Monday, September 15, 2014

OKTOBER SUDAH DEKAT!!!
--Anwar Holid


Persis di hari ulang tahun ke-41 aku bersama sebelas kawan lain selesai ikut fase pertama workshop marketing internasional penerbitan yang diadakan oleh Goethe-Institut Jakarta, IKAPI, dan Frankfurt Book Fair (FBF). Workshop ini diikuti 10 penerbit dengan beragam kondisi, ada penerbit pemula, penerbit terbesar di Indonesia, penerbit spesialis, buku anak-anak, anggota IKAPI maupun belum.

Di workshop ini aku membatin: SEBESAR APA PASSIONMU PADA PENERBITAN atau PERBUKUAN? Barangkali karena aku mulai mendapati sebagian kenalanku berhenti berbisnis di dunia buku, mulai masuk dunia lain, meski aku masih selalu mendapati para senior ternyata tetap semangat, bahkan aku pikir tambah ahli dan terus bersedia membagi ilmu.

Aku masih semangat menghasilkan buku baik dan hebat, ingin mengenalkan karya yang aku nilai berharga, memang pantas dijual; tapi jujur saja jalan ke arah sana kadang-kadang sulit, bahkan bisa dipersulit oleh orang-orang yang aku pikir mestinya mendukung niat baikku. Niat baik tidak selamanya ditanggapi positif bila aku gagal menerangkan apa untungnya menerbitkan naskah yang aku pikir hebat, bermanfaat, dan bakal menguntungkan.

Jelas secara finansial aku tidak jadi miliarder karena konsisten kerja di dunia penerbitan. Tapi kondisi itu tidak pernah membuat patah semangat. Aku hanya suka malu setiap kali gagal belajar dari kesalahan, tidak bekerja lebih baik, dan kesulitan menuntaskan tanggung jawab dengan baik.

Selama berkarir di penerbitan, aku lihat banyak senior terus semangat dan berdedikasi, entah dia orang Indonesia atau asing. Sementara pelaku baru terus tumbuh, punya idealisme dan inovasi; meski di antara mereka mungkin saja ada yang kutu loncat, kerja pakai pola high risk, hit and run. Kiprah pelaku muda kerap membuat aku salut dan kreativitasnya mengejutkanku, membuat kagum dan memaksa aku untuk terus belajar dan menambah wawasan.

Guru utama workshop ini ialah Sebastian Posth, pebisnis penerbitan Jerman yang terutama bergerak di ebook, olah data, namun tetap peduli dengan keberlangsungan buku cetak. Salah satu maksud workshop ini ialah membantu persiapan kami sebagai wakil penerbit Indonesia untuk menawarkan dan menjual rights buku di FBF pada 7-12 Oktober 2014.

Sejak berangkat workshop aku tidak mengakses email dan media sosial. Jadi aku buta yang terjadi dengan akunku dan berita di luar sana. Sekitar seminggu lalu dadaku sakit lagi, membuatku demam di malam hari, kehilangan nafsu makan, batuk-batuk, dan pening; memaksaku berhenti main WE9, dengar musik, dan baca-baca majalah atau buku di malam hari karena maunya istirahat lebih lama. Beruntung, kondisiku jauh lebih membaik selama ikut workshop, jelas itu karena tunjangan konsumsinya OK banget.

Seorang senior yang juga ikut workshop bilang, 'War, kamu sekarang tambah jarang nulis ya?' Pertanyaan ini membuatku sedih sekaligus terharu. Sedih karena memang itu faktanya; terharu karena ada orang dekat yang menyadari bahwa aku juga suka menulis untuk menyuarakan sesuatu.

Seingetku, aku jawab begini: 'Kalo nulis iya, tapi kalo ngasih komentar kayaknya tambah sering.' Ha ha ha... Kayaknya sekarang aku lebih baik bekerja atau melakukan sesuatu daripada menulis.' Yah, jujur saja. Aku malu bila banyak menulis seolah-olah peduli atau bisa ini-itu menyelesaikan banyak hal besar, padahal pekerjaan utamaku belum beres. Aku sudah diperingati klien untuk fokus mengerjakan tugas utama, yaitu membereskan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan orang lain. Aku ikut workshop karena ada target, bukan untuk sekadar bersenang-senang menikmati bagian dari passion duniaku.

Jujur saja, ikut workshop sebenarnya menunda banyak pekerjaanku membantu persiapan Penerbit Rosda menghadapi FBF 2014 yang sudah tinggal hitungan hari. Setiap kali mengingat ini jantungku terpacu lebih cepat dan tekanan kepalaku langsung naik. Begitu banyak yang harus aku lakukan, waktu makin sempit, sementara energiku sendiri tidak dalam kondisi maksimal. Namun penyesalan terbesarku selama workshop ialah kemampuan Englishku yang sama sekali tidak membaik, sehingga menghalangiku menyampaikan pikiran dengan jernih kepada orang-orang yang buta bahasa Indonesia. Penyesalan ini jauh lebih besar daripada aku lupa bawa kamera gara-gara masih sakit waktu berangkat saat fajar menuju workshop.

Peserta, panitia, dan narasumber workshop. Pria bule di tengah ialah Sebastian Posth.


Hal utama yang ingin aku sampaikan selama menyaksikan persiapan Indonesia dalam FBF 2014 ialah betapa dukungan pemerintah (barangkali dalam hal ini ialah ‘Komite Nasional FBF’) terhadap kehadiran penulis di FBF sangat minim. Untuk kasus Penerbit Rosda saja, kami menawari beberapa penulis untuk datang dan buat acara di FBF, tapi semua menolak karena tidak ada biaya. Padahal selama sharing session kita tahu ada dana penerjemahan yang tidak terserap dengan baik tapi katanya sama sekali tidak bisa diubah alokasinya karena berbagai alasan, salah satunya ialah takut terjerat hukum. Buat apa ada uang kalo tidak bisa dibelanjakan untuk kepentingan bersama?

Hal menyedihkan lain ialah ada banyak penerbit dan penulis yang terabaikan dari hingar-bingar persiapan Indonesia jadi Guest of Honor (GoH) Frankfurt Book Fair 2015. Katakanlah penerbit dan penulis nonmainstream atau independen, padahal mereka menurutku pantas diajak berperan serta. Aku berharap semoga representasi buku dan penulis Indonesia yang ada di GoH cukup berimbang. Harusnya ada penulis dari kalangan FLP/Islam, ada pemberontak macam Saut Situmorang, penulis buruh, dari Indonesia Timur, Indonesia diaspora, dan lain-lain. Setahuku hal itu belum terakomodasi.

Kita tahu ada penulis dan penerbit yang bisa terbang ke Frankfurt, sementara lainnya tidak, bahkan mungkin dapat akses informasi pun tidak. Tentu kita bisa tanya kenapa mereka terpilih atau bisa memperhatikan seperti apa relasi mereka dengan klik pada kelompok tertentu atau ikatan patronnya bagaimana. Contoh, penulis A bisa diundang di FBF karena dinilai pantas jadi wakil Indonesia. Tapi dari kliknya kita juga bisa lihat ia bisa hadir karena bukunya sudah diterjemahkan dalam English, dan direktur penerbit itu dekat dengan para penentu kebijakan di Komite Nasional. Jelas ada kepentingan yang main di sana.

Contoh lain: mungkinkah kita membangkitkan minat sebagian pelaku industri penerbitan agar antusias bahwa Indonesia jadi GOH FBF 2015, bila terhadap Ubud Writers and Readers Festival saja sinis?

Pelajaran utama dari fase pertama workshop ini ialah bagaimana cara meyakinkan orang agar percaya bahwa produk yang aku bawa pantas mereka beli. Kondisi ini tambah sulit kalo kemampuan komunikasiku buruk. Ini yang paling mengkhawatirkanku. Komunikasi yang buruk pasti sulit mengangkat nilai jual produk yang sangat unggul sekalipun. Claudia Kaiser dari FBF siap bantu membuatkan website agar kami bisa menghadirkan dan mengenalkan buku yang mau ditawarkan rightsnya secara lebih baik dan meyakinkan.

Kira-kira itulah yang ingin aku lampiaskan. Di dalam, PR-ku untuk Penerbit Rosda juga masih numpuk dan harus diselesaikan.[] Jakarta, 9 September 2014