Wednesday, January 29, 2014


Poster dukungan Rumah Amal Salman ITB untuk Gerakan Jaket Untuk Tukang Becak -#JUTB.

Silakan, donasi berupa jaket, jas hujan, maupun uang bisa diserahkan ke Rumah Amal Salman ITB, Jl. Ganesha No. 7 Bandung.

No. rekening: 
Bank BNI Syariah no. rek. 700-700-2002 a/n YPM Salman ITB

Bisa juga ke alamat rumah saya:

Anwar Holid
Jalan Kapten Abdul Hamid, 
Panorama II No. 26 B Bandung 40141

No. rekening pribadi:
BCA KCP CIDENG BARAT no. rek.: 3971247183 A/N ANWAR HOLID

(Mohon konfirmasi bila Anda mentransfer.)

Link terkait:
* posting soal gerakan jaket untuk tukang becak - #jutb: http://bit.ly/19wtXjp
* page untuk dukungan Gerakan-Jaket-Untuk-Tukang-Becak-JUTB: http://on.fb.me/Kfmf1d

Thursday, January 16, 2014


[HALAMAN GANJIL]

R1 2014
--Anwar Holid

2014 adalah tahun panas bagi politik Indonesia. Karena itu harap lupakan Piala Dunia 2014 di Brasil. Selain karena kesebelasan nasional kita tak berlaga di sana, barangkali memikirkan persoalan bangsa sendiri lebih penting daripada cuma merasa ikutan pesta di luar lapangan sebagai penonton yang keminter dan suka jajan.

Ayo kita pilih baik-baik siapa yang sebaiknya jadi R1.

Calonnya sudah pada mengemuka. Bahkan dengan percaya diri---kalau bukan bermuka badak---mereka mengiklankan diri, berkampanye, entah secara terang-terangan atau terselubung lewat berbagai taktik dan kesempatan, apa pun istilahnya. Berikut ini barangkali yang sangat kentara:
Wiranto
Prabowo Subianto
Aburizal Bakrie
Surya Paloh
Megawati 
Hatta Rajasa
Rhoma Irama

Dari generasi lebih muda muncul nama seperti:
Sri Mulyani
Gita Wirjawan
Dahlan Iskan
Anies Baswedan
Jokowi

Nama-nama itu membuatku bertanya keras:
Apa hal terburuk yang bakal terjadi di Indonesia bila Prabowo Subianto jadi presiden?
Apa hal terburuk yang bakal terjadi di Indonesia bila Wiranto jadi presiden?
Apa hal terburuk yang bakal terjadi di Indonesia bila Aburizal Bakrie jadi presiden?
Apa hal terburuk yang bakal terjadi di Indonesia bila Surya Paloh jadi presiden?
Apa hal terburuk yang bakal terjadi di Indonesia bila Megawati jadi presiden?
Apa hal terburuk yang bakal terjadi di Indonesia bila Hatta Rajasa jadi presiden?
Apa hal terburuk yang bakal terjadi di Indonesia bila Rhoma Irama jadi presiden?

Memang kenapa kalau salah satu di antara mereka jadi presiden?
Apa militerisme akan mencengkeram lagi kalau Wiranto atau Prabowo jadi presiden?
Apa radikalisme Islam bakal meraja dan makin intoleran kalau Rhoma Irama jadi presiden?
Apa ekonomi Indonesia bakal langsung moncer kalau Hatta Rajasa atau Gita Wirjawan jadi presiden?
Apa rakyat Indonesia langsung bakal pinter dan pada meraih Hadiah Nobel kalau Anies Baswedan jadi presiden?
Apa kesebelasan nasional Indonesia bakal tembus ke Piala Dunia 2018 kalau Jokowi jadi presiden?

Seorang teman bilang, untuk jadi presiden Indonesia orang harus punya prestasi yang patut dibanggakan dan diandalkan. Aku sangsi dengan pernyataan itu. Ratu Atut yang katanya bodoh saja bisa jadi gubernur Banten dan petinggi Golkar. Megawati yang terlihat lebih suka mesam-mesem dan pemalu aja pernah mencicipi kursi presiden dan kini dia tetap enggak mau ketinggalan kereta.

Katanya untuk jadi pemimpin orang harus punya pengalaman politik yang hebat. Di Bandung entah bagaimana caranya Ridwan Kamil bisa memenangi pilkada, jadi walikota, mengalahkan Ayi Vivananda yang jauh lebih ahli dan senior di pemerintahan, yang sudah tahunan mengurus birokrasi dan masyarakat. Ini membuktikan pendapat itu invalid. Apa Ridwan Kamil menang karena disokong Prabowo Subianto, Gerindra, ormas-ormas, para relawan, dan PKS?

Di luar negeri, penyair, buruh, aktor, penulis, atau pastor bisa menjadi presiden. Apa hal seperti itu bisa terjadi pula di Indonesia? Kalau seperti itu, aku berharap Yusi Avianto Pareanom jadi presiden, semoga dengan begitu dunia literasi kita lebih menjanjikan.

Sebenarnya bukan itu yang benar-benar jadi perhatianku. Siapapun presiden Indonesia, terbukti kurang pengaruh buat kemaslahatan bersama. Mungkin di sini poinnya: pemilihan presiden nanti akan membawa perbaikan atau keterpurukan? Makanya kita perlu hati-hati, lepas dari semua janji para kandidat. Contoh simpel: meski suka bilang prihatin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono malah terbukti berkali-kali mencederai hati masyarakat, entah dengan menaikkan harga BBM, kasus korupsi yang menyerempet partai dan anaknya, juga sikapnya yang dinilai lamban dan lembek.

Jujur saja aku lebih kuatir tahun panas politik Indonesia demi mencari seorang presiden malah menghabiskan energi, pikiran, konsumsi, dana, sehingga membuat kita hilang akal dan jadi mengabaikan banyak agenda penting dan utama yang mestinya lebih dulu dibereskan. Contoh:
* Persiapan Indonesia jadi Guest Of Honor Frankfurt Book Fair 2015 yang menurut berbagai pihak masih berantakan, enggak jelas, termasuk soal dana dan belum ketahuan Indonesia mau ngapain di peristiwa paling besar industri perbukuan dunia itu.

* Persoalan korupsi parah yang malah kerap berubah jadi komoditas politik berlarut-larut, bukan dibereskan tanpa tedeng aling-aling, mendasar, dan tuntas.

* Kesejahteraan sosial. Kalau tukang becak enggak bisa beli jas hujan, lapak kaki lima bikin kumuh jalanan, gerobak jualan berserakan di pinggir jalan, kondisi bus kota dan angkot mengkhawatirkan, sampah numpuk di mana-mana, pencemaran lingkungan, itu artinya kita masih punya masalah sosial parah. Jangankan tingkat nasional, di tingkat lingkungan sekitar rumah dan kota saja terlalu kentara.

Bisakah hal-hal seperti itu beres sebelum SBY mengakhiri masa kepresidenannya? Aku sangsi. Soalnya aku tahu manusia terbukti mudah berkelit dari prasangka dan gampang menghindar dari prediksi. Itu sebabnya kontes mencari seseorang jadi R1 2014 jadi penting, lebih penting dari Piala Dunia.[]

Anwar Holid, berprofesi sebagai editor, penulis, dan publisis.

Wednesday, January 15, 2014


[Resensi Buku]

Islam, Budaya, dan Pendidikan

Peresensi: Imam Jahrudin Priyanto
Media: Pikiran Rakyat, Rabu, 8 Januari 2014

Sebagai ilmuwan, Profesor A. Chaedar Alwasilah sangat rajin menuangkan hasil pemikirannya lewat tulisan, baik di media nasional berbahasa Indonesia seperti Pikiran Rakyat maupun media berbahasa Inggris seperti The Jakarta Post. Menghiasi tahun 2014 ini dia meluncurkan buku berisi kumpulan tulisan berbahasa Inggris untuk edisi internasional, terutama ditujukan kepada pembaca luar negeri.

Buku berjudul Islam, Culture, and Education: Essay on Contemporary Indonesia ini secara resmi diluncurkan di Gedung Pascasarjana Universita Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, pada Senin, 23 Desember 2013. Pembahas bukunya ialah Deddy Mulyana (Dekan Fikom Unpad) dan Don Faust (Northern Michigan University, AS). Pada Oktober 2013, buku ini juga telah diikutsertakan pada Frankfurt Book Fair, Jerman, yang merupakan pameran buku terbesar di dunia.
___________________________________________________________
INFO BUKU

Judul: Islam, Culture, and Education - Essay on Contemporary Indonesia
Penulis: A. Chaedar Alwasilah
Format: Hard cover; 437 + xxvi hal.
Penerbit: Rosda International, 2014
ISBN: 978-979-692-453-0
Harga: Rp.107.000,- (dalam negeri); US$19,90 (internasional)

Pemesanan: (022) 5200287 atau pemasaran@rosda.co.id
___________________________________________________________

Terdiri dari 78 bab mengenai berbagai topik, buku ini dibagi dalam empat bagian utama, yaitu Down to Earth with Islam, Education, Language Education, dan Culture. Dalam konteks Islam, Chaedar antara lain membahas Pancasila, haji, radikalisme, Ramadan, dan Idulfitri.  Untuk pendidikan, Chaedar membahas pengajaran, kurikulum, pragmatisme, dan kiprah guru. Dalam konteks  kebudayaan, Chaedar antara lain mengupas birokrasi, holiganisme, surat kabar komunitas, korupsi di kalangan akademisi, dan debat presiden. 

Don Faust menilai para pembaca buku ini di berbagai negara akan menjadi saksi betapa pentingnya hasil pemikiran Chaedar. Sementara Lauren Zentz (seorang linguis dari University of Houston, AS) dalam kesaksiannya menulis, Chaedar menyajikan kritik penting yang cerdik (Zentz memilih kata astute ‘cerdik’) menyangkut dunia pendidikan dan pengajaran bahasa di  Indonesia. Disajikan secara jernih dalam bahasa Inggris, buku ini akan menjadi koleksi ilmiah berharga bagi para pencinta ilmu. (Imam JP/”PR”)

Link terkait:
* Reportase launching buku Islam, Culture, and Education: http://bit.ly/19c5j4O
* Info awal buku ini: http://bit.ly/1cVgGzD

Cerita Pendek

Air Mata Debu
--Utomo Priyambodo

Alkisah di suatu zaman, terdapatlah sebuah negeri yang alamnya kaya raya. Segala macam ikan hidup di perairannya. Segala macam tumbuhan tumbuh subur di tanahnya. Namun, sayangnya rakyat di negeri itu tidaklah merasa bahagia hidup di sana. Bahkan sebaliknya, rakyat yang tinggal di sana justru sering bersedih dan bersusah hati.

Konon, di  negeri  tersebut, ada suatu pasukan militer tersendiri yang dibuat oleh jajaran petinggi pemerintah, khusus untuk menangani kesedihan dan kesusahan hati rakyatnya. Pasukan ini terbentuk diawali dengan munculnya fenomena unik pada rakyat yang tinggal di negeri tersebut. Rakyat yang tinggal di sana tiba-tiba saja mulai memiliki kebiasaan janggal ketika mengalami kesedihan dan kesusahan hati. Yakni, apabila mereka menangis akibat kesedihan dan kesusahan hati yang mereka alami, maka akan keluarlah dari mata mereka butir-butir debu, bukan lagi bulir-bulir air mata.

Awalnya, kejadian janggal ini tak menjadi persoalan sama sekali bagi petinggi-petinggi pemerintah berikut para menteri dan rajanya. Akan tetapi, karena kejadian ini merupakan hal yang unik, beritanya kemudian tersebar kepada dunia internasional. Lalu para petinggi pemerintah di negeri itu pun mulai merasa gusar dan malu ketika negeri-negeri lain semakin banyak yang mengetahui bahwat rakyat di negerinya sering menangis, sering bersedih dan bersusah hati. Tentu hal ini akan menjadi sebuah wacana besar yang memalukan apabila media-media massa internasional mulai banyak memberitakan bahwa rakyat di negerinya tidak bahagia. Itu akan menimbulkan anggapan bahwa pemerintahannya tidak cakap dan bijaksana.

Seorang kuli tinta dari negeri tetangga, sebut saja namanya Tarmujo, mencoba memasuki negeri yang terkenal kaya akan sumber daya alamnya itu. Ia berusaha mengumpulkan berita sebanyak-banyaknya dengan menemui langsung rakyat di negeri tersebut.

Tibalah Tarmujo di sebuah dusun yang indah tetapi terasa sendu. Dusun itu dikenal dengan nama dusun Alamsia. Entah mengapa namanya Alamsia, Tarmujo sendiri belum sempat untuk mendalami filosofi dan sejarah dusun tersebut. Ia hanya bisa menebak-nebak, barangkali dinamakan Alamsia karena kekayaan alam yang indah dan melimpah di dusun itu terasa sia-sia saja karena tidak bisa membuat penduduknya bahagia. Tapi itu barulah hipotesis seorang Tarmujo.

Di hari pertamanya tiba di dusun Alamsia itu Tarmujo segera mencoba untuk memawancarai warga penduduk dusun sebanyak-banyaknya. Setiap orang yang ia wawancarai akhirnya secara alami membeberkan berbagai keluhannya terhadap pemerintahan negerinya sendiri ketika itu. Seorang ibu paro baya bahkan sampai menangis tersedu-sedu ketika ia dengan penuh emosional menyebutkan berderet kejengkelannya terhadap pejabat-pejabat pemerintah negerinya. Dan benar saja apa yang tengah menjadi trending topic berita internasional! Ketika ibu itu menangis, keluarlah butiran-butiran debu dari kelopak matanya. Tarmujo benar-benar terkejut, tapi juga iba mendengar keluhan si ibu.

“Coba ya mas, bayangkan! Kok bisa sih ada pejabat di teve yang malah nyuruh rakyat seperti saya ini untuk hidup lebih sederhana lagi?! Hiks...” deru ibu paro baya itu. “Lha wong gak usah disuruh gitu selama ini kami juga udah hidup secara sangat sederhana, bahkan kekurangan. Mana bisa orang kayak saya ini berhura-hura. Lha wong untuk makan saja susah. Ini malah disuruh hidup sederhana lagi. Mbok yo orang susah kayak saya ini dibantu, bukan malah disuruh hidup lebih susah lagi. Kami ini udah biasa hidup prihatin, lebih daripada sederhana. Tanpa disuruh pejabat itu pun hidup kami sudah prihatin.”

Tarmujo melihat butiran debu bergulir dari mata ibu itu. Ia terkesima.

“Gini nih mas kalau kita salah pilih pejabat. Tapi rasa-rasanya saya juga nggak pernah pilih pejabat kayak gitu kok. Pejabat yang saya pilih itu sih yang pernah janjiin kepada penduduk dusun ini untuk selalu memperhatikan dan menolong rakyat kecil seperti saya ini. Tapi saya juga lupa siapa ya kemarin yang saya pilih. Semuanya sama, waktu kampanye semua berjanji akan memperhatikan dan menolong rakyat kecil.”
Tarmujo menawarkan selembar tisu basah untuk si ibu. Itu untuk membasuh butiran-butiran debu yang keluar dari matanya dan yang tersisa di pipinya.
“Ya kalau pejabat itu itu benar-benar pejabat wakil rakyat, seharusnya dia dong yang berkorban untuk kami. Kenapa nggak dia kasih gajinya untuk kamisaja yang rakyat kecil ini?! Setelah itu, seharunya dialah yang mesti belajar hidup sederhana menemani kami.”
Tarmujo mengangguk-anggukkan kepalanya. Benar juga logika ibu itu, pikir Tarmujo. Secara penuh ia sepakat dengan si ibu.
“Begini ya, mas, saya bukannya kepingin banyak ngeluh, tapi keadaannya emang susah hati buat kami di sini. Mas bisa tanya deh penduduk yang lain, pasti nggak jauh beda sama saya. Kami ini udah gemes banget, selalu dikecewakan oleh janji-janji wakil rakyat sejak dulu-dulu!”

Tarmujo mengulurkan sebuah tisu basah lagi kepada ibu paro baya itu. Butir-butir debu masih melekat di bawah matanya. Alamak, berapapun tisu basah tak akan berguna jika si ibu masih saja menangis.

Berselang tujuh menit, akhirnya tangis si ibu mulai mereda. Berbagai caci maki untuk pemerintah terlontar begitu saja dari lidah si ibu. Lidah yang memiliki saraf motorik yang terhubung oleh otak yang telah mengumpulkan berbagai data dari saraf-saraf sensorik di berbagai bagian tubuh.

Tarmujo cukup senang dengan hari pertamanya di dusun Alamsia itu karena ia telah mendapatkan banyak data hasil wawancaranya dengan sejumlah penduduk desa. Namun, di sisi lain Tarmujo juga merasa sedih dengan keadaan warga dusun yang tidak bahagia di atas tanah yang kaya dengan sumber daya alam melimpah ruah dan indah.

Pada hari kedua, Tarmujo kembali mewawancarai penduduk desa lainnya. Bahkan, ia juga sempat mewawancarai sang kepala desa. Dan alangkah terkejutnya Tarmujo ketika kepala desa di dusun Alamsia ini ternyata buta.
“Maaf pak, apakah Bapak tahu apa saja yang tengah dirasakan oleh penduduk desa bapak?” tanya Tarmujo to the point.
Sang kepala desa yang tunanetra itu tersenyum, “Tentu saja saya tahu, dik. Meskipun saya buta tapi saya masih punya hati untuk bisa merasakan keadaan warga penduduk saya.”
“Kalau saya boleh tahu, sejak kapan Bapak menjadi kepala desa ini? Dan, maaf, sejak kapan bapak tidak bisa melihat?”
Sang kepala desa menghela napasnya beberapa kali. Kemudian beliau mendongakkan kepalanya. Meskipun matanya tak berfungsi lagi, mata beliau terlihat seolah-olah menerawang ke atas dan tampak berkaca-kaca.
“Begini, dik Tarmujo, ketika saya terpilih menjadi kepala desa ini, mata saya masih normal. Hingga kemudian…”

***

Pak kepala desa bimbang menimbang apa keputusan yang akan diambilnya besok. Titah dari pak bupati sudah jelas dan terang. Bukan lagi abu-abu, tapi adalah hitam menurut hati nurani pak kepala desa. Pak kepala desa tidak mau melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kebenaran yang diyakini oleh hatinya. Tapi itu adalah titah pak bupati, atasannya, kepadanya dan juga kepada kepala desa lainnya. Mesti bagaimana? Apa bisa ia menolaknya?

Pak kepala desa akhirnya menolak melaksanakan perintah pak bupati. Pak bupati geram. Tak lama akhirnya pak bupati menon-aktifkan pak kades. Tapi pak kades protes. Beliau justru melaporkan segala penyelewengan yang dilakukan oleh pak bupati kepada pihak penyidik. Beliau  membeberkan semua kebusukan pak bupati yang telah dilihatnya, semua kebusukan yang diketahuinya. Pak bupati pun semakin geram. Namun untuk menjaga nama baiknya, pak bupati mengiming-imingi pak kades agar menarik kembali laporannya kepada pihak penyidik dengan imbalan pak kades tak jadi dinon-aktifkan. Pak kepala desa akhirnya kembali menjadi kepala desa. Namun, ternyata, meski tak jadi dinon-aktifkan, pak kades tidak menarik kembali laporannya. Pak bupati tak punya pilihan lain. Di suatu malam ketika pak kades tengah beri’tikaf di sebuah masjid desa, ia didatangi oleh beberapa pria berjubah hitam. Pak kepala desa ditarik ke luar dan kemudian matanya pun ditarik ke luar juga.

“Kau tak bisa jadi saksi mata apa pun sekarang!” gema beberapa pria berjubah itu.

***

“Lalu Bapak melaporkan kejahatan yang dialami bapak malam itu?”
“Tidak bisa, dik. Percuma saja saya melapor, sedang tak ada saksi mata satu pun saat kejadian di malam itu. Dan saya sudah tak bisa lagi menjadi saksi mata untuk kejahatan yang saya alami sendiri.” Pak kades terlihat murung. Meski kelopak matanya tertutup kaca mata hitam, Tarmujo bisa merasakan kegelapan dan kesedihan yang begitu mendalam dari dirinya.

Tiba-tiba dari balik kaca mata hitamnya keluarlah butiran-butiran debu.

“Sayalah orang pertama di dusun ini, bahkan mungkin di negeri ini, yang mengeluarkan debu ketika menangis. Mungkin itu karena saya tak bisa menghasilkan air mata lagi sebab mata saya telah tercerabut, jadilah Tuhan menggantikannya dengan debu-debu.”
Tarmujo sangat kaget mendengar hal itu.
“Sangat perih, dik. Menangis dengan mengeluarkan butiran debu itu sangat perih rasanya. Gesekan butiran debu pada kelopak mata itu sangat perih. Apalagi kalau saya masih punya bola mata yang bergesekan dengan butiran debu-debu kasar yang memaksa keluar. Tak sehalus air mata, dik. Pasti warga saya sangat perih merasakannya.”

Tarmujo kembali tercengang. Ia baru saja menyadari tentang keperihan yang lebih besar yang ditimbulkan oleh butiran debu dari mata itu.

“Kalau saya bisa mengendalikan mata saya ini, tentu saya memilih untuk tidak menangis saja karena rasanya sangat perih. Begitupun dengan warga saya, pasti mereka juga memilih seperti itu. Tapi sering manusia seperti kita ini tak bisa lagi menahan kesedihan yang berat dalam hati. Terkadang kita perlu melepaskannya. Kita perlu meluapkannya juga seperti anak kecil cengeng minta permen atau bayi kecil yang lapar.”

Tarmujo mengangguk-angguk, tanda dapat memahami maksud pak kepala desa.
Hari semakin senja. Langit semakin gelap, mungkin juga segelap dengan apa yang dilihat oleh pak kades di setiap waktu dalam hari-harinya saat ini.

Tarmujo pamit pulang. Besok ia akan berangkat ke dusun lain atau bahkan ke pusat kota. Wawancara dengan penduduk dusun ini sangatlah mengharukan dan membuatnya sendu. Semalaman ia tak bisa tidur terngiang-ngiang oleh cerita pak kepala desa kepadanya.

Apa jadinya bila penduduk di negeriku sana, termasuk aku, juga menangis mengeluarkan butiran debu seperti penduduk di negeri ini? Syukurlah air mata kami masih normal dan masih bisa berbahagia, batin Tarmujo sendu.

Pagi menguning, matahari mulai ke luar dari selimutnya. Tarmujo telah siap dengan ransel perjalanannya. Ia akan segera pergi meninggalkan dusun Alamsia itu. Ia pamit kepada setiap penduduk desa yang dijumpainya. Bus menuju kota ia naiki dan hening kemudian menggelayuti perjalanannya. Hanya deru mesin dan sesekali klakson kendaraan yang mengiringi senyap pikirannya.

Keadaan kota di negeri itu ternyata sangat berbeda dengan keadaan desanya. Di kota Tarmujo melihat segala sesuatunya serba cepat, kecuali macet kendaraan di jalannya. Setiap orang terlihat bagai diburu waktu. Semua tergesa-gesa. Semua terburu-buru. Seolah-olah setiap orang ingin melakukan semua hal dalam satu hari itu. Tarmujo kemudian melihat sebuah gedung tinggi yang seolah berpuncak emas. Apakah itu emas sungguhan? Mubazir sekali kalau emas sebesar itu justru dijadikan bahan bangunan, pikir Tarmujo. Lebih baik kalau emas itu dijual saja dan diberikan untuk kesejahteraan desa Alamsia, pikir Tarmujo lagi. Ah, gedung-gedung dan rumah-rumah bertingkat yang lain di kota ini juga terlalu mewah menurut Tarmujo. Menurutnya, seharusnya dibuat sederhana saja, dan sisa uangnya disumbangkan untuk penduduk Alamsia. Mereka lebih membutuhkan.

Tarmujo membeli sebuah surat kabar di pinggir jalan. Ia membaca: "Mulai hari ini pemerintah melarang setiap penduduk untuk menangis, terutama bagi yang berusia di atas 17 tahun.” Apa-apaan ini? Menangis itu kan manusiawi. Peraturan yang tak masuk akal! Hujat Tarmujo dalam hati.

Di halaman lain di koran yang dibelinya, Tarmujo membaca: “Pasukan khusus anti tangis mulai memasuki desa-desa.” Dan di halaman lain tertulis: “Sidak tangis butiran debu mulai diberlakukan hari ini. Yang tertangkap muka telah menangis akan dihukum.” Apa lagi ini? Negeri macam apa yang melarang dan menghukum orang yang menangis?

Tarmujo mengeleng-gelengkan kepalanya semakin sering. Ia melihat seorang bapak di sebelahnya juga menggeleng-gelengkan kepalanya ketika membaca koran yang sama.
“Pemerintah guoblok! Kok orang nangis yang kena hukum? Harusnya orang korup yang dihukum!” hujat bapak itu dengan suara yang cukup keras hingga membuat orang-orang di sampingnya, termasuk Tarmujo, menoleh kepadanya. “Edan! Edan!” cerca bapak itu lagi.
Tarmujo tersenyum geli. Namun selain itu ia pun tersenyum senang karena menemukan seorang penduduk negeri ini yang memiliki permikiran serupa dengannya. Tarmujo kemudian bertanya kepada loper koran di hadapannya, di mana lokasi gedung istana kerajaan maupun gedung parlemen kerajaan berada. 

Kedua tempat itu kemudian Tarmujo datangi. Namun sayang, ia tak bisa memasuki satu pun gedung yang telah didatanginya. Kedua gedung itu sama-sama dijaga ketat oleh penjaga-penjaga bersenjata berwajah kaku. Layaknya robot tentara yang tak kenal negosiasi dengan siapapun. Bahkan mungkin tak kenal kompromi dengan apa pun.
Tarmujo agak kecewa. Progres tugas kewartawanannya hari ini dapat dibilang hampir nol. Hanya sepotong berita koran yang ia dapatkan. Ia tak bisa mewawancarai narasumber satu pun secara langsung. Ia benar-benar ingin menemui salah seorang pejabat tinggi negeri itu.

Senja telah berganti. Malam mulai menyelimuti. Tarmujo rindu pada negeri asalnya. Negeri yang sederhana, tapi suasananya menenteramkan hati. Tidak kaya raya, tapi tak ada kesenjangan sosial yang tinggi. Semua orang bisa merasa damai dan mengekspresikan perasaannya secara bebas juga bertanggung jawab.

Malam itu ia menginap di sebuah losmen melati yang dari kamarnya ia tak sengaja mendengar desahan dan erangan sepasang muda-mudi di kamar sebelah. Di sisi satunya ia mendengar gema tawa dan dentingan botol yang menyelinginya. Ah, betapa tak damai hidup di antara kemaksiatan seperti ini. Pantas saja kalau negeri ini jadi tak tenteram.

Tarmujo jadi banyak membandingkan negerinya dengan negeri yang sedang dikunjunginya itu. Negeri yang ia kunjungi sebenarnya sangatlah kaya raya. Namun, kekayaan yang dimilikinya hanya dapat dinikmati oleh sebagian orang, bahkan mungkin sangat segelintir.

Malam itu Tarmujo jadi banyak merenung dan berpikir. Ia sudah tak pedulikan lagi suara-suara kemaksiatan yang terdengar dari kamar-kamar sebelah. Ia banyak bersyukur dengan negeri yang dimilikinya di seberang sana. Sederhana saja, tapi bersahaja. Toh buktinya tidak selamanya kaya raya itu berarti bahagia. Yang lebih penting ternyata adalah nilai-nilai kesahajaan. Tak lama kemudian akhirnya mata Tarmujo benar-benar terpenjam oleh cahaya bulan. Lampu kamar telah lama padam. Cahaya bulan yang menembus jendela kamarnya yang terbuka pun akhirnya justru membantu mata Tarmujo lebih cepat terpejam.

***

“Berita besar! Berita besar! Ada kabar bahwa semalam sang raja menangis!”
Tarmujo secara refleks langsung menoleh ke arah sumber suara.
“Berita besar hari ini! Raja menangis!” teriak loper koran itu lagi.
“Mas, saya mau satu,” ujar Tarmujo yang kemudian dilanjutkan dengan transaksi jual-beli surat kabar tersebut.

Loper koran itu tidak berdusta. Koran memberitakan dan memperlihatkan sebuah foto bahwa raja negeri ini kedapatan sedang menangis. Tidak disebutkan dari mana sumber foto tersebut. Hanya dituliskan bahwa sang pemotret adalah fotografer rahasia yang menyamar dalam kerajaan.

Semangat jurnalisme Tarmujo kembali membara. Ia bertekad harus dapat mewawancari salah satu penghuni istana, siapapun orangnya. Langkah kaki Tarmujo mulai mengayun ke arah istana kerajaan.

Namun, seperti biasa pengawal istana menjaga ketat gerbang dan melarang masuk siapapun orang tanpa janji dengan raja, termasuk Tarmujo. Tarmujo tidak lantas putus asa. Bila tidak bisa masuk istana, berarti ia harus menunggu raja ke luar dari istana. Tarmujo menunggu dan mengawasi istana dari sebuah kedai kopi pinggir jalan dekat istana. Lama berselang masih juga tak ada perubahan lanskap dari gerbang depan istana tersebut, kecuali matahari digantikan bulan dan penjaga istana yang berganti orang.
Tarmujo mulai merasa bosan dan mengantuk meski kopi bergelas-gelas telah ia minum. Hampir saja Tarmujo tertidur hingga kantuknya seketika hilang ketika ada berita dari radio di kedai kopi tersebut.

“Paduka raja bukan menangis biasa. Adalah sebuah anugerah dari tangisan paduka raja dapat ke luar berbutir-butir mutiara.”
Tarmujo menganga.
“Demikianlah kilas berita kali kini. Selamat menikmati kembali tembang-tembang plihan kami.”
Orang lain yang berada di kedai kopi tersebut juga dibuat heboh oleh berita barusan. Mereka langsung membahasnya. Satu per satu pengunjung menambah pesanan kopi. Tampaknya mereka memutuskan singgah lebih lama lagi di situ. Lebih lama lagi mengobrol, sebab tiba-tiba muncul topik yang sangat menarik untuk dibahas. Tarmujo ikut mendengarkan saja. Ia merasa kurang sopan jika ikut nimbrung dan memotong pembicaraan orang lain, sebab ia bukan penduduk asli. Mengapa paduka raja mengeluarkan butiran mutiara ketika menangis, sedangkan rakyatnya mengerluarkan butiran debu? Pertanyaan menjalar dalam dada Tarmujo. Ia semakin penasaran untuk bisa memasuki areal istana dan mewawancarari salah satu penghuninya, bahkan kalau bisa sang paduka raja.

“Walah dalah, ajaib sekali raja bisa nangis mutiara.”
“Iya, ya. Coba kalau kita juga bisa nangis mutiara, bisa kaya mendadak kita semua!”
“Mudah-mudahan mutiara yang ke luar tidak dinikmati sendiri ya.”
“Iya banget lah. Setuju!”
“Eh tapi kalau raja nangis, beliau kena hukuman juga enggak? Kan beliau sendiri yang buat peraturan dilarang menangis bagi orang dewasa.”
“Iya, ya. Kecuali kalau beliau kebal hukum.”
“Eh sampeyan bukan warga sini ya?” tanya seorang bapak paro baya kepada Tarmujo. Bapak tambun itu agak curiga melihat gerak-gerik Tarmujo yang mendekati kerumunannya dan menguping obrolan mereka.
“Eh, iya, pak. Saya dari negeri seberang. Perkenalkan nama saya Tarmujo,” jawabnya ramah.
“Oh, begitu. Sampeyan kalau mau gabung nimbrung aja sini jangan malu-malu.”
“Oh iya, pak. Makasih.” Tarmujio segera memindahkan posisi duduknya.
“Sampeyan lagi ngapain ke sini?”
“Tugas reportase, pak.”
“Ohhh... wartawan?”
“Begitulah, pak.”
“Mau liput berita apa?”
“Tentang air mata debu, pak.”
“Yah sekarang sih sudah enggak zaman berita soal air mata debu. Udah heboh air mata mutira, boy!”
“Iya, pak. Saya juga barusan dengar beritanya.”
“Oh, terus sampeyan sampai daerah sini mau pergi masuk istana?”
“Rencananya begitu, tapi enggak diperbolehkan oleh penjaga istananya.”
“Ya memang begitu. Ha ha ha...”

Malam itu Tarmujo begadang di kedai kopi dan ketika subuh ia tertidur hingga jarum jam pendek dan panjang membentuk siku-siku pada angka 9 dan 12.
“Sampeyan sudah bangun toh mas?” tanya bapak tua pemilik kedai.
“Bapak-bapak yang lain mana, pak?”
“Ya, sudah balik, mas. Mereka kan punya keluarga dan mesti kerja juga pagi-pagi gini.”
“Lha semalam kan mereka begadang bareng saya juga, pak?”
“Ya tapi kalau enggak kerja keluarganya mau dikasih makan apa? Kata orang bule mah play hard work harder.”
“Oh iya, pak, kantor polisi dekat sini di mana ya?”
“Ada apa, mas? Kehilangan barang?”
“Oh enggak, saya mau mewawancarai polisi saja.”
Si bapak tua kemudian menunjuk-nunjukkan jarinya ke arah jalan panjang yang membentang di depan kedai, dan membelok-belokkan tangannya beberapa kali. Tarmujo cepat mengerti penjelasan lokasi darinya. Ia pun pamit dan bayar kopi yang dia pesan beberapa kali dan kacang yang bertali-tali.
“Terima kasih ya pak kopi dan kacangnya.”
Baru saja Tarmujo ingin melangkahkan kaki ke luar, sebuah berita berkumandang dengan merdu. “Kilas berita pagi ini. Beberapa pejabat istana kedapatan menangis di ruang kerja. Tidak diketahui penyebabnya. Seorang pejabat mengaku dirinya sendiri tak mengerti kenapa menangis. Beliau hanya merasa tiba-tiba ingin menangis. Demikian kilas berita kali ini, terima kasih.” Berita itu membuatnya berdiri diam terpaku di depan pintu tak berdaun ke luar kedai. Hanya ada rangkaian bambu memanjang di kedua sisi, memberi celah yang membuatnya layak dianggap sebagai pintu ke luar-masuk.

Berita selesai berkumandang; Tarmujo segera melenggang. Akhirnya pintu keluar itu ia lewati. Tarmujo tampak begitu bersemangat; si bapak tua pemilik kedai hanya tersenyum dan menggangguk.

***

“Selamat siang, pak. Saya Tarmujo dari Daily Newspaper. Dapatkah saya mewawancarai salah seorang pejabat kepolisian di sini terkait dengan aturan larangan menangis?” tanya Tarmujo kepada seorang berseragam polisi.
“Oh, saya bukan petugas kepolisian di sini, mas.”
“Tapi bapak pakai seragam polisi?”
“Apa orang yang pakai seragam timnas sepakbola lantas disimpulkan pasti seorang pemain timnas?”
“Ehm. Ya, belum tentu, pak.”
“Ya, begitu pun seragam polisi.”
Bapak itu kemudian segera berlalu. Tarmujo menemui seorang bapak lain yang berseragam polisi juga.
“Selamat siang, pak. Saya Tarmujo dari Daily Newspaper. Dapatkah saya mewawancarai salah seorang pejabat kepolisian di sini terkait dengan aturan larangan menangis?”
“Oh, saya sekarang tidak sedang bertugas, mas. Saya sedang cuti.”
“Tapi bapak pakai seragam polisi?”
“Iya, saya belum melepasnya. Sebab baru tadi saya ambil surat cutinya.”
“Bapak bisa memberi rekomendasi siapa yang sebaiknya dapat saya temui?”
“Wah, rekan saya yang sedang bertugas di kantor ini sepertinya sedang sibuk semua. Lebih baik mas buat janji dulu.”
“Bagaimana saya bisa membuat janji kalau tak bisa menemui satu pun polisi di sini?”
“Ya, kalau mas mau janjian dengan saya, saya mau kok diwawancarai setelah cuti saya selesai.”
“Kapan itu pak?”
“Tiga bulan lagi.”
“Tidak, pak. Terima kasih,” jawab Tarmujo dan kini ialah yang berlalu.

Dua anggota polisi atau tepatnya dua orang berseragam polisi yang Tarmujo temui barusan benar-benar telah membuat hatinya jengkel. Di negaranya, polisi sangat ramah dan sangat melayani. Entahlah, ia kembali merasa rindu pada kampung halaman di negeri seberang darinya sekarang.

Hampir saja ia menjauh pergi dari kantor polisi, namun teringat akan tugasnya. Ia harus menyelesaikan tugas ini dengan segera agar dapat segera pula pulang kampung, ke negeri halaman tercinta.

Ia berbalik lagi. Sepatu tracking-nya mendecit. Kantor polisi kembali ia masuki. Di sana ada beberapa polisi. Dengan sedikit memilih berdasarkan perasaan, Tarmujo menghampiri petugas berkaca mata dan berkumis tipis, serta tampak sedikit sudah tua.
“Selamat siang, pak. Saya Tarmujo dari Daily Newspaper. Dapatkah saya mewawancarai salah seorang pejabat kepolisian di sini terkait dengan aturan larangan menangis?”
“Kebetulan komandan saya tidak sedang di tempat. Tapi kemungkinan jam satu nanti beliau akan datang. Kalau mas mau menunggu, silakan duduk-duduk dulu di sini,” jawab bapak itu ramah. Tarmujo senang melihat keramahan senyum dan suaranya. Namun, ia kurang senang harus menunggu tiga jam lebih hingga pukul satu nanti.
“Baik, pak. Saya akan menunggu di sini. Kalau boleh tahu siapa nama bapak?”
“Saya Muhaimin.”
“Mungkin bapak tahu kenapa tiba-tiba ada peraturan larangan menangis di negeri ini?”
“Saya tidak berani menjawab, mas. Saya bukan petinggi kepolisian. Tidak pantas.”
“Oh, baik pak. Mungkin kita ngobrol yang lain saja.”
“Ya, itu lebih baik, mas. Terkadang kita perlu ngobrol di luar hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan toh. Biar bisa bikin pikiran lebih awet muda.”
“Ha ha ha, bapak bisa saja.”
Tarmujo tersenyum menyeringai, sedikit merasa tersindir juga. “Ngomong-ngomong bapak sudah punya anak berapa nih?”
“Wah, saya malah udah punya dua cucu, mas. Tahun depan saya sudah mesti pensiun juga.”
Pantas kelihatan sudah sedikit tua, pikir Tarmujo. Namun, masih termasuk lebih awet muda juga untuk ukuran orang berusia yang tahun depan sudah harus pensiun kerja, 54 tahun.

Tanpa terasa sudah dua jam Tarmujo mengobrol dengan si bapak. Memang benar kata temannya yang seorang psikolog, bahwa orang yang usianya telah menginjak masa tua akan senang sekali bicara dan bercerita. Mereka yang menginjak masa tua sangat senang bila ada seseorang mau mendengarkan obrolannya, mendengarkan ceritanya.

“Kilas berita kali ini. Gelombang massa yang cukup banyak memadati depan gedung istana. Menurut pengakuan salah seorang di antara massa tersebut, mereka berniat untuk berunjuk rasa menuntut kesamaan hak dan kedudukan dalam hukum.”
Percakapan antara Tarmujo dengan pak polisi yang agak tua tadi terhenti.
“Hal ini dipicu oleh berita tentang banyaknya pejabat istana kedapatan menangis, namun tak satu pun dari mereka mendapat hukuman. Demikianlah kilas berita kali ini.”
“Itu juga yang ingin saya tanyakan dalam wawancara saya, pak,” ungkap Tarmujo.
“Huss! Jangan bicara soal pekerjaan lagi, mas,” potong pak polisi tersebut.
“O iya, maaf pak.”
“Mas Tarmujo sudah menikah?”
“Belum, pak.”
“Saya dulu tuh ketika seusia mas Tarmujo sudah menikah lho. Waktu dulu...”
Si bapak polisi itu pun mulai kembali menceritakan kisah hidupnya. Tarmujo kembali menyimak, meski terkadang ada yang diulang-ulang. Mungkin cerita itu memang demikian sangat berkesan dalam ingatan si bapak, atau mungkin ia lupa pernah bercerita sebelumnya. Tarmujo tertawa dalam hati apabila hipotesis kedualah yang benar.

Jam dinding di ruangan itu sudah menunjukkan pukul satu lebih lima menit. Tarmujo menanyakan kegusarannya.
“Pak, komandan bapak belum juga datang ya? Padahal sudah jam satu ini.”
“Ah, iya mas. Tadi sih kabarnya jam satu beliau sudah akan datang ke sini lagi.”
“Memangnnya beliau sedang apa pak?”
“Tadi ada rapat koordinasi kepolisian pusat. Seluruh jajaran petinggi kepolisian dikumpulkan oleh panglima satu.”
“Wah, pasti ada sesuatu yang sangat besar untuk dibahas dalam skala rapat demikian besar itu ya, pak?”
“Ya, begitulah. Mas kan sudah dengar sendiri juga masalah yang sedang in di negeri ini.”
“Oh terkait berita tadi, pak?”
“Ya begitulah,” kata si bapak pelan. “Eh, kok jadi ngomong pekerjaan lagi ya?” ungkitnya sendiri.
“Sepertinya manusia seperti kita memang enggak bisa, dan sebaiknya memang tidak, saling membatasi bahan obrolan, pak. Mengalir saja, ikuti naluri lidah dan pikiran kita. He he he,” ujar Tarmujo.
Gantian. Kali ini polisi itulah yang terperangah.
“Mengungkapkan apa yang ingin kita ungkapkan, menceritakan apa yang ada di pikiran itu, tanpa dibatas-batasi, bisa membuat kita lebih awet muda toh, pak?” tandas Tarmujo lagi.
Si bapak akhirnya menangguk-angguk.

Hingga petang, komandan polisi yang ditunggui Tarmujo tidak kunjung datang. Tarmujo pun memilih beranjak pergi. Pak polisi itu merasa rikuh kepadanya yang menunggu selama itu namun tak mendapatkan apa yang ditungguinya. Tarmujo juga merasa sungkan mesti pergi, padahal pak polisi itu terlihat masih ingin mengobrol lebih banyak lagi dengannya. Orang baik memang sering sama-sama merasa tidak enak kepada orang lain.

Malam itu Tarmujo kembali menginap di losmen melati semula. Tak ada pilihan lain karena itu losmen termurah yang ia temui sepanjang perjalanannya. Malam itu ia kembali mendengar desahan muda-mudi dan dentingan botol berkali-kali. Cukup bersikap tuli dan pejamkan mata hingga seluruh tubuh terlelap sendiri, itulah yang dilakukan Tarmujo.

Matahari kembali bersinar dan hari berganti pagi dengan sendirinya seperti biasa. Mata Tarmujo terbuka sendiri pula. Ia tak pernah mengatur sendiri kapan matanya harus terbuka setelah tidur. Bisa saja dini hari, pagi, siang, atau bahkan tidak akan terbuka lagi. Ada hal-hal yang memang senantiasa terjadi sendiri, tanpa manusia bisa menguasainya.

Hari ini Tarmujo pergi ke depan area istana. Berita mengabarkan akan ada demo lebih besar dibanding kemarin di sana. Tarmujo tidak akan menyia-nyiakan kesempatan meliput gelombang unjuk rasa itu. Kemarin hanya ia habiskan untuk menunggu komandan polisi yang tak jelas siapa dan tak kunjung datang pula. Kali ini ia memilih melakukan sesuatu yang bisa ia kontrol sendiri variabel kepastiannya. Komandan polisi yang akan datang atau tidak bukanlah variabel yang bisa ia kontrol sendiri. Itu variabel bebas. Hari ini Tarmujo memilih melakukan hal yang masih ada dalam variabel terkontrolnya sendiri, bukan variabel terkontrol orang lain. Ia akan meliput hal-hal yang memang bisa diliput segera di hari itu.

Pepatah lama memang sering benar. Hal terbaik dalam hidup seseorang adalah ketika ia secara pribadi mampu menentukan nasib sendiri. Mampu mengontrol hidup sendiri. Tidak dikontrol orang lain.

Tarmujo sudah sampai di depan gerbang istana kerajaan. Ternyata pendemo masih sepi. Tapi di ujung jalan seberang istana sudah berkumpul beberapa orang yang tampaknya bakal jadi peserta demo. Mungkin mereka sedang menunggu teman-teman mereka. Di balik gerbang sudah berkumpul sekitar seratus aparat kepolisian yang siap mengamankan istana. Di seberang jalan ada juga beberapa orang yang siap dengan kamera besar maupun kecil beserta mikrofon dan buku catatan kecil lengkap dengan pena atau pensil. Mereka orang seprofesi Tarmujo.

Tarmujo merasa lapar. Tadi ia buru-buru berangkat hingga melewatkan sarapan. Sambil menunggu gelombang demonstran datang, Tarmujo pergi agak menjauh dari depan istana menuju warung gerobak ketoprak.
“Mau ikut demo juga, mas?” tanya si bapak penjaja ketoprak.
“Ah, enggak kok pak,” bantah Tarmujo.
“Oh berarti mas ini pasti wartawan.”
“Kok bapak bisa langsung menebak seperti itu?” tanya tarmujo heran.
“Di negeri ini kalau sedang ada demonstrasi, hanya ada dua kelompok orang yang akan berada di areal demo selain aparat keamanan. Pertama, ya para pendemo yang memang punya kepentingan dalam demonya. Kedua, orang-orang yang biasa mengambil keuntungan dari aksi demo itu, yang tidak lain tidak bukan adalah para pencari berita. Hi hi hi. Orang-orang biasa lainnya enggak akan peduli, mas, sama demo yang mereka rasa memang bukan urusan mereka. Palingan sekiranya masih peduli, mereka akan lebih memilih memperhatikan dari layar kaca rumah masing-masing.”
Tarmujo termenung. Ia begitu tertohok hingga diam begitu saja.
“Eh, beneran ya mas ini wartawan?” tanya bapak itu tersenyum tanpa menyadari bahwa ia telah membuat Tarmujo mati kutu.
“I, iya, pak, benar.”
“Jadi ketopraknya mau pedas atau sedang?”
“Sedang saja, pak.”

Tarmujo duduk dengan lesu. Ia masih merenungi perkataan si bapak penjual ketoprak barusan. Seandainya ia bukan seorang wartawan, apa mungkin ia masih akan peduli dengan urusan demostrasi seperti ini sampai menyempatkan diri datang ke tempatnya?
Perkataan si bapak tadi memang sangat masuk akal. Kebanyakan, bahkan mungkin semua orang biasa lainnya, pasti akan lebih memilih berada di rumah saja. Buat apa ikut memikirkan demo yang dianggap bukan urusan mereka? Apalagi sampai datang ke tempat demo yang sering menimbulkan kerusuhan dan konflik serta bisa saja melukai orang-orang yang berada di sekitar tempat demo tersebut.

Pukul 10.00.

Dari kejauhan Tarmujo mulai melihat gelombang manusia berjalan ke arahnya. Jumlahnya mencapai ribuan. Ini rupanya demo susulan yang sungguh besar-besaran!
Tarmujo bergegas melunasi ketoprak dan segera mencari posisi strategis untuk meliput.
Aparat kepolisian yang berdiri berkumpul di depan gerbang istana tampaknya juga mencapai ratusan. Mereka kemudian membuat barisan berlapis seketika melihat gelombang demonstran mulai mendekat.

Tanpa prosesi peresmian demo mulai berlangsung secara hikmat. Teriakan-teriakan tuntutan mengalir deras. Beberapa kali dorong-mendorong terjadi tanpa aba-aba yang memang  disengajai. Tuntutan demo semakin beragam. Namun, semua itu berawal pada tujuan serupa: tuntutan keadilan hukum dan sosial.

Seperti telah diketahui publik, beberapa pejabat negeri ini ketahuan menangis. Padahal ada peraturan yang melarang siapapun menangis. Namun, sampai saat ini belum ada satu pun di antara mereka diadili, apalagi dikenai hukuman. Masyarakat tak bisa menerima. Mereka sudah terlanjur dilarang menangis oleh peraturan aneh itu; sudah seharusnya pejabat yang membuat peraturan itu pun merasakan efek dari peraturan itu sendiri. Bukan itu saja. Masyarakat biasa juga sulit menerima kesenjangan sosial dibanding para pejabat beserta keluarga mereka yang begitu banyak mendapat hak khusus dalam berbagai bidang kehidupan.

Hingga senja berganti, teriakan demo masih juga belum berhenti. Tuntutan-tuntutan agar para pejabat yang menangis segera diadili terus diulang-ulang hingga malam hari. Hingga akhirnya seorang kepala kepolisian negeri itu berinisiatif mengadakan diskusi dengan beberapa perwakilan pendemo. Setelah itu, gerombolan massa pendemo pun akhirnya membubarkan diri. Jalanan kembali lengang. Kendaraan yang bergerak saat malam sudah jarang. Manusia-manusia yang berdemo sudah pulang. Tarmujo pun kembali ke losmen.

Beberapa hari kemudian kerajaan memutuskan bahwa peraturan larangan menangis dicabut. Namun masyarakat, pejabat kerajaan, dan kepolisian negeri malah sepakat menghasilkan peraturan baru, masih mengatur perihal menangis seluruh warga negara negeri ini. Peraturan ini mengharuskan bahwa apabila pejabat menangis dan tangisannya mengeluarkan mutiara, mutiara-mutiara tersebut harus diserahkan kepada Badan Pengatur Keuangan Negeri untuk membayar utang negara dan tambahan anggaran kesejahteraan rakyat. Sedangkan apabila rakyat biasa menangis dan tangisannya mengeluarkan debu, debu itu harus ditampung untuk kemudian dibawa ke istana kerajaan ataupun gedung parlemen untuk digunakan sebagai pasir pengisi taman ataupun halaman istana dan gedung parlemen. Ini menjadi tanda bagi para pejabat istana dan parlemen kerajaan tentang betapa banyak rakyat masih merasakan susah hati di negeri yang alamnya kaya raya ini.

Tarmujo masih berada di negeri itu untuk terus mengumpulkan berita demi berita. Ia sebenarnya bisa saja segera menyimpulkan yang bakal terjadi di kemudian hari di negeri tersebut. Namun, Tarmujo ingin melihat dengan mata kepala sendiri perubahan demi perubahan di negeri tersebut yang ia rasa akan happy ending.[]

Utomo Priyambodo, mahasiswa Institut Teknologi Bandung, bergiat di unit literasi Aksara Salman ITB.

Ilustrasi dari Internet.

Link terkait:
* https://www.facebook.com/utomo.priyambodo
* https://twitter.com/utomo_pr
* http://aksara.salmanitb.com/

Sunday, January 12, 2014

fotografi

kado awal tahun 2014 untuk ridwan kamil

kurangnya bak sampah, buruknya drainase, sempitnya selokan, warganya suka buang sampah sembarangan, membuat bandung gampang sekali kena banjir. dan begitu meluap, ia menghancurkan dinding selokan, melubangi aspal, dan membawa sampah ke mana-mana, membuat bandung jadi rujit. biopori? belum menolong.

#bandungjuara pokona mah!

(foto diambil dari atas angkot)








Wednesday, January 08, 2014

The Gateway to Indonesia
--Anwar Holid

International observers are curious about Indonesia with regard to Islam vis a vis other religions, culture and its rich manifestations, as well as education that modernizes the population. As a multicultural and multireligious archipelago from Sumatra to Papua, Indonesia has distinctive features to examine. As the world’s fourth largest nation with 250 million people and largest population of Muslims of any country in the world, Indonesia is a melting pot where different cultures transformed into a modern Indonesian culture, making it so exciting to be enjoyed and reviewed.

In his latest book: Islam, Culture, and Education, A. Chaedar Alwasilah takes readers on an illuminating yet critical journey through religion, culture, and education to investigate how Indonesia stands out differently. In a down-to-earth manner, he is recurring issues such as radicalism, religious harmony and pluralism, mudik (Idulfitri exodus), interethnic conflict, bureaucracy, Malay culture, general election, corruption, as well as his pet subjects of writing, ethnic literature, EFL teaching, Indonesian language teaching, language democratization, liberal education and multicultural education are brought to public consciousness.

A. Chaedar Alwasilah---a professor at University of Education, Bandung, West Java---is one of well-known and respected scholar in Indonesia, especially as an educator with more than 30 years of teaching experience at the university level. Obtained his doctorate from Indiana University, US, he is currently leads the Liberal Studies Task Force Committee for the Indonesian Board of Higher Education. He also a prolific author. He is a regular columnist to local and national newspapers such as Pikiran Rakyat and The Jakarta Post. His books include Pokoknya Kualitatif (2002), Pokoknya Menulis (2004), Filsafat Bahasa dan Pendidikan (2007), Pokoknya Action Research (2011), and Pokoknya Rekayasa Bahasa (2012).

This book is not only useful for academics and researchers of Indonesian studies, but could also be of extensive guide for everyone who will visit Indonesia.
___________________________________________________________
BOOK INFO

Islam, Culture, and Education - Essay on Contemporary Indonesia
Author: A. Chaedar Alwasilah
Hardcover; 437 + xxvi pp.
Publisher: Rosda International, 2014
ISBN: 978-979-692-453-0
Prices: Rp.107.000,- (domestic market); US$19,90 (international)

Purchasing: (062 022) 5200287 or pemasaran@rosda.co.id
___________________________________________________________

A. Chaedar Alwasilah and his book.
Some of early comments of the book:

Dr. Alwasilah is unmistakably the kind of intellectual his nation direly needs. He is as articulate in writing about issues on multiculturalism, democracy, Islam, political literacy, and literature as he is with his pet subjects of the English language and writing.
--Harry Bhaskara, Associate Editor The Jakarta Post

For anyone trying to come to some understanding of the problems which beset the Indonesian education system, this collection of essays is a good place to start. This book rehearsing for the reader what is actually occurring in schools and universities throughout the country year in year out, provides that synoptic view of the situation that allows one better to understand the situation on the ground in all its complexity.
--C.W. Watson, Em. Professor, School of Anthropology and Conservation University of Kent, UK

Both the Indonesian and non-Indonesian reader will find amply witnessed the importance of Professor Alwasilah work and will relish and benefit from a resulting essential interaction of close observation, local wisdom, and help for Indonesia.
--Don Faust, Ph.D. and Judith Puncochar, Ph.D., Northern Michigan University, US

Dr. Alwasilah reveals himself as a sage of the common people, a humane social philosophy that respects individual growth and diverse cultures while emphasizing higher levels of connectedness among all people.
--Sharon L. Pugh, Associate Professor of Language Education, Indiana University, US

Sure this book will provide insight into an Indonesian educational context that is unique while simultaneously sharing many of its obstacles and goals toward improvement with other national contexts around the world.
--Lauren Zentz, Assistant Professor of Applied Linguistics University of Houston, US

Related Sites:
http://www.rosda.co.id
Chaedar’s profile at The Jakarta Post: http://bit.ly/18y1rYx

Tuesday, January 07, 2014

Pintu Gerbang untuk Memasuki Indonesia
--Anwar Holid

Menurut Anda orang asing paling penasaran soal apa tentang Indonesia?

Sebagian menjawab orang luar negeri paling tercengang oleh khazanah budaya Indonesia, keragaman seni, juga sumber daya alamnya yang luar biasa. Selain itu banyak dari mereka juga ingin tahu lebih dalam soal Islam serta berbagai tradisi khas yang terkadang cuma satu-satunya ada di dunia. Mereka ingin tahu seperti apa Islam di negeri kepulauan ini, apa spirit dan wujudnya berbeda dengan yang di Timur Tengah? Orang asing juga meneliti khazanah sastra sekaligus takjub dan ternganga oleh beragamnya warisan budaya dari Sumatra hingga Papua.

Indonesia adalah tempat pertemuan berbagai budaya sampai akhirnya berubah khas, membuatnya jadi menarik untuk dinikmati dan dikaji. Di sanalah letak keunikan Indonesian studies.

A. Chaedar Alwasilah sengaja menulis Islam, Culture, and Education dalam bahasa Inggris selain untuk menerangkan Indonesia kepada bangsa lain dari kacamata pribumi, juga meluruskan pandangan keliru mereka terhadap Indonesia. Contoh soal pesantren. Sebagian orang asing berprasangka pesantren adalah tempat pembibitan kaum radikal Islam; padahal banyak negarawan besar Indonesia lahir dari sini, seperti Abdurrahman Wahid, almarhum mantan presiden Indonesia dan ketua Nahdatul Ulama. Pesantren juga melahirkan sistem pendidikan dan tradisi budaya yang khas.

Terutama dikenal sebagai pakar pendidikan dan aktif di ranah budaya dan sastra, guru besar di FPBS Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung ini mengomentari dan berpendirian tegas mengenai berbagai persoalan terkini bangsa Indonesia, seperti radikalisme dan pluralisme agama, kebijakan pendidikan, birokrasi, politik, korupsi, literasi, juga berbagai kekhasan Indonesia, seperti mudik dan pengembangan sastra daerah (ethnic literature).

Lewat buku ini Chaedar tampak ingin mengantarkan pembaca asing pada perjalanan mencerahkan sekaligus kritis terhadap agama, budaya, dan pendidikan Indonesia. Isu sensitif seperti keharmonisan beragama, konflik antaretnik, juga budaya Melayu dibahas sesuai kenyataan, disertai solusi maupun komentar bagaimana sebaiknya kita bersikap.
___________________________________________________________
INFO BUKU

Judul: Islam, Culture, and Education - Essay on Contemporary Indonesia
Penulis: A. Chaedar Alwasilah
Format: Hard cover; 437 + xxvi hal.
Penerbit: Rosda International, 2014
ISBN: 978-979-692-453-0
Harga: Rp.107.000,- (dalam negeri); US$19,90 (internasional)

Pemesanan: Telepon (022) 5200287 atau pemasaran@rosda.co.id
___________________________________________________________

Sesuai kredibilitas penulisnya, buku ini secara solid membahas situasi pendidikan dan dunia perguruan tinggi, pengajaran bahasa dan sastra, termasuk sastra daerah dan Inggris, pendidikan multibudaya, pendidikan karakter, demokratisasi bahasa, juga literasi dalam cara yang mudah dipahami dan patut kita perhatikan bersama.

Buku ini sangat bermanfaat bagi akademisi dan peneliti Indonesian studies, namun sekaligus dapat berfungsi sebagai pintu gerbang yang luas dan jernih bagi setiap orang asing yang hendak memasuki Indonesia.[]

Link terkait:
http://www.rosda.co.id

Monday, January 06, 2014


Cerita Pendek

Makhluk Fiktif
--Utomo Priyambodo

Di suatu senja yang jingga, empat makhluk fiktif tengah terlibat dalam diskusi hangat yang cukup menguras pikiran dan perasaan. Tempo diskusi mereka sungguh begairah dan cepat. Makhluk-makhluk itu bukanlah jin atau makhluk gaib lainnya. Mereka sebenar-benarnya makhluk fiktif yang tercipta dalam kisah-kisah fiksi yang juga bukanlah cerita gaib atau sejenisnya. Empat makhluk itu adalah Sukab, Markum, Si Dali, dan Tarmujo. Mereka tengah asyik dan serius membahas masa depan.

Telinga mereka mendengar isu bahwa mereka berempat akan dihidupkan menjadi sebenar-benarnya makhluk nyata, makhluk non-fiktif. Mereka akan menjalani kisah-kisah nyata. Mereka akan hidup dalam dunia yang juga nyata.

“Jadi kita akan hidup seperti manusia?”
“Lho bukankah kita memang manusia?”
“Jelmaan manusia. Bukan manusia seutuhnya. Kita bisa hidup hanya bila kita dihidupkan. Kita juga bisa mati seketika dan bisa dihidupkan kembali seketika juga. Itu semua tergantung tuan-tuan kita.”
“Ah membingungkan.”
“Mengapa kita tidak bunuh diri saja sejak dulu kalau begitu? Toh sekarang ini hidup kita tak ada harganya.”
“Kata siapa? Aku merasa hidupku berharga. Tuanku Seno Gumira selalu menyelipkan pesan sosial dalam kisah-kisah hidupku. Orang-orang yang membaca kisah hidupku bisa tergugah karenanya,” bantah Sukab.
“Aku juga merasa hidupku berharga kok,” timpal Markum. “Tuanku Zaenal Radar biasa menyuarakan realitas masyarakat kelas bawah dalam kisah-kisah hidupku. Aku merasa hidupku berharga. Aku merasa seperti wakil rakyat bagi orang-orang kecil itu,” lanjut Markum.
“Aku juga merasa berharga kok. Tuanku A.A. Navis biasa menyelipkan pesan moral dalam kisah-kisah hidupku. Banyak kearifan dan hikmah yang bisa didapatkan orang yang menyimak kisah-kisah hidupku,” Si Dali ikut bersuara.
“Kenapa kau bisa berpikiran bahwa hidupmu tidak berharga, Jo?” tanya Sukab terang-terangan, sangat to the point.
Tarmujo diam sebentar. Ia tidak langsung menjawabnya.
“Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu, Jo?” tanya Sukab lagi.
Tarmujo menghela napasnya. “Aku tidak punya kehidupan sendiri. Sebab aku merasa tidak punya identitas mandiri. Aku merasa tidak punya kepribadian tetap. Aku merasa seperti Billy yang memiliki 24 wajah kepribadian atau bahkan lebih apabila nanti jumlah kisahku lebih dari itu. Dan itu rasanya aneh sekali.”
“Kau punya kepribadian, Jo. Kepribadianmu mencerminkan kepribadian tuanmu. Apabila ada sosokmu dalam sebuah cerita, orang-orang akan tahu itu adalah kisah yang dibuat oleh tuanmu. Karakter cerita-cerita itu menjadi kepribadian tuanmu. Berarti itu kepribadianmu juga. Kepribadian tuanmu menjadi kepribadianmu.”
Tarmujo tidak begitu mengerti. Tapi rasanya penjelasan Si Dali tadi terdengar masuk akal. Sukab dan Markum terlihat manggut-manggut seperti ikut sepakat.
“Kembali ke topik. Jadi apa benar kita semua akan dihidupkan?” Sukab meluruskan.
“Ah aku ragu dengan kabar burung itu. Tapi apabila benar kita akan dihidupkan aku malah jadi bingung apa yang akan aku lakukan ketika nanti hidup,” ujar Markum.
“Ya, apa pun. Semaumu. Terserah, kau bisa melakukan apa saja,” jelas Sukab.
“Tapi apakah nanti yang akan aku lakukan bisa bermakna atau bermanfaat juga bagi orang lain? Aku khawatir bila nanti ternyata aku menjadi tak lebih bermanfaat dibanding ketika aku masih menjadi makhluk fiktif seperti sekarang ini.” Raut wajah Markum kelabu.
“Kenapa khawatir seperti itu? Ketika kehendak kita hanya ada di tangan tuan-tuan kita, kita bisa bermanfaat bagi orang lain. Lha kalau kita sudah punya kehendak bebas sendiri, mestinya kita bisa menjadi lebih bermanfaat lagi toh untuk orang lain? Kita kan bisa menghendaki diri kita sendiri untuk bisa menjadi sangat bermanfaat bagi orang lain,” terang Sukab lagi.
“Eh, ini kok rasa-rasanya seperti konsep tentang  manusia dan malaikat,” ucap Si Dali. “Malaikat tak punya kehendak bebas, tapi semua dari mereka menjadi terjaga dan mulia. Manusia punya kehendak bebas, tapi akhirnya kebanyakan mereka justru jadi lebih hina daripada para malaikat. Tapi ada juga sebagian manusia yang bisa mengarahkan kehendak bebasnya untuk menjadi orang yang bermakna dan bermanfaat sehingga menjadi lebih mulia daripada malaikat. Nah itu tantangannya.”
“Ah aku ingin tetap menjadi makhluk fiktif saja. Aku tidak mau justru menjadi lebih hina,” kata Tarmujo.
“Kenapa kau takut begitu, Jo? Kalau kau bisa mengarahkan kehendak bebasmu dengan benar, kan kamu bakal baik-baik saja.” Sukab heran.
“Ah, iya kamu pesimis sekali, Jo. Kau pun gampang berubah pikiran,” timpal Si Dali. “Hidup itu harus dijalani dengan berani. Kalau tidak begitu, kita tidak akan bisa mengubah nasib kita sekarang ini.”
“Tadi kan kau sendiri yang bilang kalau kau lebih ingin punya kehendak sendiri, Jo?” ingat Sukab lagi.
“Ah, kurasa yang aku inginkan sebelumnya itu tidak lebih baik daripada yang sebenarnya telah kumiliki sekarang ini,” jawab Tarmujo. “Biarlah kehendakku ada di tangan tuanku. Kurasa ia bisa menentukan mana hal-hal baik yang bisa kuberikan lewat kisah-kisah hidupku.”
“Kau tidak ingin hidup dengan sebenar-benarnya hidup, Jo?”
“Aku ingin. Tapi lebih baik aku menjalani yang memang sudah takdirku. Biarlah aku tetap menjadi makhluk fiktif, bukan makhluk nyata. Lagi pula, apabila nanti aku menjadi makhluk nyata, belum tentu kisah-kisah hidupku akan dituliskan juga dalam buku yang bisa dibaca banyak orang.”
“Kau nanti bisa menuliskannya sendiri, Jo. Kau kan nanti punya kehendak bebas sendiri.”
“Ah, narsis sekali itu, bung!”
“Kalau begitu minta saja orang lain terdekatmu untuk menuliskan kisah hidupmu.”
“Apa bedanya?”
“Kalau kau menjadi orang hebat, pasti banyak orang yang ingin mengetahui kisah hidupmu. Maka itu, dengan kehendak bebasmu nanti, jadilah orang hebat.”
“Eh, sebenarnya kisah hidup setiap manusia itu dituliskan juga lho dalam kitab lauhul mahfudz,” potong Si Dali.
“Kitab apa itu, Dali?” tanya Tarmujo penasaran.
“Kau belum tahu, Jo? Itu kitab yang akan menuliskan segala perilaku manusia yang baik ataupun buruk. Tiap manusia punya satu kitab untuk kisah hidupnya itu. Dan kelak mereka harus mempertanggungjawabkan kisah hidupnya itu di hari kiamat.”
“Wah, ngeri juga ya. Ada LPJ-nya,” celoteh Markum.
“LPJ?” Tarmujo bingung.
“Iya, laporan pertanggungjawaban. Seperti panitia acara yang mesti memberikan laporan tanggung jawab ke pihak sponsor yang memberi mereka dana.”
“Tapi manusia kan enggak dikasih dana oleh siapa-siapa?”
“Kata siapa? Manusia kan diberikan banyak sumber daya. Organ tubuh mereka, akal pikiran mereka, kekayaan mereka, umur mereka, dan lain-lainnya. Semakin banyak sumber daya yang mereka punya, semakin besar tanggung jawab mereka,” jelas Si Dali.
“Tanggung jawabnya ke Tuhan mereka?”
“Ya, siapa lagi?”
“Kalau kita makhluk-makhluk fiktif ini, tanggung jawabnya kepada siapa?”
“Kepada tuan-tuan kita ya, Dali?” potong Markum.
“Bukan. Kita ini tidak punya keharusan untuk tanggung jawab kepada siapa-siapa. Sebab tuan-tuan kitalah yang menguasai kehendak kita. Maka tuan-tuan kitalah yang mesti tanggung jawab atas segala perilaku kita, atas segala kisah-kisah hidup kita. Apabila kisah-kisah hidup kita dapat memberikan pencerahan banyak orang, tuan-tuan kita dianggap telah berbuat baik. Tapi apabila kisah-kisah hidup kita justru menjerumuskan banyak orang, berarti tuan-tuan kita telah berbuat buruk.”
“Oh begitu, Dali.”
“Mantap sudah. Aku ingin tetap menjadi makhluk fiktif saja,” ujar Tarmujo yakin. “Aku tak perlu tanggung jawab kepada siapa-siapa.”
“Aku juga, Dali,” Markum ikut menimpali.
“Kau Sukab?” tanya Si Dali.
“Aku ikut yang lain sajalah,” jawab Sukab agak malu-malu.
Tarmujo dan Markum menyeringai dan tertawa kecil mendengar jawaban Sukab.
“Kau sendiri bagaimana, Dali?” tanya Sukab, Markum, dan Tarmujo berbarengan.
“Aku kan sudah jadi makhluk fiktif sejati,” jawab Si Dali sambil menyeringai penuh arti.
“Ha ha ha...”
Mereka berempat memecahkan tawa.

Langit masih cukup jingga. Bulan sudah mulai memunculkan bulatnya. Di depan sebuah layar komputer, penulis kisah ini pun ikut tertawa.[]

Utomo Priyambodo, mahasiswa Institut Teknologi Bandung, bergiat di unit literasi Aksara Salman ITB.


Ilustrasi dari Internet.

Link terkait:
* https://www.facebook.com/utomo.priyambodo
* https://twitter.com/utomo_pr
* http://aksara.salmanitb.com/

Thursday, January 02, 2014

Tolkien, Hobbit, dan Bandung Selatan
--Agus Kurniawan

Saya dan anak-anak menggemari novel J.R.R. Tolkien. Sejak mengenalkan karyanya kepada dua anak saya--Putri (13 th.) dan Faiza (9 th.), mereka kerap berlomba mengasosiasikan imaji Tolkien terhadap tanah kelahiran mereka sendiri, Bandung Selatan. "Ayah, kita sedang di Shire, ya," teriak girang Faiza ketika kami merambahi perbukitan eksotik Naringgul di perbatasan Kabupaten Bandung dan Cianjur Selatan, yang dihampari oleh permadani hijau kebun teh dan goresan kelak-kelok jalan tembus ke Pantai Jayanti. Di mata Faiza, bisa jadi orang-orang Naringgul yang ke luar dari pemukiman perkebunan itu dianggap seolah para Hobbit yang lagi berhamburan dari rumah-rumah pendam mereka. "Awas, kita memasuki hutan Fangorn. Tuh, pohon-pohon sedang saling bicara. Balik yuk ah, takut!" kata Putri ketika kami mulai memasuki gerbang hutan tersisa, yang memang bikin merinding. Maaf, Anda tak boleh protes. Dalam semesta subjektivitas, kita memang memiliki otonomi penuh untuk berandai-andai.

Konon masa kecil Tolkien terbilang manis. Dia tinggal di Sarehole, pedesaan di pinggiran kota Birmingham. Sekalipun jaraknya tak jauh, Sarehole dan Birmingham amat berlainan. Ketika itu awal abad ke-20, Inggris sedang gegap terpapar industrialisasi. Tak terkecuali Birmingham, kota industri besar di sisi barat daratan. Tetapi anehnya, Sarehole tak terimbas. Inilah sedikit dari pedesaan tua yang masih kebal. Di sana terpajang keelokan surga lawas: padang hijau, hutan kecil, sungai bening, dan jembatan batu. Juga tempat penggilingan kuno--sekarang jadi museum--dan rawa-rawa. Begitu terpana Tolkien pada masa lalunya hingga mengabadikan keagungan itu ke dalam sebuah desa imajiner: Shire.

Birmingham, atau tepatnya industrialisasi, selalu tampak buruk di mata Tolkien--ini kelak melahirkan para kritikus fanatik terhadap karya-karyanya. National Geographic mencoba mewakili kemurungan sang sastrawan itu dengan paragraf, "Produk-produk kerajinan dari kota-kota kecil tersapu oleh badai mekanisasi. Tekstil, galangan kapal, besi, dan baja, mengangkangi tanah Inggris sebagai industri strategis baru. Orang-orang berduyun-duyun menyesaki kota, beralih profesi menjadi buruh, dalam jumlah yang semakin berlipat-lipat. Batubara menghidupi pabrik-pabrik itu, tetapi sekaligus juga meracuni udara dengan jelaga pekat dan mewariskan lubang-lubang menganga bekas penambangan di seluruh negeri."

Tolkien melukiskan kegamangannya dengan cara lebih satir. Kutukan industrialisasi itu dalam imajinasi Tolkien adalah Isengard. Dipelopori oleh Saruman, penyihir paling sakti tapi khianat, Isengard bertiwikrama dari tanah indah menjadi "kota" bengis. Tak lagi dihuni oleh manusia, tetapi oleh para orc, monster tak berakal budi, yang hanya tahu sedikit hal: bekerja bagai mesin, patuh bak zombiE, dan menghancurkan layaknya iblis. Para monster itu tiap hari menebangi hutan dan menggali lubang-lubang menganga di dalam tanah demi satu tujuan, yakni menciptakan prajurit-prajurit tempur.

Memang, kerusakan alam bukanlah trauma utama Tolkien. Perang lebih menakutkannya. Ketika itu Perang Dunia I, usia Tolkien baru awal 20-an, dan lebih lagi dia masih pengantin baru. Menjadi seorang letnan dalam legiun Inggris, Tolkien menyaksikan manusia-manusia setengah hidup yang berjudi nyawa di parit-parit pertahanan di sepanjang kota Paris. Diiringi desingan artileri, para prajurit itu selama berbulan-bulan hidup di dalam kubangan lumpur, menyatu dengan mayat busuk. Begitu mengerikannya kondisi mereka hingga tak lagi mirip manusia. Tolkien mengasosiasikan para prajurit itu sebagai barisan tentara orc. Mereka merayap dari kedalaman bumi, untuk membunuh dan menghancurkan.

*****

Saya tinggal di pinggiran Bandung Selatan, kota kecamatan yang sepanjang jalannya dipenuhi industri. Pada saat-saat tertentu--misalnya pagi hari, halaman atau lantai luar rumah akan terlapisi samar-samar oleh bebutiran mirip bubuk kopi. Warnanya memang seperti kopi. Hitam, tetapi bau. Itulah sisa pembakaran batubara dari pabrik-pabrik. Cerobongnya menjulang; anak saya menyebutnya sebagai Menara Isengard. Sungai di belakang kampung pun senasib. Tahun 80-an sungai itu berair bening layaknya pegunungan. Penduduk memanfaatkannya sebagai sarana mandi dan mencuci, selain untuk pengairan. Anda boleh juga membayangkannya sebagai Rivendell, keraton para peri dalam dongeng Tolkien, yang dihiasi oleh anak-anak sungai berkilauan. Tetapi naasnya kini pabrik-pabrik di kampung saya gencar mewarnainya. Kadang biru, kadang bersemu merah, kadang kekuningan. Kusam karena berbaur lumpur. Mereka setiap hari menggelontorkan berkubik-kubik limbah pewarna--tanpa diolah--ke sungai, lalu membumbuinya dengan aroma menyengat. Saya sering menggoda anak saya, "Put, jangan-jangan pemerintah yang mengizinkan terjadinya pencemaran akut ini adalah Saruman?"

Tolkien pernah sekali bercerita tentang banjir. Dalam The Silmarillion, dia bertutur tentang Numenor, koloni makmur ras manusia di tengah lautan. Sayang rajanya kemaruk, menginginkan hidup kekal dengan cara mengakuisisi keabadian dari seorang dewa bernama Valar. Kemarahan Valar ternyata mengerikan, mereformasi bentuk bumi menjadi datar. Akibatnya air laut tumpah, menenggelamkan seluruh dataran Numenor. Para kritikus menganggap ini sebagai alegori kisah Nabi Nuh ataupun Atlantis, tapi Tolkien menampiknya.

Berbeda dengan Numenor, Bandung Selatan tak hanya sekali terlibas banjir. Nestapa ini justru seolah abadi. Sepanjang tahun, ratusan pemukiman di bibir Citarum rutin terbilas. Ruas jalan utama penghubung antar kecamatan terendam, menyisakan tenda-tenda pengungsi di sisi jalan. Majalah Tempo beberapa bulan lalu mendokumentasikannya genangan air itu dalam foto-foto bernuansa coklat pekat seluas berhektar-hektar. Rumah-rumah penduduk--entah reyot atau mewah--mengapung di permukaaannya. Tragisnya, itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Tapi kini saya senang, konon tahun 2018 kejadian ini tak kan terulang. Menurut janji Wagub Jawa Barat Deddy Mizwar, sungai Citarum pada tahun itu akan kembali sebening Rivendell, dan penduduk Dayeuh Kolot, Baleendah, atau Bojongsoang bisa bernapas lega. Ya, semoga saja.

Pada usia remaja Tolkien merasa beruntung bisa berwisata ke Swiss. Dulangan kenangan tentang pegunungan Alpen yang mengendap selama bertahun-tahun akhirnya mengilhami sang sastrawan untuk menciptakan semesta fiktif, yang dia sebut legendarium. Rivendell (hunian para peri), Celebdril (tempat pertarungan sampyuh antara Gandalf dan Balrog--setan api), Anduin (sungai terpanjang dalam dongeng Dunia Tengah), Khazad-dum (kerajaan bawah tanah terbesar para Dwarf yang memiliki tangga tak berujung ke puncak gunung), juga Misty Mountains atau Hithaeglir (surga petualangan para Dwarf yang dijadikan tema soundtrack film The Hobbit) konon terinspirasi langsung oleh ekspedisi Tolkien tahun 1911 itu.

Saya ingin menularkan kegairahan Tolkien muda pada anak-anak saya, mengeksplorasi keindahan tanah kelahirannya sendiri, Bandung Selatan. Dataran bekas danau purba ini sesungguhnya tak kalah menginspirasi. Sekelilingnya berjajar barisan gunung dan hutan langka: Patuha, Tilu, Puntang, Malabar, Guntur, Papandayan. Bahkan tak kurang orang sekaliber Franz Wilhelm Junghuhn pun mengaguminya, dan menjadikan tempat ini sebagai tetirah. Kita bisa menyusuri hutan Puntang atau Patuha yang perawan, dan membayangkan diri sebagai Frodo atau Sam Gamgee menjelajahi The Old Forest. Atau kita bisa menyusuri hutan mati di lereng Papandayan agar bisa menikmati padang edelweis, seperti Bilbo Baggins dan para Dwarf menyibak Mirkwood.

Sungguh, saya tak mengharuskan anak-anak saya menciptakan legendarium sebagaimana Tolkien. Saya hanya berharap mereka belajar menghikmati alam, sembari berdoa agar gunung dan hutan-hutan ini tak segera dimakan zaman.[]


Foto dari Internet.
Silakan berteman dengan Agus Kurniawan di https://www.facebook.com/goeska.