Friday, October 30, 2009



Meluangkan Waktu dan Mencurahkan Energi untuk Menulis

--Anwar Holid


Some readers write. All writers read.


Dari interaksi dengan sejumlah orang yang tertarik dunia tulis-menulis, ada satu hal yang sungguh bisa membedakan apa seseorang itu benar-benar menulis atau baru sekadar membicarakannya. Ketika menjadi instruktur menulis di visikata.com, saya kenalan dengan peserta dari Banda Aceh. Dia bekerja di sebuah LSM. Setiap kali kami mengadakan pertemuan rutin (chatting di ruang virtual situs itu), dia selalu sulit hadir. Dia terlalu sibuk bekerja dan menyelesaikan tugas kantor---yang sebenarnya positif juga. Yang buruk buat kemampuan menulisnya ialah dia tetap kesulitan dan mengaku bahwa tugas menulis selalu membuatnya tertekan dan degdegan.

Kesimpulan saya: orang seperti dia kehabisan waktu buat menulis dan mencurahkan pikiran dan energi untuk benar-benar menyelesaikan tulisan.

Mengalokasikan waktu, mencurahkan pikiran dan energi akan benar-benar bisa membuat perbedaan dalam menulis. Setiap tulisan memang merupakan kerja (keras). Penulis harus duduk untuk menuangkan isi kepala pada kertas atau file di komputer. (Seperti saya sekarang saat menulis tentang topik ini. Saya duduk, meluangkan waktu, mengumpulkan energi, berkonsentrasi untuk menghasilkan tulisan yang berusaha fokus pada topik ini.)

Kondisi itu cukup mirip dengan pengakuan Bagus Takwin---dosen Jurusan Psikologi Universitas Indonesia yang telah menghasilkan sejumlah buku. Saya bertanya kepadanya: "Persiapan apa yang paling penting dalam menulis?"

Jawab dia, "Kalau dari pengalamanku secara umum banyak baca. Lalu, secara khusus penting untuk meningkatkan sensitivitas." Bagus Takwin memang sudah melampaui tahap "bingung mau menulis apa." Meski begitu dia tetap butuh persiapan khusus ketika akan menulis. "Dari segi teknis, sangat penting tersedia rokok dan kopi serta air putih supaya tetap bisa menulis sambil mendapat kenikmatan kopi dan rokok serta terus minum air agar ginjal tidak rusak," tambahnya mengenai kebiasaan bacanya.

Setiap orang punya kebiasaan tertentu ketika akan menulis. Semua penulis butuh waktu dan energi untuk betul-betul menghasilkan tulisan. Natalie Goldberg terus berseru: "Keep your hand moving!" (Terus gerakkan tanganmu!) untuk meyakinkan peserta workshop penulisannya benar-benar menulis, bukan berpikir mengenai isi tulisan atau khawatir soal bagus dan jelek tulisannya nanti.

Prinsip menulis Natalie Goldberg sangat sederhana:
(1) Keep your hand moving!
(2) Jangan mencoret, jangan mengedit waktu menulis.
(3) Jangan khawatir soal ejaan, tanda baca, tata bahasa.
(4) Lepaskan kontrol.
(5) Jangan berpikir, tidak mesti logis.
(6) Carilah urat nadinya.

Prinsip itu dia ulang-ulang secara konsisten. Soal baik dan buruk, itu soal nanti. Lagi pula ada proses editing (menyunting). Yang paling utama ialah menyempatkan diri untuk menulis dulu, sampai selesai.

Ada tulisan yang bisa cepat selesai baik karena pendek atau benar-benar sudah matang dalam isi kepala penulis, jadi tinggal menuangkan dalam tulisan. Bila begitu, penulis hanya butuh waktu sebentar untuk menulis. Tapi ada juga tulisan yang butuh waktu lama untuk menyelesaikannya, baik karena sulit maupun banyak bahan yang harus ditulis. (Bayangkan novel atau buku nonfiksi tebal yang butuh waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk menyelesaikannya.)

Bagi Bagus Takwin, meski sekarang alokasi waktu untuk menulisnya berubah-ubah, minimal dalam sehari pasti ada yang dia baca dan tulis. Dia membutuhkan kira-kira 2 - 3 jam untuk membaca dan menulis. Dia juga membiasakan diri menulis hal-hal yang menurutnya menarik sehabis baca buku, termasuk membuat catatan atau ide-ide yang terlintas.

Kalau saya lihat pola menulis Fenfen, biasanya dia menulis topik yang menarik minatnya. Terus meluangkan waktu, pikiran, dan energi untuk menuntaskannya dalam sekali waktu. Sepertinya ide dan isi kepalanya sudah merupakan tempat yang bagus untuk merancang tulisan. Sampai tulisan itu benar-benar tuntas (terpoles), dan siap untuk dikirim ke media massa atau diposting di Internet.

Pola menulis saya agak lain. Biasanya saya mulai dengan pointer yang akan ditulis, terus menjelajahinya sesuai pointer itu. Meski begitu, saya suka menuliskan segala lintasan pikiran, meskipun bisa jadi hal itu tak tertulis dalam pointer. Bila sudah merasa tuntas atau materinya cukup, tulisan itu dibaca ulang, saya perhatikan kepaduannya, lantas diedit. Mungkin karena percaya pada fase editing, saya cukup yakin bahwa setiap tulisan pada dasarnya bisa diubah-ubah komposisinya, diperbaiki, dan dinegosiasikan kembali oleh penulis.

Bila kasusnya penulis butuh waktu lama (bisa berhari-hari, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun) untuk menyelesaikan tulisan, kebiasaan dan rutinitas menulis jadi penting, atau dia harus menciptakan waktu khusus untuk menulis. Misal penulis paling punya waktu ideal sehabis subuh atau ketika anak-anaknya sudah ke sekolah semua. Manfaatkan waktu itu.

Untuk penulis pemula, menulis 10 - 25 menit setiap hari sudah sangat bagus untuk membangun kebiasaan menulis atau menyempurnakan tulisan yang tertunda hari kemarin. Untuk lebih memudahkan mulai menulis, Patricia L. Fry----yang telah menerbitkan 25 buku---memberi tips dari mana saja kita bisa memulai sebuah tulisan:

1/ Tulislah hal yang kamu tahu.
Ini nasihat paling prinsipil. Tulislah hal yang merupakan keahlian atau keunggulan kamu. Tulisan itu akan berisi dan penting. Perhatikan keterampilan yang kamu kuasai, apa ketertarikan dan hobi kamu, bakat kamu, termasuk pengalaman yang menurut kamu menarik untuk dibagikan kepada pembaca.

Hampir semua tulisan saya pasti mengenai hal yang saya tahu.

2/ Tulis tentang hal yang ingin kamu ketahui.
Menulis tentang hal ini biasanya akan membawa kita pada pengetahuan baru, menjelajahi topik serupa, bahkan melakukan riset kecil-kecilan. Misal tentang "home schooling"; apa benar ini bisa dilakukan, bagaimana melakukannya, bagaimana dengan sertifikasi (bila anak benar-benar tidak sekolah formal), dan seterusnya.

3/ Berbagi pengalaman.
Orang itu suka berbagi, suka cerita, suka hal-hal yang tidak mereka miliki. Tulisan mengenai pengalaman yang bisa jadi unik biasanya bisa memudahkan penulis, karena dia benar-benar mengalaminya, juga menarik buat orang lain karena pembaca bisa jadi penasaran.

4/ Ceritakan/tulis pengalaman orang lain.
Sebagian orang lain suka bila namanya masuk dalam tulisan, koran, jadi pembicaraan, termasuk diwawancarai untuk media massa. Saya juga menulis tentang penulis lain atau sastrawan, orang yang bergerak di industri buku, baik sebagai narasumber maupun profil dalam artikel.

5/ Diam, perhatikan, dan dengarkan.
Perhatikan dunia sekitar kita. Ada banyak yang bisa ditulis. Orang lain merupakan sumber menakjubkan buat ide tulisan kita. Misal ketika saya mengajak Ilalang ke museum Siliwangi, sepulang dari sana saya terdorong menulis tentang nasionalisme, perjuangan, pelajaran PSPB, perang kemerdekaan, dan sejenis itu.

6/ Akrab dengan berita.
Berita selalu bisa merangsang kita untuk berkomentar dan mengembangkan pikiran. Apalagi bila berita itu mengenaskan, sensasional, sulit dipercaya, atau dramatik. Berita seperti itu sering bisa mendorong orang menulis. Berita tentang Prita, Dede si 'Manusia Pohon,' orang yang kesulitan ekonomi sampai tak bisa menguburkan anaknya... semua bisa jadi rangsang menulis yang hebat.

7/ Gunakan Internet.
Internet merupakan sumber subur bagi penulisan. Saya biasanya browse dulu sebelum menulis, baik untuk memperkaya wawasan atau mencari rujukan. Media massa juga berlangganan berita dari kantor berita lain untuk diberitakan kembali kepada pembca mereka.

8/ Tulislah dengan jujur.
Menulislah seperti kita bicara kepada teman. Alamiah. Apa yang benar-benar membuat kamu semangat? Memasak? Tulislah sesuatu tentang memasak. Apa kamu benar-benar ingin membuat perubahan? Kamu benar-benar bertentangan ide dengan pendapat orang lain? Tulislah ide dan keyakinanmu. Utarakan pendapat kamu. Kuatkan argumen kamu. Biasanya keyakinan yang kuat bisa menghasilkan tulisan yang berbeda dan mengesankan.[]12/09/09

Anwar Holid, bekerja sebagai editor dan penulis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com Tel.: (022) 2037348 HP: 085721511193 Panorama II No. 26 B Bandung 40141


Upaya Editor Menghindari Frustrasi
---Anwar Holid


Hampir dua bulan ini aku menangani dua naskah yang mirip. Secara prinsip, terjemahan naskah itu sudah benar. Setidaknya itulah klaim penerbit. Penerjemah naskah itu orang terkemuka dan ahli di bidangnya. Jadi secara keilmuan dia bisa diandalkan dan wawasannya mumpuni. Untuk sementara, aku sulit membantah klaim itu dan percaya omongan penerbit.

Di ruang kerja sederhanaku, ketika siap-siap membedah naskah itu, barulah aku merasakan sulitnya menangani terjemahan itu. Memang tugas editor ialah meluweskan penuturan, memadukan inkoherensi paragraf, membuat keterbacaan naskah tinggi. Itu mirip tugas utama dokter ialah menyembuhkan pasien atau petugas kebersihan kota menyingkirkan sampah. Begitulah adanya. Tapi kalau kamu mendapati tugas kamu ternyata begitu bikin suntuk, terlalu sulit atau menggunung, wajar bila ia bikin stres atau frustrasi. Seorang striker bisa frustrasi dan kalap kalau terus-menerus gagal mencetak gol dan kesulitan mendobrak pertahanan lawan, atau kiper lawan terlalu tangguh. Kalau sifat ksatrianya cedera, dia bisa gelap mata dan akhirnya bertindak curang dengan melakukan diving. Tantangan setiap pekerjaan itu sama. Namun menyebalkan bila faktanya beban kamu terlalu berat. Ada yang salah, dan itu bukan salah kamu, melainkan proses sebelumnya atau kasusnya memang berat. Untuk itu kamu hanya harus tabah dan bertahan. Lakukan inovasi dan istirahat secukupnya.

Begitu menghadapi baris kalimat sulit, aku yakin ada yang salah dari penanganannya. Aku kerap kesulitan menangkap maksud kalimat itu sebenarnya apa. Bahasanya ribet. Banyak banget kalimat panjang melelahkan, bahkan bisa terdiri dari satu paragraf! Yang terdiri dari tiga - empat baris juga banyak. Polanya pun masih dalam bahasa sumber, dan kerap berbentuk negatif. Dalam kalimat panjang itu selalu ada sisipan anak kalimat berisi tambahan informasi, termasuk hal-hal trivial yang bahkan sering berulang di bagian sebelumnya. Ini jelas gaya sang penulis, dan penerjemah membiarkannya. Bikin capek baca, dan energiku terkuras dengan cepat. Penerbit suka menggampangkan kondisi ini, bilang bahwa beban editor ringan. Padahal meluweskan bahasa, dengan penyampaian yang enak itu penting sekali dalam sebuah buku.

Kalimat pendeknya saja suka membingungkan. Contoh: "Pidatonya merupakan yang tidak lazim antara kepalsuan dan sifat agresif yang terang-terangan." Maaf, ini apa maksudnya?

Kalimat panjangnya antara lain begini: "Al-Quran menjasadkan di depan mata kita suatu gambaran yang hidup, dan menggerakkannya pada lebih dari satu arah, untuk mengimbau orang-orang yang merasa tidak berdaya itu untuk membebaskan diri dari tekanan, sejak sekarang, agar kelak mereka tidak menghadapi konsekuensinya sesudah mereka mati, dengan sikap menyerah pada kelemahan diri, sebagai suatu unsur yang sangat diperingatkan untuk dijauhi."

"Kekuatan-kekuatan hegemonis itu, yang menganggap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa merdeka dan mandiri sebagai ancaman terhadap monopoli mereka dalam instrumen kekuasaan yang penting ini dan yang tidak ingin melihat keberhasilan yang sama di negara-negara lain, telah salah mengartikan teknologi nuklir Iran yang terjaga dan aman sebagai usaha untuk membuat senjata nuklir."

"Bagaimanapun, kalau ada kebebasan pribadi yang akan dipertahankan mati-matian oleh seseorang di dunia modern, itu adalah haknya yang tidak boleh diingkari untuk menyaksikan pertandingan sepakbola di televisi, dan kuatnya dorongan pandangan umum, bahkan di kalangan Islam fundamentalis dengan kepala yang penuh dengan dalih-dalih teologis untuk menentangnya, pemerintah terpaksa menayangkan pertandingan sepakbola di televisi."

Halo... rasanya aku menerima sandi dari alien.

Seberapa besar usaha seorang editor menyunting kalimat itu, berapa lama waktu yang dia butuhkan? Atau sebaliknya, seberapa toleran dia boleh bilang bahwa kalimat itu sudah jernih?

Kondisi itu membuat tugasku mengubah penyampaian agar luwes, lincah, mudah dicerna, dan lancar justru bakal paling besar menyita energi. Memoles dan melenturkan kalimat itu kerap butuh coba-coba dan mengutak-atik dulu sebelum akhirnya menemukan penyampaian yang paling pas. Butuh waktu dan energi besar. Bayangkanlah pekerja furnitur kayu jati yang mengamplas ukiran kasar menjadi halus. Dia melakukannya berhari-hari, terpaksa harus menghirup hamburan serbuknya, dengan tenaga yang hebat. Itulah kerja keras. Itulah yang juga harus dihadapi penyunting bila menemukan kalimat-kalimat kasar, penuh gerinjul, menyulitkan makna.

Saking sebal, aku berprasangka penerjemah ini mungkin awalnya berpikir bahwa pekerjaannya sudah keren, jadi dia serahkan ke penerbit. Coba kalimat-kalimat berlepotan dan penuh lumpur itu dibiarkan, lantas langsung dibungkus dan ditawarkan ke publik. Aku yakin seminggu kemudian pembacanya pada sakit kepala. Atau mereka langsung melemparkannya ke tong sampah. Aku jadi ingat pelajaran pertama seorang penyunting dari dosenku, ibu Sofia Mansoor, yang mengenalkan istilah "keterbacaan"---yaitu tingkat suatu naskah mudah atau sulit dipahami.

Penulis, penerjemah, penyunting bahu-membahu untuk menghasilkan naskah dengan keterbacaan tinggi. Bila rendah, harus diubah, atau minimal membuatnya lebih mudah. Tapi itu pun bukan harga mati. Keterbacaan sebagian karya memang rendah. Misal Finnegan's Wake (James Joyce) atau puisi Afrizal Malna dan Nirwan Dewanto. Mau apa kita dengan naskah seperti itu? Mau berkompromi? Di ranah nonfiksi juga sama. Aku pernah berusaha baca The Uses of Literacy (Richard Hoggart) yang konon penting, tapi hanya sedikit sekali yang aku paham dari pemaparannya. Kemungkinannya ialah otakku terlalu tebal terhalang kabut. Susah memahami membuat orang jadi mudah frustrasi.

Seorang penyunting lain mendapat kasus serupa, mengeluhkan buruknya bahasa yang dia garap, sampai merasa bahwa tawaran honornya terlalu kecil untuk menangani naskah menyebalkan seperti itu. Aku setuju. Karena menyita energi, emosi, bikin frustrasi, kompensasi menggarapnya harus sepadan. Penerbit bagus biasanya bisa diajak bicara tentang seberapa jauh tingkat kesulitan editing yang dilakukan editornya, terutama editor outsource. Mereka biasanya minta bukti (sampel). Kalau sepakat bahwa naskah itu memang sulit, mereka setuju menaikkan honor---sesedikit apa pun itu.

Kalau setiap hari menemukan kalimat kacau, manusia akan jadi cepat lapuk. Ada yang salah bila kita gagal menangani kesulitan berbahasa, menangkap pesan dengan jernih, atau mengungkapkan dengan baik. Di dalam Writing Tools (2006), Roy Peter Clark mensinyalir malapetaka dari konsekuensi tulisan buruk, baik untuk bisnis, profesi, pendidik, konsumen, dan warga negara. Buruknya tulisan dalam laporan, memo, pengumunan, dan pesan menguras biaya dan waktu. Itu merupakan gumpalan darah di lembaga politik dan pemerintahan. Membuat arus informasi mampat. Masalah penting terus mengendap dan tertutup. Kesempatan untuk perbaikan dan efisiensi tetap terkubur (hal. 7-8).

Tulisan sulit membuat pembaca kepayahan. Padahal tujuan membaca dan menulis ialah kefasihan, mengungkapkan maksud secara jernih dan lancar. "Tulisan juga harus mengalir dengan lancar dari penulis. Idealnya memang seperti itu," tegas Clark.

Aku bukan hendak memuliakan editor atau memberat-beratkan tugasnya. Seperti aku bilang, profesi ini sama dengan profesi lain. Ia memiliki tantangan dan kesulitan sendiri. Jadi editor mungkin mustahil membuat kamu mati luka-luka seperti tentara tertembak di medan perang. Tapi kamu bisa gila kalau gagal menangani kalimat kacrut yang bikin akal dan logika jadi putus asa.[]

Anwar Holid, bekerja sebagai editor dan penulis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com Tel.: (022) 2037348 HP: 085721511193 Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Monday, October 26, 2009


Sisa Pikiran dan Imajinasi Mantan Lelaki Sempurna
---Anwar Holid

The Diving Bell and the Butterfly
Sutradara: Julian Schnabel
Produksi: Kathleen Kennedy, Jon Kilik
Penulis: Jean-Dominique Bauby
Screenplay: Ronald Harwood
Pemain: Mathieu Amalric, Emmanuelle Seigner, Marie-Josée Croze, Max Von Sydow
Sinematografi: Janusz Kaminski
Editing: Juliette Welfling
Musik: Paul Cantelon
Distribusi: Pathé Renn Productions, Miramax Films
Rilis: 23 Mei 2007
Durasi: 112 minutes
Bahasa: Prancis; subtitle Inggris
Rating: ****



Seorang penderita locked-in syndrome hidup seperti dalam kepompong mahaberat, membungkus tubuhnya begitu ketat, sampai ia merasa dirinya disemen pada tembok. Dia hanya bisa diam di tempat, seluruh tubuhnya mengalami stroke, lumpuh total, tapi pikiran dan perasaannya normal. Dia gagal memerintahkan saraf dalam tubuhnya agar bergerak. Dengan pikiran dan imajinasi itu dia masih bisa mengembara ke manapun mau. Dia mengomentari segala yang dia lihat dengan mata kirinya---satu-satunya organ masih berfungsi, bersama kedipannya. Penyakit ini merupakan kondisi yang luar biasa jarang terjadi. Salah satu penderitanya ialah Jean-Dominique Bauby, orang Prancis.

Sutradara Julian Schnabel memfilmkan kehidupan dan pikiran Bauby berdasarkan skenario karya Ronald Harwood, dengan Mathieu Amalric berperan sebagai Bauby. Film itu sepenuhnya berbahasa Prancis, dengan subtitle Inggris. Film itu langsung mengingatkan aku pada film My Left Foot (Str. Jim Sheridan, 1989), ketika Daniel Day-Lewis berperan sebagai Christy Brown, seorang penyair-pelukis-penulis penderita cerebral palsy, yang hanya bisa menggerakkan kaki kirinya. Upaya keras Bauby sebagai penderita stroke parah yang menuliskan pikiran dan perasaan dalam sisa hidupnya menjadikan kisah itu luar biasa. Schnabel cukup mengeksploitasi sisi itu.

Bagaimana Bauby menulis buku, padahal dia hanya bisa mengedip? Dia cuma bisa memberi dua kode kepada orang lain: satu kedip untuk "ya", dua kedip untuk "tidak." Lelaki kelahiran 1952 ini menggunakan cara berkomunikasi yang diajarkan pihak rumah sakit, terutama oleh Henriette Durand. Durand mula-mula melatih Bauby untuk terbiasa dengan huruf yang paling sering digunakan dalam percakapan Prancis, lantas satu demi satu huruf diucapkan sambil bertatapan, untuk memastikan bahwa huruf itu yang ingin didiktekan Bauby. Segera setelah Bauby terbiasa dengan cara itu, orang-orang di dekatnya, terutama dokter, perawat, pembaca buku untuknya, juga ibu dari anak-anaknya menggunakan cara berkomunikasi tersebut.

Secara harfiah Bauby mengetik dengan mengedip, sehuruf demi sehuruf. Dalam proses penulisannya, dia berutang besar kepada Claude Mendibil, seorang pegawai penerbit Robert Laffont yang dipekerjakan untuk menuliskan imajinasi dan pikiran Bauby. Sebelum sakit, Bauby memang punya kontrak dengan penerbit tersebut. Awalnya pihak penerbit juga ragu, "Bukankah dia tidak bisa bicara?" "Tapi bukan berarti dia tidak bisa berkomunikasi," yakin Durand. Dulu dia ingin menulis kisah tentang balas dendam berdasarkan novel The Count of Monte Cristo (Alexandre Dumas, père) dengan tokoh utama seorang wanita.

Penulisan dalam kasus Bauby merupakan proses yang betul-betul menguras energi, kesabaran, dan waktu. Mereka harus mengulang setiap awal huruf, seperti kita harus mengucapkan ABCD sampai Z sebelum memastikan memilih awalan huruf dan memulai kata. Mereka sring bekerja lima jam per hari. Selama masa perawatan itu mereka mengerjakan buku itu, mengedit, dan merevisi, dua tahun lebih lamanya. Akhirnya buku tersebut terbit berjudul Le scaphandre et le papillon, setebal kira-kira 130-an halaman.


Bauby seorang pembaca sastra yang kuat. Dia membaca karya Honore Balzac, dan terutama The Count of Monte Cristo. Dia hedonis, suka keindahan dan kenikmatan, suka berimajinasi tentang segala hal, kecuali yang berbau agama. Dalam kehidupan mudanya yang cemerlang, dia jurnalis di majalah fashion perempuan Elle, sampai menjadi editor-in-chief. Elle bukan saja populer, ia merupakan majalah terkemuka, franchisenya ada di mana-mana, termasuk Indonesia. Alih-alih menulis tentang balas dendam, Le scaphandre et le papillon lebih merupakan memoar, berisi tentang pengalamannya sebagai penderita locked-in syndrome yang dirawat di rumah sakit di pinggir pantai, hubungan dengan ibu dari ketiga anaknya, anak-anaknya, kawan-kawan baiknya, sekelumit kerjanya di Elle, makanan favoritnya, dan upaya memahami wanita. Meski sukses, dia tampak kurang terkesan dengan karirnya selama di Elle atau bagaimana dia dahulu menulis secara normal. Tapi minimal, di sana dia memperoleh kemewahan dan sosialita kelas satu. Dia lebih suka bercerita tentang orang-orang yang dia sayangi.

"Buku itu tiada kecuali ia dibaca," demikian kata Bauby. Maka Bauby memilih mengutarakan pikirannya, perasaannya, alih-alih membicarakan atau mengeluh soal sakitnya. Untuk ukuran orang sakit mengerikan, dia cukup humoris. Bagaimanapun, yang tersisa dari dirinya hanyalah pikiran dan kenang-kenangan. Itulah yang dia ceritakan. Menjadi penderita stroke yang sia-sia mau melakukan apa-apa, bergantung sepenuhnya pada pertolongan orang lain, dia merasa dirinya sebagai bayi berumur 42 tahun.

Film The Diving Bell and the Butterfly mula-mula bercerita dan bersudut pandang kamera dari Bauby. Jadi penonton melihat dari matanya, mendengar suara dan pikirannya, merasakan penderitaannya. Tapi lama-lama sudut pandang film meluas, dan akhirnya penonton menyaksikan kisah tentang kehidupan dan keluarganya. Dia punya ayah yang sama-sama merasa sakit locked-in syndrome, hanya saja dia terkurung di apartemen. Bauby punya tiga anak dari seorang perempuan yang tidak dia cintai, karena itu tidak dia nikahi. ("Dia bukan istriku, dia ibu dari anak-anakku," tegasnya.) Memang agak aneh seseorang sampai bisa punya tiga anak dari seorang wanita yang tidak dicintai, meskipun perempuan itu tampak perhatian, tetap tampak intim merayakan Hari Ayah, dan bila bertemu dengan anak-anaknya, dia jadi ayah yang ramah. Seorang perempuan lain juga mencintai Bauby, tapi dia tak tega melihat Bauby dalam keadaan sakit. Menurut Wikipedia, film ini menyisakan kontroversi soal akurasi tentang perempuan dalam hidup Bauby. Schnabel tampak sengaja mengubah untuk alur drama, atau mungkin dia ingin menunjukkan kasih sayang keluarga yang lebih utuh dan mengharukan.

Di ujung film Bauby ingat kembali bagaimana saat dirinya terkena stroke. Pada Jumat, 8 Januari 1995, ia berangkat ke bioskop dengan anak sulungnya, mengendarai mobil super mewahnya, sambil bicara sebagai sesama lelaki. Di tengah jalan, dia merasa ada yang salah dengan tubuhnya, membuatnya segera berhenti di pinggir jalan. Anaknya panik menyaksikan serangan mendadak itu, sebab Bauby bukan perokok dan peminum. Dia bukan lelaki dengan ciri-ciri kemungkinan terkena penyakit mengerikan seperti itu. Dia koma sekitar dua puluh hari, dan setelah bangun mendapati dirinya gagal mengucapkan sepatah kata pun. Pada dua puluh minggu pertamanya setelah stroke, dia kehilangan bobot 27 kg.

Kalau kita mengabaikan Bauby yang menderita, isi film ini mungkin biasa saja. Pada dasarnya cerita dia seperti mengawang-awang, dia banyak membicarakan mimpi, imajinasi, mengomentari ini-itu, meluapkan perasaan. Schnabel memvisualisasikan imajinasi Bauby dengan bagus sekali. Di Festival Film Cannes dan Golden Globe Award dia memenangi sutradara terbaik, sementara di Academy Award dia mendapat nominasi untuk kategori itu. Dua film terkemuka lain karya Schnabel ialah Basquiat dan Before Night Falls. Mathieu Amalric juga bermain bagus. Tapi karena perannya, gerak tubuhnya minim. Ini membuatnya jadi kurang eksploratif bila dibandingkan Daniel Day-Lewis yang tampak kepayahan berusaha menggerakkan kaki kiri atau badan lain dalam My Left Foot. Bedanya lagi, dulu Bauby sempurna, dia pencinta perempuan, kenyang dengan pengalaman itu; sementara Christy Brown cacat sejak awal, dia ditertawakan ketika akan mengucapkan perasaan pada perempuan.

Perjuangan seseorang mengatasi rintangan hidupnya bisa jadi merupakan hal klise. Budi Warsito, seorang script-writer, berkomentar, "Tapi seberat atau seringan apa pun perjuangan orang, membuat kita sering salut. Kita sulit menghakimi mereka. Karena kadang-kadang yang ringan menurut kita, mungkin berat buat orang lain. Begitu sebaliknya. Bisa jadi, semangatlah penyebabnya." Jelas semangat Bauby bisa membuat orang lain malu, apalagi bagi penulis normal.

Bauby meninggal sepuluh hari setelah Le scaphandre et le papillon terbit pada 1997 dan mendapat pujian di mana-mana.[]

Anwar Holid, suami beristri satu, ayah beranak dua. Bekerja sebagai editor dan penulis, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Situs terkait:
http://www.thedivingbellandthebutterfly-themovie.com/
http://www.salon.com/ent/feature/2008/02/23/diving_bell/index.html (fakta tentang The Diving Bell and the Butterfly)
http://fr.wikipedia.org/wiki/Jean-Dominique_Bauby
http://en.wikipedia.org/wiki/Locked-In_syndrome

Thursday, October 22, 2009



[BUKU INCARAN]
Rumah Kecil nan Memikat
---Anwar Holid

Small Houses/Petites Maisons/Keline Hauser
Editor: Simone Schleifer
Penerbit: Evergreen/Taschen, 2005
Halaman: 192 hal.
ISBN: 3-8228-4176-5


Rumah kecil memenuhi kebutuhan manusia akan ruang (tempat) yang dapat dimanfaatkan secara lebih berdaya guna karena sederhana, mudah dipelihara, lebih mudah dibangun, dan berbiaya relatif lebih terjangkau dibandingkan bangunan besar. Di kota yang padat dan lahannya terbatas, rumah kecil bisa menjadi pilihan yang menarik karena memberi solusi bagi persoalan tempat tinggal secara signifikan.

RUMAH berukuran kecil bisa kita saksikan di mana-mana. Boleh jadi ia merupakan paviliun yang terpisah dari gedung utama. Gubuk di sawah atau kebun, saung, dangau, juga merupakan contoh rumah berukuran kecil. Di kota-kota, karena berbagai faktor persoalan, muncul "rumah petak," dan berbagai rumah berukuran kecil. Bahkan kini mulai banyak pengembang yang menawarkan apartemen dengan ukuran ruang boleh dibilang lebih kecil dari biasanya.

Di Indonesia, pilihan rumah kecil berada di tanah nan lapang mengingatkan pada saung yang kerap ada di tengah sawah dan kebun atau rumah penjaga perkebunan, sementara di luar negeri kerap rumah di tempat jauh merupakan tempat istirahat dan berjarak dari kehidupan sehari-hari di kota.

Ciri paling khas dari rumah kecil jelas pada kemungilan bentuk, keakraban yang ditawarkan, dan efektivitas ruang yang digunakannya. Persoalan sangat bisa muncul bila kecil malah melahirkan kesan sempit---persoalan yang memang harus pintar-pintar disiasati.

Gagasan mengenai rumah kecil kemungkinan muncul dari kebutuhan manusia akan ruang seperlunya saja. Bila tidak membutuhkan ruang besar, kenapa harus punya rumah berukuran besar? Bila seseorang hanya membutuhkan ruang untuk dirinya sendiri, kenapa harus membangun rumah untuk lima orang? Bila seseorang hanya butuh satu ruang kerja, mestinya dia bisa memanfaatkan semaksimal mungkin keperluan untuk aktivitasnya di sana.

Ruang besar besar memang menawarkan rasa lapang, megah, mewah; namun ia pun memberi kesan menakutkan, menguasai, dan butuh energi besar baik untuk memelihara dan mengisinya. Ruang yang kecil sebaliknya; ia jelas lebih mudah dijelajahi, hanya butuh energi secukupnya untuk mengisi dan mengurusnya.

Jadi, persoalannya ialah pilihan.

"Desain rumah minimal dipilih untuk menanggapi berbagai macam persoalan, menyesuaikan antara bentuk dan fungsi terhadap sistem struktural dan keterbatasan teknis," demikian pengantar buku ini menjelaskan. Buku ini mengambil semangat penemuan microchip dalam teknologi informasi. Chip yang kecil itu mampu menyimpan data begitu banyak, rumah yang kecil pun harusnya tetap bisa nyaman dan efisien, karena berbagai keperluan penghuni sudah tersedia di sana.

Untuk berhasil membangun rumah kecil yang cukup memenuhi standar tempat tinggal memang butuh pemikiran dan upaya ekstra, karena sang arsitek harus pintar mengolah sistem bangunan dasar yang ringan, termasuk kerangka bangunan dan mendapatkan bahan tipis yang kuat agar bangunan mudah didirikan meski di lahan yang sulit dijangkau. Begitu pula unsur lain, misalnya tempat penyimpanan tersembunyi yang efisien, perabot lipat, ventilasi dan sistem pencahayaan.

SMALL HOUSES memuat dua puluh lima proyek rumah hasil rancangan arsitek dari berbagai negara, terutama Eropa dan Amerika Serikat; sisanya dari Australia, Asia (Jepang) dan Amerika Latin (Brasil). Ukuran terkecil rumah itu ialah 355 kaki persegi, yang terbesar 2044 kaki persegi.

Rentang luas bangunan ini menimbulkan pertanyaan, sebenarnya berapa meter sebuah bangunan bisa masuk kategori kecil? Yang jelas, persamaannya ialah bangunan tersebut cukup sederhana, memaksimalkan segala kemungkinan ruang dan bangunan, sementara untuk penyimpanan---misalnya gudang---ditiadakan. Yang menonjol ialah simplisitas dan minimalitas. Hal-hal yang dinilai sia-sia (tak diperlukan) ditinggalkan. Baik arsitek dan penghuni mesti sejak awal menimbang dengan persis, untuk apa bangunan itu ada, dengan begitu mereka bisa dengan akurat pula memperhitungkan segala keperluan.

Lokasi bangunan bisa di mana saja: ada yang di tengah kota, pinggir kota, kaki bukit, pinggir hutan, tengah perkebunan, puncak gunung, persis di tepi sungai (kanal saluran air), maupun di bibir tebing pantai. Arsitek menghadapi berbagai macam tantangan, sesuai masing-masing peruntukan bangunan tersebut. Tantangan bisa berupa lahan yang cukup sempit, tanah berundak-undak, teknik memaksimalkan manfaat ruang yang terbatas, dan yang paling standar ialah mengantisipasi agar ruang tersebut tak terkesan menjadi sempit maupun membuat penghuninya merasa tersekap. Hasilnya mayoritas merupakan bangunan independen (berdiri sendiri), tapi ada juga yang merupakan sambungan dari bangunan utama.

Peruntukan bangunan tersebut juga lain-lain, sesuai kebutuhan pemilik. Sebagian besar bangunan itu merupakan tempat rumah tinggal---mayoritas untuk lajang atau pasangan tanpa anak. Namun ada juga rumah yang dihuni keluarga berempat orang (Rumah Stein-Fleischmann), berfungsi sebagai studio maupun kantor (Studio 3773), rumah-kantor (Rumah Kecil), maupun istirahat (Rumah Liburan di Furx) yang hanya didatangi kala berlibur.

Demi mengutamakan kesederhanaan, bentuk bangunan hampir semua persegi panjang atau kubus (kotak), dengan atap dirancang seefektif mungkin. Sedangkan untuk mempertahankan kesan lapang, penyekatan ruang oleh dinding dihindari. Dengan memaksimalkan bahan bangunan, efektivitas, dan penggunaan ruang, hasil rancangan bangunan benar-benar memperlihatkan upaya bahwa tempat kecil pun bisa tetap asyik dan nyaman untuk dihuni/digunakan. Di beberapa rumah, tempat penyimpanan seperti rak dan laci dirancang tersembunyi sehingga tak menyita ruang sama sekali.

Beberapa rancangan menghasilkan bangunan kecil di luar dugaan. Misalnya Black Box karya Andreas Henrikson, Swedia. Dia mendapat inspirasi dari kotak pesulap yang bisa berisi banyak hal mengejutkan. Black Box merupakan bangunan dua lantai yang fleksibel dipindah-pindah karena gampang dibongkar-pasang. Atapnya menggunakan tutup dari lapisan karet berkualitas tinggi yang melindungi rumah dari air (hujan dan embun) dan perubahan cuaca; sementara bagian depan (pintu) dilengkapi dengan kanopi yang bisa ditutup-buka, sehingga berfungsi baik sebagai teras bila dibuka dan aksen bangunan bila tertutup.

Tree House karya Dawson Brown (Australia) juga mampu mencuri perhatian karena persis mengingatkan orang pada rumah pohon yang kerap dibangun sebagai tempat bermain maupun istirahat; hanya saja Tree House berdiri persis di tebing pantai, sehingga harus disangga oleh silang kayu yang kukuh. Hasilnya rumah itu jadi mirip sarang burung yang nyaman dihuni, tempat penghuninya bisa menikmati laut dan hutan yang mengelilinginya. Dry Design (Amerika Serikat), perancang Studio 3773 menghasilkan semacam kotak berisi tempat tidur yang menggantung dari atap, menggantikan peran langit-langit, berada persis di atas ruang kerja.

Yang agak kontradiktif dengan gagasan "rumah kecil" itu sendiri ialah ternyata hampir semua bangunan tersebut terdiri dari dua lantai, bahkan tiga lantai (termasuk ground floor); hanya beberapa yang satu lantai. Ini menunjukkan bahwa seorang penghuni pun pada dasarnya membutuhkan ruang yang cukup lapang untuk berbagai keperluan hidupnya, terlebih-lebih bila bangunan tersebut merupakan satu-satunya tempat tinggal, bukan tempat pelarian bila bosan dari tempat utama. Ia butuh lebih dari satu lantai untuk seluruh kegiatan dirinya. Selain itu, banyak sekali bangunan tersebut ternyata berdiri di lahan yang sangat lapang, baik dengan halaman/pekarangan luas, atau berada di lahan yang nyaris kosong. Beberapa memang berada di lahan terbatas, bahkan salah satunya di gang (Rumah di Senzoku, Tokyo.) Luas lahan tersebut seakan-akan memberi kesan boleh saja bangunan utama kecil, asal secara keseluruhan tempatnya lapang dan memberi kebebasan ruang.

Sampai di situ, sebenarnya "rumah kecil" tetap sulit memenuhi idealitas terhadap efektivitas ruang; manusia masih membutuhkan banyak ruang untuk berbagai hal. Namun kelebihannya, dalam mewujudkan proyek tersebut para arsitek sungguh-sungguh berusaha dalam menghasilkan rumah kecil yang bukan saja efektif-efisien, melainkan juga "cerdas", misalnya dalan hal pemilihan bahan, bahan siap pakai, mudah dibongkar pasang, agar bangunan mudah didirikan di tempat yang sukar dijangkau maupun terpencil.

BERBEDA dengan fenomena di negara berkembang seperti Indonesia ketika rumah kecil jadi pilihan karena alasan kekurangan biaya maupun keterbatasan lahan, sehingga hasilnya pun kerap berupa Rumah Sangat Sederhana yang kurang nyaman dihuni; di negara-negara maju rumah kecil menjadi pilihan karena alasan personal (privat), mobilitas, dan memaksimalkan ruang, sehingga biaya bukan merupakan faktor yang terlalu berpengaruh untuk mendapatkan rumah kecil yang benar-benar cantik sekaligus kukuh dan memenuhi standar hunian tingkat tinggi.

Di sinilah poin perbedaan "rumah kecil" di Indonesia, terutama yang ada di perkotaan padat. Betapa rumah kecil menjadi pilihan lebih karena persoalan ekonomi yang sulit dipecahkan. Meski kebutuhan dasar akan tempat tinggal terpenuhi, pengorbanannya cukup besar, misalnya mengabaikan faktor kenyamanan, kelayakan, bahkan pilihan bahan-bahannya pun kerap berkualitas rendah. Di sini, sering kita saksikan rumah petak ataupun penambahan pada bangunan kecil lain yang didirikan secara menyedihkan dan asal-asalan, bahkan tanpa pertimbangan estetika.

Munculnya konsep rumah kecil yang dirancang secara maksimal dan memikat seperti dalam buku ini sangat mungkin mampu memberi inspirasi untuk mengembangkan dan memicu pemikiran serupa, terlebih mendapatkan solusi bagi rumah kecil yang pantas dihuni, dibangun dengan standar bangunan yang memenuhi syarat.[]

Anwar Holid, bekerja sebagai editor dan penulis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com Tel.: (022) 2037348 HP: 085721511193 Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Awalnya resensi ini muncul di Jurnal Ilmiah Arsitektur Universitas Pelita Harapan, Vol. 5, No. 2, Juli 2009.

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

Foto cover oleh Anwar Holid.

Impian akan Seorang Ayah
---Anwar Holid

BILA jalan hidup Barack Obama biasa saja, tanpa terobosan, tidak menatah sejarah sebagai presiden Amerika Serikat pertama keturunan Afrika, Dreams from My Father bisa jadi terlupakan dan terkubur. Bagaimana tidak? Buku ini baru terbit ulang setelah out of print begitu Obama terpilih sebagai salah satu pembicara utama di Konvensi Nasional Demokratik (DNC) 2004 yang melejitkannya sebagai rising star politik Amerika Serikat.

Buku ini aslinya terbit pada 18 Juli 1995, ketika usia Obama 33, beberapa tahun sebelum Obama menjadi politisi, melainkan seorang aktivis masyarakat. Cikal-bakalnya lahir setelah dia terpilih sebagai Presiden Harvard Law Review pada 1990. Dia merupakan orang African-American pertama yang terpilih sebagai presiden jurnal hukum terkemuka tersebut. Kejadian itu bersejarah, membuat New York Times memuat profil Obama. Isi berita tersebut menarik perhatian seorang literary agent muda bernama Jane Dystel. Dia lantas merancang proposal penulisan buku oleh Obama berisi kisah kehidupannya, dikirim ke berbagai penerbit sampai akhirnya menemukan kesepakatan dengan Poseidon---sebuah imprint kecil dari konglomerasi penerbit Simon & Schuster.

Sayang setelah beberapa tahun lewat ternyata Obama tetap gagal menuntaskan buku tersebut. Dia hendak menyelesaikan studi dan mulai merintis karir lebih dahulu. Akibatnya Simon & Schuster membatalkan kontrak. Dystel mendekati Henry Ferris, editor senior Times Book dari kelompok Random House, dan Peter Osnos, wakil penerbit tersebut. Setelah bertemu dan mendengar cerita Obama, Times Book merasa bahwa kisah itu menarik, dan Obama yakin bisa menyelesaikan penulisannya.

Cetakan pertama buku ini laku 10 ribu kopi, menerima kritik bagus, di antaranya dari Publishers Weekly, dengan komentar ”mengharukan, memoar yang menggali kisah kehidupan langka---buku yang menggetarkan, dalam, dan kaya.” Setelah itu peredarannya habis. Namun, begitu Obama menjadi bintang Partai Demokrat, Crown Books segera menerbitkan ulang buku tesebut, ditambah pengantar baru Barack Obama dan lampiran pidato di DNC. Edisi itu menjelma sebagai sukses besar, terjual lebih dari 500.000 kopi dalam semester pertama. Edisi audio book-nya memenangi Grammy Award untuk kategori Best Spoken Word Album 2006. Sementara itu edisi pertama terbitan Times Book jadi barang buruan langka di kalangan kolektor, sebab hanya satu-dua yang bertanda tangan Obama. Harga satuannya bisa mencapai 13.000 dolar AS. Lebih dari satu dekade kemudian, penulis terkemuka macam Toni Morrison maupun Joe Klein baru tergerak membaca dan memuji-mujinya pada tahun 2008.

OBAMA menulis dengan gaya jurnalisme sastrawi (literary journalism), dan itu membuat kisah dalam bukunya sangat enak dinikmati. Penuturannya lentur, bahasanya ekspresif, dan eksplorasi terhadap identitas dirinya begitu emosional. Judul buku ini menyiratkan obsesi Obama akan ayah yang meninggalkannya sejak umur dua tahun, berusaha mereka-reka bayangannya berdasar cerita ibu dan keluarganya yang berkulit putih. Ayah jadi bayang-bayang idealisasi yang melahirkan perasaan rindu-dendam, apalagi selama masa pertumbuhan itu Obama menghadapai masalah identitas dan rasialisme. Sebenarnya subjek buku ini lebih menekankan pada pencarian akar budaya, pembentukan karakter, perjuangaan akan idealisme, dan penerimaan takdir.

Karena warna kulitnya, Obama mengidentifikasi diri sebagai keturunan Afrika. Ketika remaja, mula-mula dia sadar dirinya merupakan minoritas di tengah dominasi siswa keturunan Asia, sementara ketika kuliah dan dewasa, kaum kulit putih mendominasi segala bidang kehidupan sosial-politik AS. Namun identifikasi ini pun tetap bermasalah, sebab dalam kehidupan sosial-politik di AS tahun 1980-an rasisme masih merupakan persoalan sensitif. Di sinilah subjudul asli buku ini "kisah mengenai ras dan keturunan" menemukan signifikansi. Ketegangan menemukan identitas itu membuat Obama bertanya-tanya. Bila dalam lingkungan keluarganya menerima warisan banyak budaya---Amerika Serikat, Kenya, Indonesia, Kristen, dan Islam---kenapa dalam kehidupan sosial hal itu mudah menimbulkan prasangka dan sukar sekali diwujudkan?

Ayah Obama berasal dari Kenya, datang ke Amerika Serikat untuk belajar dan kelak kembali ke kampung halamannya untuk ikut serta memajukan negerinya. Dari cerita ibu dan kakek-neneknya, Obama tahu bahwa ayahnya brilian, cerdas, dan hebat, meskipun temperamental dan dominan. Karena tak terjangkau dalam kehidupan sehari-hari, lama-lama ayahnya berubah lebih merupakan mitos. Obama baru sadar akan sejarah marga ayahnya dari mulut nenek dan saudara-saudaranya, ketika menjelang kuliah dia mengunjungi kampung halaman ayahnya di pedalaman Kenya, itu pun setelah ayahnya meninggal.

Obama habis-habisan menelusuri kegelisahannya sebagai anak berkulit hitam di negeri kulit putih. Dalam pengembaraan yang emosional itu, dia berusaha mengerti apa artinya menerima warisan budaya bukan saja dari ayah dan ibunya, melainkan juga Indonesia dan agama. Ketika akhirnya memutuskan jadi jemaah gereja Trinity, dia menyatakan keberserahan diri kepada sang Mahakuasa.

Dalam masa transisi pembentukan karakter itu dia kerap frustrasi. Obama mulai mencoba-coba pengalaman pemuda yang lebih ekstrem, memiliki gang, menggugat takdir, merokok, minum alkohol, termasuk marijuana dan kokain. Dia mengakui masa ini merupakan kompensasi dari perjuangan kebingungan menghadapi kondisi sosial dan pencarian identitas karena warisan multirasialnya. Tujuannya, “Untuk menekan agar pertanyaan 'siapa aku' ke luar dari kepala.” Meski sebagian orang memuji karena jujur, pengakuan seperti ini selalu mengejutkan.

Setelah jadi best-seller, buku ini cukup banyak menuai kritik karena para analis sering menemukan inakurasi ingatan Obama dengan fakta. Yang cukup fatal ialah ketika dia menulis ada artikel di Life tentang laki-laki kulit hitam yang berusaha mencuci dan mengelupas kulitnya sampai putih dengan cairan kimia. Chicago Tribune melaporkan bahwa sejarahwan majalah itu menyatakan tak ada artikel seperti itu. Sebagian orang menilai bahwa Obama terlalu menonjolkan perannya sebagai aktivis masyarakat di Altgeld Gardens, sampai terkesan meremehkan sumbangsih orang lain.

Dari segi sosial, buku ini merupakan refleksi tentang ras dan dinamika persoalan sosial, sementara dari segi personal tampak sebagai pembentukan perkembangan jiwa. Bila orang gagal mengatasinya hakikat ras, keturunan, juga warisan budaya, persoalan fisik bisa melahirkan persoalan psikologis mengerikan, seperti tampak dari fenomena rasisme dan tribalisme. Di Indonesia fenomenanya mirip. Persoalan SARA bisa kapan saja meledak bila tak disikapi dengan baik, bahkan di beberapa tempat menimbulkan konflik berkepanjangan. Di sinilah pentingnya penerbitan buku ini bagi publik Indonesia yang juga multikultur dan bersuku-suku. Kita bisa belajar soal toleransi dari sini.

CETAKAN edisi Indonesia ini agak buruk, banyak huruf tampak pecah dan tinta blobor; ini patut disayangkan mengingat kualitas penerjemahan dan penyuntingannya bagus.[]

Anwar Holid bekerja sebagai editor dan penulis, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com

KONTAK: wartax@yahoo.com Tel.: (022) 2037348 HP: 085721511193 Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Wednesday, October 14, 2009





Katakanlah Sejujurnya
---Anwar Holid

Perahu Kertas
Penulis: Dee
Penerbit: Bentang Pustaka & Truedee, 2009
Tebal: 444 hal.
ISBN: 978-979-1227-78-0
Harga: Rp.69,000,-


Semua orang tahu pepatah usang ini: honesty is the best policy. Kejujuran itu tindakan terbaik. Perlu berapa lama untuk menunggu seseorang jujur? Butuh berapa halaman untuk mengungkapkannya? Dalam kasus Dee: empat tahun, 444 halaman. Persisnya 434 halaman bila kita mengabaikan endorsement, awalan, dan akhiran novel Perahu Kertas (Bentang & Truedee, 2009, Rp.69,000,-). Halaman setebal itu dia bentangkan besar-besaran untuk mengisahkan betapa berharga kejujuran, meskipun awalnya semua orang tampak bermasalah dengan kejujuran. Alasannya sederhana: takut menyakitkan.

Tapi "takut menyakitkan" ini akibatnya benar-benar fatal dan membuat semua orang menderita, kehilangan momen berharga, menambah-nambah masalah, dan menyiksa pembaca sampai harus membuka halaman terakhir, sebenarnya ada apa dengan kisah cinta dua orang bernama Kugy dan Keenan. Mungkin di situlah Dee mempertaruhkan keterampilannya bercerita: dia menaruh sehamparan misteri dan rintangan sebelum sepasang kekasih ini menyerah dan mengakui kejujuran masing-masing.

Misteri dan rintangan terbesar dari kedua orang itu justru keinginan untuk menyenangkan orang-orang terdekat yang berhubungan secara emosional dengan mereka, orang yang secara alamiah tumbuh bersama mereka. Karena berhasil menyembunyikan kata hati dan mampu membungkusnya secara melegakan, secara permukaan hubungan itu baik-baik, meski pada dasarnya mereka sesak. Apa manusia-manusia kota ini memiliki problem komunikasi atau malah amat sukses mengembangkannya jadi semacam "etiket" pergaulan dalam kehidupan? Mungkin kadar EQ (Emotional Quotient) mereka rendah, jadi kesulitan melampiaskan perasaan dan maksud dengan jelas. Semua jadi tampak bersayap. Soalnya kalau tidak, Dee sebenarnya bisa lebih cepat menamatkan novelnya, mungkin lebih dari separo jumlahnya.

Dalam beberapa sisi, drama menunggu kejujuran antara Kugy dan Keenan ini terasa ngayayay---istilah Sunda untuk bertele-tele. Tapi untung, Perahu Kertas merupakan page-turner, novel dengan alur cerita memikat, dan karena itu hanya butuh waktu sebentar untuk menamatkannya. Bisa jadi karena itu, seorang editor dari Jogja bilang, "Biarpun tebal, novel Dee ini mantap." Formulanya bikin pembaca terpana. Pengakuan para pembaca awal novel ini merupakan bukti bahwa Dee memang seorang penutur kisah hebat dan ia mampu menciptakan plot memikat. Kita boleh bertaruh apa para pemberi endorsement itu jujur dengan pernyataannya atau berusaha membungkus ungkapan dengan pujian.

Indah Darmastuti, seorang penulis dari Solo berkomentar: "Novel itu sangat menghibur aku. Aku suka kosakata yang cair khas Dee. Lucu dan plot yang mendebarkan. Dan ending sesuai harapanku." Kisah cinta rata-rata memang mudah ditebak. Tinggal bagaimana penutur menceritakannya, karena kunci buku yang sukses ada pada susunan kerangka cerita yang menarik. Meski subjek sebuah cerita bisa saja klise, karena memang nyaris tiada yang baru di dunia ini, seorang tukang cerita mesti mencari cara terbaik agar memenangi penikmatnya.

Perahu Kertas merupakan kisah sejenis itu. Bertindak sebagai dalang atau Tuhan serba tahu (omniscient narrator), Dee mengombang-ambingkan perasaan Kugy di balik lipatan perahu kertas yang dia luncurkan dari selokan atau anak sungai yang dia temui. Di situlah kejujurannya tertera dan mengalir. Sementara Keenan menenggelamkan diri pada lukisan, melampiaskan emosi tertahan pada seseorang yang dia anggap pasangan jiwanya. Mereka berputar-putar dulu menjadi sesuatu yang bukan diri mereka demi kelak menjadi diri masing-masing lagi. Saling menghancurkan dahulu sebelum akhirnya menyusun ulang agar utuh kembali? Seperti ungkapan Goenawan Mohamad, "sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi."

Dee membuat drama Kugy dan Keenan terlalu lama. Maka pertama-tama Kugy harus mengecewakan pacarnya, lantas sahabat terbaiknya, juga pria pemberi cincin permata lapis lazuli. Sementara Keenan harus jadian dulu dengan Wanda yang penuh pamrih, Luhde yang inosens, berkonflik dengan ayahnya sampai dia stroke, dan sebentar melemparkannya pada kehinaan dan kemiskinan. Tapi orang-orang di sekitar merekan pun bermasalah serupa. Agaknya di novel ini kejujuran jadi semacam penyakit endemik. Mereka menyangka serangkaian pilihan itu bisa membebaskan perasaan. Ternyata tidak. Mereka betul-betul kesulitan menunggu momen kapan hati dan impian bersama itu bertemu. Keduanya terus mencari dalih, berusaha menutup-nutupi kejujuran. Misal dengan bersikap defensif, cemburu, kabur dari masalah, atau marah. Masing-masing mengenakan topeng untuk menyembunyikan kejujuran. Sebab kuncinya terselip pada ungkapan ini: Carilah orang yang enggak perlu meminta apa-apa, tapi kamu mau
memberikan segala-galanya (hal. 427).

Dari satu sisi, Perahu Kertas merupakan tipikal novel chicklit yang ringan, menghibur, menyenangkan. Dee bercerita secara kronologik, lengkap dengan bulan dan tahun, bahkan kerap sekaligus menampilkan Kugy dan Keenan secara bersisian. Mungkin karena dia merombak kisah ini dari arsip draft lamanya, yang dia tulis sejak tahun 1996, lantas dia revisi total pada 2007 untuk mula-mula muncul sebagai novel digital. Kini, ketika muncul edisi kertasnya, sebentar lagi kisah ini pun akan muncul lewat layar lebar. Sebagian orang mungkin berharap labirin kisah romantis ini bisa menguras emosi dan menggemaskan, karena membayangkan Kugy yang cute dan Keenan yang tampak misterius dengan daya pikat seperti magnet.

Cover alternatif dari Internet.

Jujur saja: saya lebih suka berharap Dee menggunakan keunggulan mendongengnya untuk meneruskan proyek penulisan Supernova. Untuk menceritakan kisah dengan idealisme tertentu, yang berkarakter, kuat. Janganlah Dee menyia-nyiakan kejujurannya untuk berputar-putar dulu mengisahkan sesuatu yang klise. Pengalaman menyatakan betapa kejujuran terlalu berharga untuk ditutupi bila sekadar untuk menyembunyikan rasa sakit.[]

Anwar Holid, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung; bekerja sebagai penulis, editor, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com Tel.: (022) 2037348 HP: 085721511193 Panorama II No. 26 B Bandung 40141

PS: Rasanya judul resensi ini berasal dari lagu pop lama, tapi saya lupa apa persisnya. Ada yang tahu?

Situs terkait:
http://dee-idea.blogspot.com
http://www.dee-55days.blogspot.com
www.mizan.com
www.klub-sastra-bentang.blogspot.com
Facebook: Dewi Lestari
Twitter: deelestari