Tuesday, October 28, 2008



Jelas yang dikasih bukan edisi ini, soalnya aku cari-cari cover edisi yang aku maksud nggak nemu. Bahkan di situs RSI pun belum ada. Hanya, covernya setipe ini. Gambar dari Internet.


Hadiah Rolling Stone The Immortals Budi Warsito
-----------------------------------------------


Aku dapat hadiah Rolling Stone A Special Issue The Immortals, 25 Artis Indonesia Terbesar Sepanjang Masa (Edisi 43, November 08) dari Budi Warsito.

Setengah hari kerja di Rumah Buku, berbekal remah-remah roti kering dari Holland Bakery. Sampai akhirnya Rani datang sore-sore, kemudian disusul Budi agak lama setelah itu.

"Mas ini saya kasih RSI seperti janji saya waktu itu," kata Budi. "Tapi maaf notesnya ketinggalan."

Waaah! Seneng banget dapat hadiah menarik seperti itu. Teknik cover RSI ini sama waktu mereka mengeluarkan edisi khusus album Indonesia terbaik sepanjang zaman: menggunakan plastik hologram. Yah, jadi RSI secara resmi menganggap abadi orang-orang fana ini (sebagian sudah meninggal). Menjadikan mereka sebagai ikon yang pantas dikenang, persis karena pertimbangan karya, pengaruh, dan reputasinya. Tentu saja kita boleh membuat sendiri the immortals sesuai selera, dan memberikan alasannya---dan nggak perlu disiarkan di RSI; cukup di blog atau notes sendiri.

Pas dibuka-buka, pilihan RSI juga ada yang terkesan dobel-dobel, misalnya ada God Bless, tapi juga ada Ahmad Albar; ada Dewa19 juga ada Ahmad Dhani (dan lebih menjengkelkan lagi, dipasang berurutan!) Wah, menurutku mending cari figur lain. Pilihan RSI jelas musisi pop; jadi sulit kalau aku berharap misalnya Slamet Abdul Sjukur, Tony Prabowo, atau yang lebih populer: Emha Ainun Nadjib terpilih sebagai The Immortals. Pilihan paling asing sudah diwakili oleh Harry Roesli.

Yang paling heboh mungkin Ahmad Dhani. Sementara seorang immortal ditulis orang lain, dia menulis tentang dirinya sendiri. Ini membuat aku teringat lagi ungkapan Ignatius Haryanto: "Mungkinkah meneliti tentang diri sendiri?" Menurutku, mungkin akan lebih menarik bila yang menulis tentang Ahmad Dhani adalah Maia Estanty.

Terus di RS Style ada Dewi Lestari yang baru-baru ini menerbitkan dan merilis bersamaan buku & album, Rectoverso (artinya: bolak-balik.) Aku sudah lihat-lihat buku itu di Reading Lights. Hm... mewah banget, hardcover, artpaper, fotografi, desain grafis... membuat harganya jadi mahal (Rp.77.000,00.) Aku sudah usul ke Budi agar Rumah Buku beli biar aku bisa pinjam; tapi keinginan itu secara nyata sulit tercapai.

Tapi apa pun, RSI itu hadiah yang menyenangkan. Makasih banget!

3:03 28/10/08



Kepompong Sind3ntosca
---------------------


Gara-gara Ilalang dan Fenfen melihat videoclip Kepompong dari penyanyi sind3ntosca, akhirnya aku berburu lagu itu setiap kali online di warnet. Mereka berdua ini langsung hapal reff lagu tersebut, berikut ekspresi penyanyinya yang menurut mereka datar banget. Akhirnya aku nemu file tersebut sudah didownload dan disimpan di sebuah folder.

Lagu itu sebenarnya tentang persahabatan, yang mengibaratkannya sebagai metamorfosis dari ulat menjadi kupu-kupu. Jadi kata beberapa orang, lagu itu juga berjudul "persahabatan."

Aku pertama kali dengar sind3ntosca waktu Trisna, kawanku seorang gitaris, menghadiahi aku cd album sind3ntosca yang berjudul aneh: Tiduran, Tertidur, + Bertelur ++ (2005). Mereka saling berteman. Album itu merupakan edisi home made, berisi 17 track. Tagnya juga lucu: Band ini masih dihuni 1 orang peot. Semua lagu dibuat computerize, kecuali gitar.

Beberapa hari lalu, aku sekeluarga lihat sind3ntosca jadi tamu di MTV (Global Tv), bernyanyi sebagai band, termasuk iringan akordeon yang dimainkan gadis berjilbab. Mereka nyanyi beberapa lagu, termasuk "Kepompong." Setelah itu videoclip Kepompong dirilis.

Menurutku, lirik Kepompong bagus. Demikian:

Kepompong
------------
Artis: sind3ntosca


Dulu kita sahabat
dengan begitu hangat
mengalahkan sinar mentari

Dulu kita sahabat
berteman bagai ulat
berharap jadi kupu-kupu

Kini kita berjalan berjauh-jauhan
kau jauhi diriku karena sesuatu
mungkin ku terlalu bertingkah kejauhan
namun itu karena ku sayang

Persahabatan bagai kepompong
mengubah ulat menjadi kupu-kupu
persahabatan bagai kepompong
hal yang tak mudah berubah jadi indah
Persahabatan bagai kepompong
maklumi teman hadapi perbedaan
persahabatan bagai kepompong
na na na na na..

Semua yang berlalu
biarkanlah berlalu
seperti hangatnya mentari

Siang berganti malam
sembunyikan sinarnya
hingga dia bersinar lagi



Gambar dari Internet


Beli pin Miles Davis di Omuniuum
--------------------------------

Jumat lalu (24/10/08) aku mampir ke Omu setelah nganterin naskah biografi ibu Irawati Durban-Ardjo di Gunung Putri, Ciumbuleit. Ketemu dengan Iit & Trie, terus lihat-lihat buku. Ada yang sebenarnya ingin aku beli, sebuah buku kepenulisan lengkap, termasuk dengan daftar pasarnya (yang tentu sia-sia karena itu pasar media Amerika Serikat.) Jadinya untuk titip dulu juga malas. Entar aja ah, kalau benar-benar nggak bisa nahan diri buat beli.

Lantas lihat-lihat lainnya, ada keranjang kecil berisi puluhan pin, dengan label: Agus Suwage untuk tobucil & klabs. Itu pin-pin cantik dari reproduksi karya potret dia, yang awalnya dari media cat minyak di atas kanvas, kebanyakan ikon musik, dari rangkaian karya The Times They Are Changing (ngambil dari judul lagu Bob Dylan.) Ada Peter Garbiel (dulu gambar lukisan itu muncul di Kompas), Sinead O'Connor, Bob Dylan, dan entah siap lagi. Aku sidik-sidik, ada yang aneh sendiri, seorang African-American, dengan tangan dibuat merah. Aku pikir tadinya dia siapalah, Mike Tyson? Malcolm X? (Tapi kok tanpa kaca mata khasnya itu...), Denzel Wanshington? Ternyata Miles Davis, musisi jazz terkemuka, pemain trumpet nan berjaya---salah satu favoritku juga. Akhirnya aku beli itu, Rp.10.000,00.

Kenapa aku nggak langsung mengenali wajah Miles Davis? Mungkin karena Agus Suwage mengambil gambar dia yang langka, dan dalam kondisi tidak sedang niup trumpet. Gambar itu ada di sleeve album Miles Davis & Milt Jackson Quintet/Sextet.

Rasanya itu pin pertama yang aku beli. Pin yang ada di rumah semua hadiah, suka dipakai Ilalang. Pin di zaman sekarang memang sudah sama dengan t-shirt; ia bagian dari identitas dan alat ungkap.

Sekarang pin itu kerap aku cantelin di tas "Kompas" bila aku pakai.[]

Gambar dari Internet

Monday, October 27, 2008




"Kunci kebahagiaan itu ada dalam pikiran," Kata Arvan Pradiansyah
-------------------------------------------------------------

Di buku terbarunya, Arvan Pradiansyah membicarakan prinsip meraih kebahagiaan.


JAKARTA - "Buku tentang cara meraih kesuksesan sudah banyak, tapi buku tentang mencapai kebahagiaan masih sedikit; padahal banyak orang yang sukses ternyata tidak bahagia," demikian kata Arvan Pradiansyah di awal talkshow The 7 Laws of Happiness yang diadakan di MP Book Point, Jumat, 24 Oktober 2008. Talkshow dipandu oleh Mutia Shahab dan acara tersebut akan ditayangkan Jak TV.

The 7 Laws of Happiness (Kaifa, 2008) sudah berada di rak-rak toko buku sejak awal Oktober. Pada 27 September 2008 lalu, buku tersebut pertama kali didiskusikan lewat teleconference di Islamic Center, Kompleks Graha Hijau 2 dan Masjid Villa Cendana. Sejak terbit, sejumlah orang telah mengomentari buku keempat Arvan tersebut, di antaranya ialah Hernowo, penulis Mengikat Makna yang terkemuka sebagai ahli kepenulisan dan editor senior. Hernowo menyatakan: "Buku terbaru Arvan ini memiliki ragam-bahasa-tulis yang indah-menenteramkan. Kita akan setuju dengan apa yang dikatakannya: Jadi, kunci kemenangan sebenarnya ada di dalam pikiran kita dan sangat bergantung pada pikiran yang kita pilih. Sebaliknya, jika memilih pikiran positif, kita akan senantiasa diliputi rasa bahagia."

Di Facebook, situs jaringan sosial, Sari Meutia menulis: Saya baru mulai membaca buku The 7 Laws of Happiness, dan saya mulai dari bab Gratefulness dan Patience karena saya rasa bersyukur dan sabar ini sesuatu yang mudah kita ucapkan, tapi sulit sekali dilaksanakan. Terima kasih atas pencerahan yang saya dapatkan dari buku bapak. Saya sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca karena urutan penulisannya, pemuatan kutipan yang sangat mencerahkan, dan fontnya yang menyenangkan untuk dibaca, bahkan untuk orang-orang berusia lanjut. Sementara itu Mirza Dewi Yanti berkomentar: Saya sudah baca buku The 7 Laws of Happiness. Saya beruntung membacanya karena isi di buku ini adalah rangkuman dari kepingan-kepingan temuan saya dari beberapa pendapat orang-orang yang saya hormati.

Arvan Pradiansyah dikenal sebagai fasilitator pengembangan SDM, pembicara publik, host talk show, dan kolumnis. Dia menggunakan latar belakang keahliannya di bidang SDM untuk menghasilkan kolom dan buku-buku inspirasional, dengan rentang subjek mulai dari kepemimpinan, manajeman, profesionalisme, sampai manajemen kehidupan. Tiga buku pertamanya terserap pasar dengan baik dan semua sudah cetak ulang, bahkan Cherish Every Moment (2007) kini bisa diakses melalui Amazon.com. Di kalangan pendengarnya, Arvan kerap dijuluki sebagai "Your personal inspirator."

Di talkshow tersebut Arvan menyatakan bahwa dia berniat menebarkan tujuh vitamin kehidupan yang bahagia ke dalam pikiran pembaca. "Kunci kebahagiaan ada dalam pikiran. Pikiran orang yang bahagia akan menghasilkan kebaikan." Dia menyarankan agar orang lebih banyak mengonsumsi "makanan positif" masuk dalam pikiran, karena studi membuktikan kebanyakan orang justru sakit psikis (jiwa) karena pikirannya terganggu. Orang yang berpikir positif cenderung mampu melakukan hal-hal yang terbaik dalam kehidupannya.

Pendapat ini sejalan dengan studi psikologi positif yang dikembangkan Martin E.P. Seligman, terutama dalam buku Authentic Happiness (2002). Pada akhir tahun itu pula Arvan menyatakan bahwa ide tentang The 7 Laws of Happiness sudah muncul. Dia mengembangkan konsep itu pada 2004; namun kesibukan yang begitu padat, termasuk kehilangan data naskah di hard disk, membuat buku ini baru selesai pada pertengahan 2008.

"Fondasi kebahagiaan itu sabar," tegas dia, sambil mengoreksi bahwa sabar di sini bukan mengelus dada, melainkan terus mencari jalan lain agar berhasil menyatukan pikiran, badan, dan jiwa dalam satu tindakan. Setelah sabar, ada enam lagi hukum kebahagiaan, yang puncaknya ialah surrender, yakni berserah diri (pasrah) kepada Tuhan.

Begitu talkshow selesai, Arvan dikerubungi para pendengar yang ingin lebih lanjut membicarakan pemikirannya. Sebagian pengunjung membeli The 7 Laws of Happiness dan meminta tanda tangannya. "Buku ini untuk kado saudara saya yang akan menikah," kata seorang perempuan yang sekaligus membeli dua kopi buku tersebut.[]


Oleh Anwar Holid

Copyright © 2008 BUKU INCARAN

Situs terkait:
http://www.ilm.co.id
http://www.mizan.com

Saturday, October 25, 2008



Pelajaran dari Peristiwa Kenabian

Muhammad, Rasul Zaman Kita
Judul asli: In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad
Penulis: Tariq Ramadan
Penerjemah: R. Cecep Lukman Yasin
Penerbit: Serambi, 2008
ISBN: 978-979-1275-77-4


TENTU pantas sekali merekomendasikan buku bertema keislaman kepada umat Muslim selama rangkaian bulan Ramadhan dan Syawal 1429 H ini. Pilihan saya jatuh pada Muhammad, Rasul Zaman Kita (Serambi, 2008) karya Tariq Ramadan. Biografi Nabi Muhammad ini ditulis dengan bagus dan segar, menggunakan pendekatan penulisan sejarah nabi yang agak lain dan unik. Buku ini jelas sangat direkomendasikan terutama untuk semua umat Muslim; namun mereka yang tertarik tentang jiwa besar, perjuangan, moralitas, toleransi agama, pantas juga membaca buku ini.

Tariq Said Ramadan---cucu Hassan Al-Bana, tokoh aktivis Islam terkemuka dari Mesir, pendiri organisasi Ihkwanul Muslimin---dengan pintar menarik berbagai pelajaran dari setiap peristiwa penting yang terjadi dalam fase kehidupan Muhammad. Ayah Tariq, Sayyid Ramadan, ialah putra Hassan Al-Bana yang terpaksa hidup di pengasingan Eropa akibat tekanan rezim Gamal Abdel Nasser. Lahir di Geneva, Swiss, pada 26 September 1962, Tariq Ramadan kini menjadi salah satu figur terkemuka Muslim Eropa. Dia bukan saja mengajar di berbagai universitas di Eropa dan kerap berceramah tentang masalah keislaman, melainkan juga aktif dalam berbagai gerakan Islam, termasuk diundang sebagai konsultan masalah keislaman oleh berbagai pemerintahan negara Eropa dan Persatuan Eropa (E.U.) Boleh jadi, gagasannya yang paling terkenal ialah memunculkan istilah "European Islam" (Islam Eropa.)

Karena latar belakangnya lahir dan tinggal di Eropa, dia berpendapat tak ada konflik antara menjadi seorang Muslim dan orang Eropa sekaligus. Seorang Muslim mesti menerima hukum-hukum negara yang ditinggalinya, kecuali untuk kondisi tertentu. Perbedaan budaya membuat seorang Muslim Eropa berbeda dengan Muslim Asia, misalnya. Oleh karena itu seorang Muslim Eropa mesti mempelajari lagi teks-teks fundamental Islam, terutama Al-Quran, dan menafsirkannya sesuai latar belakang sendiri---dalam kasus ini dipengaruhi oleh masyarakat Eropa. Pada bukunya yang khusus membahas masalah itu, To Be a European Muslim (1999), Tariq mencoba menawarkan solusi, yakni menjadi Muslim yang autentik dan pada saat bersamaan menjadi warga negara yang baik di negara-negara Barat.



SEBAGAIMANA banyak figur terkemuka agama lain, biografi Muhammad senantiasa muncul di setiap zaman, belum lagi biografi yang ditujukan untuk pembaca kanak-kanak. Bila sudah banyak, mengapa menulis yang lain lagi? demikian pertanyaan retoris muncul di book description.

Yang unik dari Muhammad, Rasul Zaman Kita ialah interpretasi penulisnya terhadap peristiwa sejarah dan upaya mengambil pelajaran dari setiap kejadian penting tersebut, lantas menariknya dalam perspektif zaman sekarang. Sepanjang perjalanan kenabian Muhammad merupakan rangkaian peristiwa dan suri teladan yang tetap bisa kita gunakan sebagai bimbingan perjalanan dalam mengisi kehidupan di dunia. Tariq secara konsisten menghindari klise penulisan biografi Muhammad, misalnya bahwa segala peristiwa yang terjadi dalam dirinya merupakan rentetan keajaiban semata. Malah sebaliknya, dengan cara ungkap yang tegas, dia menyatakan bahwa kehidupan Muhammad merupakan rangkaian kerja keras, kontemplasi, pengorbanan, dan pengambilan keputusan yang sering penuh risiko.

Selain pelajaran-pelajaran itu, Tariq dengan amat kuat memperlihatkan bahwa Muhammad lebih merupakan tokoh reformasi sosial yang berusaha mengubah kondisi masyarakat menjadi lebih baik, alih-alih hanya sebagai tokoh agama Islam dalam pengertian sempit. Demi menghadapi kesewenang-wenangan yang ditunjukkan oleh pemerintahan jahiliyah Mekkah, beliau bekerja sama dengan semua pihak yang mau melawan ketidakadilan dan berbagai pelanggaran HAM. Muhammad merupakan pengubah dunia sejati. Menggunakan prinsip-prinsip kebersamaan dan keadilan sosial, beliau terbuka bekerja sama dengan siapa pun, terlebih-lebih kepada orang beriman dari ranting agama Abrahamik, yaitu Yahudi dan Kristen. Dalam sejumlah ekspedisi militer, bahkan ada orang musyrik yang dipercaya nabi sebagai informan.

Buku ini makin menguatkan nilai positif dan penghargaan yang muncul dari para penulis biografi Muhammad. Studi Karen Armstrong dalam buku terbarunya, Muhammad: Prophet For Our Time, secara kritis membuktikan bahwa Muhammad seorang yang pro gerakan moral, etika, dan keadilan sosial, bukan seorang penyebar agama dalam pengertian eksklusif. Muhammad lebih banyak menegosiasikan nilai yang bisa disepakati bersama warga dalam otoritas kekuasaannya, sementara keimanan merupakan soal pilihan dan penerimaan, bukan opsi yang bisa dinegosiasikan.

Di zaman yang telah begitu jauh berjarak dengan peristiwa kenabian, biografi Muhammad selalu menyegarkan dan mendekatkan kembali umat Islam dengan figur utama dalam sistem keyakinannya. Di sisi lain, ada pengakuan dan penegasan bahwa Muhammad memang hadir di dunia ini untuk semua umat manusia. Boleh jadi ini merupakan isyarat agar kaum Muslim menyilakan kaum non-Muslim menelaah kehidupan Muhammad dengan berbagai cara studi dan kepentingannya. Muhammad merupakan sosok dan sejarah yang terbuka; beliau boleh ditilik lewat berbagai cara, sebagaimana umat Muslim senantiasa memuliakan dan menjaga kesuciannya.

Tariq Ramadan memperlihatkan etos tersebut; di satu sisi dia menggali berbagai sumber klasik, termasuk hadis dan Al-Quran, lantas menggunakan khazanah tersebut untuk perenungan dan komentar dari sudut spiritual, filosofis, sosial, legal, politis, dan kultural yang terinspirasi dari peristiwa faktual yang dialami nabi, umat, dan masyarakat sezamannya.[]

Anwar Holid, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com

KONTAK: wartax@yahoo.com | (022) 2037348 | Panorama II No. 26 B, Bandung 40141

Awalnya kolom ini dipublikasi REPUBLIKA, Minggu, 19 Oktober 2008, rubrik Selisik.

Situs terkait:
http://www.serambi.co.id/modules.php?name=Katalog&op=tampilbuku&bid=298
http://www.republika.co.id

Friday, October 24, 2008




MENEMUKAN CICERO BARU
---Anwar Holid

Sebagian orang tak perlu menunggu remaja atau dewasa untuk menjadi pemimpin negara dan bangsa. Karena garis kekuasaan dan silsilah, sebagian orang bisa menjadi pemimpin sejak kanak-kanak, meskipun kepemimpinan itu hanya merupakan pajangan. Dia boleh tak mengeluarkan keputusan untuk warga negara maupun kelangsungan pemerintahan. Sebagai simbol negeri, pemimpin seperti itu cukup duduk manis dan rajin menyelenggarakan upacara hari raya nasional.

Alexander yang Agung merupakan contoh pemimpin muda yang memungkinkan bisa bertindak maupun melakukan ekspedisi hebat dan memperluas kekuasaan. Sebagai putra mahkota Raja Macedonia, Alexander malas sekadar jadi pengganti Philip II. Dia berambisi melakukan sesuatu yang lebih besar dan revolusioner. Sebagai pemimpin muda, pencapaiannya spektakuler, meski kesuksesan itu agak cacat karena kurang disertai administrasi yang rapi dan loyalitas wilayah taklukan, termasuk dipenuhi permusuhan, konspirasi, dan lumuran darah.

Ketika kekuasaan mampat dan korup, hanya berpusar dalam kelompok tertentu atau tak berdampak bagi mayoritas warga negara, kepemimpinan harus direbut. Bila yang berebut kepemimpinan ternyata cukup banyak, persaingannya ialah bagaimana cara meyakinkan warga negara agar percaya dan memilihnya. Di satu titik, politik merupakan keterwakilan. Kalau orang merasa terwakili oleh seorang calon pemimpin, tentu dia akan memilih calon itu. Kalau tidak, dia akan diabaikan orang, dan orang memilih melanjutkan hidup sendiri, yang boleh jadi apolitis.

Sejarah membuktikan bahwa kepemimpinan merupakan perjalanan panjang dan konsisten. Sebagian pemimpin harus magang pada senior. Dalam kasus yang sulit---seperti terjadi pada Syaikh Yusuf, Gandhi, dan Tan Malaka---seorang pemimpin harus berpindah-pindah dan di setiap persinggahan itu dia tetap mampu menciptakan guncangan maupun bertentangan dengan otoritas setempat.

"Demokrasi itu mirip pengalaman hidup---ia selalu berubah, jenisnya begitu beragam. Kadang-kadang bergolak, dan malah lebih teruji bila mendapat kesulitan," demikian Presiden AS Jimmy Carter pernah berkata.

Pemimpin Muda atau Perubahan?

Fenomena anak muda ingin menjadi calon pemimpin bangsa pada dasarnya merupakan gejala alamiah. Bahkan ada kala pemuda begitu ambisius sampai harus menjadi penguasa lewat kudeta.

Dalam memandang kekuasaan dan sistem sosial, generasi muda memang senantiasa ambisius; sebaliknya, generasi tua senantiasa meragukan kemampuan mereka. Selalu ada pertentangan tentang cara membawa bangsa maupun negara di antara keduanya. Yang muda merasa generasi tua lamban, sulit berubah, pro status quo; sementara yang tua menganggap generasi muda kurang pengalaman, gegabah, bahkan kurang bijak. Di setiap tampuk kepemimpinan, persaingan antara golongan tua dengan para calon penggantinya kerap menimbulkan gesekan yang kadang-kadang mengerikan.

Saat kita menyaksikan iklan politik bahwa beberapa tokoh muda berniat menjadi orang nomor satu Indonesia, pertanyaan pertama yang mungkin muncul ialah: Apa motif mereka ingin menjadi presiden? Semua orang berpendapat bahwa untuk menjadi pemimpin tingkat nasional, orang butuh ujian untuk meyakinkan sampai ke sana. Track record-nya harus jelas.

Farid Gaban, seorang jurnalis, ingin menguji para calon presiden itu dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana namun pelik, seperti: Apa saja jenis ikan yang ada di perairan Indonesia? Berapa ongkos produksi rata-rata nelayan Indonesia?; Apakah Anda akan menutup jalan di Jakarta untuk memudahkan rombongan Anda lewat?

Saya sendiri ingin mengajukan pertanyaan sangsi: Benarkah setiap pemuda dapat diharapkan menjadi pemimpin bangsa jika sudah tiba masanya? Bagaimana sikap seseorang yang layak jadi pemimpin? Bekal apa yang sebaiknya mereka miliki? Apa syarat mutlak bahwa kepemimpinan seseorang pantas dipatuhi?

Publik perlu yakin bahwa mereka memang pantas bersaing. Publik pantas diberi tahu apa yang pernah mereka perbuat untuk kepentingan warga negara. Iklan politik memperlihatkan bahwa kepemimpinan merupakan sejenis penawaran kompetensi personal, bukan pencapaian yang muncul dari komitmen dan pengabdian panjang terhadap warga negara. Jelas sulit meyakinkan mayoritas warga bahwa seorang kandidat pantas dipilih ketika rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, dia malah mendukung rezim menaikkan harga.

Ketika individu makin mandiri dan gerakan masyarakat sipil menguat, ketergantungan warga negara pada politik boleh dibilang melemah dan hanya kuat di saat-saat tertentu saja. Bahkan kalau mau orang bisa melanjutkan kehidupan nyaris tanpa politik.

Belajar dari Cicero dan Barack Obama



Dalam Imperium (GPU, 2008) karya Robert Harris, politikus bisa belajar dari Cicero (106 SM - 43 SM), orator, pengacara, dan negarawan Roma. Sejak muda dia berambisi bahwa suatu saat nanti harus menjadi pemimpin yang bisa menentukan arah politik demi kebaikan bersama. Berasal dari kalangan kelas menengah makmur namun minus patron pengaruh dan politik, strategi yang dia jalankan untuk meraih posisi puncak merupakan gabungan antara pengabdian pada kepentingan warga negara, kejelian membaca situasi politik, dan keberanian menghadapi risiko paling berbahaya. Dia berlatih habis-habisan agar jadi pembicara publik, jujur menghadapi kepentingan politik, merangkul sebanyak mungkin kawan, dan dengan cermat menghitung pihak yang pro maupun kontra.

Untuk membuktikan bahwa dirinya sungguh-sungguh, dia memperjuangkan nasib orang-orang yang dijahati dan diperlakukan semena-mena oleh gubernur kejam maupun aparat korup. Tawar-menawar politiknya jelas dan posisi kepentingannya terang. Cicero memperjuangkan nasib mereka; sementara orang dan suku yang dia bela memberi suara dan dana. Dalam politik, yang paling utama ialah kepentingan dan integritas. Kejujuran memang penting; namun selama ia gagal mengantarkan pada puncak kekuasaan, kejujuran hanya membuat politikus membosankan.

Dengan prinsipnya, Cicero membela kepentingan rakyat jelata di parlemen, mengamandemen undang-undang yang dinilai timpang, dan terperinci mencatat dukungan maupun kekuatan lawan. Pilihan itu membuat dia dibenci kaum aristokrat yang berpengaruh, kaya raya, dan memegang kekuasaan di banyak pos, nyaris menjadikan dirinya pahlawan kesiangan. Tapi konsistensi keberhasilan pembelaan yang dia tempuh lama-lama menguatkan reputasi dan memopulerkan namanya.

Barack Obama pun begitu. Meski sadar namanya menasional sejak di Konvensi Nasional Partai Demokrat 2004, dia tak buru-buru jumawa menyatakan ingin ikut mencalonkan diri jadi presiden AS. Tarik ulur ke arah sana dimainkan begitu rupa, disiapkan matang, diupayakan oleh tim sukses yang kompak, dan menempuh strategi lain dari kampanye-kampanye yang pernah ditempuh para kandidat sebelumnya. Pada saatnya, pencapaian tim Obama mencengangkan: mereka berhasil mengumpulkan dana sangat besar dan meyakinkan pendukung amat banyak dari semua golongan.

Di tengah persiapan yang begitu meyakinkan pun, sebagian pengamat politik sudah memperingatkan bahwa Obama masih dianggap terlalu hijau untuk maju menjadi presiden; baik karena kurang pengalaman dalam pemerintahan dan patron politik. Mereka menyarankan agar dia maju lagi pada pemilu periode 2012, ketika usianya matang dan pengalaman politiknya bertambah.

Cicero dan Barack Obama memperlihatkan fakta bahwa tekad dan strategi saja masih kurang bisa menjamin seorang politikus memenangi persaingan menjadi pemimpin. Politikus juga harus dengan jelas punya jumlah pendukung yang bisa diandalkan, tim sukses yang solid, dan biaya kampanye yang cukup.

Saya sedang menyaksikan pergeseran bahwa generasi yang bakal memimpin bangsa dan negara ini makin mendekat dari kawan sepantar. Namun, patut kita hati-hati: akankah mereka menjadi pemimpin sejati? Caranya ialah menentukan makna kepemimpinan itu. Jika pemuda mampu merdeka dari patron dan menjadi diri sendiri, pada saatnya mereka akan menjadi tonggak bangsa dan negara. Jangan sampai para pemuda itu malah jadi penguasa korup ketika tua.[]

---ANWAR HOLID, penulis Barack Hussein Obama (Mizania, 2007).

Esai ini awalnya dimuat di Matabaca, Oktober 2008


Betapa sulit saya memahami puisi Nirwan Dewanto
Oleh: Anwar Holid


Jantung Lebah Ratu (Himpunan Puisi)
Penulis: Nirwan Dewanto
Penerbit: GPU, 2008
Tebal: 94 hal.
ISBN: 978-979-22-3666-8



Seorang kawan menghadiahi Jantung Lebah Ratu, buku puisi karya Nirwan Dewanto (ND). Tentu saya senang. Dulu, persis saat buku itu terbit kira-kira pada bulan Mei, saya sangat antusias kapan kira-kira bisa baca, bahkan kalau bisa memilikinya. Rumah Buku, perpustakaan favorit saya, sebenarnya segera mengoleksi himpunan puisi tersebut, tapi entah kenapa saya tak sempat juga meminjamnya. Ternyata buku itu sedang dipinjam anggota lain ketika saya ingin membacanya. Seorang teman sealma mater ND yang saya tahu langsung beli buku itu saya tanya, seperti apa sih puisi-puisi dia? Dia menjawab samar, "Yah, begitulah. Khas Nirwan, agak-agak susah dipahami dan berbau filsafat." Sementara waktu kawan yang menghadiahi buku itu saya tanya kenapa memberikan buku itu, dia menjawab tanpa pretensi, "Hm... susah ya. Mungkin puisinya bukan selera saya. Kurang nikmat bacanya."

Nirwan Dewanto merupakan penulis dengan reputasi terkemuka di Indonesia. Dia menulis esai budaya dengan beragam subjek, termasuk kritik buku, menjadi salah satu eksponen posmodern paling awal di Indonesia, ikut mendirikan jurnal Kalam (yang merayakan posmodern secara besar-besaran), bergabung dengan Teater Utan Kayu (TUK), dan sudah menulis puisi sejak lama. Boleh dibantah, peristiwa yang membuat namanya melambung ialah ketika dia jadi salah satu pembicara kunci di Kongres Kebudayaan 1991; dia membawakan makalah berjudul Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991. Esai ini pula yang jadi andalan pada buku pertamanya, Senjakala Kebudayaan (Bentang, 1996)---sebuah buku yang kini sudah turun dari rak toko umum dan hanya bisa ditemui kembali di perpustakaan seperti Rumah Buku.

Namun harus disebut pula reputasi dia kadang-kadang membuat orang lain jengkel atau penasaran. Sebagai kritikus sastra, pilihannya kadang-kadang digugat, yang paling terkenal boleh jadi "Siapa Takut, Nirwan Dewanto?" oleh Richard Oh dan "Yth Tuan Nirwan" oleh Damhuri Muhammad---isinya kira-kira debat seputar kritik dan standardisasi penilaian karya sastra. Saya sendiri menganggap reputasi ND di Indonesia mirip dengan Michiko Kakutani di AS---kritikus buku The New York Times. Michiko dijuluki "kritikus yang paling ditakuti sedunia." Keberanian Michiko memuji atau mengecam buku membuat posisinya sering ekstrem. Sebagian penulis jengkel sekali pada Kakutani. Saya juga tahu satu-dua penyair jengkel sekali pada ND dan bahkan ada yang menggunakannya sebagai bahan olok-olok dalam puisi ciptaan mereka.

Saya lebih bisa mencerap beberapa esai ND daripada puisinya. Meski begitu, saya selalu kelelahan bila baca tulisan dia di Kalam, misalnya, meski kecenderungan itu hilang bila saya baca kolom atau resensinya. Saya merasa standar dia terhadap sastra atau buku tinggi sekali, dan itu mungkin membuat posisinya jadi terasa adi luhung. Lagi pula, tampaknya, puisinya pun lebih jarang dipublikasi media massa daripada esainya; dan bila kebetulan bertemu puisinya, saya lebih banyak bingung daripada bisa asyik menikmatinya. Bagi saya, dalam selintas baca, puisinya sulit dipahami dan kurang nikmat dibaca. Ini lain sekali bila saya bertemu dengan puisi Joko Pinurbo, misalnya. Kadang-kadang, sebagian puisi Joko Pinurbo mengambang dan sulit dipahami karena makna dan kosakatanya ambigu; tapi saya masih bisa merasakan samar-samar nuansa keindahan di sana. Dalam puisi ND yang sukar, saya bahkan langsung merasa gagal meraba sebenarnya apa yang dia ungkapkan.

Di dalam Puisi dan Beberapa Masalahnya (1993), Saini K.M. sudah memuji bakat dan kemampuan Nirwan Dewanto. Waktu kuliah di ITB, Nirwan Dewanto merupakan salah satu penyair muda yang puisinya mendapat perhatian Saini K.M. di Pertemuan Kecil Pikiran Rakyat. Kata Saini: "Nirwan Dewanto, dalam bentuk kesamar-samaran, memperlihatkan kemungkinan yang dapat diharapkan di masa depan. Dia tidak saja peka terhadap kehidupan batinnya, melainkan juga terhadap dunia (lahiriah) di luar dirinya. Sajaknya menyajikan renungan yang cenderung falsafi." Puisi Nirwan Dewanto yang dimaksud Saini berjudul Agustus.

-*-

Jadi, kegirangan saya menerima buku puisi yang didesain dengan elok dan mencolok ini segera berubah jadi semacam bencana dan kejengkelan karena setelah membolak-balik ke sana-kemari, saya tak jua menemukan puisi yang enak atau bisa dipahami. Saya nyaris putus asa dan merutuk, karena tak kunjung ngerti, maksud dia menulis puisi itu apa? Hampir tak ada nikmat-nikmatnya. Jauh lebih nikmat bila saya baca puisi amatir kawan-kawan lama. Memang satu-dua puisinya ada yang cukup saya pahami atau cukup bisa saya rasakan keindahannya; tapi secara keseluruhan, bukunya merupakan himpunan puisi yang sukar.

Begitu baca puisi pembuka, Perenang Buta, saya seperti ditubruk oleh moncong pesawat terbang. Blas, buta sama sekali apa maksudnya. Betapa sulit saya mengira-ngira dia mau menulis tentang subjek apa. Seolah-olah ada batu karang yang begitu besar dan saya harus bisa mengangkatnya agar mampu beranjak dari sana dan segala sesuatu mengalir. Saya memaksakan lanjut ke puisi kedua, sama saja nasibnya. Rasanya ada yang mampat, "nggak bunyi." Seterusnya, sampai akhirnya saya kacau, mencari dari halaman sana-sini, berusaha menemukan puisi yang kira-kira bisa pahami atau nikmati.

Betapa susah menemukan frasa pada puisi-puisi yang bisa dengan mudah saya pahami sebagai sesama pengguna bahasa Indonesia. ND jauh lebih semangat menggunakan kokakata yang terasa asing, jarang digunakan dalam ungkapan sehari-hari, misalnya campuhan, zuhrah, bubu---bahkan tak terdaftar dalam Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko. Tiga frasa yang membagi himpunan puisi ini pun asing sekali, yaitu Biru Kidal, Kuning Silam, dan Merah Suam; bahkan makna tersirat ketiganya pun sulit sekali diraba apa maksudnya.

ND tampak sengaja cenderung memilih cara ungkap yang sulit dipahami dan berbelit-belit, misal:
Ia seperti hendak kembali
ke arah teluk, di mana putih layar
pastilah iri pada bola matanya.

Atau:
Lihat, betapa durinya melimpah ke luar mimpi, seperti hujan pagi.

Dengan cara seperti itu, mau bicara apa ND dengan puisi-puisinya?




ND menempuh cara yang sama sekali tidak populer dalam menulis puisi. Dia sengaja menggunakan bahasa adi luhung dan menyembunyikan makna serapat mungkin, malah seolah-olah ingin menaruh setinggi mungkin dari jangkauan penafsiran para pembaca. Ada kesan dia ingin menyimpan puisi-puisi itu sebagai rahasia yang sulit dipecahkan maknanya baik oleh para pembaca awam maupun kritikus ahli. Dia sengaja menyulitkan pembaca. Hasan Aspahani, seorang penyair produktif, berusaha memahami puisi-puisi ND dalam rangkaian esai cukup panjang: Tiga Belas Cara Saya Membaca Sajak Nirwan. Hasilnya, dia bahkan berhenti pada cara kesepuluh. Paragraf terakhir di esai kesepuluhnya, Hasan menulis: "Bagi pembaca yang suka kerumitan mungkin mengasyikkanlah menebak-nebak apa maunya sajak itu. Bagi saya, tidak. Ini sajak melelahkan. Dan saya kesal karena perburuan saya sepertinya sia-sia. Tapi, bukankah Nirwan sudah mewanti-wanti agar pembaca jangan berburu lambang dalam sajaknya?"

Via email, Saut Situmorang, penyair asal Yogyakarta yang baru-baru ini menerbitkan buku puisi Otobiografi, mengomentari buku Nirwan begini: "Dia memilih mana yang kira-kira akan membuat pembacanya tahu kalau dia baru saja habis baca sajak-sajak orang lain."

Karena saya langsung kesulitan membaca buku puisi itu, seorang teman yang sama-sama pernah jadi ketua Grup Apresiasi Sastra (GAS) ITB seperti ND, menanggapi: "Komentar kamu mirip orang yang ngomel pada lukisan Picasso tentang wanita cantik. Kotak-kotak nggak karuan kok dibilang wanita cantik?! Enakan melihat karya Basuki Abdullah... begitu ya. Saya rasa Nirwan mencoba menggunakan metafora baru, dengan latar belakang bacaannya tentang negeri Amerika Latin, sejarah bangsa-bangsa, dan seterusnya. Mungkin terasa asing buat imajinasi kita. Tapi ya nikmati saja kalau ada metaforanya yang enak atau kata-kata yang unik."

Ajakan yang persuasif sebenarnya. Dalam sajak, kita berharap mendapat inti makna yang lebih sensitif dibandingkan membaca prosa atau berita. Boleh jadi karena ada proses internalisasi di sana. Para penyair memiliki ruang yang lebih sempit untuk menaruh kata-katanya demi membangun makna. Dibandingkan esais sekalipun, pilihannya kurang leluasa. Dia harus lebih hati-hati memutuskan kata yang dipilih. Tapi bila hasilnya menyulitkan sebagian pembaca, apa yang sebaiknya dilakukan?

Mari kita mulai dari orang yang mula-mula mengomentari buku puisi Nirwan. Melanie Budianta, seorang ilmuwan sastra, berpendapat bahwa puisi Nirwan merupakan sehamparan momen estetika. Menurut Melanie, buku Nirwan ini berusaha memperluas potensi kata, sensasi imajinasi dan nuansa makna.

Berbeda dengan penyair yang kerap mengejar imajinasi batin, menerangkan idealisme, atau membangun suasana, Nirwan banyak bicara tentang binatang, tetumbuhan, juga benda-benda mati. Pilihan subjek ini tampak ajaib sekaligus menantang. Di dunia binatang, dia bicara tentang kunang-kunang, ubur-ubur, cumi-cumi, harimau, semut, ular, lembu, kucing persia, anjing, burung hantu, keledai; di dunia tetumbuhan dia menulis tentang apel, semangka, putri malu, nenas, makanan, kopi, mawah, garam; tentang benda mati dia bicara tentang peniti, kain, kancing, akuarium, gerabah, patung, bubu, biola, selendang, bayonet, lonceng. Subjek itu sangat aneh bila dibandingkan penyair yang gemar bicara cinta atau romantisme. Tapi bukan pula Nirwan anti membicarakan perasaannya, sebab dia menyisakan ruang untuk menulis tentang puisinya (Semu) juga tentang musim gugur dalam dua belas rangkaian haiku yang imajinatif (Dua Belas Kilas Musim Gugur.)

Pemikir Islam Ulul Abshar-Abdalla, menyatakan bahwa Nirwan berusaha membiarkan benda-benda dan peristiwa mengalir lewat dirinya, menjadi sebentang sajak yang mirip cangkang telur putih dan kabur. Dengan begitu, boleh jadi sajak Nirwan sebenarnya rapuh karena sudah berusaha menetaskan kata sebagai makna.

Baik setelah membaca urut dan membolak-balik, dari ke 46 puisi itu saya hanya menemukan tiga sajak yang terasa paling mudah untuk dimasuki, yaitu Kain Sigli, ode tentang keindahan kain dari sebuah daerah di Aceh; Kopi, ode tentang kenikmatan minum kopi; dan Dua Belas Kilas Musim Gugur, ode ala haiku tentang musim gugur. Sisanya saya merasakan persis yang dikhawatirkan Enin Surpiyanto terhadap puisi bebas, yakni saya menghadapi kabut kata dan kalimat yang sulit saya cerna untuk sekadar beroleh kenikmatan kata dan bahasa.

-*-

Setelah berbagi kesulitan membaca puisi Nirwan Dewanto, saya menaruh buku itu di antara himpitan buku lain dalam rak, entah kapan lagi saya akan membukanya. Jelas saya gentar, lantas teringat komentar Farid Gaban tentang tulisan-tulisan sulit karya sejumlah cendekiawan Indonesia. Kata dia: Tulisan itu mengandung ide yang bagus dan jarang dibicarakan, namun ide yang bagus itu ditulis dengan bahasa yang sulit dipahami orang awam. Buku Nirwan Dewanto boleh jadi salah satu buku paling sulit yang pernah saya baca. Tapi untunglah, seorang kawan mengirim pesan, "Tax, apa boleh pinjam buku Nirwan?" Wah... tak sabar saya ingin mengirim buku itu kepadanya.[]

ANWAR HOLID, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com

Situs terkait:
http://www.gramedia.com

Friday, October 17, 2008



Ketika Cinta Menaklukkan Segalanya
---Anwar Holid

Ayat Ayat Cinta
Penulis: Habiburrahman El-Shirazy
Penerbit: Republika & Pesantren Basmala Indonesia, 2003
Halaman : 418
ISBN: 979-3604-02-6


Banyak kisah ajaib di dunia ini, salah satunya ada di dalam Ayat Ayat Cinta. Ia berupa melodrama; kisahnya sensasional, didukung karakter-karakter stereotipe, dengan pesan moral begitu gamblang. Puncak dari semua pengharapan itu ialah adanya rancangan dramatik untuk memenangkan nilai Islam di atas semua moralitas dan etika. Fahri, protagonis novel ini, tampaknya merupakan perwujudan idealisasi sosok Yusuf kalau bukan Sulaiman, dua orang nabi-raja yang diceritakan bijak bestari, mempesona banyak perempuan, dan mementingkan moralitas agama di atas semua segala. Kekurangan Fahri hanya dia merasa dirinya miskin, meski dia bekerja sebagai penerjemah, penulis, dan dai. Keunggulan moral itulah yang dieksploitasi untuk membuat empat perempuan seperti menemukan makhluk langka, dan dengan cara masing-masing saling berusaha mendapat limpahan kasih sayangnya.

Boleh jadi Fahri memang makhluk langka bila dibandingkan dekadensi di abad ke-21 ini. Dia mahasiswa brilian yang tengah menyelesaikan tesis di Universitas Al-Azhar, dihormati di antara sesama mahasiswa asal Indonesia di Cairo, hidup sederhana, pekerja keras, rela membantu siapa saja, taat beribadah, berusaha merancang hidup sebaik-baiknya, tak pernah mencederai komitmen sebagai Muslim. Dengan moral seperti itu, siapatah perempuan yang tak bakal terpesona kecuali dia tak kenal dirinya? Satu-satunya kekurangan yang ditunjukkan dalam diri Fahri ialah ada sisa rendah diri sebagai lelaki kere, karena ia anak penjual tape.

Hidup Fahri yang semula lurus mendadak jungkir balik ketika dia sadar dirinya tengah memikirkan pasangan. Dari sana novel bergerak cepat. Syaikhnya menawari gadis untuk dipinang lewat tradisi taaruf---model perkenalan pria dan wanita yang dianut sebagian golongan Islam. Ternyata dia perempuan yang dia kenal di trem. Setelah mengikat janji dengan keluarga perempuan itu, beberapa hari kemudian seniornya melakukan hal serupa atas nama seorang mahasiswi asal Indonesia. Tentu saja dia kelabakan karena harus mengecewakan wanita yang sebenarnya patut juga dinikahi. Hanya saja kesempatan tak tersedia. Baru sebentar menikah disertai peristiwa penuh madu dan ketakjuban, perempuan ketiga, tetangga yang persis tinggal di atas kamar flatnya kala bujang, mendadak meriang karena memendam cinta padanya; sementara seorang gadis yang dahulu pernah dia tolong memfitnah karena cintanya tak terbalas.

Di situlah melodrama novel ini betul-betul memanjakan imajinasi pembaca dengan cara memenangkan cinta dan moralitas yang bisa menghadang segala rintangan. Ketika Fahri di penjara dengan ancaman hukuman gantung akibat tuduhan memperkosa gadis Mesir, dia malah satu sel dengan para pejuang Islam yang kritis terhadap pemerintah Mesir. Klop sudah. Masuk penjara justru merupakan jalan untuk menguatkan mental. Di sana dia bertemu para mentor yang mengajarinya tabah berada di jalan dakwah. Ketegaran seperti Fahri inilah yang diidam-idamkan semua gadis Muslim pada pemuda yang bisa mendampingi hidupnya. Sementara para pemuda berharap-harap bagaimana cara menggaet salah satu tipe dari perempuan yang bisa menggaet Fahri.

Boleh jadi Fahri mengambil model Yusuf dalam kisah di Al-Quran. Ratu Zulaikha yang tersinggung karena Yusuf menolak diajak bercinta tega memfitnah dia memperkosa dirinya, akibatnya Yusuf di penjara. Ketampanan Yusuf sanggup membuat wanita yang memandangi mati rasa meski jemarinya teriris pisau, saking terpesona oleh wajahnya. Penjara bukanlah satu-satunya malapetaka yang pernah dia alami. Dulu, ketika remaja dia diperdaya saudara-saudaranya, dimasukkan dalam sumur, dan akhirnya dijual sebagai budak belian. Berkat kebersihan hati dan keyakinan pada Tuhan, Yusuf tetap tabah dan optimistik, menunggu kapan bisa memunculkan kualitas terbaik dirinya, sampai akhirnya kesempatan datang dan dia manfaatkan sebaik mungkin. Puncaknya ialah ketika dia berjaya mengatasi segala rintangan dan raja mengangkatnya sebagai menteri dan bisa berkumpul lagi dengan saudara-saudaranya. Moral dari sana ialah kadang-kadang orang harus menanggung sesuatu yang bukan tanggung jawabnya. Bila ia tabah, ujung hidupnya bakal bahagia. Dalam tradisi Islam, orangtua kerap mendoakan agar anak laki-laki kelak tampan dan berakhlak seperti Yusuf, kaya raya seperti Sulaiman, dan mulia seperti Muhammad.

Untuk meninggikan kualitas Fahri, cerita dibuat makin superlatif. Seorang wartawati AS yang pernah mewawancarai Fahri soal etika Islam terhadap wanita akhirnya memutuskan bersyahadat, begitu juga dengan gadis Kristen Koptik yang di ujung hidupnya jadi istri kedua. Dia memutuskan masuk Islam setelah mimpi tertutup jalan masuk ke surga bagi dirinya.

DALAM diri Fahri pembaca Muslim bisa menemukan seperti apa kualitas pria Muslim, seseorang yang secara simpel disebut sebagai insan kamil (manusia sempurna.) Perilakunya terjaga, nyaris tanpa cela, memperlakukan kekasih amat mesra, siap menanggung cobaan berat dengan tetap berhati dingin. Tingkat kemuliaan maupun kesantunannya barangkali hanya bisa disaingi laki-laki terhormat yang ada di legenda-legenda agama. Jangan kata mendekati zina, bersalaman dengan wanita non
muhrim (haram dinikahi) pun dia menolak.

Karena kesempurnaan karakter Fahri itu sebagian pembaca menganggap sosok dia seperti mengada-ada. Ketika masih lajang, di awal-awal halaman Fahri tangkas mematahkan prasangka negatif Barat terhadap Islam perihal masalah perempuan, ketika menikah dia menaburkan ayat-ayat tentang apa yang mesti dilakukan suami pada istri, ketika cinta mereka dirundung masalah, suami-istri ini dia berhasil menguatkan keyakinan bahwa cinta karena Allah (Tuhan) pastilah mampu mengalahkan segala persoalan. Di dalam dirinya terwujud sebuah cinta dalam bingkai Islam, yaitu cinta kepada Allah dan atas nama Allah.

Itulah guna melodrama. Ia menyediakan ruang lega untuk mengetengahkan kisah yang nyaris fantastik, terjadi di negeri nan jauh di rantau, beserta kekhasan penduduk, budaya, dan keistimewaan tanah airnya. Tentu fantastik ada cerita seseorang bisa menulis manuskrip sebanyak 575 halaman dalam 14 hari. Dengan penuturan sederhana yang lancar, ditunjang drama sensasional, diyakinkan dengan tebaran kisah dari Al-Quran, kitab kajian, dan khazanah Islam yang luas, menjelmalah Ayat Ayat Cinta ini sebagai fiksi amat fenomenal dalam industri penerbitan Indonesia. Ahmadun Yosi Herfanda, penyair yang jadi redaksi sastra & budaya Republika, kepada Iin Yumiyanti dari Detik.com menguatkan, "Ini puncak fiksi Islami yang memberikan pencerahan." Novel ini awalnya dimuat sebagai cerita bersambung di harian tersebut; Ahmadun merupakan salah seorang yang paling awal membaca manuskrip tersebut.

Ini memang novel tentang idealisasi cinta dari sudut pandang Islam. Hubungan Fahri dengan keempat perempuan bisa mengetengahkan berbagai bentuk cinta dengan sifat unik masing-masing. Misal hubungan dengan Nurul, sesama mahasiswa asal Indonesia, merupakan bentuk cinta platonik. Nurul tetap mendamba Fahri, meski dia telah bersuami dan susah payah menghilangkan bayang-bayang Fahri dalam kepalanya. Walhasil mereka tetap berteman, dan beranggapan itu yang terbaik buat mereka. Yang paling heroik tentu hubungan dengan Aisha, perempuan Jerman keturunan Turki yang rela dimadu agar Fahri bisa menyelamatkan gadis dari ancaman kematian.

SULIT menerangkan dengan pasti kenapa sebuah buku bisa menjadi bestseller. Rasanya kurang adil bila dibilang buku jadi bestseller semata-mata karena beruntung dan kebetulan. Seolah-olah itu menafikan bahwa massa bisa mendadak begitu saja menyukai sebuah produk. Komentar paling mujarab biasanya pemakluman bahwa itu merupakan berkah buat penulisnya. Dalam budaya pop ada istilah hype, yaitu untuk menerangkan fenomena yang sedang mendapat publikasi luar biasa dan digemari siapa saja, sampai-sampai semua orang takut ketinggalan "kereta" menikmati hal tersebut.

Tanyalah kepada para pembaca fanatik buku itu, kita bisa mendapat jawaban amat beragam kenapa sebuah buku bisa mempesona ratusan ribu pembaca. Pembaca cenderung menyarankan buku yang mereka sukai pada orang-orang terdekat, meski ada saja sebagian golongan yang terus-menerus resisten karena kurang nyaman terhadap sesuatu yang massal. Wiku Baskoro, seorang pegiat perbukuan Bandung, berpendapat normatif tentang fenomena itu, "Tema agama akan selalu laku di Indonesia, apalagi diramu dengan kisah cinta."

Apa pun komentar orang, jelas sulit "menghentikan" sebuah bestseller, karena ia memang telah membuktikan sesuatu dengan amat nyata, yaitu memenangi selera massa. Kritik paling kuat dan kena sekalipun biasanya gagal membuat pembaca memalingkan muka dari buku yang disukainya. Meski sebagian orang tak terima, kemungkinan besar pembacanya malah bertambah, apalagi bila popularitasnya sedang di puncak. Pembaca juga bahkan bisa santai mengabaikan kesalahan elementer dalam novel itu, lepas ada kesan bahwa Fahri seorang poliglot (menguasai banyak bahasa.) Dia kadang menulis "nigh club" alih-alih "night club", "brige" padahal maksudnya "bridge." Apa boleh buat, orang keburu terbuai keluhuran budi daripada ketelitian menulisnya.[]

Anwar Holid, kontributor Digibookgallery, penulis Barack Hussein Obama.


Menunggu
Oleh: "Hartono Ye"



Bintang-bintang yang baru muncul di langit tampak berjarak. Beberapa lagi seakan hendak menyusul; berbaur bersama bintang lain membentuk suatu koloni. Tapi aku tidak tahu kapan persisnya bintang-bintang itu akan bersatu dan membentuk kelompok sinar yang cantik. Sama seperti halnya aku tidak tahu kapan kau akan muncul lagi di hadapanku. Mestinya jangan kupaksakan mengunjungimu. Tiba-tiba muncul niat begitu saja. Seharusnya kupikirkan matang-matang. Kau memang tidak menentang. Tapi ketika kutelepon, suaramu sarat kekhawatiran dan terdengar gelisah. Mungkin kau ingin menolak kedatanganku. Tapi kau khawatir mengatakannya. Dan karena ketidakpastian darimu, sekarang aku duduk menunggu seperti orang dungu.

Kau dan aku berbagi hal-hal yang sulit dijelaskan. Banyak hal yang tidak kita bicarakan, dan karena itu banyak hal yang secara kebetulan membuat kita saling tidak nyaman. Membingungkan juga, hal-hal yang jarang kita bicarakan juga membuat kita saling terikat. Sesuatu yang sulit untuk dijelaskan. Kau hanya perlu menatap mataku, dan aku cukup menangkap senyum di bibirmu. Sangat cepat. Seperti kilat. Dan kadang sulit dijelaskan apakah yang kurasakan sama seperti yang engkau rasakan.

Pada saat-saat tertentu aku suka menatap matamu. Tetapi di saat lain aku gagal menatap matamu. Terkadang, sorot matamu menyejukkanku, terkadang menelanjangiku. Sering juga adalah kombinasi kedua-duanya. Kupikir, aku benar-benar tidak memahamimu.

Gelagatmu, yang terkadang terlihat ragu saat bertatapan denganku, yang kau ekspresikan dengan melirik ke arah lain, sering kau tunjukkan ketika aku mulai serius. Kau seperti malu-malu. Binar matamu bersinar-sinar dan bergerak cepat dan gelisah antara mataku, wajah, mungkin hidung atau bibir. Kau takut membalas tatapan mataku. Dan di lain waktu, ketika kau berbicara dan menatapku dengan tulus, karena suatu perasaan cita yang sulit kau ungkapkan, aku juga berubah menjadi pemalu. Kau sering memainkan rambut bila sedang berbicara padaku. Dan senyummu, agak samar-samar dan dikulum. Ketika kau tertawa, sederet gigimu muncul dan itu membuatku sulit menahan senyum. Kau sungguh manis entah ketika kau tersenyum maupun tertawa. Sepertinya, kau suka menatap beberapa meter ke depan namun tidak benar-benar memperhatikan gerakan dan kejadiannya, lalu kau akan menyapu pandangan horizontal tepat ke arahku. Sangat cepat, lurus, tegas dan membuatku sigap mambalas matamu. Kukira itu adalah instingku. Respons terhadap makna tersurat yang pada detik itu sungguh memikat, mengikat dan di kepalaku hanya memikirkan dirimu.

Memang, saat terindah ialah ketika mata kita kontak. Saat itulah aku merasakan pesan, kesan, semacam gairah yang sulit dijelaskan. Semua terasa begitu tulus, membius dan melenakan. Tentu saja, itu juga saat yang paling menggelisahkan. Kita telah cukup lama sering kenal. Membuatmu tersenyum dan tertawa, sudah kulakukan. Membuatmu marah dan kecewa, sesungguhnya tidak pernah ingin kulakukan.

Entah karena abai, ternyata banyak hal yang jadi mengganggu. Awalnya hanya sepele. Dan begitu lalai diperhatikan, hal kecil itu telah tumbuh menjadi duri yang menyakitkan, rasanya membuatku ingin menjerit.

Aku benar-benar sulit mengungkapkannya. Karena aku sendiri seorang peragu. Apa yang kupikirkan dan mungkin kuharapkan berbeda dengan simpang siur di pasar malam. Aku menjadi seorang penggerutu, sesekali malah menyalahkan diri sendiri. Entahlah, apa aku akan baik-baik saja jika tak mengenalmu. Tetapi aku sulit sebahagia ketika bersamamu jika orang yang bersamaku bukan kau. Dan setelah berkali-kali kupikirkan, memang, tidak akan ada orang lain kecuali kau.

Terakhir kali kulihat tatap matamu, sinarnya tak lagi seindah dulu. Ketulusan, kesan, dan pesan yang sering kutangkap meski hanya beberapa detik menyelami matamu, telah digantikan semacam tembok es yang kukuh, upaya untuk merentang jarak. Kau perlihatkan keangkuhan dan ketidakpedulian, meskipun kenyataannya, kau sesekali masih melirikku.

Entahlah tatapan dan senyum manismu masih akan kau perlihatkan padaku, atau pada seseorang yang lebih bisa mengerti dirimu. Kau telah membuatku maju susah, mundur tak rela. Dan aku setiap saat masih memikirkan saat indah ketika kita bersama; ketika binar di matamu meloncat ke dalam hatiku.

Aku masih duduk beratapkan langit. Menunggu.

Rembulan memancarkan sinar lembut, seperti tersenyum dalam malam yang berkabut. Kau katakan mungkin akan terlambat datang. Aku membiarkannya, juga karena kurasa tidak perlu tahu. Kau menyuruhku pulang saja bila jam telah berdentang sembilan kali, karena itu berarti kau tidak bisa menemuiku tepat waktu. Kataku: aku akan menunggumu. Mungkin akan sampai tengah malam, ujarmu. Aku tetap akan menunggumu.

Jam barusan mengakhiri dentang kesebelas. Malam semakin gelap dan dingin. Dan aku masih menunggumu. Apakah benar-benar sampai tengah malam? Entahlah. Aku hanya ingin menunggumu. Juga ingin tahu, apakah kau akan menemuiku? Aku duduk diam dan memikirkan lagi; kegelisahan menjadi teman yang cepat mengusir kantuk dan membuatmu kehilangan kepercayaan diri.

Lalu jika kau ternyata tidak menemuiku? Ah, aku tidak tahu....[]



Buku Tahunan
Oleh: "Hartono Ye"



Setelah membolak-balik buku tahunan yang kini terlihat lusuh, kuning dengan bintik-bintik hitam yang mungkin sekali kotoran kecoa, kamu bertanya tentang kabar si anu. Kujawab, "Entahlah."

"Apa kamu tahu," tanyamu, "si anu akan menikah bulan depan?"

Aku melayangkan pandangan tiga meter jauhnya. Menembus suatu dimensi abstrak penuh misteri tertumpuk di kepalaku. Mencari-cari, sesuatu untuk pertimbangan perkataanku.

"Baru dengar. Tapi kabar dia akan menikah sudah cukup lama kutahu."
"Kau akan datang?"
"Tidak. Aku ragu dia masih mengingatku. Terus terang, aku sendiri sudah lupa padanya kalau kamu tidak menyebutnya."

Dan bukan hanya dia. Banyak temanku yang kini tidak pernah lagi kudengar kabarnya.

Kamu membalik beberapa halaman lagi dan semburan tawamu menggangguku. Tubuhmu bergetar dengan jari telunjuk mengarahkanku pada sebuah gambar. Dan aku ikut menjadi gila sepertimu. Tertawa sampai terpingkal-pingkal. Lalu setelah tawa mereda, kami saling menggeleng-geleng. Wajah itu, entah berapa kali pun kami melihatnya, hanya akan membangkitkan ingatan yang kurang ajar.

Kami melihat halaman khusus guru-guru. Beberapa kami maki-maki. Meski sudah lima tahun berlalu, tapi kenangan buruk masih membuat kami benci.
"Kudengar dia sudah mati," katamu sambil menatap guru yang dulu paling kami benci.

Aku terdiam. Dulu, ketika aku dihukumnya, aku berharap agar dia cepat mati. Setiap kali melihat wajahnya amarahku meninggi. Ingin memencetnya seperti jerawat merah muda dengan nanah yang membuat tanganku gatal.

Tapi sekarang, mendengarnya betul-betul sudah mati, aku merasa begitu hampa. Tidak ada tiupan terompet kemenangan yang dulu sering kubayangkan. Dan aku mendadak tidak lagi membencinya. Juga guru-guru yang lain. Aku tidak merasa perlu membenci mereka lagi.

"Eh!" ujarmu sambil mengibas-ngibaskan tangan. Menyadarkanku dari lamunan. "Kamu masih ingat dia kan? Coba baca ini."

Kuperhatikan sebuah kalimat: "Untuk dia yang tak pernah mencintaiku. Semoga dia tahu jatuh cinta padanya itu sungguh berat!"

Kuperhatikan wajah itu. Yang tak pernah lagi kuajak bicara begitu aku tahu dia ternyata diam-diam menyukaiku.

Waktu masih SMU, kami orang-orang yang bebas. Suka bercanda dengan siapa saja. Semua kami gauli. Tidak peduli anak-anak, remaja tanggung, seumuran, mbak-mbak hingga tante-tante dan nenek-nenek. Kami cukup menikmati ketika tante-tante---termasuk ibu teman-teman kami tentu saja---memuji kami. Rasanya lebih bangga dibandingkan remaja tanggung atau anak-anak yang memuji. Teman-teman seumuran? Jangan harap mereka terang-terangan memuji. Di depan kami biasanya mereka mengatakan kami kasar, jorok, dan tak punya otak. Tapi di belakang kami, mereka membicarakan kebalikannya.

"Tunggu," aku menunjuk sebuah wajah sendu dan menikmati kegelisahan yang tergambar di wajahmu. "Kamu masih menyukainya?"

Kamu membuka kedua tanganmu seperti tangan Yesus pada perjamuan terakhir.

Hanya sedikit yang tahu. Kamu putus dengannya dengan keadaan masih cinta. Dia, yang plin-plan dengan keputusannya membuatmu tidak tahan. Kamu memutuskannya dan dia berderai air mata. Selama beberapa hari, matanya dilapisi cairan duka.

Kamu menunjukkan padaku teman-teman yang menikah begitu lulus SMU. Beberapa lagi, menikah tahun berikutnya. Aku memberi tahu ada satu teman yang tidak ada di buku tahunan ini. Dia hamil tiga bulan sebelum kita EBTANAS. Dan dia menikah tepat saat kami sedang ujian penentuan kebebasan terkekang selama dua belas tahun tanpa mengundang seorang pun dari kami.

Kamu mengatakannya sampah. Kukatakan padamu kamu jangan mengatakannya sampah. Kalau kamu sudah tua, anaknya akan mengatakanmu tua bangka. Kita kembali tertawa seperti orang gila.

Akhirnya kita bosan melihat-lihat kenangan masa lalu. Tapi aku tiba-tiba penasaran dengan diriku lima tahun lalu. Kucari kelas kami dan aku lebih dulu melihatmu. Kurus dengan muka pucat dan senyum terpaksa. Di bawahnya kamu menulis: "Aku ingin mengubah dunia!"

Aku menatapmu. Kamu seperti tercengang dengan pemikiran lima tahun lalu itu. Semacam cita-cita luar biasamu. Kulanjutkan mencari bagianku. Ketemu. Bocah hitam kurus dengan senyum menyebalkan. Dengan yakin aku menulis: "Jadilah dirimu yang terbaik!"

Kamu menutup buku tahunan dan menyandarkan kepala di dinding. Matamu menatap lampu yang berdenyar. Tapi pikiranmu, sebetulnya telah kembali ke masa lalu. Setelah melihat sesuatu yang sangat lama, akan menimbulkan suatu keinginan untuk membongkar kenangan masa lalu yang telah terkubur di dalam kepalamu. Semakin kamu mencari, semakin banyak rasa ingin tahu yang tergali. Dan akhirnya kamu akan berputar-putar dalam lingkaran masa lalu.

Sebagian mungkin kenangan manis yang membuat bibirmu tersunging dan sebagian lagi membuat keningmu berkerut. Dan mungkin ada beberapa hal yang kini kamu sesali.

Begitu juga aku.[]