Thursday, February 21, 2008

Perhatian Penerbit Pada Penulis
---Anwar Holid



SELISIK saya di awal tahun 2008 ini agak murung. Bukan karena di bulan Januari ini kita hampir tiap hari diguyur hujan, tapi karena saya mendengar kabar buruk buat penulis. Kabar itu ialah minimnya perhatian penerbit pada judul atau penulis tertentu.

Dalam pertemuan penerbit-penulis-peresensi di acara Kompas-Gramedia Fair (KGF) 2007 di Sabuga, saya mendapati fakta bahwa penerbit besar seperti Elexmedia saja tak menyediakan dana untuk launching setiap buku. Yang dianggarkan ialah dana promosi untuk keseluruhan buku, terutama dalam setiap acara yang diikuti penerbit. Jelas ini membuat setiap judul sulit menonjol, minimal sekali saja persis begitu terbit. Memang kesempatan sebuah buku bisa menonjol masih terbuka, misalnya terpilih ikut disertakan dalam iklan ramai-ramai di koran, atau karena pertimbangan tertentu, judul tersebut dipajang poster X-bannernya. Contoh Cherish Every Moment karya Arvan Pradiansyah (Elex, 2007), yang X-bannernya dipasang persis di gerbang ruang utama pameran KGF. Baik Arvan dan bukunya tak muncul dalam rangkaian acara KGF, tapi bisa jadi karena dua buku dia sebelumnya (Life is Beautiful dan You Are a Leader!) termasuk bestseller, Elex memutuskan mengiklankan buku ke-3 dia.

Harus diakui penerbit memang penuh pertimbangan dalam mengiklankan buku. Baru ketika sebuah judul mampu mengangkat reputasi penerbit dan jelas mendatangkan keuntungan, mereka mau berisiko mempromosikan buku.

Ada alasan tertentu kenapa penerbit cenderung hanya mau mendukung 1 - 2 judul bestseller dalam anggaran mereka, yaitu masalah posisi tawar penerbit terhadap toko buku. Makin bestseller, makin banyak diperbincangkan sebuah judul, akan membuat penerbit punya daya tawar bahwa produknya laku dan menguntungkan toko. Harapannya penerbit bisa menegaskan dan berharap lantas produk mereka lainnya bisa ikut terangkat dan terdisplay dengan pantas. Hukum pasar berlaku. Wajar bila penerbit berhitung atas setiap rupiah pengeluaran. Memang penerbit hingga sekarang masih penasaran apa bedah buku dan sejenisnya beriringan dengan larisnya sebuah judul.

Salah satu aspek yang juga patut diperhatikan ialah ada baiknya seorang penulis memiliki event organiser atau 'publisis' yang mau fokus terus-menerus mengusahakan promosi bukunya. Kondisi ini sebenarnya kurang ideal bagi penulis, sebab secara finansial keuntungan penulis rata-rata hanya 10 per sen dari harga buku. Coba bayangkan kerepotan penulis harus mencari rekan kerja yang mau menggulirkan terus ide-ide penerbitan bukunya, belum soal biaya. Penulis lain, terutama dari kalangan motivator dan manajemen, menyertakan penjualan bukunya dalam paket training atau seminar yang dia adakan. Perimbangan keuntungan dengan cara seperti ini lebih masuk akal; penerbit dan penulis mendapat bagian masing-masing, sedangkan angka penjualan bisa terus bertambah. Tapi memang sudah ada banyak contoh betapa buku yang dipromosikan dengan gegap gempitan (istilahnya 'hype') dengan pantas berbuah jadi bestseller.

PROMOSI pasti berhubungan dengan anggaran, harapan keuntungan, dan tujuan yang ingin dicapai penerbit; tapi kesan bahwa penerbit pilih kasih dan kurang perhatian pada terbitan mereka jadi sulit dihindari. Penulis yang punya energi dan dana lebih kadang-kadang mesti rela merogoh kantong sendiri untuk berbagai keperluan, baik diskusi, imbalan resensi, bahkan sejenis promosi dari satu tempat ke tempat lain. Terbayang betapa 'pengorbanan' penulis yang amat besar buat bukunya, bahkan akhirnya jadi terasa berlebihan karena kurang didukung sungguh-sungguh oleh penerbit. Pernah saya dengar pengakuan tentang penulis yang sampai mesti mengeluarkan uang untuk pembicara agar mau mengkritik karyanya atau tambahan biaya konsumsi diskusi bukunya, sementara meminta penerbit serius menyediakan buku untuk komplimen bagi para rekanan media atau orang yang relevan saja agak sulit.

Kira-kira setahun lalu saya pernah ketemu penulis muda yang berambisi agar bukunya mesti disokong promosi, iklan, training, dan sebagainya, agar idenya bisa massif di ruang publik dan mempengaruhi pembaca sebanyak mungkin---mirip yang terjadi pada 'ESQ' karya Ary Ginanjar. Jelas sulit mencari penerbit yang mau setuju dengan klausulnya. Mendengar itu, saya sengaja mendukung dia dengan bilang begini, “Terbitkan sendiri saja mas, kan Anda yakin betul dengan rencana untuk buku itu, apalagi perangkat pendukungnya juga lengkap, termasuk klik yang siap membantu Anda. Biar semua yang Anda impikan terwujud dan porsi terbesar keuntungan dari penerbitan itu persis jatuh ke tangan Anda.” Rupanya buku dia akhirnya diterbitkan sebuah penerbit besar. Tapi barangkali anggaraan promosi untuk buku itu tetap minim, buku dia terbit begitu saja, tanpa iklan atau rencana-rencana besar sebagaimana dia impikan. Jelas keinginannya buyar. Saya berharap, apa pun yang terjadi pada bukunya, semoga buku itu masih bisa merebut perhatian pembaca, terutama ide-ide orisinal yang keluar dari kesungguhannya mencerap pemikiran.

Barangkali ada porsi yang patut dilakukan penerbit terhadap judul dan penulis tertentu. Memang ada penerbit yang agak menolak anggapan bahwa penerbit adalah pihak yang paling besar mendapat porsi keuntungan sebuah buku, dengan bilang bahwa pihak yang paling besar mendapat porsi keuntungan ialah toko buku.

Wah, lepas dari kondisi yang tampak kurang ideal itu, saya berharap perhatian penerbit terhadap penulis terus meningkat, setidaknya kerja sama kedua belah pihak itu lebih berimbang. Bila begitu, barangkali nada murung dalam Selisik bisa sedikit lebih berkurang.[]
Note: Kolom ini awalnya dipublikasi harian Republika Minggu, rubrik Selisik.

ANWAR HOLID, penulis & penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.

Kontak: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Telepon: (022) 2037348 HP: 08156-140621 Email: wartax@yahoo.com

Laku Seribu atau Sepuluh Ribu
-----------------------------------------
>> Anwar Holid

ORANG bisa bilang apa saja tentang buku yang laris atau seret, dan mungkin pendapat kontradiktif itu sama-sama benar dari sudut pandang masing-masing. Segi positif buku laris ialah ia menggairahkan pasar dan menjanjikan kesuksesan bagi setiap orang yang terlibat menggarapnya. Buku bisa laris dengan caranya sendiri, dan terkadang tetap seret meski seratus satu cara sudah dilakukan untuk membuatnya laku.

Orang perbukuan sering terheran-heran kenapa sebuah judul bisa laku tapi juga kerap takjub kenapa usaha membuat buku laris gagal. Bila sudah sulit cari alasan kenapa buku laris, mereka baru menganggap buku itu sebagai "berkah penulis" atau "rezeki penulis", biar pembicaraan selesai.

Simak ucapan Curtis Sittenfeld, novel debutnya Prep versi hardcover secara mengejutkan terjual lebih dari 133.000 kopi di AS per Mei 2007, sedangkan versi paperback laku 329.000 kopi. Novel itu berkisah tentang perkembangan jiwa remaja yang tumbuh di sekolah asrama. Waktu belum selesai menulis, teman-teman dia meledek. "Buku tentang sekolah asrama sudah banyak, kenapa kamu menulis itu lagi?" Tapi setelah bukunya jadi best seller, dia dengar orang meremehkan buku itu. "Jelas saja buku itu laris, itu kan buku tentang sekolah asrama!" Dia hanya mesem menyimak itu. Faktanya, buku kedua dia (The Man of My Dreams) penjualannya lebih seret, meski diterbitkan dengan mengandalkan kesuksesan yang sudah barusan dia raih. Prakiraan dan rencana untuk buku kedua itu meleset jauh dibandingkan uang muka yang dia terima.

Penerbit mencintai buku, tapi mereka juga melihat buku sebagai komoditas. Penerbit dituntut bisa menjual dan mereka suka buku yang punya pesan pemasaran jelas. Karena itu penerbit senang dengan segala bentuk jaminan yang bisa membuat terbitan mereka laku, baik judul tersebut baru menang sayembara penulisan, diangkat sebagai film, masuk dalam berbagai daftar "buku terbaik", dipuji-puji oleh kritikus yang disegani atau diulas media terkemuka, jadi topik hangat di berbagai milis dan blog.

Penerbit terus berusaha seakurasi mungkin mengetahui selera pasar, tujuannya agar mereka secara persis bisa menyediakan buku yang dibutuhkan calon pembeli, memproduksi buku sebanyak-banyaknya karena tahu bahwa pasar bakal menyerapnya. Mereka memperhatikan dinamika pasar, bertanya pada pemerhati buku, mendeteksi sedini mungkin ke ceruk dan kelompok pasar khusus, bahkan kalau perlu melakukan gebrakan pasar dan melontarkan isu kontroversial. Penerbit berusaha mengetahui selera konsumen, yang kerap merupakan misteri besar yang menarik namun sulit dan pelik untuk dipecahkan, sebab pertaruhan penerbit memang di penjualan. Begitu gagal memancing dengan umpan judul yang mereka lempar, bisnis segera bermasalah. Begitu penjualan turun, imbasnya bisa terasa sampai ke bawah-bawah.
Menjadikan buku laris memang persoalan yang patut dipecahkan. Kalau satu judul bisa laku ratusan ribu kopi, kenapa judul lain perlu menunggu satu tahun untuk terjual seribu kopi? Semua orang akan girang bila dagangannya laris, dan bakal manyun menghadapi barang yang menumpuk di gudang. Demi melempangkan jalan agar laris, penerbit menempuh berbagai cara, mulai dari yang biasa hingga mengejutkan. Mereka tahu bahwa buku laris itu dipengaruhi banyak faktor. Tapi kalau diselisik, penerbit yang bisa mendayakan berbagai faktor itu hanya sedikit; itu jelas dipengaruhi oleh kemampuan penerbit. Misal, sejauh ini hanya satu-dua penerbit Indonesia yang mampu beriklan secara rutin di media massa, antara lain GPU bareng sesama kawan di KKG, mengiklankan "Book of the Month." Meski begitu kini semua penerbit bisa beriklan lebih murah, ialah lewat milis ataupun blog.

Ahmad Taufiq dari Ufuk Press menyatakan setidaknya ada tiga faktor yang bisa membuat sebuah judul laku, pertama, reference's group; kedua, word of mouth (getok tular); ketiga, buku yang "menggedor" pembaca. Begitu satu judul memenuhi salah satu faktor---idealnya memenuhi semua, bisa dijamin buku tersebut bakal dicari-cari orang.

Sayang kita sering dengar berita penerbit bisa malas-malasan mendukung buku bila mereka kehilangan feeling bahwa judul tersebut bakal laris. Kejadian menjengkelkan itu bisa menimpa siapa saja. Penerbit sering membiarkan satu judul bertarung sendirian di toko, melepaskan mereka menjalani tes pasar. Kalau sukses akan dicetak ulang, kalau gagal tinggal ditunggu pulang. Padahal fakta porsi terbesar keuntungan finansial buku jatuh ke penerbit, bukan penulis; wajar bila penerbit yang mestinya mau mengusahakan agar produknya laku. Mau berhasil menjual seribu atau sepuluh ribu, jelas bergantung banyak pada keputusan penerbit bersangkutan.

ORANG bisa mereka-reka jawaban apa pun untuk setiap keberhasilan dan kegagalan sebuah buku. Sebagian orang mengaku kepalanya mau pecah kebingungan menjual tiga ribu kopi dalam setengah tahun, namun sebagian lagi ternyata bisa cetak ulang tiga ribu kopi dalam seminggu. Mana lebih menyenangkan bagi insan perbukuan? Saya berani jamin, semua penerbit mau bukunya selaris jajanan pasar. Caranya bagaimana? Bikin buku terbaik yang bisa memenuhi kebutuhan publik sebanyak mungkin. Apa rahasia buku seperti itu?

"Sebagian dari buku terbaik dan paling menarik punya hal bertentangan yang menarik dan mengejutkan," begitu kata Susan Weinberg dari PublicAffairs. Hal menarik dan mengejutkan itu sering jadi misteri yang baru ketahuan setelah buku beredar, berhadap-hadapan dengan selera publik. Orang industri percaya memang selera massa bisa diperkenalkan dan akhirnya dibentuk, tapi mereka bingung bila menyaksikan sebuah kebetulan meledak jadi booming, lantas jadi mode yang massif gila-gilaan.[]

Note: Kolom ini awalnya dipublikasi harian Republika Minggu, rubrik Selisik, Desember 2007.

ANWAR HOLID, penulis & penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.

KONTAK: 08156140621 - (022) 2037348 wartax@yahoo.com Panorama II No. 26 B, Bandung 40141