Friday, June 24, 2011

Relationship
RINGKASAN SMART HAPPINESS, JUMAT, 24 JUNI 2011

Ketika berkomunikasi, kita melakukan dua hal, yaitu:
  • ada pesan (message), bersifat eksplisit, bisa dianalisis
  • ada relationship, bersifat implisit, memperlihatkan apa hubungan kita dengan pihak yang diajak berkomunikasi itu baik atau buruk.

Hubungan yang indah terjadi berkat adanya kepercayaan, bukan kepentingan. Kebahagiaan bergantung pada adanya hubungan, karena kita adalah makhluk sosial. Kondisi dan situasi seseorang membuat hubungan jadi dinamik. Jadi tergantung apa secara rutin disirami atau tidak, terutama dengan "tabungan emosi", dipupuk dengan hal-hal kecil, perhatian, dan terus menerus disegarkan. Hubungan yang baik baru teruji kalau sedang ada masalah. Bila hubungan baik karena tidak ada atau belum ada masalah, hubungan itu rapuh, sebab belum membuktikan bahwa kedua pihak saling memahami. Karena itu adanya konflik atau konfrontasi dalam hubungan justru bagus, asal pemahaman kedua belah pihak terhadap orang tersebut lebih baik. Sebaliknya, kalau ada masalah, selesaikanlah relasi maupun hubungannya dengan orang bersangkutan. Selain memperlihatkan kualitas hubungan, sumber masalah merupakan sumber jawaban itu sendiri.

Jangan hanya berhubungan ketika ada masalah, karena itu bisa membuat orang lain jadi merasa dimanfaatkan, bukan bermanfaat. Hanya berhubungan ketika ada masalah, apalagi dalam hubungan yang tidak dipupuk, akan membuat kondisi itu jadi MINTA TOLONG. Karena itu, untuk memupuk hubungan, gunakan media yang ada, baik dengan telepon, sosial media, aplikasi komunikasi, sapaan, bahkan kejutan-kejutan kecil. Jangan ada agenda ketika sedang berkomunikasi, tidak berdasar kepentingan tertentu. Bukalah relasi dengan orang lain, karena kita bisa mendapat pengalaman hidup maupun pengalaman kerja dari orang bersangkutan, dan itu akan membuka berbagai kemungkinan, termasuk memperpanjang rezeki dan umur.

Orang yang memiliki hubungan baik besar kemungkinan akan lebih bersemangat, terlibat (engage), memiliki passion---baik dalam kehidupan personal maupun di tempat kerja.[]wartax, 24 juni 2011
Waduh, Aku Seorang Pendendam!
---Anwar Holid

Tadi pagi aku menjawab survei sewaktu ikut workshop untuk mengukur indeks kemampuan memaafkan. Hasilnya? Wah, ternyata aku ini seorang pendendam! Ini susah aku percayai sendiri bila mengingat keyakinan yang selama ini aku pegang bahwa aku orang yang gampang memaafkan atau iktikad kebaikan yang aku tanamkan dalam menjalani kehidupan.

Survei itu sederhana saja. Pertama-tama, tetapkan orang yang pernah paling menyakiti diri kita. Bagaimana perasaan Anda terhadap orang itu sekarang? Meski pengalaman pahit itu telah berlalu bertahun-tahun lalu, ketika Anda mengingatnya sekarang, di luar dugaan hasilnya bisa mengejutkan. Mungkin Anda merasa telah memaafkan atau berusaha berdamai, tapi ternyata sakit hati sukar disembuhkan, membuat memaafkan itu harganya mahal.

Aku mendapat skor 22 untuk hal-hal yang mengungkapkan penghindaran, misalnya:
* sepakat berusaha menjaga jarak dari orang yang pernah menyakiti sejauh mungkin
* menolak menganggap bahwa orang tersebut tidak ada
* sepakat bahwa aku tidak percaya kepadanya
* menolak bila menilai bahwa aku sulit bersikap hangat kepadanya
* bersikap netral untuk menghindari dia
* bersikap netral bila memutuskan hubungan dengan dia
* sepakat menarik diri darinya.

GAWAT, GAWAT! Batinku waktu membaca petunjuk penilaian itu. Skor 22 hanya berselisih 0,8 poin dari nilai tertinggi kelompok yang menghindari orang yang pernah menyakiti diri kita. Kelompok ini HARUS berlatih memaafkan. Skor rata-rata orang Amerika Serikat dewasa menurut survei ini adalah 12,6.

Tentu saja aku berusaha MENYANGKAL. Iya dong! Bagaimana mungkin aku berpotensi jadi seorang pendendam bila dari dulu yakin bahwa waktu pasti menyembuhkan (time does heal). Ketika mengingat orang-orang yang aku nilai pernah bermasalah cukup serius dengan aku, aku selalu bilang dan yakin bahwa kami sekarang sudah baikan. Hubungan kami sekarang baik. Apa indikasinya? Aku bisa berkomunikasi dengan normal kepadanya, bisa bercanda, bahkan dari sisi bisnis, misalnya, kami menjalin kerja sama, dan kerja sama itu sampai ada repeat order. Mungkinkah ada dendam dari orang yang melakukan repeat order?

Sementara itu untuk pernyataan yang mengungkapkan pembalasan, aku mendapat skor 11, masuk dalam kelompok sepertiga orang yang paling pendendam. Kembali, aku HARUS berlatih memaafkan. Skor tertinggi kelompok orang pendendam ialah 13,2; padahal nilai kelompok rata-ratanya ialah 7,7---asumsinya ialah orang-orang yang paling memaafkan. Inilah lima poin yang mengungkapkan pembalasan:
* aku bersikap netral bila suatu saat berniat membuatnya dihukum karena perbuatan yang membuat aku sakit
* aku sangat menolak bila dia ditimpa sesuatu yang buruk --> seolah-olah memperlihatkan betapa baik diriku!
* aku menolak bila orang itu mendapat balasan yang setimpal
* aku sangat menolak bila akan membalas perbuatannya
* menolak bahwa aku ingin melihatnya terluka dan merasakan sakit.

Tampaknya dari poin-poin itu aku cukup murah hati dan baik. Tapi kalau dilihat dari cara penilaian, hasilnya rada mengejutkan dan tampak ada sesuatu yang salah, entah dari metode survei atau di dalam diriku. Survei itu langsung mengingatkan aku pada kemarahan terakhir, yang menunjukkan bahwa aku masih reaktif dan kurang bisa menunda atau menahan respons.

Nah, apa aku percaya survei? Hasil survei itu dengan tegas memerintahkan bahwa aku harus BERLATIH MEMAAFKAN. Tentu sekalian diawali dengan kebiasaan MEMINTA MAAF. Iya tidak? Baiklah. Kawan-kawan, aku minta maaf atas kelakuan burukku. Apa pun bentuknya. Terlalu banyak hal ada perbuatan yang bisa membuat orang lain tersinggung atau marah, dan itu mungkin menumbuhkan dendam.

Aku akan berdamai dengan diri sendiri dulu, setelah itu berusaha menghapus dendam.[]

Anwar Holid, masih bermasalah dengan kehidupan.

Friday, June 17, 2011

Benarkah Hidup Ini Absurd dan Sia-Sia?
---Anwar Holid

Semua ini berawal dari obrolan dengan seorang sopir angkot. Kami hanya bicara selama perjalanan sebentar searah itu berkat kebiasaanku yang suka duduk di depan karena rasanya lebih nyaman. Entah bagaimana mulainya, mengingat aku bukan tipe orang yang gampang menyapa dan lebih sering merespons terhadap sesuatu. Tapi ke sananya toh kami ngobrol soal keluarga, anak, sekolah, dan akhirnya masuk ke soal pekerjaan. Obrolan berlangsung dalam bahasa Sunda.

"Yah, kecil-kecil juga lumayan ada penghasilan," kata pak sopir.
"Bener pak, kata orang mah yang penting bisa bersyukur," timpalku.
"Iya. Enggak kayak teman saya. Kasihan."
"Memang dia kenapa pak?"
"Dia itu teman saya dari kecil. Tetanggaan malah. Cuman bedanya dia mah pintar, sementara saya akhirnya jadi sopir angkot. Teman saya ini sekolahnya di ITB, jadi dosen di situ dan di PTS lain, S2 juga di luar negeri. Tapi apa yang terjadi sekarang? Dia kena stroke. Ngajogrok aja enggak bisa apa-apa. Tergeletak begitu aja. Jadi beban keluarga. Nah, mending saya kan? Masih bisa usaha, bisa menghidupi keluarga. Ada manfaatnya gini-gini juga."
"Kenapa dia kena stroke pak?" Aku begidik membayangkan penyakit mengerikan seperti itu menyerang seseorang. Di sisi lain, ada sesuatu yang mulai runtuh.
"Enggak tahu sih persisnya. Cuman kata keluarganya dia dulu terlalu kerja keras. Akibatnya baru kerasa sekarang. Semua yang sudah dia lakukan kayaknya sia-sia. Sakitnya kan nguras harta keluarga. Lama. Enggak sembuh aja. Ngabisin biaya. Memberatkan semua orang di rumahnya."

Aku bingung dengan fakta begini. Benarkah orang yang kena stroke ini sia-sia atas semua usaha dan pencapaian yang pernah dia lakukan? Apa artinya ketekunan, kepintaran, kerja keras, juga penghasilan dia di kala baik-baik saja langsung sia-sia? Sayang sekali enggak ada cerita apa dia punya asuransi. Sementara orang kayak aku, yang penghasilannya kacrut, suka megap-megap karena lemas menghadapi kesulitan mapun masalah, terlilit obsesi kabur tentang kehidupan, dan pak sopir ini---yang mengaku hidupnya juga pas-pasan---jadi lebih berharga? Aku takut menjawab. Jujur, itu membuat hidup jadi terlihat absurd persis di depan hidung. Aku takut jadi orang sombong, padahal tiada hak bagiku. Enggak pantas.

Hidup bisa absurd, ironik, kejam, di luar nalar. Aku suka masih merasa sia-sia bersyukur padahal hatinya gelap dan luka parah sebab ada banyak kekurangan yang terasa sulit dibiarkan begitu saja. Ingin sederhana, tapi biaya tetap wajib dibayar. Ingin senang-senang, tapi sejumlah kerja belum beres dan kesulitan menggugah diri sendiri menghalau kemalasan. Kamu juga pasti mustahil hidup tanpa penghasilan. Coba hidupmu tanpa listrik selama lebih dari 24 jam. Kamu bisa kaku mati gaya dan emosimu langsung terkuras banyak. Baru kaku dan sebal, belum stroke. Itu membuat hidup jadi kompleks dan misterius.

Beberapa waktu lalu aku baca konsultasi seorang bujang lapuk sarjana S2 yang terus kesulitan dapat kerja tetap, dan yang baru dia bisa dapat ialah jadi pengajar les privat dengan penghasilan pas-pasan. Jodoh mah boro-boro. Di Jakarta pernah ada kejadian seorang penjahat pembobol rumah kosong padahal dia lulusan S2 universitas di Australia. Lihat sejumlah orang berpendidikan, dari kalangan sosialitas kelas atas dan berkuasa, dan perhatikan tuduhan atas kejahatan yang mereka lakukan. Memalukan. Sementara orang lain lagi masih ribut soal penghasilan, nama baik, motivasi, sertifikasi, album baru, buku bestseller, rekor kelas coro, travelling, operasi plastik, pemilu. Oh, apa ini juga hina? Di sisi lain, silakan baca kisah Dora Indrayanti Trimurni yang terpaksa harus menyamar jadi laki-laki biar tetap aman jadi tukang ojek, satpam, sekalian petugas kebersihan gedung demi membiayai hidup, kuliah, dan sekolah adik-adiknya. Dan apa yang terjadi? Di suatu hari nahas, tubuhnya yang kurang istirahat dan asupan gizi tersungkur, tahu-tahu mengidap sakit parah yang langka. Beruntunglah sejumlah orang kini bersimpati akan nasibnya dan siap membantu dia sekeluarga. Aku pernah dengar cerita tentang seorang dokter spesialis saraf sombong yang tertimpa masalah sampai membuatnya stres. Dia merasa bahwa dirinya adalah kepanjangan tangan Tuhan yang bisa menentukan hidup-mati seseorang. Karena itu dia tidak butuh bantuan orang lain. Tapi faktanya dia disuruh ikut terapi dan konsultasi psikologi. Waktu dengar cerita itu, aku dengan nada kasar bilang, "Kalau dia ngerasa jadi kepercayaan Tuhan, kenapa dia enggak minta Tuhan menyembuhkan stres atau kesombongannya?" Wah, aku paling malas menghakimi orang.

Hei dalang! Betapa kolosal drama yang terjadi pada manusia. Alangkah absurd jalan ceritanya. Sampai aku mau menangis pingsan menonton dan ikut menjalaninya![]

Anwar Holid, dapat peran figuran di berbagai acara kehidupan.

Friday, June 10, 2011

Teguran Tengah Tahun untuk Anwar Holid

Aku takut bahwa aku kurang bersyukur. Sudah 168 hari tahun 2011 berjalan. Sudah dua puluh empat minggu berlalu. Namun rasanya sedikit sekali yang sudah aku nikmati.Aku masih gagal memaksimal kemampuan dan mengerjakan dengan baik janji-janji yang mestinya aku penuhi. Ini menyedihkan, tapi rasanya keterlaluan kalau aku terus mengeluh karena gagal mengalahkan diri sendiri. Dari dulu aku yakin bahwa pergulatan terberat manusia terjadi di dalam diri sendiri, dan sekarang aku harus bilang aku tengah terjungkal, kesulitan bangkit, dan rasanya terus lunglai sampai mau tewas. Yang bisa aku lakukan hanya hal-hal kecil dan terlalu sering merasa mendapat ironi untuk menyenangkan diri.

Ironi terbesar yang paling aku rasakan sekarang ialah sindrom sukses. Rasanya aku kini terlalu sering dengar berita tentang kesuksesan spektakuler, sampai aku kesulitan memaknai apa gagal itu haram dan berusaha cuma omong kosong? Sindrom ini rasanya membuat aku tambah gampang sinis dan apatis, mematahkan semangat minimal untuk berbuat standar. Kesuksesan membuat aku curiga bahwa ada rahasia yang tidak diceritakan oleh para orang sukses tentang perbuatannya. Tapi curiga hanya membuat kebahagiaanku tergerogoti. Aku tampaknya lagi gelisah dan sedih.

Rasanya aneh setengah tahun 2011 ini terus berjalan tapi waktu rasanya terus membuatku tersudut menghadapi dunia. Namun, lepas dari berbagai kekurangan, krisis emosi, finansial, wanprestasi, juga iman menurut pendapat beberapa orang, dalam enam bulan terakhir ini aku merasa sedikit lebih puas---tapi apa artinya pernyataan ini kalau ternyata setelah diukur dengan parameter tertentu malah minus. Ada empat hal paling krusial yang sulit aku kalahkan:
* kerjaku lamban (lelet)
* kurang bekerja dengan cerdas (work smart)
* masih pasif (kurang agresif)
* gampang berpuas diri

Aku masih kerap berdebat soal uang atau upaya menghargai profesionalisme dan waktu kerja. Sebagian orang bilang santai saja kalau kita gagal dan enggak ada uang, tapi apa jadinya kalau aku benar-benar kesulitan uang, terdesak oleh berbagai kebutuhan, tapi malas minjam. Orang bilang uang bukan segalanya, tapi kalau kamu tetap kesulitan memenuhi banyak kebutuhan karena keuanganmu minim atau nyaris bangkrut, maka kamu hanya bisa manyun. Aku bicara kebutuhan loh, bukan keinginan. Aku sudah kehabisan keinginan untuk beli cd, film, jalan-jalan, atau rumah baru dengan halaman luas dan tanah yang subur; tapi aku butuh asuransi untuk anakku, perlu membunuh kekhawatiran yang kadang-kadang muncul dalam diriku. Aku pernah diutangi oleh orang yang sama-sama kehabisan uang, termasuk didatangi orang yang butuh uang, bahkan menggunakan dalih akibat pindah agama segala. Beberapa orang mengira aku sudah memasuki fase "bebas finansial", padahal sesekali aku masih harus pinjam ke orang lain yang lebih sukses. Jadinya aku merasa absurd.

Aku baca ada orang yang ingin membangun Indonesia, tapi aku lihat para pemulung banting urat dan otot hingga bertonjolan di Tanah Abang tetap kelihatan telanjang, kumuh, kotor, keringat mengucuri perut telanjangnya yang buncit. Mereka luput dari sasaran program dan slogan CSR dari perusahan ataupun pribadi yang kelihatan mulia. Anjing! Aku tahu pemilik program itu hanya menyasar segolongan pasar yang dinilai sejalan dengan kelas dan pemikirannya. Kalau tidak, lewat. Aku sempat baca bahwa pemerintah mengaku kesulitan mengentaskan jumlah kemiskinan karena menurut pengamat, mereka miskin terobosan. Aku masih dengar korupsi adalah kucing-kucingan, sejenis petak umpet dengan biaya luar biasa tinggi. Ha ha ha... Aku malas terbuai kata-kata. Kamu percaya ada orang yang mau membangun negeri? Fuck. Aku enggak. Aku lebih percaya bahwa aku ingin fokus pada diri sendiri dan aku tahu itu susah sekali---terutama untuk meningkatkan penghasilan atau mengembangkan karir.

Secara sporadis aku berkomentar hidup itu berat (life is hard). Mungkin itu bentuk ngotot yang negatif. Kalau kamu hanya punya beberapa ribu rupiah, akankah kamu merasa sukses? Kalau kamu Gayus, akankah kamu harus merasa gagal? Yang kelihatan adalah Gayus banyak uang dan kamu enggak bisa beli barang. Yang enggak kelihatan, itu urusan kamu dengan Tuhan---atau tekanan yang harus kamu tanggung. Kalau kamu Nunun Nurbaeti, apa kamu akan mengaku salah?

Secara kasar, aku menilai diriku masih punya sebentuk keberhasilan. Aku punya karir, kerjaan, keluarga, sedikit impian, teman, keyakinan, pendapat, sikap, bebas. Aku bukan pengangguran. Aku berinteraksi dengan orang banyak dan aku berani jujur. Tapi apa itu cukup? Tidak. Itu sebabnya aku masih merasa hidup itu aneh, lepas bahwa aku berusaha ikhlas atau berusaha menumbuhkan sikap kreatif dalam diriku. Kata Sting, "Be yourself no matter what they say." Rasanya aku sudah jadi be myself---lepas dari fakta bahwa aku mungkin menggelepar-gelepar kesulitan mengalahkan kemalasan.

Pukul rata, aku bahagia dengan pekerjaan dan karir, juga dengan hidupku. Tapi aku masih merasa ada sesuatu yang kurang dan itu perlu ditingkatkan. Aku merasa masih ada sesuatu yang salah, tapi kadang-kadang aku ragu atau takut menjelaskan apa persisnya. Mungkin kekuranganku, sikap individualistik dan abai. Juga karena rentan terhadap amarah dan kesabaran. Aku suka belajar, tapi sulit melakukan nilai itu. Aku berprasangka orang menyembunyikan sesuatu dari dirinya, pamrih, dan enggan bilang yang terburuk dari dirinya atau sebenarnya mereka berencana menyikat kamu. Tapi apa guna prasangka itu? Aku mungkin paranoid. Aku nyaris curiga para segala sesuatu. Mungkin aku sakit.

Contoh sederhana dari prasangkaku: Kalau sebagian orang percaya bahwa Soeharto itu Bapak Pembangunan Indonesia, kenapa setelah dia jatuh sebuah badan antikorupsi PBB berani menetapkan bahwa dia adalah koruptor terbesar yang pernah ada? Kenapa PBB takut mendakwa begitu ketika dia masih jadi presiden? Bahkan yang paling absurd, dulu PBB memberi penghargaan untuk pencapaian ini-itu kepada dirinya. Sungguh sia-sia upaya itu. Kalau kamu yakin Soekarno ingin membangun negerinya, aku yakin mestinya dia sudah lupa untuk beristri banyak. Itu kan menambah pengeluaran pribadi atas nama negara. Aku meragukan integritasnya. Aku menyangsikan niatnya. Sebab dari fakta, mereka meninggalkan ceceran kotoran yang terlalu busuk. Tapi apa dengan begitu aku harus mati-matian menolaknya? Apa manfaatnya buatku?

Aku sering melihat kontras dan kesulitan menyeimbangkannya. Lama-lama aku menganggap itu omong kosong, menilai itu sebagai sesuatu yang harus dihadapi orang secara pribadi. Kalau aku kekurangan uang, hadapi saja. Berdamai atau atasi. Sejumlah hal sulit aku pahami. Terus belajar atau abaikan---mungkin itu bukan urusanmu. Kalau bukan urusanmu, tinggalkan. Perhatikan urusanmu sendiri. Urusanmu sendiri banyak dan belum beres. Bantu orang lain demi kebaikan dan alasan kemanusiaan. Hanya kamu yang tahu apa kamu menjalani hidup yang jujur atau palsu.

Waktu berlalu tanpa pandang bulu. Harusnya sejak awal tahun kamu kehabisan alasan untuk berdalih atau mengeluh. Ayo Anwar, gugah diri sendiri. Jaga dirimu baik-baik. Miliki hidup yang hebat---minimal untuk kamu sendiri!

Wartax,
alter egomu.
Cipunegara, 10 Juni 2011