Saturday, February 28, 2009



[Maryamah Karpov]
NOVEL YANG MEMENANGI SELERA MASSA

Oleh Anwar Holid

Kesuksesan tetralogi Laskar Pelangi menyempilkan istilah yang mengundang tanda tanya: cultural literary nonfiction. Seperti apakah itu?

DESEMBER 2008 lalu, ketika masih membawa-bawa Maryamah Karpov (Bentang, 504 hal.) ke mana pun pergi ingin segera menamatkannya, saya malah bertemu dengan orang yang malah belum selesai membaca Laskar Pelangi. Dia menenteng buku pertama tetralogi itu sambil menunggui anaknya yang latihan main perkusi bareng anak saya. Beberapa minggu sebelumnya, kami sempat membicarakan kehebohan cerita-cerita berlatar pendidikan di pulau terpencil itu.

"Ini baru sempat baca," katanya. "Kebetulan istri saya kemarin beli waktu jalan ke toko buku."

Saya lihat dia sudah lebih dari setengah membuka novel itu. Padahal saya beserta ratusan ribu pembaca lain sudah menamatkannya beberapa hari atau minggu setelah novel itu terbit pada 2005. Apa ada beda signifikan bila seseorang baru sempat membaca karya yang terbit beberapa tahun lalu? Mungkin tidak. Saya sendiri, karena sebuah keperluan, baru-baru ini membaca lagi Laskar Pelangi, dan dampaknya menurut saya berbeda ketika waktu dulu menamatkan untuk pertama kali. Ketika membaca dua atau tiga kali, kita jadi lebih dewasa, ada refleksi dan rujukan yang lebih kaya dari sebelumnya. Tapi, ada juga fakta yang harus saya sebut, bahwa sebagian orang ternyata tetap gagal membaca novel itu. Entah kenapa; mungkin butuh bahasan lebih lanjut.

Setelah melewatkan Sang Pemimpi dan Edensor, saya langsung loncat ke Maryamah Karpov. Beruntung, sebagian orang memberi tahu isi dan mengungkapkan kesan mereka terhadap volume kedua dan ketiga tersebut. Pukul rata, kebanyakan orang lebih terkesan pada Sang Pemimpi daripada Edensor. Bagi saya sendiri, Edensor cukup menyita perhatian karena masuk nominasi KLA 2007. Setidaknya ini membuktikan bahwa para juri memperhitungkan kekuatan sastra novel tersebut---sebab kalangan tertentu meragukan aspek tersebut bisa muncul di sana.

Ketika bicara tentang daya tarik tetralogi itu secara keseluruhan, tampaknya semua orang sependapat bahwa keunggulan kisah itu ialah pada keutuhan aspek fiksinya. Tetralogi itu lucu, romantis, dibumbui petualangan dan kisah fantastik, menjadikannya sangat inspirasional bagi pembaca fanatik, terasa dekat dengan kondisi pendidikan di Indoesia sehari-hari. Keutuhan aspek tersebut membuat tetralogi itu jadi seimbang. Dengan porsi masing-masing, semua muncul satu demi satu, silih berganti, sampai tanpa terasa ia menarik imajinasi pembaca ke sebuah kisah dan kejadian yang lengkap, mulai dari drama yang mengharu-biru, lantas disusul dengan humor, ironi, tragicomedy, juga pengharapan, optimisme, dan tentu saja petualangan-petualangan fantastik. Seorang fanatik Laskar Pelangi manapun bisa cerita kehebatan tetralogi itu lebih detail dan bersemangat daripada saya.

Struktur Laskar Pelangi dan Maryamah Karpov agak mirip sekaligus melingkar, yaitu kembali ke awal. Bila di buku pertama Laskar Pelangi terbentuk, di buku keempat Laskar Pelangi reuni. Di masa kecil, jagoan Laskar Pelangi yang paling disegani ialah Lintang dan Mahar; setelah dewasa kedua orang itu kembali muncul sebagai penyelamat Ikal. Pandu Ganesa, seorang fanatik karya-karya Karl May dengan menarik menilai karakter Lintang dan Mahar sebagai representasi otak kiri dan kanan--yang diharapkan supaya seimbang. "Ini dielaborasi dengan gegap-gempita oleh si penulis." Bedanya, bila di Laskar Pelangi Tuk Bayan Tula mengadali Mahar, kini sebaliknya. Mahar ganti mengerjai Tuk yang gagap teknologi. Petualangan di hutan dan laut kembali terjadi, dengan intensitas lebih serius.

Bila dulu sepuluh anak bermain, berkelana, melakukan banyak kegiatan, menjelajah wilayah-wilayah berbahaya, merambah hutan dan nekat menjadi penyelamat, kini setelah dewasa yang benar-benar mengemuka hanya bertiga. Ini konsekuensi logis dari perjalanan waktu dan peristiwa, sebab orang dewasa punya agenda dan prioritas masing-masing. Perjalanan menguatkan karakter sekaligus mengeraskan trauma seseorang.

Sengaja Mengundang Kontroversi?

Kenangan merupakan salah satu subjek paling penting dalam tetralogi ini. Namun, kali ini Ikal bukan mengenang masa kecilnya, melainkan ketika dia dewasa. Dia mengulang kenangan bersama ayah, mengenang A Ling yang susah-payah ia coba gapai dengan berbagai cara namun masih gagal, termasuk kenangan-kenangan bersama Laskar Pelangi sebelum akhirnya masing-masing menjalani nasibnya. Misal Mahar. Di buku pertama, sebelas tahun setelah mereka berpisah kala SMP, Mahar masih menjadi pendakwah Islam di kawasan terpencil di sekitar pulau Belitong. Tapi kini Mahar sudah sepenuhnya jadi dukun dan mengaktifkan lagi Societeit de Limpai, sebuah organisasi paranormal. Bila dulu Societeit menyewa perahu untuk mengarungi samudera, kini Ikal bikin sendiri!


Apa perubahan-perubahan itu mengurangi daya tarik novel tersebut? Bagi orang yang terlalu kritis dan berkeyakinan bahwa cerita itu terlalu fantastik untuk terjadi sebagai kenyataan, novel itu dinilai terlalu berlebihan. Rollo May, seorang tokoh kreativitas, menyebutkan bahwa imajinasi memungkinkan manusia menimbang-nimbang beragam kemungkinan, membuka kesempatan yang lebih luas lagi, termasuk di antaranya bisa menerima ambiguitas. Sejak awal, Laskar Pelangi memainkan-mainkan anggapan itu. Di satu sisi, karya itu tegas disebut sebagai novel; tapi di sisi lain banyak orang bersemangat mencari jejak-jejak kenyataannya, karena sebagian memang ada. Sedangkan penerbit menyebut itu sebagai "cultural literary nonfiction." Sengaja untuk menciptakan kontroversi?

Menarik kalau ada yang membahas unsur warisan budaya pada tetralogi itu. Boleh jadi di sinilah kritik Nurhady Sirimorok dalam Laskar Pemimpi (Insist Press, 191 hal.) memiliki arti penting. Buku itu menurut Puthut EA “berusaha membersihkan kacamata kita yang telah buram karena terlewat asyik menyimak pandangan yang homogen.”

Maryamah Karpov pun demikian. Banyak pembaca dengan mudah bisa menemukan kabut logika di sana; mereka telah mengungkapkannya di berbagai media dan kesempatan. Tapi satu hal, dan ini boleh jadi mengherankan, novel itu tetap diburu, dan kesan umum pembacanya tetap sama, bahwa kisahnya lucu, romantis, penuh petualangan, inspirasional, dan dekat dengan kehidupan para pembacanya.

Tetralogi Laskar Pelangi minimal membuktikan sesuatu dengan amat nyata, yaitu ia telah memenangi selera massa.[]

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

KONTAK: wartax@yahoo.com (022) 2037348 0857 215 111 93 Panorama II No. 26 B, Bandung 40141

Situs terkait:






The 7 Laws of Happiness for Muslim Family


=============================


Oleh Anwar Holid


All happy families resemble one another, each unhappy family is unhappy in its own way. Demikian kalimat pertama Tolstoy dalam buku Anna Karenina: Semua keluarga bahagia itu mirip satu sama lain, tiap keluarga yang sengsara menderita dengan caranya masing-masing. Punya keluarga bahagia itu bukan saja penting dan fundamental, melainkan juga hak dan idaman setiap orang. Keluarga merupakan unit persaudaraan terkecil yang bisa menentukan perilaku, adat, dan moral setiap orang. Ia menjadi tempat interaksi intim antara suami-istri, orangtua-anak, saudara kandung-saudara tiri, saudara dekat-saudara jauh.


Lepas bahwa secara alamiah orang ingin membangun keluarga bahagia, selalu saja ada sandungan yang kerap gagal dihadapi baik oleh pasangan paling mesra dan setia sekalipun. Perceraian kadangkala harus terjadi, pertengkaran meledak, sakit hati sulit diobati, anak terlantar, suami meninggalkan istri, istri selingkuh, anak hidup dalam tekanan, anak kabur, orang tua merasa diabaikan, pasangan merasa kurang dukungan, kebutuhan hidup mengejar-ngejar tiada ampun, suami merasa kecapaian mencari nafkah, bantuan istri dianggap kurang. Masalah keluarga ialah masalah kehidupan yang senantiasa perlu dinegosiasikan setiap waktu.


Adakah rahasia menciptakan keluarga bahagia?


Arvan Pradiansyah, penulis The 7 Laws of Happiness (Kaifa, 423 h.) akan mencoba berbagi dan sama-sama mencari formula, adakah syarat di dalam keluarga bahagia. Kali ini pembicara publik dan ahli SDM ini akan ditemani Asma Nadia, salah satu tokoh Forum Lingkar Pena, yang juga telah menghasilkan banyak buku. Mereka akan membahasnya dalam talkshow "The 7 Laws of Happiness for Muslim Family" pada Islamic Book Fair Maret 2009 ini.


Hari, Tanggal: Ahad, 1 Maret 2009
Waktu: 16.00 - 18.00 BBWI
Tempat : Istora Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta, Panggung Utama Islamic Book Fair.


Bagi Arvan acara ini seakan-akan merupakan konsekuensi dari rangkaian roadshow atas bukunya. Tapi boleh jadi talkshow kali ini menawarkan hal istimewa atau pendalaman khusus atas suatu kasus dalam bukunya. Kebahagiaan itu milik semua, meskipun kadang-kadang kita kehilangan hal itu.


"Saya berharap buku ini dapat menjadi sebuah tools yang sederhana namun cukup powerful untuk mempermudah hidup kita (guna meraih kebahagiaan)," kata Arvan pada suatu kesempatan.


The 7 Laws of Happiness sudah berhasil menggugah sejumlah kalangan untuk menerapkannya, termasuk kalangan guru, pekerja, juga pada lingkungan universitas.

Keesokan harinya, pada Senin 2 Maret 2009 Arvan bersama Kaifa akan meneruskan kampanye meraih kebahagiaan di Kantor Divre II TELKOM, Jakarta pukul 10.10 - 12.00 BBWI.
Tertarik membahas bersama? Silakan hadir.[]

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid
KONTAK: wartax@yahoo.com Tel.: (022) 2037348 HP: 085721511193 Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Copyright © 2009 oleh Anwar Holid

Situs terkait:


Hubungi Arvan Pradiansyah via http://www.facebook.com/

Tuesday, February 24, 2009





[HALAMAN GANJIL]
Sederhana Seperti Apa?
--Anwar Holid
Sederhana itu tricky.
--Budi Warsito


Ada dua buku yang secara khusus membicarakan sederhana. Pertama The 7 Laws of Happiness (Arvan Pradiansyah) dan Simplify Your Working Life (Fergus O'Connell). Kedua orang itu menggunakan sederhana sebagai hukum, bahkan merupakan ajaran moral yang sepatutnya dipatuhi, karena dari sanalah hakikat masalah bisa dilihat. Ibaratnya, sederhana adalah atom, inti sesuatu--minus penemuan bahwa atom pun ternyata masih punya unsur lagi.
Arvan Pradiansyah dengan tegas menyatakan bahwa sederhana ialah kemampuan menemukan inti masalah; sementara Fergus O'Connell--terutama dalam konteks kerja dan karir--menekankan bahwa yang pertama-tama harus dilakukan untuk bekerja cerdas ialah orang harus menemukan cara kerja paling sederhana. Menurut Tujuh Hukum Bahagia Arvan, sederhana merupakan poin ketiga rahasia mencapai hidup bahagia. Penulis lain, Jack Foster dalam buku Ideaship juga mengamini pendirian seperti itu, baik dalam konteks karir maupun kepuasan pribadi.
Di dunia seni, ada aliran kubisme dan abstrak ekspresionisme yang sangat menjunjung luhur-luhur makna sederhana. Bagi penganutnya, alam ini bisa diabstraksi menjadi garis, bujur sangkar, lingkaran, segi tiga, dan bentuk-bentuk dasar lain, sehingga itulah yang mereka geluti. Bila kita perhatikan dari lukisan Pablo Picasso atau Piet Mondrian, bentuk-bentuk dasar itu begitu dominan, meski setelah jadi, di tangan mereka lukisan itu menjadi sesuatu yang kompleks, harmonis, sekaligus kabur dan penuh luapan perasaan.
Di dunia arsitektur (Ludwig Mies van der Rohe) dan sastra (Robert Browning) sama-sama punya adagium yang membuat mereka begitu terkemuka, yaitu: Less is more (sedikit itu lebih bagus.) Di ranah ekonomi juga begitu; E. F. Schumacher (1911 - 1977), pemikir ekonomi Inggris kelahiran Jerman, sangat sering dikutip pemikir ekonomi Indonesia karena menulis buku dengan judul sangat provokatif: Small is Beautiful (kecil itu indah.)
Di dunia gerakan, filsafat, apalagi agama, begitu banyak orang yang mati-matian menekankan pentingnya sederhana. Perhatikan gerakan sederhana dan damai yang dilakukan Gandhi, Martin Luther King, Jr., Mandela, Aung San Suu Kyi, juga Lech Walesa. Jangan lupa juga dengan tokoh bersahaja yang datang lebih dulu: Henry David Thoreau, Isa Al-Masih, Francis Assisi, dan lain-lain. Orang Muslim biasanya suka mengagung-agungkan kesederhanaan pahlawan mereka--antara lain Muhammd Saw, Ali bin Abi Thalib, Imam Khomeini, dan sekarang Ahmedinejad--sebagai orang yang betul-betul sederhana.



Sekarang, anggaplah kita beriktikad kuat mau melakukan hal serupa karena kita sudah lama terpesona oleh kesederhanaan. Apa yang seharusnya kita lakukan?

Pertama-tama, mungkin kita langsung berpendapat bahwa sederhana berbeda dengan miskin. Baiklah, saya setuju. Semua orang yang paling kaya pun konon bisa sederhana--katakanlah seperti Warren Buffett. Boleh jadi pendapat kita tentang sederhana sebenarnya menunjukkan bahwa kita keberatan dengan hidup sederhana versi Isa Al-masih dan Gandhi. Kita ingin sederhana versi Buffett atau Bill Gates. Kita ingin sederhana yang kaya, bukan sederhana yang kere. Kita ingin meneladani sederhana yang mungkin lebih tepat dan kontekstual dengan dunia kini yang berkembang karena kapitalisme dan diikuti budaya konsumerisme.

Jadi, silakan definisikan sederhana Anda masing-masing, biar nanti kita bisa melanjutkan diskusi.

Saya sendiri masih sulit mendefinisikan dengan persis sederhana yang ideal. Meski saya beriktikad sederhana, toh saya gagal berhenti mengumpulkan banyak barang yang boleh jadi tak saya butuhkan. Saya masih punya puluhan kaset, CD, bahkan ribuan buku, belasan potong baju dan celana. Dari sisi itu saja, saya jelas tidak sederhana, alias berlebihan. Untuk apa saya punya puluhan kaset, bila sebenarnya saya tidak menyetel kaset itu tiap saat? Untuk apa saya punya belasan potong baju dan celana, padahal kita bisa cukup punya 2 potong baju dan celana? Yaitu satu dipakai dan satunya lagi jadi cadangan? Kenapa harus punya cadangan belasan potong?

Dalam beberapa hal barangkali saya boleh dibilang sederhana. Misalnya, saya punya satu istri. Itu masih cukup. Kacamata saya juga cuma satu. HP saya satu, begitu juga dengan rumah, televisi, rapido, earphone, dan kulkas. Dulu saya punya cd player dan walkman; tapi sekarang sudah dijual. Dulu saya hanya punya satu flash disk; tapi akhirnya dihadiahi 2 flash disk oleh dua institusi, kini saya jadi punya tiga.

Karena tidak punya mobil, motor dan ipod; bolehkah saya mengklaim diri saya sederhana? Mungkin Anda langsung protes, eits, tunggu dulu.

Ternyata dengan contoh saya saja, sungguh sulit menyatakan dan melakoni hidup sederhana. Bila saya bersikeras mengatakan hidup sederhana dengan makan di warteg murahan, mungkin orang-orang akan tertawa sinis. Itu bukan sederhana, itu pelit dan cari penyakit. Perhatikan dong bahan makanannya, cara memasaknya, zat-zat yang digunakannya, kualitas bumbu yang mereka cecerkan. Alih-alih sederhana, kamu akan lebih cepat mati dan penyakitan.

Setahu saya, orang sederhana nggak takut mati.

Bila tiba waktunya--entah karena sudah waktunya atau karena jotosan preman--orang pasti melepas nyawa.

Kini ibu-ibu pada ramai menggunakan bahan makanan organik, yang menurut saya harganya lebih mahal. Kalau saya bilang, sederhana saja, pilihlah yang lebih murah, mereka akan berkata sengit: "Yang organik itu lebih sehat, akan bikin kita lebih panjang umur, tambah fit, mencegah penyakit, dan segudang khasiat lain." Segera saya bingung, bukankah yang sederhana itu lebih baik? Kalau kamu ditakdirkan sehat dan panjang umur, mungkin dengan makan akar-akaran dari hutan juga kamu tetap sehat wal afiat.

Kegagalan melaksanakan hidup sederhana membuat saya berani menyatakan bahwa saya mengidap penyakit bernama: Didera Serba Kekurangan (DSK), dan entah bagaimana cara menyembuhkan atau menerapinya. Saya bahkan menganggap gejala penyakit ini malah harus dimaklumi alih-alih diperiksa. Buktinya ialah bahwa saya ternyata lebih bersemangat mengejar kekurangan tersebut, alih-alih mengurangi kebutuhan atau meminimalkan maupun terus-terus berperilaku dan memilih hidup bersahaja.

Katakanlah saya ingin merayakan satu dekade pernikahan dan ingin melangsungkannya dengan sederhana; apa yang seharusnya saya lakukan? Merayakan syukuran sendiri, dengan doa, atau memilih mengajak anak-istri ke warteg paling murahan di dekat rumah, atau ke restoran eksklusif yang hanya dikunjungi bila keuangan kita berlebihan atau pikiran sedang nggak waras? Semua jawaban tampak salah.

Semua orang saya yakin akan bilang, "Sederhana itu tidak berarti kamu harus merayakan hari pernikahan di warteg. Pilihan di restoran steak terkemuka malah lebih baik, karena itu hari istimewa kamu! Kalau kamu merayakan di warteg, ketahuan betapa pelit kamu pada keluarga!" Entah kenapa jawaban itu membuat saya merasa gagal jadi orang sederhana. Saya pikir, apa bedanya makan di warteg dan restoran, kalau kita bisa merasakan nikmat dan kenyang dengan kualitas setara? Orang-orang yang tahu apa arti bahan makanan bagi tubuh dan selera jelas menolak jawaban ini.
Iktikad hidup sederhana makin tambah runyam, mendapat tantangan dan ledekan karena kita kini mengenal hasrat bernama konsumerisme. Baru-baru ini saya sekeluarga membela terus-menerus belanja di satu pasar swalayan karena bila belanja dengan nilai tertentu akan mendapat satu kupon yang setelah berjumlah 45 lembar bisa ditukar dengan boneka anjing atau kucing. Bayangkan! Hancur sudah niat sederhana saya karena menuruti iming-iming konsumerisme. Saya membelanjakan uang bukan demi kebutuhan yang benar-benar sulit dihindari, melainkan karena ada pamrih lain di sana. Ternyata cukup mudah menipu keinginan massa. Kelakuan saya itu persis Ilalang (anak saya) yang selalu mengambil snack atau barang lain disertai hadiah di dalamnya.

Karena sederhana beda-beda bentuknya, kita akhirnya bingung akan memilih model mana atau akan membentuk sendiri citra sederhana seperti apa; dan akibatnya sederhana itu makin jauh dari diri kita, makin sulit diikuti, dan perlahan-lahan gantinya kita dipeluk makin erat oleh kebutuhan yang makin banyak dan menumpuk. Kata Arvan, kita makin kerepotan oleh hal remeh-temeh, tetek-bengek, trivia, alih-alih mencari yang hakikat. Persoalannya, bagaimana kita bisa menemukan yang hakikat bila kita kehilangan tujuan dan persoalan yang sebenarnya? Lama-lama sederhana menjadi sesuatu yang eksotik; ia indah, ideal, tapi terlalu jauh dan sukar untuk diraih dan dilaksanakan. Kenapa? Karena kita menganggap sederhana itu terlalu jauh dan sulit berkompromi dengan sebagian besar aspek hidup kita.

Akibatnya bisa diduga: gerakan hidup sederhana yang sejati kehilangan penganut, atau pelakunya terlalu sederhana untuk jadi orang terkemuka dan jadi panutan. Orang-orang yang boleh jadi sudah cukup kaya--katakanlah saya--masih saja mengeluh kekurangan, berkampanye hidup sederhana tetapi sulit membedakan mana hawa nafsu dan mana memenuhi kebutuhan paling dasar. Habis dia ketakutan bahwa hidup sederhana akan menghalanginya bisa menikmati espresso dan kopi Aroma.

Sederhana mungkin makin sulit berkenan di hati kita semua, apalagi sekarang orang senantiasa menargetkan segala hal serba luar biasa, grandiose, harus semakin hebat. Cobalah kalau perusahaan tempat Anda menargetkan misi makin sederhana dan bos Anda meminta capaian lebih sederhana; mungkin Anda akan segera merasa masuk tempat ibadah, tempat para penceramah tiap Jumat atau Minggu meminta orang hidup tambah sederhana, jangan sampai terlena dunia, bersedekah lebih banyak--biar amplop yang dia terima tambah tebal. (Aih, Wartax, kayaknya kamu mudah berburuk sangka!)

Ternyata sederhana beda-beda bentuknya, walaupun hakikatnya boleh jadi sama. Cerita-cerita hikmah tentang sederhana bisa berwujud sesuatu yang mengejutkan kita. Orang silakan saja bilang tentang gaya hidup sederhana namun toh itu tak menghalanginya menyelenggarakan perkawinan anaknya dengan biaya milyaran rupiah. Dengan begitu, sederhana seorang pejabat tinggi negara jelas beda dengan sederhana seorang pekerja out source; meskipun mereka sama-sama bisa berangkat kerja dengan sepeda atau jalan kaki. Baiklah, asal hakikatnya mereka temukan bersama.

Kalau Anda membuka pintu rumah saya dan mendapati ruang tamu kami melompong tanpa meja-kursi--diganti hanya hamparan karpet abjad--mungkin Anda akan terkesan betapa sederhana rumah kami, sampai beberapa tamu terus-terusan berdiri karena merasa bingung harus duduk bagaimana. Boleh jadi kami sedang mempraktikkan less is more atau mode interior dengan furnitur minimalis; meski kenyataannya kami masih saja gagal mencari perabot yang pas, baik dengan bujet maupun kecilnya ruangan. Bandingkan bila Anda masuk ke Rumah Buku, tempat di sana terdapat sejumlah rak yang asli hanya berupa tumpukan batu-bata mengapit bilah papan (contoh gambar ada di halaman situs mereka), tanpa plesteran. Sangat sederhana dan alamiah.

Lantas bandingkan dengan mode interior minimalis yang mungkin jadi pilihan kantor Anda atau rumah kenalan Anda, yang malah memancarkan sifat mewah, mahal, elegan namun tak terjangkau oleh orang dengan penghasilan sederhana. Anda masih mau bersikukuh bahwa itu semua benar-benar bentuk hidup sederhana? Ayolah, Anda harus berani bilang bahwa itu sudah melewati kodrat kesederhanaan, itu sudah berlebihan. Itu adalah bentuk "usaha keras agar sederhana" yang hasilnya justru luapan kemewahan berbalut pemborosan.

Begitu dengan para politisi kita yang sedang kampanye ingin terpilih jadi anggota DPR-RI/D maupun pemimpin pemerintahan. Bagaimana cara kita--orang-orang yang terkadang terlampau sengit memandang politik--meminta agar mereka sederhana di tengah tuntutan belanja kampanye yang begitu mahal? Bagaimana memberi esensi sederhana pada mereka? Kalau esensi menjadi politisi ialah bernegosiasi dengan orang jahat, memelihara perdamaian; maukah mereka mengalihkan dana kampanye yang jelas nggak tersalurkan pada orang miskin dan papa, untuk kesejahteraan sosial bersama-sama? Mari kita tantang mereka: Maukah kamu membagikan dana kampanye itu buat membangun fasilitas umum, membersihkan poster-poster dan spanduk vandal yang mereka pasang sendiri, yang mengotori tempat di mana-mana dan jadi sampah?

Akhirnya kita capek diskusi tentang sederhana, sebab munculnya malah debat seperti apa sederhana itu. Kita menyaksikan menemukan atau merumuskan sederhana ternyata persoalan besar; padahal boleh jadi kita tahu persis arti sederhana dalam persoalan ini. Kita cukup yakin bahwa sederhana bisa meningkatkan kualitas hidup, mengantarkan kita pada sesuatu yang lebih hakiki. Bahkan cukup yakin, siapa tahu sederhana mampu menghapus perbedaan yang terlalu mencolok antara orang kaya dan miskin, gaji yang begitu besar dan orang ngos-ngosan. Mungkin sederhana bisa menghilangkan rumah mewah, apartemen eksklusif, hotel berbintang sekaligus menghilangkan kawasan kumuh, slum, miskin, kotor, dan menjijikkan. Mungkin sederhana bisa mengurungkan niat orang bikin vila di pinggir pantai atau ujung tebing gunung perawan, dan mengalihkannya bagi gelandangan. Kalau sistem ekonomi kita sederhana, tentu perusahaan raksasa tak perlu menjalankan CSR, sebab mereka sudah bisa dengan waras membagi penghasilan kepada kaum miskin.



Hidup sederhana menghasilkan orang seperti Muhammad Yunus, film Not One Less, lagu Yellow, lukisan abstrak ekspresionisme, orang yang memilih sendal jepit. Bahkan mungkin, teknologi canggih yang kita gunakan muncul dari ide sederhana. Dari sederhana lahir puisi karya Sapardi Djoko Damono dengan bait pertama sangat kuat: "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana."

Sederhana itu sublim.

Kalau begitu, memang tugas kita harus menemukan sederhana sendiri-sendiri, yakni sederhana yang polos, meskipun boleh jadi tricky.[]

Anwar Holid, trying hard to be simple. Dia eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.

KONTAK: wartax@yahoo.com Tel.: (022) 2037348 HP: 085721511193 Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Saturday, February 21, 2009








[HALAMAN GANJIL]

Alangkah Sulit Membuat Sejarah
---Oleh Anwar Holid

Memperhatikan betapa antusias sebagian warga negara dan media Indonesia menyaksikan pelantikan Barack Hussein Obama sebagai Presiden Amerika Serikat ke-44, aku membatin: kenapa bangsa ini begitu antusias dengan pelantikan seorang presiden sebuah negara yang jaraknya terpisah oleh Laut Pasifik? Sejumlah media massa jauh-jauh hari mengirim para reporter dan koresponden ke negara itu untuk melaporkan peristiwa tersebut secara langsung, agar keterlibatan bangsa Indonesia lebih dekat lagi.

Rasanya aku bahkan tak pernah menyaksikan pelantikan Presiden Republik Indonesia sendiri. Baik Suharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY. Tahu-tahu mereka jadi presiden, dan aku harus kembali menghadapi hidup tanpa manfaat dari pengaruh mereka sama sekali. Bila memperhatikan pelantikan presiden di negeri sendiri saja tidak pernah, ngapain juga aku harus nongkrongin tv untuk menyaksikan pelantikan Barack Obama?

Jelas peristiwa itu yang membuat kejadian tersebut sulit terlupakan. Tak peduli bahwa Barack Obama bukan presiden kamu, dan besok-besok kamu sadar bahwa kesejahteraan sosial kamu tak terjamin sama sekali, bahkan oleh kerja keras yang kamu perlihatkan. Begitu keras kerjamu, sampai tulang-tulangmu linu.

Aku sendiri hanya sekilas melihat berita pelantikan itu di tv, kira-kira sekitar 1-2 lamanya, terutama takjub oleh betapa banyak orang yang berkumpul di depan Capitol Hill untuk menyaksikan langsung pelantikan itu. Kata seorang teman, ada empat juta orang yang kumpul di sana. Aku sangsi. Cukupkah tempat itu menampung orang sebanyak itu? Ada yang bilang kira-kira dua juta; menurutku itu lebih masuk akal.

Setelah dengar berita itu, aku langsung sibuk lagi oleh berbagai hal yang harus dibereskan, baik di rumah, pekerjaan, pikiran, bikin minuman, menyiapkan kerja, dan sebagainya. Dalam hati aku bilang: Alangkah sulit bagi sebuah negara sebesar AS membuat sejarah. Setelah merdeka pada 4 Juli 1776, baru kali ini mereka punya presiden keturunan kulit hitam, itu pun bukan kulit hitam tulen, melainkan ibunya berkulit putih, penduduk asli AS. Butuh setingkat lebih tinggi lagi bagi AS untuk menciptakan sejarah, yaitu memiliki presiden yang asli keturunan Afrika-Amerika. Bangsa itu butuh 233 tahun untuk memenangkan Barack Obama. Luar biasa lama. Berapa waktu yang mereka butuhkan untuk memiliki presiden asli berkulit hitam? Sulit dibayangkan. Mungkin setelah itu butuh waktu lama juga untuk mendapatkan presiden perempuan. Bandingkan dengan Indonesia yang pernah punya presiden perempuan. Bukankah itu hebat?

Bangsa AS butuh nyawa Martin Luther King, Jr. dan Malcolm X lebih dulu sebelum sejarah itu terjadi. Mereka perlu menahan Rosa Park. Mereka belum yakin atas prestasi Wilma Rudolph. Belum percaya pada kemampuan Jesse Jackson. Pukulan Muhammad Ali dan Mike Tyson, lompatan Kareem Abdul-Jabbar, persuasi Oprah Winfrey, kritik Imamu Amiri Baraka, kecaman Spike Lee, juga masih gagal menghancurkan bayang-bayang ancaman rasialisme dan pluralisme di negara itu. Orang Indonesia suka dengan sinis menyebut pengorbanan itu dengan "tumbal." Oh, alangkah besar tumbal mereka untuk melantik Barack Obama. Pada 1966 Imamu Amiri Baraka berkata, "Jika kamu orang kulit hitam, satu-satunya jalan menuju daratan kehidupan Amerika Serikat ialah dengan menjadi budak, kepengecutan, dan melenyapkan keberanian. Itu semua merupakan jalan orang kulit putih. Sekaranglah waktunya kita membangun jalan kita sendiri."


Jadi lama-lama aku kok merasa sayang dan menyesal sebagian media massa Indonesia, terutama televisi, menghabiskan waktu, energi, dan biaya untuk meliput pelantikan itu. Seolah-olah bangsa sebesar ini dan negeri seluas ini kehabisan sesuatu yang layak diberitakan. Apa meliput sungai-sungai yang kotor dan butek oleh sampah, kota yang semrawut, banyaknya pengemis dan pengamen, kejahatan korporasi, ekonomi yang kacrut, sepakbola yang dodol, kreativitas yang miskin, jiwa pembajak, musik yang tentang cinta melulu, di negeri sendiri sudah begitu bikin putus asa, hingga kita perlu teater mimpi dari negeri lain untuk melupakannya? Wow, alangkah hebat Presiden AS Barack Obama ini. Dia berhasil menyihir sebagian penduduk Bumi agar terkesima oleh prestasi dan janji-janjinya. Dia mempesona dunia dengan orasi yang mantap, sempurna, dibalut penampilan yang begitu serasi di mata. Betapapun sengit aku bersungut-sungut, Obama tetaplah the newsmaker nomor wahid di dunia saat ini.

Tapi menurutku, alangkah kerdil bangsa Indonesia jadinya, bila mereka berharap akan ada sedikit keajaiban atau pengaruh dari pelantikan itu. Rupiah mustahil sejajar dengan dolar AS setelah pelantikan itu. Setelah AS baru-baru ini dihajar oleh krisis finansial dalam negeri, toh Indonesia malah terkena imbas buruknya; bukannya mengambil keuntungan atau mengadakan manuver untuk lebih maju. Betapa rentan negara kita ini. Indonesia bahkan gagal maju ketika ada raksasa yang sedang kesakitan dan terganggu. Bukannya bertindak lebih taktis agar bisa menyalip, malah kita ikut guncang akibat kejatuhan dan gelombang yang menerjang. Kamu sendiri membayangkan apa waktu menyaksikan pelantikan itu? Senang bahwa seorang Presiden AS ini pernah menghabiskan kira-kira empat tahun di Jakarta, punya ayah tiri dan adik kandung orang Indonesia? Alangkah senang membayangkan ada ikatan semu dalam kepala kita semua terhadap seorang kepala negara. Apa kita berharap begitu juga setiap kali Indonesia ganti presiden? Atau kita jelas apatis terhadap kinerja pengaruh politik dan pemerintahan pada kehidupan sehari-hari di dunia ini?

Aku sendiri belum pernah menyaksikan betapa besar ketertarikan massa dunia pada sebuah peristiwa politik di negara lain. Mungkin ini bisa dibandingkan ketertarikan bangsa Indonesia menjelang terjadinya Reformasi 1998---meski dengan catatan, tumbal dan kerusuhannya terlalu besar. Atau barangkali zaman memang sudah berubah, yaitu betapa kini setiap umat di dunia bisa terlibat dengan setiap peristiwa yang mungkin menarik perhatiannya; persis seperti aku tergerak oleh final Liga Champions, padahal aku bukan bagian apa-apa dari peristiwa itu selain sekadar penonton jarak jauh. Apa itu yang terjadi pada pelantikan Obama? Bahwa terutama kita yang ada di lingkaran luar peristiwa itu masuk dalam kategori masyarakat tontonan?
Lepas bahwa aku menyatakan apolitik, mungkin menarik bila kita berani membayangkan bahwa pelantikan presiden baru pada 2009 nanti akan semeriah inagurasi Barack Obama: acara dibuat semarak seperti pesta ulang tahun, dimeriahkan musik, baca puisi, tapi tetap khidmad dan penuh pengharapan.[]
Anwar Holid, warga negara Indonesia, tinggal di Bandung, sering mendengarkan musik rock & jazz dari AS.
NB: Awalnya kolom ini berjudul "Apakah Barack Obama Itu Presiden Kita?"



Model Komprehensif tentang Kebahagiaan
--Anwar Holid


The 7 Laws of Happiness - Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia
Penulis: Arvan Pradiansyah
Penerbit: Kaifa, September 2008
Halaman: 428
ISBN: 978-979-1284-20-2
Harga: Rp 72.500,-

KITA kerap mendengar orang berkata, "Semoga hidupmu bahagia" atau dengan nada emosional mengucapkan, "Saya rela miskin, asal bahagia." Sesungguhnya, bahagia seperti apa yang dia maksud? Apa bahagia itu identik dengan senang? Bagaimana bila dibandingkan dengan perasaan sejenis, misalnya beruntung, sukses, mujur, dan puas?


"Bahagia itu rentang waktunya panjang, sementara senang itu berjangka pendek," demikian pernyataan awal Arvan Pradiansyah dalam The 7 Laws of Happiness. Buku ini berusaha secara meyakinkan dan mudah dipahami membahas salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia, yaitu kebahagiaan. Sebagai seorang ahli sumber daya manusia dan pembicara publik, Arvan telah menghasilkan empat buku bertema manajemen kepemimpinan (leadership) dan manajemen kehidupan (life management.) The 7 Laws of Happiness termasuk kategori manajemen kehidupan, terutama karena ia secara persuasif mengajak agar pembaca menemukan dan membukakan jalan hidup yang bahagia.


Arvan menggunakan pendekatan neurosains dan Psikologi Positif untuk membukakan wawasan tentang meraih kebahagiaan. Neurosains ialah studi saintifik terhadap sistem saraf, terutama sekali sistem jaringan otak. Sebagian ahli otak mengatakan bahwa pusat manusia ada pada akal, yaitu proses berpikir yang terjadi di dalam otak. Arvan yakin bahwa kunci kepribadian dan watak manusia berada pada otaknya (hal. 41.)


Psikologi Positif lahir dari kegalauan Martin E. P. Seligman ketika menjadi presiden American Psychological Association (APA) pada 1998. Dia secara komprehensif menuliskan landasan teori dan praktik cabang psikologi ini dalam bukunya yang sangat berpengaruh dan terkemuka, Authentic Happiness. Beberapa koleganya merasakan kecenderungan serupa, dan akhirnya saling mendukung dan mengisi gagasan tersebut hingga menjadi disiplin yang padu. Psikologi ini lebih berusaha menekankan pada kesehatan mental. Aliran ini merupakan generasi baru Psikologi Humanistik yang berhasil membangun dukungan bukti empirik, menyediakan landasan sainstifik kuat bagi studi tentang kebahagiaan manusia dan fungsi optimal manusia, menambah sisi positif dari psikologi yang terlalu dikuasai sisi negatif manusia.


Sesuai hasil penelitian neurosains, Arvan berpendapat bahwa kunci bahagia manusia itu ada dalam pikirannya. "Kekuatan terbesar manusia ada dalam memilih pikiran," ungkapnya. Dengan pikiran, orang bisa memilih keputusan apa pun untuk hidupnya. Arvan merancang buku ini secara komprehensif agar pembaca bisa cukup terlatih untuk memulai mengambil keputusan demi kebahagiaan hidupnya. Pendekatan penulisannya juga termasuk menarik. Sambil berargumen mengungkapkan bagaimana prinsip-prinsip kebahagiaan bisa berlangsung dalam kehidupan manusia, dia menjabarkan pemikiran dengan bahasa mudah dipahami, ditambah petikan kisah (kebanyakan kisah nyata), dan sejumlah praktik tes psikologi. Lay out buku ini, baik dari pilihan font, desain, dan ilustrasi membuat kenyamanan membaca jadi makin maksimal.


Salah satu prasangka umum terhadap bahagia yang dipatahkan Arvan ialah anggapan bahwa orang bisa bahagia meskipun ia tak punya apa-apa, seakan-akan bahagia tidak butuh materi apa pun. "Anggapan ini terdengar bagus, tapi sangat tidak realistis," tulis Arvan. Bagaimana mungkin kita bisa bahagia tanpa memiliki apa pun padahal kita ini masih merupakan makhluk fisik juga? (hal. 32), demikian ungkap Arvan retorik. Dia menyatakan, meski ada faktor yang dapat mempengaruhi kebahagiaan, penentunya tetap pikiran. Secara faktual, orang sehat dengan pikiran damai akan lebih bahagian daripada orang sakit dengan pikiran damai. "Pikiran itu mirip kebun, bila dipupuk dengan baik, hasilnya tentu kebaikan."


Untuk memupuk dan melatih pikiran agar terbiasa melahirkan kebahagiaan, Arvan mengajukan tujuh syarat. Tiga syarat pertama ialah Intrapersonal Relation, merupakan syarat bahagia untuk diri sendiri, terdiri dari sabar, syukur, dan sederhana (kemampuan menangkap esensi). Tiga syarat kedua ialah Interpersonal Relation, merupakan kebahagiaan terkait dengan orang lain, terdiri dari kasih, memberi, dan memaafkan. Puncaknya ialah Spiritual Relation, berupa kemampuan berserah diri dan percaya seratus persen kepada Tuhan (pasrah.) Arvan memberi contoh dan inspirasi nyata betapa meraih kebahagiaan puncak itu tidaklah hadir sekonyong-konyong, tetapi dengan disiplin, perjuangan, dan pelatihan berat.


SELINTAS The 7 Laws of Happiness tampak sama dengan tipikal buku self-help dan motivasi (pengembangan diri) yang kerap dituduh menyederhanakan masalah serius dengan pendekatan instan, sejenis cara jawaban gampang bagi masalah kehidupan yang terlalu sukar. Pengkritik self-help mengindikasikan bahwa buku seperti itu sejenis pseudosains yang cenderung malah menyesatkan alih-alih memberi jawaban manjur. Mereka terutama kerap menyerang klaim dan buku karya orang yang bergerak di bidang ini.


Arvan Pradiansyah membangun argumen dari sumber nan luas, terutama dari literatur Psikologi Positif, studi perilaku terbaru, neurosains, ditambah dari tradisi agama-agama dan ajaran moral, dan ilmu sosial. Bukunya menawarkan universalitas yang kaya. Audifax Prasetya, peneliti psikologi asal Surabaya telah menguji kadar keilmuan The 7 Laws of Happiness. "Gagasan Arvan memiliki fondasi kuat untuk tumbuh dan berkembang menjadi sebuah pemikiran yang brilian. Saya melihat pemikiran Arvan bisa dikembangkan lebih jauh ke hal-hal yang aplikatif dan berguna bagi banyak orang. Buku ini mengajak orang untuk melihat secara mendalam melalui sebuah kajian teoretis yang dibangun secara serius."


Boleh jadi karena itu, pendengar tertentu yang mengenal maupun terpengaruh oleh Arvan sebagai pembicara publik, fasilitator, dan trainer, mantan dosen FISIP UI ini bukanlah tipe motivator yang gegap gempita dan bombastik dalam menyampaikan pendapatnya. Bersama lembaga pelatihan dan konsultasi sumber daya manusia yang sekarang dia pimpin, Institute for Leadership & Life Management (ILM), dia lebih banyak mengeluarkan issue kemanusiaan---misalnya kejujuran, persahabatan, dan memaafkan. Pada sejumlah pertemuan, dia menekankan rendah hati, menemukan misi hidup bagi diri sendiri, bersikap empatik dan positif, alih-alih semata-mata sukses finansial, kesejahteraan luar biasa, maupun puncak karir. Tanpa kebahagiaan dan kepuasan hakiki, semua itu akan sia-sia.


Tiga buku karya Arvan sebelumnya secara kontinu meneruskan pencarian manusia terhadap kebahagiaan, seiring dinamika pengalaman hidupnya. The 7 Laws of Happiness merupakan puncak pemikirannya; dia mengambil sari-sari berbagai pemikiran dan menggunakannya untuk mengungkap sebuah konsep komprehensif mengenai model kebahagiaan.[]


ANWAR HOLID, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Bekerja sebagai editor & penulis freelance.


Jalan Kapten Abdul hamid, Panorama II No. 26 B Bandung 40141
Tel.: (022) 2037348 HP: 08156140621
E-mail: wartax@yahoo.com




Mimpi dan Harapan dalam Maryamah Karpov
--Anwar Holid


Maryamah Karpov
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang, 2009
Halaman: 504 hal.
ISBN: 978-979-1227-45-2


Mimpi dan harapan hanya berbeda sedikit saja. Bahkan pada satu titik, keduanya bertemu. Salah satu arti mimpi ialah sesuatu yang diharapkan, diidam-idamkan, atau begitu ambisius dinginkan oleh seseorang, biasanya sesuatu yang sulit dicapai atau dilepaskan dari keadaan sekarang. Ada satu peribahasa Filipina mengenai harapan, bunyinya seperti ini: keberanian merupakan buah dari harapan.


Bahkan sebagian orang beranggapan bahwa hanya orang beranilah yang biasanya bisa mewujudkan harapan. Atau kalaupun dia gagal mendapatkan mimpi dan harapan itu, dia telah mencoba dengan gagah, ksatria, habis-habisan. Bila demikian, orang-orang pun tetap respek pada dirinya. Mereka berhenti melihat kegagalan orang bersangkutan, malah menoleh pada keberanian dan keteguhan dirinya. Itulah buah harapan, buah dari keyakinan orang dalam mewujudkan mimpi-mimpinya.


Maryamah Karpov (Bentang, 504 hal.), pamungkas tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, memiliki subjudul "Mimpi-mimpi Lintang." Sejumlah pembaca Maryamah Karpov, terutama yang begitu fanatik pada tiga novel sebelumnya, menilai subjudul tersebut sebenarnya lebih pantas menjadi judul utama dan justru dengan sangat tepat mewakili semangat novel bungsu itu. Sebab dengan mimpi dan harapan itulah Ikal beserta sejumlah tokoh lain dalam novel ini mengarungi kehidupan, mempertaruhkan keyakinan, berusaha mewujudkannya, satu demi satu. Wajar bila ada seseorang berkomentar, "Semangat, keberanian bermimpi dan mewujudkan mimpi paling gila sekalipun merupakan inti novel ini."


Memang ada banyak harapan dan mimpi dalam Maryamah Karpov. Harapan paling hebat yang muncul di awal-awal novel ini ialah harapan Ketua Karmun untuk memajukan masyarakat dan kampungnya. Caranya sederhana saja: dengan menerima seorang dokter gigi berpraktik di sana. Namun ternyata harapan itu tak semudah dugaannya. Masyarakat, terutama karena masih terhalang oleh berbagai anggapan sempit, menolak usaha itu. Bahkan Ikal, yang nota bene sangat terdidik, karena trauma dan alasan tertentu, sulit memberi contoh betapa penting perubahan itu bagi kampungnya di masa depan. Ketua Karmun membujuk dengan berbagai cara untuk mewujudkan harapannya, tapi berkali-kali dia gagal.


Harapan--yang juga merupakan tema utama Laskar Pelangi--dulu pernah diucapkan Andrea Hirata dalam wawancara dengan harian Pikiran Rakyat, sektiar 3 tahun lalu. Dia bilang, "Agar orang jangan mudah berputus asa. Belajarlah dengan betul. Itu sebenarnya pesan utama saya. Klasik sebenarnya, tapi dengan bercontoh dari Laskar Pelangi, kesulitan apa pun terutama dalam masalah pendidikan, bisa diatasi. Buktinya, anggota Laskar Pelangi bisa survive. Pokoknya don't give up."


Maka di ujung tetralogi ini, Andrea melanjutkan berbagai harapan; harapan Ikal bertemu A Ling, harapan Ketua Karmun meningkatkan taraf kesehatan masyarakat, harapan Kalimut mengubah nasib dengan mau berisiko menyeberangi lautan menuju Singapura. Harapan dan drama yang dibawa dalam petualangan bersama Mimpi-mimpi Lintang.


***


Harapan menghidupkan energi orang-orang, membuat mereka terus aktif, mencari banyak alternatif, pantang menyerah, mengalahkan berbagai energi negatif yang mencoba meruntuhkan moral. Meski mereka juga gelap atas apa yang bakal terjadi di masa depan, mereka enggan mundur, malah terus mencari peluang. Barangkali, dalam kasus ini, optimisme Ketua Karmun sungguh pantas di kedepankan. Dengan berbagai cara dia gagal membujuk Tancap bin Seliman agar beribat ke dokter gigi Budi Ardiaz, namun senantiasa gagal. Namun, di puncak kegagalan upaya yang juga persis di puncak rasa sakit gigi Tancap, Ketua Karmun akhirnya malah menunjukkan belas kasihan demi menolong rakyatnya yang kesakitan.


Mimpi dan harapan itulah yang menjaga sejumlah tokoh dalam Maryamah Karpov berhasil mengatasi kesulitan. Meski bagi Ikal sendiri kisah itu berakhir pilu, toh dia sebelumnya sempat mengalami masa-masa madu. Mungkin inilah kekuatan sebuah novel yang ditingkahi dengan kejadian-kejadian hiperbolik, ironik, dan humor. Pembaca dibuai oleh mimpi-mimpi yang awalnya menghanyutkan, lantas diseret oleh peristiwa dramatik, musykil, namun ujungnya ternyata menghempaskan harapan pembaca itu sendiri. Barangkali, itulah kekhasan sebuah novel yang disebut-sebut sejumlah orang istimewa berkat "cara berceritanya luar biasa."


Mimpi seperti apa yang malah membuat pemimpinya bersemangat dan bisa terus berharap? Itulah mimpi yang membuat pelakunya hidup. Kata sebuah pepatah, "jika ingin mimpimu jadi kenyataan, jangan sampai kamu tidur." Kenapa? Karena dengan begitu orang tersebut akan berusaha dan mencari cara agar mimpinya terwujud, sebab untuk mewujudkan itu perlu dorongan, strategi, energi, dan konsistensi. Ada keyakinan bahwa bila mimpi dilekatkan erat-erat di depan kepala, dipasang persis di depan mata, mimpi itu bakal terwujud.


Maryamah Karpov memperlihatkan bagaimana para karakter di dalamnya mewujudkan impian. Mimpi paling ambisius dalam novel itu tentu mimpi Ikal, protagonis novel ini, yang memanfaatkan peluang atau tanda-tanda sekecil apa pun demi menemukan pujaan hatinya. Dia melakukan apa pun dan mengorbankan segala-galanya demi mempertaruhkan keyakinannya. Ikal bahkan boleh dibilang secara hiperbolik melakukan hal-hal di luar nalar orang normal terpelajar, ketika dia bahkan rela meloakkan jam tangan, tape recorder, kalkulator, koleksi uang kuno dan prangko, jas almamater, baju, celana, sepatu, termasuk plakat penghargaan akademik demi membiayai pembuatan perahu yang dia wujudkan dengan bantuan kawan-kawan Laskar Pelangi.


Mimpi membuai, harapan menghidupkannya. Kita kerap rela membaca dan memperhatikan mimpi yang mempesona, yang memberi kelegaan setelah mendapatkannya. Buktinya ada banyak kisah--baik buku dan film--yang awalnya bermula dari mimpi, atau gabungan antara dunia mimpi dan nyata. Tapi jelas ada beda antara mimpi melenakan yang kerap berserakan jatuh sekadar jadi bunga-bunga kehidupan dengan mimpi yang begitu kuat, menggetarkan, nyata, sampai ia harus berusaha diwujudkan, apa pun bayarannya. Ia pantas menjadi kenyataan. Itulah mimpi yang berharga dan bermanfaat.[]


ANWAR HOLID, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Bekerja sebagai editor & penulis freelance.


KONTAK: wartax@yahoo.com (022) 2037348 Panorama II No. 26 B, Bandung 40141


Copyright © 2009 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid


Informasi lebih banyak di:
http://www.klub-sastra-bentang.blogspot.com
http://www.mizan.com

Tuesday, February 03, 2009






Guru Bahagia: Seperti Umar Bakrie atau Bu Muslimah?
--Oleh Anwar Holid

Pikiran yang bahagia berperan penting dalam karir sebagai guru & pendidik yang berkualitas. Poin-poin pada The 7 Laws of Happiness menguatkan asumsi itu.
BANDUNG - Lebih dari 600 orang guru dan kalangan umum lain menghadiri acara pra-workshop The 7 Laws of Happiness untuk para guru, orangtua dan mahasiswa yang diselenggarakan Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) Salman ITB, pada Minggu, 1 Februari 2009. Seketika GSG Salman yang luas itu terasa penuh sesak, bahkan banyak di antara peserta harus berdiri atau bersandar selama acara berlangsung karena kehabisan kursi. Rombongan peserta juga datang dari Ciamis, Subang, Karawang, dan kota-kota tetangga Bandung lain. Talkshow bertema Menjadi Guru yang Bahagia itu berhasil menahan semua peserta sampai akhir; setelah itu Arvan Pradiansyah--sang pembicara dan penulis--harus rela menandatangani antrean puluhan buku The 7 Laws of Happiness yang dibeli peserta hari itu.



Fokus membicarakan seperti apa dan bagaimana menjadi guru yang bahagia, Arvan memanfaatkan dan memaparkan sejumlah poin The 7 Laws of Happiness (Kaifa, 423 h.), buku ke empatnya yang kini telah cetak ulang ke tiga. "Orang baru disebut hebat dan berkualitas setelah mampu mengatasi masalah. Begitu juga guru. Jika mendapat murid yang bermasalah, berarti Tuhan ingin meningkatkan kualitas Anda sekalian," demikian katanya. Arvan sendiri pernah menjadi pengajar selama 13 tahun di almamaternya, FISIP Universitas Indonesia, sebelum kini berkarir di bidang pelatihan dan konsultasi SDM.

"Saya kira, contoh guru yang bahagia itu seperti tokoh bu Muslimah di film Laskar Pelangi," tambahnya. Film itu memotret sosok seorang guru yang tetap optimistik dan terus memberi semangat kepada murid-muridnya, lepas berbagai kekurangan jelas-jelas bisa mengancam kualitas dan prestasi mereka. Dia menghadapi muridnya sesuai karakter, sekaligus mampu menjaga kebersamaan. Arvan menyatakan juga memiliki guru yang termasuk sempurna dalam mendidik murid-muridnya, yaitu ketika dia ikut sekolah agama di sore hari, namanya Abdul Manaf Lubis. "Ketika mengenang beliau, saya menangis terharu, karena ilmu-ilmu yang dia berikan membekas pada saya hingga hari ini."

Guru bahagia juga merupakan guru yang paling dikenang para murid-muridnya. Merekalah guru dengan energi positif melimpah ruah, terasa sampai kapan dan di manapun anak didik mereka berada. Seperti orang bahagia lainnya, guru bahagia punya energi banyak untuk dibagi-bagikan kepada orang lain yang membutuhkan. "Keteladanan merupakan salah satu hal paling penting bagi guru," tegas Arvan, tanpa mengabaikan bahwa semua guru memiliki problem masing-masing, mulai di dalam kelas, di tempat kerja, berinteraksi dengan kolega, atasan, bahkan di rumah tangga dan kehidupan pribadi. "Bagaimana dengan guru seperti Umar Bakrie?" tanya peserta. "Saya kira yang patut dicontoh dari Umar Bakrie ialah keteladanan dan kegigihannya mengajar," jawab Arvan.

Dalam uraian yang diselang-selingi oleh tanya jawab, presentasi, juga kisah dan ungkapan segar, Arvan menengarai ada tiga jenis guru, yaitu:

  • guru yang badannya ada di kelas, tapi pikirannya melanglang ke tempat lain
  • guru yang badan dan pikirannya di kelas
  • guru yang ikhlas, yakni guru dengan badan, pikiran, dan jiwa memberikan pengabdian terbaik bagi murid dan pendidikan.
Untuk menjadi guru yang ikhlas memang butuh pelatihan, sebab kualitas ini harus lahir sebagai cita-cita ideal, yakni berupa proses menjadi guru yang baik. Pelatihan itu bisa berupa persoalan nyata yang dihadapi sehari-hari, misalnya menghadapi murid-murid bandel. "Guru yang hebat tetap mencintai murid-murid bandel, terus berusaha membuat murid menjadi lebih baik," sokong dia memotivasi hadirin. Di tengah banyaknya kasus pelecehan terhadap profesi guru atau pendidik yang mempermalukan mereka sendiri, guru bukan hanya dituntut pintar, melainkan juga tabah, cerdas, kreatif, dan kaya dengan berbagai wawasan, misalnya kecerdasan emosional dan cara mengajar yang menarik.
LPP Salman ITB berencana meneruskan acara ini dengan workshop sesungguhnya bersama Arvan Pradiansyah. Pada Senin, 9 Februari 2009, Arvan dijadwalkan mengisi kuliah terbuka di kampus FISIP Universitas Indonesia. Lantas pada 1 Maret Kaifa berencana mengadakan workshop The 7 Laws of Happiness for Happy Family di Islamic Book Fair, Jakarta, setelah itu diteruskan di Surabaya.[]
Copyright © 2009 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid
Situs terkait:

Monday, February 02, 2009





Hudan Hidayat: Sapardi adalah Pembunuh Terbesar Sastra Indonesia
--Oleh Anwar Holid
Diskusi Sastra Internet dan Masa Depan Sastra pada 31 Januari 2009 saat ulang tahun apresiasi-sastra@yahoogroups.com memunculkan pernyataan kontroversial dan gugatan terhadap media cetak.
JAKARTA - Acara ultah grup milis apresiasi-sastra@yahoogroups.com di PDS HB Jassin berlangsung meriah, akrab, banyak kejutan, menyenangkan, dan berbobot. Acara bertema "Sastra Milik Siapa?" itu berlangsung singkat-singkat, tapi berkesan. Yang paling mengesankan--dan berlangsung paling lama--boleh jadi diskusi Sastra Internet dan Masa Depan Sastra, bersama para pembicara yang telah lama bergelut dengan media tersebut, ialah Enda Nasution, Saut Situmorang, Nuruddin Asyhadie, ditambah Hudan Hidayat, dimoderatori Agus Noor.

Diskusi puncak itu penuh dengan gugatan, terutama dari Hudan dan Saut. Enda memberi siasat bagaimana agar sastra di Internet bisa memanfaatkan kekuatan yang mereka miliki dan justru tak terdapat pada media cetak, salah satunya ialah immediacy (kekinian), yang bersifat langsung, tanpa jeda dan ada link yang memungkinkan setiap hal bertaut. Celetukan Agus Noor menarik dan sering bikin ketawa, membuat diskusi hidup dan setia pada jalur. Sementara uraian Nuruddin Asyhadie terlalu serius untuk forum yang sudah cair oleh acara sebelumnya; dia menerangkan signifikansi sastra di media Internet, meskipun sampai sekarang tampaknya makin mirip dengan sastra cetak. Uraiannya mirip dengan tulisan Eka Kurniawan beberapa bulan lalu, mengusung jargon "code is poetry."

Ajakan Saut Situmorang untuk melawan sastra koran dan menguatkan sastra Internet memang bersemangat dan berapi-api. Dia bilang, kalau mau menguatkan sastra Internet, penulis (sastrawan) harus berani meninggalkan sastra koran, jangan menulis atau langganan harian. Dia menyatakan sastra Internet sampai sekarang masih belum diakui keberadaannya oleh sejumlah kalangan, terutama kritikus dan para redaksi sastra koran--apalagi 4-5 tahun lalu. Sebagian kritik menilai, sastra Internet ialah tong sampah. Ironik, sekarang para pengkritik itu beberapa di antaranya malah menfaatkan blog dan semacamnya, terutama situs jaringan sosial seperti milis dan Facebook.

Gugatan Hudan Hidayat serius dan bikin telinga pendengar panas. Berkali-kali dia bilang, "Sapardi adalah pembunuh terbesar sastra Indonesia. Termasuk di antaranya Agus R. Sardjono dan Putu Wijaya." Hudan dan Saut secara terbuka menyatakan kecaman terhadap Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto, juga Dewan Kesenian Jakarta. Pernyataan keras seperti ini memang butuh klarifikasi atau forum lebih khusus lagi. Bila aku perhatikan dari Internet, pertentangan mereka berlangsung terbuka, terutama terkait persoalan politik sastra. Penyair senior Suparwan G. Parikesit meminta Hudan menjelaskan pernyataannya yang kontrovesial.

Mungkin perlu ada acara semacam "Pengadilan Sastra" untuk polemik yang justru berpotensi kontraproduktif (buruk) terhadap perkembangan sastra Indonesia secara keseluruhan. Tapi di sisi lain, publik sastra butuh orang berani, revolusioner, dan kuat seperti Saut. Aku dengar dia dijuluki "the lone wolf" sastra Indonesia atas sikap dan pendiriannya. Dalam beberapa hal, antara lain keberanian, kehadiran Saut memang bikin rusuh, menggemparkan. Hudan menyemangati peserta agar lebih tangguh berkarya, lebih kuat, biar mampu merebut masa depan sastra Indonesia. Dia menilai bahwa koran masih penting (terutama karena ada faktor kekuatan finansial di sana), tapi jelas memperlihatkan pemihakan kepada sastra Internet. Memang banyak yang mendukung sastra Internet, tapi ranah ini juga masih memiliki persoalan genting, misalnya tentang mutu/isi yang juga harus diperhatikan dan diperbaiki, juga ada kesan bahwa Internet malah menghadirkan fenomena kesekilasan yang melunturkan kedalaman dan perenungan.


Media massa cetak jelas masih memiliki keunggulan, namun sastra Internet juga punya faktor menentukan, misalnya interaktivitas, yang justru mampu melibatkan publik secara lebih intens. Apa persoalan terbesar sastra Internet ialah bahwa media ini masih gagal memenuhi kebutuhan finansial para sastrawan dan pegiatnya? Acara seperti ini melontarkan lagi pikiranku pada diskusi tradisi sastra Indonesia di Jawa Barat. Namun fakta menunjukkan bahwa media kini bukan merupakan persoalan. Makin banyak penulis mampu menulis baik di Internet dan media cetak. Persoalan kini lebih pada ekspresi, aktualitas, dan kedekatan pada media.

Beranggotakan beberapa ribu orang, milis apresiasi-sastra@yahoogroups.com--dikenal dengan sebutan "apsas"--termasuk komunitas sastra Indonesia terbesar di Internet. Milis ini dimoderatori delapan orang, yang rata-rata tinggal di luar negeri. Salah satu moderatornya ialah Sigit Susanto, penulis dua jilid buku Menyusuri Lorng-Lorong Dunia, yang tinggal di Swiss. Sejumlah anggota milis ini telah menerbitkan buku, baik sendiri maupun bersama.[]

Anwar Holid, bekerja sebagai editor, penulis, & publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com/.

KONTAK: wartax@yahoo.com (022) 2037348 Panorama II No. 26 B, Bandung 40141

Copyright © 2009, oleh Anwar Holid





[Maryamah Karpov]
Hok Lo Pan dan Lanun Lekat dalam Ingatan
--Oleh Anwar Holid

Maryamah Karpov merupakan novel terakhir yang saya baca di pengujung 2008 dan sensasinya masih terasa ketika memasuki awal 2009. Salah satu hal paling mengesankan ialah saya mendapat kosakata baru: hok lo pan dan lanun.

Apa hok lo pan itu? Itu ialah kosakata lokal yang hanya akrab di telinga penduduk kepulauan Bangka-Belitung (Babel). Begitu mendapati kata itu, saya langsung cari ke rujukan, antara lain Kamus Alan-Schmidgall, Tesaurus Eko Endarmoko, dan KBBI, hasilnya nihil. Saya bertahan untuk berusaha memahami kata eksotik itu dari dalam novel cantik itu sendiri. Tapi ternyata saya masih sulit membayangkan seperti apa kue yang bisa bikin perut orang keroncongan dari uap asapnya saja. Akhirnya saya menyerah dan minta saran Google. Hasilnya? Silakan cek sendiri. Kalau saya kasih tahu, Anda akan berhenti baca esai ini. Bila Anda bertemu dengan orang Babel, mereka bisa cerita lebih menarik dan detail apa itu hok lo pan, serta apa bedanya dengan kue yang begitu biasa dan akrab kita makan.

Bagaimana sang penulis bisa bertahan untuk mencomot kosakata setempat alih-alih menggunakan kata yang jauh lebih populer? Boleh jadi itu akal Andrea Hirata untuk menyarankan agar kosakata itu nanti dimasukkan ke kamus-kamus terkemuka bahasa Indonesia. Dia memetik kekayaan latar belakang budayanya menjadi elemen yang menghidupkan cerita. Dia mengisahkan betapa hok lo pan bikinan Lao Mi rasanya "bisa membuat lupa akan mertua" dan orang sekampung selalu berkerumun di sekitar lapaknya, yang hanya buka sebentar karena persediaannya terlalu cepat habis dan orang-orang miskin rela menabung dulu agar bisa beli.

Lanun juga dimanfaatkan Andrea secara maksimal. Kata ini terdaftar pada KBBI, namun menurut Kamus Alan-Schmidgall, merupakan serapan dari Filipina, yaitu bajak laut dari Filipina selatan, biasanya merajalela pada Juli dan Agustus, mereka bisa berlayar hingga jauh ke arah selatan di kabupaten Berau dan pulau-pulaunya di Kalimantan Timur. Sementara "Berau" sendiri tampak sangat dengan kata "berae"---dagang kelontong keliling ala Belitong.

Hok lo pan, lanun, berae merupakan tiga hal yang sulit dibandingkan dengan hal lain, membuat Maryamah Karpov memiliki sesuatu yang mudah melekat dalam hati pembaca. Agus Ekomadyo mengekspresikan pendapatnya setelah tamat baca novel itu: "Sepertinya Andrea tengah bergumam tentang realita hidup: perjuangan, cita-cita, pengembaraan, tragedi, ironi." Tepat. Memang harus lebih sabar untuk mendapat kesan menentukan seperti itu, sebab inti cerita baru beranjak mengental bila kita sudah melampaui halaman 200 ke atas. Di halaman awal, mungkin banyak pembaca mengira-ngira, apa yang sebenarnya subjek utama novel ini bila ada begitu banyak mozaik tentang kehidupan masyarakat Melayu di pulau Belitong?

Perjuangan memang jadi warna utama novel ini. Ada sejumlah tokoh yang jelas berjuang di sini. Ayah Ikal berjuang mengatasi rasa kecewa meski pengabdiannya diabaikan perusahaan, dan tetap berusaha menjadi ayah yang tegar; dokter gigi Budi Ardiaz berjuang mendapat kepercayaan masyarakat; Arai berjuang mendapatkan istri, Mahar berjuang mempertahankan kewibawaan ilmunya, dan Ikal berjuang dengan masa depan dan berusaha menyelamatkan tambahan hatinya.

Selesai studi di Prancis, Ikal ternyata memilih pulang kampung dulu daripada langsung meniti karir. Kepulangan itu ternyata tak semulus dugaannya. Setelah masa kangen-kangenan berakhir, segera dia harus menghadapi tatapan menuntut ibunya, agar dirinya cepat-cepat menikah atau bekerja. Tapi ternyata dalam kedua hal itu dia bernasib malang. Di kampung itu dia kesulitan mendapat kerja, masih terlalu ingin melepaskan rindu pada suasana kampung, sementara pujaan hatinya, A Ling, entah ke mana. Dia sudah mencari ke segala tempat yang mungkin, tapi gadis itu tetap hilang. Yang dia lakukan akhirnya menikmati keadaan, memperhatikan budaya yang membentuk diri dan masyarakatnya, terlibat dengan seluruh kehidupan. Awalnya tampak ada isyarat bahwa Ikal akan menjadi sarjana pulang kampung, mengabdi pada masyarakat dengan bekal seluruh pengetahuan yang dia bawa dari rantau. Tapi setelah ada satu peristiwa, Ikal lebih menuruti kata hatinya, yakni mengambil risiko untuk menyelamatkan gadis pujaannya.

Mulailah sebuah petualangan fantastik terjadi. Laskar Pelangi reuni sesudah lama masing-masing eksponennya tercerai berai ke sejumlah tempat karena memburu nasib masing-masing untuk membantu Ikal, tergulung ke dalam pengembaraan yang menghidupkan lagi hikayat, mitos, dan kebanggaan sebagai keturunan pelaut dan pejuang Melayu yang dahulu bertempur melawan armada kolonial. Demi mewujudkan persiapan ke laut berbahaya, dia tersiksa kerja serabutan, termasuk jadi pedagang kelontong keliling dan buruh tambang. Dia bahkan sampai lupa sakit giginya yang kambuh.

Upaya Andrea Hirata menghidupkan lagi hikayat kelautan di kepulauan selat Karimata dan bersambung ke laut Cina Selatan ini termasuk menarik, meskipun mudah mengingatkan pembaca kepada para perompak di laut Karibia, terutama berkat trilogi film The Pirates of Caribbean. Sebelum mempertaruhkan keberanian untuk mengalahkan ganasnya musim pasang, dia mengawali dengan keprihatinan bahwa tradisi dan keahlian menjelajah laut makin sirna di kalangan orang Melayu. Kini sisanya ialah cerita-cerita menyeramkan perihal dongeng pelaut sebagai ancaman bagi bocah bandel agar patuh pada orangtua. Laut lepas di kepulauan itu merupakan milik mereka yang ada di luar jangkauan hukum, gerombolan penyamun dan dukun, menjadi jalur tenaga kerja Indonesia ilegal yang akan menyeberang ke Singapura dan Malaysia, termasuk barang-barang selundupan.


Atas bantuan Mahar, dalam petualangan di laut dan antarpulau itu Ikal menghadapi kesulitan dan tantangan dengan menggunakan dunia sihir. Ini siasat dalam menghadapi kondisi yang sebetulnya hanya dengan nekad dia kuasai. Pengorbanan menemukan kekasih ini rupanya awal dari tragedi dan ironi yang tak dia sadari sejak awal. Tapi, kalau toh ending novel ini terlalu sedih bagi banyak orang, minimal Ikal memperlihatkan memenangkan hatinya sendiri, yaitu melakukan pengorbanan terhadap sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Memang pengorbanan dirinya sejak awal terasa tidak sesuai dengan imbalan yang dia dapat. Namun begitu, tetap ada humor, guncangan, dan absurditas yang menggoda--bahkan sampai halaman akhir. Ini membuat sejumlah pembaca bimbang; apakah jilid terakhir Laskar Pelangi ini tetap bagus sekaligus inspirasional atau lebih merupakan kisah romansa.

Keunggulan novel ini terutama ada pada kemampuan menghidupkan lagi hikayat (dongeng) dan kisah keterlibatan seseorang secara utuh baik dengan diri sendiri, dinamika masyarakat, keyakinan, bahkan menghadapi hal-hal yang tampak absurd. Meski agak berlebihan dan terkesan dipaksa, Ikal dengan cara sendiri membuktikan bahwa dirinya bisa bermanfaat. Bukankah setiap manusia ingin mendapat peran maksimal dalam kehidupan yang dia jalani? Ikal telah melakukan itu dengan baik sekaligus memperlihatkan ketabahan dalam menghadapi masa-masa sulit.[]

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

KONTAK: wartax@yahoo.com (022) 2037348 Panorama II No. 26 B, Bandung 40141
Situs terkait: