Sunday, January 31, 2010


Indeks yang Ngaco
---Anwar Holid

Sudah lama aku mengidam-idamkan buku Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach & Tom Rosenstiel (Pantau, 2006, 297 hal.) Selama ini aku hanya suka menyempatkan buka-buka buku itu kalau sedang berkunjung ke toko buku Ultimus. Aku tertarik buku itu setelah Farid Gaban meresensinya di milis jurnalisme@yahoogroup.com. Lagian, sebagai orang yang antusias belajar tentang penulisan, aku ingin memiliki rujukan buku penulisan lebih banyak lagi. Baru kemarin setelah dapat rezeki dan berkunjung lagi ke toko buku itu, aku memutuskan membelinya. Tiga tahun lebih sudah berlalu!

Sembilan Elemen Jurnalisme adalah buku bagus. Sejumlah resensi acak terhadap buku itu di Internet membuktikannya. Di Indonesia tampaknya buku itu diperkenalkan secara konsisten oleh Andreas Harsono. Andreas meresensi edisi Inggris buku itu secara komprehensif di blognya. Kita akan membicarakan edisi Indonesia buku tersebut, persisnya bagian indeks. Jadi bahasan ini berusaha mengesampingkan penilaian terhadap kualitas penyuntingan isi buku tersebut---meskipun tetap saja ada salah eja, cara penulisan dan tanda baca, atau diksi yang agak aneh. Salah eja mencolok misal terjadi pada nama Kuce, Henry (hal. 289) yang mestinya ditulis Luce, Henry---pendiri majalah Time. Lebih fatal lagi mengingat "Kuce, Henry" masuk entri huruf L! Juga Lech Walessa (hal. 9), padahal di halaman 11 dan indeks dieja sebagai Lech Walesa; sebuah kota dieja sebagai Gdanks, padahal mestinya Gdansk.

Karena ingin tahu detail buku itu, aku segera memperhatikan sepuluh halaman indeksnya (hal. 283-293). Entah kenapa ingatanku mengarah ke "The New Yorker"; ternyata kata kunci tersebut muncul, disebut ada di halaman 71. Aku langsung menuju ke halaman itu, mencari-cari... dan tidak ketemu. "Mungkin di halaman selanjutnya" batinku. Ternyata tetap tidak ada, dan di halaman 72 itu aku malah menemukan nama Henry Luce. Aku langsung balik ke halaman indeks, menuju entri huruf L, mencari "Luce"... dan ternyata malah tidak tercantum. Yang ada ialah "Kuce, Henry", di situ disebut ada di halaman 61, 62, 63.

"Wah, gimana indeks buku ini?" batinku kalut, langsung merasa ada yang salah dengan indeksnya.

Jadi aku putuskan menelisiknya lebih teliti.

Indeks pertama buku ini ialah ABC News, 30-31, 32, 102, 170, 171. Aku cek, ternyata di halaman 30 ABC News tidak ada. Baru ada di halaman 31. Namun di halaman 32 kembali tidak ada, begitu juga di halaman 102 dan 170. Baru ada lagi di halaman 172. ABC News sebenarnya juga muncul di sepanjang halaman 194-197, tapi justru tidak dicantumkan di indeks. "Ini kebetulan atau sengaja?"

Indeks buku ini ngaco. Halaman yang ditunjuknya hampir semua salah. Ia secara acak meleset lebih dari sepuluh halaman. Misal Henry Luce, yang ada di halaman 72, ditulis 61. Michael Mann di halaman 87 ditulis 72. The New Yorker, yang disebut ada di halaman 71 dan 119, setelah dicari-cari baru ada di halaman 86 dan 96.

Bagaimana penerbit dan penyunting buku ini menyusun halaman indeks sampai sepuluh halaman itu praktis sia-sia karena malah bikin frustrasi? Di penerbitan, indeks biasanya dikerjakan oleh asisten editor atau juru indeks atas perintah editor, yang sekalian menentukan subjek dan jangkauan indeksnya. Halaman indeks relatif, disesuaikan kebutuhan buku. Tugas juru indeks sebenarnya sederhana, yaitu memilih kata kunci yang dinilai penting dan relevan dengan isi buku dan mencantumkan di halaman berapa kata itu muncul. Hukumnya: kata dan halaman itu harus akurat. Dalam Sembilan Elemen Jurnalisme, kata kuncinya relataif memadai, cuma halamannya kacau. Padahal syarat indeks itu harus bisa menunjukkan kata kunci dengan cepat dan tepat. Kamus Encarta mendefinisikan indeks sebagai "daftar rujukan alfabetik di buku: suatu daftar alfabetik, biasanya ada di akhir buku, berisi nama orang, tempat, atau topik beserta nomor halaman tempat hal tersebut tertera di sana." Secara harfiah (dari index, b. Latin) kata itu berarti jari telunjuk.

Sungguh merepotkan kalau indeks yang ada ternyata salah.

Aku langsung tanya ke Acia, kawan mantan layouter yang kini jadi programer: "Apa yang membuat halaman di indeks salah (inakurat)? Aku menemukan ada buku halaman indeksnya hampir semua salah."

Jawabnya kena: "Setelah dilayout ulang sesudah proof reading, indeksnya enggak diperiksa lagi (di-update)."

Jelas sudah. Penyunting dan penerbit buku ini tak memeriksa ulang penyusunan indeksnya. Mereka mengira semua baik-baik saja setelah penyuntingan beres, padahal mestinya mengawal pracetak hingga isi buku benar-benar tanpa kesalahan. Kesalahan serius halaman indeks pada Sembilan Elemen Jurnalisme membuat anggapan baikku pada buku ini langsung runtuh. Kasus pada buku ini menunjukkan betapa kesalahan penerbitan bisa terjadi pada siapa saja, dan begitu terjadi, ternyata mudah menemukannya. Sedihnya, ini terjadi pada buku tentang penulisan, yang salah satunya mengajarkan disiplin verifikasi.[]

Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Link terkait:
http://www.pantau.or.id/txt/20/10.html

Wednesday, January 13, 2010



Pertarungan Musik dan Hati John Mayer
---Anwar Holid

Battle Studies (album)
Penyanyi: John Mayer
Rilis: November 2009
Durasi: 46:36 (11 track)
Genre: Blues-rock, pop-rock
Label: Columbia
Produser: John Mayer, Steve Jordan
Rating: ****


Setelah sangat sukses dengan Continuum (2006), John Mayer berniat melakukan pendekatan berbeda terhadap pembuatan album studio keempatnya. Alih-alih melakukan prosedur pengerjaan konvensional dari satu tahap ke tahap selanjutnya secara berurutan, dia ingin melakukan secara simultan, kalau tidak sekalian. Misal, dia ingin mencoba menggabungkan proses penulisan lagu, merekam demo, dan bentuk finalnya dalam sekali kerja. Di situsnya dia bilang begini: "Saya malah sudah ingin punya konsep desain album itu sejak saat rekaman. Kenapa harus menunggu? Kenapa enggak sekalian memasang cover albumnya di studio sambil rekaman di sana?"

Hasilnya ialah Battle Studies, yang bernuansa lain dengan Continuum dan dua album studio sebelumnya. Lagu-lagu dalam Battle Studies lebih easy listening dan catchy bila dibandingkan Continuum, tapi permainan gitar Mayer jauh lebih menonjol, eksploratif, dan mengisi di sana-sini, menyelimuti sepanjang track. Secara keseluruhan ini merupakan album pop-rock dengan sentuhan blues yang cukup terasa, ditambah sedikit pengaruh country---paling terasa dalam lagu "Half of My Heart" dengan vokalis tamu Taylor Swift. Melodi-melodi di seluruh lagu dalam album ini dinamik, pas, dan memuaskan. Semua lagu terdengar enak, tidak ada yang kira-kira butuh waktu lama untuk menikmatinya sebagaimana dalam Continuum, namun juga tidak terdengar kacangan atau seolah-olah Mayer menurunkan standar idealisme biar albumnya mudah diterima.

Mengandalkan bantuan kawan lama dan setia dalam John Mayer Trio, yaitu Pino Palladino (bass) dan Steve Jordan (drums), irama album ini ceria (upbeat tempo) dan relaks. Tidak ada yang cukup bisa membuat gitarnya meraung-raung seperti waktu dia meng-cover "Bold as Love" milik Jimi Hendrix. Namun kali ini gitarnya malah mendadak sering melengking atau menyela memberi aksen, seperti bila kita dengar permainan David Gilmour atau Eric Clapton. Pilihan suaranya juga terdengar unik. Di album ini dia meng-cover lagu Robert Johnson ("Crossroads"), sedangkan di edisi iTunes pre-order dia memberi bonus cover lagu "I'm on Fire" karya Bruce Springsteen.

Berbeda dengan Continuum yang banyak bicara tentang dunia di luar dirinya, terutama soal politik dan sosial, cenderung grandeur dan selintas mirip sebagai album konsep, tema Battle Studies malah balik lagi ke berkisar soal cinta, upaya pengertian antara dua hati para kekasih, dan persoalan diri sendiri. Sensitivitas Mayer, sebagaimana telah terlampiaskan dengan hebat di sejumlah lagu hits lama dan mampu membuat penggemarnya nyanyi bersama-sama, luber kembali di album ini. Mungkin ini justru membuat album ini tampak "kurang dewasa" dan agak cemen. Banyak penggemar fanatik Mayer kecewa dengan subject matter album ini. Apa ini patut disayangkan? Bisa jadi. Untuk soal ini, Mayer berkomentar, "Album ini berjudul Battle Studies karena menggabungkan banyak pelajaran, observasi, dan sejumlah nasihat. Ini seperti sebuah buku pegangan, yaitu buku pegangan kala patah hati." Jelas sudah. Sebagai simbol populer lelaki metroseksual, Mayer memang kerap diberitakan putus-nyambung dengan sejumlah artis perempuan, misal Jessica Simpson, Jennifer Aniston, dan kini Taylor Swift. Runyamnya hubungan lelaki-perempuan itu mempengaruhi isi penulisan lirik secara keseluruhan. "Tapi itu tidak berarti bahwa kehidupan personal saya lebih kuat dibandingkan musik itu sendiri," jamin Mayer pada Nekesa Mumbi Moody dari AP Music. Jelas dia malas mengorbankan musiknya demi gosip atau anggapan remeh-temeh seperti itu. Sebagai penyanyi, pencipta lagu, dan gitaris yang sudah dilabeli "dewa gitar" baik oleh majalah musik terkemuka dan penggemar rock secara umum, kita boleh percaya pada ucapan Mayer. Di dalam Continuum dan terlebih-lebih pada Try!, Mayer sudah membuktikan dirinya rela mengejar idealitas dalam bermusik.


Buktinya ialah dari penilaian review profesional terhadap Battle Studies. Meski jelas tampak kesulitan menyamai Continuum, rata-rata review tetap menilai album ini memuaskan, misal dari Metacritic. Billboard bahkan berani bilang album ini merupakan yang terbaik dan penuh petualangan dari semua album studionya. Menurut saya sendiri album ini asyik. Ia mengingatkan saya pada Listen Without Prejudice, Vol. I (George Michael) atau Graceland (Paul Simon) yang semua lagunya enak. Pop-rock memang, tapi hebat. Key track pilihan saya ialah "Assassin" dan "Edge Of Desire".[]

Anwar Holid menyetel musik untuk menemaninya hidup. Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Situs terkait:
http://www.johnmayer.com

Tuesday, January 12, 2010


Buku yang Membuat Saya Malas Membacanya
---Anwar Holid

Haji Backpacker, Memoar Mahasiswa Kere Naik Haji
Penulis: Aguk Irawan
Penerbit: Edelweiss
Tebal: 200 halaman 
ISBN: 978-602-8672-03-0


Haji Backpacker karya Aguk Irawan (Edelweiss, 200 hal.) merupakan contoh buku yang membuat saya malas membacanya. Tentu bukan karena isinya, melainkan karena editing dan penulisannya yang buruk. Isi sebuah buku sangat relatif dan subjeknya bisa tentang apa pun, karena ada banyak faktor yang bisa membuatnya menarik buat dibaca. Sementara editing dan persoalan penulisan itu jelas, karena ada standar dan aturan tertentu. Salah satunya kita ingin membaca tulisan yang efektif, enak dibaca, menggunakan EYD dengan baik. Tidak usah sangat ketat dan kaku, cukup masuk akal saja, biar membuat pembacaan jadi lebih mudah dan nyaman. Apalah artinya EYD selain sekadar kesepakatan berbahasa untuk memudahkan kita berkomunikasi?

Mari kita perhatikan kalimat pertama buku ini: "Kenapa kamu membawa, gula batu?" Tanya seseorang yang duduk bersebelahan di sebuah perjalanan kereta.

Seorang yang terlatih membaca tulisan bahasa Indonesia bisa langsung menunjuk kenapa tulisan itu buruk. Salah menggunakan dan menempatkan koma, teledor menggunakan huruf kapital. Sangat elementer. Saya kembali gagal menahan diri untuk membiarkan betapa kesalahan semacam ini terjadi lagi dalam buku-buku terbitan kita. Kenapa penerbit tergesa-gesa menawarkan produk semacam ini tanpa pengawasan memadai? Bagaimana mungkin penulis yang biodatanya ditulis sepanjang empat halaman di buku itu bisa menulis seperti itu? Bagaimana mungkin penyunting membiarkan hal seperti itu lolos dari pengawasannya? Itu baru di kalimat pembuka!

Bila kesalahan di kalimat pertama sudah begitu mencolok, bisa kita bayangkan ke dalam-dalamnya. Maka saya memutuskan untuk bolak-balik saja membacanya, sekadar ingin tahu buku ini berisi tentang apa. Saya lebih ingin menyoroti keanehan penulisan dan buruknya penyuntingan buku ini, biar jadi pelajaran buat kita semua---pembaca yang ingin mendapatkan buku bermutu yang disiapkan dengan sungguh-sungguh.

Kejanggalan penggunaan huruf kapital maupun tanda baca bertebaran di buku ini, ditambah lagi salah ejaan, inkonsistensi format italic, dan cara penulisan. Contoh, di baris ke lima di bawah kalimat pertama tertulis "negeri piramida", sementara di halaman 7 tertulis "Negeri Piramida"; mau menggunakan "jemaah" atau "jamaah"; "hotel Hilton" atau "Hotel Hilton" dan sejenisnya, aku atau saya, atau lebih teledor lagi: menulis "Allah Saw." (hal. 53).

Keteledoran dan penyuntingan berlepotan seperti itu sulit ditoleransi. Cukup sekian saya mengkritik, biar saya tak semakin tampak nyinyir dan bawel, seakan-akan jadi polisi EYD dan paling tahu soal penyuntingan. Seperti saya akui sejak jauh hari, saya juga bukan editor teladan yang bebas dari kesalahan seperti itu---tapi boleh taruhan, kesalahan saya tak sebanyak itu dalam sebuah buku. Buat saya, penyuntingan dalam buku ini mengerikan. Kalau kita pikirkan lebih lanjut bahwa buku ini diterbitkan penerbit yang berafiliasi dengan Islam, makin malulah kita membayangkannya. Subjek buku ini tentang rukun Islam, tapi kualitas kontrolnya hancur-hancuran. Dalam hati saya berdoa untuk diri sendiri, semoga kinerja saya sebagai editor tambah bagus dan awas. Rasanya saya punya iktikad untuk membuat buku jadi lebih baik.

Sisanya, saya hanya berani menduga-duga. Kenapa penerbit tetap melempar buku ini ke pasar meski penyuntingannya buruk? Kenapa tampak tergesa-gesa, seakan-akan mengabaikan keinginan pembaca atas produk berkualitas? Apa penerbitan buku ini begitu terdesak oleh kekuatan luar biasa sampai mustahil ditunda demi perbaikan pracetaknya?

Beberapa bulan lalu saya mengkritik kejanggalan editing buku lain sampai sang editor menganggap saya berniat mendiskreditkan kinerja dan namanya, bahkan menuduh saya jahat terhadapnya, kini saya dikirimi buku dengan kasus yang tampaknya lebih parah. Tapi kalau dibiarkan rasanya saya membohongi diri sendiri, bahwa kita ingin menerbitkan buku yang baik, memiliki keterbacaan tinggi, luwes menggunakan norma bahasa---bukan asal-asalan.

Semoga kita belajar dari kasus penerbitan buku ini. Jangan lagi kita menyia-nyiakan kertas, tinta, biaya produksi untuk buku dengan kualitas editing rendahan. Nanti malas kita membacanya.[]

Anwar Holid, editor, penulis, dan publisis. Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Link terkait:
http://www.ptiman.com
http://www.ptiman.com/katalog/edelweiss/125-haji-backpacker.html

Friday, January 08, 2010



Kupas-kupaslah, Pecahkanlah, Pecahkanlah
---Anwar Holid


Kaget saya. Komunitas Salihara dua kali mengirim esai tentang buku puisi Jantung Lebah Ratu karya Nirwan Dewanto (GPU, 94 hal.) sebelum dan sesudah acara diskusi buku tersebut pada Senin, 19 Oktober 2009. Esai tersebut masing-masing "Aku dan Sebuah Rumah Berpintu Terbuka" (Zen Hae, 14 hal.) dan "Ikhtiar Melampaui Rezim Indrawi, Menghadirkan yang Tak Terungkap Bahasa" (Bagus Takwin, 13 hal.)

Rupanya Komunitas Salihara menganggap saya mendalami sastra dan "menunjukkan minat terhadap buku puisi Nirwan Dewanto," jadi pantas menerima esai tersebut. Berminat! Sejujurnya buku itu sudah agak lama saya selipkan di jajaran rak buku paling atas, setelah dulu terang-terang bilang betapa sulit saya memahami isinya. Jantung Lebah Ratu merupakan buku puisi paling jahanam yang pernah saya baca. Dua esai itu bermanfaat bagi pembacaan dan pemahaman lebih lanjut. Efeknya jelas: saya jadi membaca-baca lagi arsip komentar sejumlah orang tentang Jantung Lebah Ratu.

Pertama ialah resensi Acep Iwan Saidi di Kompas, Minggu, 14 Desember 2008, yang langsung disambar oleh Saut Situmorang sebagai pseudo-analisis. Menurut saya, Acep bisa melihat sisi lain sebuah buku puisi yang gagal saya nikmati, meskipun dia pun cukup kepayahan melakukannya, misal dengan bertanya retoris: "Kapankah pembaca seperti saya bisa memahami hamparan estetika tersebut?" Soalnya dia kuatir bahwa puisi Nirwan menunjukkan gejala skizofrenik. Acep jelas lebih "menunjukkan minat" terhadap puisi Nirwan.

Resensi Acep memancarkan kesan positif terhadap Jantung Lebah Ratu, bahwa puisi-puisi di sana menawarkan sesuatu yang mengejutkan, bahkan meskipun itu skizofrenik. Diskusi itu mengingatkan saya pada perdebatan tentang "puisi gelap" bertahun-tahun lalu; dulu kritikus seperti Saini K.M. bisa menjelaskan seperti apa "puisi gelap" yang berhasil dan mana yang gagal. Penyair bisa sama-sama menggunakan kata "cacing" atau "tuhan" baik untuk hal yang suci dan profan. Bagaimana membuktikan atau menganalisisnya? Orang seperti Saut Situmorang ahlinya. Komentar yang berani dan jujur bisa mengembalikan opini kepada publik, seperti apa sebenarnya sebuah puisi itu.

Bareng dengan pengakuan, pujian, dan keberhasilan atas puisi karya Nirwan, kesan menonjol dari para komentator ialah mereka rupanya perlu mati-matian dulu untuk bisa menikmati karyanya. Usaha itu sungguh luar biasa bila dibandingkan dengan tudingan Saut Situmorang terhadap Acep: "Andai nama penulisnya bukan 'Nirwan Dewanto,' apa Anda akan membuat pleidoi seperti ini, bukan langsung mengatakan puisi itu gagal?"

Saya juga menduga bahwa para pembaca awal Jantung Lebah Ratu mengalami kesulitan serupa, namun beruntung mereka akhirnya sukses. Boleh jadi karena mereka punya alat pemahaman maupun wawasan lebih luas, dengan begitu bisa lega berkomentar setelah menemukan kesulitan. Enin Supriyanto awalnya bahkan mengaku susut nyali setiap kali menemui "puisi bebas" sejenis karya Nirwan Dewanto. Namun dia mengaku kekhawatirannya terbayar tuntas.

Pembacaan Bagus Takwin dan Zen Hae juga terasa berat. Untuk meyakinkan bahwa puisi Nirwan Dewanto hebat, masing-masing meminjam pendekatan Alain Badiou dan Umberto Eco. Cara itu malah mengingatkan saya pada komentar Saut Situmorang, yaitu "Nirwan Dewanto memilih mana yang kira-kira akan membuat pembacanya tahu kalau dia baru saja habis baca sajak-sajak orang lain." Di Jantung Lebah Ratu, Nirwan memang menggunakan, mengutip, dan memiuhkan sejumlah kata, frasa, atau baris dari puisi, prosa-puisi, cerita pendek, dan lirik lagu yang sudah ada--misalnya dari karya Hiroshi Sekine, Wallace Stevens, Juan José Arreola, Umar Kayam, juga Ismail Marzuki dan Sukamto.

Bagus Takwin berkomentar, "Nirwan Dewanto berani mengambil risiko untuk tak dipahami oleh cara pikir lama, siap untuk tak disapa oleh dunia lama karena mendeklarasikan pikirannya dan bukan berkomunikasi lewat puisi." Zen Hae menilai: masalah pemaknaan puisi-puisi Nirwan bukan melulu disebabkan oleh kondisi intertekstual. Dalam beberapa kasus itu lebih disebabkan oleh jaringan kalimat yang membangun mereka. Meski masih ada alas cerita di sana, mereka membangun satuan-satuan ujaran itu dalam alinea yang cukup panjang dengan fokus ujaran yang terus berpindah dari satu detail satu ke detail lainnya. Bahkan ketika detail itu terasa belum selesai. Mereka memakai bukan hanya kalimat tunggal, tapi kalimat majemuk dengan hubungan sebab-akibat yang cukup menguras keringat. Belum lagi ketika di dalamnya tampil permainan citra yang terasa sangat ajaib, bahkan ganjil, dan alusi yang menjangkau berbagai khazanah sastra dan pengetahuan umum. Gerombolan kata yang mesti diburu hingga ke dalam kamus dan ensiklopedi. Semacam rentetan "monolog interior" yang membuat pembaca awam cukup kerepotan menyingkapkan makna yang tersembunyi di dalamnya.

Sayalah salah satu pembaca awam itu.


Rendahnya keterbacaan pada puisi Nirwan Dewanto membuat saya jadi tersudut. "Kalau kamu alergi terhadap karya sulit, aku takut kamu hanya ingin agar penulis menghasilkan karya yang gampang-gampang saja untuk dicerna," demikian kata seorang teman. Pendapat ini masuk akal. Soalnya saya kerap bilang bahwa salah satu tugas utama penulis ialah mengeksplorasi bahasa sehebat-hebatnya. Bisa jadi, itulah yang Nirwan lakukan dengan tingkat kesulitan tinggi. Mestinya saya bahagia karena menemukan karya yang pantas dibedah menggunakan seluruh daya upaya.

Pada dasarnya yang paling saya sukai dari teks sastra ialah keterbacaan: merangsang imajinasi, mudah dibaca dan dipahami. Penulis mau menyampaikan apa? Apa pesan itu sampai dengan baik? Bentuk tidak jadi masalah. Lepas dari eksplorasi gila-gilaan, yang menonjol di buku puisi itu ialah kepandaian Nirwan Dewanto menemukan kata susah dan asing, dengan idiom-idiom aneh, misalnya temurui, campuhan, zuhrah, bubu. Perhatikan tiga frasa yang membagi himpunan puisi ini, yaitu Biru Kidal, Kuning Silam, dan Merah Suam---butuh imajinasi lebih dari liar untuk bisa membayangkan, merasa, dan merabai apa makna tersiratnya. Nirwan Dewanto tidak menulis puisi gelap dan bentuk puisinya pun biasa saja. Tapi entah bagaimana dia bisa begitu rapat menyimpan rahasia, lantas berpesan pada pembaca agar giat dan berani menelusuri makna. Amanatnya:

Puisiku hijau
seperti kulit limau.
Kupas-kupaslah
...
Puisiku putih kabur
seperti cangkang telur.
Pecahkanlah, pecahkanlah

(Semu, hal. 20-21)

Setelah mengambil lagi Jantung Lebah Ratu, saya jadi lebih peka terhadap isinya. Misal di bagian Kuning Silam, banyak berisi puisi yang mengacu pada persetubuhan. Pas kebetulan, seorang kawan dari Hongaria mengajak saya bicara soal pembacaan teks sastra. Kembali saya mengungkit teks Nirwan Dewanto sebagai contoh. Saya bilang padanya bahwa Jantung Lebah Ratu merupakan contoh karya yang elitis dan sombong. Meski ujung-ujungnya saya bertanya, "Apa kamu tertarik Jantung Lebah Ratu? Kalau mau bisa aku kirim segera ke sana." Saya penasaran apa bisa mencelampakkan buku puisi itu ke suatu sudut di negeri Balkan.[]

Anwar Holid gagal meresensi Jantung Lebah Ratu di media massa. Bekerja sebagai editor dan penulis, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

KONTAK TERKAIT
Serambi Salihara
Jalan Salihara 16, Pejaten, Jakarta Selatan
Telepon 021-7891202
Email: salihara.komunitas@gmail.com

Tuesday, January 05, 2010


Langkah Berani Norah Jones

The Fall
Penyanyi: Norah Jones
Produser: Jacquire King
Label: Blue Note, EMI
Durasi: 45 menit (13 track)
Rilis: November, 2009 
Genre: Alternatif, Pop-Jazz
Rating: ****


"Saya menempuh langkah baru terhadap The Fall, mencoba-coba bunyi baru, dan banyak pendukung baru, di antaranya ialah Jacquire King, seorang produser dan engineer terkemuka yang pernah bekerja dengan Kings of Leon, Tom Waits, juga Modest Mouse," demikian kata Norah Jones tentang produksi album solo keempatnya. Ucapan itu bukan sesumbar, ternyata. Ini betul-betul merupakan petualangan baru, hanya menyisakan 3-4 lagu dengan ciri khas dirinya yang selama ini telah memikat puluhan juta penggemar di seluruh dunia. Yah, mau apa lagi, mau jungkar-balik kayak apa, kita tetap bisa dengan cepat menangkap bahwa itu memang Norah Jones.

Secara keseluruhan nuansa album ini masuk dalam genre alternatif rock---tentu yang melodius dan manis, bukan yang kasar. Ini sudah bukan lagi album pop-jazz sebagaimana di tiga album dia sebelumnya. Jelas ini langkah berani, bahkan bisa dibilang revolusioner---kalau bukan riskan. Melodi maupun distorsi gitar elektrik mendominasi hampir di setiap lagu, sementara denting piano hanya muncul seperlunya, diganti suara keyboard bernuansa mengambang. Perubahan drastik ini jelas berkat peran King dan para musisi pendukung album, yang datang dari latar belakang beragam, meski kebanyakan muncul dari kalangan musik rock. Misal drummer Joey Waronker pernah main dengan Beck dan R.E.M., gitaris Marc Ribot pernah kerja untuk Tom Waits dan Elvis Costello. Tercatat ada lima drummer dan lima pemain bass tampil di dalam album ini. Pendukung lama yang masih terlibat ialah Jesse Harris, seorang gitaris.

Hasilnya menurut saya mencengangkan. Seorang Norah Jones berani melakukan ini! Awalnya sulit percaya bahwa ini benar-benar album solo dia. Norah memang telah beberapa kali menjajal ranah eksperimen musik, misal dulu dia berpartisipasi dalam album Mike Patton yang parah, Peeping Tom, dan dia juga membentuk band punk bernama El Madmo (Norah Jones main punk? Apa dia sudah gila?)

Kalau menimbang dari pengalaman penjelajahan seperti itu, The Fall sebenarnya buah yang matang. Sampai track ke tujuh, kita akan mendengar Norah Jones yang betul-betul baru. Coba dengar Chasing Pirates yang dirilis sebagai single album ini. Baru di lagu ke delapan, You've Ruined Me, kita kembali mendapatkan Norah Jones asli yang membuat pendengarnya jatuh cinta sejak awal: menyanyi balada, terdengar manis, sambil main piano akustik. You've Ruined Me menurut saya lagu paling catchy di album ini. Orang yang teringat dan suka Come Away With Me pasti akan langsung menyukainya. "Saya tahu kekuatan saya," kata Jones pada Will Hodgkinson dari MOJO. "Saya nyanyi lagu balada. Orang suka bila saya nyanyi balada. Saya sepakat dengan itu."

Menandaskan langkah barunya, Norah Jones juga berhenti menggunakan jasa The Handsome Band yang telah mengiringinya main selama tujuh tahun terakhir ini. Namun rupanya akhir kerja sama ini seiring dengan putusnya hubungan cinta Jones dengan Lee Alexander, pemain bass band tersebut. Lee Alexander berperan cukup banyak pada karir Norah sejak awal, terutama sebagai bassis di semua albumnya, bahkan di album Norah sebelumnya, Not Too Late (2007), dia menjadi produser sekaligus penulis pendamping. Positifnya, di album baru ini Norah berperan di setiap penciptaan lagu.

Judul "The Fall" rupanya merujuk perpisahan tersebut. Ada beberapa lagu yang tampak terpicu dari sana. Selain You've Ruined Me, ada Waiting, I Wouldn't Need You, Stuck, dan Tell Yer Mama. Penampilan Norah juga sekarang berubah total. Dia memotong pendek rambutnya, meluruskannya, dan mengecatnya kepirangan. Dia terlihat segar dan bersolek alih-alih natural seperti sebelumnya.


"Menurut pendapat saya, album ini total lain dari yang pernah saya kerjakan sebelumnya,"  komentar dia pribadi mengenai album tersebut. "Tapi baik-baik saja kok. Kenyataannya saya masih terdengar seperti diri saya sendiri. Ray Charles juga tetap akan terdengar seperti Ray Charles bahkan kalau dia menyanyikan lagu country. Bukannya bagus terdengar seperti diri sendiri?"

Keyakinan Norah Jones pantas kita hargai. Review profesional juga antusias terhadap album ini. Ada kemungkinan penggemar berat Norah awalnya bisa agak aneh dengan cita rasa album ini dan sedikit susah untuk langsung menerima. Tapi begitu masuk pertengahannya, mereka terpikat lagi betapa Norah tetaplah penyanyi dan pencipta lagu yang indah dan hebat.[]

Anwar Holid suka Norah Jones sejak album pertamanya. Dia ngeblog @ http://halamanganjil.blogspot.com.

PS: Terima kasih pada Budi Warsito yang meminjami saya MOJO edisi Desember 2009.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Friday, January 01, 2010



[halaman ganjil]

mimpi awal tahun 2010

bangun dari mimpi tentang seorang lelaki yang katanya jadi terkenal gara-gara wajahnya mirip politikus terkemuka, ditambah perempuan ekspresif yang dulu kerap aku temui di sebuah tempat dan kini sudah pindah ke kota metropolitan. rasanya aneh memimpikan dua hal itu. tahu-tahu tanggal menunjukkan 1 januari 2010. dua tahun lagi menuju 2012. ada apa dengan 2012? kiamat? emmm... rasanya terlalu absurd untuk dipercayai. tapi buat peringatan sih kayaknya menarik. untuk peringatan betapa manusia itu fana. bakal mati suatu saat. mungkin besok, pada 2 januari 2010. seperti gus dur yang meninggal pada 30 januari 2009, sehari sebelum pergantian tahun. siapa yang menentukan mati dan hidup selain pemilik kehidupan itu sendiri?

tahun baru ternyata hanyalah lanjutan hari kemarin. kenapa tanggal 1 januari selalu libur? tapi mungkin sebagian orang terus kerja atau repot pada tanggal itu. ada orang yang tetap kesulitan, meski kerja tiada henti. ada orang yang terlalu mudah pecah konsentrasinya.

tapi minimal dua belas halaman kalender tahun 2009 sudah habis. harus dibuang. ganti yang baru. untung aku sudah punya. sebuah kalender meja bonus dari beli beras lima kiloan. tahun kemarin aku minta kalender kompas dari mas anung wen. isunya tentang global warming dan pelestarian alam. beberapa minggu lalu aku juga dapat file kalender elektronik dari sebuah warnet. kalender bonus beli beras itu isinya apalagi kalau bukan resep makanan.

ada sejumlah harapan dan keinginan di tahun 2010 ini. tapi lebih dari itu, aku ingin bekerja lebih baik, meningkatkan pendapatan, lebih efektif, dan tambah ahli menerapkan slogan temanku: SIMPLE WORK HIGH INCOME. ha ha ha... kalau bisa malah enggak kerja tapi duit milyaran. kayak di akhir tahun lalu, aku dapat telepon menang undian rp.87 juta rupiah dari pihak yang mengaku pt sampoerna. aku balas: makasih atas hadiahnya. silakan transfer ke rekening no. sekian-sekian, bank anu atas nama anwar holid. siapa tahu rekeningku memang membengkak seperti disuntik. nanti akan aku cek. aku toh masih percaya keajaiban.

aku ingin lebih waras dengan hidupku sendiri, dengan segala yang jadi tanggung jawabku. aku akan berusaha melunasi segala macam utang yang aku tanggung. aku merasa sepanjang tahun kemarin cukup sukses, meski di akhir tahun kecolongan. tapi syukur aku tetap bisa mengakhirinya dengan senyum. rasanya aku bikin sejumlah hal yang menyenangkan dan bikin senyum.

mengubah diri sendiri itu ternyata susahnya luar biasa. ini sudah aku sadari sejak lama. seperti pernah bilang ke seorang kawan. aku ingin mengubah diri jadi lebih sukses. ternyata susah. aku ingin lebih tega. susah juga. aku ingin dapat penghasilan seratus juta per bulan. susah juga. ingin bebas secara finansial, ternyata malah terjerat utang. aduh. ini konyol banget. ingin dapat income pasif, malah aset-asetku yang sederhana---seperti kaset dan cd---sudah ludes kira-kira dua tahun lalu. kini sisanya tinggal beberapa kaset yang aku pikir enggak punya nilai jual gara-gara tidak terkenal sama sekali. hidup orang itu memang aneh-aneh. seorang kawanku di akhir tahun 2009 divonis sakit liver, menambah sakit-sakit lain dia yang telah dia idap. aku bilang sungguh-sungguh: kamu harus sangat hati-hati dengan sakit itu. jangan sampai tambah parah jadi sirosis.

sepanjang tahun ini kadang-kadang aku dapat selingan yang menyenangkan. macam-macam bentuknya. mulai dari email spam hingga alternatif pendapatan.

1 januari merupakan lanjutan 31 desember. jadi aku akan melanjutkan kerja-kerjaku. melakukan kegiatan yang semoga bermanfaat buat kemajuanku, mengurangi blunder yang mungkin mencelakakan diriku atau membuat orang lain marah. apa itu namanya? TAHU DIRI?

baiklah jalani hari libur pertama ini dengan lebih tenang. meski rasanya tetap aneh mengawali tahun baru dengan mimpi tentang seorang lelaki yang katanya jadi terkenal gara-gara wajahnya mirip politikus terkemuka, ditambah perempuan ekspresif yang dulu kerap aku temui di sebuah tempat namun kini sudah pindah ke kota metropolitan. mengutip kawanku: no matter what, tetap alhamdulillah.[]6:22 01/01/2010