Tuesday, September 30, 2008



SELAMAT LEBARAN 1429 H DARI KELUARGA ANWAR HOLID


Salam takzim,

Begitu menjelang Lebaran (Idul Fitri), teringatlah saya pada kebaikan dan keramahan Anda semua pada saya sekeluarga. Kehidupan membuat kita berhubungan, berteman, bekerja sama, atau saling membantu dalam berbagai aspek. Betapa Anda semua begitu berarti untuk saya.


Sering saya merasa betapa kebaikan yang saya terima tiada terkira, berbalikan dengan wanprestasi yang pernah saya lakukan, keburukan yang saya ikut andil di dalamnya, juga kekecewaan karena tindakan saya. Saya tahu, manusia kerap sulit menghadapi masalah dan kesulitan; tapi kehidupan mengajari kita dengan kebaikan, maaf, maklum, juga kasih sayang.

Dengan hati tulus, di hari raya Idul Fitri 1429 H/2008 M ini, maafkanlah kesalahan saya sekeluarga.

Semoga kita semua diberkahi anugerah sesuai kehendak-Nya dan tetap diberi kekuatan dan rasa tabah bila harus menerima musibah.

Wasalam,

Anwar Holid, Septina Ferniati

dan keluarga

Monday, September 29, 2008



The 7 Laws of Happiness, Buku Terbaru Arvan Pradiansyah




Arvan Pradiansyah---seorang penulis, fasilitator pengembangan SDM, dan host talk show---pada September 2008 menerbitkan karya keempatnya, The 7 Laws of Happiness (Kaifa, 423 h.) Buku tersebut meneruskan tradisi ketiga buku sebelumnya dalam mengarungi hidup lebih optimistik, menemukan kebahagiaan, dan membangun sikap positif. Dua buku pertamanya bertema umum mengenai kepemimpinan (leadership), sementara dua buku terakhirnya lebih banyak membicarakan life management (manajemen kehidupan.)

Membicarakan tema bukunya di Islamic Center, Kompleks Graha Hijau 2, Ciputat, pada Sabtu, 27 September, Arvan menyatakan bahwa ide tentang The 7 Laws of Happiness sebenarnya sudah muncul sejak akhir 2002. Diskusi itu juga disimak pemirsa di Masjid Villa Cendana via teleconference. "Namun kesibukan saya membuat buku ini baru selesai ditulis pada pertengahan 2008," kata Managing Director Institute for Leadership & Life Management (ILM) ini. Maka yang terjadi juga agak lain. Bila buku tertentu kadang-kadang diikuti pelatihan setelah terbit, yang terjadi pada Arvan malah sebaliknya. Bersama tim, Arvan malah lebih dulu menyelenggarakan pelatihan "The 7 Laws of Happiness at Work" pada karyawan Indosat yang berlangsung sejak 2007 hingga sekarang. Berbeda dengan tiga buku sebelumnya yang lebih mirip perca pemikiran, kali ini Arvan menilai dirinya berusaha mengungkap sebuah konsep yang utuh dan padu mengenai model kebahagiaan.

Dengan pemaparan yang lancar dan akrab, Arvan menyebut bahwa gagasan mengenai kebahagiaan merupakan sesuatu yang universal. Setiap orang ingin mendapatkannya dan semua ajaran luhur menyebut bahwa kebahagiaan merupakan sesuatu yang esensial. "Bukankah kita diajari doa agar senantiasa diberi kebahagiaan?" tanya Arvan bernada retoris. Sayang, kehidupan dunia beserta segala perniknya kerap menggerus manusia menjadi sengsara, mudah marah, meledak, bahkan kesulitan menemukan kebahagiaan itu seperti apa. Kerap orang keliru menganggap kebahagiaan sebagai kepemilikan maupun kesenangan sesaat.

"Kenapa orang tidak bahagia? Karena orang salah makanan yang masuk ke kepala. Ini diperparah adanya ribuan makanan mental yang masuk ke kepala kita nyaris tanpa filter sama sekali," tegasnya. Dia menyebut banyaknya acara sampah di televisi atau informasi rendahan yang malah dikonsumsi besar-besaran oleh masyarakat, bahkan yang merendahkan kemanusiaan sekalipun. "Acara seperti itu membuat mental rusak dan sakit."

Pernah menjadi dosen di FISIP Universitas Indonesia selama 13 tahun dan berpengalaman mengembangkan organisasi dan SDM dalam pelatihan "The 7 Habits of Highly Effective People" bersama Dunamis, Arvan mengatakan syarat utama untuk bahagia ialah kemampuan mengubah pikiran yang sehat di dalam diri orang tersebut. "Pikiran itu mirip kebun, bila dipupuk dengan yang baik-baik, hasilnya tentu kebaikan."

Dalam The 7 Laws of Happiness, dia menyebutkan ada tujuh rahasia hidup yang bahagia. Tiga yang pertama Intrapersonal Relation, merupakan syarat bahagia untuk diri sendiri, terdiri dari patience (sabar), gratefulness (syukur), dan simplicity (sederhana, kemampuan menangkap esensi). Tiga yang kedua Interpersonal Relation, merupakan kebahagiaan terkait orang lain, terdiri dari love (kasih), giving (memberi), dan forgiving (memaafkan.) Puncaknya ialah Spiritual Relation, yaitu surrender (pasrah), ialah kemampuan berserah diri dan percaya seratus persen kepada Tuhan. Dalam diskusi dan bukunya, Arvan memberi contoh dan inspirasi nyata betapa meraih kebahagiaan puncak itu tidaklah hadir sekonyong-konyong, melainkan dengan perjuangan yang berat, bahkan perlu dilatih.

Mizan sudah mendistribusikan The 7 Laws of Happiness ke toko buku. "Awal Oktober ini sudah terdisplay ke seluruh toko buku," kata Pangestuningsih dari bagian promosi Mizan. Menurut rencana, Mizan akan membawa Arvan tur ke enam kota untuk mempromosikan The 7 Laws of Happiness, termasuk berniat mengadakan acara khusus, misalnya talk show "The 7 Laws of Happiness for Teacher." Tiga buku Arvan sebelumnya, yaitu You Are Leader!, Life is Beautiful, dan Cherish Every Moment semuanya terbitan Elexmedia Komputindo, merupakan rangkaian best seller. Pada Desember 2007 KoranTempo memilih Cherish Every Moment sebagai salah satu Buku Nonfiksi Terbaik.[] 29/09/08

Oleh Anwar Holid

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

Situs terkait:


Monday, September 15, 2008




Kepentingan Penerbit,
Keinginan Peresensi

---Anwar Holid



HUBUNGAN peresensi dengan penerbit ternyata cukup kompleks. Ini terjadi karena dalam diri peresensi terkandung beberapa aspek pembacaan dan kepenulisan, antara lain menyatu sekaligus sebagai pembeli (konsumen), pencinta (penikmat) buku, dan kritikus buku. Sementara kepentingan penerbit biasanya lebih langsung dan jelas, ialah harapan agar terbitannya diterima khalayak (pasar), diapresiasi dengan baik, dan cukup pantas untuk dibanggakan.

Mencari pola kerja sama yang pas dan fleksibel antara penerbit dan peresensi merupakan tema pertemuan peresensi Penerbit Matahati, yang diadakan di perpustakaan Bale Pustaka, Bandung, 28 Agustus 2008. Di awal berdiri, Matahati boleh jadi paling dikenal karena menerbitkan tetralogi Kisah Klan Otori (Lian Hearn.) Mereka kini menerbitkan fiksi dan nonfiksi, mulai dari genre fiksi fantastik sampai buku manajemen motivasi diri dan wawasan dunia medis. Hadirin hampir semua sekaligus merupakan blogger, dengan rentang kecenderungan antara sebagai desainer dan komikus, penulis buku dan cerpen, jurnalis, dan pendidik Buku dan tulisan sudah mengurat dalam diri mereka.


Mayoritas peresensi mengaku idealnya ingin meresensi buku yang benar-benar mereka sukai; artinya meresensi itu pada dasarnya sulit bila dipaksakan. Peresensi bahkan bisa suka rela dan senang akan meresensi buku yang mengesankan serta mampu menimbulkan impuls atau hasrat menulis. Biasanya, resensi yang lahir dari kondisi ideal itu akan persuasif, berhasil meyakinkan orang lain---terutama kawan dekat dan komunitas---bahwa pilihan dan penilaiannya tepat, dan secara alamiah merupakan tulisan yang bagus. Efeknya bisa luar biasa, antara lain menjadi word of mouth berbentuk tulisan yang sangat mempengaruhi keputusan beli pembaca. Rekomendasi kawan dekat ternyata bisa jauh lebih tepercaya dibandingkan endorsement pesohor (selebritas) sekalipun.

Boleh jadi pada kondisi seperti itulah kepentingan penerbit dan keinginan peresensi bertemu dan bernegosiasi. Penerbit berkepentingan agar produknya segera dikenal publik, diserap pasar, segera mendapat publikasi seluas mungkin, dan jadi topik pembicaraan kalangan yang disasar.

Minat terhadap jenis buku tertentu sangat berpengaruh terhadap kemauan peresensi dan mood menulis sebenarnya bisa dibentuk atau dilatih. Meski harus diakui peresensi pun bisa gagal menulis karena kurang disiplin dan profesional. Di sisi lain peresensi yang berdedikasi kerap butuh waktu untuk secara bersamaan menikmati dan menemukan inti buku, sebelum memutuskan mengulas dan menyatakan kepada publik apa buku tersebut pantas direkomendasikan atau malah dikomentari dengan pedas saking banyak hal yang bisa dikecam. Apa pun hasilnya, minimal peresensi menceritakan hasil pembacaannya. Itulah yang paling penting, bahwa sebuah buku sudah diselami, dijelajahi, masuk dalam ingatan, untuk suatu saat muncul lagi, baik dalam obrolan, berinteraksi dengan pembaca lain, atau ketika menulis.


"Keinginan menulis resensi bisa muncul begitu saja," kata Hermawan Aksan. "Ada dua jenis buku yang bisa membuat keinginan meresensi saya timbul, yaitu buku yang sangat bagus dan buku yang sangat jelek. Tentu saya berharap penerbit memproduksi buku yang bagus."

Di zaman Internet ini, peresensi yang terbiasa posting di blog (book blogger), milis, dan situs jaringan komunitas interaktif makin menemukan kekuatan daya tular. Situasinya kian hari tambah menantang dan menarik. Sebagian penulis lebih memilih media ini karena faktor kemudahan, kebebasan, informalitas, juga kemerdekaan dan sifat demokratisnya. Sudah terbukti bahwa media baru ini secara umum bisa meningkatkan publisitas buku, mempengaruhi penjualan dan reputasi, meski data resmi mengenai pengaruhnya sulit dipastikan. Sifat interaktivitas media ini memungkinkan orang langsung berkomentar, berbagi, merespons, menambah, dan mengaitkan dengan buku lain maupun subjek lain (misalnya film, musik, politik.) Di sinilah peresensi mendapat "surga", mereka bertemu dengan sesama pencinta buku.

Karakter penulisan blog yang berbeda dengan karakter media massa konvensional membuat sejumlah blogger yang mau meresensi dan menulis sesuai kriteria media tersebut merasa kerap kesulitan menembus ketentuan redaksi. Pada satu sisi, ini kerap dianggap sebagai kekurangan resensi di blog dan masih membuat penerbit pikir-pikir untuk melibatkan mereka dalam publisitas buku. Tapi bayangkan sebuah resensi yang dikirim ke milis dengan ribuan anggota atau bisa memicu respons antusias banyak orang di sebuah blog, tentu situasi seperti itu menggembirakan penerbit dan penulis bersangkutan.

Sudah terbukti tulisan di blog dan milis bisa menguatkan daya pikat buku dan menaikkan reputasi peresensi. Perhatian penerbit pada peresensi berkisar antara secara rutin mengirim buku baru dan sesuai favorit, memberi honor tambahan untuk resensi yang ditulis, dipublikasi, maupun disebar ke milis, sampai mengikat kontrak untuk jadi publisis penerbit atau judul tertentu. Mungkin menarik juga menimbang memberi insentif untuk online khusus demi mengirim resensi yang diinginkan penerbit.

Poinnya ialah apa pun bentuknya, penghargaan itu penting. Penerbit menghargai peresensi dengan pantas, pembaca merespons, sedangkan peresensi menghargai penerbit dan pembaca dengan resensi yang bagus dan informatif. Interaksi intens antara penerbit dan peresensi kerap merupakan kunci pengikat emosi kedua belah pihak.[]

Pertama kali dimuat di Republika, Minggu, 7 September 2008

Foto-foto diambil dari Internet.

Monday, September 08, 2008




Wawancara dengan Bagus Takwin

AKU BAHAGIA KARENA TELAH MENULIS BUKU
--Oleh: Anwar Holid

PENGANTAR: Wawancara ini sebenarnya sudah berlangsung lama, kira-kira akhir 2005. Awalnya mau saya olah sebagai artikel untuk Matabaca, tetapi karena terbengkalai terus, akhirnya saya biarkan apa adanya---hanya sedikit disunting agar keterbacaannya lebih baik. Semoga bermanfaat.

/*/

T: Kira-kira berapa jumlah koleksi buku kamu?
J: Kalau dikira-kira, secara kasar kuhitung jumlah koleksi bukuku ada sekitar 6500 judul. Tentu saja banyak yang belum aku baca. Belakangan ini kecepatan bacaku jauh lebih rendah dari kecepatanku membeli buku. Jenis bukunya beragam, kebanyakan sastra (novel, kumpulan cerpen dan puisi), filsafat dan psikologi. Sejarah, agama dan sosiologi cukup banyak. Ada beberapa biografi, biologi, antropologi, statistik, matematika, fisika dan buku travelling. Aku masih punya belasan komik, kebanyakan Calvin and Hobbes.

T: Siapa penulis favorit kamu? (misal karena cara menulis, kemampuan menafsirkan atau menalar.)
J: Dari penulis fiksi, aku suka Gabriel García Márquez, Ben Okri, Italo Calvino, dan Milan Kundera karena mereka memberi wawasan yang luas tentang pengolahan kata, cerita dan ide, termasuk bagaiman mengolah pikiran dengan bahan realitas dan imajinasi. Mereka pun lincah menalar secara metaforik dan mampu menafsirkan berbagai gejala di sekitarnya menjadi keindahan dalam tulisan.

J: Bagi kamu pribadi, apa secara finansial dunia kepenulisan cukup menjanjikan dan bisa diandalkan?
J: Kalau sekarang, menulis hanya memberi sedikit penghasilan finansial. Sebenarnya kalau di-manage dengan baik dan sungguh-sungguh, dunia kepenulisan di Indonesia sudah bisa menjamin nafkah hidup pantas secara sederhana. Untuk jadi kaya belum bisa.

T. Apa buku favorit kamu? (paling sering dibaca, sering dikutip, sangat inspiratif bagi proses kepenulisan)
J: Sulit menjawab ini karena tak pernah kupastikan dalam kegiatan membacaku. Aku sempat lama suka membaca ulang Catatan Pinggir Goenawan Mohamad jilid 1-5. Kumpulan esai itu seperti jendela informasi bagiku, terutama informasi tentang buku dan pemikiran tokoh-tokoh dunia. Belakangan sudah jarang baca Caping, paling baca di Tempo setiap minggu.
Kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono Hujan Bulan Juni dan Kumpulan Puisi Goenawan Mohamad terbitan Metafor masih sering kubaca setiap kali ada waktu. Beberapa kali mereka kukutip dalam tulisanku, terutama Sapardi.

Aku beberapa kali membaca Little Prince dari Antoine de Saint-Exupéry.

Yang jelas-jelas paling banyak kubaca dan sering kukutip secara tulisan maupun lisan adalah buku Ernst Cassirer, An Essay on Man, sebab selain bagus dan aku suka, buku itu juga kupakai buat mengajar. Bagiku Cassirer sangat inspiratif baik dari gagasan maupun teknik menulis serta cara memaparkan dan memanfaatkan informasi.

Sekarang aku juga suka buku From Text to Action dari Paul Ricouer, kuulang-ulang baca karena inspiratif dalam mempertemukan dua pendekatan dalam peroleh pengetahuan. Aku mau coba terapkan itu di psikologi.

T: Buku apa yang paling susah dipahami, namun sangat menantang? Kenapa demikian?
J: Sekarang aku sedang berusaha memahami buku Edmund Husserl berjudul Ideas, General Introduction to Pure Phenomenology yang menurutku susah (sebenarnya juga buku filsuf-filsuf fenomelogi lainnya.) Dulu aku pernah baca asal lewat kecuali bagian-bagian yang kubutuhkan untuk membuat tesis. Sekarang aku ingin memahami secara komprehensif sebab aku perlu pemahaman mendalam tentang fenomenologi yang akar pemikirannya ada di buku ini.
Saat ini pendekatan fenomenologi, terutama tentang intentionality, banyak digunakan membahas banyak gejala kemanusiaan, baik individual maupun kelompok. Beberapa pemikir kontemporer juga mencoba mensintesiskan pemikiran fenomenologi dengan pemikiran-pemikiran lain, seperti Giddens dengan 'Third Way'-nya, Bourdieu dengan habitus dan field, lalu para ahli kesadaran (consciousness) yang mencoba mempertemukan fenomenologi dengan berbagai pendekatan dalam ilmu kognitif. Buku Ideas menantang sekaligus juga bermanfaat untuk dipahami meski sulitnya minta ampun.

Sebelumnya aku pernah setengah mati baca De Anima dari Aristoteles.

Sebenarnya buku-buku sastra klasik juga sulit dan menantang untuk dibaca. Homer, Shakespeare, dan karya-karya sastrawan-sastrawan Rusia menuntut ketabahan dan kejelian yang tinggi untuk membacanya. Kalau sudah ketemu 'enaknya', asyik sekali membaca semua itu, tetapi sebelumnya butuh daya konsentrasi tinggi.

T: Apa komentar kamu tentang menulis fiksi dan nonfiksi? Kenapa kamu tetap berada di dua ranah kepenulisan itu?
J: Menulis fiksi membebaskanku untuk menuangkan pengalaman, termasuk khayalan dan mimpi-mimpiku. Tantangannya adalah membuat cerita atau pemaparan menarik, unik atau paling tidak memuaskan ekspresiku, melepas ketegangan yang ada di hati dan pikiran.

Sementara menulis nonfiksi membutuhkan sistematika berpikir yang ketat dan teratur. Aku perlu membuat alur dan kerangka terlebih dahulu, menyiapkan bahan-bahan yang mungkin dibutuhkan dan mencoba mencari relevansi praktis dan teoritis dari tulisanku. Disiplin berpikir literal (logika dan metodologi) lebih dituntut dalam menulis nonfiksi. Sedangkan fleksibilitas dan disiplin metaforik (perumpamaan yang bernas dan imaji yang menyentuh pembaca) lebih dituntut dalam menulis fiksi. Sebenarnya aku belum bisa optimal dalam keduanya (masih bisa dibilang jelek dalam keduanya. Aku akan belajar terus, latihan menulis terus (syukur-syukur hasil latihannya diterbitkan seperti yang lalu-lalu).

Aku menulis keduanya karena keduanya kuminati dan proses pembuatannya mengaktifkan kedua belahan otakku serta membantuku peka dalam memahami diri dan sekitarku. Keduanya membantuku menjelaskan dunia secara enklaren (penjelasan dan penemuan hukum umum) maupun verstehen (pemahaman terhadap gejala-gejala khusus, terutama gejala humaniora)

T: Bagi kamu pribadi, apa secara finansial dunia kepenulisan cukup menjanjikan dan bisa diandalkan?
J: Kalau sekarang, menulis hanya memberi sedikit penghasilan finansial. Sebenarnya kalau di-manage dengan baik dan sungguh-sungguh, dunia kepenulisan di Indonesia sudah bisa menjamin nafkah hidup pantas secara sederhana. Untuk jadi kaya belum bisa.

T: Persiapan apa yang paling penting dalam menulis?
J: Kalau dari pengalamanku sih secara umum banyak baca. Lalu, secara khusus penting untuk meningkatkan sensitivitas. Dari segi teknis, sangat penting tersedia rokok dan kopi serta air putih supaya tetap bisa menulis sambil mendapat kenikmatan kopi dan rokok serta terus minum air agar ginjal tidak rusak. (Kalau kebelet ke kamar mandi, jangan ditahan-tahan, kalau ditahan malah nanti ganggu mood.)

T: Bagaimana kebiasaan membaca dan menulis kamu? Berapa jam kamu alokasikan waktu untuk menulis?
J: Sekarang, kebiasaan menulis dan membacaku tidak tetap. Tetapi dalam satu hari pasti ada yang aku baca dan tulis. Kira-kira paling tidak 2 s/d 3 jam aku membaca dan menulis materi-materi yang bukan jadi pekerjaan wajibku. (Sebenarnya aku bisa sampai 6 jam membaca bahan pelajaran dan materi tambahan bagi mata kuliah yang aku ajar, lalu menulis beberapa catatan yang penting; aku mengajar setiap hari dari Senin sampai Jumat.) Biasanya sebelum tidur aku sempatkan membaca buku, jika ada yang menarik aku tulis, membuat catatan atau ide-ide yang terlintas.

T: Apa yang menurutmu kurang dalam dunia perbukuan Indonesia sekarang?
J: Di Indonesia tidak ada reviewer buku yang memadai. Informasi tentang buku baik kurang sehingga sulit bagi aku menemukan buku-buku baru yang baik tanpa membeli atau meminjam lebih dahulu. Aku tahu satu buku bagus atau tidak setelah membacanya. Kita juga kekurangan kritikus buku. Kritikusnya pada snob, sok tinggi padahal kebanyakan malas membaca dan egois. Tak ada lagi H.B. Jassin yang rendah hati dan mau membimbing penulis muda. Kritikus sekarang kebanyakan penikmat yang dipenjara oleh seleranya. Pemahaman dan wawasan mereka kurang. Teori-teori yang mereka pakai kuno. Analisisnya linear atau bergaya 'tukang periksa'. Beberapa hanya senang menanggapi tulisan teman sendiri seideologi atau sepermainan.
Saat ini juga belum saya temukan sastrawan baru yang karyanya mengagumkan di Indonesia; belum banyak kritikus yang tajam. Saya menemukan Melani Budianta saja. Yang lainnya entah di mana.

Kebiasaan dan sifat apresiatif belum terbentuk di sini. Selain itu, kurang banyak penerbit yang berani mencoba menjajaki penulis-penulis baru dengan membiayai riset mereka. Kebanyakan penerbit hanya mau enaknya, menerima yang sudah jadi. Nama lebih dipentingkan daripada kualitas karya. Kebanyakan penerbit malas. Banyak lagi sih, kupikir, kekurangan kita. Tetapi kemajuan yang kita capai beberapa tahun ini juga patut dipuji. Dunia perbukuan kita sudah bangkit dan melangkah maju. Mudah-mudahan kekurangan yang aku sebut tadi bisa dibenahi.

T: Bibliografi lengkap kamu apa saja?
J:Aku tuliskan yang buku sendiri saja ya dan ada dengan beberapa teman. (Ada beberapa tulisan dalam kumpulan yang diterbitkan Kompas, termasuk 16 tulisan tentang analisis kepribadian Capres dan Cawapres; juga dalam kumpulan Bentara; tapi aku tak terlalu ingat.
1. Pecahan Jakarta; Kumpulan cerpen bersama Kristi Purwandari; Konsepsi, 1999, Jakarta.
2. Fuad Hassan di Antara Hitam-Putih; editor/penyunting; Konsepsi, 1999, Jakarta.
3. Soeharto; Ramuan Kecerdasan dan Masa Kecil yang Liat; hasil penelitian bersama Niniek L. Karim dan Hamdi Muluk; Komunitas Bambu, 2001, Jakarta.
4. Filsafat Timur; Pengantar ke Pemikiran-pemikiran Timur; Jalasutra, 2002 dan 2003, Yogyakarta.
5. Bermain-main dengan Cinta; Jalasutra, 2002 dan 2003, Yogyakarta.
6. Akademos; Jalasutra, 2002 dan 2003, Yogyakarta.
7. Patogonos; Esei yang mengisahkan hidup sepasang manusia; Kutu Buku, 2005, Jakarta.
8. Ruwita, Novel; Penerbit Qolibri, 2005, Jakarta.
9. Rhapsody Ingatan, Kumpulan Cerpen, Qolibri, 2005, Jakarta.
10. Kesadaran Plural - Sintesis Kehendak Bebas dan Rasionalitas; Jalasutra, 2005, Yogyakarta.
11. Akar-akar Ideologi; Jalasutra, 2002, Yogyakarta.

T: Apa yang dulu memotivasi kamu menulis dan menyelesaikan buku?
J: Ingin punya karya yang bisa dibanggakan dan bertahan lama. Awalnya karena aku kagum kepada para penulis yang karyanya memukau aku. Aku pikir, asyik juga ya punya karya tulis yang dibaca dan disenangi orang. Kupikir itu akan membahagiakanku. Ternyata sekarang aku merasa bahagia setiap ada yang mengomentari atau menulis e-mail dan bilang menikmati bukuku. Aku merasa bahagia karena telah menulis buku.

Ada juga harapan kecil yang terus kukumandangkan ketika bicara santai (sedikit bercanda) dengan teman-teman, aku ingin dapat Nobel Sastra, kemungkinan dari tulisan filsafatku.

Biasanya kutambah juga, "Gue ingin dapat Nobel biar bisa menolak hadiah itu, ha ha ha!" Tapi dalam hatiku ternyata keinginan itu ada juga meski tampak tidak realistik.

T: Buku apa yang paling berkesan yang pernah kamu tulis?
J: Bermain-main dengan Cinta dan Patogonos.

T: Suasana seperti apa yang paling kondusif untuk menulis?
J: Ketika teman-teman pulang dan mereka menyisakan kegembiraan, renungan dan perhatiannya kepadaku. Apa yang mereka berikan padaku mendorongkan menuliskan sesuatu. Kalau dilihat dari waktu, pagi hari sekitar jam 6 s/d 11 paling kondusi bagiku untuk menulis. Oleh karena itu, aku sering telat berangkat ke kantor.

T: Sebagai penulis, apa yang paling kamu harapkan dari penerbit?
J: Penerbit menyebarluaskan dan mempromosikan buku-bukuku. Mencarikan penanggap yang serius dan menyelenggarakan diskusi dengan isi bukuku sebagai topiknya. Penerbit juga mestinya menjaga kesejahteraan penulisnya serta mendorong, mendukung, memfasilitas (materi, mental, dan kultural) para penulisnya untuk berkembang.

T: Punya pengalaman menarik selama menulis? Misalnya writer's block?
J: Setelah bisa menulis satu cerpen dan esai, rasanya tidak pernah. Kalau pun terhenti atau tidak bisa menulis tidak kuanggap sebagai block tetapi kuanggap sudah tiba waktunya berhenti, istirahat dan jalan-jalan atau nonton film. Aku tidak ngoyo menulis dan sering mengabaikan dead-line (biasanya penerbitku mengerti ini) jadi tidak merasa terhambat jika tidak lancar menulis. Aku punya banyak sekali kegiatan yang menyenangkan sehingga jika terhambat mengerjakan yang satu, aku pindah ke kekgiatan lain. Hidup seperti itu menyenangkan bagiku.

Semoga jawabanku membantu menjelaskan. Selamat menulis.[]

Bagus Takwin ngeblog di http://bagustakwin.multiply.com/

Anwar Holid, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com/

KONTAK: wartax@yahoo.com (022) 2037348 - 08156140621 Panorama II No. 26 B, Bandung 40141
Gambar dicomot dari Internet, dicari lewat Google.

Friday, September 05, 2008









Cinta di Balik Jeruji
Oleh Septina Ferniati


Love Me Better
Judul asli: This is what an abusive relationship looks like
Penulis: Rosalind Penfold
Penerjemah: Dini Pandia
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2006
Halaman: 257 h.
ISBN 979-22-1933-1



Kalau kita melepaskan kekuatan pribadi atas nama cinta, kita berisiko menghancurkan diri sendiri perlahan-lahan.
---Rosalind Penfold


JIKA seseorang mengalami peristiwa traumatik dalam hidup, otaknya tak sanggup memuat trauma itu. Otak tak tahu cara menyortir atau menyimpan kenangan-kenangan buruk, dan membiarkannya tetap begitu. Sebagian besar potongan kenangan pahit itu tiada karena otak berusaha melindunginya. Itulah sebabnya seseorang selalu bisa kembali dan kembali pada tempat atau orang yang menjadi penyebab trauma itu. Sementara kenangan manis tersimpan dengan rapi seperti album foto kenangan, sebagai cerita dengan awal, tengah dan akhir cerita. Seseorang bisa mengingat kenangan manis karena otaknya menyortir kenangan manis itu dengan logis. Semuanya masuk akal.

Dalam Love Me Better, Rosalind Penfold (Roz)---nama samaran---mengisahkan pengalaman buruknya hidup bersama seorang duda empat anak yang kerap melakukan kekerasan verbal, emosional, seksual, dan fisik pada dirinya. Buku ini merupakan memoar berbentuk novel grafis (graphic novel) karyanya sendiri. Kalimat-kalimat yang menyertai gambar-gambar di dalamnya sangat menyentuh dan berpengaruh.

Diawali ajakan Rosalind untuk melihat-lihat gambar hasil karyanya selama menjalin hubungan dengan kekasihnya Brian, buku ini dibagi dalam enam bagian, yaitu Mulai (Bulan Madu), Tersesat (Jekyll and Hyde), Terluka (Bertahan), Keluar (Melepaskan), Pulang (Menemukan jati diri), dan Epilog (Lima tahun kemudian). Love Me Better merupakan buku pertama mengenai kekerasan yang ditulis oleh korban penyiksaan tanpa siratan dendam ataupun amarah, persis kata Roz di bagian pembukaan, "Aku tak mau menyakiti, aku hanya ingin membantu."

Awalnya, sebagaimana perempuan korban kekerasan lain, Rosalind selalu menyangkal dirinya disakiti atau terluka. Di bagian awal penyangkalan itu jelas tampak dengan terlontarnya kalimat seperti “Mungkin aku tidak sensitif, mungkin dia cuma stress, aku tahu dia mencintaiku, dia tidak jahat, pekerjaannya bagus, kalau saja aku lebih pengertian, bukan salahnya, aku yakin dia tidak berniat begitu,” dan masih banyak lagi. Dalam banyak kasus, malah korban justru sering merasa bersalah dan merasa layak diperlakukan begitu. Padahal pada dasarnya kekerasan adalah kekerasan, bagaimanapun wujud dan rupanya.

ROSALIND bertemu Brian di sebuah pesta. Mereka saling tertarik sejak awal. Seiring waktu mereka semakin dekat dan saling mencintai. Kehidupan lajang Roz berubah. Karena kekasihnya punya empat anak, kehidupan anak-anak itu otomatis menjadi tanggung jawabnya. Tidak ada keberatan baginya. Landasan hubungannya dengan Brian benar-benar berdasarkan cinta.

Kemudian kekerasan pertama terjadi, disusul kekerasan-kekerasan lain yang sangat mengganggu. Kekerasan tak pernah lepas dalam bab demi bab buku ini. Kekasihnya kerap marah karena hal sepele, dan bila itu terjadi, kata-kata kasar atau pukulan pun mendarat pada Roz, tak peduli tempat, atau waktu. Kekerasan itu pun menimpa anak-anak. Semakin lama semua semakin tak terkendali. Jika kekasihnya mengamuk, tak seorang pun luput dari amuknya.

Kekerasan Brian dilakukan pada semua anggota keluarga, bahkan orang lain. Tom dipaksa minum minuman keras, Lizzie dilecehkan secara seksual, Megan dicap sebagai pembunuh ibunya, Jim diintimidasi dengan kata-kata kasar. Bahkan anjing peliharaan anak-anak dipenuhi belatung hingga harus disuntik mati, karena Brian tak pernah mengizinkan anjing itu masuk rumah, meski cuaca dingin membeku. Roz mendapatkan pelecehan paling parah dan paling sering, sampai-sampai dia tak mampu lagi mengenali siapa dirinya. Dalam keadaan lelah dan sakit secara fisik dan mental, Brian malah kerap memperlakukannya seperti binatang.
Kekerasan menghadirkan ekses sangat mengerikan. Dia "membunuh" jiwa orang-orang yang ada di sekitarnya. Roz kehilangan kendali atas dirinya. Yang terjadi selama sepuluh tahun benar-benar menyiksa. Masa-masa manis hanya berlangsung sekejap. Sedangkan masa-masa suram berlangsung seolah selamanya, tak berakhir dan intens. Namun anehnya, Roz selalu bersedia kembali dan kembali, demi cinta. Semua bagian dari dirinya telah direnggut sedemikian rupa, sehingga Roz menjadi tergantung dan menganggap kekasihnya adalah sumber kehidupannya. Dalam sebuah novel karya Alexander McCall Smith, Kantor Detektif Wanita No.1, ada kalimat sangat kuat yang terlontar dari mulut seorang dokter pada pasien korban kekerasan, “Sudah pasti Anda akan kembali padanya. Selalu begitu. Sang wanita kembali untuk minta tambah lagi.”
Dari halaman 214 sampai 217 Roz menceritakan percakapannya dengan Brian melalui telepon. Brian memohon Roz mencabut tuntutan ke pengadilan dengan dalih anak-anak, padahal saat itu sangat menentukan dalam hidup Roz mencanangkan keadilan bagi dirinya. Dengan pengaduan dan bukti-bukti fisik berupa lebam di tubuhnya, Brian bisa di penjara. Namun Roz menyerah. Dengan cerdas dia menggambar simbol hati yang awalnya terpenjara dalam jeruji, lalu perlahan-lahan terbuka hingga akhirnya benar-benar terbuka dan membuat gambar hati itu terlepas bebas dari jeruji. Cinta. Benar-benar cinta yang membuatnya rela menarik pengaduannya dan melepaskan Brian dari jerat hukum.
Namun cinta saja tidak cukup. Apalagi jika cinta itu bukan cinta yang baik. Roz bahkan sempat terpikir untuk mengakhiri hidup. Ingatan pada anak-anak membuatnya rela menderita. Padahal jangankan menolong anak-anak, menolong dirinya ke luar dari siklus kekerasan saja dia tak berdaya. Tanpa sadar dia semakin membenamkan diri dalam siklus yang selalu terulang dan terulang lagi.

SETELAH sepuluh tahun berisi daftar panjang kekerasan, Roz berjuang untuk ke luar dari siklus itu. Dia mendatangi seorang terapis yang membantunya mengenali dirinya lagi. Perlahan-lahan Roz mulai berani berjarak dari kekasihnya, demi menemukan dirinya kembali. Dia dapati dirinya begitu sedih karena harus berpisah. Pengalaman membaca membuatnya mengetahui teori dua merpati---hasil percobaan psikolog B.F. Skinner---yang dikondisikan untuk merasa aman dan tidak aman. Merpati pertama mendapatkan makanan setiap kali menekan tuas; sedangkan merpati kedua dikondisikan tak pernah tahu kapan dan apakah akan mendapatkan makanan, jadi tak pernah bisa merasa aman. Ketika makanan untuk kedua merpati itu diambil, merpati pertama langsung mengerti sambil menunggu; sementara merpati kedua terus berusaha lebih keras dan semakin keras mematuk tuas sampai hampir mati kelelahan. Roz sadar, dirinya mirip merpati kedua.
Yang patut disayangkan ialah pertama Roz melepas kemungkinan Brian diadili. Padahal jika diadili, Roz dapat membantu orang lain terhindar dari kemungkinan menjadi korban Brian selanjutnya. Jika di penjara, Roz membantu Lizzie terhindar dari kemungkinan dilecehkan Brian. Kedua butuh rentang waktu sangat lama (sepuluh tahun) untuk ke luar dari siklus kekerasan. Sejak pertama kali dicekik di lantai dansa karena Brian cemburu, harusnya Roz mendengarkan kata hati. Apalagi setelah tahu ada perempuan-perempuan lain, pelecehan terhadap anak kandung, aborsi, sungguh mengejutkan dia masih mau bertahan dan berharap Brian berubah.
Ketika benar-benar ke luar dari siklus kekerasan, Roz hanya ingin dicintai orang yang mampu mencintainya dengan lebih baik. Karena baginya, cinta yang baik dapat membuat orang menjadi lebih baik. Di epilog, setelah lima tahun berpisah dari Brian yang menikah dengan perempuan lain, dengan jujur Roz merasa dirinya kurang. Dia masih merasa jangan-jangan dia bersalah sehingga hubungan mereka gagal. Padahal ketidaksetiaan, perilaku buruk dan kekerasan terus terjadi jika pelaku tidak diganjar setimpal, entah oleh hukum negara maupun masyarakat.

Jika hubungan antar dua manusia dilandasi cinta, kasih sayang, pengertian, dan saling menghormati, cinta bisa tumbuh dan berkembang dengan subur. Namun sebagian besar hubungan yang hanya dilandasi perasaan cinta semata kemungkinan kurang berhasil, apalagi jika disertai kekerasan berulang-ulang. Para pelaku kekerasan sangat ahli membuat korbannya percaya bahwa mereka melakukan kekerasan dengan dalih cinta. Padahal alih-alih mencintai, pelaku bahkan tidak tahu siapa diri mereka sebenarnya. Salah satu penderitaan terbesar manusia adalah ketika seorang individu gagal mengetahui atau mengenal siapa dirinya sebenarnya.



Kekerasan bisa terjadi pada siapa saja, tanpa pandang bulu. Laki-laki, perempuan, anak-anak, dan orang dewasa dapat menjadi korban. Pasti ada Rosalind-Rosalind lain di manapun, kapanpun. Buku ini dengan gamblang dan jujur memperlihatkan tanda-tanda kekerasan. Jika mendapati diri kita seperti Rosalind, buku ini dapat membantu kita berjuang ke luar dari lingkaran kekerasan yang hanya akan menciptakan penderitaan dan ketidakbahagiaan.

Karena sesungguhnya, kita begitu berharga.[]

Penulis adalah eksponen komunitas Textour dan instruktur Klab Nulis Tobucil Bandung.


Puasaku, Menyelamatkan Kehidupan

--Agus Kurniawan <mahaduka@yahoo.com>


Syahdan, seorang guru sufi pernah berwasiat bahwa bangsa yang tidak memiliki tradisi berpuasa akan punah. Sebaliknya suatu kaum yang mampu berpuasa akan dikaruniai kodrat Tuhan: mencipta, memelihara, melindungi, dan mengembangkan.

Puasa memang seharusnya dimaknai sebagai dua sisi tugas. Sisi pertama adalah apa yang sudah menjadi pemahaman umum selama ini, yakni mengendalikan diri. Berpuasa bermakna mengendalikan diri dalam mengeksploitasi sumberdaya. Namun tidak makan, tidak minum, tidak bergunjing, tidak bersetubuh, barulah sekadar latihan. Berpuasa ialah pengendalian diri yang lebih esar dari itu. Berpuasa adalah mengendalikan diri dari segala hal yang bersifat eksploitatif.

Tapi itu tidak cukup, ternyata. Puasa juga memiliki tugas kedua, yakni memberi sebanyak mungkin yang kita bisa. Kata Nabi, bersedekahlah pada saat engkau berpuasa. Pada saat lapar, kita justru dipaksa memberi makan kepada orang lain. Pada saat kita mengendalikan diri untuk tidak mengeksploitasi, kita justru dipaksa untuk menyantuni. Dengan kata lain, berpuasa bermakna juga memaksa diri kita untuk memberi. Memberi memiliki kadar bertingkat-tingkat. Memberi pada tingkat yang lebih rendah adalah memberi dengan apa yang kita miliki: harta benda, kesempatan. Memberikan harta benda tanpa pretensi disebut sebagai ikhlas.

Tapi pemberian yang lebih tinggi tingkatnya ialah memberikan "diri" kita sendiri. Contohnya seorang ibu pada anaknya. Bukan hanya harta benda yang diberikan sang ibu pada anaknya, tapi juga dedikasi sepanjang umur, bahkan bila perlu nyawanya dikorbankan demi sang anak. Itulah cinta tanpa pamrih. Mencintai dengan "segenap diri", bukan hanya dengan apa yang dimiliki. Bila seseorang telah mampu memberikan dirinya, dia disebut "ridha." Maka tepatlah ungkapan bahwa yang dicari orang beriman adalah ridha Tuhan, bukan ikhlas Tuhan.

Jadi, puasa adalah mekanisme kerja Tuhan bukan? Mengambil atau meminta sesedikit mungkin, tapi pada saat bersamaan memberi sebanyak-banyaknya. Tuhan menjadi tidak bergantung pada yang lain karena Dia tidak membutuhkan apa-apa dari yang lain. Tetapi Dia menjadi tempatbergantung karena Dia memberikan segala sesuatu kepada yang lain. Itulah kodrat Tuhan, dan bila kita mampu mengeksplotasi sesedikit mungkin tetapi pada saat yang sama memberikan sebanyak mungkin maka kita Insya Allah akan diberkahi kodrat Tuhan: mencipta, memlihara,melindungi, dan mengembangkan. Menyelamatkan kehidupan dari kepunahan.


Pertanyaannya adalah, lebih kepada diri saya sendiri: sudahkah kita berpuasa?

Selamat menjalankan ibadah puasa.[]


Agus Kurniawan (Gus K), kini bekerja sebagai ahli IT.


Pertama kali diposting di cyberaki@yahoogroups.com, 21 Agustus 2008
Gambar dicomot dari Internet.

Monday, September 01, 2008



Lepas dari Sergapan Klise

--Anwar Holid

Ketika Cinta Tak Mau Pergi
Penulis: Nadhira Khalid
Penerbit: Lingkar Pena Publishing House, 2008
Halaman: 306 hlm.
ISBN: 979-3651-97-2


STEVEN Taylor Goldberry, penulis The Writer's Book of Wisdom, menyatakan: sebuah buku yang punya kerangka cerita sangat menarik bisa sukses meski ia ditulis dengan buruk, plotnya jelek, dan karakternya mudah ditertawakan. Ujung-ujungnya, kata dia, isi tulisan lebih penting dibandingkan keterampilan. Kadang-kadang subjek sebuah cerita bisa saja klise, karena memang nyaris tiada yang baru di dunia ini; tapi bila formulanya bikin pembaca terpana, berharaplah bahwa ia bakal sukses jadi cerita. Kunci dari ramuan itu, menurut Harriet Smart, terletak pada pertanyaan: "Bagaimana seandainya." Misal dalam Notting Hill: “Bagaimana seandainya bintang Hollywood jatuh cinta pada pemilik toko buku bekas?”

Ketika Cinta Tak Mau Pergi, novel debut Nadhira Khalid melahirkan pertanyaan: Bagaimana seandainya seorang pemuda miskin jatuh cinta pada seorang gadis paling cantik dan kaya dari desa sebelah yang secara turun-temurun bermusuhan dengan desanya? Boleh jadi pembaca langsung terbayang Romeo & Juliet atau San Pek-Eng Tay. Situasainya klise sekali. Tapi Nadhira mengolah dengan lebih kompleks; alih-alih melahirkan tragedi percintaan semata, dia menghadirkan konflik kelas, pertarungan sosial, dan persoalan ekonomi-politik yang ruwet. Dengan seting di Lombok dan Sumbawa, Nusa Tenggara, Wawan Eko Yulianto menyatakan novel ini "mengintip lebih jauh pada masyarakat Sasak."

Masyarakat Sasak berjumlah lebih dari 3 juta orang, secara tradisional telah beragama Islam, namun kepercayaan terhadap mistik, sihir, dan mantra masih pekat. Meski menghormati guru ngaji, mereka percaya dukun punya kekuatan untuk menyembuhkan segala sesuatu, termasuk bisa dimintai guna-guna. Nadhira bercerita tentang Lombok tahun 1970-an. Kisah dimulai dari desa Presak Bat dan Presak Timuq, tempat orang Sasak waktu itu masih tradisional, miskin, bodoh, diabaikan pemerintahan, tanpa fasilitas umum, sementara aparat setempat korup dan suka suap. Karena bodoh, penduduk tak tahu bahwa negeri mereka mengandung batu apung dan tambang lain yang bisa diolah sebagai sumber kesejahteraan. Yang mengetahui ialah perusahaan tambang di Jakarta. Menggunakan kaki tangan lokal dan aparat korup yang suka jatah preman, perusahaan berhasil mengadu domba warga dua desa yang awalnya rukun tenteram, meski serba kekurangan. Warga berhasil dihasut bahwa tetangga mereka kerap mencuri satu sama lain, akibatnya tawuran antardesa pun pecah bertahun-tahun, membuat mereka bermusuhan dan terus saling curiga.

Yang celaka dari permusuhan itu ialah Sahnim dan Kertiaji. Dulu waktu kecil mereka main bareng dan rasa suka mereka tumbuh sejak masa cinta monyet. Sahnim tinggal di Presak Bat, sedangkan Kertiaji di Presak Timuq. Si gadis anak orang paling kaya desa itu, juga paling cantik; sementara si jejaka anak bangsawan yang sudah miskin dan kehilangan kekuasaan. Meski saling cinta, Kertiaji diusir ketika hendak melamar Sahnim. Lebih parah, niatnya hendak meminang Sahnim malah menimbulkan perang desa. Kerusuhan membuatnya nekat menculik gadis itu, sekaligus hendak kawin lari. Tapi sayang, upaya itu gagal karena Sahnim berhasil direbut kembali oleh ayahnya. Ayah Sahnim ingin dia menikah dengan lelaki kaya kalau bukan dari keluarga terhormat. Harapan itu tertambat pada Japa, musuh utama Kertiaji, pemuda perlente anak seorang anggota DPRD.

Kasih tak sampai itu menyita hampir seluruh buku, bahkan ketika Kertiaji sekeluarga transmigrasi ke Sumbawa hendak memulai hidup baru karena ingin lepas dari kemiskinan. Cintanya pada Sahnim, kenangan, dan kegagalan menyunting gadis itu membuatnya tak betah ada di pulau seberang. Dia memutuskan kembali. Menyesal, Sahnim kini sudah jadi istri Japa, meski dia didapat lewat guna-guna. Japa, di luar motif mengawini Sahnim, ternyata mau mencuri surat tanah berhektar-hektar milik mertuanya, yang nanti akan dia dagangkan pada ayahnya. Begitulah mereka berkolusi membebaskan tanah penduduk dua desa itu untuk perusahaan di Jakarta; sebagian dengan memalsukan surat tanah, sebagian dengan mengusir penduduk lewat program transmigrasi.

SAYANG persoalan seserius itu tertimbun terus di balik drama Kertiaji merebut kembali Sahnim. Padahal gambaran kemelaratan di desa-desa kepulauan, keterbelakangan penduduk, ditambah ancaman malaria dan kejahatan sosial terencana, amat potensial diolah menjadi isu berjangkauan nasional. Intensitas penulis tampak bukan ke sana. Itu membuat persoalan kapitalisme jahat di sana jadi sekadar tempelan yang kehilangan ujung-pangkal di akhir buku, meski ketegangannya sudah ditonjolkan di awal. Agaknya penulis kesulitan menjalin koherensi satu cerita dengan cerita lain sebagai alur yang utuh, berurutan, dan mempertahankan daya pikat. Memang butuh kemampuan dan persiapan lebih agar cerita terus mampu membetot kepenasaran pembaca.

Kasih tak sampai antara Sahnim dan Kertiaji bukan tipe kisah cinta yang mudah menguras air mata, melainkan pertanyaan, "Kualitas apa yang membuat sepasang kekasih ini terasa begitu tergila-gila dan setia?" Apalagi Kertiaji juga bukan pria dengan karakter jagoan; dia mudah ragu dan lari dari tekanan yang menghadang. Karakternya bahkan kalah kuat dibandingkan adiknya, Ratmaji. Ratmajilah yang kerap menasihati dan memberi dorongan moral setiap kali Kertiaji bingung mau apa, dia pun amat setia sebagai saudara.

Mungkin, passion (pergolakan emosi) yang terasa kurang dalam novel ini. Soalnya Nadhira sudah berhasil menghadirkan detil seting, suasana sosial etnik Sasak, termasuk gesekan antara nilai Islam dan keyakinan setempat. Drama malapetaka sosial itu menanti eksplorasi penulis lebih lanjut di masa depan.

DALAM konteks industri buku, karena diterbitkan Forum Lingkar Pena (FLP) yang selama ini diakui sukses membangun genre fiksi Islam ke tingkat maksimal, pilihan tema persoalan sosial seperti ini menandai peralihan orientasi yang segar dan patut dipuji. Ketika Cinta Tak Mau Pergi bisa lepas dari sergapan klise tipikal fiksi Islam. Novel ini menandai FLP yang berpandangan lebih luas, terbuka, mau menjelajah subjek baru, berhenti memperlihatkan unsur Islam secara permukaan dan naif. Alih-alih mengadopsi bahasa atau budaya Arab secara berlebihan sebagaimana sering terjadi, penulis malah memasukkan banyak unsur bahasa dan budaya setempat, termasuk kesulitan lidah melafalkan 'f' sebagaimana terjadi pada orang Sunda. Ini memperlihatkan upaya FLP merebut pangsa pembaca umum yang selama ini ditinggalkan dan memiliki resistensi tertentu terhadap produk mereka.[]

Anwar Holid, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.