Monday, June 25, 2012

Ian Astbury (ki.) dan Billy Duffy (ka.), duo motor The Cult.

Pilihan untuk Terus Bergerak
Choice of Weapon 
Studio album karya The Cult
Genre: Rock, Hard Rock
Durasi: 41:38
Rekaman: Maret 2011–Januari 2012 
Rilis: 22 Mei 2012 
Label: Cooking Vinyl
Produser: Chris Goss dan Bob Rock


The Cult adalah salah satu band underrated era 90-an. Setelah sempat bekerja sama dengan produser legendaris Rick Rubin dan Bob Rock untuk menghasilkan dua album rock yang dinilai penting dan berpengaruh---yaitu Electric (1987) dan Sonic Temple (1989)---band ini bisa dibilang hilang dari peredaran terutama karena sepanjang dekade 90-an scene rock dilanda virus Seattle Sound dan grunge. Duo penyangga utama The Cult yaitu Ian Astbury (vokal) dan Billy Duffy (gitar), tampak kesulitan mempertahankan energi, membuat band ini sempat vakum meski terus berusaha bangkit lagi. Di luar itu, persoalan nonteknis seperti gonta-ganti personel, pertikaian dengan label, juga industri musik yang berubah menambah parah kondisi mereka.

Di sela-sela masa surut mengembangkan The Cult, Ian Astbury sempat bergabung dengan The Doors of the 21st Century (Riders on the Storm) yang kontroversial bersama dua personel asli The Doors. Dia juga berkolaborasi dengan band rock eksperimental Boris menghasilkan EP BXI (2010), selain menjadi vokalis tamu untuk album solo Tony Iommi dan Slash.

Tapi energi kreatif Ian Astbury tampak baru terdengar terwadahi sempurna bila ia bekerja sama dengan Billy Duffy. Bagi fans rock/hard rock, gitar Billy Duffy sudah terdengar distingtif dan punya signature kuat. Gitaris tipe guitar god ini menonjol terutama berkat kemampuannya menciptakan orkestrasi gitar ditambah kejelian dalam memaksimalkan lick maupun menggandakan kekuatan riff di sepanjang lagu. Banyak komentator menyebut gayanya sebagai paduan antara Jimmy Page yang melodius dengan Angus Young yang meledak-ledak dan suka mengumbar kejelian memainkan lick. Meski sulit come back secara signifkan dan mungkin tak ditunggu-tunggu, The Cult ternyata tetap berusaha menghasilkan album yang matang setiap kali muncul kembali. Bahkan di luar dugaan, setelah reuni kedua The Cult malah lebih solid, untuk pertama kali bisa tak berganti personel, yaitu bersama Chris Wyse (bass) dan John Tempesta (drums), bahkan ditambah dukungan produser Chris Goss dan Bob Rock. Dengan unit inilah The Cult menghasilkan Born into This (2007) dan album studio ke sembilan mereka Choice of Weapon (2012).

Choice of Weapon adalah tipikal album hard rock yang kuat, matang, dengan kesan  kasar dan garang. The Cult membuka album dengan Honey from a Knife yang bertempo cepat berbalut riff nyaris di sepanjang track berpadu dengan permainan drum nan energetik. Untuk menggalang pendengar baru dan memikat fans, mereka memilih For the Animals dan Lucifer sebagai singel. Kedua lagu ini juga cadas, dinamik, terdengar sangat utuh khas The Cult berkat vokal Astbury yang bertenaga dibarengi permainan gitar Duffy yang kaya sekaligus atraktif. Mereka benar-benar mampu mempertahankan signature musik yang muncul sejak di awal karir mereka dengan baik. Secara keseluruhan Choice of Weapon adalah album straight hard rock yang catchy, mudah menggerakkan fans karena terdengar langsung hajar, bersih dari ornamen musik yang tidak perlu.

Ian Astbury menyatakan mereka menggunakan frasa "Choice of Weapon" karena manusia sebagai individu maupun bagian dari massa---punya pilihan atas senjata masing-masing, baik secara harfiah maupun metafora. 'Pisau, pistol, pena, kata-kata, kamera, seni, juga kreativitas bisa Anda jadikan senjata untuk revolusi budaya,' jelas dia. Senjata berbeda-beda bentuknya, bisa jadi berupa pernyataan verbal dari seorang individu atau simbol yang membangkitkan kekuatan bersama. Bagi The Cult, artinya ialah pilihan untuk jalan terus, lepas dari apakah mereka akan mendapat apresiasi sepantasnya atau tetap dianggap underrated oleh mayoritas orang.

Berbeda dengan kebanyakan band rock yang berbalut seks dan obat-obatan, image The Cult justru lebih dekat dengan isu konservasi atau kembali ke alam, peduli pada suku-suku asli pedalaman, paganisme, elegi terhadap modernisme, termasuk pseudo mistisisme karena terpengaruh musik psikedelik. Choice of Weapon pun melanjutkan tema serupa, dengan tingkat reflektif yang lebih kuat, terasa pada misalnya Life > Death dan Elemental Light.

Bagi fans rock akhir tahun 80 dan 90-an, sungguh mengejutkan betapa sebuah band lawas yang dinilai sayup-sayup ini ternyata malah bisa terdengar semakin intens dan hebat dari sebelum-sebelumnya. Mengenai hal ini, Billy Duffy sesumbar berkata, 'Kami punya fans yang hebat dan mereka pantas mendapat dedikasi terbaik dari kami. Saya rasa Choice of Weapon adalah salah satu rekaman terbaik kami.' Dengan sikap itu The Cult tampak menolak terjebak oleh romantisme istilah masa jaya atau puncak kreativitas yang mereka sempat raih di awal tahun 90-an, melainkan akan terus bergerak sampai pada saatnya disergap kemandekan kreativitas, usia, dan tenaga.[]

Anwar Holid, kontributor Kineruku.com dan jakartabeat.net.

Gambar diambil dari Internet.

Saturday, June 09, 2012


Pelajaran Euro Cup 2012 untuk Proofreader, Penulis, Editor, dan Penerjemah 
--Anwar Holid
 

Berikut ini kota-kota di negara Polandia dan Ukraina tempat berlangsungnya pertandingan Piala Eropa 2012. Perhatikan ejaannya:
* Warsawa
* Gdansk
* Poznan
* Wroclaw
* Lviv
* Kiev
* Kharkiv atau Kharkov
* Donetsk

Yang istimewa dari nama-nama itu tentu penulisannya yang rada sulit buat kita orang Indonesia. Yang paling mudah mungkin menulis Poznan dan Kiev. Tapi coba tilik Gdansk. Banyak orang salah menulis sebagai Gdanks atau Gdank. Orang Indonesia entah kenapa lebih suka mengeja nama Kharkiv, meski Barat lebih suka mengeja sebagai Kharkov.

Di Ukraina ada sebuah kota bernama Chernobyl, yang pada tahun 1986 jadi heboh sekaligus mengerikan karena di sana terjadi bencana ledakan reaktor nuklir akibat kebocoran. Sementara tim nasional sepak bola Polandia punya kiper yang barangkali namanya sangat sulit buat penulis Indonesia, karena itu disarankan untuk hati-hati mengejanya huruf demi huruf, yaitu: Wojciech Szczesny. Ejaan nama itu jauh lebih sulit bila dibandingkan misalnya dengan Friedrich Nietzsche yang sudah kerap ditulis salah dengan berbagai variasi, atau Bastian Schweinsteiger, gelandang serang Jerman.

Selamat bekerja sekaligus begadang demi nonton pertandingan sepak bola.[]


Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.

Friday, June 08, 2012


Kisah Mengagumkan Seorang Penderita Autistik
--Anwar Holid

Dunia di Balik Kaca: Kisah Nyata Seorang Gadis Autistik
Judul asli: Nobody Nowhere: The Remarkable Autobigraphy of an Autistic Girl
Penulis: Donna Williams
Penerjemah: Lala Herawati Dharma
Penerbit: Qanita, November 2003
Format: 11,5 x 17 cm
Tebal: 478 halaman


ENDORSEMENT DANIEL GOLEMAN terhadap autobiografi perempuan autistik ini dengan jelas mampu menerangkan betapa buku ini memang layak dibaca dan disimak oleh siapa pun, tak terbatas bagi orangtua yang anaknya menderita atau keluarga yang salah satu anggotanya mengidap penyakit tersebut. Puji Goleman, "Ms. Williams berhasil membuat peta dari sebuah dunia yang paling sulit dijamah; sebuah kesaksian mempesona tentang kecerdasan yang tak lekang oleh derita mental." Buku ini merupakan catatan yang sangat gamblang tentang autisme dari sudut pandang "orang dalam", yakni pengidapnya sendiri. Autisme adalah salah satu kelainan pada anak-anak yang akhir-akhir ini sangat sering mendapat perhatian orangtua dan media massa, justru karena informasi dan terapi penanganannya masih sangat sedikit, sedangkan fenomenanya terus berkembang. Menurut keterangan, autisme bisa terjadi pada 2 hingga 5 dari setiap 10.000 anak, biasanya muncul sebelum usia tiga tahun.

Tanpa endorsement seperti itu tampaknya masih sulit meyakinkan orang bahwa ada pengidap autistik mampu menulis sebuah buku, mencoba menuturkan dunia mentalnya yang berbeda, tertutup, sangat jarang terjelajahi oleh instrumen penyelidikan apa pun. Di buku ini Donna Williams bukan hanya menuturkan kehidupannya sebagai gadis autistik, melainkan berusaha keras mencoba kembali menelusuri perasaan-perasaan, sisi dalam jiwanya, termasuk masuk mencari "jawaban" apa yang sebenarnya dia rasakan sebagai pengidap autistik. Bila tidak menulis buku ini barangkali dia sekadar pengidap autistik yang sama. Seorang pengidap autistik mampu menulis saja sudah merupakan semacam keajaiban yang jarang terjadi, apalagi mampu mengungkapkan kehidupannya dengan cukup baik, nalar, bukan semata-mata demi menimbulkan belas kasihan.

Pengalaman hidup Donna Williams yang tumbuh di Australia ini memang cukup mencengangkan dan mengharukan. Sebagaimana lazim terjadi pada keluarga pada pertengahan tahun 1960-an, tanpa pernah disadari sejak awal oleh orangtuanya, Donna Williams mengidap autisme. Perilaku aneh, hanya bisa hidup sendiri, mudah terganggu, obsesif, ekolalik, spastik, dan sejumlah kekhasan lain tidak membuat orangtuanya curiga sebagai gejala autistik. Mereka tetap menyekolahkan Williams ke sekolah umum, kendati setiap kali mengalami kesulitan, masalah, atau ketidaknyamanan hanya terus-menerus memojokkan kelemahan Donna. Kondisi ini diperparah oleh keadaan keluarga yang aniaya, abai, tak ramah, dan berpenghasilan rendah.

WAJAR BAHWA autisme merupakan kelainan yang masih sukar disadari keberadaannya, sebab baru pertama kali diterangkan oleh psikiatris Amerika Lee Kanner pada 1943. Kelainan ini sangat sering dinisbatkan sebagai keterbelakangan mental, begitu pula yang terjadi pada Donna. Karena gagal, dia kerap dipindah-pindah sekolah, sering diejek, tak punya teman, juga sangat penyendiri. Perlakuan itu membuat Donna makin tenggelam hidup dalam dunia sendiri, sering berkawan dengan karakter imajiner yang muncul dari angan-angan atau sosok pribadi kawannya. Seolah-olah mereka adalah kawan baik teman berbagi segala hal. Bagi gadis penyendiri yang memiliki pengalaman mental sendiri, tak mudah baginya membedakan yang mana karakter imajiner dan real. Dia hidup terasing dalam dunia imajiner sebagai Willie dan Carol, atau kadang-kadang muncul sebagai diri-lain, Donna. Padahal penuturan dalam buku itu disampaikan oleh orang pertama, aku (yakni Donna Williams sejati).

Split personality menjadi empat pribadi berbeda karakter inilah yang sebenarnya menyusahkan pembaca menentukan antara pengalaman dunia real dan imajiner semata-mata. Memang, melalui sejumlah upaya keras terapi, pencarian kesadaran, perkembangan intelek, Donna sendiri akhirnya mampu "menemukan" diri sebagai pribadi utuh lewat karakter-karakter itu; setidaknya mampu membedakan dengan baik. Hingga lebih dari halaman ke-100, di antara penuturan yang terasa membingungkan, kabur, struktur bahasa agak kacau, bahkan kehilangan konsep waktu, Donna sangat kesulitan mencari benang merah atau fokus topik tulisan. Bahkan dia juga kesulitan “menentukan” sejenis apakah kelainan yang diidapnya itu, apakah autisme, skizofrenia, kegilaan, atau spastik. Baru pada pertengahan buku, seiring dengan perkembangan emosi dan intelektualnya, penuturannya mulai lancar, bahkan di bagian akhir tampak Donna memang mampu mengungkapkan alam penderita autistik itu dengan baik sebagaimana pujian Goleman, termasuk memetakan autisme di antara sejumlah kelainan sejenis. Apalagi dia berusaha menerangkan secara khusus sejumlah "bahasa komunikasi" bagi orang autistik; setidaknya bagi dirinya sendiri, yakni di bagian “Catatanku” dan “Epilog.”

Sebagian penderita autistik memiliki kelebihan, Donna Williams adalah salah satunya. Kelebihannya ialah bahwa dia berbakat seni, berminat pada bahasa dan sastra, termasuk menikmati dan menciptakan puisi & seni rupa. Dia mampu mengapresiasi puisi T.S. Eliot dan lukisan Vincent van Gogh. Jika Raymond Babbitt dalam Rain Man mampu menghapal dengan tepat barisan panjang angka matematika, Donna Williams mampu menulis dengan baik alam batinnya yang mirip mimpi. Kemampuan itu dia gunakan seoptimal mungkin untuk memahami "keanehan" yang terjadi dalam jiwanya sendiri, untuk kemudian mencoba mengerti betapa dunianya begitu berbeda dari orang-orang dan lingkungan sekitarnya; dia hanya berharap semata-mata agar orang memperlakukannya sewajarnya. Tulisnya, "Ini merupakan upayaku untuk secara otomatis mengembangkan identitas diri yang lebih stabil, lebih layak ditampilkan, dan lebih diterima masyarakat, di bawah bimbingan seorang manusia yang sama-sama sangat kuhargai; psikiaterku," (hal. 174).

Harapan sederhana ini pun sebenarnya sangat sukar dicapai karena orang autistik memang memiliki gangguan yang menghalangi perkembangan kemampuan seseorang untuk berkomunikasi, berinteraksi dengan orang lain, termasuk memelihara hubungan secara normal dengan dunia luar. Secara alamiah saja dunia mereka berbeda, termasuk cara berkomunikasi, memandang dunia, termasuk kebiasaan atau mengungkapkan perasaan. Perbedaan itu membuat ibunya sendiri menolak dia sejak awal melihat perilakunya yang berbeda dari balita pada umumnya.

TULISAN DONNA sejak awal membuktikan kegagalan menerima dan memperlakukan perbedaan itulah yang membuat hidupnya tambah sukar, terasing. Dia menyatakan, "Ketika aku menulis buku ini, aku percaya bahwa aku dilahirkan dengan keterasingan, dan kalaupun tidak, aku pasti sudah hidup dalam keterasingan ketika perkembangan emosionalku mulai terganggu, yaitu ketika aku berusia tiga tahun," (hal. 447). Padahal dari penuturannya, pembaca bisa merasakan upaya afeksinya kepada orang lain cukup besar.

Seperti dalam banyak memoar biografi maupun autobiografi yang jujur, gamblang, tanpa ingin berpura-pura, atau mendapat belas kasih semata-mata, kisah Donna Willams ini menghadirkan kenyataan yang manusiawi, bahwa tragedi itu ada, bisa terjadi kapan pun, menimpa siapa pun; dan orang dipaksa untuk mampu menerima dan belajar banyak hal dari sejumlah kesukaran itu. Moral utama kisah hidup Donna Williams ini ialah kasih sayang seharusnya menjadi terapi terbaik yang bisa disediakan setiap saat oleh setiap orang, terutama oleh mereka yang "normal" bagi mereka yang "berbeda." Inilah yang gagal diberikan sejak dini terutama oleh ibu Donna sendiri atau orang-orang terdekat di sekelilingnya; padahal hanya kasih tulus yang mampu membuat seseorang terus hidup, bahagia, dan nyaman, bagaimanapun buruk keadaannya. Sekali lagi pembaca diajari biarpun kehidupan bisa berlangsung sangat sukar, menderita, "kelainan" itu bukan akhir segalanya. Jika memiliki setitik keyakinan, iktikad pada kebaikan, dan keinginan keras, orang akan dibimbing untuk mampu mewujudkannya. Donna Williams membuktikan hal tersebut. Meski autistik, dia mampu melakukan sejumlah hal sangat berarti, salah satunya adalah mendirikan Alternative Approaches to Autism Consultancy (AAAC), yang secara khusus didedikasikan bagi penderita autisme seperti dirinya.[]

Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.

Thursday, June 07, 2012

Skizofrenia, Metafora Kondisi Masyarakat Kita
--Anwar Holid

Mereka Bilang Aku Gila: Memoar Seorang Penderita SkizofreniaJudul asal: The Day the Voices Stopped: Memoar of Madness and Hope
Penulis: Ken Steele dan Claire Berman
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penerbit: Qanita Mizan, 2004
Tebal: 436 halaman
ISBN: 979-3269-16-2


YASRAF AMIR PILIANG---penulis prolifik dari Bandung---pernah bercerita bertemu seseorang yang tahu dirinya mengajar di Institut Teknologi Bandung. "Dulu saya juga pernah mau masuk ITB," kata orang itu kepadanya, "cuma gagal karena rambut." Katanya sambil menunjuk kepala, menyentuh rambut. Yasraf tersenyum. Bagaimana mungkin seseorang gagal masuk perguruan tinggi karena rambut? Atau Anda masih ingat John Nash dalam A Beautiful Mind yang dimainkan sangat menyentuh oleh Russel Crowe? Ketika berpesta kebun bersama rekan-rekannya, disebabkan oleh pantulan cahaya melalui gelas dan kaca pada dasi seorang temannya, dia berkata, "Mungkin ada penjelasan matematika kenapa dasimu jelek." Tentu saja temannya tersinggung.

Tapi demikianlah, seorang skizofrenia melihat hal berbeda dari orang normal, bahkan dalam banyak kasus melihat hal yang tak ada. Mereka mengalami sesuatu yang berbeda, baik mental maupun fisiologis, dan itu menyebakan kesulitan hidup dalam dunia umum. Mereka berpikir secara tak lazim, gerak-geriknya aneh, gagal berkomunikasi, hidup dalam dunia sendiri, yang parah disertai sejumlah simptom seperti delusi dan halusinasi---namun sama sekali tak sadar bahwa fungsi mentalnya terganggu. Dalam kasus Nash, dia merasa memiliki teman sekamar dan sepupunya, terus diikuti oleh agen Departemen Pertahanan. Mereka terus ada bahkan sampai ketika Nash pulih dari sakitnya, "Hanya aku memilih tak mengakuinya," begitu kata Nash untuk mengakhiri ajakan masuk ke dalam "dunia lain" itu.

Pengalaman Ken Steele dalam buku ini juga khas seorang penderita skizofrenia. Sejak remaja dia mendengar suara yang menitah menghabisi nyawanya karena dirinya dianggap tak berharga, terus-menerus menghina dan menyalahkan diri, kerap hidup dalam khayalan sendiri. Dia gagal berkomunikasi dengan keluarga dan lingkungan, akibatnya dia melarikan diri ke kota besar---namun langkah itu ternyata menuju pada malapetaka mengerikan, hidup di jalanan, dipaksa menjadi pelacur, tanpa rumah, pekerjaan, kawan. Puncaknya, tak tahan akan desakan suara-suara itu, dia akhirnya terjun dari sebuah gedung, untung nyawanya masih terselamatkan oleh polisi dan petugas kesehatan. Mujur negara seperti Amerika Serikat cukup mampu menjamin keselamatan dan kesehatan warganya, memberi layanan memadai kepada orang yang membutuhkan, Ken Steele diberi obat, diterapi perlahan-lahan, berkali-kali---bahkan ketika mencoba kabur sekalipun---sampai akhirnya sembuh meskipun harus terus mengonsumsi obat. Sisa hidupnya yang waras dia persembahkan untuk kembali menolong orang seperti dirinya, terutama kalangan lebih miskin, yang kadang-kadang jaminan sosialnya ditolak rumah sakit karena berbagai alasan, menerbitkan jurnal dunia skizofrenia dan penderitanya, menjadi relawan kegiatan kemanusiaan, aktif mengupayakan agar undang-undang bagi penderita skizofrenia bisa diterima menjadi hukum wilayah, dan berkampanye agar mereka lebih diperhatikan dewan perwakilan. Di balik deritanya, Ken Steel terus berusaha menjadi orang produktif, membantu dan melayani orang lain. Penuturan Steele yang ditulis Claire Berman dalam Mereka Bilang Aku Gila ini cukup memberi gambaran utuh bagaimana adanya penderita skizofrenia.

ORANG KEBANYAKAN memang lazim menyebut skizofrenia sama dengan gila---dalam beberapa hal memang mirip. Namun detailnya berbeda. Di zaman dahulu istilah yang mendekati skizofrenia adalah psikosis. Definisi skizofrenia paling tepat dijelaskan dalam psikoanalisis. Salah satunya adalah menurut Jacques Lacan---seorang ahli psikoanalisis paling terkemuka di akhir abad ke-20---sebagaimana ditulis Yasraf dalam Hipersemiotika: "putusnya rantai pertandaan, yaitu rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu ungkapan atau makna." Menurut Lacan, skizofrenia menganggap kata sama seperti benda sebagai referensi, dengan pengertian, sebuah kata tidak lagi merepresentasikan sesuatu sebagai referensi, melainkan referensi itu sendiri menjadi kata. Itu sebabnya kenapa bagi seorang penderita skizofrenia, rambut tak berbeda dengan otak atau kepintaran, pasar dengan pasir. Mereka tak bisa membedakan mana yang nalar dan tak masuk akal, juga tidak memiliki konsep waktu. Lebih dari kebanyakan sakit mental lain, skizofrenia memiliki efek melemahkan hidup penderitanya. Sangat umum penderita skizofrenia memiliki kesulitan membedakan pengalaman nyata dan tak nyata. Dalam kondisi normal pun orang fiktif dalam hidup John Nash itu tak lenyap juga, mereka berbaur dengan orang nyata dalam pandangannya. Maka satu-satunya cara adalah dengan bertanya kepada orang lain, "Apa kamu lihat orang di samping saya ini?" Lebih buruk karena orang fiktif ini lebih sering mengintimidasi atau mengancam penderita skizofrenia daripada menjadi pelindung atau menyenangkannya. Hingga saat ini belum ada obat antipsikotik untuk mengatasi skizofrenia sampai sembuh total, namun sejumlah obat bisa menenangkan penderita, meski kadang-kadang dampak sampingnya besar sekali. Tanpa pengobatan, fantasi itu bisa kembali mengambil alih.

Entah karena ditulis oleh Claire Berman yang normal, atau Ken Steele memiliki kemampuan jurnalisme yang bagus dan dituturkan setelah dia normal, memoar ini tidak sesukar yang akan disangka calon pembaca. Penuturan Steele terstruktur baik dan cara menulis Berman pun lancar. Sangat berbeda dengan Dunia di Balik Kaca (Donna Williams)---meski sama-sama hidup dalam dunia sendiri---yang hingga halaman 100 lebih masih kabur dan sukar dipahami, buku ini terasa normal saja. Berman memilih menyusun buku ini ketika Steele mulai disika suara-suara asing, menyisipkan pengalaman, penderitaan dan kegetiran hidup, upaya penyembuhan, diakhiri setelah normal dia berkampanye untuk sesamanya. Suara-suara asing itu setiap saat menjadi ancaman hidup, unsur menakutkan, berusaha menghancurkan mental Steele setiap kali melakukan hal buruk, salah tempat, atau gagal mengikuti kemauan suara asing tersebut.

Buku ini mungkin bukan yang sangat memikat menceritakan derita skizofrenia; biografi John Nash dalam A Beautiful Mind karya Sylvia Nasar jauh lebih mengharukan, luar biasa, mampu menguras emosi. Tapi untuk khalayak pembaca kita, buku Ken Steele ini boleh mendampingi film itu, karena buku karya Nasar tidak tersedia di toko buku kita. Skizofrenia masih cukup asing, kerap disalahpahami, dan sukar disadari oleh orang di sekeliling penderita, seperti orangtua, keluarga, tetangga, dan kawan sebaya. Orang lain yang menyaksikan seseorang tiba-tiba tertawa, mendebat hebat sendirian, ketakutan berlebihan atau berkelakuan membahayakan mungkin hanya bisa menertawakan atau menganggap dia tak waras---padahal pengalaman itu real bagi dirinya.

MENARIK BAHWA Qanita menerbitkan sejumlah memoar, biografi, dan autobiografi yang dekat realitasnya dengan kehidupan masa kini, memberi referensi pengalaman yang benar-benar autentik dari sudut pandang "orang dalam." Setelah menerbitkan anak tanpa kasih sayang, penderita autisme, tragedi pendakian Everest, kini penderita skizofrenia, barangkali di masa mendatang Qanita bisa menerbitkan buku tentang penderita ODHA (orang dengan HIV aktif), indigo, seorang psycho, atau pengidap kanker. Sebagian besar pembaca memoar berharap pada kejujuran penutur, kedekatan emosi, kedalaman perasaan, atau membayangkan andai peristiwa itu juga dia alami---karena kemungkinannya itu bisa terjadi di antara orang kebanyakan.Alasan itu cukup membuat memoar mudah diserap pasar. Mereka Bilang Aku Gila adalah produk lanjutan sejenis buku lain: tragedi atau penyakit yang dialami manusia modern, dan moralnya adalah usaha manusia untuk tak kenal lelah mengatasinya, berserah diri pada takdir, tabah menerima cobaan---seberat apa pun, dan karena ditulis “orang dalam” dijamin bisa menyentuh rasa kasih setiap orang.

Penyakit dan tagedi manusia modern sangat beragam, berbeda bentuknya dibandingkan malapetakan masa lalu. Kini tak ada lagi orang meninggal karena tuberkolosis (TBC) atau lepra, namun penderita sakit modern seperti AIDS dan skizofrenia bertambah banyak dan tipenya macam-macam. Maka benar kata Susan Sontag---filosof budaya Amerika---bahwa sakit merupakan metafora sebuah zaman. Metafora sakit masa kini di antaranya AIDS, kanker, juga skizofrenia. Kata Sontag, "Sakit adalah sisi gelap hidup, kewarganegaraan yang lebih sukar. Semua orang yang lahir memegang dua kewarganegaraan: kerajaan sehat dan kerajaan sakit. Meski kita semua lebih suka hanya menggunakan paspor yang sehat, cepat atau lambat kita wajib memperkenalkan diri sebagai warga negara kerajaan lain itu, setidaknya karena terserang. Sakit sudah selalu digunakan sebagai metafora untuk menekankan tuduhan bahwa sebuah masyarakat korup atau zalim. Metafora penyakit tradisional terutama adalah cara menjadi berapi-api, sebaliknya metafora modern relatif lebih menunjuk ketidakpuasan."

Bagi pembaca awam buku seperti ini bisa memberi pengaruh emosi, kasih sayang; namun bagi pembaca lanjut---seperti Yasraf Amir Piliang tadi---skizofrenia dapat digunakan menjelaskan fenomena lebih luas, di antaranya fenomena bahasa (Jacques Lacan), fenomena sosial ekonomi, sosial politik (Gilles Deleuze dan Felix Guattari), dan fenomena estetika (Fredric Jameson). Dalam kasus Steele misalnya, dia cukup beruntung karena ada negara yang bisa membantu menyelamat kehidupannya; sementara berjuta-juta penderita yang sama terlantar, diabaikan, disingkirkan masyarakat dan negara, dianggap itu penyakit yang tak bisa diapa-apakan. Bila ditarik ke sistem institusi sosial kita, akan terasa betapa buruk layanan kesehatannya, sangat egois karena tak mau peduli, bukan merupakan prioritas perjuangan banyak kalangan. Maka kerja keras Steele memulihkan kesehatan mental, mengusahakan agar penderita skizofrenia memperoleh hak sewajarnya bisa dijadikan bukti bahwa penyakit itu kini merupakan sesuatu yang tak bisa dipisahkan dari semua orang, merupakan ciri masyarakat kontemporer.[]

Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.

Saturday, June 02, 2012



FIELD SCRIPT (Arloji Quartz)
---Anwar Holid
   
Dengan harga fantastik yang dirahasiakan, aku beli arloji quartz (batere) model jam militer merek FIELD SCRIPT buatan J-Axis Watch, Jepang. Desain jam ini simpel, terkesan tegas, dan kondisinya OK banget. Masih mulus, mengkilap, enak dilihat. Wadahnya berbentuk lingkaran terbuat dari stainless steel, disertai pelindung crown (pemutar). Jarum penunjuk jam dan menit berbentuk pedang, sementara jarum detiknya mirip anak panah warna merah.

Desain FIELD SCRIPT sangat tipikal jam militer, sehingga kalau mau kita bisa dengan mudah melacak atau mencari kemiripannya dengan berbagai model jam militer keluaran merek-merek lain. Ciri utama dari jam militer ialah ia lazimnya menggunakan penunjuk angka arab (angka romawi atau tanda lain sangat jarang digunakan) dengan sub-dial 24 jam, sering menggunakan tali nilon atau kulit warna khaki (hijau kecokelatan), dan jarum penunjuk maupun angkanya dilapisi bahan yang bisa menyala kala gelap. FIELD SCRIPT memiliki ciri itu semua. Tapi karena jam ini mungkin bukan jam militer asli yang digunakan tentara melainkan cuma 'rasanya' berkarakter militer, nyalanya sudah redup. Ia baru menyala terang kalau didekatkan dulu ke sumber cahaya. Dari desainnya kita tahu bahwa jam militer memang lain dengan jam untuk tampil (dress watch) yang biasanya terlihat lebih elegan dan mentereng. Menurut saran etiket, jangan sampai jam militer dipakai dalam situasi formal seperti meeting. Jam seperti ini cocoknya dipakai waktu beraktivitas informal terlebih-lebih yang sangat aktif seperti main dan olahraga.

Pelindung crown pada FIELD SCRIPT di satu sisi mengamankan crown dari kecelakaan, tapi akibatnya sedikit mengurangi kebebasan bila kita sedang mengatur waktu. Untuk arloji quartz biasa, tiadanya fitur tanggal dan hari pastilah menjadi kekurangan yang amat terasa. Tapi lagi-lagi, secara tradisional jam militer memang cuma berfungsi sebagai penunjuk jam, menit, dan detik, bukan yang lain-lain. Karena itu barangkali hal ini bisa dipahami. Info water resistance 10 BAR di dial berarti jam ini aman bila tetap digunakan ketika mandi, renang, apalagi wudhu. Tapi tidak untuk yang lebih berat, misalnya scuba diving.

Arloji quartz selalu memiliki akurasi yang lebih baik daripada jam mekanik (otomatik). Meski begitu ia kurang favorit di mata para peminat horologi. Salah satu penyebab utamanya ialah arloji quartz dinilai 'tidak punya nilai seni' karena bisa jadi ia tidak memiliki mesin (movement) rumit dan artistik yang mengagumkan serta asyik untuk diperhatikan. Tapi banyak orang ternyata sudah cukup senang bila jamnya bisa diandalkan sebagai penunjuk atau pengingat waktu. FIELD SCRIPT pun mampu berfungsi seperti itu dengan baik.[]

Tertarik pada arloji maupun benda vintage keren lain? Pls klik http://garasiopa.com.

FIELD SCRIPT orisinal, dari sini http://global.rakuten.com/en/store/jimu/item/008413k