Friday, February 26, 2010


[halaman ganjil]

no pity for me (usaha relaks sempurna)
---anwar holid


all you need is just a little patience
--guns n' roses


kadang-kadang ada berita seorang eksekutif perusahaan besar punya hobi off-road dengan mobil 4X4-nya. atau ceo institut anu tiap minggu melaju dengan kendaraan mewahnya. seorang manajer rutin bergabung dengan kawan-kawan komunitasnya, bisa jadi dalam keadaan yang amat lain dengan perilaku dia sehari-hari di tempat kerja. atau yang rada nyeni, seorang pekerja level atas punya hobi ngeband memainkan musik etnik. lainnya hobi mancing di laut, yang bisa dia lakukan sehabis kerja semingguan di kantor instansi pemerintahan.

entah kenapa setiap kali baca hal semacam itu, aku jadi membatin: emm... kayaknya asyik punya hidup relaks seperti itu. bisa jadi sebenarnya aku pun punya sisi itu. dulu, di sela-sela hidup biasaku, kadang-kadang aku suka beli kaset atau cd atau buku. jadi tiap kali ke kota lain, aku suka sengaja beli kaset atau cd lagu daerah setempat atau buku yang menurutku asyik sebagai tanda. ternyata, seiring waktu dan ditindas kebutuhan kehidupan, koleksi itu akhirnya lepas juga. aku enggak mati-matian mempertahankannya. kini rasanya aku enggak punya koleksi yang berharga lagi---kecuali sejumlah buku yang kadang-kadang oleh istriku diminta agar disumbangkan juga, apalagi yang menurutnya tersia-siakan di rak.

dulu, aku merasa termasuk sering ke luar-masuk galeri, menghadiri pembukaan atau diskusi seni rupa. kadang-kadang kepikiran ingin juga memiliki karya-karya itu, apalagi kalau menurutku bagus. tapi rupanya aku naif, waktu tahu betapa karya-karya itu mahal, tak terjangkau sama sekali oleh keuanganku, bahkan para penjaga galeri itu ternyata lebih suka kalau yang masuk itu adalah orang yang beli benda seni, bukan orang yang cuma lihat-lihat dan berusaha menghabiskan makna keindahannya di tempat nyaman mereka---karena itu terlalu sulit dinilai dengan uang. seniman juga begitu. aku lihat mereka memperlakukan orang yang potensial mau beli karyanya secara lebih istimewa, daripada menanggapi orang sok penasaran dan tanya ini-itu hanya karena bodoh dan tengah terbangkitkan gairah seninya. ternyata memang amat lain antara seorang "penggemar seni" dengan "pembeli benda seni." penggemar seni enggak bisa memutar benda seni jadi komoditas, sementara pembeli bisa.

aku sendiri menganggap hobiku murahan, meski kalau mau dicari tentu ada yang lebih murah lagi, apalagi pada kasus yang lebih mengenaskan. tapi dibandingkan hobi para eksekutif, manajer, kepala bagian itu, hobi mereka jelas gila-gilaan biayanya. dan yang terbayang dalam kepalaku: berapa mereka sisihkan pendapatan demi kesenangan itu? soalnya aku sudah membuktikan hal sebaliknya: yaitu justru mengorbankan kesenangan untuk menyumpal kebutuhan hidup---apalagi bila itu terpaksa dilakukan. mari bayangkan contoh orang yang suka mancing di laut: berapa biaya berangkat menuju pantai, berapa harga sewa kapal, berapa ongkos alat pancing, konsumsi, dan seterusnya. tentu sebagai orang baik, kita berharap pehobi ini sudah mengalokasikan pendapatannya buat istri dan anak (kalau dia punya) dan dia tidak korupsi untuk memenuhi kesenangan itu, artinya alokasi itu memang murni suka rela dia sisihkan dari pendapatannya. maka yang terbayang ialah: alangkah banyak jumlah pendapatan dia untuk berbagai keperluan itu. sedangkan aku dengan nelangsa merasa bahwa pendapatanku masih sedikit, sampai-sampai setiap kali sadar bahwa uang itu habis, aku hanya melongo sambil membatin: rasanya baru sembilan hari lalu aku serahkan semua penghasilanku, bahkan tagihan bulanan pun belum sempat dibayar semua...

sudah beberapa tahun lalu aku menempelkan "17 Prioritas Keuangan Keluarga" dari Kompas di samping mata kananku, isinya ialah sebagai berikut:
1/ meningkatkan penghasilan keluarga
2/ membayar pajak
3/ menabung pada awal bulan, sebaiknya 30 % dari penghasilan
4/ batasi kebutuhan rutin keluarga
5/ siapkan tabungan darurat. sebaiknya jumlahnya minimal enam kali kali pengeluaran sebulan.
6/ hati-hati dengan kartu kredit. jika belum bisa membayar cicilan sebaiknya lupakan keinginan memiliki kartu kredit
7/ miliki asuransi jiwa
8/ siapkan dana pendidikan
9/ tetap miliki kemampuan hidup prihatin
10/ miliki investasi keluarga. keluarga bisa berinvestasi meski dengan uang sedikit
11/ siapkan biaya untuk kebutuhan membaca
12/ siapkan tabungan untuk membantu orang tua dan mertua
13/ biaya memiliki rumah. jika mencicil, sesuaikan cicilan dengan kemampuan keuangan. cicilan tidak lebih dari 30 % penghasilan
14/ bijak mengatur pengeluaran. hindari membeli sesuatu di luar kemampuan
15/ siapkan biaya rekreasi
16/ siapkan dana untuk pensiun
17/ siapkan wasiat dengan bijak

ha ha ha.... aku tertawa manyun. sebagian saran bijak itu rasanya absurd. BERAPA PENGHASILAN SESEORANG AGAR BISA SEMPURNA MEMENUHI 17 SARAN ITU? bayar pajak misalnya: ngapain harus bayar pajak, kalau utang-utang pun masih belum pada lunas? ini menyedihkan.

perhatikan no. 3: ini otomatis membuat penghasilan yang boleh dibelanjakan tiap bulan ialah 70 %; sementara poin ke bawah-bawahnya antara lain memaklumkan: sebaiknya punya tabungan darurat, jumlahnya minimal enam kali pengeluaran sebulan, dan jangan lupa alokasikan buat menabung dan investasi, dana pensiun, asuransi, kebutuhan tambahan, siap sedia bantu orangtua dan mertua, termasuk buat rekreasi. WADAW... kalau semua harus terpenuhi, bisa-bisa alokasinya hanya puluhan ribu per item per bulan. itu mustahil. misal: adakah asuransi pendidikan yang iuran per bulannya di bawah seratus ribu rupiah? tidak ada. aku sudah cek, di tahun 2009, rata-rata asuransi pendidikan biayanya minimum 250 ribu per bulan.

apa aku salah paham? kehilangan sesuatu? atau logikaku kacau?

walhasil, aku hanya paham empat poin:
1/ meningkatkan penghasilan keluarga
6/ hati-hati dengan kartu kredit. jika belum bisa membayar cicilan sebaiknya lupakan keinginan memiliki kartu kredit
9/ tetap miliki kemampuan hidup prihatin
14/ bijak mengatur pengeluaran. hindari membeli sesuatu di luar kemampuan

keempatnya nyaris tidak berhubungan dengan angka.

ah, apa hubungan hobi orang lain atau hobiku itu dengan 17 saran bijak bestari itu? cukup jauh memang. tapi yang kepikiran ialah: setelah bisa memenuhi kesenangan itu, terbayang dong berapa banyak uang yang masih bisa mereka bagi-bagikan untuk berbagai pos keperluan dengan jumlah memadai. rasanya aku bisa memastikan bahwa orang-orang itu tentu mudah memenuhi semua saran "17 Prioritas Keuangan Keluarga." benar? mungkin itulah orang yang hidupnya sudah dalam tahap "kebebasan finansial" dan pekerjaannya dengan sempurna mencerminkan slogan "simple work high income."

aku jelas iri dan sedih, sisanya mengeluh dan berusaha lega. tentu jijik banget kalau sampai terdengar berita bahwa orang yang membelanjakan uang untuk hobi itu ternyata ketahuan punya utang puluhan juta ke banyak orang, dan dia enggak niat bayar, atau dia rupanya dikejar-kejar debt collector. bukankah banyak muncul berita bahwa orang kaya tertentu ternyata punya kredit macet milyaran rupiah dan dia sudah lama jadi buron? sementara di sisi lain, dia tetap bisa menjalankan hobi, menjadi politisi, atau jadi penguasa dengan sempurna. sedangkan aku hanya bisa mikir-mikir: bagaimana itu semua bisa berlangsung dengan baik? dulu aku pernah baca ada seorang suami menghabiskan uang untuk kesenangan, tapi rupanya istri dan anak-anaknya tak kebagian, sampai istrinya berutang ke orang lain, menggadaikan harta lain mereka, akhirnya mereka terjerat utang yang jumlahnya keterlaluan buat ditanggung. bagaimana mungkin bisa terjadi hal tolol seperti itu? nah, bagaimana dengan orang yang memang punya begitu banyak harta, tapi ternyata dia penjahat ulung? aku tahu sebagian konglomerat ternyata enggak bayar kewajiban mereka. dalam sejumlah kasus perusahaan ketahuan tidak bayar honor dan royalti yang mestinya diberikan kepada rekan mereka, atau dapat dari tipu-tipu. begitukah cara mereka jadi kaya dan membebaskan diri dari penjara finansial? ah, ayo wartax. coba fokus. kamu tidak sedang ngomongin bagaimana cara orang dapat penghasilan. kamu sedang menulis betapa sejumlah orang membelanjakan sebagian penghasilan itu untuk hobi, dan keuangannya masih baik-baik saja. dan kamu heran bagaimana itu bisa begitu. apa karena penghasilan mereka masih terlalu banyak untuk dibagi-bagi?

rasanya kini aku hampir tak pernah ke galeri lagi untuk menikmati seni. aku juga sudah berhenti beli kaset. cd terakhir yang aku beli ialah cd musik bengkulu, waktu aku diundang gpu buat ke universitas bengkulu. setelah bertahun-tahun tidak masuk bioskop, film terakhir yang aku tonton ialah avatar---itu pun tertipu, karena aku pikir itu film tentang aang. kalau terpaksa, aku baru beli buku. aku kini lebih mengandalkan pinjam dari rumah buku atau lihat-lihat koleksi budi. aku merasa sudah berusaha "hidup prihatin," "membatasi pengeluaran dan menghindari beli sesuatu di luar kemampuan" tapi benteng pertahananku rupanya terlalu mudah jebol. artinya, kamu harus membangun lebih tangguh. harus lebih cerdas dan pintar. belajar taktis. mengambil hikmah. (terdengar seseorang berteriak: hikmah itu apa om?)

aku pernah dengar cerita ini: kalau kamu ingin membuat cipratan dahsyat di danau, lemparkan batu sebesar mungkin yang bisa kamu angkat ke sana. maksimalkan kekuatan kamu untuk mengangkatnya! ah, bagaimana kalau saking berat, aku malah kena encok atau patah tulang? lebih parah lagi: aku juga dimaki orang yang merasa terganggu oleh cipratan itu dan menilai perbuatanku merusak lingkungan, membuat ikan mati dan habitat hancur? kalau begitu bukankah lebih baik membiarkan danau tenang dan mendiamkan batu pada tempatnya, sementara aku bisa menghemat energi untuk menikmati keindahan, menghayati suasana, merasakan ketenangan? dengan begitu aku bisa relaks sempurna?

ah, wartax, kamu memang ironik![]

anwar holid lagi kelabakan dengan janji-janjinya editor, penulis, dan publisis.

situs terkait:
http://halamanganjil.blogspot.com

Tuesday, February 23, 2010


[BUKU INCARAN]

Butuh Berapa Orang untuk Menerbitkan Sebuah Buku?
---Anwar Holid


Sekitar Agustus 2007 Anwar Holid mendapat surat dari Katalin Nagy bahwa dia ingin mengakrabkan sastra Hongaria ke pembaca Indonesia. Dia mencari penerjemah untuk mengerjakan proyek The Ninth (A kilencedik) karya Ferenc Barnás, sekaligus mencari penerbit untuk novel tersebut. Ferenc telah memenangi dua anugerah sastra paling terkemuka di tanah airnya: Sándor Márai Prize (2001) dan Tibor Déry Prize (2006). Edisi Inggris A kilencedik memenangi grant penerjemahan PEN America, terbit dalam seri Writings from an Unbound Europe. Katalin berkomitmen besar terhadap proyek tersebut. Dia menanggung biaya penerjemahan dan siap membeli sekitar seratus kopi begitu novel itu terbit dalam bahasa Indonesia, sementara Ferenc menggratiskan hak terjemahannya.

Waktu itu Anwar sedang kerja di penerbit J_, jadi dia usul agar penerbit itu menerima tawaran tersebut. Tawaran ini menurutnya cukup menggiurkan, meski bukannya tanpa beban. Dia menilai penerbit bisa mendapat prestise maupun publisitas dengan menerbitkan novel dari bangsa yang jauh. Hongaria---negeri seperti apakah itu, selain konon terkenal berkat Kubus Rubik, Ferenc Puskas, dan para pemenang Hadiah Nobel? Katalin ingin cetakan pertama novel itu minimal antara 3000 - 5000 kopi. Itu cukup berat bagi penerbit J_, apalagi bagian pemasaran ragu bisa menjualnya dengan mudah. Jadi mereka menolak. 

Anwar punya 4-5 kenalan editor di beberapa penerbit lain. Dia menyurati yang kira-kira tertarik proyek tersebut, menceritakan maksud dan kondisinya, berharap bisa mudah mendapat penerbit. Sementara itu Katalin mengontak penerjemah agar mengerjakan bab pertama dari edisi Inggris terjemahan Paul Olchváry. Terpilihlah Saphira Zoelfikar. Tidak langsung menerjemahkan dari bahasa Magyar? Susah mendapat penerjemah Indonesia yang bisa bahasa mayoritas di Hongaria itu.

Ternyata keinginan Katalin dan upaya Anwar agak sulit segera terwujud. Beberapa editor mengabaikan surat itu. Ada editor di penerbit tua menyatakan berminat. Ia mengusahakan menerbitkan novel itu. Beberapa waktu kemudian dia bilang bahwa manajemen mau memproduksi novel itu dengan syarat ada yang menanggung biaya produksi---jadi harus ada pendonor tambahan lagi. Ini sulit buat Katalin, karena di luar pilihannya. "Mau berkomitmen" itu bukannya berarti bahwa penerbit ikut menanggung biaya produksi, sebab mereka juga yang akan menikmati keuntungan---bila buku itu nanti ternyata cukup mudah dijual ke pembaca target, tak sesulit prakiraan awal. Secara implisit kawan ini berhenti berjanji mengusahakan penerbitan di perusahaannya.

Setahun berlalu dan harapan menerbitkan novel itu masih kabur. Pada kesempatan lain, Anwar menulis surat lagi ke editor lain---kali ini termasuk ke kenalan jauh yang kadang-kadang terasa spekulatif. Kawan-kawannya yang kerja di bagian pemasaran atau distribusi pun dia kontak, dengan harapan bisa meneruskan ke editor akuisisi atau para pengambil keputusan. Dia pikir mungkin ada yang salah dengan usaha pertama dulu, hingga proposal ini kurang menggerakkan. Di saat bersamaan, proyek penerjemahan Saphira terus berjalan. Meski belum mendapat kepastian penerbit, komitmen Katalin rupanya mulai benar-benar terwujud. Dia sejak awal secara menyeluruh memeriksa terjemahan itu, meski lebih suka menyebut dirinya sebagai "penyelaras pada naskah asli" alih-alih sebagai "editor."

Usaha kedua ini segera berhasil. Anastasia Mustika, editor GPU, langsung menyanggupi menerbitkan The Ninth, sambil bertanya, "Bagaimana proses selanjutnya?" Proses selanjutnya merupakan detil usaha penerbitan yang lebih merepotkan, banyak urusannya, dan melibatkan orang lain lagi. Siapa akan mendesain covernya? Bagaimana pembayarannya? Bagaimana publisitasnya? Dan seterusnya. Detail ini menambah deretan orang yang terlibat dalam penerbitan sebuah judul buku jadi makin panjang, dan menguak bahwa biaya penerbitan harus dijabarkan lebih pasti. Pilihan pertama desainer covernya ialah Ariani Darmawan, seorang desainer-sutradara, pemilik Rumah Buku. Dia membuat lima alternatif cover, salah satunya menggunakan foto karya Paulo Costa, orang Brasil. Cover ini jadi favorit orang yang terlibat di awal proses penerbitan. Ariani mengontak Paulo menanyakan izin dan copyright foto tersebut, yang di luar dugaan malah dia berikan gratis untuk cover The Ninth. Ini kejutan menyenangkan!
____________________________
ENDORSEMENT

The Ninth adalah novel perenungan pribadi yang lebih memberikan dasar untuk eksplorasi daripada yang muncul di permukaan, dan merupakan novel yang berhasil memunculkan suara anak kecil dengan baik.
---Josh Maday
____________________________

Begitu penyuntingan selesai, muncul rencana publisitas. Makin besar lingkaran orang terlibat untuk mengenalkan novel ini ke publik Indonesia. Siapa mau mengurus? GPU mengajukan Ade Trimarga. Sementara di Jogja Katalin berhubungan dengan Marie Le Sourd (Direktur LIP) membuat Festival Budaya Hongaria untuk meramaikan publisitas, juga mengajak Saphira dan Raudal Tanjung Banua untuk mengisi acara. Dia juga mengundang pianis Michael Asmara yang menciptakan komposisi berdasarkan novel itu.

Di Bandung, Budi Warsito terlibat mengurus publisitas ini. Rencana publisitas merupakan wujud dari obrolan dengan dia. Siapa kira-kira yang bakal cukup asyik membicarakan topik relevan dengan ini? Nama Ari Jogaiswara muncul. Kami pernah 1-2 kali melihat dia jadi host talkshow buku di QB Setiabudi Bandung. Kami menghubungi dua orang agar bisa mengontaknya, dari rekanan dan mantan mahasiswanya. Ahda Imran kami tawari untuk jadi moderator acara nanti, yang baru ia konfirmasi beberapa minggu kemudian. Untuk menggugah kesan pada isi buku, terbetik membacakan cuplikannya. Yopi Setia Umbara bertugas mengisahkannya, bareng kawannya (Riksa) yang akan memberi ilustrasi musik. Anwar menghubungi 3-4 penyiar yang memiliki program buku, dengan respons beda-beda. Sebagian acara ternyata sudah tutup buku atau kini harus bayar. Theoresia Rumthe dari SKY FM antusias siap membicarakan The Ninth, termasuk sekalian dengan mengundang penulisnya.

Ternyata butuh lebih dari selusin orang untuk berpartisipasi dalam penerbitan sebuah judul. Kata Joyce Wycoff, buku merupakan cerminan usaha, cinta, dan dukungan begitu banyak orang. Ada banyak utang budi di setiap upaya penerbitan---sebagiannya langsung lunas dibayar secara profesional. Tanpa pengaruh atau jerih payah bantuan sejumlah pihak, sebuah buku belum tentu bisa terbit. Ini belum melibatkan pembaca lebih luas yang nanti diharapkan merespons, mengkritik, mengomentari, atau menikmati karya itu. Ari Jogaiswara bilang, "Apa arti The Ninth diterbitkan bagi publik Indonesia? Kira-kira harapan penulisnya sendiri seperti apa? Siapa kira-kira pembaca The Ninth? Kalau dia baca The Ninth, buku macam apa lagi yang ada di rak bukunya? Apa masih kurang mendapat pembaca lebih luas dari masyarakat berbahasa Inggris?" Ari berpendapat bahwa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sudah merupakan 'award' tersendiri bagi penulis nonbahasa Inggris, terutama untuk mendapat perhatian lebih besar.

Di Indonesia, The Ninth terbit 23 Februari 2010. Pada Sabtu, 13 Maret ada acara publisitasnya di Rumah Buku Bandung, dilanjutkan Jumat, 19 Maret di LIP Jogjakarta. Ferenc Barnás akan hadir di acara tersebut.[]

Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Situs terkait:
http://www.gramedia.com
http://www.ferencbarnas.com
http://www.rukukineruku.com
http://www.nupress.northwestern.edu/ue

Friday, February 12, 2010


[BUKU INCARAN]

Ceramah Panjang Langdon tentang Freemasons
---Anwar Holid

Bentang mempertaruhkan rekor nilai kontrak yang pernah mereka buat untuk bisa mendapatkan hak terjemahan The Lost Symbol (707 hal.) karya Dan Brown ke dalam edisi Indonesia. Salah satu imprint kelompok Mizan ini menerbitkan novel yang penjualannya memecahkan rekor dalam sejarah pasar novel dewasa. Edisi Inggris The Lost Symbol diproduksi sebanyak 6,5 juta kopi untuk cetakan pertama---5 juta untuk pasar Amerika Utara, 1,5 juta untuk Inggris. Reuters melaporkan bahwa jaringan toko buku Barnes & Noble membukukan pembelian tertinggi untuk penjualan hari pertama sebuah judul buku, baik di toko maupun lewat online. Begitu terbit pada 15 September 2009, novel itu terjual lebih dari sejuta kopi di hari pertama. Jutaan penggemar Brown sudah beberapa tahun lalu menanti-nanti The Lost Symbol sejak dia dijadwalkan merilis novel baru tahun 2007 yang berjudul tentatif "The Solomon Key."

Di Indonesia The Lost Symbol terbit dengan persiapan matang. Untuk menggoda publik, penerbit mengadakan lomba komentar bertema lomba "Mengapa Saya Ingin Membaca The Lost Symbol" berhadiah novel tersebut beserta gimmick berupa gantungan kunci, tali handphone, dan kalender 2010 The Lost Symbol berbentuk piramida. Lebih serius dari itu, terasa betapa penerbit mengerjakan proses penerbitannya dengan sungguh-sungguh. Untuk buku setebal lebih dari satu rim, penyuntingan novel ini boleh dibilang sempurna. Tingkat keterbacaan buku ini tinggi dan boleh dibilang bersih dari noda salah eja. (Seingat saya hanya merasa menemukan satu salah eja di bagian akhir novel itu---yaitu 'mersusuar'---tapi tak langsung menandainya, jadi ketika memeriksa lagi malah gagal menemukan.) Kualitas editan dan terjemahan novel ini hebat. Dari segi penyajian, sisi ini patut dihargai. Edisi Indonesia novel ini terbit pada 25 Januari 2010. Untuk menambah bobot, penerbit meminta endorsement dari penulis sekaliber Radhar Panca Dahana, Tasaro, dan E.S. Ito.

Saya sendiri mula-mula bereaksi sengit begitu tahu bahwa novel ini akan diterbitkan oleh kelompok Mizan. Namun komentar sejumlah orang, disusul press release Penerbit Mizan: Mengapa Bentang Pustaka (Mizan Grup) Menerbitkan The LOST SYMBOL?, akhirnya membuat saya maklum.

Kisah The Lost Symbol fokus pada gerakan Freemasonry, berlangsung kurang-lebih kira-kira 12 jam dalam kehidupan Robert Langdon. Mulai dari sore hingga fajar hari berikutnya, Langdon kebut-kebutan dengan penjahat gila yang terobsesi oleh janji religius untuk menjadi manusia-tuhan (demigod), ditambah intimidasi CIA yang curiga atas aktivitas dan keterlibatan Langdon. Dan Brown mengintensifkan ketegangan permainan berbahaya ala anjing dan kucing di antara ketiga pihak itu di sepanjang halaman, diselang-selingi jejalan berbagai informasi, perdebatan tentang iman, tafsir terhadap karya seni dan kekayaan arsitektur, teori konspirasi, studi ilmu noetik, dan tentu saja: pemecahan simbol rahasia.

Robert Langdon secara mengejutkan mentah-mentah tertipu oleh undangan dari Peter Solomon, mentor yang ia hormati, berasal dari keluarga aristokrat Amerika Serikat, sekaligus kepala Institut Smithsonian dan seorang patron Mason dengan pangkat derajat 33---derajat tertinggi di kelompok tersebut. Awalnya Langdon antusias memenuhi permintaan Solomon untuk berceramah di institusinya. Namun begitu sampai di Capitol, ia malah "dipancing" dengan potongan tangan kanan Solomon dengan tuntutan agar Langdon memecahkan misteri kuno sebagai tebusan atas penculikan Solomon. Berbekal telunjuk yang mengarah pada lukisan fresko The Apotheosis of Washington, cincin Freemason, dan sebuah kotak tua titipan Solomon, Langdon dipaksa mengerahkan seluruh kecanggihan intelektualitasnya untuk menyelamatkan Solomon. Rupanya, informasi Langdon dan tuntutan penjahat itu menimbulkan kecurigaan pihak CIA, yang menganggap bahwa pemecahan misteri itu terkait dengan "keamanan nasional" pemerintahan Amerika Serikat. CIA yakin bahwa Langdon justru terlibat dalam gerakan makar, dan terus-menerus mencurigainya sebagai bagian dari teorisme agama.

Pemecahan misteri ini begitu rumit, penuh simbolik, sepotong-potong, berlatar belakang mitos di perkumpulan terkemuka yang melibatkan konspirasi sekte agama, ritual kuno, dan ambisi kekuasaan. Bagi orang yang tertarik pada perbincangan simbol agama, tafsir-tafsir implisit dalam kitab suci, bahwa hampir semua wahyu Tuhan itu pasti melangit lagi bersayap---dalam kasus ini terutama berasal dari Alkitab---dan makna penciptaan manusia, novel ini jelas mampu memenuhi kepenasaran mereka atas berbagai isu utama agama, misalnya siapakah Tuhan itu, mengapa dia kadang-kadang memaksa manusia melakukan hal-hal irasional? Apa gunanya iman, apa ia bisa menyelamatkan manusia dan kehidupannya? Apa isi utama kitab suci agama-agama? Kenapa ada banyak hal musykil terjadi di dalamnya? Dengan menjalankan prosesi dan ritual tertentu, penjahat dalam novel ini terobsesi oleh keyakinan bahwa manusia bisa mencapai derajat mirip tuhan, apalagi dia secara bertahap merasa mendapat pencerahan. Dia percaya kunci perubahan derajat manusia itu disembunyikan oleh kaum Freemasons, dan karena Peter Solomon menolak membuka rahasia, dia memaksa agar Langdon bekerja untuk dirinya. Puncaknya dengan membalikkan skema ritual pengorbanan Ibrahim mengorbankan anaknya.

Tertekan oleh pengawasan dan interogasi Inoue Sato---Direktur Office of Security CIA yang langsung mengepalai operasi pencegahan upaya makar terhadap pemerintahan---Langdon terpaksa bercerita panjang lebar tentang Freemasons dan pengaruhnya pada visi di awal pendirian Amerika Serikat. Para bapak bangsa negeri itu memang menganut Freemasons, antara lain George Washington, Thomas Jefferson, Benjamin Franklin, dan James Madison. Meski boleh dibilang cukup terbuka, gerakan Freemasonry tetaplah terasa misterius. Di zaman itu, Freemasons berpengaruh besar terhadap pandangan dunia mereka, dan nilai-nilai itu mereka coba warisan ke generasi selanjutnya, meski lama-lama dipenuhi mitos misterius. Gale Encyclopedia of the Unusual and Unexplained memasukkan Freemasonry dalam entri "Secret Societies and Conspiracies." Salah satunya ialah anggapan bahwa mereka menyimpan rahasia terhadap keberadaan Sang Mahatinggi. Organisasi perkawanan ini dahulu digjaya karena anggotanya orang terkemuka dan berpengaruh, namun sejak 1826-an keanggotaan dan citranya mengalami kemunduran drastik dipicu oleh kontroversi internal atas kematian William Morgan, seorang Mason yang berniat membeberkan rahasia Freemason ke dunia. Dia mati di tangan anggota Mason sendiri.

"Yang bikin excited calon pembaca Indonesia mungkin antusiasme mereka terhadap Amerika Serikat yang selalu dikaitkan dengan kekuatan 'phantom power' à la Freemasons atau zionisme. Dengan baca buku ini publik berharap bisa mendapat jawabannya," demikian komentar Nuning Hallett, seorang warga Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat. Dia mendapat novel itu sehari sebelum peluncuran di AS.

Dengan cepat Brown membuka selubung ambisi kekuasaan dengan ilusi keabadian dan pencerahan sebagaimana janji-janji agama. Lawan tangguh Langdon ialah orang telah mengalami tiga fase kehidupan, itu membuatnya jadi begitu kuat, penuh perhitungan, dengan dendam tanpa ampun. Di masa kecil, orang ini awalnya bergelimang kenikmatan duniawi, tapi perjalanan hidup mengubahnya mampu mengalahkan hasrat duniawi maupun seksual, sampai mengalami epifani bahwa dirinya bisa mencapai kesempurnaan. Dia mempelajari cara melakukannya, hanya sedikit terhadang oleh rahasia yang disembunyikan begitu rapat dan berlapis-lapis oleh persaudaraan Mason. Kali ini misterinya terasa lebih sulit bagi Langdon karena mereka menyembunyikan kunci simbol di dalam simbol.

Lepas dari kejar-kejaran dengan waktu dan ancaman baik dari sang lawan atau CIA, insiden itu sedikit-banyak bersinggungan dengan ilmu noetik, studi mengenai pikiran manusia dan upaya riset teknologi apa ruh bisa diteliti secara fisik. Di sini Langdon kembali beradu cakap panjang lebar dengan Katherine, eksponen utama ilmu noetik adik sang korban penculikan. Mungkin diskusi antara iman-ilmu pengetahuan-misteri kuno lebih menarik dibanding thrillernya, meski menurut Laura Miller---kritikus sastra pendiri Salon.com---argumen dalam novel ini dianggap pseudosains. Sebagai thriller, cerita The Lost Symbol mudah ditebak, ancamannya kurang melahirkan ketegangan puncak. Dan Brown sengaja merancang kisah ini lewat gaya bercerita serba tahu, mengisahkan secara menyeluruh, dan membiarkan pembaca mengira-ngira terus apa logika kejadiannya masuk akal atau musykil. Sangat mengherankan betapa persaudaraan yang sesama anggotanya saling menjaga ini juga bisa disusupi oleh orang yang ingin menghancurkan dari dalam.

Lepas bahwa Dan Brown merupakan penulis populer dengan rekor penjualan gila-gilaan, namanya terabaikan dalam buku rujukan bacaan semacam 1001 Books You Must Read Before You Die (2008). Reputasinya di dunia kepenulisan, apalagi di hadapan para kritikus, memang buruk---ini diperparah oleh beberapa gugatan kasus pelanggaran hak cipta terhadap dirinya, meski semua dia menangi. Namun apa pun komentar kritik dan pendapat media terhadap karyanya, puluhan juta penggemar Dan Brown pastilah benar: mereka suka tenggelam ke dalam labirin konspirasi dan penuh imajinatif berusaha menguliti lapis demi lapis misteri. Di sisi pasar, kondisi, kontroversi, serta publisitas Dan Brown bakal memudahkan Bentang untuk bisa memenangi pertaruhan selera massa.[]

Anwar Holid bekerja sebagai penulis, editor, dan publisis. Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com. Dia suka kesulitan memahami misteri kehidupan.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Monday, February 08, 2010


[BUKU INCARAN]
Warisan Orang Tionghoa di Indonesia

---Anwar Holid

Peranakan Tionghoa Indonesia: Sebuah Perjalanan Budaya
Penulis: Gondomono, et al.
Penyunting: Al. Heru Kustara
Penerbit: Intisari Mediatama dan Komunitas Lintas Budaya Indonesia, 2009
Tebal: 352 hal., dengan ilustrasi berwarna dan peta; p. 31 cm.
ISBN: 979-3590-88-1


Saya pertama kali lihat buku Peranakan Tionghoa Indonesia di perpustakaan Bale Pustaka. Begitu lihat-lihat, dalam hati saya bilang, "Wah, bagus amat buku ini."  Buku ini berukuran besar, hard cover, tebal, menggunakan art paper, penuh ilustrasi bagus, dan disiapkan dengan cukup baik. Di Bale Pustaka buku ini masuk ruang referensi, artinya hanya boleh dibaca di tempat dan dilarang dibawa ke rumah oleh anggotanya.

Untunglah Rumah Buku segera mengoleksi buku itu. Ternyata akuisisinya terjadi dari kebetulan yang malah menyisakan persoalan belum beres. Jadi setiap kali ke perpustakaan favorit itu, saya berusaha menyempatkan membaca-baca, memperhatikan detail, termasuk memperhatikan ilustrasinya yang kaya. Sampai akhirnya saya pinjam dan berusaha tuntas membacanya.

Sesuai anak judul, buku ini berusaha fokus meliput seluruh budaya orang Tionghoa di Indonesia. Isinya terdiri dari dua belas bab hasil sumbangan delapan penulis keturunan Tionghoa ahli di bidang masing-masing, jadi otoritatif dan meyakinkan. Selengkapnya sebagai berikut:
1/ Masyarakat dan Kebudayaan Peranakan Tionghoa (Gondomono)
2/ Menjadi Peranakan Tionghoa (Mona Lohanda)
3/ Unsur Lokal dalam Ritual Peranakan (Mona Lohanda)
4/ Perkembangan Arsitektur Tionghoa di Indonesia (Handinoto)
5/ Sastra Melayu Tionghoa (Myra Sidharta)
6/ Pers Melayu Tionghoa (Myra Sidharta)
7/ Ragam Pakaian Kaum Peranakan (David Kwa)
8/ Gambang Kromong dan Wayang Cokek (David Kwa)
9/ Aneka Jenis Bahan Perabotan (Musa Jonatan)
10/ Motif Dekorasi, Arti, dan Kisah di Baliknya (Musa Jonatan)
11/ Aneka Rupa Masakan Peranakan (Helen Ishwara)
12/ Sistem Ukuran dan Fungsi Perabot (Rusdi Tjahyadi)

Terbayang betapa isinya cukup komprehensif, belum lagi detail isinya terbilang kaya, karena tiap bab merupakan esai panjang yang ditulis menarik dan informatif. Ini membuat buku tersebut pantas jadi referensi kajian budaya bagi keragaman penduduk Indonesia. Dari detail itulah berbagai informasi tambahan lain bermunculan, sekaligus memperlihatkan dengan sangat terang betapa Indonesia benar-benar terdiri dari berbagai bangsa dan budaya (multi budaya dan ras), lantas secara dinamik maupun eksklusif bercampur di sebuah tempat kepulauan bernama Indonesia. Sementara budaya Tionghoa Indonesia juga memperlihatkan wajahnya yang sangat kaya, dinamik, sekaligus telah mewariskan budaya yang sangat membekas dan tak terasa memberi warna bagi kebiasaan kita semua. Dari buku ini juga tecermin betapa hubungan orang Tionghoa di Indonesia beserta segala dinamikanya naik-turun, bahkan kerap mengalami pelanggaran HAM dan sikap diskriminatif.

Istilah "peranakan" maupun "Tionghoa" sebenarnya bermasalah, kalau bukan berbau prasangka rasialis. Mungkin istilah "etnik Tionghoa" lebih netral, mengingat kita bisa menerima istilah "etnik Sunda, etnik Batak" dan sebagainya. Istilah bermasalah melahirkan prasangka buruk, stereotipe, maupun stigma (cap buruk yang sulit diterima) sampai akhirnya menumbuhkan kecurigaan tanpa sadar. Ini lama-lama bisa mengerikan dan tetap menghalangi akulturasi secara alamiah dan damai. Sejak zaman Reformasi (1998) sebutan "peranakan Tionghoa" dianggap lebih sopan dari istilah "orang Cina" yang terasa mengandung kesan kebencian karena ditumbuhkan politik awal Orde Baru yang memusuhi negara Cina (RRC) sebab ditengarai membantu Gerakan 30 September (Asvi Warman Adam, 2009). Padahal orang Indonesia mengenal istilah "Pecinan" atau "obat Cina", dan tidak ada istilah "Pertionghoaan." Apa salahnya istilah "orang Cina", "peranakan Tionghoa", bahkan "Cokin" sekalipun, selain prasangka buta? Tentu ada kesadaran bawah kolektif yang membuat istilah itu jadi berkonotasi buruk.

Meski sejarah membuktikan bahwa bangsa Tionghoa sudah datang dan berinteraksi dengan penduduk di kepulauan Indonesia jauh lebih awal dan lama dibandingkan orang Arab---apalagi Eropa---kini kesan interaksi itu seakan-akan tinggal jadi relik yang sia-sia. Bangsa Tionghoa datang ke Indonesia sebagian akibat dari diaspora bangsa Cina yang tinggal di pesisir Laut Cina Selatan. Sungguh menarik, Wikipedia Indonesia mencatat betapa istilah "Tionghoa" itu khas Indonesia, yakni dari kata "Cung Hwa." Istilah ini tidak dikenal (diucapkan dan terdengar) di luar masyarakat Indonesia, misal Malaysia dan Thailand. Mestinya bukti ini jadi pelajaran berharga buat kita bahwa penduduk Nusantara telah menerima orang Tionghoa sejak awal. Sie Hok Tjwan (1999) menulis: "Sebelum kedatangan kaum kolonialis dari Eropa, hubungan orang Tionghoa dengan orang pribumi di wilayah Indonesia tidak menunjukkan persoalan ras." Perhatikan juga betapa kaum Muslim Indonesia sangat bangga kepada Laksamana Cheng Ho yang menurut sejarah menyebarkan ajaran Islam di sepanjang pantai Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Namun dengan tabiat prasangka buruknya, rezim Orde Baru melarang peredaran buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (1968) karya Prof. Slamet Muljana sampai sekarang. Menurut Asvi, tesis buku itu patut dikaji ulang karena mengungkapkan bukti yang menyatakan bahwa Walisongo---organisasi ulama paling berpengaruh dalam sejarah perkembangan Islam di Jawa---adalah keturunan Tionghoa, bertentangan dengan keyakinan umum selama ini yang berpendapat bahwa Walisongo ialah keturunan Arab.

Sebagai bangsa yang datang ke tempat baru karena diaspora dan terbukti bisa hidup rukun dengan penduduk setempat atau membuka berbagai tempat baru, mestinya kita bisa belajar dari blunder sejarah politik penguasa Indonesia yang beberapa kali memperlakukan keturunan Tionghoa dengan buruk, dan itu membuat sebagian dari mereka bersikap eksklusif---meski fenomena eksklusivitas hadir di setiap etnik. Inilah pentingnya makna buku ini bagi kita. Ia merupakan bentuk upaya rekonsiliasi dari bangsa yang sudah lebih dari satu dekade ini berusaha menyembuhkan diri dari bencana sosial, gejolak politik, dan krisis ekonomi. Irwan Julianto dari Komunitas Lintas Budaya Indonesia yang memprakarsai buku ini menulis di kata pengantar: "bangsa yang besar ialah bangsa yang dapat berdamai dengan dirinya sendiri." Setelah berbagai peraturan politik yang tolol, prasangka sosial, kecemburuan, pengambinghitaman, serta pelanggaran HAM, saatnya kini kita bersikap terbuka dan berinteraksi lebih baik, meninggalkan perilaku rendahan kaum fanatik cupet yang suka mengancam pihak yang berlainan keyakinan dan pandangan.

Keunggulan utama buku ini jelas tampak dari ilustrasi yang sangat kaya, baik berasal dari arsip lama hingga detail yang hebat. Suasana Pecinan lama, budaya lama Tionghoa, arsitektur, ragam batik dan baju khasnya, pernik perabot rumah tangga, juga kekayaan kuliner muncul secara artistik. Sayang, justru dari ilustrasi inilah muncul persoalan pelanggaran hak cipta sebagaimana disinggung di awal, persisnya sembilan foto ilustrasi pada bab Gambang Kromong dan Wayang Cokek (David Kwa). Foto-foto tersebut berasal dari film Anak Naga Beranak Naga (2006) karya Ariani Darmawan, yang dimuat tanpa pemberitahuan dan izin kepada pemiliknya lebih dulu.

Dari esai, Gondomono dan David Kwa berbeda pendapat soal makna istilah "peranakan." Gondomono menyatakan peranakan berasal dari jabatan Kapitein der Parnakkan-Chineezen (hal. 41), yang mengacu pada keturunan Tionghoa Muslim; sedangkan David Kwa menyatakan peranakan ialah "mereka yang diperanakkan di tanah ini" (hal. 134)---jadi lebih universal dan berlaku bagi semua penduduk Indonesia. Ada kesan para penulis sebenarnya agak enggan menggunakan istilah "peranakan Tionghoa", lebih suka langsung disebut orang Cina atau Tionghoa saja---sama dengan kita tanpa beban bilang sebagai "orang Madura" atau "orang Papua." Persoalan seperti ini memang cukup pelik dan beban politiknya berat. Kita mesti memberi kesempatan mana istilah yang akan lebih diterima dengan rela dan bangga, termasuk kemungkinan kembali menggunakan nama dan bahasa khas Cina. Bukankah ini akan memperlihatkan kekayaan budaya Indonesia?

Penyuntingan buku ini boleh dibilang memuaskan, meski tetap ada salah eja atau inkonsistensi penulisan terjadi di sejumlah halaman, bahkan di halaman copyright. Secara keseluruhan, buku ini memberi lebih dari sekadar memperkaya wawasan dan kebangsaan, melainkan juga kepuasan batin dan estetika.[]

Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Situs terkait:
http://www.rukukineruku.com (untuk sewa buku dan info film Anak Naga Beranak Naga dan Sugiharti Halim)
http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia
http://www.indonesiamedia.com/rubrik/manca/manca99november-sejarah.htm (artikel Sie Hok Tjwan, "Sejarah Keturunan Tionghoa yang Terlupakan")