menerangkan keunggulan dan memperagakan penggunaannya. Di tangannya, semua berjalan lancar. "Ini juga bisa menjadi mp3 player," tambahnya. Sebenarnya, selain mp3, alat ini bisa memainkan file wma (file audio standar dari Microsoft).

Pada dasarnya aku enggak butuh mp3 player; jadi aku anggap kemampuan itu sebagai bonus. Dengan begitu sekarang aku akan bisa dengar lagu lagi kalau sedang ada di angkot atau tengah di jalan---seperti dulu kala masih punya Walkman atau Diskman. Ini cukup menyenangkan. Beberapa bulan lalu aku survey harga iPod, dan menurutku harganya terlalu mahal hanya untuk mendengar lagu.

Setelah mengutak-atik mode penggunaan dan baca manual, alat ini cukup mudah digunakan. Mungkin awalnya terasa agak ribet, tapi dalam beberapa kali percobaan, gampang dikuasai. Kalau sedang merekam, dengan pencet tombol rekam, ia otomatis jadi "pause", dan kalau pencet "stop" langsung jadi satu file save. Hasilnya berupa file mp3 dengan kualitas suara memuaskan dan bisa dibuat dalam tiga mode. Dengan kapasitas 1 GB, kita bisa merekam apa saja untuk waktu yang lama. Alat ini merekam file secara otomatis ke dalam enam folder yang sudah disediakan. Di satu folder kita bisa merekam sampai 99 file; ia total bisa menyimpan 594 file di semua folder.
______________________________________
DETAIL PRODUK

ICR-FP550
Jenis: perekam suara digital (digital voice recorder)
Produsen: Sanyo
Power: batere AAA x 2
Loudspeaker: 28 mm dia.
Dimensi: 46 x 98 x 19 mm
Berat: 40 g (tanpa batere)

KEUNGGULAN
* bisa menjadi stereo media player (file mp3 & wma)
* ada colokan untuk mik eksternal
* bonus sepasang batere AAA alkalin

KELEMAHAN
* enggak ada earphone
* lelet mengopi file mp3/wma dari komputer
______________________________________

Soal mp3 playernya, ICR-FP550 ini hanya bisa memainkan file dari dalam folder MUSIC, tidak bisa memainkan dari folder lain, meskipun di subfolder MUSIC yang sebenarnya bisa kita bikin sendiri dari komputer. Jadi ia hanya bisa memainkan file satuan yang disimpan di folder ini. Kalau mau memainkan satu album secara utuh dan berurut, kita harus mengaturnya secara manual, agar nanti terdengar secara sekuensial.

Kualitas suara mp3 playernya standar. Artinya, ini seperti Walkman biasa tanpa equalizer. Suara terdengar jelas, tapi enggak bikin kita tertegun karena sangat jernih atau canggih berkat hasil pabrikan yang hebat. Tapi minimal alat ini bisa menyetel album atau lagu favorit kamu.

Yang paling butuh kesabaran dari alat ini ialah bila kita mengopi file mp3/wma ke folder MUSIC, leletnya minta ampun. Rasanya lambat sekali. Entah kenapa begitu, padahal kalau kita mengopi file hasil rekamannya, kinerja normal. Dengan tuntutan akan kecepatan yang luar biasa di zaman ini, rasanya keterlaluan bahwa untuk mengopi file satu album saja kita butuh waktu beberapa puluh menit.

Secara keseluruhan alat ini memuaskan. Aku sudah menggunakannya di dua keperluan. Pertama di aula GKI Taman Cibunut, Bandung, tempat diskusi novel Only a Girl (Lian Gouw) yang menghadirkan sang penulis bersama Remy Sylado; kedua wawancara dengan Hari Utomo dari Planet Sains di Taman Ganesha. Hasilnya bagus; daya tangkapnya hebat. Aku bersyukur punya alat ini. Sekarang giliran pikir-pikir bagaimana cara membayar tagihan bulanan yang tertunda.[]

Anwar Holid bekerja sebagai penulis & editor. Buku barunya ialah Keep Your Hand Moving (GPU, 2010).

KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com