Friday, April 27, 2007

SURAT ANGGORO
------------------------------------
>> Indah Darmastuti


Gemuruh ombak terdengar dari kejauhan. Membentur karang menghempas di bibir pantai. Angin laut bertiup membawa kabar bahwa kemarau masih panjang. Hembusannya menerpa wajah dan rambut bocah lelaki tengah tekun memintal benang layang-layang. Mata coklat itu mengamati lilitan yang dihasilkan. Berkali ia menimbang, cukupkah untuk menerbangkan layang-layang di ketinggian. Bibir mungil mengatup rapat namun pikirannya sibuk merencanakan apa yang hendak ia tulis. Tepatnya sepucuk surat buat Tuhan yang akan ia kirim lewat layang-layang. Kata ibu,
“Anggoro, jika kita mempunyai keinginan besar atau kecil, kita harus meminta kepada Tuhan. Ia berada di tempat tinggi, di Surga. Tetapi tetap mau ditemui.”
Semalaman ia terus terjaga. Sibuk memikirkan cara menyampaikan keinginan-nya, yaitu bertemu bapak. Ia sungguh merindukan. Bapak memang tidak pulang lagi sejak malam itu, yaitu saat ada tamu datang ke rumah, lalu bapak pergi bersama tamu-tamu itu hingga kini. Ia tidak mengerti mengapa sejak kejadian itu, sering terlihat ibu menangis diam-diam. Kehilangan dirasakan jika sore datang lalu beranjak malam. Kesedihan kian sempurna ketika ia pernah memergoki orang-orang kampung berkumpul seperti sedang membicarakan sesuatu yang penting. Ternyata benar, ada yang mengatakan bahwa bapak pergi bersama tamu-tamunya karena tulisan bapak di koran buruk, sebagai seorang wartawan seharusnya bapak bisa menulis bagus tetapi ternyata tidak. Ia berpikir, mungkinkah hanya karena tulisan yang tidak bagus itu bapak tidak pulang sehingga ibu menjadi murung? Sering menangis? Tidak lagi memeluk dirinya?
Hari-hari panjang terlewati dengan kerinduan semakin besar pada bapak. Hingga akhirnya ibu memutuskan pindah ke rumah Mbah Kakung dan Mbah Putri yang bekerja sebagai nelayan, tinggal dekat pantai di Gunung Kidul. Barangkali karena ibu sudah jemu menunggu kepulangan bapak atau karena ibu bosan melihat orang-orang asing sering melintas di depan rumah sambil mengamati, seakan menyelidik setiap kegiatan di rumah. Tetapi jelas keputusan ibu untuk pindah membuat bocah itu sedih karena harus berpisah dengan teman-teman sekolah dan teman bermain bola di kampungnya. Ia kelelahan oleh rasa bingung dan tidak mengerti akan semua kejadian itu. Itulah yang sering mengganggu tidurnya. Tak terkecuali tadi malam. Terpetik dari hatinya sebuah pertanyaan “Bapak, di manakah engkau sekarang?”
Namun akhirnya ia terlelap oleh kelelahan yang mendera. Waktu menunjuk pukul 00.10 BBWI. Di kejauhan suara ombak gemuruh mengirim buih-buih putih ke tepi. Mengetuk-ketuk pintu khayal si Bocah. Namun semua indra terlalu lemah untuk mendengar hingga fajar menyingsing. Pagi hadir memenuhi janji.
Kaki telanjang si Bocah terayun, berlari kecil menuju pantai. Menyusuri setiap tepian hingga ombak menyentuh jari-jarinya. Tatapan menyipit, lurus memandang ke depan menembus batas cakrawala. Kian merona oleh sinar matari yang menimpa. Selalu begitu yang ia lakukan jika Minggu tiba. Saat sekolah libur. Ia akan datang ke tepi pantai menunggu bapak pulang. Melabuhkan seikat pertanyaan “Kapan kau akan pulang bapak?” Pertanyaan itu terlahir karena ibu pernah bilang:
“Bapak pergi berlayar di lautan yang sangat jauh dari daratan.” Ketika ia bertanya:
“Ibu, pergi kemanakah bapak, mengapa sampai sekarang belum pulang? Tidak kangenkah dengan kita?” Ia selalu membayangkan ada kapal mendarat di pantai tempat ia berdiri menunggu mengantar bapak kembali padanya dengan membawa banyak oleh-oleh. Tetapi selalu saja hanya ombak penyambut kedatangannya. Ia tak tahu bahwa pantai tempatnya berdiri bukan tempat perhentian atau singgahnya kapal layar.
Seperti pagi ini. Ia berdiri memandang laut. Di tangan kiri menggenggam pintalan benang, di tangan kanan sepotong layang-layang. Terhela napas, lalu berbalik memunggungi laut berjalan menjauh. Duduk menimbang, membaca kembali tulisan pada kertas layang-layang. Sepucuk surat buat Tuhan.

Kepada Tuhan yang baik.
Tuhan, saya tidak bisa menulis banyak-banyak. Saya hanya mau mengatakan kepadaMu, saya ingin bapak segera pulang karena saya merindukannya. Saya ingin seperti Aji yang selalu dipeluk bapaknya sepulang sekolah. Saya menulis ini karena ibu bilang saya harus meminta kepada-Mu. Tetapi saya tidak tahu caranya, jadi saya menerbangkan surat ini bersama layang-layang. Saya tahu pasti Tuhan segera menangkapnya saat melintasi mega-mega lalu segera membacanya. Saya mengucapkan terimakasih karena Tuhan mau membacanya meskipun saya masih kanak-kanak.


Salam dari saya
Anggoro

Bocah itu membaca lagi berulang. Memikirkan tentang apa yang telah ia tulis. Ketika dirasa puas, ia bangit. Dia buka lilitan benang dan mulai berusaha mener-bangkan layang-layang. Angin menggerakkan layang-layang, juga mengacak rambut si Bocah yang berwarna kemerahan. Beberapa menit, layang-layang itu mulai meninggi serupa bersayap ia terbang tinggi......menyentuh mega, bersaing dengan camar. Kini lehernya mulai pegal karena lama mendongak, bibirnya sedikit terbuka. Mata kanak-kanak itu membelah awan memastikan layang-layangnya sudah sampai ke Surga tempat Tuhan tinggal. Lilitan benang lepas senti demi senti hingga tinggal ujung benang yang ia pegang. Ia menunduk menimbang untuk mengambil keputusan akankah benang ini dilepas, atau menunggu Tuhan mengambil dan menjawab dengan menulis balasan pada layang-layangnya. Akhirnya ujung benang dilepas. Kini hanya tinggal kaleng bekas benang ada di tangannya. Sekali lagi ia mendongak, terharu. Hatinya bahagia, air mata bening menitik membelah pipi gembul. Sebutir demi sebutir jatuh ke pasir seiring keyakinan bahwa Tuhan menjawab. Mungkin tidak secepat bayangannya, sebab ia tahu bahwa tentu bukan hanya dirinya yang memiliki permintaan. Ia tahu harus mengantri dulu hingga tiba giliran. Seperti ada bongkahan karang terangkat terbuang dari hatinya, ia pulang. Ia akan menunggu bapaknya pulang.
“Ibu, saya sudah mengirimkan permintaan kepada Tuhan di Surga. Saya menitipkan surat itu pada layang-layang.” Katanya sesampai di rumah.
“Permintaan apa Nak?”
“Aku ingin bapak segera pulang.”

***

Hari-hari pergi dan sambut menyambut seperti ombak pantai tanpa putus. Sekarang sudah memasuki bulan ke tiga si Bocah menunggu bapaknya pulang. Ia mulai diserang gelisah. Apalagi jika melihat ibu sering melamun jika sore merambat petang. Ia sedih mengapa Tuhan tak kunjung menjawab suratnya. Mungkinkah Tuhan masih sibuk, banyak pekerjaan sehingga belum sempat menjawab suratnya atau bahkan membacanya saja juga belum sempat? Atau Tuhan mengabaikan karena ia hanya kanak-kanak? Ia kecewa. Merasa dibohongi oleh ibu, oleh Tuhan, juga oleh harapannya sendiri. Jika pagi tiba, ia melangkah mencetak bekas telapak kaki di bibir pantai. Mata itu mencari kalau-kalau ada layang-layang tergolek di pasir atau ada suara dari ketinggian yang memberi tahu tentang bapaknya berada. Nihil.
Si Bocah putus asa. Ia bertekad menerbangkan lagi sepotong layang-layang dengan sebaris kalimat: Tuhan, mengapa Engkau tak mau menjawabku?

***

Pagi cerah. Burung-burung camar melintas angkasa dengan damai. Angin laut menerpa paras bocah lelaki yang mulai jengkel karena layang-layang itu tak juga beranjak naik. Benang hanya membawa layang-layang berputar-putar horizontal. Kesabaran tinggal setipis garis. Ia mulai menangis dalam hati. Menjerit tanpa suara. Lengan sudah terasa panas. Ia hentak lagi benang layang-layang, tak juga terbang. Akhirnya ia putuskan untuk membuang, melempar semua ke laut. Lunglai ia duduk mengemas kejengkelan. Tujuh menit berlalu. Kepala yang diletakkan pada kedua lutut yang tertekuk terasa penat. Ia menghela napas seraya bangkit hendak meraih layang-layang yang tadi dihempas. Namun ia terkejut karena layang-layang itu dipegang sepasang tangan dewasa. Terasa tak percaya ia menyaksikan bahwa tangan itu adalah milik seseorang yang selama ini dirindukan. Seorang laki-laki yang ia panggil bapak berdiri sedikit jauh dari ibu. Secepat ia berlari menghambur dalam dekap. Melarutkan segala harapan dan rasa kangen yang selama ini terpendam. Terasa cukup, ia melepaskan diri turun dari gendongan. Mata kanak-kanaknya mencari sesuatu sambil ia bertanya,
“Ibu, di mana Dia?”
“Siapa yang kau cari Nak?” heran bapak bertanya.
“Aku mencari Tuhan.”[]

Indah Darmastuti tinggal di Solo, di sana sehari-hari ia bekerja sebagai karyawati ssebuah perusahaan batik. Novelnya pertamanya, Kepompong (2007) diterbitkan Jalasutra.

Thursday, April 26, 2007

PETER RIPKEN & LITPROM
------------------------------
>> Anwar Holid


'KENAPA sedikit sekali karya penulis Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman?' tanya Peter Ripken dalam pertemuan Forum Buku di Goethe-Institut Jakarta (GI Jakarta), pada Jumat, 13 April 2007. Peter Ripken saat ini menjadi Direktur Society for the Promotion of African, Asian and Latin American Literature (www.litprom.de). Ia bertugas mencari penerbit atau sastrawan yang karyanya bisa diterjemahkan dan dipasarkan pada publik berbahasa Jerman. Pertemuan diselenggarakan GI Jakarta, diawali perkenalan situs Forum-Buku, layanan informasi di internet milik Goethe-Institut Jakarta.

Untuk fiksi Indonesia, sejak 1984 Litprom baru menerjemahkan lima belas judul dari total kira-kira 560 judul di seluruh dunia yang mereka dukung untuk diterjemahkan. Menurut Ripken, dibandingkan fiksi Korea, Indonesia kalah jauh. Ia bahkan berani berasumsi bahwa Indonesia dan karya sastranya nyaris tak dikenal atau ada dalam pikiran pembaca Jerman. Dari daftar keluaran Litprom, fiksi Asia yang paling banyak diterjemahkan berasal dari India, menyusul Iran, Cina, dan negara Asia Selatan lain. Fiksi Indonesia yang sudah mereka terjemahkan cukup mudah ditebak, yaitu yang masuk dalam kategori sastra mapan, antara lain Armijn Pane, Ahmad Tohari, Mochtar Lubis, Oka Rusmini, dan Leila S. Chudori.

Hendarto Setiadi, seorang penerjemah, menyatakan buku Indonesia jarang diterjemahkan karena bangsa kita kurang berpromosi dan mengenalkan karya sendiri pada bangsa lain; Ripken pun menyayangkan kurangnya promosi dari para penerbit Indonesia. Sebab lain karena kemampuan berbahasa asing penulis Indonesia kurang, dan tak ada lembaga khusus yang bertugas menerjemahkan karya bangsa Indonesia. Rasanya, di Indonesia memang tak ada lembaga khusus yang berkepentingan/bertanggung jawab memperkenalkan fiksi Indonesia ke luar negeri. Lembaga yang suka menerjemahkan karya Indonesia justru berasal dari luar, didanai oleh negara bersangkutan atau lembaga donor tertentu.

Sebagian hadirin keberatan dengan dalih itu. Donny Gahral Adian, filsuf-penulis pemilik Penerbit Koekoesan, menyatakan semua tema sudah digarap penulis Barat dengan cara canggih; sudut pandang dan upaya apalagi yang bisa ditawarkan penulis kita agar bisa memikat publik Barat? Alasan ini diamini sebagian orang, yakni harus diakui mutu karya penulis Indonesia memang sering kalah dibandingkan karya penulis Barat, meski dalam beberapa aspek soal tema masih bisa dibicarakan lebih lanjut. Rani Ambyo, book packager dari Allegra Publishing, menyatakan persoalan yang kerap ia temui ialah banyak isi buku sebenarnya masih mentah, belum disiapkan dengan matang, sebenarnya bisa digarap lebih saksama daripada buru-buru diterbitkan. Akibatnya ketika terbit buku tersebut mengecewakan, sebab banyak aspek isi dan penyuntingan diabaikan.

'Ini memang PR bagi semua penerbit Indonesia,' kata Kartini Nurdin dari YOI dan Ikapi Pusat, mengakui betapa upaya peningkatan kualitas penerbitan Indonesia mesti jadi perhatian semua pihak berkepentingan. Ucapan itu pesimistik, tapi memang begitu keadaan kita. Semua penerbit menghadapi persoalan dengan kadar rupa-rupa, mulai aspek penyuntingan yang kerap terabaikan hingga pekerja atau penerjemah yang dibayar terlalu murah. Penerjemahan fiksi Indonesia ke bahasa asing tentu saja pernah dan terus-menerus dilakukan sejumlah penerbit, dengan tingkat keberhasilan berbeda-beda, termasuk pertaruhan: seberapa banyak terjemahan itu bisa diserap oleh publik bahasa target? Peluang keuntungannya ialah standar jumlah cetakan pertama yang lebih besar dibandingkan Indonesia. Meski penerjemahan selalu merupakan proyek prestisius, ternyata kendala ke arah sana sangat banyak.

Dalam Forum-Buku kemarin juga masih kabur faktor apa yang paling berpengaruh dalam upaya penerjemahan itu, entah tiada penyandang dana, pasar yang sangat kabur, hingga kekhawatiran untuk apa buku tersebut diterjemahan.

KEHADIRAN Peter Ripken ke Indonesia membuka peluang agar fiksi Indonesia makin banyak diterjemahkan, terutama Jerman. Litprom bisa memfasilitasi hal tersebut. Penerbit dan lembaga berkepentingan bisa langsung kontak; di Indonesia dia bisa dihubungi via Goethe-Institut Jakarta. Litprom sangat erat berhubungan dengan Frankfurt Book Fair, memajang buku yang sudah mereka dukung penerjemahannya atau dinilai bagus. Dari Litprom penerbit juga bisa belajar banyak soal bagaimana mempresentasikan diri di ajang pameran internasional atau memasarkan diri dengan lebih baik. Peluang itu terbuka bagi penerbit dan lembaga sejenis, bisa dicapai dengan mengajukan proposal lebih dahulu. Dengan begitu peluang penulis berbahasa Indonesia maupun daerah sama besar. Wajar bila kita usul agar Litprom segera meluaskan kategori fiksi yang hendak mereka terjemahkan, misalnya fiksi Islam, yang dalam industri buku Indonesia memberi sumbangan penting; kemudian fiksi kanak-kanak, yang tentu berlatar belakang budaya dan alam sangat berbeda dengan khazanah literatur kanak-kanak Barat; bahkan bila waktunya merambah komik dan novel grafis.

Tertarik? Jangan sungkan, Peter Ripken dan Litprom sangat kooperatif dan terbuka untuk segala bentuk kerja sama.[]

Kontak: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Telepon: (022) 2037348 HP: 08156-140621 Email: wartax@yahoo.com
Menemukan Spirit Menulis
>> Anwar Holid


Harga Sebuah Impian dan Kisah-Kisah Nyata Lainnya
Judul asli: Chicken Soup for the Writer's Soul
Penyusun: Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Bud Gardner
Penerjemah: Rina Buntaran
Penerbit: GPU, 2007
Tebal: 201 hal.
ISBN: 979-22-2546-3


Chicken Soup for the Soul merupakan salah satu serial buku paling fenomenal yang pernah terbit di Amerika Serikat (AS) pada awal 1990-an. Kesuksesannya terus bertahan dan berkembang hingga sekarang, bahkan kini menawarkan tema yang amat luas demi menjangkau kalangan tertentu sebanyak-banyaknya, termasuk remaja, ibu-ibu, wanita karir, kakek-nenek, bahkan narapidana. Per Januari 2006, seri Chicken Soup sudah mencapai 105 judul, terjual lebih dari 100 juta kopi, diterjemahkan ke lebih 50 bahasa. Semua di luar bayangan Jack Canfield dan Mark Victor Hansen, pencipta serial tersebut.

Chicken Soup secara khas terdiri dari kisah nyata pendek inspirasional dan motivasional, baik berupa cerita maupun esai. Biasanya satu judul memuat 101 kisah, rata-rata 4-5 halaman, hanya butuh beberapa menit untuk menuntaskannya. Pembaca bisa memulai dari mana saja, sebab kualitas cerita dan tujuannya sama, yaitu menyentuh, mengharukan, memberi semangat. Kisah tersebut sarat pelajaran, wawasan, dan kebijaksanaan, hingga selesai membaca salah satu kisah, pembaca sering terhenyak oleh betapa hidup seseorang bisa berubah oleh peristiwa tertentu yang sangat mengesankan; ketika itulah seseorang mendapat pelajaran seumur hidup yang tiada terkira mahal, melekat terus dalam benak, sulit dilupakan.

Menggandeng Bud Gardner, kali ini Jack Canfield dan Mark Victor Hansen menghidangkan ‘sup ayam’ spesial ditujukan bagi dunia yang selama ini melambungkan reputasi mereka ke tingkat sangat tinggi, yaitu dunia tulis-menulis dan perbukuan. Chicken Soup for the Writer's Soul edisi Indonesia ini terdiri dari 42 kisah dari ranah penulisan yang ladangnya luas. Di samping profesi yang sudah lekat dengan dunia kepenulisan, seperti novelis dan wartawan (jurnalis), mereka di antaranya menjadi kolumnis, penulis rubrik konsultasi, naskah lawakan, script-writer (skenario), tips rumah tangga, ibu rumah tangga freelance. Kesamaan utamanya, semua kontributor sudah pernah menerbitkan buku, laris (best seller), hingga akhirnya bisa hidup sejahtera dari menulis dan tinggal konsisten menghasilkan karya. Bisa dipastikan pemberi semangat tersebut bukan jenis penulis atau 'sastrawan' lusuh, kere, hidup dalam ketegangan mencari ide orisinal dan ingin menelurkan karya fenomenal. Mereka jenis penulis sukses yang mau belajar dari kesalahan dan hati-hati menjalani karir. Meski bukan tipe penulis kelas pemenang hadiah Nobel dan anugerah sastra terkemuka, teladan dari mereka ialah disiplin, berdedikasi, dan profesional.

Kisah Richard Paul Evans (h. 101-108) ketika menerbitkan sendiri The Christmas Box tentu bisa memotivasi dan menginspirasi, bagaimana optimisme mengalahkan kekhawatiran akan masa depan. Dia menulis novel 87 halaman itu sebagai hadiah Natal untuk kedua putrinya. Ternyata sebuah ilham memberinya keberanian membuat salinan sebanyak dua puluh kopi, dihadiahkan kepada keluarga dan teman. Dari sana sesuatu terjadi. Tanpa dia duga banyak orang meneleponnya dan bilang betapa buku tersebut menyembuhkan. Karena banyak dicari, seorang manajer toko buku menyarankan agar naskah itu ditawarkan ke penerbit. Ternyata semua menolak. Natal tahun berikutnya dia dan istrinya mencetak 20.000 kopi, menjual sendiri, dan sukses di negara bagiannya.

Sampai 1994 The Christmas Box belum punya penerbit, tapi suami-istri itu yakin bahwa Tuhan sengaja memberi misi dengan buku tersebut. Meninggalkan karir, menggunakan tabungan keluarga, dan meminta bantuan investasi seorang teman, mereka mengorbankan segala-galanya demi menerbitkan buku itu secara nasional. Ketika hendak mengambil risiko besar itulah tanda-tanda kegagalan segera ada di ambang mata. Di Pantai Timur dan Selatan, buku itu terkubur di antara ribuan judul lain. Bila tak laku sesudah Natal, buku itu pasti akan kembali dan mengonggok di gudang, menghabiskan uang yang ditanam, dan toko tak akan pernah memesan lagi. Ketika butuh publisitas media massa dan televisi untuk mendongkrak bukunya, Paul Evans sudah nyaris bangkrut. Rencana talkshow bukunya di televisi gagal diganti oleh acara tentang mendengkur, wawancara dengan People batal. Di saat bersamaan istrinya mengalami komplikasi kehamilan serius. Dia di ujung putus asa. Meski begitu ilham tetap menguatkannya. Ketika hendak menata ulang pemasaran buku itu, People memutuskan memuat artikel tentang buku tersebut. Keadaan segera berbalik. Sebentar kemudian dia ditelepon NBC agar menghadiri talkshow. Tiga minggu kemudian bukunya mencapai #2 di daftar best seller New York Times Book Review. Penerbit dan pembuat film berdatangan menawar bukunya. Simon & Schuster membeli hak penerbitan buku itu seharga US$4,2 juta. Akhirnya buku itu mencatat sejarah sebagai satu-satunya judul yang edisi hardcover dan paperback bersamaan menempati posisi pertama daftar best seller New York Times Book Review, diterjemahkan dalam 18 bahasa, dan sekitar 60 juta orang menonton filmnya.

Kisah penyemangat dari 41 penulis lain terungkap satu demi satu. Hanya nuansa dan penekanannya berbeda-beda. Kisah itu ditulis jujur, tulus, dengan tujuan berbagi gairah, kebahagiaan, pelajaran, dedikasi, profesionalisme, disiplin, ilham, dan wawasan. Wajar bila di setiap halaman selalu ada pernyataan, kalimat, adagium, parafrase, ungkapan, yang bisa dijadikan penggugah, kutipan favorit, pengikat semangat bagi pembaca, terlebih-lebih bila mereka sedang mencari peneguh memasuki dunia tulis-menulis. Sesama kontributor pun ternyata saling belajar, apalagi dari penulis atau guru menulis legendaris yang jadi favorit mereka ketika masih muda dan perlahan-lahan meniti karir di dunia penulisan. Mereka rendah hati, mau bekerja sama, mudah membantu.

Karena para penyumbang adalah 'penulis yang diterbitkan', kehidupan dan karirnya mempertaruhkan kemampuan menulis, sikap menghadapi penolakan, bersabar dengan kegagalan jadi topik yang sering dibahas. Pada saatnya mereka menemukan kemampuan terbaik sebagai kekuatan terbesar. Uang, kesuksesan materi dan karir, sekilas menjadi motif dan ukuran puncak seorang penulis. Meski pernah silau oleh itu semua, yang akhirnya disadari paling berharga dan bernilai tiada terkira ialah niat menemukan kebahagiaan, bahwa di atas kejayaan duniawi, mereka mengejar kepuasan batin dan hanya ingin berhasil menulis sebaik-baiknya. Tulis Dan Millman: Yang bisa kita lakukan sebagai penulis hanyalah mencoba, mengerahkan usaha, menabur benih, dan menuai panen yang diberikan dengan penuh sukacita dan syukur (h. 75).


HARUS dimaklumi buku ini terbit sesuai konteks industri penerbitan AS yang sudah mapan, seluruh unsur pendukungnya pun tumbuh semarak. Kondisi itu memungkinkan penulis bisa bekerja sama secara fleksibel dan menguntungkan dengan editor, agen naskah (literary agent), asosiasi penulis, penerbit, publisitas, agen film, sindikasi media, termasuk penerbitan ulang dan lembaga pajak. Semua memudahkan penulis menggandakan keberhasilan dan bisa mendapat bagian penghasilan dari berbagai jalur. Namun, di luar kemapanan maupun sistem yang sudah rapi, selalu saja lahir keajaiban yang kehadirannya senantiasa mengejutkan. Sejumlah keajaiban itu banyak hadir dalam buku ini.

Tampaknya ada perbedaan jumlah kisah dalam edisi Indonesia dibandingkan edisi asli. Dugaan ini bisa ditengarai di pendahuluan. Di situ dijanjikan pembaca bisa mengetahui kisah Steve Allen, Ernest J. Gaines, dan Hugh Prather, padahal tidak ada. Rupanya editor lupa mengganti nama mereka dengan penulis lain yang kisahnya disertakan. Kecerobohan ini sedikit mengherankan; apalagi bagi pembaca yang tahu bahwa edisi Inggrisnya memuat tulisan Dave Barry, Art Linkletter, dan Agatha Christie---yang juga tidak dipilih dalam edisi Indonesia.

Bila boleh disebut sebagai 'kekurangan' lain, kontributor tidak diberi biodata singkat sedikitpun, akibatnya---dibaca dalam konteks perbukuan Indonesia---mereka seolah-olah 'bukan siapa-siapa' yang pernah memberi kejutan maupun riak dalam khazanah industri penerbitan dan pers di AS. Ada baiknya editor mau menambah materi tersebut, toh bahan profil bisa dilacak cukup mudah melalui Internet. Misalnya tentang Dan Poynter, yang di bidang perbukuan dikenal sebagai pelopor 'self-publishing' (menerbitkan sendiri), sampai-sampai dijuluki 'ayah baptis ribuan buku' (h. 173).

Tapi barangkali Chicken Soup justru ingin mempertahankan kekhasannya, yaitu memberi kebajikan tanpa menggurui, bahwa pelajaran hidup bisa didapat dari siapa pun, apa pun reputasi penceritanya. Penyusun seri ini sudah kenal betul watak orang yang sering malas bila seolah-olah membaca ceramah sosok terkenal yang mesti didengar pengalamannya. Pembaca sekarang malah sering terkesiap oleh cerita mengesankan dari manapun, meski spam, namun setelah dibaca ternyata membangkitkan spirit, langsung 'nendang' ke hati.[]

Anwar Holid, eksponen komunitas TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.

FYI: Resensi ini dimuat di Kompas, Minggu, 15 April 2003

Kontak: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Telepon: (022) 2037348 HP: 08156-140621 Email: wartax@yahoo.com

Tuesday, April 24, 2007

Bapakku Bukan Kiai
------------------------------------
>> "ahan syahrul arifin"



"Kenapa gak pernah mau ngerjakan kewajibanmu? Segera sembahyang sana, adzan maghrib sudah lama berkumandang."

"Ah, bapak baru aja bisa sembahyang sudah berani nyuruh-nyuruh orang sholat. Emangnya bapak akan dapat apa dengan sholat? Surga? Ah itu kan ilusi terhadap keinginan kita untuk dapat balasan dari yang telah kita perbuat? Lihat tetangga kita yang setiap hari kerjanya membersihkan masjid, shalat berjamaah, tapi tidak lebih kaya daripada kita. Hidupnya sengsara, kadang-kadang malah keluarga kita yang memberi makan mereka. Atau jangan jauh-jauh, sejak bapak sadar menjalankan perintah sholat, zakat dan puasa, meningalkan minum-minuman keras, kita sudah jarang lagi bisa makan di Mc D setiap hari seperti dulu! Ketika bapak masih senang dengan hal-hal yang diharamkan, hidup kita lebih makmur, semua terjamin, permintaanku semua bapak penuhi sampai-sampai uang kantor bapak sering tilep demi menyenangkan putranya.

Tapi sejak bapak sering mondar-mandir masjid, menjalankan ritual senam membacakan mantra yang tidak pernah aku pahami untuk siapa dan untuk apa perlu dijalankan, semua keinginanku tidak semuanya terkabul.

Ada saja hambatannya. Buat pengeluaran zakat mal, anak yatim, santunan panti asuhan... Peduli amat dengan mereka. Lha mereka memang nggak pernah mau berusaha, hanya berdoa dan meminta. Tapi bapak lain pada peminta-minta."

"Tidak demikian Ton. Shalat bukan untuk mendapatkan uang atau materi, tapi untuk bekal kita di kehidupan nanti setelah kita mati."

"Kehidupan kedua... kayak Dragon Ball saja."

"Astagfirullah, tobat Ton. Tobat mumpung masih dikasih waktu untuk hidup."

"Bapak terus shalat yang bapak kerjakan untuk apa? Menyembahnya? Katanya Dia tidak perlu disembah, ekstenssinya tidak akan hilang walau semua mausia tidak datang membungkuk, meminta pertolongan padanya. Bodoh amat dengan pekerjaan sia-sia tersebut atau untuk menenteramkan hati.

Dengan main Play Station hati saya sudah senang daripada mengikuti cara bapak membungkuk-bungkuk seperti tadi."

"Tapi ketenangan yang kamu peroleh hanya pemuas nafsu belaka, bukan ketenangan sejati akan hakikat Ilahi yang begitu dekat denganmu. Ketenanganmu hanya ketenangan ragawi bukan ketenangan abadi. Jika PS-mu rusak kau akan marah-amarah lagi kan? Tapi kehadiran dalam dadamu akan mampu membuat kamu merasakan yang hendak direncanakan untukmu. Semua ada maknanya.[]

Wednesday, April 18, 2007

Cinta di Balik Jeruji
------------------------------
>> Septina Ferniati


Love Me Better
Judul asli: This is what an abusive relationship looks like
Penulis: Rosalind Penfold
Penerjemah: Dini Pandia
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2006
Halaman: 257 h.
ISBN 979-22-1933-1



Kalau kita melepaskan kekuatan pribadi atas nama cinta, kita berisiko menghancurkan diri sendiri perlahan-lahan.
---Rosalind Penfold


JIKA seseorang mengalami peristiwa traumatik dalam hidup, otaknya tak sanggup memuat trauma itu. Otak tak tahu cara menyortir atau menyimpan kenangan-kenangan buruk, dan membiarkannya tetap begitu. Sebagian besar potongan kenangan pahit itu tiada karena otak berusaha melindunginya. Itulah sebabnya seseorang selalu bisa kembali dan kembali pada tempat atau orang yang menjadi penyebab trauma itu. Sementara kenangan manis tersimpan dengan rapi seperti album foto kenangan, sebagai cerita dengan awal, tengah dan akhir cerita. Seseorang bisa mengingat kenangan manis karena otaknya menyortir kenangan manis itu dengan logis. Semuanya masuk akal.

Dalam Love Me Better, Rosalind Penfold (Roz)---nama samaran---mengisahkan pengalaman buruknya hidup bersama seorang duda empat anak yang kerap melakukan kekerasan verbal, emosional, seksual, dan fisik pada dirinya. Buku ini merupakan memoar berbentuk novel grafis (graphic novel) karyanya sendiri. Kalimat-kalimat yang menyertai gambar-gambar di dalamnya sangat menyentuh dan berpengaruh.

Diawali ajakan Rosalind untuk melihat-lihat gambar hasil karyanya selama menjalin hubungan dengan kekasihnya Brian, buku ini dibagi dalam enam bagian, yaitu Mulai (Bulan Madu), Tersesat (Jekyll and Hyde), Terluka (Bertahan), Keluar (Melepaskan), Pulang (Menemukan jati diri), dan Epilog (Lima tahun kemudian). Love Me Better merupakan buku pertama mengenai kekerasan yang ditulis oleh korban penyiksaan tanpa siratan dendam ataupun amarah, persis kata Roz di bagian pembukaan, "Aku tak mau menyakiti, aku hanya ingin membantu."
Awalnya, sebagaimana perempuan korban kekerasan lain, Rosalind selalu menyangkal dirinya disakiti atau terluka. Di bagian awal penyangkalan itu jelas tampak dengan terlontarnya kalimat seperti “Mungkin aku tidak sensitif, mungkin dia cuma stress, aku tahu dia mencintaiku, dia tidak jahat, pekerjaannya bagus, kalau saja aku lebih pengertian, bukan salahnya, aku yakin dia tidak berniat begitu,” dan masih banyak lagi. Dalam banyak kasus, malah korban justru sering merasa bersalah dan merasa layak diperlakukan begitu. Padahal pada dasarnya kekerasan adalah kekerasan, bagaimanapun wujud dan rupanya.


ROSALIND bertemu Brian di sebuah pesta. Mereka saling tertarik sejak awal. Seiring waktu mereka semakin dekat dan saling mencintai. Kehidupan lajang Roz berubah. Karena kekasihnya punya empat anak, kehidupan anak-anak itu otomatis menjadi tanggung jawabnya. Tidak ada keberatan baginya. Landasan hubungannya dengan Brian benar-benar berdasarkan cinta.
Kemudian kekerasan pertama terjadi, disusul kekerasan-kekerasan lain yang sangat mengganggu. Kekerasan tak pernah lepas dalam bab demi bab buku ini. Kekasihnya kerap marah karena hal sepele, dan bila itu terjadi, kata-kata kasar atau pukulan pun mendarat pada Roz, tak peduli tempat, atau waktu. Kekerasan itu pun menimpa anak-anak. Semakin lama semua semakin tak terkendali. Jika kekasihnya mengamuk, tak seorang pun luput dari amuknya.

Kekerasan Brian dilakukan pada semua anggota keluarga, bahkan orang lain. Tom dipaksa minum minuman keras, Lizzie dilecehkan secara seksual, Megan dicap sebagai pembunuh ibunya, Jim diintimidasi dengan kata-kata kasar. Bahkan anjing peliharaan anak-anak dipenuhi belatung hingga harus disuntik mati, karena Brian tak pernah mengizinkan anjing itu masuk rumah, meski cuaca dingin membeku. Roz mendapatkan pelecehan paling parah dan paling sering, sampai-sampai dia tak mampu lagi mengenali siapa dirinya. Dalam keadaan lelah dan sakit secara fisik dan mental, Brian malah kerap memperlakukannya seperti binatang.

Kekerasan menghadirkan ekses sangat mengerikan. Dia "membunuh" jiwa orang-orang yang ada di sekitarnya. Roz kehilangan kendali atas dirinya. Yang terjadi selama sepuluh tahun benar-benar menyiksa. Masa-masa manis hanya berlangsung sekejap. Sedangkan masa-masa suram berlangsung seolah selamanya, tak berakhir dan intens. Namun anehnya, Roz selalu bersedia kembali dan kembali, demi cinta. Semua bagian dari dirinya telah direnggut sedemikian rupa, sehingga Roz menjadi tergantung dan menganggap kekasihnya adalah sumber kehidupannya. Dalam sebuah novel karya Alexander McCall Smith, Kantor Detektif Wanita No.1, ada kalimat sangat kuat yang terlontar dari mulut seorang dokter pada pasien korban kekerasan, “Sudah pasti Anda akan kembali padanya. Selalu begitu. Sang wanita kembali untuk minta tambah lagi.”

Dari halaman 214 sampai 217 Roz menceritakan percakapannya dengan Brian melalui telepon. Brian memohon Roz mencabut tuntutan ke pengadilan dengan dalih anak-anak, padahal saat itu sangat menentukan dalam hidup Roz mencanangkan keadilan bagi dirinya. Dengan pengaduan dan bukti-bukti fisik berupa lebam di tubuhnya, Brian bisa di penjara. Namun Roz menyerah. Dengan cerdas dia menggambar simbol hati yang awalnya terpenjara dalam jeruji, lalu perlahan-lahan terbuka hingga akhirnya benar-benar terbuka dan membuat gambar hati itu terlepas bebas dari jeruji. Cinta. Benar-benar cinta yang membuatnya rela menarik pengaduannya dan melepaskan Brian dari jerat hukum.

Namun cinta saja tidak cukup. Apalagi jika cinta itu bukan cinta yang baik. Roz bahkan sempat terpikir untuk mengakhiri hidup. Ingatan pada anak-anak membuatnya rela menderita. Padahal jangankan menolong anak-anak, menolong dirinya ke luar dari siklus kekerasan saja dia tak berdaya. Tanpa sadar dia semakin membenamkan diri dalam siklus yang selalu terulang dan terulang lagi.

SETELAH sepuluh tahun berisi daftar panjang kekerasan, Roz berjuang untuk ke luar dari siklus itu. Dia mendatangi seorang terapis yang membantunya mengenali dirinya lagi. Perlahan-lahan Roz mulai berani berjarak dari kekasihnya, demi menemukan dirinya kembali. Dia dapati dirinya begitu sedih karena harus berpisah. Pengalaman membaca membuatnya mengetahui teori dua merpati---hasil percobaan psikolog B.F. Skinner---yang dikondisikan untuk merasa aman dan tidak aman. Merpati pertama mendapatkan makanan setiap kali menekan tuas; sedangkan merpati kedua dikondisikan tak pernah tahu kapan dan apakah akan mendapatkan makanan, jadi tak pernah bisa merasa aman. Ketika makanan untuk kedua merpati itu diambil, merpati pertama langsung mengerti sambil menunggu; sementara merpati kedua terus berusaha lebih keras dan semakin keras mematuk tuas sampai hampir mati kelelahan. Roz sadar, dirinya mirip merpati kedua.

Yang patut disayangkan ialah pertama Roz melepas kemungkinan Brian diadili. Padahal jika diadili, Roz dapat membantu orang lain terhindar dari kemungkinan menjadi korban Brian selanjutnya. Jika di penjara, Roz membantu Lizzie terhindar dari kemungkinan dilecehkan Brian. Kedua butuh rentang waktu sangat lama (sepuluh tahun) untuk ke luar dari siklus kekerasan. Sejak pertama kali dicekik di lantai dansa karena Brian cemburu, harusnya Roz mendengarkan kata hati. Apalagi setelah tahu ada perempuan-perempuan lain, pelecehan terhadap anak kandung, aborsi, sungguh mengejutkan dia masih mau bertahan dan berharap Brian berubah.

Ketika benar-benar ke luar dari siklus kekerasan, Roz hanya ingin dicintai orang yang mampu mencintainya dengan lebih baik. Karena baginya, cinta yang baik dapat membuat orang menjadi lebih baik. Di epilog, setelah lima tahun berpisah dari Brian yang menikah dengan perempuan lain, dengan jujur Roz merasa dirinya kurang. Dia masih merasa jangan-jangan dia bersalah sehingga hubungan mereka gagal. Padahal ketidaksetiaan, perilaku buruk dan kekerasan terus terjadi jika pelaku tidak diganjar setimpal, entah oleh hukum negara maupun masyarakat.
Jika hubungan antar dua manusia dilandasi cinta, kasih sayang, pengertian, dan saling menghormati, cinta bisa tumbuh dan berkembang dengan subur. Namun sebagian besar hubungan yang hanya dilandasi perasaan cinta semata kemungkinan kurang berhasil, apalagi jika disertai kekerasan berulang-ulang. Para pelaku kekerasan sangat ahli membuat korbannya percaya bahwa mereka melakukan kekerasan dengan dalih cinta. Padahal alih-alih mencintai, pelaku bahkan tidak tahu siapa diri mereka sebenarnya. Salah satu penderitaan terbesar manusia adalah ketika seorang individu gagal mengetahui atau mengenal siapa dirinya sebenarnya.

Kekerasan bisa terjadi pada siapa saja, tanpa pandang bulu. Laki-laki, perempuan, anak-anak, dan orang dewasa dapat menjadi korban. Pasti ada Rosalind-Rosalind lain di manapun, kapanpun. Buku ini dengan gamblang dan jujur memperlihatkan tanda-tanda kekerasan. Jika mendapati diri kita seperti Rosalind, buku ini dapat membantu kita berjuang ke luar dari lingkaran kekerasan yang hanya akan menciptakan penderitaan dan ketidakbahagiaan.
Karena sesungguhnya, kita begitu berharga.[]

Penulis adalah eksponen komunitas Textour dan instruktur Klab Nulis Tobucil Bandung.

Alamat:
Jalan Kapten Abdul Hamid,
Panorama II No. 26 B Bandung 40141
Telepon: (022) 2037348
HP: 08156-140621 Email: ferniatiseptina@yahoo.com

Wednesday, April 11, 2007


>> Anwar Holid

Hasratmu dibatasi oleh kepemilikan
demikian tulis orang
Bahwasanya Dia yang memberi kekayaan dan kecukupan
begitu firman Tuhan

KEINGINAN luar biasa banyak dan sulit dibatasi membuat manusia senantiasa kekurangan, kekeringan dari rasa cukup; dan entah bagaimana cara memenuhi kekurangan itu agar cukup. Manusia memang tampak dikutuk oleh rasa kekurangan, dan seiring waktu, karena gagal belajar dari banyak hal, kesulitan mencari cara menutup perasaan itu agar suatu ketika terpuaskan.
Apa yang cukup buat manusia? Taruhlah manusia beragama; apa itu cukup? Tidak; dia harus memilih, yakin, atau bersiteguh dengan salah satu agama yang tersedia di dunia, kalau tidak dia harus 'menciptakan' agama baru---dengan risiko didakwa bidah atau murtad, dua hal yang sama-sama berbahaya. Bila telah memilih satu, ternyata masih banyak kekurangan. Dia disyaratkan taat beribadah, bukan sekadar 'yakin' meski bisa jadi keyakinan itu seteguh nyawa bertaut dengan tubuh. 'Keyakinan' bisa berarti nol bila seorang beragama tidak beribadah. Ketika sudah beribadah, dia harus khusyuk; tapi apa cukup khusyuk? Ternyata tidak. Dia juga harus sabar. Sayang, sekadar tambahan sabar juga masih jauh dari cukup. Manusia beragama juga mesti ramah, baik hati, rendah hati. Semua itu pun masih kurang. Dia harus toleran, hemat, memberi sumbangan, beramal, berbuat baik pada sesama---biasanya diprioritaskan bagi orang seagama, mudah berkorban bagi orang lain, melupakan pamrih, asketik. Orang yang sudah memenuhi kriteria di awal dituntut menambah kualifikasi. Bila sudah taat beribadah dia juga mesti baik pada orang miskin atau anak yatim.
Namun semua kualitas itu masih terlalu sederhana untuk bisa masuk dalam kategori beragama dengan baik; sebaliknya sangat banyak unsur lain yang mesti dipenuhi agar seseorang termasuk memuaskan dalam urusan beragama; dan bisa jadi kekurangan itu begitu luas sampai manusia sendiri kesulitan menentukan batas-batasnya. Karena aspek beragama sangat banyak, bentuk 'kekurangan' bisa sangat pelik.
Bila tidak, ketaatan itu langsung sia-sia. Tidakkah ini absurd? Kenapa tega membuat orang beragama taat beribadah jadi sia-sia hanya karena sebuah kualifikasi yang gagal dipenuhi? Tidakkah keunggulan aspek tertentu itu ada artinya? Ini membuktikan ternyata sedikit-banyak manusia itu punya sifat totaliter akut; dan akibatnya manusia diseret menjalani hidup yang rumit dan tanpa kompromi. Buktinya, bila ketika beribadah dia belang-betong (tidak konsisten, putus-putus), seketika kekurangan sebagai orang beragama langsung tampak mengemuka; dan orang lain akan mudah bisa bilang, 'Ah, dia hanya kadang-kadang saja beribadah, beragamanya masih goyah.'
Nyaris sama ceritanya bagi suami. Seorang pria yang jadi suami dituntut bukan hanya mencintai istri; tapi mesti bertanggung jawab pada kehidupan keluarga, memiliki mata pencaharian, mendapat penghasilan. Tapi 'memiliki mata pencaharian' adalah istilah rentan; bila suami bermata pencaharian sebagai calo misalnya, masihkah istri dia senang, bangga, atau malah memberenggut malu, termasuk berusaha menyembunyikan kenyataan itu? Bila mata pencaharian suami tukang jual agar-agar murahan di SD, tukang sol sepatu, tukang jagung rebus keliling, masihkah istri bisa tenang dan ikhlas menerima? Bila suami bekerja sebagai pembunuh bayaran, buruh angkut pasar, tukang beling, gigolo, atau bintang film porno, akankah istri dengan bangga mengenalkan dia pada tetangga dan orangtua? Akankah seorang istri bisa tersenyum ramah bilang terus terang pada temannya, 'Suami saya bromocorah lho; kalau ada perlu, suami saya bisa bantu kok...' Atau seorang ibu bilang pada temannya, ‘Anak saya preman pasar, kalau mbak perlu, bilang saya saja ya...’
Itu belum seberapa; mata pencaharian masih bernilai minus bila pendapatan yang bisa diperoleh sedikit. Katakan ada suami berprofesi sebagai bintang film, tapi ternyata honornya kecil, serba kekurangan, order main jarang sekali, dapat peran senantiasa kecil yang remeh, dan namanya tenggelam entah di balik buku telepon mana, akankah istrinya puas, keluarga baik-baik saja, tidak menuntut, atau sang suami sudah bisa cukup senang? Bila suami berprofesi sebagai editor, tapi digaji kecil, tidak dihargai, reputasinya buruk, jarang berhasil menemukan atau menciptakan buku sukses (baik bestseller maupun memperoleh penghargaan), terus jarang punya proyek di luar kantor, mesti utang ke sana-kemari, atau sering minta kasbon untuk memenuhi banyak kebutuhan; akankah istrinya tetap minta dia mempertahankan profesi sulit itu? Profesi tanpa penghasilan besar akan sia-sia, dianggap sebagai kekurangan. Seorang suami penulis tentu kesulitan bila buku yang dia tulis seret dijual, bahkan bila setelah diobral gila-gilaan sekalipun, sebab royalti bagiannya mustahil bisa diandalkan untuk menopang penghidupan istri dan keluarga. Meski profesi penulis dari sudut pandang tertentu membanggakan dan bisa dibangga-banggakan bila tepat waktunya, begitu tidak punya sumbangan signifikan pada ketenangan keluarga dan urusan rumah tangga, mungkin lebih baik profesi itu dikubur dan cepat-cepat suami pindah kerja, misalnya jadi pemecah batu. Tapi... apa cukup jadi tukang pecah batu?
Berpenghasilan pun ternyata masih kurang. Sekilas ini jelas dan mudah dimengerti. Apa artinya penghasilan bila terlalu mudah habis untuk kebutuhan sehari-hari sebulan, atau kebutuhan lain untuk maksud tertentu dan dalam jangka waktu panjang? Selama penghasilan seseorang masih kurang daripada kebutuhan belanja, sejauh itu pula orang dituntut mendapat lebih banyak. Karena penghasilan kecil tentu menyulitkan istri, anak, keluarga, atau diri sendiri.
Bila penghasilan ternyata masih terlalu sedikit buat biaya rutin, beli pulsa, bensin, makan bakso atau donat, baju, kosmetik, rokok, alkohol (bagi yang membolehkan), celana dalam, kondom, bayar biaya sekolah anak, oleh-oleh buat keluarga di luar kota, menyisihkan sedikit buat tetangga, uang jajan anak... apa artinya? Bagaimana menyiasati keinginan anak punya motor atau komputer bila penghasilan suami ternyata terlalu sedikit buat beli? Bagaimana menenangkan kegelisahan istri ingin beli kompor gas, oven, bila penghasilan sudah habis buat bayar rekening? Bagaimana seorang suami bisa beli rumah tunai bila uang yang dia dapat dalam sebulan ternyata sudah habis buat bensin?
Orang berpenghasilan kemudian dituntut mampu meraup dalam jumlah besar, setidak-tidaknya cukup untuk setiap kebutuhan yang muncul kapan saja; berkompromi dengan persoalan ini senantiasa alot, jadi nasihatnya ialah lebih baik dipenuhi. Orang berpenghasilan masih rentan oleh hinaan, predikat merendahkan, bahkan masuk kategori miring, misalnya miskin, termasuk kelas bawah, berekonomi pas-pasan. Bukan predikat itu yang persis bikin empet (sesak), tapi justru rasa malu orang menerima bahwa golongan seperti itu faktanya memang ada. Kalau memang ada, bukankah sebaiknya diterima saja? Kenapa juga harus dihapus? Bukankah itu berarti berpeluang mengayakan kemanusiaan?
Tegasnya, orang belum boleh puas bahkan ketika dia sudah punya pengghasilan atau pekerjaan; ada banyak kekurangan menanti dia di depan sana, demi memenuhi harapan sebagai manusia wajar. Kalau penghasilan kurang, terpaksa orang harus berutang, mengingat di dunia ini semua mesti bayar. Tapi berutang demi memenuhi kecukupan kebutuhan langsung dianggap buruk dan merupakan langkah tidak populer. Kalau tidak, orang itu mesti pintar-pintar cari tambahan, entah dengan order di luar atau lembur, atau meningkatkan karir agar digaji lebih banyak. Sampai sedemikian rupa, hingga orang merasa kekurangan tiada akhir.
Suami dengan profesi berpenghasilan besar masih pula punya kekurangan, misal apabila dia galak/keras pada istri, otoriter pada anak, sulit kompromi dengan tetangga atau pemerintah yang menyebalkan, menantang menolak bayar pajak atau menolak memberi suap, terlebih-lebih bila dia punya istri muda. Suami tipe seperti itu mudah sekali disalahpahami. Orang dengan senang akan bilang, 'Memang sih penghasilan dia besar dan mencukupi kebutuhan keluarga, tapi pada anak dan istri galaknya minta ampun; suami saya rasanya lebih baik dari dia.' (Padahal, suami dia penghasilannya jelas-jelas lebih rendah dari suami yang dijelek-jelekkan itu). Selain itu suami berpenghasilan besar dituntut berpenampilan menarik, tampak senantiasa sehat, ceria, luwes. Pakaian yang dikenakan suami juga mesti bersih dari cacat dan noda. Bila suatu ketika dia terlihat orang mengenakan baju dengan noda karat di saku atau sobek sedikit di bagian ketiak, orang akan mencela, 'Apa penghasilan dia masih kurang buat beli baju baru yang lebih bersih dan utuh?' Bila suami gembrot, perut bergelambir, buncit, atau sebentar-sebentar ngupil, tentu hal itu jadi sumber cacat. Istrinya bisa jadi jijik lihat suami berpenampilan seperti itu, meski uangnya melimpah ruah dan kebutuhan keluarga terpenuhi. Sampai ada cerita seorang istri bahkan suka mengejek, menghina, dan mual begitu tiba waktu bersanggama dengan suami berpenampilan seperti bandot tua itu. Aneh, kekayaan, kecukupan materi, rupanya nyaris tak punya pengaruh apa-apa pada kenikmatan dan kepuasan seksual. Jadi apa arti berpenghasilan memuaskan bagi istri, anak, dan keluarga?
Karena senantiasa kekurangan, wajar bila manusia jadi mudah sekali mengeluh, termasuk oleh hal-hal kecil dan insignifikan.
Apa baju bernoda karat akan mengurangi kualitas keunggulan suami yang berprofesi terhormat dengan penghasilan besar dan memperlakukan istri dan anaknya penuh cinta? Kalau tidak, kenapa juga baju berkarat itu harus dibuang atau disumbangkan buat korban bencana alam? Menimbang 'kekurangan' itu, betapa malang membayangkan nasib seorang suami berpenghasilan rendah, sering kekurangan uang buat memenuhi kebutuhan keluarga, terus tambahannya dia ternyata kurang sabar, kesulitan memperlakukan istri dengan baik, menyia-nyiakan anak, dan meninggalkan kewajiban keluarga. Kenapa 'tambahan' sifat buruk itu selalu ditolak sebagai 'kelebihan' watak orang? Bagaimana bila demi mendapat penghasilan besar itu ternyata orang jadi tega dan secara sadar melakukan korupsi atau jadi pelit menyisihkan uang untuk berbuat kebaikan? Manusia yang malang....
Ada banyak contoh bahwa penghasilan besar, kebaikan, keramahan suami, masih saja belum cukup untuk memenuhi standar kriteria memuaskan, misalnya bila dia kerja di luar kota (daerah) dan membuatnya jadi week end husband atau bahkan bisa lebih lama lagi, misalnya hanya berjumpa dengan istri dan anak sebulan, tiga bulan, setahun sekali. Ada banyak bukti suami yang meninggalkan rumah lama-lama demi mencari nafkah yang bisa memuaskan dan mencukupkan kebutuhan keluarga, akhirnya berdampak negatif bagi keluarga itu sendiri; entah membuat keutuhan rumahtangganya terancam, anaknya secara emosi dan mental jauh, mengantar keluarganya rawan retak, sementara dia dikhawatirkan terpikat perempuan lain di tempat menginap sehari-hari. Padahal dia terpaksa rela berjauh-jauhan dengan keluarga demi memenuhi kewajiban dan kecintaan keluarga. Istri yang terlalu sering pisah dengan suami, dan jaraknya lama, bisa-bisa akhirnya merasa 'melayani' orang asing atau bahkan jadi pelacur atau gundik---karena hanya rutin dikunjungi. Mungkin akhirnya dia memutuskan mencari alternatif selain suami. Anak yang terbiasa pisah dengan ayah akan jadi asing, akhirnya bilang pada teman bahwa ayahnya kurang peduli pada keluarga, lebih suka bila ayahnya lenyap---tapi bila uang jatah sangunya juga hilang, tentu dia keberatan dan kecewa. Akibatnya disarankan suami idealnya hidup sehari-hari dengan istri-anak di rumah, menghindari keterpisahan yang terlalu lama.
MENIMBANG ide bahwa manusia adalah bukti sempurna adanya penciptaan, gambaran terdekat ‘wajah’ Tuhan, aneh rasanya mengakui betapa manusia mudah sekali merasa kekurangan, entah kekurangan segala yang berunsur raga (jasad, tubuh) maupun jiwa; di lain pihak meski bisa jadi cara menenangkan/mendamaikan kekurangan kadang-kadang sederhana, orang kerap malas memilih atau bersikap, malah berusaha memenuhi dengan cara permukaan, absurd, dan justru inesensial. Karena jasad dan indra mudah merasa kekurangan, manusia mengira bisa sepenuhnya mengatasi kekurangan itu dengan belanja baju dan aksesoris, terus mempercantik atau memperindah diri di salon, membentuk tubuh dengan latihan atau obat-obatan, mengejar dan membela makanan ke mana-mana, atau mengoleksi banyak-banyak benda yang disangka bisa memuaskan kekurangan. Terus-menerus merasa kekurangan bisa membuat manusia terpicu menciptakan kemajuan; atau sebaliknya senantiasa didera oleh kekurangan dan haus keberhasilan. Namun, setelah segala kekurangan terasa bisa diatasi secara trivial (bernilai rendah), manusia segera kekurangan lagi. Sebab, sebagaimana kata Alain de Botton, ‘Kaya raya tidak menghapus keresahan jiwa atau mendatangkan kebahagiaan.’
Di dalam The Consolations of Philosophy (2001; terj. 2003), Alain de Botton mengidentifikasi enam kekurangan sehari-hari yang kerap dialami manusia, yaitu ketidakpopuleran, kekurangan uang, frustrasi, ketidakmemadaian, patah hati, dan kesulitan. Yang menarik dan membuat kekurangan itu jadi tampak luar biasa sekaligus dalam, dia berhasil membuktikan bahwa segala kekurangan yang dimiliki manusia ternyata persis bisa dijadikan sumber daaya mendapatkan kekuatan dan keunggulan kualitas manusia; sebagai motivasi. Tentu, karena dia mengambil kasus kekurangan yang mendera para filosof, semua derita itu bisa diselesaikan dengan mencari penghiburan dari alam filsafat---sebuah ide yang persis mengambil semangat De consolatione philosophiae (kira-kira 523) karya Anicius Manlius Severinus Boethius.
De Botton masing-masing mempelajari hidup dan pemikiran Socrates untuk menghadapi ketidakpopuleran; Epicurus untuk kekurangan uang; Seneca untuk menguraikan frustrasi, Montaigne terhadap segala macam ketidakmemadaian; Schopenhauer demi menjelaskan patah hati, sebab julukannya adalah ‘Sang Pesimis Agung’; dan Nietzsche untuk mendapat kejernihan tentang kesulitan. Keenam orang itu sengaja dia pilih dijadikan contoh par excellence betapa kekurangan, malapetaka, kelemahan, masalah, bukan halangan untuk mencari dan menemukan keunggulan sebagai manusia, bahkan dengan cara paling sederhana dan naif---misalnya dilakukan Diogenes dari Sinope, yang dengan sadar memilih hidup liar sebagaimana anjing. Studi de Botton akan membuktikan bahwa manusia pada dasarnya memang rapuh terhadap kekurangan, dan hanya dengan ‘keras kepala’ saja manusia mendapat kebahagiaan ataupun mampu mengatasi kekurangan dan berharap memperoleh hakikat hidup atas kehadirannya di dunia; ujung-ujungnya jadi bijak.
Hidup bijak biasa dikaitkan dengan usaha mengurangi penderitaan: kecemasan, kesedihan, kemarahan, penghinaan diri, dan sakit hati---semua itu merupakan bentuk ‘kekurangan’ jiwa. Orang biasa dianggap ‘berhasil’ bila mampu mengatasi segala kekurangan, entah kekurangan materi atau spirit; kedua-duanya mesti imbang terpenuhi. Untuk menggenapi, orang yang makin mampu mengurangi (mengendalikan diri) ketertarikan pada benda duniawi atau hal-hal artifisial di dalam kehidupan demi mendapatkan ‘nilai sejati’ juga lazim dianggap lebih mulai. Lepas bahwa memiliki harta melimpah dan senantiasa tersedia kerap bisa dianggap kemuliaan pada titik tertentu, orang yang mampu memilih hidup sangat sederhana, terus-menerus sengaja mengurangi kepemilikan terhadap sebanyak mungkin benda, juga dihargai dengan pantas.
Contoh atas kedua ekstrem ini banyak, misalnya Evo Morales (Presiden Bolivia) dan Ayatullah Ruhullah Khomeini (alm. pemimpin spiritual Iran). Evo Morales adalah juragan coca yang sudah begitu kaya, sampai-sampai jatah gaji jabatan presidennya dia berikan kepada rakyat; sedangkan Ayatullah Ruhullah Khomeini adalah pemimpin yang hidup begitu sederhana; informasi menyebut ketika meninggal dunia yang tersisa dari dirinya antara lain hanya buku. Kedua pilihan berbeda jauh itu ternyata bisa sama-sama mulia. Orang yang memilih kekurangan dihibur dengan keteguhan dan kecukupan. Ada keyakinan tertentu bahwa makin sedikit yang dimiliki manusia justru akan semakin mudah mengantarkan kebahagiaan; apa ini bisa juga diartikan bahwa semakin bodoh manusia (i.e. kosong sama sekali) justru akan semakin selamat? Jalan agama sering sekali menekankan bahwa manusia itu lemah, bergantung (dependen, fakir) baik kepada Tuhan dan manusia lain, sambil terus-menerus menasihati betapa mulia bila tetap rela memberi, meski dalam kekurangan. Sebaliknya, toleransi buat manusia gagal biasanya nol, dan bagi mereka yang menomorsatukan keunggulan, manusia gagal boleh dilenyapkan.
MEMBICARAKAN kekurangan terbukti sama sekali tak punya dampak menguatkan kebaikan atau keunggulan pihak yang membicarakan. Meneruskan contoh tentang suami tadi; karena melihat suami banyak memiliki 'kekurangan' (lepas dari segala kelebihan dan keunggulan yang dimiliki dengan mantap), di bawah sadar suami juga bisa merasa memang punya kekurangan, dan kemungkinannya dia jadi terobsesi melawan kekurangan dengan banyak cara. Bila dianggap kurang menawan, mungkin saja dia membalikkan anggapan itu dengan banyak-banyak berzina, agar menurut dia keadaan berbalik atau seimbang. 'Meski aku dibilang jelek, toh banyak perempuan yang mau aku ajak zina; jadi baik-baik saja.' Bila segala kebutuhan materi dan hasrat istri, anak, keluarga, terpenuhi dengan baik, masih ada satu kemungkinan kekurangan, yaitu bisa jadi dia dianggap kurang memberi nafkah agama---ialah melanjutkan topik yang pertama tadi kita bicarakan.
Kurang 'memberi nafkah agama' ini rasanya terdengar konyol. Baiklah kalau seorang suami dinilai kurang memberi nafkah agama atau memang demikian faktanya; bagaimana dia mesti membayar kekurangan itu? Apa dengan berbagi segala pengetahuan, ketaatan beragama pada istri dan anak, atau dengan segera buru-buru mendalami ilmu agama, kemudian memberikan itu pada keluarga? Mestikah kecukupan nafkah materi itu jadi sia-sia bila suami gagal memberi nafkah agama; atau apakah nafkah materi ternyata masih kurang saja buat memenuhi syarat keluarga yang baik, dan itu harus ditambah dengan nafkah batin dan agama segala? Bila ada seorang suami penuh oleh nafkah agama, tapi di sisi lain dia gagal memenuhi nafkah materi bagi istri, anak, atau keluarga, apa itu akan cukup, atau masih kurang? Bila ada suami punya ilmu agama berlebihan, terus banyak-banyak mengorbankan diri di jalan agama lebih dari pengorbanannya buat keluarga, apa tindakan itu masih terpuji? Bila seseorang karena taat beragama berkorban demi agama hingga membuat nafkah untuk keluarganya terambil, atau jadi lebih sedikit, atau malah tidak sama sekali, apa dia melakukan hal bijak? Bukankah banyak suami taat beragama dikecam karena jadi menelantarkan istri, anak, rumah, dan pergi berjuang demi menegakkan agama? Bukankah lelaki seperti itu punya banyak nafkah agama dan dia bermaksud memberikan yang terbaik buat imannya, buat sesuatu yang paling berharga dalam hidup dan dirinya? Apa sebenarnya maksud ‘nafkah yang cukup’ itu? Kenapa 'kekurangan nafkah agama' tidak dianggap sebagai kewajaran atau pilihan seseorang, toh punya nafkah agama dan materi ternyata sulit dibandingkan. Kedua hal itu ternyata lain, tidak bisa saling menggantikan. Kenapa tidak sebaiknya suami yang tidak punya nafkah agama dibebaskan dari kewajiban memberi sesuatu yang memang tidak dia miliki, dan menyarankan agar istri atau anak atau keluarganya mencari nafkah agama pada pihak lain? Bukankah manusia pada dasarnya tidak dituntut untuk sesuatu yang tidak dia miliki, atau bukan tanggung jawabnya?
Kalau ada kesepakatan, bukankah memungkinkan menukar kecukupan nafkah materi dengan kekurangan nafkah agama; dengan begitu si suami terbebas dari beban berlebihan atau sudah pasti gagal dia penuhi. Bukankah dengan segala kekayaan dan kecukupan agama atau beribadah pun, seseorang terlalu mudah dijadikan sasaran kejengkelan? Kasus ini bisa terjadi pada orang yang penuh ilmu agama tapi misalnya mengaku homoseksual, sementara agama yang dia imani melarang homoseksual. Dia akan rentan diserang; 'Dia memang taat dan punya banyak pengetahuan agama, sayang dia homo.' Dan seketika kualitas keunggulan dia berhamburan jadi debu.
Agak aneh banyak keunggulan unsur agama dalam diri orang ternyata justru sangat mudah digunakan untuk memperlihatkan kekurangan sisi lain. Seseorang dengan ketaatan beragama atau beribadah yang luar biasa justru bisa dengan gampang digugat, misal dengan komentar begini, 'Sayang dia suka memberi upah sangat kecil pada rekan kerjanya, bahkan menggunakan alasan amal buat agama.' Tapi benar; kerja adalah soal kerelaan dan kesepakatan---bila salah satu tidak ridha, bahkan alasan Tuhan dan agama pun tentu hanya akan membuat sesak dan sebal pihak yang kecewa. 'Meski ahli agama, saya nggak bisa bersimpati pada dia, habis istrinya banyak.'
Orang beriman taat beribadah ternyata mesti juga siap menanggung prasangka keji dan menjatuhkan bahkan dari sesama orang yang suka ibadah dan taat beragama; misalnya, 'Dia rajin beribadah karena punya pamrih, ingin dianggap baik oleh tetangga, dianggap saleh oleh mertua. Ibadahnya akan sia-sia. Ibadah itu nilainya nol di hadapan Tuhan.' Seseorang bisa meremehkan dan merendah-rendahkan kualitas keunggulan ulama terkemuka tertentu karena ulama itu gagal memenuhi kualifikasi ahli agama ‘berisi’ sebagaimana dia idealkan, sekaligus sesuai dengan harapan-harapan spiritualnya. ‘Membedakan antara ‘jiwa’ dan ‘ruh’ saja dia gagal, masih kabur dan tercampur-campur. Mengapa juga aku mesti mendengar ceramah dari ulama seperti dia?’
Bagaimana mungkin orang beragama berani berkata busuk seperti itu? Apa kebaikan, ketaatan, atau pengorbanan juga senantiasa kurang? Barangkali. Orang terus-menerus masih dituntut punya kualitas lain, meminta dia sabar, adil, suka bersedekah, altruistik, bisa menolong orang kapan saja. Beban orang beragama yang taat dan baik di luar dugaan ternyata begitu berat, dia juga mesti siap mengorbankan diri jadi tempat sampah pelampiasan orang lain, untuk menanggung kesalahan atau derita atas sesuatu yang tidak dia lakukan. Prasangka sejenis itu bisa menyeret orang yang ikut kelompok agama tertentu terancam dicela oleh kelompok lain, dengan alasan apa pun. Ada ahli agama dan ibadah yang dibenci karena mata ke ranjang; pemusik dikecam karena suka mengonsumsi narkotika; atau jenderal ditertawakan dan diejek-ejek karena suka nyanyi. Jujur, penilaian itu merupakan kekeliruan, salah tempat. Kalau seorang lelaki taat beragama, ahli agama ganteng, disukai perempuan, barangkali boleh buatnya menikahi lebih dari satu perempuan, terlebih bila agama dia membolehkan, mampu memenuhi syarat poligami, adil bagi masing-masing istrinya. Jika karya musik yang dihasilkan sambil mengonsumsi narkotika secara musikal bagus dan fenomenal, apa akan disingkirkan dan dilarang? Jika suara jenderal itu bisa bersaing dengan penyanyi benar, bukankah itu baik buat hiburan dan pelepasan stres hidup sehari-hari?
Tapi memang, harus diakui, menyaksikan kekurangan orang lain memang terlalu mudah membuat gatal mulut dan komentar, akibatnya meluncurlah pendapat tega seperti itu. Bukankah ini kekeliruan, sebab menuduh sesuatu yang bukan pada tempatnya. Ini mirip pernyataan begini, 'Meski bagus, sayang dia selalu menggunakan bukunya untuk menyerang agama.' Memang kenapa kalau begitu? Kalau fokus seorang penulis memang menyerang agama, mestinya itu tidak dijadikan alasan untuk menyerang dia sebagai pribadi. Ini mirip dengan komentar seorang gadis pada bintang pujaannya, 'Dia itu memang cakep... tapi sayang, agama dia beda dengan agama saya.' Lho, apa perbedaan agama bisa mengurangi kadar cakep seseorang?
KARENA kekurangan manusia begitu banyak, rasanya mustahil mengurai kekurangan itu satu demi satu sampai jernih; jika diurai bisa diterangkan dengan memuaskan dan menenangkan banyak manusia. Kalaupun sulit ditenangkan, setidaknya manusia jadi lebih jelas, yaitu tahu persis sebenarnya yang dimaksud dengan 'kekurangan' itu apa; apa itu sesuatu yang psikis dan akut, atau sekadar hasrat sementara terhadap benda. Barangkali, kunci memenuhi kekurangan itu hanya satu, yaitu 'kecukupan' atau 'kepuasan'---meski faktornya juga banyak, termasuk karena terpaksa. Tapi kenapa kepuasan terlalu sulit dicapai sedangkan kekurangan tampak obsesif? Harus bagaimana agar orang dirinya cukup? Ini pertanyaan sulit yang bisa menghabiskan argumen melelahkan, sebab mungkin akan membawa seseorang pada eksplorasi kekurangan hingga ke dasar-dasarnya, yang akhirnya yang tersisa ialah penerimaan sampai batas tertentu, atau dia akan tahu persis apa kekurangan yang dia butuhkan sekaligus tahu persis cara menenangkan dan menyembuhkan---bila dianggap perlu.
Berkompromi dengan kekurangan juga merupakan persoalan besar. Bila ada gadis bertubuh luar biasa cantik mempesona, namun miskin dan serba kekurangan, bagaimana cara dia tak menyesali kemiskinan agar tak jatuh jadi pelacur karena terobsesi oleh 'kecukupan,' jadi model porno, atau terpaksa menerima lamaran bandot tua kaya demi menutupi sisi kekurangan dirinya? Sebab keputusan bisa ditutup dengan komentar pedas, 'Memang kenapa kalau aku kawin sama bandot itu? Toh dia cukup taat beragama dan rela berkorban demi kebaikan (tubuhku).' Bila ada orang miskin, penuh kekurangan materi, yang dikhawatirkan dari dirinya adalah dia bisa dengan mudah menukar iman dengan iming-iming kelebihan harta yang memang menggiurkan. Tapi bila dengan memperoleh harta dia lebih berpeluang berbuat kebaikan, mendapat ketenteraman, kenapa tidak? Ambil contoh real: bila ada seorang Muslim (pemeluk Islam) taat miskin setelah diiming-imingi harta akhirnya memeluk Nasrani, haruskah perpindahan itu disesalkan atau mesti digugat? Coba abaikan faktor rela atau terpaksa dalam kasus ini. Mungkin akan baik-baik, apalagi bila mantan Muslim tadi tetap saleh dalam kenasraniannya. Bukankah Islam dan Nasrani masih satu keluarga dan disatukan oleh monoteisme jalan Ibrahim? Bukankah dia masih tetap berpeluang bertemu dengan Tuhan? Atau ada komentar penolakan selain alternatif itu?
Menyelami kekurangan seseorang hingga ke dasar-dasarnya memang menantang untuk penjelajahan. Bila orang merasa bahwa penghasilannya kurang banyak atau ketaatannya beribadah menjalankan praktik agama masih kurang; sebenarnya apa pokok persoalannya. Apa justru kebutuhan terlalu banyak hingga penghasilan itu secara fakta memang kurang; apa aspek agama yang begitu banyak sampai-sampai pemeluknya mesti tergopoh-gopoh menjalankan segala perintah tanpa sisa, atau memang pemeluk itu kurang taat dan bakti? Atau ada faktor luar yang membuat persoalan jadi punya sisi lain; misal, penghasilan seseorang kurang karena tuan (i.e. pemodal) memang pelit, mengambil bagian terlalu banyak buat diri sendiri daripada karyawan, ingin mengambil keuntungan mayoritas dari timbal balik tersebut; atau orang itu malas, kinerjanya buruk, sulit kompromi, hingga membuat penghasilannya jadi sedikit, atau pekerjaan itu tidak cocok buat dia dan dia tidak diciptakan untuk mengerjakan hal itu, akibatnya buah dari perbuatan itu jadi buruk. Kekurangan yang terjadi karena 'faktor luar' itu termasuk peristiwa yang memang terjadi di luar kuasa atau kehendak manusia, misal: sumbing, cacat tubuh dan indra, penyakit, malapetaka yang masih gagal diatasi oleh pencapaian akal budi tertinggi manusia sekalipun, misalnya AIDS, autisme, kerusakan saraf dan organ. Menghadapi fakta sepert itu kebanyakan manusia, bahkan filosof paling berani atau umat beragama paling taat dan berpengaruh pun kerap hanya bisa mengelus dada---kalau tidak melengos karena kesulitan melampiaskan perasaan paling tepat mengomentari hal tersebut.
Menemukan faktor yang persis tepat menunjukkan kekurangan orang memang sulit. Ini sama saat mencari faktor paling dasar ketika menghadapi mahasiswa DO. Mahasiswa bisa bilang apa saja kenapa memutuskan DO, entah karena sudah bosan kuliah, kondisi kuliah, dosen, dan kampus ternyata mengecewakan, kuliah tidak sesuai dengan minat dan cita-citanya sekarang, secara ideologi sudah berseberangan, sulit menghadapi dosen dan mata kuliah, karena nilai ujiannya buruk-buruk dan itu membuat dia di DO, atau dia membuat pelanggaran tak terampuni di alma mater. Orang bisa cerita apa saja; tapi hanya satu alasan yang membuat seseorang akhirnya mesti menempuh jalan lain.
ADA satu penghiburan bagus yang barangkali bisa digunakan untuk menjernihkan persoalan kekurangan, yaitu adagium ‘orang yang mengenal diri akan mengenal Tuhan’---meski tetap khawatir mengajukan pernyataan ini merupakan kekeliruan. Kenapa mesti bawa-bawa Tuhan, apalagi mengingat hubungan manusia dengan Tuhan sebenarnya berat sebelah, yaitu manusia yang terlalu berharap. Tapi, orang beragama akhirnya niscaya menisbatkan kekurangan pada makhluk, akibatnya dia mengembalikan kekurangan itu pada Tuhan yang maha segala. Bagi yang percaya, Tuhan adalah muara seluruh kekurangan, tempat menyandarkan seluruh harapan bahwa kekurangan bakal terpenuhi. Tuhan adalah zat paling luhur dan bisa diandalkan untuk menyelesaikan segala-galanya. Tuhan mestinya, dan wajar, bisa menyelesaikan signifikansi apa pun persoalan kekurangan. Kekurangan usia atau umur bisa diselesaikan oleh janji Tuhan akan keabadian di akhirat; jadi mestinya hentikan saja segala upaya buat mengawetkan tubuh dan hasrat ingin abadi---sebab sudah ada akhir yang paling ultima.
Kemiskinan adalah kasus kekurangan uang atau kegagalan memenuhi keinginan; tambatkan pemenuhan itu pada Tuhan. Di sebuah buku tentang hidup dan alam semesta tertulis: Jika memang ikhlas atas pemberian Tuhan, mereka berkata, 'Cukuplah Tuhan bagi kami; Tuhan akan memberikan sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya kami orang yang berharap kepada Allah.' Ini tentu lebih baik bagi manusia. Sementara bagi orang yang menolak Tuhan atau ragu bahwa Dia ada, serahkan itu pada hidup atau kenyataan---sebab itu pun kerap di luar kuasa manusia. Atau kalau berani mengarungi hidup, jangan khawatir takut melangkah terlalu jauh, sebab kebenaran masih ada di seberang, dan begitu memilih jalan, sudah sewajarnya bila orang harus loyal sampai pada kenyataan (konsekuensi) buruk pilihan itu.
Meski harus diakui manusia terlalu mudah nyerah dan terlalu cepat suka bersenang-senang, puas, atau bangga, setidaknya mereka tahu betapa sebagai citra sempurna Tuhan, pada dasarnya, sejak awal sejarahnya, manusia memang senantiasa merasa kekurangan, dan sisi itu terus jadi perdebatan entah mesti ditaklukkan atau dipuaskan.[] 18/08/06 0:27

Tuesday, April 10, 2007

ADAM DAN HAWA
-------------------------------
>> Wawan Eko Yulianto <green_stranger@yahoo.com>

(Mohon, dengarlah sebentar kisah yang tak pernah diceritakan kitab suci ini. Aku tiba-tiba mengetahui bahwa mukjizat Adam adalah bermimpi dan. . . .)

Kedua manusia itu hanya memakai cawat dan penutup dada, Adam dan Hawa. Mereka mendatangi tetangga mereka, menyiarkan agar mereka mulai menutup kemaluan mereka. Yang lelaki, Adam, mengingatkan para tetangga bahwa Gama mengawini Wana dengan paksa waktu Wana sedang berjalan-jalan mencari buah-buahan. Adam beberkan bahwa Gama tiba-tiba tidak tahan melihat payudara Wana. Padahal Wana saat itu sedang tidak mau kawin dan tidak suka Gama? Akhirnya, setelah dikawin paksa itu, Wana kesakitan tak karuan dan berdarah-darah.

Adam dan Hawa bertamu ke gua sebelah dan meminta waktu untuk berbicara dengan para penghuninya, beberapa laki-laki dan perempuan telanjang.

"Wahai kaum gua, apakah kamu tidak tahu bahwa berpakaian itu lebih baik?" tanya Adam dengan bijak di dalam keremangan gua yang disinari api unggun dari sebuah sudut.

"Apa itu ‘pakaian’?" tanya Sapa, berambut panjang dengan tubuh bagian dada penuh bulu.

"Apa saja yang bisa kamu pakai untuk menutup alat kencingmu," kata Adam. "Jika kau perempuan, kamu juga perlu menutup alat yang kau pakai menyusui. Itulah pakaian."

"Bukankah hanya membuat kita geli dan risih?" kata Bala, bermuka kusam dan berkuku hitam.

"Pada awalnya mungkin begitu, tapi sebentar saja pasti tidak," kata Adam dengan nada membujuk. Kemudian dia pertontonkan sebuah daun yang sangat lembut, dia sudah memanaskan daun itu. "Coba saja cari daun yang enak, terus hangatkan sebentar di atas bara, pasti akan lembut."

Kemudian Adam menjelaskan bahwa berpakaian akan membuat mereka aman. Para lelaki tak akan repot sembunyi dari para perempuan jika ukuran kelamin mereka kecil. Dan juga para perempuan tidak akan menjauh jika melihat para laki-laki terlihat ingin kawin. Biasanya para perempuan agak takut diajak kawin jika memang sedang tidak mau.

Sementara itu, Hawa sedang mojok bersama dengan para perempuan yang semuanya juga telanjang. Dia ceritakan tentang cara membuat penutup payudara dan kemaluan dari bahan daun dan kulit binatang. Dia tunjukkan bagaimana menyambung kulit tersebut dengan menggunakan "benang"-kata baru bagi para perempuan gua itu. Dia tunjukkan dan ceritakan juga tentang kawin hanya dengan satu laki-laki.

"Wahai perempuan di gua-gua," Hawa mengawali. "Niscaya akan lebih menyenangkan jika kau hidup hanya dengan satu laki-laki saja. Kalau kamu ingin kawin, kawin saja dengan dia. Kalau kamu punya anak, kamu minta dia menjaga anak itu bersamamu. Saat kamu masih lemas atau sakit setelah melahirkan, kamu minta dia saja yang berburu untukmu. Kamu boleh buka penutup payudara dan kemaluanmu hanya di hadapannya."

"Apakah memuaskan hidup begitu?" tanya Wara, perempuan muda berbadan besar yang duduk di atas batu pipih.

"Apakah cuma kepuasan seperti itu yang kamu cari? Kepuasan itu bisa kamu dapat. Kamu pun bisa menolak diajak kawin jika kamu memang tidak ingin. Apakah itu tidak lebih memuaskan?" Hawa bertanya balik dengan bijak. "Hidup tenang dengan seorang laki-laki saja dan kemudian menjaga dan membesarkan anak sampai dia pintar berburu pasti lebih enak. Dijamin, kamu akan lebih puas dengan seperti itu."

Kemudian pembicaraan serius pada kubu laki-laki terjadi, begitu juga dengan kubu perempuan. Beberapa laki-laki yang ingin berpakaian langsung mendapat penjelasan dari Adam tentang pakaian. Sementera itu, para perempuan yang ingin tahu cara-cara hidup bersama seorang laki-laki bertanya jawab dengan Hawa, wanita pertama yang hidup dengan satu laki-laki. Hawa menjelaskan bagaimana dia biasanya berbicara tak kenal waktu, berburu bersama dengan gembira, mandi di kali bersama-sama. Segalanya selalu dia lakukan bersama hanya seorang laki-laki, Adam. Saat ada laki-laki mengajak kawin, Adam selalu bisa melindunginya.

Setelah malam mulai turun di luar sana, saat angin dingin mulai masuk gua, saat nyala obor mulai bergoyang-goyang keras, Adam dan Hawa pamit pulang. Mereka sangat puas hari ini karena kian hari semakin banyak pula orang yang bersedia mengikuti gaya hidup mereka berdua. Dia sangat senang karena impian mereka akan semakin dekat dengan kenyataan.
Hampir setiap malam mereka berdua bermimpi ada sebuah tempat yang sangat padat dengan orang-orang bersliweran, kebanyakan laki-lakinya berambut pendek, keluar masuk bangunan-bangunan yang tinggi menjulang. Orang-orang itu memakai penutup tubuh secara penuh menyisakan hanya kepala dan tangan mereka mulai dari pergelangan. Ada juga laki-laki perempuan berjalan bersama sambil mendorong semacam alat kotak yang di dalamnya ada bayi, jelas-jelas bayi mereka. Dia juga takjub, di dalam mimpi mereka itu, tak sekalipun mereka lihat laki-laki dan perempuan kawin di depan umum, mengumbar nafsu dan saling memuaskan di hadapan teman-teman. Sungguh, mimpi yang datang tiap malam itu benar-benar lain dari apa yang mereka lihat sehari-hari: laki-perempuan kawin di depan teman-teman, di mulut-mulut gua, di tanah-tanah lapang, di pinggir-pinggir kali. . . .

Di dalam gua mereka, Adam dan Hawa sudah rebah di atas batu pipih. Angin mendesis, terkadang meraung, masuk melalui mulut gua yang menganga di depan sana.

"Adik," tiba-tiba Adam menyentuh pundak Hawa sambil miring bersandar pada sikunya. "Tadi malam, di dalam mimpi kita, waktu kamu jalan-jalan sendiri, aku mendengar orang-orang berpakaian itu berbicara. Mereka menyebut bahan untuk pakaian mereka itu "kain."

"Oh ya, Bang?" Hawa menanggapi.

"Kedengarannya asyik ya? Aku ingin anak kita nanti ada yang bernama Kain," kata Adam. Kemudian dia diam dan berpikir sejenak sebelum melanjutkan, "Tapi aku juga masih ragu, apakah kira-kira yang kita perjuangkan ini bisa membuahkan hasil, Dik?"

Adam mendesah panjang dan merebahkan tubuhnya. Sebelum tidur, Adam bertanya: "Apakah yang kita lakukan tadi sudah tepat jika kita ingin menjadikan mimpi kita itu nyata?" Hawa tak menjawab. Dia hanya menggeleng-geleng dan mengulangi pertanyaan itu buat dirinya sendiri.

"Bang, sudahlah," kata Hawa sambil memandang kegelapan. "Yang penting usaha." Dan kemudian, ini dia yang Hawa suka, tangan Adam mulai memeluknya dan berbisik: "Sampai ketemu di dalam mimpi kita ya, Dik. Abang nanti pakai atasan merah dan bawahan hijau. Daag."

Mereka pun bertemu kembali di dalam mimpi. Inilah mukjizat Adam yang baru aku ketahui. Oh ya, mereka menganggap mimpi kali ini lebih indah daripada mimpi berada di sorga bersama ular dan memakan buah apel. . . .[]

* Wawan Eko Yulianto telah menulis sejumlah cerita pendek, resensi, menerjemahkan tiga novel James Joyce, dan sejumlah novel lain. Awalnya 'ADAM DAN HAWA' hadir dalam ADAM sampai PAK PRAM (2006) dan diposting di milis Apresiasi-Sastra@yahoogroups.com pada 2 April 2007.

Monday, April 09, 2007

READER'S ADVISORY: Sejumlah kalimat di esai ini mungkin kasar, menyinggung perasaan, atau berlebihan. Aku memohon maaf untuk hal itu, termasuk memohon ampun dan rahmat Allah.

PERNAHKAH ANDA MENERIMA PESAN TUHAN?
--------------------------------------------------------------------------------
>> Anwar Holid


TENTU Tuhan malas sekali menggunakan teknologi ciptaan manusia, maka Dia sekarang-sekarang ini belum terdengar menelepon seseorang untuk menerima perintah maupun pesan-Nya. Dia juga belum pernah naik ojek, membayar lebih, mampir ke rumah salah satu makhluk-Nya, lantas ngobrol topik aktual ditemani secangkir kopi dan gorengan. Minimal untuk menertawakan kekonyolan manusia atau optimisme berlebihan mereka. Dari situ Dia mungkin akan mewajibkan penghuninya melakukan sesuatu, entah larangan atau komando. Atau jangan-jangan ada salah satu di antara Anda pernah menerima sms dari Tuhan, misalnya dengan pesan: pergilah kamu ke arah barat, di sana kamu akan menemukan tanah harapan. Begitu mematuhi perintah itu, Anda terkejut mendapati tanah itu sudah padat dan kalau ingin memiliki sepetak saja, Anda mesti punya sertifikat atau hak guna bangunan yang harus ditandatangani seorang notaris dengan bayaran mahal, dan Anda juga harus bayar pajak atau retribusi cukup mahal kepada penguasa setempat, dan sulit menggugat untuk apa pajak dan retribusi itu ditarik.

Entah kenapa Tuhan selalu menggunakan malaikat untuk menyampaikan perintah atau pesan. Dalih paling mudah ialah itu tentu menunjukkan bahwa manusia terlalu berbahaya atau rapuh bila berhadap-hadapan langsung dengan Tuhan. Hanya satu-dua orang yang pernah langsung mendengar suara Tuhan---perhatikan: baru suara, bukan sosok ataupun wajah, salah satunya ialah Musa. (CMIIW). Kebanyakan nabi menerima pesan Tuhan via malaikat---waktu itu bahkan belum ditemukan HP, dan Tuhan bisa jadi belum pernah membayangkan manusia bakal menemukan HP. Kalau tidak, tentu Tuhan akan memonopoli jaringan dan jadi operator. Pesan-pesan Tuhan memang menakutkan, maka harus ditanggung oleh sesuatu yang kuat, patuh, teguh. Contoh: Tuhan mengirim pesan agar Ibrahim menyembelih anaknya--waaah, kebayang bila Anwar Holid mendapat pesan serupa agar menyembelih anaknya. Tentu dia akan cepat-cepat menghapus pesan itu dan menggerutu, 'Pesan kamu kok aneh sekali sih, Tuhan?' Tuhan memang hanya mengirim pesan kepada manusia sesuai kapasitas masing-masing. Maka entah seperti apa kondisi jiwa seorang Ibrahim yang setelah berkali-kali sedikit ragu menerima suatu pesan, kemudian yakin bahwa itu berasal dari Tuhan, lalu melaksanakan dengan mantap. Dari sudut gelap kita boleh terheran-heran ada orang bisa begitu yakin atas keilahiyahan pesan yang amat spekulatif dan berisiko. Apa karena sebelumnya dia pernah bercakap-cakap dengan Tuhan, mengandalkan kejernihan hati, atau merupakan bentuk berserah diri? Katakanlah kita kaya, berpenghasilan 157 juta per bulan, kemudian hati kita menerima pesan: 'bebaskan pembantu-pembantu kamu dari kemiskinan, sekolahkan mereka, beri mereka kesempatan setara, beri modal dan akses pengetahuan, pupuklah biar jadi manusia unggul, jangan hanya jadi tukang potong rumput.' Segera setelah menerima pesan itu kita keberatan; terus siapa dong yang nanti mengepel, membersihkan mobil, membersihkan kotoran anjing, menyapu kamar dan rumah, mencuci kakus, gimana kalau mereka nanti lebih sukses dari anak-anakku? Walhasil, pesan itu jadi arsip---ia ada, tapi sekadar jadi berita atau rujukan entah untuk apa.

Satu-satunya kiriman Tuhan yang enak dibayangkan ialah ketika Maryam---anak Imran, bunda Isa al-Masih---menerima makanan dari malaikat setiap kali lapar. Makanan itu dari surga, mungkin hitung-hitung nggak ada yang makan lagi setelah Adam dan Hawa diusir ke Dunia dahulu kala. Sayang kalau dibiarkan begitu saja, bisa buruk soalnya. Tentu kualitas makanan surga lain---apa sempat ada yang busuk waktu didatangkan dari kerajaan itu, meski tidak ada berita bahwa di surga pernah ada kulkas raksasa. Tapi tampaknya jasa kurir Tuhan lebih canggih dari Tiki.

Kalau dipikir-pikir, Tuhan juga sedikit peduli pada nasib banyak umat manusia. Kalau tidak, mestinya Dia ngasih setiap orang miskin---termasuk aku---minimal satu kartu kredit berisi kurang-lebih satu milyar rupiah, biar kalau belanja cukup lega dan habisnya lama. Kartu kredit itu berguna waktu darurat, misalnya ketika banjir dan orang harus nginep di hotel dan mengungsi ke luar kota sementara waktu. Mungkin Tuhan memang kurang peka sampai-sampai melupakan kebutuhan dasar manusia. Kalau berpendapat seperti itu, kita menganggap bahwa Tuhan adalah semacam bank gratis buat kaum miskin, atau kira-kira seperti Robin Hood yang suka bagi-bagi barang curian.

Nyaris setiap kali habis beribadah aku berdoa khusyuk, 'Ya Tuhan, terima kasih atas rezeki dari-Mu hari ini. Jadikanlah aku hamba-Mu yang senantiasa bersyukur atas pemberian-Mu. Cukupkanlah pemberian-Mu kepadaku. Penuhilah kebutuhanku, bahagiakanlah keluargaku, lindungilah mereka. Penuhilah kekurangan-kekuranganku.' Kadang-kadang, ketika berhari-hari kekurangan uang atau nafkah, kalau ada takdir, setelah berdoa seperti itu aku menemukan Rp.5.000,- tercecer di jalan atau Rp.2.000,- di antara buku dan barang. Dalam hati aku bilang, 'Oh, inilah yang disisakan Tuhan buat aku hari ini.' Entah apa anugerah itu benar-benar pemberian Tuhan atau muncul karena keteledoran seseorang. Setidaknya, dengan Rp.1.000,- aku bisa dapat singkong goreng tiga potong, cukup mengenyangkan sebagai ganjal makan siang. Mungkin Tuhan tahu bahwa aku belum terlalu perlu harus diberi keajaiban besar-besar, mengingat kalau terpaksa toh masih masih bisa berutang ke sana-kemari atau kasbon ke kantor. Habis aku juga mintanya kabur dan nggak definitif, jadi membingungkan Tuhan. Mungkin lain kali aku harus berganti, doa, misalnya, 'Ya Tuhan, kasih aku Honda Jazz, naikkan gajiku, beri aku laptop, lancarkan tanganku menulis, tambah pintar kemampuan kerjaku, cukupkan istirahatku, lunasi utang-utangku, tambah rekeningku (dari money laundry juga boleh), jangan lupa: boleh juga tambah satu istriku!' Bukankah permintaan itu sebenarnya terlalu sederhana buat Tuhan? Banyak orang mendapat sesuatu jauh lebih besar daripada permintaanku itu. Tapi aku belum terlalu putus asa untuk berdoa seperti itu, khawatir malah diledek Tuhan.

Untuk masa sekarang, pesan Tuhan memang terasa kuno sekali, dan usang. Di zaman ketika orang bisa pesan makanan, barang, buku, bahkan orang sekalipun via banyak media, tentu pesan-pesan Tuhan yang terekam di banyak alkitab itu terasa sekali aneh. Misalnya ada nabi yang dipesan agar pengikutnya tidak minum air sungai kecuali segenggam. Dulu Tuhan pernah pesan kepada Nuh, 'Bikinlah kapal yang besar, dengan itu nanti kamu dan pengikutmu menyelamatkan umat manusia beserta isinya.' Coba kalau sekarang ada orang persis menerima pesan yang sama, sementara di sekitarnya masih banyak yang sama-sama terbukti memiliki pengetahuan. Apa yang terjadi? Apa akan ada lomba pembuktian doa? Pesan-pesan Tuhan seperti itu melambangkan apa ya? Apa Tuhan ingin orang bikin organisasi besar-besaran agar orang bisa masuk golongan tertentu sebanyak-banyaknya? Tapi pesan ajaib Tuhan biasanya hanya sekali terjadi, dan tentu jarang sekali terulang. Keajaiban itu sungguh fenomenal, sampai sulit dipercaya kecuali diterima begitu saja. Misalnya waktu Tuhan menyuruh Musa menyentakkan tongkat ke Laut Merah, dan seketika itu laut terbelah dan terbentuklah jalan lapang bagi pengikutnya untuk ramai-ramai menyeberang ke tanah seberang. Kejadian seperti itu hanya mungkin diwujudkan dalam film Hollywood menggunakan spesial efek canggih. Karena sulit diulang itu kini sebagian orang suka mencermin-cerminkan peristiwa dahulu kala pada fenomena yang terjadi di dekatnya. Misalnya bahwa seseorang dipercaya tengah mengalami fase seperti yang dialami nabi-nabi tertentu di zaman dahulu. Waaah... orang kan boleh-boleh saja kok yakin dengan imannya. Aku sendiri, lepas dari nubuat itu, sekarang ini memasuki fase sinis. Yah, bagaimana lagi? Aku hanya bisa menduga-duga dengan samar dan sekadar menanti segala sesuatu terjadi dengan takjub. Lebih persis: aku membiarkan segala sesuatu terjadi dan hanya berharap kebaikan dari sana. Aku hanya akan mengurus persoalanku sendiri.

Dengan pengetahuan yang amat sedikit aku miliki, aku merasa ternyata keajaiban mungkin saja terjadi setiap saat, terutama untuk hal-hal yang rutin dan remeh. Misalnya, justru ketika aku janji pada 2007 ini tak akan beli buku demi menghemat pengeluaran dan menambah tabungan, eh aku malah dihadiahi banyak buku oleh berbagai penerbit. Aku menerima hadiah itu dengan senang hati sekaligus janji berusaha menulis atau membaca, siapa tahu bisa direkomendasikan ke banyak orang lain. Ditambah pinjaman buku, cd, dvd gratis dari Rumah Buku, bahkan tiket seminar senilai Rp.500.000,- Apa itu boleh dianggap sebagai keajaiban. Aku juga baca bahwa para korban sesbuah kecelakaan selalu berharap keajaiban. Waktu di Aceh, aku banyak sekali mendengar kisah tentang keajaiban orang mengalami tsunami, antara lain tentang seseorang yang diselamatkan naga. Padahal bukankah naga itu hanya mitos? Minimal orang selamat dari sesuatu yang fatal. Memang sih, dibandingkan Isa yang menghidupkan lagi Lazarus atau Yunus masuk perut ikan paus, yang aku alami, atau yang dialami kebanyakan orang itu, terlalu sederhana. Alasannya juga jelas: karena aku terlalu miskin untuk mengalami keajaiban lebih besar. Pantas. Apalagi bila cuma dihadiahi Turkish Coffee. Tapi mari lihat moralnya: kadang-kadang keajaiban hanya terjadi sekali dan itu membuka peristiwa lain. Lagi pula, keajaiban itu ada bayarannya. Bayarannya ialah kesabaran. Kesabaran itu kadang-kadang baru hadir lewat jalan yang rumit. Mungkin biar seru, jadi plotnya sering macam-macam dan disembunyikan dulu, dan orang yang mendengar/membaca ceritanya juga tertarik/terkesima. Biar orang yang mengalaminya degdegan dan hanya mengharap yang paling seru---bisa bahagia atau mengerikan. Orang berharap keajaiban dengan ikut program televisi, membaca novel atau buku tertentu, ikut organisasi, melakukan sesuatu, termasuk berharap menemukan keajaiban di antara spam yang diterima di email account, entah cerita menakjubkan atau tiba-tiba ditunjuk menang lotere ribuan Euro, atau berhak menerima sumbangan dari lembaga kemanusiaan. Bukankah Tuhan yang butuh waktu untuk menghadirkan eksistensi-Nya? Tuhan tak perlu alasan bila ingin menunjukkan kuasa. Betul, tidak? Eh, lupa, Tuhan memang hanya perlu memilih manusia sesuai masing-masing pesan dan keajaiban. Artinya, kita boleh berdoa mendapat keajaiban paling hebat di alam semesta ini, tapi lebih baik lagi kalau kita mengukur diri. Sebagian orang memang mengalami keajaiban hebat itu. Seorang pembantu tentu lain kadarnya dibandingkan tuan---kecuali bila suatu saat pembantu itu memiliki kualitas tuan. Setiap orang mesti tahu diri, jangan berlebihan---tapi mesti ingat, jangan pernah meremehkan diri sendiri, sebab keajaiban terus terjadi meski kenabian sudah selesai. Yah, setidaknya keajaiban kecil yang masih cukup sukar kita pahami. Tapi ia terjadi, kadang-kadang setidaknya sekadar terbuka. Sesuai kadar masing-masing orang bisa menemukan keajaiban atau tahu bahwa Tuhan barangkali mengirim pesan via sesuatu, termasuk perantara. Kalau begitu peran perantara penting. Dia mengirim maksud Tuhan. Maka kita saksikan di beberapa belah dunia tertentu ada orang mengaku mendapat ajaran dari Mikael atau Jibril, atau di tempat lain mengaku mati dan memasuki alam ruh/malakut, melihat-lihat kondisi orang mati, diajak ke surga dan neraka, untuk kemudian hidup lagi dan menceritakan kisah itu kepada orang yang masih hidup di dunia. Waaah.... itu kisah sama sulitnya masuk akal bila ada seseorang kawin lagi setelah betul-betul diminta Tuhan harus poligami. Untuk hal-hal yang sulit diterima, lebih aku nonton pertandingan bola. Pertandingan bola juga kerap memunculkan keajaiban. Meski curang, Maradona pernah mengalaminya. Barangkali pesan Tuhan di kalbunya, 'Jangan bilang syapa-syapa!' Itu namanya keajaiban silap mata. Minimal keajaiban remeh itu masih bisa bikin air mata seseorang menetes, dan itu tanda bahwa Allah masih suka bikin drama. Lihat saja waktu Manchester United menyodok dari belakang mengalahkan Bayern Munchen di final Liga Champions. Itu juga sejenis keajaiban, meski tarafnya belum sedramatik David mengalahkan Goliath.

Yang sering aku sinisi dari pesan-pesan Tuhan itu antara lain ternyata dampaknya baru akan terasa kalau seseorang melakukan kontak atau memiliki keterlibatan tertentu. Bila orang terdekat Anda mendapat pesan Tuhan lewat Mikael, Anda mau apa? Mengamini atau menolaknya? Membiarkannya? Ketika dahulu Ibrahim mendapat pesan agar menyembelih anaknya, ke mana itu kira-kira tetangga atau Pak RT di sekitarnya? Ibrahim hanya memberi tahu pesan itu kepada anak dan istrinya; bahkan istrinya yang lain nggak diberi tahu. Apa waktu itu nggak ada orang lain selain keluarga Ibrahim? Kenapa dia nggak dipergoki orang di tengah jalan ketika sedang membawa anaknya ke altar? Siapa tahu ada seseorang memergokinya, dan bertanya, 'Ibrahim, kamu mau ngapain?' 'Mau nyembelih anak.' 'Kenapa kamu lakukan itu?' 'Tuhan memerintah aku begitu.' 'Kalau begitu coba kau minta perintah Tuhan yang lain.' 'Apa misalnya?' Ibrahim ganti bertanya. 'Misalnya memberikan istri pertamamu buat aku.' Waaah... takut ah memain-mainkan peristiwa ilahiah itu lebih lanjut.

Kalau kita baca-baca, terutama dari buku agama atau dari khazanah yang dinamai sebagai 'spiritualitas', pesan Tuhan itu ternyata masih berseliweran sampai sekarang. Tapi herannya pesan itu kok tampaknya berdampak kecil sekali pada Bumi. Apa para presiden dari banyak negara itu sama sekali nggak pernah menerima pesan Tuhan? Kenapa Tuhan nggak mau mengirim pesan justru kepada mereka yang pegang kuasa dan berdaya melakukan sesuatu? Katakanlah Tuhan memberi pesan kepada Anwar Holid untuk memerangi kerusakan moral; apa coba yang harus aku lakukan? Menyelidiki setiap isi file di komputer atau rumah dari sesuatu yang maksiat? Di zaman dulu, Tuhan lebih masuk akal, mereka mengirim pesan kepada Sulaiman, Daud, Musa, atau Muhammad yang berkuasa penuh atas kaumnya, karena mereka adalah penguasa, jadi mereka bisa memobilisasi orang. Bayangkan bila yang terjadi sebaliknya, ketika pesan Tuhan justru diterima oleh orang asing dan bukan siapa-siapa, yang bahkan bila disampaikan kepada pembantu, sopir pribadi, atau office boy, mereka menggeleng nggak paham. Atau kita berani bilang bahwa memang ada orang rendahan (lesser people) yang kurang pantas mendapat pesan dari Tuhan? Alangkah sayang pesan itu dikirim. Boros pulsa saja, bukan?

Tentu kita boleh bertanya kenapa Tuhan hanya mengirim kepada orang tertentu, terutama nabi. Kita belum pernah dengar petugas kebersihan kantor menerima pesan Tuhan, misalnya agar memberi peringatan kepada bosnya yang korupsi atau berzina. Atau sebaliknya, ada orang diperintah Tuhan agar korupsi uang negara---yang dikutip baik dari pajak, retribusi, dan berbagai pungutan lain atas nama otoritas negara seperti disinyalir di paragraf awal tadi---sebesar 700 milyar Rupiah untuk kemudian dibagi-bagikan kepada kerabat dan orang-orang di sekitarnya. Barangkali pesan-pesan seperti itu memang terlaknat, meski kitab suci juga mencontohkan agar orang berani menyatakan kebenaran, meski taruhannya nyawa. Moralnya ialah orang mestinya berani menyampaikan kebenaran, serendah apa pun keadaannya. Tapi di sisi lain kita juga tahu bahwa para penerima pesan Tuhan itu pada akhirnya putus asa dan menyerah bila sudah terdesak dan gagal meneruskan pesan yang diterimanya. Dalam kegagalan itu mereka mengadu kepada Tuhan, yang paling ekstrem biasanya mereka minta agar kaumnya---orang-orang di lingkungan terdekatnya---dihukum karena malas atau menolak berita yang dia sampaikan. Memang harus diakui bahwa para pelawan nabi itu sering berlebihan beroposisi, termasuk melakukan penyiksaan, perundungan, dan pembunuhan. Tapi, kalau dibandingkan dengan sebutan sebagai orang terpilih, wajarkah mereka minta agar penentangnya dikutuk? Aku nggak tahu. Aku hanya khawatir ada di antara mereka orang yang sama sekali nggak ikut campur. Bukankah wajar bila ada orang yang malas terlibat perseteruan antara dua kubu dan memilih jalan sendiri, independen? Atau ada orang yang sebenarnya tidak terlibat (tidak ikut campur) tapi terkena dampak, dan gagal menghindar dari konflik? Hal seperti ini sering terjadi. Misalnya ada konflik antara tentara negara dan kelompok separatis di suatu wilayah; penduduk tempat itu, yang sebenarnya menolak terlibat, terpaksa merasakan dampak pertikaian. Bukankah boleh seseorang memilih jalan atau mencari aman sendiri, demi keselamatan dirinya? Bukankah dirinya sendiri---sebagai satu individu---juga makhluk Tuhan yang sama-sama pantas mendapat perlindungan atau memutuskan nasib sendiri? Tentu konyol bila ada satu kota dikutuk tapi ada orang yang tak bersalah juga kena celaka. Kutukan atau hukuman Tuhan itu menandakan bahwa kesabaran ternyata punya batas, dan para penentang tak punya kesempatan memukul balas. Batas kesabaran ialah ketika penerima pesan memohon bala bantuan Tuhan, atau ketika dia tak bisa berbuat apa-apa lagi selain mesti membuktikan keotentikan pesan Tuhan. Ketika Maryam dilecehkan dan dituduh berzina karena melahirkan anak di luar nikah, dan kesulitan menjawab pelecehan itu, dia membuktikannya dengan meminta agar bayi Isa memberi kesaksian. Kisah ini mematahkan anggapan mandek selama ini bahwa kesabaran tak berbatas. Menarik ditanyakan, kenapa meski seseorang lulus seleksi sebagai pilihan Tuhan, toh dia gagal menahan kesabaran? Apa moral dari peristiwa seperti ini. Apa Tuhan membiarkan sisi kekurangan itu sebagai bagian dari kelemahan manusia? Peristiwa seperti ini mirip dengan gambaran anak kecil yang mengadu ke orangtuanya karena dia diserang oleh anak-anak lain dan kalah, lantas mewek dan minta dukungan pihak yang lebih kuat. Nabi-nabi, di tingkat paling permukaan juga seperti itu. Bila merasa umat yang diajaknya/didakwahinya sudah keterlaluan, berlebihan, lantas kalah karena sebab apa pun, dia mengadu ke Tuhan. Yaaah... siapa juga yang bisa menanggung amarah Tuhan? Kalau semua kembali ke Tuhan, kita pasti sulit berbuat apa-apa. Kalau Tuhan sudah turut campur, nggak ada ruang tersisa buat manusia.

Tentu ada di antara kita meyakini bahwa Tuhan masih mengirim pesan, meski bisa jadi bertanya-tanya, pada siapa pesan itu dikirim, apa pesan-Nya, dan bagaimana cara pesan itu sampai. Kalau Anda kurang-lebih sudah 18 tahun naik angkot sebagai satu-satunya alat transportasi ke mana-mana dan hingga sekarang sehat wal afiat, belum pernah mengalami kecelakaan lalu lintas, entah angkotnya diseruduk atau terguling, bahkan keserempet sekalipun, kira-kira apa pesan dari kejadian seperti itu? Anda sekadar inkarnasi si Untung, atau Tuhan hendak menulis pesan bahwa Anda ditakdirkan nggak bakal punya kendaraan pribadi dan lebih baik membagi ongkos buat para sopir? Bila ada seorang perempuan baru sehari jadi pelacur terus esoknya terjangkiti virus HIV dan sebentar kemudian mengidap AIDS, apa maksud Tuhan mengirim pesan berbentuk peristiwa mengerikan itu? Sekadar ingin main-main dengan keimanan seseorang atau hendak bilang jangan ambil risiko dengan permainan berbahaya? Bila Anda baru pertama kali naik pesawat, terus ketika naik ternyata pesawat itu celaka dan lenyap entah ke mana dalam perjalanan, tak ditemukan tim SAR setelah pencarian berminggu-minggu, pesan apa yang Anda terima dari Tuhan sebelumnya? Apa Anda malam sebelum berangkat mimpi meilhat ikan mitik berenang-renang di sungai amat dalam? Mungkin Dia dulu pernah pesan kepada Anda: 'Kamu akan mati dalam kecelakaan pesawat udara.' Bukankah Tuhan mengirim pesan dalam bentuk apa pun, hanya saja kita sering kesulitan membaca bahasa yang disampaikan itu? Atau apa Tuhan memang bicara langsung kepada pilihannya, berlapis tabir setipis apa pun, dan karena itu penerima berhak merespons atau menanggapi bagaimanapun?

Ternyata sulit membicarakan pesan Tuhan dengan jernih, karena Anda tahu Dia malas sekali mengangkat telepon atau mengirim sms dan menulis email atau surat ke alamat Anda dengan pesan yang jernih. Aku cukup yakin bahwa Tuhan adalah jenis pihak yang lebih suka bermain-main dengan tanda, dan Dia suka membiarkan orang menafsir sesuai keinginan atau kecenderungan masing-masing. Tentu Tuhan lebih suka dengan orang yang lebih sesuai dengan standar ketentuan-Nya, dan kriteria hal seperti itu biasanya kompleks, meskipun jelas dan banyak faktornya. Tapi bukankah alat komunikasi antara Maha Pencipta dan makhluk bukan sekadar 'tafsir'? Sejumlah pihak menggunakan alat komunikasi yang lebih canggih dari semua peralatan itu, entah itu pandangan batin, kejernihan hati, dan penglihatan tertentu. Lagi pula, siapa butuh siapa? Orang butuh pesan Tuhan atau Tuhan ingin kirim-kirim pesan? Kebanyakan kasus menunjukkan ternyata orang lebih butuh pesan Tuhan beserta aksinya. Lihat dan baca lagi kisah-kisah nabi. Kebanyakan mereka meminta bantuan Tuhan begitu putus asa. Pada orang tertentu sebaliknya, Tuhan mengirim pesan, baik yang dituju siap atau tidak, mereka hanya mesti menerima, tanpa mempertimbangkan risiko sebelumnya. Kiat menghadapinya apa? Menurut Rhenald Kasali sederhana saja, yaitu 'Change!' alias 'Berubah!'

Sejumlah cendekiawan (sarjana) atau siapa pun suka membicarakan berbagai kemungkinan maksud pesan-pesan Tuhan itu, entah secara filosofis, menggunakan hermenetika, menduga-duga tanpa praduga bersalah, atau lewat cara mistik. Aku nggak tahu mana yang valid dari cara-cara tersebut; faktanya ialah selama Dunia masih ada, peristiwa terus bergulir, kejadian masih berlangsung, aku yakin pesan Tuhan itu hadir, bagaimanapun bentuknya. Bila seorang tukang beling mendorong gerobak keliling kota mengorek-ngorek satu demi satu tempat sampah yang dia temui, gerobaknya ditulisi Pilox asal-asalan dengan frasa: N451B MUJUR atau SURATAN TAKDIR tambah gambar tengkorak murung, apa itu juga sejenis pesan Tuhan? Siapa tahu yang menyemprot grafiti itu Jibril, karena Jibril masih kaku menggunakan alat ciptaan manusia? Mestikah orang repot membaca pesan Tuhan, atau putuskan saja bahwa segala peristiwa di sini pasti atas kehendak Dia, dalam pengawasan kerajaan Tuhan? Lalu kalau sudah begitu, kita sebaiknya berbuat apa?

Mengira-ngira maupun menelusuri pesan Tuhan memang sulit, membicarakannya pun bisa jauh dari jernih, karena kita tahu antara Pencipta dan makhluk memang beda dan masing-masing punya cara berkomunikasi sendiri, dengan 'hukum' bahwa Pencipta lebih superior. Orang seperti aku, yang eksplisit jelas belum sekalipun pernah menerima pesan Tuhan lewat media apa pun, lebih suka berpendapat bisa jadi pesan Dia sudah pernah ditulis atau pernah disampaikan di celah-celah peristiwa atau tempat tertentu, pada orang siapapun, dan tinggal dilaksanakan atau diperhatikan untuk menjalani peristiwa di dunia. Kalau tidak, aku yakin orang boleh mempertanyakan validitas orang yang mengaku mendapat pesan Tuhan. Bukankah kita sering dengar orang rindu Tuhan dan mendesak-Nya dengan doa atau dalil berikut janji-janji, tapi ketika sesuatu terjadi, yang dia bisa lakukan hanya diam? Mungkin saja suatu saat mendadak ada spam masuk ke email seseorang, isinya singkat saja: 'Jangan pernah kamu main-main dengan pesan Tuhan, kalau tidak, aku bakal merenggut semua berkah yang pernah kau rasakan, cepat atau lambat.' Wasalam, god@heaven.net. Mungkin orang itu cepat-cepat menutup email atau memforward pesan itu ke ribuan orang dengan harapan bisa lepas dari siksa atau segera mendapat rezeki besar-besaran. Siapa sangka bahwa Tuhan juga suka main-main dengan makhluk-Nya? Bukankah Tuhan cinta pada ciptaan-Nya dan senantiasa mencari cara untuk menyapa orang-orang terdekatnya? Mungkin itu yang akhirnya membuat aku menyerah mesti percaya, tentu ada orang yang jelas menerima pesan Tuhan, meski dia juga sulit langsung langsung bertanya, kenapa pesan itu sulit dicerna. Aku menerima dan percaya, tapi tentu ya hanya bisa diam.

Aku pernah mendengar kisah seorang profesor matematika Amerika Serikat, dosen sebuah universitas ordo Jesuit, namun bertahun-tahun menerima pesan Tuhan itu-itu saja: Dia masuk ke sebuah ruangan asing penuh orang yang juga tak dia kenal. Mereka sujud bersama, duduk di antara sujud, dipimpin oleh seseorang berjubah putih. Dia baru menceritakan kisah itu bertahun-tahun kemudian setelah dirinya bersyahadat. Waktu mendengar kisah itu, aku membatin: Apa Tuhan hanya bicara dengan satu nada, terus mengulang-ulang, atau malah konsisten? Tuhan ternyata sangat simbolik memberi pesan pada profesor itu, Dia membebaskan orang menafsirkan pesan itu sesuai keadaan dirinya. Meski mimpi itu agak kurang detil, misalnya, kenapa tidak sekalian si profesor diperlihatkan wajah imam pada dirinya, dan dengan begitu bisa mencari tahu, siapa dia. Barangkali Jibril sedang berganti rupa? Atau Tuhan bilang, nggak penting imamnya siapa, yang penting iman kepada-Ku.

Sebagian orang sibuk mencari cara bagaimana menerima pesan Tuhan agar lebih afdol atau lebih mudah memahami, maka di antara mereka menuliskan lambang-lambang yang pernah mereka tahu, kemudian memformulakan bahwa bila ada pesan seperti ini maka maknanya ialah itu. Mereka bikin primbon. Sebagian orang percaya bahwa Tuhan bicara secara simbolik; sementara sebagian lain lebih suka bilang bila pesannya ikan maka artinya juga ikan. Satu pihak (baik itu Tuhan atau manusia) kadang-kadang suka langsung mengatakan maksud sebagaimana yang dia ucapkan. Mereka bicara dengan jelas, polos. Bagi sebagian sedikit orang, Tuhan tampaknya amat akrab hingga mereka bebas meminta apa pun pada-Nya. Memang bukankah seperti itu akal sehatnya: Jika seseorang dekat dengan Tuhan, tentu boleh menuntut apa pun, termasuk kebenaran. Sementara orang lain baru bisa berteriak-teriak agar juga dapat bagian.

Wah, tampaknya lebih baik aku mengakhiri dulu tulisan ini, padahal sebenarnya sedang capek menunggu pesan dari Tuhan.[]17:50 11/03/07