Friday, June 25, 2010


seri rumah ide (sri) edisi RUMAH MURAH

kawan-kawan, rumah kami yang kecil, ada di dalam gang, diliput oleh seri rumah ide (sri) edisi RUMAH MURAH, NO. 6/V. ada lebih banyak lagi rumah dan topik yang dibahas dalam buku serial terbitan IMELDA AKMAL ARCHITECTURAL WRITER STUDIO & GPU itu, antara lain 10 inspirasi desain rumah murah dari para arsitek terkemuka, membangun dan merenovasi mulai dari 5 juta rupiah, dan teknologi terkini membangun rumah murah.

link: http://www.gramedia.com/buku_detail.asp?id=KEfJ4757&kat=3

Thursday, June 24, 2010


Diaspora Orang Indonesia di Amerika Serikat
---Anwar Holid

Mantra Maira (Kumpulan Cerita Pendek)
Penulis: Sofie Dewayani
Penerbit: Jalasutra, 2010
Tebal: xxiv + 108 hlm
ISBN: 978-602-8252-27-0
Harga: Rp. 20.000,-


Mantra Maira (Jalasutra, 2010, 132 hal.) karya Sofie Dewayani punya tiga ciri khas: mungil, tipis, dan serius. Buku berformat mungil ini berisi sebelas cerpen yang hampir semua pernah dipublikasi media massa kelas nasional, antara lain Femina, Koran Tempo, dan Republika. Kalau mau, kita bisa menamatkan buku ini hanya dalam beberapa jam. Meski begitu, subjek cerpen dia rata-rata kategorinya serius, dengan bentuk khas sastra koran Indonesia.

Kesan serius tampak dari cara penyajian buku ini. Faruk H. T. memberi kata pengantar dengan topik 'sastra pasca-aksara' dengan pendekatan Saussurean, sembari menyatakan bahwa cerpen dalam buku ini cenderung membenturkan tulisan dengan dunia pengalaman, sehingga terkesan sekadar mereproduksi ketegangan lama, yaitu ketegangan antara bahasa dengan dunia pengalaman (hal. xi). Sang penulis mengantarkan bukunya dengan esai mengenai hubungan aksara dan manusia memanfaatkan pemikiran Jack Goody, Walter J. Ong, Shirley Brice Heath. Faruk dan Sofie sama-sama mengusung tema literasi. Secara tersirat mereka sepakat menganggap itu merupakan budaya manusia yang lebih unggul dan reflektif dibandingkan lisan. Keseriusan makin menghebat manakala sebelas cerpen itu dibagi tiga dengan komposisi 4-4-3, masing-masing menggunakan judul ala makalah ilmiah, yaitu 'teks dan internalisasi individual,' 'modernitas dan identitas,' dan 'kelas dan literasi.' Buat apa kumpulan cerpen ini dibagi-bagi? Apa mereka benar-benar berbeda satu sama lain, sehingga perlu dengan tegas dipisah? Subjek tentang individu pasti mudah terkait dengan identitas, dan teks pasti mudah menyerempet ke soal literasi.

Lengkap sudah prasyarat bahwa buku ini merupakan teks sastra. Kelengkapan ini makin sempurna oleh komentar Budi Darma, salah seorang legenda hidup sastra Indonesia, yang menyatakan buku ini menarik berkat kewajarannya mempergunakan nuansa-nuansa wanita, melalui pilihan kata yang biasa dipergunakan wanita, gaya bahasa khas wanita, dan permasalahan yang dihadapi oleh wanita. Otomatik karya sastra ini juga bisa masuk dalam kategori ecriture feminine alias tulisan perempuan.

Sejumlah cerpen di buku ini bercerita tentang perempuan Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat karena berbagai latar belakang dan alasan. Ada yang ke sana demi melanjutkan studi, ada juga yang terdampar sebagai tenaga kerja ilegal. Dunia baru ini membuat mereka menjadi misfit, yakni orang yang jadi canggung karena kesulitan berbaur dengan lingkungan atau situasi tertentu. Cerita seperti ini tampaknya khas sastra diaspora, yaitu sastra yang lahir dari orang, bahasa, budaya yang awalnya berkumpul di satu tempat tertentu, kini tercecer ke mana-mana. Contoh terbaik dari sastra diaspora ialah karya-karya Jhumpa Lahiri, yang menulis mengenai orang Amerika Serikat keturunan India atau orang India yang akhirnya menetap di sana. Karena Sofie menulis dalam bahasa Indonesia, kita bisa segera menyadari kecenderungan itu. Sebenarnya wajar Sofie menulis tema diaspora, sebab dia sendiri sekarang tengah berada di Urbana-Champaign, Illinois, Amerika Serikat. Bagi pembaca Indonesia, tema diaspora ini mungkin bisa mengingatkan pada buku Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (Umar Kayam) atau Orang-Orang Bloomington (Budi Darma).

Kecanggungan berinteraksi dengan dunia sekitar ini merupakan tema paling menonjol dalam buku ini, sampai melahirkan persoalan psikologis bagi sang pelaku atau merusakkan hubungan antar personal. Mantra Maira, cerpen pembuka, bercerita tentang seorang gadis remaja Indo yang kesulitan menghadapi ibunya yang munafik. Gadis ini lebih paham bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Perkawinan ayah dan ibunya gagal, sementara ibunya ingin terus dekat dengan dirinya. Terpaksalah dia hidup dengan ibu yang suka mengarang cerita, menutup-nutupi hubungan barunya dengan lelaki lain, dan mencari nafkah secara ilegal di Amerika Serikat. Begitu menjengkelkan ibunya, hingga Maira berniat memantrai ibunya biar celaka, soalnya dia suka memaksa agar Maira mau berbohong juga demi kepentingan dirinya. Begitu juga dengan Sri Prihatini dalam Dialog Dua Nama (hal. 61-74) yang awalnya memenangi Lomba Cerpen Femina tahun 2004. Wanita Jawa setengah baya ini mengubah nama jadi Fabiana Martinez, memanipulasi umur, berpenampilan seperti keturunan Hispanik agar mudah mencari nafkah sebagai pelayan toko di Amerika Serikat untuk membiayai keluarga. Namun kondisi ini jadi rumit ketika dia jatuh cinta pada pemuda setempat seumuran anaknya, sementara dirinya masih kesulitan mengucapkan kosakata Meksiko. Dalam Bangku Belakang (hal. 46 - 52), Sam kesulitan berkompromi dengan kehidupan dan teman-teman masa remajanya yang kemungkinan jauh lebih sukses dari dirinya, sampai dia membohongi diri sendiri baik di dunia maya maupun rela menutup-nutupi kondisi asli dirinya ketika bertemu dengan kawan-kawan lama yang membuatnya minder. Dia hanya berani jujur pada Tino, sebab Tino lebih canggung lagi menghadapi kawan-kawan lama itu, sampai membuatnya menghindari mereka semua baik di dunia nyata ataupun maya.

Sofie menghadirkan dunia gamang orang dewasa dan kanak-kanak. Kegelisahan dan kerusakan hubungan antar individu tergambar wajar, membuat salah pengertian mudah merebak dan memperburuk keadaan. Mereka rapuh, bingung, ingin memperbaiki diri, tapi kesulitan, karena ada banyak penghalang ketika hendak jujur menampilkan identitas---baik karena faktor internal maupun eksternal. Tapi tidak semua berakhir buruk. Ketika Tuhan Berjubah Putih (hal. 75-80) membuktikan betapa nasib nelangsa seorang ibu rumah tangga Muslim di Amerika Serikat bisa lungsur hanya oleh kebetulan kecil sederhana. Dia kembali mendapatkan lagi identitasnya dengan sempurna. Itu sudah cukup untuk menghadapi dunianya yang serba kekurangan dan hidup di lingkungan yang ekstrem berbeda dengan asal usulnya.

Berbeda dengan pendapat di back cover, teknik berkisah Sofie menurut saya cukup sederhana. Tanpa perlu bereksperimen aneh-aneh atau absurd biar terkesan punya kemampuan 'tingkat tinggi,' dia sudah terampil dan mampu menorehkan kesan kuat. Cerita-cerita dalam buku ini berpotensi mengganggu pembaca. Ini sudah cukup untuk melahirkan cerpen yang kuat. Kesan ini makin kentara betapa Sofie tahu kecenderungan cerpen di media massa Indonesia. Dia tidak berminat menulis cerpen sangat panjang (long-short story) yang mudah ditemui di media massa Amerika Serikat. Editing buku ini boleh dibilang bagus. Tiga-empat salah eja dan tanda baca di sana bolehlah kita anggap minor.

Sofie Dewayani kini tengah menempuh program doktoral di bidang pendidikan literasi di University of Illinois, Amerika Serikat. Dia kini memutuskan menanggalkan semua yang dulu dipelajarinya di Institut Teknologi Bandung (ITB), beralih ke sastra dan humaniora. Karya terdahulunya ialah novel berjudul Rumah Cinta Kelana (2002).

Anwar Holid ialah editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Situs terkait:
http://dialogkecil.multiply.com/ --> blog Sofie Dewayani
http://www.jalasutra.com/

Monday, June 21, 2010


Mereka Sudah Dewasa dan Kita Hanya Beruntung
---Anwar Holid

Dulu seorang kenalanku jadi sorotan di komunitasnya. Dia seorang suami beranak tiga. Kawan-kawan di komunitasnya mensinyalir bahwa dia berselingkuh dengan seorang gadis. Kawan-kawannya tampak yakin bahwa perselingkuhan itu sudah dibarengi dengan zina. Seseorang pernah berkali-kali melihat pasangan ini sering ada di kamar berlama-lama, atau kawan sekantornya akhirnya memergoki bahwa hp mereka penuh dengan sms mesra a la chatting cybersex. Setelah terbongkar, kawan-kawan mereka ribut, bahkan konon sampai menjatuhkan sanksi sosial dan etika kepada mereka berdua, yaitu mengasingkan kedua orang ini dari pergaulan komunitas sekaligus mengawasinya.

Pada dasarnya aku kurang peduli dengan hal semacam itu, jadi aku melewatkannya. Aku enggak selera. Aku memang dengar, tapi aku diam saja. Sampai suatu hari seorang kawan lain membicarakan perselingkuhan itu kepadaku.
"Kalau begitu kenapa mereka bisa sampai selingkuh?" tanyaku setelah didahului ini-itu.
"Katanya dia enggak bahagia dengan istri dan perkawinannya. Sementara cewek ini suka dengan dia sejak lama."
"Cocok dong kalau begitu," komentarku ringan.
"Mereka itu sebenarnya saling jatuh cinta."
"Apalagi kalau begitu. Terus apa yang salah dengan jatuh cinta? Kan boleh?"
"Ah, kamu ini. Jodohnya bukan dia. Lagian, dia kan sudah punya istri dan anak."
"Memang apa yang bisa menghalangi orang dari jatuh cinta?"
"Tapi selingkuh itu dosa!"
Huahahaha... aku ngakak habis-habisan. "Katanya cinta itu jorok, bisa terjadi pada siapapun dan di manapun. Budaya dan agama juga memberi kesempatan buat laki-laki punya istri lebih dari satu. Memang jatuh cinta bakal ciut sama dosa? Kan enggak. Gimana orang bisa jatuh cinta kalau enggak ada kesempatan untuk memupuknya?"
"Ah, kamu memang enggak peduli sama dosa."
"Aduh, mereka itu kan sudah pada dewasa. Sudah bisa bertanggung jawab pada pilihan perbuatan masing-masing. Mereka siap kok dengan risikonya. Katanya orang dewasa boleh berbuat apa saja."
"Ah dasar kamu juga ingin kayak dia!"

Perkawinan, rumah tangga, dan cinta itu merupakan hal rumit sekaligus sederhana. Orang dewasa kerap menempatkan perkawinan atau hubungan seksual pada posisi sakral, membebaninya dengan berbagai anggapan dan konsep berat, padahal perkawinan bisa turun hanya jadi persoalan sama-sama suka dan persetubuhan. Kalau sudah begitu, dosa tak lagi jadi urusan. Orang bisa menikah dengan alasan apa saja dan mungkin bisa jatuh cinta secara tak terduga pada siapa saja. Kalau kamu rockstar, kamu bisa mencecerkan sperma pada banyak wanita. Ah, enggak perlu jadi rockstar. Tinggal membulatkan keberanian saja. Kalau kita perhatikan rubrik konsultasi perkawinan (rumah tangga) di berbagai media, segala persoalan hidup bisa mempengaruhi rumah tangga. Mulai dari soal penghasilan, keyakinan, hubungan seksual, relasi perilaku suami-istri, sampai pandangan terhadap masa depan dan detail-detail kehidupan. Semua menguras energi dan emosi; bisa menguras biaya dan air mata. Suami istri bisa bermasalah karena apa saja, termasuk mengenai urusan yang kabur. Misalnya pada awal Juni ini aku membaca berita di Yahoo! bahwa pasangan Al & Tipper Gore memutuskan bercerai setelah menikah selama 40 tahun.

Al Gore adalah mantan Wakil Presiden Amerika Serikat di masa pemerintahan Bill Clinton. Dia penerima Hadiah Nobel Perdamaian yang sukses menggalakkan kampanye kesadaran terhadap lingkungan hidup lewat film "An Inconvenient Truth" dan secara signifikan mampu memopulerkan istilah "global warming." Sementara gebrakan Tipper Gore sebagai ibu wakil presiden ialah ketika sukses menggolkan petisi Parents' Music Resource Center (PMRC) agar melakukan rating pengawasan terhadap isi rekaman dalam industri musik, terutama terhadap lirik lagu kasar mengenai masalah seksual, pemujaan terhadap penggunaan narkoba, satanisme, atau segala bentuk perlawanan terhadap otoritas mapan. Lembaga inilah yang berhak memberi stempel sebuah album bisa dilabeli stiker 'Parental Advisory: Explicit Lyrics/Contents' yang kontroversial.

Kenapa pasangan serasi ini akhirnya bubar? Alasan utamanya kabur. Juru bicara mengatakan bahwa mereka berdua pada tahun-tahun terakhir ini sering hidup terpisah karena aktivitas masing-masing. Jadi kayaknya memang lebih baik pisah. Benar, pasangan Al & Tipper Gore boleh dibilang mesra, serasi, dan berkali-kali sukses menghadapi krisis keluarga, misalnya ketika salah seorang anaknya direhabilitasi dari ketergantungan narkoba. Pasangan ini berbanding terbalik dengan Bill & Hillary Clinton yang kerap guncang karena Bill Clinton sering selingkuh. Al Gore sejauh ini rasanya tidak pernah diberitakan selingkuh.

Aku berpikir sederhana: suami-istri ini sudah tua (lebih dari dewasa), sementara anak-anaknya juga pada dewasa; pastilah mereka punya pilihan terbaik sendiri-sendiri. Enggak usah diceramahi lagi. Kalau sudah tidak saling rela terhadap pasangan, lebih baik bubar saja. Jalan sendiri-sendiri, siapa tahu nanti ada gantinya. Atau suatu saat rujuk lagi. Kesempatan lain pasti terbuka. Daripada bersatu tapi tersiksa.

Apa arti jadi manusia dewasa? Artinya ia benar-benar tumbuh berkembang dan matang. Dia sadar dengan pilihannya. Tahu apa yang diinginkannya. Perlukah kita khawatir dengan orang dewasa? Tidak. Tidak perlu manusia dewasa dinasihati ini-itu, karena belum tentu mempan dan ia punya ribuan pilihan lain. Kalau ada buah matang, kita tinggal memakannya. Begitu juga dengan manusia. Orang dewasa itu sempurna. Dia sempurna dengan kelengkapannya. Dia boleh berbuat apa saja. Dia dipersilakan melakukan apa pun. Dia bisa bertindak apa saja. Dia hanya terbatas oleh kekurangan-kekurangannya. Dia hanya perlu bertanggung jawab atas perbuatan sendiri, baik pada diri sendiri atau pada nilai yang dia yakini. Orang lain hanya perlu mengamini atau memaklumi kalau prihatin. Kenapa, sebab sebagai sesama manusia dewasa, pada dasarnya kita ingin melakukan kegiatan tanpa halangan sedikit pun. Manusia dewasa ingin bebas mutlak; penghalangnya hanya orang lain, aturan, dan kefanaan.

Maka begitulah kita saksikan betapa perilaku manusia dewasa kerap mengejutkan. Fenomenanya ada-ada saja. Kadang kala di luar dugaan dan abnormal. Padahal sebenarnya itu ditujukan untuk memahami bahwa yang normal itu begitu luas dan relatif. Sesuatu yang dianggap abnormal bisa menjadi normal setelah terus-menerus dibiasakan oleh sistem tertentu atau seseorang. Tidak ada patokan standar untuk menjalani kehidupan. Betapa dengan menjadi manusia, ia bisa bertualang melakukan hal-hal mengejutkan. Kebiasaan didobrak, etika dilanggar, pakem dibengkokkan, otoritas dipertanyakan, digugat, dilecehkan, ditendang-tendang. Yang sakral dilawan. Aturan diterabas. Mereka yang percaya pada aturan terlalu mudah tersinggung bahwa dunia bakal runtuh oleh berbagai perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Tapi satu hal, sebagai sekumpulan makhluk sosial dan organisasional, manusia memang memiliki aturan, ketentuan, dan hukum. Hampir seluruh aspek manusia merupakan negosiasi antara kebebasan, peraturan, dan celah-celah untuk mendobrak, mungkin melakukan inovasi, atau bersandar pada preferensi tertentu yang dianggap bagus. Kalau bukan itu, tambahannya ialah keajaiban yang kadang-kadang terjadi meskipun sulit dimengerti.

Dengan kebebasannya, manusia boleh makan manusia lain, tapi orang akan menamakannya kanibal. Orang boleh mengambil milik siapapun, tapi hukum akan menyebutnya mencuri. Orang boleh bersetubuh dengan siapapun, tapi kalau bukan dengan pasangan resminya, itu disebut zina. Orang boleh mengambil nyawa orang lain, yang disebut membunuh, atau baru terjadi dalam situasi perang. Perempuan boleh menggugurkan janin yang dia tolak, termasuk lewat aborsi. Dalam keadaan normal, hal-hal seperti itu kemungkinan dilarang terjadi. Tinggal manusia berani melakukan atau tidak. Mari kita lihat contohnya di Amerika Serikat. Pornografi dan perzinaan dilegalisasi untuk kemudian menjadi industri yang menguntungkan negara, mendatangkan pajak, devisa, melahirkan kesejahteraan dan popularitas, bahkan ada penghargaannya. Sementara di Indonesia pelaku pornografi dan zina bisa dihujat dan dituding meruntuhkan moral. Padahal pelaku itu awalnya berbuat untuk bersenang-senang, berekreasi, tak ada dalam pikiran mereka soal moral dan tindakan asusila. Tapi begitulah, massa bisa menggunakan aturan untuk menyeret mereka jadi pesakitan---bahkan sebelum masuk pengadilan. Kita ingat selingkuh atau zina sejumlah orang, baik yang sudah terkemuka maupun malah jadi terkemuka setelah berzina, semua dilakukan karena mereka sudah dewasa dan bersenang-senang dengan kebebasannya. Kita hanya beruntung masih tertutupi aib dan skandalnya. Belum terbongkar kebejatan moralnya. Kemaluannya belum ditelanjangi. Jadi, berhentilah menghujat, apalagi sok mau menegakkan moral. Malulah pada diri sendiri. Mending menikmati aksi mereka, kalau mau dan tahan. Habis jelek begitu kualitas audio-visualnya. Enggak ada menariknya dan gagal membangkitkan selera. Atau kalau mau introspeksi: ayo segera hancurkan barang bukti yang bisa menjebak atau mencelakakan kita sendiri nantinya.[]6/14/2010

Anwar Holid, berusaha baik karena takut.

Ini bagian dari [halaman ganjil].

Saturday, June 19, 2010


Raksasa Bedah Saraf dari Klaten
---Anwar Holid

Tinta Emas di Kanvas Dunia
Penulis: Pitan Daslani
Penerbit: Kompas, 2010
Tebal: 226 + xxi
ISBN: 978-979-709-466-9

Pada Senin, 14 Januari 2008, masuklah seorang pasien koma karena stroke ke RS Siloam, Karawaci. Dia langsung ditangani Dr. Eka J. Wahjoepramono, seorang spesialis bedah saraf. Dr. Eka segera melihat hasil CT scan pasien tersebut, lantas memberi penjelasan singkat pada istri pasien: "Ibu, kondisi suami sangat gawat. Perdarahannya luas. Kita hanya punya dua pilihan. Pertama, we do nothing. Kita diam saja, dan suami ibu akan meninggal within hours, dalam beberapa jam lagi. Kedua, kita operasi, tapi saya bukan Tuhan. Hasilnya seperti apa, saya tidak tahu."

Keterangan itu membuat sang istri tambah syok, sebab di rumah sakit sebelumnya dia diberi tahu bahwa kesadaran suaminya "menurun."

Begitulah Dr. Eka Julianta Wahjoepramono, Sp. BS. Dia sigap dan cekatan melakukan operasi. Bicaranya lugas, informal, suka campur-aduk menggunakan kosakata bahasa Indonesia dan Inggris. Dia terkenal jujur terhadap kondisi pasien, ekspresif, sekaligus sangat perhatian dan teliti. Bila sedang menangani pasien, dia mencurahkan seluruh energi, pengetahuan, kemampuan, dan kesabaran demi kesembuhan pasien. Dia enggan menyembunyikan kondisi pasien hanya demi menyenangkan keluarga pasien atau takut dikira menambah beban psikologis keluarga.

Seperti cerita Tingka Adiati dalam memoarnya Miracle of the Brain (2009), setelah operasi Eka berkata tentang kondisi suaminya: "Bapak mengalami perdarahan di otak. Saya enggak tahu saraf mana yang kena, dan sejauh mana dampaknya. Itu baru kelihatan nanti kalau sudah sadar. But I can tell you for sure, dapat saya katakan dengan tegas, tubuh kiri bapak akan lumpuh."

Dokter spesialis bedah saraf ini berani terus-terang tentang kelemahan dan keterbatasan dirinya sebagai orang yang paling diandalkan untuk memulihkan pasien, meski dalam setiap operasi bedah saraf, dia bersama tim akan memberikan kemampuan maksimal.

"Saya selalu tekankan kepada staf jangan ada sedikit pun kesalahan atau human error dalam penanganan pasien. Semua harus mendapat pelayanan terbaik. Penderita dan keluarga mereka akhirnya percaya, kami benar- benar menjalankan komitmen profesi kami," demikian katanya pada seorang wartawan.

Kisah, kinerja, dan pribadi Eka juga tergambar lugas dalam biografi karya Pitan Daslani ini, Tinta Emas di Kanvas Dunia. Meski endorsement-nya penuh oleh puja-puji kolega atas pencapaian Eka, di sana kita bisa ikut menimba semangat betapa perjalanan untuk mewujudkan cita-cita, menjadi yang terbaik, dan tetap bersahaja, mustahil berhenti setelah seseorang ada di puncak. Gail Rosseau, Kepala Bedah Saraf di Neurological & Orthopedic Hospital of Chicago, Amerika Serikat berkomentar, "Biografi ini bermanfaat bagi masyarakat luas, terutama sebagai sumber inspirasi bagi calon penggerak bedah saraf masa depan di Indonesia."

Reputasi Eka sebagai dokter bedah saraf terangkat setelah bersama tim sukses melakukan operasi batang otak untuk pertama kali dalam sejarah kedokteran Indonesia (2001), sebuah kasus yang sangat langka. Batang otak (pons) ialah organ sebesar ibu jari, kenyal serupa tahu, berfungsi sebagai kumpulan kabel vital yang amat lembut dan menghubungkan semua fungsi orak dan tubuh manusia. Bila batang otak tak berfungsi, seseorang secara klinis sudah meninggal dunia, istilahnya mengalami brain-dead.

Dunia kedokteran menyebut wilayah ini sebagai no man's land, karena tak seorang pun sebelumnya sanggup mencapai dan menyentuh organ itu (hal. 60). Kondisi ini tambah mendebarkan betapa Dr. Eka pun belum pernah melakukan operasi di batang otak, padahal kondisi pasien sudah begitu memilukan. Pasien ini pemuda berusia 20 tahun, seorang buruh nelayan. Hanya berkat keyakinan dan mengalahkan segala halangan mental dan fisikal, termasuk peralatan mikro seadanya, akhirnya dia sukses melakukan bedah saraf yang amat berisiko itu, meskipun awalnya berdebar-debar. Pada tahun itu Eka ialah dokter Asia pertama yang mampu melakukannya.

Keberhasilan Eka terbilang istimewa, karena dia berhasil melakukan operasi sangat sulit meskipun tanpa dibimbing secara khusus. Kebanyakan dokter bedah dibimbing dulu oleh senior sebelum dia betul-betul menjadi ahli.

Keberhasilan itu bersifat spiritual baginya. Di satu sisi namanya meroket dan kemampuannya menanjak drastik, bahkan disebut-sebut sebagai giant of neurosurgery; di sisi lain ia makin prihatin betapa perhatian bangsa kita terhadap penyakit sakit dan operasinya masih begitu minim. Indonesia belum punya yayasan yang fokus memperhatikan otak maupun saraf. Karena itu dia bersama rekan mendirikan Yayasan Otak Indonesia (YOI), yang fokus membantu pasien untuk operasi otak dan saraf, dan mendapat dukungan dari Pemerhati Otak Saraf, sebuah komunitas yang terdiri dari mantan pasien bedah saraf beserta sanak keluarganya untuk tolong-menolong dan bertukar informasi mengenai hal ini.

Komitmen Eka di bidang bedah saraf kian hebat ketika ilmu pengetahuan dan pengalamannya ditumpahkan ke dunia pendidikan, yaitu fakultas kedokteran. Ia ingin ada regenerasi yang sehat dan terjadi transfer pengetahuan yang lebih baik. "Dari jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa, Indonesia hanya punya sekitar 120 dokter bedah saraf," imbuhnya. Komitmen ini bisa jadi timbul karena cita-cita menjadi dokter awalnya tampak terlalu muluk bagi dia saat kecil tumbuh dari keluarga sederhana di Klaten, Jawa Tengah.

Karena keluarganya kurang mampu, sejak kecil Eka bersekolah atas biaya dari pakde (kakak orang tua), sampai ia lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang. Persis di seberang rumah orang tuanya di Klaten, tinggal seorang dokter umum terkenal di kampungnya, dr. Subiyanto, yang ternyata juga dosen anatomi di Universitas Gadjah Mada. Eka berteman akrab dengan anak dr. Subiyanto, sering main ke rumahnya, sampai melahirkan gambaran naif bahwa profesi ini sangat mulia di matanya.

Kenyataannya, Eka mengalami berbagai kesulitan dan halangan untuk menjadi dokter yang berdedikasi. Bisa jadi karena keturunan Cina, dia mengalami berbagai perlakuan menyebalkan. Begitu masuk saringan di Universitas Diponegoro, dia sudah dihadang dengan sumbangan dalam jumlah besar. Begitu juga waktu hendak mengambil spesialisasi bedah. Dia gagal ikut pendidikan spesialisasi di almamaternya, meskipun lulus. Mau pindah ke Universitas Airlangga, dia ditampik. Di Bandung, setelah lulus spesialisasi dari Universitas Padjadjaran dan mendapat surat keputusan bekerja di RS Hassan Sadikin, dia malah diadukan atasannya pada Direktur Jenderal Pelayanan Medis Departemen Kesehatan. Eka tahu bahwa dunia kedokteran di Indonesia masih feodal, sedangkan dokter yang berjiwa demokratis dan berpikiran terbuka masih jarang. Setelah mondar-mandir mencari rumah sakit yang tepat untuk karirnya, akhirnya dia memutuskan bekerja di RS Siloam.

Di lingkungan RS Siloam kemampuannya berkembang maksimal. Rumah sakit ini menjadi bagian integral ketika Universitas Pelita Harapan (UPH) pertama kali hendak membuka fakultas kedokteran, yang salah satunya juga berkat upaya Eka. Di sinilah dia mengembangkan ilmu kedokteran sesuai idealisme dan perkembangan zaman, sekalian terus berguru, baik secara formal dengan mengambil program doktoral di tiga universitas dalam waktu berdekatan, maupun memburu ilmu dengan mengundang banyak pakar yang relevan dengan kedokteran saraf, pemenang Hadiah Nobel bidang kedokteran, serta rutin mengadakan visiting professor atau guest lecture di UPH dan organisasi profesi dokter bedah saraf. Berkat sumbangsihnya, Eka akan diangkat sebagai guru besar UPH pada 17 April 2010.

Biografi ini dengan semangat menceritakan betapa ada anak Indonesia begitu berhasrat menjadi dokter bedah saraf kaliber dunia. Teknologi dan fasilitas yang terbilang seadanya bukan halangan baginya untuk berkembang, melakukan inovasi, berbagi ilmu, sebab Eka percaya tak ada sesuatu yang terlalu sulit bagi orang yang mau belajar dan bekerja keras. Pitan Daslani menampilkan Eka secara lugas, nyaris tanpa polesan, berhasil memotret sosok Eka bagaimana adanya. Dia tidak menulis ala jurnalisme sastrawi yang berusaha meliuk-liuk baik untuk mengungkapkan perasaan atau berniat mendapatkan informasi ala jurnalisme investigatif untuk mengorek hal-hal yang cukup sensitif. Sedikit ada kejanggalan, ilustrasinya banyak menggunakan sudut pandang "aku." Ini menimbulkan ambiguitas, apa buku ini sebenarnya biografi resmi atau autobiografi yang disamarkan.[]

Anwar Holid kini bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Tuesday, June 08, 2010


[halaman ganjil]

Membayangkan Kita Sebagai Orang Lain
---Anwar Holid

Sambil dicukur, kami ngobrol soal sepakbola dan Piala Dunia 2010 yang akan berlangsung dalam beberapa hari lagi. Tukang cukur ini gemar nonton pertandingan liga dunia dan Indonesia. Bacaannya Top Skor dan Tribun Jabar, yang punya banyak halaman berita bola. Dua koran itu bertumpuk-tumpuk di ruang kerjanya. Sudah beberapa kali dalam pertemuan kami dia membayang-bayangkan betapa gaji pesepakbola itu fantastik dan kesejahteraan mereka terjamin.

"Ah, semua pekerjaan punya risiko kok," kataku diplomatis.

Sebenarnya aku malas bicara lagi soal pendapatan, persis karena pendapatanku juga kecil dan aku takut sekali lagi dianggap mengeluh atau mengadu, dan lama-lama menumbuhkan iri hati dibandingkan kondisi orang lain yang lebih sejahtera.

"Banyak kok pemain bola yang hidupnya sengsara. Kayak kemarin, Aaron Ramsey (pemain Arsenal) patah kaki waktu bertanding. Banyak pemain bola yang cedera sampai akhirnya karirnya tamat dan itu membuat dia frustrasi sampai mau bikin bunuh diri. Kayak empat tahun lalu Alessio Tacchinardi (pemain Juventus) coba bunuh diri waktu Piala Dunia di Jerman. Kehidupan Paul Gascoigne kayaknya juga awut-awutan, meskipun jelas dia punya duit lebih banyak dari kita."

Obrolan ini membuat aku jadi berpikir tentang pekerjaanku yang belum beres karena gagal melaksanakan Hukum Pareto. Hukum itu sederhananya begini: untuk sejumlah kejadian, kira-kira 80 % dari dampak itu berasal dari 20 % upaya. Ada 20 % aktivitas yang bisa berdampak terhadap 80 % keluaran yang bisa dihasilkan seseorang. 20 % aktivitas ini justru bernilai paling tinggi dalam pekerjaan, dan biasanya merupakan tugas paling sulit dan menantang. Sedangkan 80 % pekerjaan biasanya hanya bernilai 20 % dari keluaran seseorang, yang biasanya berupa tugas ringan dan mudah. Orang cenderung mengerjakan yang mudah, padahal tugas itu insignifikan. Menurut Prinsip Pareto, orang harus disiplin dan memfokuskan energi untuk mengerjakan hal yang lebih penting dan bernilai paling tinggi. Aku masih kesulitan melaksanakan dua puluh persen pekerjaan yang justru bisa memberi dampak delapan puluh persen bagi kesejahteraan keluargaku. Aku lagi berusaha fokus ke sana.

Poinnya ialah aku malas membanding-bandingkan kehidupanku dengan orang lain, meskipun kemungkinan untuk membandingkan itu begitu terbuka. Beberapa orang menganggap kehidupan sebagai penulis enak, padahal aku punya banyak utang kerjaan dan merasa masih kesulitan meningkatkan karir secara signifikan. Sedangkan kebutuhan dan kewajiban membayar tagihan mustahil dihadang.  Aku merasa pikiranku lagi kosong. Dalam kondisi seperti itu, membayangkan bahwa kita adalah orang lain sungguh-sungguh menyenangkan. Padahal itu justru sangat meracuni. Seperti beberapa minggu lalu ketika aku ngobrol dengan seorang sopir yang kerja sebagai tenaga outsource di sebuah perusahaan.

"Kerja di sini enak, driver juga enggak dianggap sebagai driver," katanya. Entah kenapa dia selalu bilang "driver" sebagai ganti "sopir" untuk profesinya. Mestinya dengan pengakuan itu dia baik-baik saja disebut "sopir." Mungkin buat dia menjadi driver itu lebih berderajat dari sopir. Mungkin driver itu bekerja di perusahaan bonafide, sementara sopir ialah sopir angkot atau sopir truk rombengan.

"Oh, begitu ya," aku berusaha menahan kecamuk batin yang mau bermunculan akibat mendengar kata-katanya. Dalam hati aku bilang, kalau kamu menolak dianggap sebagai driver, lantas kamu ingin dianggap sebagai apa? Pemilik mobil? tanyaku sinis. Manajer sepakbola atau head hunter? Apa lagi sebutan paling pantas bagi seorang driver kecuali seratus persen dipanggil sebagai driver? Bukankah itu bentuk penghargaan tertinggi untuk karirnya? Tentu absurd kalau bilang profesiku penulis tapi lebih ingin dianggap sebagai fotografer. Aku bahkan bukan seorang scriptwriter atau wartawan, meski kegiatannya sama-sama menulis. Kita bisa dikenali persis karena yang kita lakukan. Aku ingin dikenal sebagai penulis, penyunting, publisis, orang yang antusias terhadap perbukuan---bukan sebagai editor-in-chief atau motivator, misalnya. Lain halnya kalau minggu ke depan aku benar-benar jadi editor-in-chief dan tengah memotivasi orang satu stadion.

Setelah ngobrol dengan sopir, tukang cukur, direktur utama sebuah perusahaan, juga para mantan manajer, muncul pertanyaan-pertanyaan naif dalam kepalaku:
Apa satpam sebuah showroom toko mobil punya mobil sendiri?
Apa tukang parkir bank punya rekening di bank tempatnya kerja?
Apa sopir seorang rektor bisa menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi?
Apa office boy sebuah penerbit pernah terpikir untuk membeli buku-buku eksklusif keluaran perusahaannya?
Apa karyawan pabrik pupuk pernah terpikir untuk jadi petani yang suka kesulitan membeli harga pupuk?
Apa pekerja Apple mendapat fasilitas iPad gratis?
Apa semua pemain bola bisa ikut Piala Dunia?
Apa para penulis kelihatan mulia?

Belum tentu. Belum tentu hidup seorang direktur utama menyenangkan, meskipun dalam beberapa hal mungkin kita ingin seperti mereka. Apa kita mau jadi direktur utama yang akhirnya dipecat lantas diseret ke pengadilan, harus mempertanggungjawabkan hal yang mungkin bukan kesalahan kita, dan ujung-ujungnya di penjara? Baru-baru ini ada seorang komisaris utama perusahaan besar dicokok ke pengadilan dan hakim menyatakan ia bersalah. Hukumannya penjara dan denda. Beberapa gubernur telah di penjara karena terbukti korup ketika berkuasa. Kita mau menjadi seperti mereka? Jelas tidak. Dari baca-baca majalah atau buku, aku berani bilang banyak kehidupan rockstar yang sengsara, meskipun namanya menjulang dan bisa menjual album gila-gilaan. Mestinya kita tahu setiap orang punya kesulitan dan kejayaan sendiri-sendiri. Setiap profesi punya tantangan dan risiko. Kamu enggak tahu kapan kehidupan akan jaya atau nyungsep. Apa hebat kalau kamu bikin album hanya untuk menebus narkoba? Apa bagus kalau aku nulis hanya untuk mabuk-mabukan? Apa hebatnya seorang walikota kalau ia ternyata berlangganan pelacur? Kita hanya mau sisi hebat orang lain, tapi menolak wujud rudinnya. Padahal sebuah koin punya dua sisi, kehidupan punya yin dan yang. Kita maunya cuma sebelah, padahal ia harus diterima secara utuh. Jadinya mirip orang paling kaya berkat kolusi-korupsi-menipu, sementara utangnya yang sebesar gunung dikemplang maupun dimanipulasi. Tapi, bantah seorang kawan, meski banyak utang, faktanya toh ia punya banyak kekayaan. Orang malas melihat neraca, aslinya seperti apa. Memang. Inilah yang sering bikin aku nelangsa.

Mungkin kesengsaraan menjadi diri sendiri ini yang membuat seseorang suka membayangkan enaknya jadi orang lain. Padahal jangankan orang lain, jadi diri sendiri saja repot bukan main. Tepat. Menasihati diri sendiri, mengubah diri sendiri itu susah. Sementara mengomentari atau memberi tahu orang lain itu luar biasa mudah. Tinggal ngecap. Tinggal kuat berdebat. Sementara untuk jadi diri sendiri, orang kadang-kadang frustrasi, kesulitan memahami diri sendiri dan juga kejadian terdekatnya, merasa depresi, harus berdarah-darah. Risiko hidup-mati ditanggung sendiri.

Selesai ngobrol dengan tukang cukur dan orang berprofesi lain, aku berharap pikiran untuk membayangkan diri sebagai orang lain menguap perlahan-lahan. Gantinya aku makin sibuk dengan diri sendiri, berusaha fokus pada kerja dan prioritas yang sudah aku susun dan ternyata belum selesai. Alamak![]6/2/2010

Anwar Holid pernah menggunakan account lain untuk merasakan kepribadian lain. Dia bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.