Thursday, September 30, 2010


[PENERBITAN]

Proofreader: Cermat, Teliti, dan Peka pada Kata
---Anwar Holid

Di dalam organisasi penerbit, secara struktural proofreader (penyunting teks/nas; atau copy editor) kerap berada di bawah editor kepala atau pengelola; namun bekerja di bawah editor pelaksana. Proofreader bertanggung jawab terhadap naskah buku yang digarapnya dari masing-masing editor bersangkutan. Oleh karena itu sudah niscaya proofreader terus-menerus bekerja sama dengan beragam editor untuk menjaga kualitas buku.

Proofreaderlah yang menjaga keseragaman teks (nas) dalam sebuah naskah/buku. Dia pula yang menerapkan gaya selingkung penerbit, mulai dari penerapan ejaan, istilah, hingga ke detail kelengkapan buku, antara lain isi buku (daftar isi), indeks, lampiran, dan memeriksa dummy (cetak coba).

Karena proofreading merupakan tahap akhir proses penyuntingan, diharapkan semua masalah maupun kesalahan penyuntingan sudah ditemukan dan diperbaiki ketika ada di tangan proofreader. Seusai diperiksa, mestinya naskah sudah sempurna, baik dari segi dan tampilan. Dalam hal ini, proofreader jangan diminta mengerjakan tugas editor, melampaui pekerjaan utamanya, atau jadi editor gadungan. Ini semata-mata untuk efisiensi. Beberapa penerbit bila mengout source orang sebagai proofreader ada yang berpesan begini: "Sekalian kalau ada kalimat yang inefektif, bertele-tele, atau tidak enak dibaca, tolong diperbaiki ya." Wah, itu bukan tugas proofreader! Itu tugas editor. Itu membebani tugas proofreader namanya. Kenapa? Karena tugas utama editor ialah justru mengefektifkan kalimat sesuai maksud penulis. Tugas proofreader sudah harus bebas dari tahap penyuntingan, misal dalam hal akurasi data dan ketepatan istilah. Kalau seorang proofreader menemukan hal seperti itu, tentu harus menjadi kredit baginya. Kasarnya, bukan tugas proofreader untuk memberi tahu atau mengecek ada terlalu banyak kata 'yang' dalam satu kalimat hingga membuat kalimat itu menjengkelkan asal dia persis tahu bahwa 'yang' di situ ditulis y-a-n-g, bukan y-a-n-c atau y-a-n-h. Proofreader mungkin tidak perlu tahu persis apa beda Columbia dan Kolombia, apa itu kolumnis atau komunis, asal dia bisa memastikan bahwa ejaan keduanya benar dan penempatannya benar.

Kecermatan, ketelitian, kehati-hatian, kepekaan pada ejaan dan kata, serta konsentrasi sudah semestinya jadi dasar kinerja proofreader, sebab dia menjadi "penyaring kedua" setelah nas diolah sedemikian rupa oleh penyunting sampai layak dan siap terbit. Sederhananya, proofreading merupakan proses membetulkan ceceran pekerjaan editor yang sengaja dilewatkan demi efektivitas produksi. Bisa juga proofreader menjadi orang yang berempati kepada (calon) pembaca. Ia membaca teks (nas), menempatkan diri sebagai pembaca yang sangat mungkin kecewa terhadap buku (produk) karena ada kesalahan sekecil apa pun di dalamnya. Akibatnya seorang proofreader tak akan membiarkan satu pun kesalahan muncul pada nas garapannya.

Tanggung jawab proofreader antara lain meliputi:
1. Akurasi penulisan (ejaan) kata dan tanda baca.
2. Pemenggalan kata.
3. Ketaatasasan istilah dan gaya yang digunakan dalam naskah.
4. Konsistensi penyajian bentuk naskah:
    a. Setting.
    b. Penggunaan font (jenis huruf).
    c. Judul dan subjudul.
    d. Catatan kaki.
    e. Nomor dan penempatan halaman (sesuai tidak dengan di isi buku).
5. Kata atau istilah yang perlu ditulis italic.
6. Akurasi penempatan dan urutan catatan kaki.
7. Akurasi catchword (belah kiri: biasanya berupa nama penulis atau judul buku; belah kanan: bagian/bab buku).
8. Membuat isi buku.
9. Membuat indeks (indeks subjek, indeks umum, nama).
10. Ketepatan transliterasi maupun transkripsi.

Langkah kerja proofreading:
1. Memeriksa kelengkapan materi naskah.
2. Mengeja dan memeriksa secara tepat unsur paling vital dalam naskah:
    a. Judul dan subjudul.
    b. Catchword dan halaman.
    c. Pemenggalan kata.
    d. Kata atau istilah yang perlu ditulis italic.
    e. Akurasi nama orang (contoh: betapa susah mengeja nama ini: Mihaly Csikszentmihalyi), geografi, organisasi, kata asing (contoh: déjà vu).
    f. Ejaan dalam isi buku dan tanda baca kalimat.
3. Memeriksa dummy (cetak coba).[]

Anwar Holid bekerja sebagai penulis & editor. Buku barunya ialah Keep Your Hand Moving (GPU, 2010).

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | http://halamanganjil.blogspot.com

Copyright © 2009 oleh Anwar Holid

Saturday, September 25, 2010

[BUKU INCARAN]

Rileks Karena Tiga Buku
 ---Anwar Holid

Pada Rabu, 22 September 2010 sebelum ke Mizan untuk menyerahkan kerjaan yang sudah lama sekali terbengkalai, aku dapat sms dari mas Rinto di GPU Bandung, "mas, kalau kebetulan ke luar, silakan mampir ke gpu. ada titipan buku dari mas dwi helly."

Pagi itu Bandung cerah. Di Mizan aku menyerahkan pekerjaan ke Ibeq, setelah beberapa menit sebelumnya ngobrol ini-itu soal dunia penerbitan. Kemudian ketemu Dwi, disambung ngobrol mengenai dunia tulis-menulis dengan mas Hernowo. Dia banyak membahas soal ide, cara mengungkapkan pikiran sebagaimana maksud penulis, persoalan copy-paste, juga bagaimana mengelaborasi pemikiran. Di Mizan aku mendapat edisi revisi You Are A Leader! (Arvan Pradiansyah), padahal aku sekarang sedang terus mengumpulkan ide dan energi untuk menggali isi dari buku terbarunya, You Are Not Alone (Elex Media, 2010, 252 hal.)

Pulang dari Mizan kepalaku mulai terasa pening. Tengah hari terasa sangat terik, sebentar duduk di angkot aku tertidur, dan sampai di Cicaheum mendapati Bandung sudah basah diguyur hujan yang entah kapan turun. Jelas ketika aku tidur ia cepat-cepat muncul dan menyisakan gerimisnya sepanjang jalan aku menuju kantor GPU di Grha Kompas-Gramedia di jalan Riau (R.E. Martadinata). Sepanjang jalan dari Cicaheum ke Riau macet, mungkin ditambah karena Persib mau menundukkan lawan di Stadion Siliwangi. Kepalaku tambah berat ketika sampai di kantor GPU, tapi keramahan mas Rinto membuatku berusaha mengabaikannya. Aku tahu ini merupakan gejala alamiah yang kadang-kadang terjadi bila aku bepergian agak lama di tengah lalu lintas yang macet dan penuh polusi.

"Ini mas, ada novel Only a Girl karya Lian Gouw. Sudah ditandatangani beliau khusus untuk mas," begitu kata mas Rinto. Lian Gouw menandatangani buku itu pada 20 Mei 2010. Wah, begitu perhatiannya. "Novel ini akan terbit dalam minggu-minggu ini, kemudian kami akan mengadakan launching di Jakarta dan Bandung. Rencananya, di Bandung novel ini akan dibahas pak Remy Silado yang tahu banyak soal sejarah dan mengenal Bandung luar-dalam." Setting awal Only a Girl terjadi di Bandung tahun 1932; bahkan covernya pun menggunakan siluet gunung Tangkuban Parahu. Lian Gouw dulu tinggal di sini sebelum pindah sekeluarga ke Amerika Serikat. Meski bahasa ibunya ialah Belanda, dia akhirnya belajar menulis dalam bahasa Inggris dan karyanya dimuat media negeri Abang Sam itu, di antaranya dalam SF Writers Conference.

Dari GPU aku menuju Rumah Buku/Kineruku untuk menyiapkan acara yang aku siapkan untuk besok; tapi kepalaku tambah tegang. Untung bayangan bahwa aku akan segera bisa menikmati segelas kopi tetap membuatku semangat. Maka begitu menyimpan tas di locker, aku segera shalat, kemudian minta izin bikin kopi. Cuaca tambah dingin, meski sapuan hujan mulai lenyap. Karena nama Lian Gouw di sini aku jadi sedikit ngobrol dengan Joedith tentang keluarga-keluarga keturunan Cina. Menyeruput sedikit demi sedikit segelas kopi sambil buka-buka di sana betul-betul mampu mengurangi pening di kepalaku. Maka ketika sampai di depan pintu rumah, rasanya aku sudah lepas dari gejala kambuhan itu.

"Ayah, bawa hadiah apa?" sergah Ilalang sambil membukakan pintu. "Tuh, tadi aku beli lumpia kering di Cicaheum." Kemarin waktu puasa aku mendapati ternyata kami suka lumpia kering dan satu toples makanan itu sudah habis menjelang Lebaran lalu. "Ada buku kiriman dari Dinyah Latuconsina," tambah Ilalang. Buku itu ialah Nietzsche: Syahwat Keabadian, sebuah buku puisi karya Nietzsche terjemahan Agus R. Sarjono & Berthold Damshauser. Paket untukku biasanya langsung dia buka. Mungkin anak-anakku menyangka mereka bisa menemukan harta karun dalam bingkisan itu.

Jadi dalam sehari itu aku mendapat tiga buku. Aku memegang-megang ketiganya dengan perasaan rileks sempurna. Ini sekilas info untuk mengenalkan mereka pada Anda:

1/ You Are A Leader! karya Arvan Pradiansyah (Kaifa, 2010, 347 hal.) Harga: Rp.69.000,-

Buku ini merupakan edisi baru (revisi) setelah sukses dicetak ulang sebanyak sepuluh kali sejak pertama kali terbit pada tahun 2003. Apa saja revisinya? Tentu saja berbagai materi yang sangat kontekstual dengan kondisi manajemen perusahaan dan industri zaman sekarang, misalnya membahas knowledge management, visi organisasi di masa depan, maupun kepemimpinan yang hebat di zaman sekarang itu seperti apa.

Premis buku Arvan ini kuat, yaitu keyakinan bahwa setiap orang itu memiliki bakat terbesar dalam dirinya, yaitu "setiap orang adalah pemimpin." Bagaimana cara agar potensi itu muncul? Dengan membangunkan orang untuk menggunakan potensi utamanya, yaitu kekuatan memilih.

Arvan Pradiansyah ialah seorang ahli sumber daya manusia sekaligus pembicara publik dan penulis di beberapa media bisnis, di antaranya SWA dan Bisnis Indonesia. Buku-bukunya juga diterima dengan baik oleh pembaca.

Link terkait: http://www.mizan.com

2/ Only a Girl karya Lian Gouw (American Publishing, 2009, 295 hal.) Harga: US$27.95

Edisi Indonesia novel ini sebentar lagi akan diterbitkan GPU. Lian Gouw lahir di Jakarta, tumbuh di Bandung, kini tinggal di Amerika Serikat. Only a Girl menceritakan tiga generasi perempuan Cina yang berusaha mempertahankan identitas di tengah perubahan situasi sosial-politik yang mereka alami secara drastik dari zamam penjajahan Belanda di Indonesia, invasi Jepang, dan Revolusi Indonesia---ditambah pengaruh Perang Dunia II.

Dari keluarga Cina totok, mereka mendapat pengaruh budaya dan adat Belanda maupun Barat. Begitu Belanda tersingkir dari Indonesia dan Indonesia merdeka, mereka sadar bahwa kebiasaan dan pandangan itu tak bisa lagi diterima, bahkan dikata-katai sebagai "buangan anjing peliharaan Belanda." Bagaimana mereka menghadapi situasi seperti itu?

Link terkait: http://www.amazon.com/Only-Girl-Lian-Gouw/dp/1607493977/ref=cm_cr_pr_product_top

3/ Nietzsche: Syahwat Keabadian karya Agus R. Sarjono & Berthold Damshauser (editor), (Komodo Books, 2010, 192 hal.)

Buku ini merupakan "Seri Puisi Jerman VI" hasil kerja sama dengan Goethe-Institut Jakarta, berisi dwi bahasa Jerman dan Indonesia kumpulan puisi Friedrich Nietzsche (oh, harus jeli banget menulis namanya!)

Semua peminat budaya-seni-filsafat sudah tahu siapa Nietzsche dan apa pengaruhnya bagi dunia pemikiran dan masyarakat hingga di zaman posmodern ini. Jadi kita tinggal membaca lagi dan merasakan apa pemberontakannya terhadap norma-norma usang di dunia ini masih punya getaran atau tetap susah diakses? Puisi tersebut antara lain berasal dari buku "Kepada Tuhan yang Tak Dikenal (1858 - 1877), Sabda sang Bijaksana (1882), Yang Kelak Terdesak Banyak Berkabar (1882 - 188), Nyanyian Zarathustra (1883 - 1885), Cuma Pandir! Cuma Penyair! (1882 - 1888).

Bila buku ini sudah tidak tersedia di toko buku, Anda bisa menemukannya di perpustakaan Goethe-Institut Jakarta dan Bandung.

Link terkait: http://www.goethe.de/jakarta.[]

Anwar Holid bekerja sebagai penulis & editor. Buku barunya ialah Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Copyright © 2009 oleh Anwar Holid

Tuesday, September 21, 2010


[ESAI]

FPI: Give Islam a Bad Name
---Anwar Holid

Aku jijik pada FPI (Front Pembela Islam) tapi kesulitan mencari alasan tegas kenapa aku harus punya perasaan seperti itu pada mereka. Ini seperti kalau kamu punya saudara bandel, ngejago, suka nakut-nakutin orang lain, suka malak, main kekerasan, intoleran, bahkan mungkin bertindak kriminal (karena suka main hakim sendiri, merusakkan milik orang lain secara semena-mena), tapi kamu malas menyerahkannya kepada pihak berwajib persis karena kamu ada ikatan darah dengan dia. Menurut sebuah dalil, orang seiman itu bersaudara. Meski aku bingung konteksnya apa, perasaan ini membuat kita dilematik dan menambah jengkel.

Jangankan kaum non-Muslim, banyak sesama Muslim yang jengah pada FPI. JIL (Jaringan Islam Liberal) juga KoranTempo pernah usul agar otoritas hukum Indonesia membubarkan FPI. Aku sendiri di Facebook pernah ikut grup 'BUBARKAN FPI!' yang anggotanya puluhan ribu orang, tapi sayang mereka inefektif, sampai akhirnya aku ke luar dari sana karena rasanya itu grup yang omdo. Aku setuju dengan Saut Situmorang yang bilang bahwa FPI itu kependekan dari Fasis Pura-pura Islam. Aku menilai bukan seperti itu jalan Islam yang patut aku tempuh. Aku memohon agar MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengharamkan FPI, meski sejak lama aku menganggap MUI juga kerap mengharamkan sesuatu yang konyol.

Perlukah Islam dibela oleh organisasi seperti FPI? Menurutku tidak. Tindakan mereka menurutku malah bikin malu agama Islam, karena justru memperlihatkan sekelompok umat Islam yang intoleran terhadap kaum lain persis di tanah terbuka bernama Indonesia, apalagi dari dulu tempat itu sudah lama terkenal sebagai tempat pertemuan yang cukup damai. Terlebih-lebih mayoritas penduduk di tempat ini beragama Islam. Bagaimana mungkin Islam bisa menjadi rahmat bagi tempat ini bila ada eksponen Islam yang suka berbuat onar terhadap perbedaan-perbedaan di dunia ini? Belum juga jadi penguasa, FPI sudah memperlihatkan mental sok kuasa dan otoriter. Terbayang betapa mengerikan bila organisasi seperti ini membesar dan benar-benar berkuasa atau berhasil menakut-nakuti semua lawan yang berseberangan pendapat maupun sikap dengan mereka. FPI betul-betul gagal memperlihatkan sifat yang wajib didahulukan oleh Islam, yaitu menjadi agama yang memberi rahmat bagi SELURUH alam. Jangankan seluruh alam, untuk tempat secuil bernama Indonesia saja mereka sulit menghormati hukum yang berlaku ataupun iman orang lain. Jangankan pada agama-agama yang mungkin tidak serumpun, pada agama yang memiliki akar sama pada Ibrahim saja mereka sulit bekerja sama. Dari moral ini kita bisa menduga betapa pemahaman sebagian umat Islam pada agama serumpun itu rendah sekali. Sebagai umat Muslim, FPI gagal menunjukkan kasih pada orang lain. Bagi seorang muslim, ini kehilangan mengerikan. Aku pikir FPI buta mata hatinya bahwa dalam Al-Quran surat Al-Anbiya 107 memerintahkan agar seorang Muslim harus mewujudkan kasih sayang kepada seluruh alam, termasuk kepada non-Muslim. Bagaimana mungkin FPI bakal mampu memaafkan dan berdamai dengan umat beragama lain?

Bagaimana mungkin FPI bakal bisa meneladani tokoh Islam yang memberi kesempatan pada lawan untuk menjalankan ibadah sesuai imannya bila mereka merasa bahwa orang non-Muslim harus mendapat izin untuk beribadah maupun mendirikan rumah ibadah? Ini konyol. Memangnya tanah ini tanah mereka? Bukankah ini tanah Tuhan? Tidakkah FPI tahu bahwa tempat seperti Ka’bah saja dahulu kala diziarahi orang beragama secara bebas, bahkan oleh orang musyrik sekalipun. Pernahkah dahulu di zaman Muhammad hidup orang non-Muslim minta izin kepada dia untuk mendirikan rumah ibadah atau waktu mau melakukan ibadah? Rasanya tidak pernah. Rasanya beragama itu harus bebas-bebas saja. Jangankan menyerang, umat Islam itu bahkan dilarang menghina umat beragama lain---begitulah yang tertulis dalam Al-Quran surat Al-An'am: 108. FPI jelas sulit bersabar atas perbedaan dan terbukti telah berkali-kali gagal menyeru dan berdiskusi dengan baik pada pihak lain---padahal itu semua merupakan sifat utama bagi umat Islam. FPI justru mewarisi sifat mental yang buruk, seperti mudah marah dan tersinggung, juga mau menang sendiri.

FPI adalah contoh organized religion yang miskin spiritualitas. Mereka memakan sendiri spiritualitasnya sampai habis dan tak menyisakannya pada umat manusia lain. Mereka hanya membagikan cara beragama yang kaku. Mereka menutup ruang kebebasan beragama dan intoleran pada agama dan umat beragama lain, padahal kebebasan beragama merupakan isu yang sangat penting dalam Islam.

Sebagai seorang Muslim aku merasa malas dan malu sekali harus mengakui punya saudara bernama FPI. Mereka memperburuk citra Islam sebagai agama yang kini tengah dianggap bermasalah dan disalahanggapi di banyak tempat. Kalau seperti itu, aku jadi lebih suka berteman dengan orang non-Muslim yang terbukti secara moral dan tindakan jauh lebih mulia, suka berbuat baik, bersedia membantu, meskipun mereka tampak sekuler. Aku enggak butuh yel-yel Allah hu akbar untuk menakut-nakuti orang lain atau melempari tempat ibadah umat beragama lain. Aku lebih suka memberi salam untuk menghormati sesama manusia.[]

Anwar Holid bekerja sebagai penulis & editor. Salah satu bukunya ialah Seeking Truth Finding Islam (2009). Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Note: Foto karya Ricky Yudhistira (http://www.facebook.com/sisyphuswashappy), diambil dari Internet.

Monday, September 20, 2010

link tulisanku menjelang lebaran 2010. sebuah daftar buku untuk libur lebaran.

silakan baca: link: http://jakartabeat.net/buku/377-lima-buku-untuk-teman-libur-lebaran.html

Friday, September 10, 2010


Kami mengucapkan:
Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1431 H | 10 September 2010

Mohon maaf lahir & batin atas dosa & kesalahan kami
Terima kasih atas keramahan & kebaikan teman-teman
Semoga Allah memberkati kita semua

Selamat berlebaran



Anwar Holid & Septina Ferniati
______________________________
Panorama II No. 26 B Bandung 40141
Tel.: 085721511193 | (022) 2037348

Monday, September 06, 2010

[BUKU INCARAN]

Percayalah Padaku, Aku Seorang Detektif Ekonomi
---Norman Satya

Detektif Ekonomi - Kisah Tersembunyi di Balik Harga Produk, Pasar Saham, Perdagangan Bebas, dan Ekonomi Sehari-hari
Penulis: Tim Harford
Penerjemah: Alex Tri Kantjono Widodo
Penerbit: GPU, Juli 2009 
Tebal: 416 hal.; 13.5 x 20 cm 
ISBN : 978-979-22-4784-8
Kategori: Nonfiksi; Bisnis-Ekonomi, Manajemen, dan Investasi
Harga: Rp 60.000,-


Mari menjelajahi dunia ekonomi yang biasa kita sentuh sehari-hari. Tim Harford mengajak kita untuk menemukan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang ada di dalam benak. Bahkan sangat mungkin Anda pun akan mengajukan beberapa pertanyaan kritis setelah membaca buku ini. Sang penulis buku ini akan membawa Anda bepergian masuk ke pedesaan hingga perkotaan modern. Dari negara paling miskin menuju negara yang saat ini berpeluang melangkahi Amerika Serikat di bidang keberdayaan ekonomi.

Mari kita mulai dari pertanyaan: mengapa harga cabai yang Anda beli pada minggu-minggu awal menuju bulan puasa bisa menjadi begitu mahal? Mengapa harga sebidang tanah di kota bisa lebih mahal daripada harga satu hektar tanah di desa? Atau mungkin juga mengapa orang-orang berotak brilian dihargai dengan gaji selangit?

Satu hal yang dapat kita temukan dari penjelasan Tim ialah bahwa kelangkaan memiliki kuasa - the power of scarcity. Semakin langka suatu barang, maka semakin mahal harga barang tersebut. Apakah selalu seperti itu? Tidak. Harus kita lihat dulu apa barang tersebut berharga, dan untuk siapa barang tersebut dianggap berharga. Contoh sebidang tanah yang subur.  Bagi sebagian orang sebidang tanah subur mungkin hanya tampak seperti kotak, tetapi bagi seorang petani sebidang tanah itu selayaknya emas.

Lalu berapa harga yang pas untuk tanah tersebut? Menentukan harga bisa menjadi faktor paling krusial yang bisa mendatangkan kerugian apabila harganya gagal bersaing dengan harga pasaran. Saat seorang memiliki kekuasaan atas kelangkaan suatu komoditas, bolehlah dia bebas menentukan harga. Orang-orang akan rebutan merayu sang pemilik untuk mendapatkan barang langka tersebut. Hei, tapi tunggu, pestanya tak akan bertahan lama karena orang lain ternyata meniru tindakan orang pertama. Kemudian diikuti orang kedua, ketiga, dan seterusnya hingga kejadiannya ialah barang yang awalnya langka sekarang jumlahnya menjadi terlalu banyak. Harganya? Tentu akan mengalami depresiasi hingga ke tingkat yang dapat diterima pasar. Saat inilah persaingan dimulai.

Sekarang mari kita pergi menuju kota metropolitian yang padat. Silakan mampir ke salah satu kedai kopi dan menikmati secangkir kopi di sana. Tim menganalogikan pikiran melalui kebiasaan membeli kopi di stasiun kereta bawah tanah di London. Kebiasaan ini melahirkan pertanyaan: mengapa harga kopi di satu stasiun dan stasiun lainnya berbeda? Kasus serupa terjadi pada convenience store (warung serba ada) yang terletak di dekat stasiun dan satunya lagi berada agak jauh dari stasiun.

Hasil investigasi dari sang ekonom yang sedang menyamar (the undercover economist) ini ternyata membuktikan bahwa lokasi pun memiliki nilai sendiri. Apa semata-mata tergantung lokasi? Tidak. Produk yang dijual pun harus memiliki daya saing. Sang ekonom menemukan fakta bawah harga secangkir kopi dengan rasa sama dari penjual yang berbeda di lokasi tertentu sanggup membuat Anda berpikir dua atau tiga kali sebelum membelinya. Tetapi gerai kopi itu nyatanya tetap bertahan dengan harga yang selangit itu. Mengapa? Sekali lagi, dia memiliki kuasa atas kelangkaan.

Jadi suatu kelangkaan akan menjadi kekuatan Anda dalam menjalankan usaha? Tidak juga. Konsumen saat ini sudah sadar atau lebih tepatnya disadarkan. Mereka kini bisa menolak membeli produk dari sebuah pabrik yang tidak membayar tenaga kerja (buruh) sesuai ketentuan atau kedapatan mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Kejadian ini nyata, sudah menimpa salah satu produsen aparel (baju dan asesoris) olahraga ternama. Jadi apalagi yang penting? Kejujuran.

Tim kemudian mengajak kita merasakan kemacetan di kota besar. Kita di Indonesia dapat merasakan juga di Jakarta, Bandung, atau kota-kota besar lainnya. Cara Tim membeberkan masalah kemacetan ini agaknya sudah menyinggung kemacetan yang terjadi di mana sana. Berapa kerugian yang harus kita tanggung dari suatu kemacetan? Anda yang mengalami dapat menghitung. Namun siapa yang harus bertanggung jawab? Entahlah. Ada baiknya kita mengamati diri sendiri. Bagi orang-orang yang rutin setiap hari harus menempuh berkilometer aspal menuju tempat kerja dan kembali lagi, masalah ini sangat sensitif. Tapi apa kita tetap mau peduli bila kenyataannya ternyata kita sendiri yang menyebabkan kemacetan itu? Hanya Anda dan juga saya yang dapat menjawabnya. Dengan jujur.

Penulis yang jadi anggota dewan editor Financial Times ini menyodorkan solusi untuk mengatasi kemacetan sebagaimana pernah diterapkan pemerintah Inggris, yaitu dengan membebankan pajak amat tinggi terhadap kendaraan bermotor, hingga hanya sejumlah orang kaya yang dapat membayarnya. Kemudian menerapkan tarif harga bahan bakar yang mahal. Apa kebijakan ini efektif? Tidak juga. Hingga pada satu saat dunia disadarkan tentang pentingnya mengelola efek negatif dari kemajuan industrialisasi, yaitu emisi karbon.

Dari masalah kuasa kelangkaan, persaingan, penentuan harga, kejujuran, dan kemacetan yang entah itu tanggung jawab siapa, kita berlanjut ke masalah kemiskinan. Kita juga akan membahas lawan dari kemiskinan. Kamerun dijadikan contoh sebagai negara miskin yang hingga saat ini masih berenang dalam kemiskinan. Sebaliknya Republik Rakyat Cina sudah mampu melewati arus dan berenang ke daratan untuk dapat mendaki hingga ke puncak gunung tertinggi.

Membandingkan Kamerun dan Cina sungguh tepat mengingat kondisi Kamerun ternyata tetap begitu-begitu saja selama tiga dasawarsa terakhir, sedangkan Cina sudah jauh meninggalkan Kamerun dalam hal kemiskinan. Cina mampu memanfaatkan kondisi tertutup negara itu. Selayaknya sebuah dam, akhirnya tampungan air itu mendobrak dan menguasai dataran kering di sekelilingnya. Kesejahteraan rakyat Cina di bawah pemerintahan Ketua Mao tidak lebih baik dari kondisi rakyat di Kamerun. Pemerintahan pun bertransisi saat Deng Xiao Ping mulai memimpin. Melalui evolusi dan perbaikan sistem, Cina secara bertahap akhirnya mampu mengentaskan korupsi yang menggerogoti negaranya dan menciptakan sistem produksi dan administrasi yang jauh lebih efisien dari sebelumnya. Dari hanya ber-evolusi, Cina mampu membawa dirinya dan dunia ke tingkat revolusi. Agaknya wajar bila sejak dulu ada ungkapan, "belajarlah hingga ke negeri Cina."

Detektif Ekonomi mampu mengungkap dan menyajikan berbagai informasi penting yang selama ini tertutup bagi banyak orang demi kejujuran dan tanggung jawab sosial perusahaan. Tim Harford tidak hanya menyajikan pandangan dari kacamata ekonom, tetapi juga pandangan pebisnis. Pebisnis ialah pelaku perekonomian. Para ekonom dapat dikatakan mengelola situasi makro perekonomian. Pemerintah memainkan peran sesuai kebijakan sistem ekonomi yang diterapkan di negaranya masing-masing. Pemerintah pun mustahil melepaskan tanggung jawab demi menyejahterakan rakyat, memberlakukan tata cara untuk membatasi bisnis dari praktik yang dapat merugikan warga negaranya.

Mungkin setelah membaca buku ini Anda akan bertanya-tanya penasaran, mengapa sebuah negara yang kaya sumber daya alam malah gagal memperkaya diri sendiri untuk kesejahteraan masyarakatnya. Mengapa sebuah negara yang mampu menghasilkan kopi dan tembakau terbaik di dunia tidak mengatur harga kopi dan tembakaunya sendiri? Kemudian secara kritis Anda akan bertekad: apa yang dapat saya perbuat untuk negara saya.[]

Norman Satya ialah mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Situs terkait:
http://www.gramedia.com

Sunday, September 05, 2010


[Feature]

Freeing the Writer Within
---Dian Kuswandini, The Jakarta Post, Jakarta | Mon, 08/30/2010


For some people, putting their thoughts into words might be as easy as falling off a log. For others, however, writing is simply difficult.

"I can’t write for nuts," confessed 31-year-old Badai Aqrandista. "I usually get stuck after the first two or three paragraphs and don’t know what else to write after that," he added.

An IT programmer by profession, Badai is starving to write---he wants to create magic with words and make wonders with few sentences. But because he just doesn’t know where to start, he’s considering to take up a writing course.

"I think it’s cool to be able to write; to persuade others through writing," he said. "Back in Australia, I searched for writing courses, but ended up finding nothing but classes that had long durations, like one year."

So, on his return to Jakarta, Badai is once again looking for a writing course, while keeping himself motivated by reading a book titled Keep Your Hand Moving, written by Anwar Holid.

"I just need to find out how to turn this [writing] obsession into a burning passion," Badai said.

Badai is not alone. Swistien Kustantyana is another aspiring writer, who although didn’t start from scratch, felt she needed a boost to unlock her talent.

"My short story was once published in a magazine, and it made me go like, ‘wow, I can actually do it!’" said 28-year-old Swistien. "That experience tickled my inner writer so much I felt I needed to attend a writing course," she added.

In October last year, Swistien signed up for a short-story class at FixiMix writing school in Jakarta.

There, she learned how to develop her imagination, create characters, make a plot, as well as discover different writing styles.

"Let’s say, to develop my story’s characters, my mentor [author] Kurnia Effendi taught me to start from people who are close to me---I can just develop from there," Swistien said. "We also get some useful tips on how to get our writing published in magazines. For example, magazines would look to [religious-themed] stories nearing Idul Fitri, so we can start sending short stories three or four months before that," she added.

Attending a writing course, for Swistien, is also an opportunity to meet new people and expand her network.

"I met with many new friends, including some insiders of certain magazines," said Swistien, who later signed up for a film-scenario writing class at FixiMix. "From there, I could develop my network, which has helped me a lot in building [a writing career]."

Crafted writing skill, insightful tips and an expanded network aside, Swistien was also surprised to rediscover herself as a highly confident person.

"I truly gained my confidence after that; I became so productive writing," said Swistien, whose dozens of writings have been published in several media outlets. "Now, I at least have one of my short stories published every month."

People like Swistien and Badai---who wish to free the writer within them---is just the reason why people from writing schools such as Anwar Holid of Visikata, Jonru of Sekolah Menulis Online and Henny Purnama Sari of FixiMix step forward to offer their assistance to writer wannabes.

"Most people I know just have so many ideas in their minds, but they don’t know how to translate them into words. They simply don’t know how to begin," said author and editor Anwar Holid, who teaches "Basic Writing" at www.visikata.com. "One of [my course’s] participants confessed he would get nervous every time his boss asked him to write reports, while another one wanted to know how to write without having to feel pressured."

While these people started from scratch, Anwar went on, other participants were actually born with writing talent yet they did not have enough confidence to develop them.

"Some people I know just aren’t sure whether they’re really talented," Anwar said. "They just need someone to ensure them that they write well. Thus, a writing mentor is just there to offer a second opinion," he added.

Established last year by Andre Birowo, Visikata opens virtual classes for basic writing, copywriting, opinion writing and fictional writing---all under the guidance of a senior and experienced writer. Adopting the method of interactive learning, Visikata aims to make writing courses more flexible for busy people.

Participants can visit their "classrooms" whenever they want to get their course’s materials, and on scheduled days, usually at around 8 p.m., they can "meet" up with their mentors to discuss the materials and exchange ideas with other participants. Their mentors would also give them assignments, and evaluate and discuss them on the next session. For a class combining basic writing and opinion writing, Visikata charges Rp 625,000 for each participant.

Just like Visikata, Sekolah Menulis Online also adopts interactive learning method. According to its founder Jonru, this is to give more access to people from across Indonesia.

"I found out that most writing schools are only opened in big cities, while I also realize that many people out there want to attend such a course," said Jonru, writer of Menerbitkan Buku Itu Gampang and Cara Dahsyat Menjadi Penulis Hebat.

"I aspire to embrace people from all over the place and break down the boundaries. They can learn writing from wherever they want," he added.

Jonru, also the founder of www.belajarmenulis.com and www.penulislepas.com, said that since Sekolah Menulis Online was opened in 2007, there were some 400 participants, including those from abroad, signing up for his classes.

"Some need guidance to get into the publishing [industry] and we would help them with that," said Jonru, whose online school charges from Rp 170,000 (US$18) to Rp 2.5 million for various types of writing classes.

"Some others just need advice to boost their confidence in writing."

Meanwhile, novelist Henny Purnama Sari, founder of FixiMix, said people who learned writing at her place came from various backgrounds.

"We have some junior high school students to employees and housewives in their 40s joining our classes. They want to learn how to write because they wish to have their writing published in magazines and newspapers," said Henny, who started FixiMix in 2007. "The funny thing is, we were surprised to find out that middle-aged people are very eager to write teen-themed short stories."

Henny said she initially established FixiMix as a community center that promotes fictional writing and script writing for film and theater. As a community, she thought FixiMix needed to encourage people to be creative through writing.

"That was how the idea to open writing classes came up," said Henny, adding that up until today, FixiMix had attracted around 70 people. "We started with a sinetron [soap opera] scenario writing class, and now we have short story and movie scenario writing classes."

With a wide network of qualified writers and people with hands-on experience with TV series and movie productions, Henny adopted a unique concept of "Café Classroom" to lure would-be writers. The idea is to meet some friends---a pleasant contradiction to the stereotype of the lonely, distressed writer.

"Our motto is relaxed but serious," she said. "We cooperate with some cafés, holding our courses in their places. We don’t want conventional classrooms with boring teaching methods. We learn, eat and have fun."

Another special thing about FixiMix, Henny said, was the way it opened opportunities to talented writers to get their work published in media.

"We cooperate with magazines such as Cita Cinta and Chic---the best three students in our classes will have their stories published in the magazines," Henny said.

Swistien is one of Fiximix’s best three students, whose path was opened after her writing was published in one of the magazines. Another one is Hilal Ahmad, who like Swistien, feels very motivated after attending the class.

"I felt really supported by people with the same interest there," said the 24-year-old student and volunteer, who paid around Rp 470,000 to attend the class. "Before attending the class, I had difficulty pitching ideas and was very curious why the writings I had submitted were never chosen for publication."

But after attending the class, Hilal went on, "I got to know some tricks. I was exposed to some standards applied by the media, and learned how to compete [with other writers]."

Even long after he "graduated" from the class, Hilal said he still had that urge to be a productive writer.

"We have this forum, where each of [the alumni] post updates," he said. "So, seeing your friend’s writing is published in Femina (magazine) and another’s in Gaul (tabloid), will make you go, like, ‘oh, I need to get my stories published too’," he laughed.

"You know, the more curious you are, the more you want to explore your talent."[]

Sumber:
http://www.thejakartapost.com/news/2010/08/30/freeing-writer-within.html

Copyright © 2008 The Jakarta Post - PT Bina Media Tenggara. All Rights Reserved.

Wednesday, September 01, 2010


[Buku Incaran]

Upaya Menaklukkan Kekakuan Sejarah Nabi
---Anwar Holid

Pengikat Surga
Penulis: Hisani Bent Soe
Penerbit: Ten-Q, 2010
Tebal: 400 halaman
ISBN: 978-602-96891-0-5

Jakob Sumardjo di dalam buku Menulis Cerpen (1997) menyatakan bahwa salah satu ciri karya besar ialah penyajiannya harus menarik. Gaya bercerita harus memikat dan mampu memuaskan nafsu para pembaca terhadap keindahan. Di sini yang dipersoalkan adalah bagaimana-nya suatu karya, bukan apa-nya (subjek karya tersebut).

"Nyata sekali bahwa sebuah karya besar tidak perlu memasang masalah besar dalam takaran filsafat atau ilmu pengetahuan," demikian paparnya. Jakob mencontohkan karya Sutan Takdir Alisyahbana, Grotta Azzura. Novel ini bicara tentang kebudayaan yang besar secara detail dan komplet, tapi sayang penggambaran kebesaran masalah itu gagal dituangkan secara menarik dan manis.

Hetih Rusli, penyunting fiksi di Gramedia Pustaka Utama, berpendapat bahwa salah satu hal paling penting dalam novel yang bagus ialah memperhatikan kekuatan tokoh utama (protagonis). Dia menyatakan: "Yang terpenting ialah meniupkan nyawa ke dalam diri si tokoh. Tokoh tersebut harus hidup, bergerak, dan bernapas pada saat kita membacanya. Si tokoh harus hidup dalam bentuk tiga dimensi di benak pembaca, bukan cuma tertulis di atas kertas."

Dua pandangan tersebut menggiring pada opini bahwa tema atau subjek persoalan suatu cerita bisa mengenai apa saja, namun kunci fiksi itu tetap bagaimana cara menyajikannya. Tegas Jakob Sumardjo, "Jangan mengorbankan sastra hanya untuk tema."

Hisani Bent Soe, seorang pengajar (ustadzah) di Ma'had Al-Imarat, Bandung, berusaha menaklukkan kekakuan sejarah kisah kehidupan nabi Muhammad ke dalam novel berjudul Pengikat Surga. Kisah kehidupan dan kehidupan nabi Muhammad (shirah nabawiyah) jelas sudah sangat populer bagi pembaca Muslim, terus-menerus dieksplorasi oleh sekian banyak penulis Muslim dan non-Muslim baik ke dalam risalah nonfiksi maupun karya fiksi, serta menghasilkan karya dengan ciri masing-masing.

Hisani memanfaatkan kelebihan pengetahuannya tentang detail sejarah Islam yang luas dan mumpuni sebagai bahan dasar untuk menciptakan suasana awal munculnya Muhammad sebagai penerus akhir agama tauhid (yang mengesakan Tuhan) hingga masa awal terpilihnya Ustman bin Affan sebagai pemimpin bangsa di jazirah Arab---yang juga terdapat komunitas Yahudi, Kristen, maupun kaum penyembah berhala dan politeis. Bisa jadi karena Hisani sejak awal berniat menulis trilogi, maka periodisasi dalam novel ini tanggung dan akhir novel ini sengaja dibiarkan menggantung.

Hisani pada dasarnya juga mampu menemukan sudut pandang yang sangat menarik untuk menceritakan seluruh kisah perjalanan kenabian itu, yaitu dari kacamata Asma, gadis kecil yang sejak awal dekat dengan keluarga Muhammad. Dari mulut dan pikirannya novel ini tersaji. Di awal-awal buku kita akan membaca pertanyaan-pertanyaan naif seorang gadis ayahnya, yaitu Abu Bakar, mengenai Islam dan awal mula dakwah Muhammad. Ayah Asma sendiri lebih senior dari Muhammad dan sejak awal mereka berbagi kegelisahaan soal dekadensi moral dan spiritualitas masyarakatnya. Pada gilirannya, nanti Abu Bakar akan menjadi mertua Muhammad karena dia menikahkan putri bungsunya, Aisyah. Muhammad sendiri juga memiliki putri sepantaran Asma bernama Ruqayyah. Mereka berdua sudah berteman akrab sejak kecil dan sering bermain bersama, karena orang tua mereka selain sesama rekanan bisnis juga telah berkawan erat. Merekalah saksi sejak kanak-kanak bagaimana orang tua masing-masing bertransformasi menjadi agen perubahan masyarakat dan mengorbankan segala-galanya demi tegaknya Islam. Seiring waktu dan dinamika peristiwa, Asma menyaksikan nyaris seluruh peristiwa penting dalam sejarah Islam dari jarak sangat dekat, termasuk tambahan berita dari ayah, suami (Az Zubayr bin Awwam), maupun adiknya (Aisyah). Bahkan sejak awal Abu Bakar melibatkan Asma untuk menjadi pencatat dan pendata seluruh pemeluk Islam beserta rahasia strategi gerakan Islam yang direncanakan di rumah Muhammad. Dari peran itu tergambar betapa Asma bisa dikatakan termasuk seorang Muslim utama, sebab ia berada di pusaran lingkaran dalam para tokoh Islam.

Dinamika perkembangan awal Islam inilah yang justru merupakan inti dan mendapat porsi terbesar dalam novel ini. Kehidupan pribadi Asma dan dunia batinnya juga kurang terungkap secara memikat, sebab dia sangat sibuk terlibat dengan dunia luar. Selain menjadi juru tulis dan pemegang rahasia ayahnya, Asma juga merupakan pionir tenaga paramedik setiap kali umat Islam terlibat peperangan. Dari sudut bias gender, secara implisit Hisani ingin membuktikan betapa Islam sejak awal memuliakan perempuan dan membuka peluang agar mereka secara bebas dan maksimal bisa berperan di masyarakat umum.

Mengolah bahan sejarah nan panjang dan melimpah ruah dengan informasi namun butuh kejelian menangkap detail dan suasana batin protagonis itulah yang masih kurang dikuasai dengan baik oleh penulis. Kemampuan Hisani untuk menuturkan kisah atau melakukan novelisasi terhadap sejarah faktual masih belum mampu menghilangkan kesan bahwa novel ini tetap mengulang formula kisah yang selama ini telah dikenal oleh umat Islam pada umumnya. Bedanya, Hisani berusaha menghadirkan setting, percakapan, plot (alur cerita), menghadirkan sejumlah ketegangan maupun konflik, namun unsur tersebut kurang tergarap secara maksimal.  Akibatnya kita membaca kisah ramai yang datar, namun riak-riak emosi para pelakunya nyaris tak muncul.

Di balik aktivitas dan pengaruh terhadap seluruh kisah dan peristiwa, kelemahan karakterisasi terhadap Asma membuat dia seperti sosok tanpa nyawa maupun punya "suara" sendiri. Bagaimana gelombang emosi perempuan bila dilanda cemburu, apa komentar dan perasaan ketika adiknya seperti dijodohkan pada pria yang tampak lebih pantas jadi kakeknya, tidak muncul. Dalam kasus perkawinan Muhammad-Aisyah, Hisani justru tidak memperlihatkan kekritisan terhadap penafsiran ulang atau menelaah lebih teliti terhadap sejarah yang selama ini sulit diterima umum, malah mengamini mitos bahwa Muhammad menikahi gadis di bawah umur, meskipun dia telah haid.

Kekurangan tersebut diperburuk oleh rendahnya kemampuan teknis sang penulis dan editor gagal menjalankan fungsi untuk meningkatkan kualitas karya. Penulisan novel ini masih berlepotan dan mengandung banyak sekali kesalahan elementer, mulai dari salah eja, tanda baca, inkonsistensi penulisan, hingga unsur pengganggu yang masih terlewatkan untuk disiangi. Hisani juga masih tampak takut untuk berusaha melenturkan ungkapan kalimat ayat Al-Quran agar lebih kena (kuat) dan menggetarkan bagi pembaca Indonesia, namun malah membiarkannya tetap kaku sebagaimana terjemahan Departemen Agama---padahal novel merupakan media yang tepat untuk mengungkapkan firman Allah agar memiliki daya dobrak besar terhadap pembaca. Bukankah Al-Quran ialah sastra yang agung? Bagaimana kita bisa merasakan keagungan bila untuk memahaminya pun sudah kerepotan? Padahal latar belakang keilmuan penulisnya otoritatif untuk melakukan hal tersebut. Meskipun konteksnya tepat, tebaran ayat Al-Quran dalam di berbagai halaman hanya membuat novel ini kehilangan elastisitas sebagai karya sastra yang idealnya imajinatif dan segar.

Kita boleh berharap agar Hisani Bent Soe mampu meningkatkan cara bercerita dan mengungkapkan emosi pada proyek penulisan dua sekuel berikutnya. Di debut Pengikat Surga ini dia telah sukses mempersembahkan karya yang mampu menghadirkan kisah sejarah dari sudut pandang unik. Tinggal kerja keras ini terus diasah sebaik mungkin agar mampu menyiapkan karya secara hati-hati, teliti, dan berkualitas tinggi hingga melahirkan karya yang jauh lebih memuaskan. Lepas dari sejumlah kekurangan dalam novel ini, Pengikat Surga tetap pantas dijadikan sebagai pendamping buku sejarah kenabian dan Islam secara umum, terutama dari sisi feminin.

Semoga komentar dan kritik ini makin menyemangati Hisani berkarya dan menjadi batu loncatan untuk membuat karya yang mengguncang dunia di masa depan.[] 26/8/2010

Pengikat Surga terbit secara self-published. Pemesanan: 085862051531

Anwar Holid bekerja sebagai penulis & editor. Buku barunya ialah Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.


[PUBLISITAS]

Merasakan Kehadiran Tuhan Demi Meraih Kebahagiaan
---Anwar Holid


JAKARTA - Sekelompok wanita memasuki ruang tempat Ngabuburit Bersama Arvan Pradiansyah diadakan di toko buku Gramedia Matraman, Sabtu, 28 Agustus 2010. Beberapa di antara mereka memperlihatkan simbol agama yang jelas. Seorang perempuan berkalung salib, lainnya mengenakan jilbab. Di ruang itu tampak Budiman Sujatmiko tengah diwawancarai; terdengar sekilas ceritanya di masa-masa menjelang Reformasi. Sebelum acara dimulai, Arvan Pradiansyah berkali-kali disapa sejumlah orang, termasuk dimintai tanda tangan pada buku-buku karya Arvan yang mereka miliki.

Ruangan sudah penuh ketika ngabuburit berisi acara launching dan talkshow buku terbaru Arvan Pradiansyah You Are Not Alone (Elexmedia, 252 hal., Rp.52.800,00) dimulai. Riri Artakusuma, sang pemandu acara, mengawali hajatan dengan menanyakan maksud Arvan menulis  buku tersebut. "Buku ini bicara tentang perubahan," demikian kata penulis yang juga dikenal sebagai ahli SDM dan pembicara publik ini. "Saya ingin menulis buku yang dapat mengirimkan pesan kuat untuk memprovokasi pikiran orang agar dapat berubah menjadi lebih baik," tegas Arvan. Akhir-akhir ini dia rupanya prihatin dengan Indonesia yang digelari sebagai negeri mafia. Tidak ada satu pun lembaga penegakan hukum di negeri ini yang bersih dari korupsi.

Apa gagasan tentang Tuhan dan kebahagiaan akan mampu mengubah orang? Kita bisa simak dari komentar para hadirin. Mereka mayoritas telah familiar dengan Arvan Pradiansyah, baik dari radio maupun buku-bukunya. Seorang manajer cerita bagaimana dia suatu mendengar penuturan Arvan di radio dan penasaran dengan karyanya. Waktu itu buku terakhir Arvan ialah The 7 Laws of Happiness (Kaifa, 2008). Dia membeli buku itu, membacanya, terkesan, dan akhirnya menghadiahkan buku itu kepada rekannya. Dia bilang, "Ini buku bagus. Baca deh." Rekan dia rupanya jauh lebih terkesan lagi oleh buku itu dan kemudian malah menyebarkan ide isi buku itu pada sejumlah rekan lain, sampai membuat manajer tersebut akhirnya merasa kehilangan buku itu dan akhirnya terpaksa beli untuk kedua kali. Kali ini dia melangkah lebih jauh: dia menerapkan sejumlah workshop yang bisa dipraktikkan dari buku itu di dalam perusahaan dan anak buahnya.

Secara konseptual, Arvan memang telah menuangkan ide mengenai spiritualitas dan kebahagiaan di dalam The 7 Laws of Happiness. Syarat utama kebahagiaan yaitu sabar, syukur, sederhana (kemampuan menangkap esensi), kasih, memberi, memaafkan, dan puncaknya kemampuan berserah diri dan percaya seratus persen kepada Tuhan (pasrah) sudah mengandung esensi spiritualitas yang kental. Tema ini telah dia eksplorasi. You Are Not Alone makin menegaskan betapa spiritualitas menjadi prasyarat untuk merasakan kehadiran Tuhan maupun demi meraih kebahagiaan. Untuk memudahkan penelusupan ide-idenya, Arvan mengawali setiap bab dalam buku ini dengan kisah. "Saya menyarankan Anda baca satu artikel per hari. Jangan langsung semua, biar tidak mabuk. Agar Anda lebih bisa meresapi makna isinya," demikian ucap Arvan.

Arvan menyebut ada lima poin yang ingin dia nyatakan dalam buku ini, yaitu:
1. Tuhan itu dekat, dia ada bersama kita setiap saat.
2. Percaya Tuhan itu tidak sama dengan beriman, buktiknya ada banyak orang mengaku percaya pada Tuhan tapi perilakunya justru kontradiktif dengan keimanan.
3. Melakukan kejahatan itu sama dengan kafir.
4. Mengajak agar pembaca cerdas secara spiritual (memiliki spiritual quotient).
5. Puncak dari penghayatan manusia kepada Tuhan ialah cinta (kasih sayang).

Dalam You Are Not Alone, Arvan berkali-kali menjelajahi topik sensitif, misal dia menyatakan bahwa religius saja belum cukup, orang beragama belum tentu baik, memilih antara orang beragama atau orang baik, sampai pertanyaan apa agama itu merupakan keharusan atau kebutuhan? Spiritualitas pasti membicarakan Tuhan, sumber kebahagiaan itu sendiri. Tuhan yang dimaksud bersifat universal, tidak mengacu pada definisi ajaran agama tertentu. Itu sebabnya para hadirin dalam acara ini sangat beragam, datang dari berbagai latar belakang. Dalam konteks ini, spiritualitas tampak lebih luas dan mampu menampung banyak orang daripada agama formal tertentu. Bila pendekatannya sempit, hitam-putih, hanya berupa larangan dan perintah agama bahkan telah berkali-kali memperlihatkan sisi wajahnya yang mengerikan. Orang bisa atas nama Tuhan menghancurkan agama yang berbeda.

Arvan berpendapat idealnya spiritualitas mampu mengubah paradigma seseorang dan melahirkan kebaikan baru kepada orang lain. Pendapat ini sesuai dengan pernyataan Viktor Frankl (1905-1997) bahwa orang yang berhasil menemukan makna kehidupan memiliki niat lebih mulia untuk bertahan hidup; ia merasa bahwa dirinya "penuh."

Respons publik terhadap You Are Not Alone terbukti antusias. Seorang staf sales Elex menyatakan penjualan buku-buku Arvan di Gramedia Matraman saja sangat bagus; dalam seminggu bukunya rata-rata terjual 6-7 eksemplar. Menjelang akhir Agustus 2010 buku tersebut sudah cetak ulang.[]

Copyright © 2009 oleh Anwar Holid

Situs terkait:
http://www.elexmedia.co.id
http://www.ilm.co.id
Arvan Pradiansyah juga berinteraksi di http://www.facebook.com