Sunday, March 02, 2008

Selamat Jalan, Kaset dan Mantan Presiden
---Anwar Holid


Pada hari Senin, 28 Januari 2008 ketika semua koran dan televisi menyatakan selamat jalan kepada pak Harto, aku mengucapkan selamat jalan kepada 36 kaset favorit yang aku jual ke toko musik second. Honor-honor yang aku nanti datang dari beberapa pihak ternyata belum ngalir juga, sementara kami sekeluarga sudah kehabisan beras, harus beli sayur mayur, dan bayar pembantu setiap Senin. Di antara koleksi itu ialah sejumlah album Peter Gabriel, Pink Floyd, Joe Satriani, The Cult, Steve Vai, Counting Crows, Matchbox Twenty, Fates Warning, Lokua Kanza, dan album musik klasik: Wagner, Sibelius, dan lagu-lagu adagio aransemen Herbert von Karajan. Uang yang aku dapat memang di bawah harapan (sudah aku duga sejak awal), tapi alhamdulillah setidaknya aku bisa beli beras, biskuit, dan di hari-hari ke depan kami bisa makan dengan pantas.

Aku beli koran murah (Rp.1.000,-), Tribun Jabar, untuk mendapat informasi tentang kematian pak Harto. Tertulis headline: The End: 13.10 WIB. Aku membatin, ingat ungkapan sebuah lagu The Doors: This the end, my only friend. The end. Aku rasanya juga ingat sebuah lagu tentang perpisahan, tapi entah apa itu. Atau sebenarnya aku hendak bilang begini: Good bye Mr. Former President and my cassettes---sambil teringat sebuah judul cerpen Gabriel García Márquez. Kematian pak Harto hanya berdampak dua hal saja buatku, yaitu (1) berhasil membuat aku beli koran, dan (2) bisa menggerakkan aku menulis esai. Kematian pak Harto kalah menghenyakkan dibandingkan berita kematian Freddie Mercury yang dulu aku dengar via TVRI malam-malam. Ini menyiratkan betapa aku memang boleh dibilang bersih dari pengaruh maupun ketertarikan terhadap negara, presiden, dan politik.

Berita kematian pak Harto pertama kali aku simak pada hari Minggu, 27 Januari 2007, kira-kira jam 14.30-an, waktu kami sekeluarga makan siang di warung makan serba ada yang kurang enak, sehabis menemani Ilalang dapat tambahan les main perkusi di Jendela Ide. "Wah... pak Harto sudah mati tuh," kataku, langsung terpaku pada tv yang juga tengah dikerubungi semua pengunjung dan pegawai warung. Waktu itu siaran sedang meliput sekitar rumah beliau di jalan Cendana (entah di mana letak persisnya di Jakarta) yang ricuh oleh pengunjung dan petugas. Setelah beberapa menit perhatian ke tv, aku mengasuh Shanti biar istriku bisa makan dengan tenang. Setelah itu aku makan nasi + ayam goreng dengan sambal terlalu pedas. Samar-samar terdengar berita kematian dia terus disiarkan tv sampai kami pulang. Sehabis magrib, di sela-sela ngobrol segala hal, istriku tanya, "Kamu percaya nggak sih kalau Soeharto itu korupsi?" Aku rada bingung dengan pertanyaan itu, apa juntrungannya dengan kami sekeluarga. Rupanya dia ingat laporan khusus majalah Tempo tentang hal itu. "Kalau aku baca dari media, berdasar pada investigasi mereka, aku percaya dia korupsi," kataku. "Tapi kalau ditanya apa buktinya dan siapa saksinya, aku nggak tahu. Aku nggak pernah lihat dia melakukannya." Beberapa menit kemudian aku menyergah, "Eh, apa sih hubungannya ini dengan kita semua?" Rasanya lebih suka kalau kami beralih ke topik lain. Malamnya, aku tegang menyaksikan pertandingan penyisihan Piala FA antara Manchester United vs Tottenham Hotspurs; 3-1 buat MU.

Bagi orang Indonesia kelahiran 1973-an seperti aku, Soeharto jelas bakal tertatah kuat dalam memori kami. Ketika tumbuh, langit kami cuma satu, penuh berisi Soeharto. Dia Bapak Pembangunan, perancang Pelita, yang sudah jalan memasuki periode ke-5, sudah mencapai tahap 'tinggal landas', namun akhirnya ternyata kandas. Setelah itu cuaca langit kami berganti-ganti begitu drastik, mulai dari Habibie, Gus Dur, Megawati, dan sekarang Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang di foto Tribun Jabar terlihat memberi hormat dengan gaya resmi di depan keranda jenazah pak Soeharto. Wah... sinismeku langsung mendidih. Bagaimana mungkin presiden seperti itu, yang jelas kelihatan inferior bahkan di depan mayat seniornya, bakal punya iktikad mengadili kontroversi seputar status hukum Soeharto. Aku yakin harapan M. Fadjroel Rachman dan kawan-kawan agar keadilan tetap hidup bakal seperti pepesan kosong.

Aku ingat, dulu waktu SD kami bahkan sampai hapal semua menteri yang jadi pembantu Soeharto, habis bakal masuk ulangan. Apa nggak gila tuh? Kami ingat TVRI menyiarkan laporan khusus berisi kunjungan Soeharto ke daerah atau ladang pertanian dan sawah, Kelompencapir (yang namanya selalu dikritik oleh Pusat Bahasa), sidang-sidang beliau dengan para menteri, sampai akhirnya bisa meniadakan jadwal tayang film. Baru pada 1998 era itu tamat, dan siapa sangka, jelas di luar dugaanku, betapa begitu lama beliau mewarnai sebuah kanvas bernama Indonesia, sampai akhirnya boyak-boyak, sebagian rombeng dan kusam di sana-sini. Sisanya ialah sekarang; 'pembangunan' jelas ada jejaknya, dan berlanjut, dengan pola mirip... mungkin dikerjakan sembarangan, karena entah kenapa mudah sekali memicu prasangka dan sinisme. Sebagian orang yang bertentangan dengan Soeharto atau pihak yang tak punya kaitan dengan dia berani lantang bilang bahwa dia diktator, misalnya para demonstran pro demokrasi atau media massa seperti CNN dan Time. Aku sendiri takut dan tak punya dasar untuk bilang bahwa dia seorang diktator. Faktanya ialah dia mantan presiden Indonesia, negeri tempat aku terdaftar sebagai warga negara. Dulu, aku sesekali ikut demo bareng teman menuntut keadilan atau keterbukaan; tapi keadilan harus diupayakan sendiri dan keterbukaan ternyata datang sendiri. Yang paling mengasyikkan ialah jadi bagian massa waktu kami demo besar-besaran selama masa awal-awal menegakkan Reformasi di Gasibu (sebagian kawanku demo di gedung MPR/DPR), sampai akhirnya rezim dia tumbang, dan sejak itu reputasi pak Harto beserta kroni dan keluarganya melorot ke kubang terendah dan penuh masalah, namun tetap saja tetap menarik diberitakan. Yang paling akhir tentu saja skandal yang muncul dari para anak-anaknya, rebutan harta dan kuasa antara istri pertama dan madu salah satu anaknya, perempuan yang sampai rela-rela ngaku dihamili anaknya---entah dengan motif apa, atau artis yang kawin dengan cucunya. Wah... sebenarnya aku cukup sibuk dengan diri sendiri, bertahan hidup atau meningkatkan standar, dan tak peduli dengan peristiwa terkait Soeharto... toh nyatanya aku selalu samar-samar mendengar atau mendadak punya kesempatan baca informasi tentang mereka. Tadi saja, waktu menuju toko kaset bekas itu, tiga gadis mahasiswa aku dengar bicara, "Kamu sedih nggak pak Harto meninggal?" "Enggak, lebih sedih waktu kakek gue meninggal tuch." "Iyalah, coba kamu bakal dapat warisannya. Pasti sedih." Salah satu gadis itu langsung menyergah, "Dapat warisan mah senang, bukannya sedih..." Serentak mereka tertawa. "Aku mah pengen lihat upacara pemakamannya euy. Yang pakai tembak-tembakan itu." (Namanya salvo, neng, kataku dalam hati.)

Aku bukan PNS dan ketertarikan atau kepedulianku pada negara boleh dibilang nol. Aku lebih pusing memikirkan bagaimana meningkatkan karir dan pendapatan di tahun ini daripada sibuk mendengar analisis politik bila The Smiling General (ini kayaknya bukan oksimoron) meninggal dunia dan mewariskan banyak buntut persoalan. Aku lebih merasa dekat dengan kaset-kasetku daripada dengan pria berusia 87 tahun itu, meski dia pernah jadi presidenku. Begitu kondisi dia kritis di rumah sakit minggu-minggu lalu, aku dengar analisis politik bahwa Indonesia bisa-bisa bakal makar begitu dia meninggal. Wah... aku malas dengar gosip keterlaluan itu. Satu-satunya berita yang aku sukai ialah analisis ini: Bila status hukum dia ditetapkan salah, maka itu kesempatan menyeret persoalan hukum yang dilakukan keluarga, kroni, dan orang-orang sekelilingnya akan terbuka. Keadilan jadi ditegakkan. Frasa yang menarik; "Keadilan jadi ditegakkan." Keadilan seperti apa? Apa bakal berdampak buat aku? Wah... aku ragu. Apa bila "Keadilan jadi ditegakkan" aku bisa optimistik tak perlu jual kaset favorit buat beli beras? Wah Wartax, kamu jadi kekanak-kanakan! Mungkin ini akibat aku buta politik dan nggak kritis sejak remaja. Lebih baik aku menghindari persoalan yang aku sendiri nggak tahu. Biarkan itu jadi urusan orang yang memperkarakan dia, terutama bekas lawan politik dia yang masih hidup dan bersemangat menyeret dia ke pengadilan dan ingin agar harta hasil korupsi itu dikembalikan ke negara. Aku jelas lebih suka andai tetap punya kaset dan kondisi keuanganku baik-baik saja. Tapi faktanya aku harus kehilangan mereka.

Aku sangat setia pada kaset-kaset itu. Aku rawat dengan baik, menjaga jangan sampai kusut, tetap sempurna bila disetel, meski itu semua gagal menaikkan harga jual. Aku selalu suka melihat-lihat sleeve, membaca-baca segala info yang ada di sana. Mereka berisi pemusik yang aku sukai karya-karyanya. Kini kotak kasetku berisi pemusik yang jauh kurang populer dibanding album yang aku jual sekarang. Di sana masih ada Chroma, Jaduk Ferianto, Bidjeh, Ravi Shankar, Youssou N'Dour, Sinead O'Connor, The Stage Bus... Entah berapa lama aku akan tetap bisa bertahan dengan mereka; entah berapa harga jual mereka di toko kaset bekas, lepas dari betapapun mereka bagus atau legendaris. Di tangan penjual loak, semua barang pasti direndah-rendahkan. Melankoli dan legenda cuma jadi cerita. Kalah oleh kebutuhan akan uang.

Aku rela dan senang-senang saja kehilangan kaset itu, akhirnya. Apalagi dari situ aku merasa memberi bakti pada keluarga. Aku kehilangan mereka tepat di saatnya. Sudah waktunya. Bisa jadi begitu juga Indonesia terhadap pak Harto. Dia sudah tua dan sakit-sakitan. Wajar dia meninggal dunia. Jelas keterlaluan berharap dia bakal sehat wal afiat seperti sedia kala ketika masa jaya atau bisa bertahan lebih dari lima belas tahun ke depan. Nyawa bisa dicabut izin penggunaannya kapan saja, datang begitu saja tanpa perlu perjanjian lebih dulu. Sebagian orang, banyak orang, terisak-isak oleh kepergian beliau; sebagian orang mungkin bingung apalagi agenda hukum yang bisa dijalankan; orang seperti aku, yang tak terkait dengan semua itu, heran, kenapa mereka semua heboh dengan kematian satu jiwa. Mendadak aku ingat dulu ada orang di Jakarta yang menyeret-nyeret mayat karena tak punya biaya kubur. Kematian seorang mantan kepala negara sudah disiapkan dengan sempurna, mulai dari kepergian dan upacara. Dia merepotkan banyak sekali orang; dan orang entah rela, pura-pura, atau terpaksa dan karena tata krama, hirau dengan kepergiannya. Kematian ini lebih heboh dan seru dibandingkan delapan besar Liga Indonesia yang ricuh. Apa ini tanda kehebatan seseorang, bahkan dalam kematiannya pun dia bikin guncang, tetap dihormati banyak sekali orang, dihadiri sosialita paling terkemuka? Wah, entah ya.

Dari dulu aku membayangkan kematian yang sederhana. Aku ingin nanti nisanku tak ditandai apa-apa, biar lama-lama hilang dan rata dengan tanah. Aku ingat ayahku membiarkan patok tanda kuburan kakakku lama-lama hancur oleh waktu dan sebagian habis dimakan rayap. Dibersihkan bila berziarah saja. Terakhir kali kami ke sana, gundukan tanahnya sudah nyaris rata. Aku agak yakin sekarang tentu sudah rata. Aku sulit membayangkan ada semacam kompleks istana untuk mayat-mayat bekas manusia yang sudah selesai berurusan dengan dunia. Untuk apa ya semua itu dibangun?

Hari ini aku kehilangan kaset; esok hari siap-siap aku kehilangan nyawa. Dalam beberapa hari ke depan aku masih bisa menyelamatkan keluarga; pasti suatu hari nanti aku yang malah repot menyelamatkan jiwa sendiri.[]0:11 30/01/08

ANWAR HOLID, penulis & penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.