Thursday, December 22, 2011

My New Favourite Thing: Omega Constellation

My New Favourite Thing: Omega Constellation
---Anwar Holid

Aku bukan orang yang fashionable.

Aku juga bukan orang yang punya selera tertentu terhadap asesoris. Aku enggak terbiasa mengenakan asesoris dan tumbuh dengan kesadaran begitu. Satu-satunya asesoris yang terus menempel di badanku sejak kuliah semester 3 ialah kacamata, itu kalau mau menganggap bahwa mata minus bukanlah cacat, melainkan kesempatan untuk sedikit bisa bergaya.

Karena bukan fashionista dan buta asesoris, enggak pernah aku pakai gelang, cincin, jam, apalagi anting, tato, atau tindik. Dulu ada kawan sekelasku dapat hadiah ulang tahun arloji Mido dari ayahnya dan aku enggak ngerti kok bisa dia begitu heboh terhadap benda itu. Di tahun 1990-an aku suka banget pakai baju flanel, tapi entah ke mana sekarang baju flanel terakhir favoritku berada. Mungkin tersesat di suatu alamat palsu atau sudah aku sumbangkan waktu ada kesempatan.

Tapi sudah beberapa hari ini kebiasaanku soal asesoris berubah. Itu terjadi sejak aku mengenakan arloji Omega seri Constellation. Ceritanya, setelah ayah mertuaku meninggal pada awal November 2011, anak-anaknya pada mengambil pernak-pernik barang personalnya, baik baju, topi, kacamata, pipa, sampai pisau lipat. Aku sendiri dapat sepatu bot kulit, yang ukurannya sedikit kegedean.

Jam tangan Omega itu salah satu yang diambil Ilalang. Kondisinya sudah mati, kusam, dan dua pointer jamnya lepas. Fenfen bilang Omega itu adalah hadiah dari menantu mertuaku yang orang Australia. Aku bilang ke Fenfen, "Sini nanti aku bawa ke Rani biar direparasi." Rani adalah pemilik garasiopa.wordpress.com, toko online yang menjual barang-barang vintage, termasuk jam. Salah satu jam yang baru pertama kali aku lihat dan sangat unik di toko itu ialah arloji 24 jam.

Aku blank soal jam, jadi enggak punya anggapan apa pun soal Omega. Aku pikir semua jam sama, kecuali image dan tingkat kemewahannya. Waktu diserahkan ke Rani, aku tanya, "Ini jam bagus enggak, Ran?" Maksudku, kalau itu jam murahan, buat apa direparasi? Dia menjawab, "Bagus kok. Lumayanlah."



Benda asesoris favorit
Setelah beberapa hari di tangan Rani, aku sangat takjub melihat jam itu kembali dalam kondisi sangat cantik. Bukan saja pulih, ia juga tampak mulus, bersih, elegan. Begitu melingkar di lengan, aku langsung suka dan janji mau terus mengenakannya. Ia kelihatan simpel, gaya, dan keren.

Setelah itu aku penasaran pada Omega Constellation. Baru tahu aku ternyata Omega adalah perusahaan pembuat jam legendaris yang ada sejak 1848, salah satu merk paling dikenal di dunia. (Ini bukti bahwa aku kuper dan enggak fashionable.) Saingan terberatnya ialah Rolex. Mereka berani menyebut 7 dari 10 orang pernah dengar jam Omega. Aku juga baru kali ini ngeh sama Omega, dan jadi ingat pada iklan-iklannya di Time. Urban legend yang fanatik pakai Omega adalah.... James Bond.

Constellation merupakan seri unggulan Omega; mungkin untuk pasar umum, bukan high-end. Seri ini tampaknya salah satu jam paling collectible dan karena itu banyak dipalsukan. Ini bisa disimpulkan dari sekilas baca-baca laman soal jam vintage.

Karena Constellation ini dari Australia, jadi kepikiran apa ia asli, replika, palsu, atau KW-XXX? Yang paling meragukan, di permukaannya memang tidak ada tulisan AUTOMATIC CHRONOMETER ditambah OFFICIALLY CERTIFIED. Sementara di plat dalam tertulis JEWELS SWISS MADE. Dari browsing aku juga mendapati Constellation yang polos.

Tapi ah peduli amir dengan keragu-raguan itu! Omega Constellation ini fungsional, cantik, berguna. Selesai. Buatku yang paling penting ialah menghargai kenangan pada mertua. Sisanya, ia adalah benda asesoris kehidupan seperti halnya rapido dan album-album Queen.[]

Anwar Holid, penulis Keep Your Hand Moving (GPU, 2010).

Situs terkait:
http://garasiopa.wordpress.com/

Thursday, December 15, 2011


Memang Aku Ini Selaknat Apa?
---Anwar Holid

Apa cap terlaknat yang pernah kamu terima?

Ada orang bilang bahwa aku keras kepala, kaku, pilih-pilih pekerjaan dan malas bantu orang lain, tidak kreatif, membangkang, tanpa inisiatif, mengabaikan orang lain, makan gaji kegedean, ditambah meremehkan orang lain dan berani menyepelekan atasan. Yang paling gawat, aku pernah dicap tidak beriman. Tidak beriman kan sama dengan kafir!

Bagi orang yang tidak pernah ke pelacuran, bersih dari rokok, minuman beralkohol dan narkoba, masih berusaha beribadah, takut masuk neraka dan belum pernah masuk night club, secara umum punya niat berbuat baik, bukan kriminal, bersih dari KKN, berniat jadi orang sederhana, setia pada pasangan dan keluarga, tidak selingkuh, tidak terlibat dengan organisasi separatis maupun teroris, berusaha rendah hati, bukan bagian dari sekte ekstrem dan dianggap sesat, mengaku masih terus mau belajar, berusaha memahami kehidupan, bahkan suka menggantungkan doa, ratapan, dan bertanya-tanya tentang Tuhan itu apa, cap seperti itu merupakan skandal besar. Keterlaluan. Memang aku ini selaknat apa?

Dari daftar pendek itu kalau mau kamu bisa bayangkan betapa baik dan terpuji sebenarnya aku. Tapi apa klaim itu nendang? Hah, bukan sombong! Aku mau menunjukkan betapa kebaikan ternyata tidak ada apa-apanya! Ralat: bukan tidak ada apa-apanya, tapi masih kurang. Jauh dari cukup. Sifat-sifat itu baru jadi syarat minimal, hingga orang tertentu menuntut lebih dari sifat tersebut. Padahal mungkin tidak semua orang memiliki kualitas sehebat itu. Buktinya kejahatan terjadi setiap saat tanpa henti.

Bayangkanlah kalau aku terkenal suka berzina, selingkuh, mabuk-mabukan, ketagihan narkoba, penipu, pencuri, korupsi triliunan rupiah, rantai dari mafia perjudian dan perdagangan narkoba, menyandera anak kecil untuk minta tebusan atau menculik gadis perawan, jadi kriminal, jadi buronan Interpol, dicokok aparat negara gara-gara memperkosa atau jadi otak pembunuhan serial... wah, tentu makin busuk saja diriku. Tambah laknat. Tak terbayang lagi bahwa aku pernah menerjemahkan, mengedit, menulis, suka mempromosikan kebaikan, dan berusaha terus waras menghabiskan sisa umur.


Drama orang beda-beda

Soalnya, ada fakta aneh di dunia ini: Kita saksikan ada banyak orang yang terbukti bangsat raksasa, otak bajingan, merugikan negara atau masyarakat, sangat berbahaya, ternyata masih dibela-bela, dilindungi, disebut-sebut jasa, upaya, dan keberaniannya, baik oleh para ahli maupun orang bayaran. Ini gawat banget. Kenapa orang sungkan atau takut melaknat penjahat dan cenderung baru berani kalau banyakan?

Yah, nasib orang bisa sangat aneh. Puluhan tahun berniat jadi orang baik hanya berujung menerima berbagai cap yang merontokkan mental dan moral.

Memang sulit mengetahui niat orang lain terhadap kita, maka mereka bisa memberi cap atau berprasangka apa pun. Lebih menyebalkan lagi ketika cap busuk itu terlontar di zaman "talent management" yang bermaksud memaksimalkan kemampuan terhebat dalam diri seseorang, sehingga otomatis kekurangan dirinya terkubur dan dirinya bisa fokus mengembangkan kreativitas terbaiknya. Contoh gampangan: bakat dan kemampuan terbaik Brian May ialah jadi musisi, bukan fisikawan.

Sayangnya talent management tidak terjadi pada setiap orang dan itulah yang membuat nasib orang beda-beda dengan drama sendiri-sendiri. Bayangkan ada striker produktif yang pada suatu periode mandul sampai membuat dirinya seperti bakal tak becus lagi melesakkan gol. Awalnya orang prihatin sambil bertanya-tanya apa yang salah. Tapi lama-lama mereka mencemooh dan mencaci-maki. Ada apa sebenarnya? Apa strategi kesebelasan, gagal beradaptasi, chemistry dalam tim, persaingan negatif, atau masalahnya terjadi di luar lapangan, mungkin karena gaya hidupnya kacrut, dia bermasalah dengan pasangan dan keluarga, atau disuap, dililit utang luar biasa besar, dan mendapat ancaman pembunuhan. Dia sendiri kesulitan mengungkapkan inti masalah yang membuatnya jadi buruk dan gagal segera membuktikan lagi bahwa ia sehebat dulu. Sementara orang lain hanya mau tahu dia membobol gawang. Kalau gagal menyelesaikan masalah, lama-lama dia frustrasi, dan gagal bangkit lagi.

Orang bisa memberi cap apa saja

Di sisi lain bisa jadi seseorang mengutuk karena merasa berhak disertai alasan kuat. Mereka punya kepentingan dan sering hanya bisa melihat dari sudut pandang sendiri. Pendapat mereka mengandung kebenaran. Mungkin mereka tidak sepenuhnya salah. Parahnya, mereka membombardir titik terlemah kita, membuat limbung dan kalap. Sebagian orang diumpat dengan nama-nama binatang, diancam, atau diserang secara fisik.

Di luar itu, mungkin persoalannya memang sungguh berat, taruhannya amat besar, menyangkut kepentingan banyak orang, sehingga mereka merasa berhak menuntut dan minta bagian. Sayang, chemistry maupun sinergi sudah buruk. Gaya kepemimpinan tidak cocok, tingkat kepercayaan rendah. Inti masalah sulit ditemukan. Semua mampet. Ketidakpuasan menggelegak, kecurigaan membludak, konflik meledak. Yang tadinya kawan jadi lawan, yang tadinya percaya jadi curiga, yang tadinya ramah bawaannya jadi marah, yang dulu baik kini jadi menuduh, yang dulu utuh kini jadi pecah.

Bila sudah separah itu, tinggal kita lihat cara orang menyelesaikan persoalan. Apa tetap berusaha baik-baik atau dengan merentetkan laknat dan makian.

Sejumlah masalah baru bisa disadari sebabnya setelah sekian lama jadi misteri padahal kondisinya sudah parah. Begitu sadar, orang pelan-pelan paham, berusaha memperbaiki, mencoba bangkit, dan menyelesaikan baik-baik. Mereka berjuang, punya niat baik, tidak gampang mengeluh, berani berisiko, bertanggung jawab, tahu konsekuensi dari pilihan dan tindakannya. Tapi bisa jadi rekan kerjanya sudah kehabisan kesabaran, penanam modal tidak percaya lagi, bos tidak paham dan bosan dengan janji, mitra menghentikan kerja sama, pelanggan pergi dan komplain, sementara kawan menghindar dan cepat-cepat mau cuci tangan.

Bila sudah segawat itu, tinggal kita lihat cara orang menyelesaikan masalah. Apa dia akan sukses dan akhirnya berbalik dipuja-puja atau berakhir hancur-hancuran dan jadi bahan cemoohan. Atau lebih parah lagi: jadi contoh buruk, dianggap kriminal, dan mendapat cap selaknat-laknatnya.

Ada yang bilang orang tidak butuh kisah sukses. Tapi kayaknya orang dan dunia masih butuh pahlawan. Pahlawan tidak selalu sukses kan? Buktinya ada antihero. Boleh jadi di situlah pentingnya perjuangan, konsistensi, pendirian, prinsip, adaptasi, termasuk mau menerima atau mau berubah. Orang lain silakan mencap semau mereka, seburuk apa pun. Biarkan saja mereka dengan keinginannya. Itu hanya menunjukkan karakter mereka sendiri. Yang lebih penting ialah cap oleh kita sendiri. Sebenarnya kita menganggap diri sendiri seperti apa. Toh orang hidup dengan cara dan takdir masing-masing. Mau berusaha tetap waras atau lama-lama kalap. Sebagian besar dari kita juga tidak tahu cerita diri kita akan berakhir sampai di mana. Sebab hidup kadang-kadang hanya merupakan peralihan dari satu periode ke periode lain.[]

* Gambar dari searching di Internet.

Anwar Holid, penulis Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Belum pernah bersumpah dengan cap jempol darah.