Tuesday, January 31, 2017



Kami Memosisikan Diri sebagai Pembaca
yang Butuh Bacaan Bermutu
Wawancara dengan Kun Andyan Anindito, Penerbit Gambang

--Anwar Holid

Penerbit Gambang menyembul ke permukaan industri penerbitan dengan cara yang simpel. Mereka merilis sejumlah buku puisi, berukuran kecil dan tipis, dengan cover eye-catchy, yang bagi banyak calon pembaca seperti merayu ingin disentuh dan dibuka-buka. Penerbit ini seperti hendak membangun brand image yang jelas dan mudah dikenali. Mereka juga kerap mengadakan acara di berbagai toko buku di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan tempat lain.



Berikut wawancara dengan Kun Andyan Anindito seputar proses penerbitan, bagaimana memilih dan mengelola naskah, juga memelihara kerja sama dengan penulis.

Kun Andyan Anindito.
* Bagaimana awalnya Gambang menerbitkan buku?
Gambang terlahir karena kecintaan kami terhadap buku. Sederhana saja, waktu itu saya dan Rozi Kembara awalnya hanya ingin membaca buku yang ingin kami baca, kebetulan banyak karya yang ingin kami baca belum diterbitkan, terlebih karya luar yang belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain itu kami memiliki keinginan memperkenalkan penulis-penulis luar negeri yang namanya jarang didengar di Indonesia. Sementara ini kami memang baru bisa menerbitkan dua terjemahan, Borges dan Rulfo. Borges memang sudah sangat familiar untuk pembaca Indonesia, meski begitu karyanya masih sedikit yang baru diterjemahkan. Sedangkan Rulfo adalah penulis yang banyak mempengaruhi penulis lain padahal seumur hidupnya dia hanya menerbitkan dua buku, satu novel dan satu kumpulan cerpen. Untuk itulah kami menerbitkan novelnya yang berjudul Pedro Paramo beserta 6 cerpennya. Di awal penerbitan kami memang fokus kepada penulis lokal karena salah satu misi kami adalah menerbitkan karya penulis yang belum pernah memiliki buku tunggal, padahal secara kualitas penulis tersebut sudah layak menerbitkannya. Penulis yang kami maksud antara lain Yopi Setia Umbara, Nissa Rengganis, Aprinus Salam, Mira MM Astra, Zulkifli Songyanan, Risda Nur Widia. Nama penulis berikutnya yang segera akan menerbitkan karya pertamanya adalah Indrian Koto, Nermi Silaban, Mutia Sukma, dan Rozi Kembara. Berawal dari hal itulah kami muncul ide untuk membuat sebuah penerbitan.

* Mengapa Gambang seperti mengambil ceruk yang sangat spesifik, yaitu penerbitan buku puisi?
Sebenarnya kami tidak spesifik dalam menerbitkan genre karya sastra, namun kami lebih sering menjumpai naskah puisi dibanding prosa seperti cerpen atau novel. Karena sering berjumpa dengan puisi itulah kami akhirnya memutuskan untuk memberi porsi lebih pada buku puisi.

* Bagaimana Gambang menyeleksi naskah dan memutuskan untuk menerbitkannya?
Gambang menyandarkan sepenuhnya pada kualitas karya tersebut. Pertimbangan lain yang juga sangat diperhitungkan adalah rekam jejak penulis tersebut di media masa.

* Bagaimana cara Gambang menilai/memutuskan bahwa naskah layak diterbitkan?
Tim penyeleksi dari kami ada tiga orang: saya, Yopi Setia Umbara, dan Rozi Kembara. Setiap dari kami memiliki selera masing-masing. Jika dua di antara tiga orang setuju, maka naskah akan diterbitkan.

* Apa yang paling utama dilihat/diperhatikan oleh Gambang dalam menerbitkan buku: keterjualan atau kekuatan naskah? Bagaimana mengukur kedua hal itu?
Kami percaya bahwa kekuatan naskah berbanding lurus dengan terjualnya buku. Kami sudah membuktikannya berkali-kali ketika menerbitkan karya-karya awal penulis yang kami sebutkan di atas. Karya-karya penulis seperti Nissa Rengganis, Mira MM Astra, Yopi Setia Umbara telah masuk cetakan kedua, yang lainnya hanya tinggal menunggu waktu. Buku karya Nissa Rengganis mendapat penghargaan di Hari Puisi Indopos tahun 2015, sedangkan buku kumpulan cerpen Risda Nur Widia, yang juga merupakan buku pertamanya, mendapat penghargaan dari Balai Bahasa Yogyakarta.

* Bagaimana Gambang memperkirakan keterjualan sebuah buku?
Kami mencetaknya dengan dengan oplah terbatas, antara 300 sampai 500. Karena rata-rata buku akan terjual sejumlah itu tiap tahunnya. Jika habis, segera kami cetak ulang dengan oplah kurang-lebih sebanyak itu.

* Apa Gambang sengaja memilih penyair atau penulis tertentu untuk diterbitkan naskahnya?
Tentu saja. Kami akan memprioritaskan karya penulis yang sesuai dengan selera kami bagi penulis yang mengirim naskahnya ke redaksi kami. Untuk penulis yang sangat kami inginkan naskahnya agar berkenan diterbitkan di Gambang, kami berupaya untuk mendapatkannya. Untuk itu kami sangat bersyukur karena Acep Zamzam Noor dan Agus Noor mengizinkan naskahnya diterbitkan di Gambang.

* Tantangan apa saja yang dihadapi Gambang? Bagaimana cara menyiasati dan menanganinya?
Satu-satunya tantangan yang dihadapi Gambang adalah mempertahankan reputasinya sebagai penerbit serius. Cara menyiasatinya dengan menjaga kualitas karya yang diterbitkan. Kami tidak ingin mengecewakan pembaca, karena kami sendiri selalu memposisikan diri sebagai pembaca.
Diskusi Pinara Pitu di GIM Bandung.
* Bagaimana Gambang mendistribusikan dan menjual bukunya?
Kami memiliki reseller yang sangat selektif dalam memilih buku yang ingin mereka beli. Mereka tersebar di berbagai kota. Di Jogja ada JBS, Pocer, Mojok, Stand Buku. Di Jakarta ada Post Santa dan Demabuku. Di Medan ada Umbara Books. Di Bandung ada Toco. Di Malang ada Griya Pelangi. Di Makassar ada Pelangi Ilmu. Di Ambon ada Ksatria Book. Seluruhnya adalah toko buku online.

* Bagaimana hubungan editor dan penulis/penyair di Gambang? Seperti apa kerja sama yang dibangun?
Editor akan rutin menghubungi penulis terutama dalam hal pembahasan naskah. Mulanya penulis mengirim naskah ke redaksi dan langsung dibaca oleh editor, lalu setelahnya mengirimkan balik ke penulis hingga mencapai kesepakatan antara penulis dan penerbit yang diwakili editor.

* Program apa yang dibuat Gambang untuk mempromosikan bukunya?
Kami rutin membuat sistem preorder dengan memberikan diskon hinggal 15% kepada pembeli. Program baru yang awal bulan ini selesai kami kerjakan adalah pemberian workshop secara gratis kepada pembeli buku Rahasia Dapur Bahagia karya Hasta Indriyana, yang sekaligus menjagi pengisi workshop.

* Bagaimana Gambang memandang penerbit mapan yang juga menerbitkan buku puisi?
Kami selalu menganggap penerbit lain, baik indie atau mayor, dalam atau luar negeri, sebagai bahan referensi kami. Kalau buku yang mereka terbitkan baik, maka kami akan mencontohnya. Jika buku yang diterbitkan buruk, maka cukup penerbit itu saja yang menerbitkannya.

* Seperti apa Gambang memperlakukan penulisnya? Mereka dianggap sebagai aset perusahaan atau komoditas? Servis apa yang diberikan Gambang pada mereka?
Kami memperlakukan penulis selayaknya penulis harus diperlakukan, misalnya membayar royalti sebesar 20% dari harga jual secara cash tepat ketika buku selesai cetak. Jika penulis berkenan membantu penjualan bukunya, penerbit akan memberikan 30 % dari harga cetak, sehingga jika ditotal penulis akan mendapatkan pembayaran sebesar 50 % dari harga jual.
Workshop menulis puisi bersama Hasta Indriyana.

* Apa Gambang 'memelihara' penulis? Dalam arti mempertahankan agar terus bisa menerbitkan karya-karya berikutnya dan tidak beralih ke penerbit lain? Apa yang dilakukan Gambang untuk 'mengikat' para penulisnya agar juga mau terus menerbitkan karyanya di Gambang?
Kami tidak pernah memaksa penulis untuk menerbitkan buku di Gambang. Kami hanya bisa mengupayakan, jika memang penulis tersebut tidak berkenan memberikan naskahnya, maka kami juga tidak akan memaksa.

* Jika penulis Gambang kemudian menerbitkan buku di penerbit lain, dengan kemasan produk yang lebih bagus atau garapan yang tak dapat disediakan Gambang, kira-kira apa tanggapan Gambang?
Sandaran kita adalah kualitas naskah tersebut. Jika penulis Gambang kemudian menerbitkan buku di penerbit lain, dengan kemasan produk yang lebih bagus atau garapan yang tak dapat disediakan Gambang, kami akan turut senang, senang karena kemasannya bagus, dan senang karena naskah yang kami cari dari penulis tersebut telah kami terbitkan.

* Seperti apa Gambang menanggapi gerakan literasi yang dikampanyekan pemerintah? Apa gerakan tersebut berpengaruh pada siasat perusahaan?
Kami rasa pemerintah belum menggerakkan literasi dengan serius, jadi kami juga tidak perlu menanggapinya secara serius.

* Tahun 2017 Gambang merencanakan apa? Kira-kira seperti apa kondisi penerbitan buku puisi tahun ini?
Minimal kami akan melakukan apa yang telah kami lakukan di tahun-tahun sebelumnya dengan konsisten menerbitkan buku-buku bermutu. Kami rasa, penerbitan puisi masih akan sama dengan tahun-tahun sebelumnya, beberapa penerbit masih takut menerbitkan buku puisi. Tapi semoga kami keliru, karena sekali lagi, kami juga memposisikan diri sebagai pembaca yang butuh banyak referensi bacaan bermutu.[]

Foto-foto milik Penerbit Gambang.

Link terkait:
Alamat Penerbit Gambang
Perum Mutiara Palagan B5, Sleman, Yogyakarta 55581
Telepon: +6285643039249

*****


Monday, January 23, 2017

Membangun Benda Mati vs Manusia 
Saran Untuk Debat Pilkada DKI 2017
--Ilham D. Sannang


Gara-gara diskusi soal "membangun manusia vs benda mati" dalam debat pilkada DKI Jumat lalu, saya jadi pingin nimbrung. 

Rumah ibadah adalah benda mati. Manusia adalah makhluk hidup. Mana yang lebih penting: membangun rumah ibadah atau membangun manusia?

Celana adalah benda mati. Manusia adalah makhluk hidup. Bersekolah adalah cara membangun manusia. Pilih mana: beli celana tapi gak bersekolah, atau bersekolah tanpa celana?

Gua batu adalah benda mati. Tapi, tanpa benda mati itu, hidup manusia purba akan susah: bisa kehujanan, kedinginan, masuk angin, sakit, lalu mungkin gampang mati. Begitu juga kapak batu adalah benda mati. Dan tanpa kapak batu, manusia purba itu akan susah berburu, bisa kelaparan, dan mungkin mati. Tanpa gua batu dan kapak batu (benda mati), manusia purba mungkin tidak akan pernah menjadi manusia modern.

Tapi, gua batu dan kapak batu---benda-benda mati itu---tentu bukan segalanya bagi manusia purba. Tanpa mempelajari alam, tanpa mempelajari diri sendiri, tanpa mengembangkan diri---singkatnya, tanpa pendidikan dan kebudayaan---tentu manusia purba akan selamanya jadi manusia purba, tidak akan berkembang menjadi manusia modern. Dengan akalnya yang berkembang pelan-pelan, manusia purba akhirnya lama-lama belajar menulis di batu. Batu-batu itu---benda-benda mati itu---menjadi sarana lahirnya kebudayaan dan zaman sejarah.

Jadi, buat apa mempertentangkan benda mati dan makhluk hidup?

Lama-lama, manusia menulis di atas kertas. Kertas adalah benda mati. Tapi, kertas berasal dari benda hidup: pohon. Buku adalah benda mati. Tapi, buku kedokteran bisa jadi alat untuk kehidupan. Begitu juga pisau bedah dan kamar operasi: benda-benda mati yang mendukung kehidupan.

Bangunan rumah, masjid, sekolah, rumah sakit, jalan, jembatan, kantor, bendungan, komputer, handphone, piring, sendok, toilet, pasar, tempat sampah, mobil, kereta, MRT, motor, pulpen, keran, sekrup, kabel, kondom, kacamata, celana, baju, dan lain-lain, semuanya benda-benda mati. Tapi apa jadinya kehidupan kita tanpa benda-benda mati itu?

Di sisi lain, dapatkah benda-benda mati itu (yang sudah jadi bagian penting dari hidup kita sehari-hari) diproduksi tanpa manusia-manusia pintar dan terdidik (tanpa membangun manusia)?
Ilustrasi dari Internet.

Jadi, buat apa mempertentangkan antara membangun benda mati atau membangun manusia?

Tidak ada satu pun calon gubernur yang menafikan pentingnya membangun manusia dan membangun infrastruktur dan benda-benda mati. Itu bukan pilihan A atau B. Sebab, kita butuh A sekaligus B. Kita butuh membangun manusia sekaligus membangun "benda-benda mati."

Jadi, supaya debat selanjutnya lebih berkualitas, lebih baik masuk ke detail dong: berapa yang akan dianggarkan untuk pembangunan infrastruktur transportasi massal, supaya macet Jakarta bisa dikurangi? Dari mana sumber pembiayaannya? Kalau macet berkurang, kan lebih cepat kita bisa pulang ke keluarga tersayang! Dan itu bagian penting dari pembangunan manusia lewat quality time bersama keluarga!

Berapa yang akan dianggarkan untuk gaji guru, bangun sekolah, Kartu Jakarta Pintar, dan lain-lain anggaran sektor pendidikan dan kebudayaan? Darimana duitnya? Bagaimana realisasinya? Kenapa serapannya rendah?

Berapa banyak yang dianggarkan buat perbaikan trotoar (benda mati), lahan parkir dekat stasiun (benda mati), menanam pohon (makhluk hidup), bikin jalur sepeda, zebra cross, lampu lalu-lintas, jembatan (benda mati lagi), supaya makin banyak yang nyaman berjalan kaki atau pakai transportasi umum atau bersepeda? 

Sudahlah, jangan memperdebatkan hal-hal umum yang sudah jelas .... mari masuk ke detail!

Jauuuuh sebelum debat pilkada DKI 2017, lebih dari 1400 tahun lalu, sudah diwahyukan kepada manusia begini: Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Demikianlah Allah... (Al-Quran 6:95).

Jadi, sudah lama kita tahu bahwa makhluk hidup bergantung pada benda mati, dan benda mati bergantung pada makhluk hidup. Benda mati dan makhluk hidup saling bergantung dalam siklus. Demikianlah alam ini dibuat oleh Sang Perancang. Jadi, tak perlulah kedua jenis ciptaan-Nya itu dipertentangkan. Kalau soal ini saja masih diperdebatkan, berarti selama 1400 tahun kita belum belajar apa-apa dooong...

Mari bicara angka, proporsi: apakah 1 unit rumah (benda mati) cukup untuk menampung 10 manusia (makhluk hidup)? Masih banyak orang Jakarta yang belum punya rumah (berapa banyak?) Kenapa unit apartemen masih banyak yang kosong, padahal tunawisma juga banyak? Apakah karena properti dijadikan ajang spekulasi dan investasi kaum berduit? Bagaimana solusinya? Dari mana anggarannya? Apa perlu ada pembatasan pembelian properti, atau pengenaan pajak progresif untuk properti ke-2?

Apakah 1 unit bangunan sekolah (benda mati) cukup untuk menampung 1000 siswa (makhluk hidup)? Masih banyak anak Jakarta yang belum bisa sekolah di gedung sekolah dan ruang kelas yang layak (berapa banyak?) Bagaimana solusinya? Dari mana anggarannya?

Apakah 1 km jalan (benda mati) cukup untuk menampung 1000 mobil yang berisi manusia (makhluk hidup) dengan nyaman? Jakarta masih macet. Bagaimana solusinya? Dari mana anggarannya?

Dan seterusnya, dan seterusnya....

Jadi, tolong berikan tawaran solusi yang konkret dong pak, bu!

Kalau bisa, sama konkretnya seperti lebih dari 1400 tahun lalu, ketika seorang peminta-minta mengemis kepada Sang Nabi, lalu Nabi justru memberinya solusi konkret berupa kapak (benda mati) supaya dia bisa mencari kayu bakar di hutan untuk mencari nafkah. (Di zaman sekarang, bisa bikin inkubator bisnis a la Sandiaga Uno atau budidaya ikan kerapu di pulau Seribu a la Ahok: ayo bandingin mana yang lebih logis).

Atau, berikan solusi yang sama konkretnya ketika para tunawisma diberi atap berteduh di selasar masjid nabawi (benda mati) di Madinah... (ini mungkin analog dengan pemberian BLT ala Agus, kalau memang tunawisma beneran dikasih BLT atau tempat nginep gratis oleh Agus....Gimana supaya BLT-nya gak dikorupsi? Mengingat kader dari partai pendukung zaman dulu terbukti banyak yang terlibat korupsi. Mau sampai kapan dikasih BLT? dan lain-lain, dan seterusnya.)

Ayo dong.....mbok ya debatnya yang konkret gitu lho, supaya nonton dan milihnya juga seru!

Kalau waktu debatnya terlalu sempit buat bicarakan teknis angka, kebijakan, strategi, dan lain-lain, boleh juga cagub-cawagub meng-upload versi panjangnya di Youtube. Jadi, milihnya kan lebih enak....

Yah?! Yah?! Yah?![] 17 Januari 2017

Ilham D. Sannang ialah seorang penduduk Jakarta. Bekerja sebagai editor dan penulis freelance.

Wednesday, January 18, 2017

Hidup Terlalu Berharga buat Mendengar Album Jelek
--Anwar Holid

Setelah Boombox Usai Menyalak
Penulis: Herry Sutresna
Penerbit: Elevation Books, Jakarta
Halaman: 229
Tahun terbit: 2016

Buku kumpulan tulisan Herry Sutresna ini sepintas kelihatan kurang solid. Meski semua tentang musik, isinya campur aduk membahas banyak hal. Buku ini tidak seperti kopi espresso single origin dengan kepekatan tertentu. Ia lebih seperti cappuccino yang cukup ringan, tapi menawarkan keragaman rasa dengan kadar kepahitan dan kedalaman tertentu.

Meski bisa dibuka dari bab mana saja, buku ini tetap menawarkan kesatuan yang unik. Apa itu? Yaitu usaha keras untuk terus mengaitkan musik dengan aktivisme sosial-politik. Dari sini kita bisa bertanya: sebenarnya tujuan utama bermusik itu apa? Bukankah banyak orang mengira tujuan utama bermusik ialah hiburan atau katarsis bagi pencipta dan pendengarnya?

Herry tidak melulu menyampaikan kuliah singkat hip hop yang memang kerap langsung dihubungkan dengan dirinya, melainkan juga soal punk, hard core, thrash metal, grind core, sampai post rock. Dia  bilang: hip hop sudah barang tentu cinta pertama saya, namun punk rock memberi kontribusi utama dalam memasok kewarasan (hal. 80). Dia tidak cuma penuh semangat menceritakan Public Enemy, Run DMC, Beastie Boys, atau Jay Z dan Kanye West yang populer, tapi juga hati-hati saat membahas John Cage, Godflesh, Refused, dan Godspeed You! Black Emperor yang segmented. Dia memperhatikan ada apa dengan musik, dari sana membahas siapa yang berjasa menghasilkannya.

Bagi Herry, musik sebagai hiburan sudah selesai. Ya, pertama sekali dia memang membahas musik yang menyenangkan dan menggerakkan dirinya, tapi harus punya nilai tambah dan menawarkan sesuatu. Mau ngapain kita setelah asyik menikmati musik? Herry dengan tegas mengungkapkan kesukaannya sebagai fandom, berupa esai personal yang memuja dan tak berjarak dengan yang disukainya, namun ekspresif, tak segan menghajar, dan terasa dalam. Terasa betul keluasan dan penguasaannya atas subjek yang dia bahas, sampai membeberkan detil yang kerap terasa sulit diangkat sebagai bahan tulisan.

Jadi musik harus punya muatan dan tugas yang lebih hebat dari sekadar hiburan, pelipur lara, maupun pembersih jiwa. Apa itu? Ia harus bisa memantik dan menggerakkan kesadaran sosial-politik, mulai dari kalangan dekat musisi dan produser, lantas kalau bisa secara besar-besaran, melampaui ruang dan waktu asalnya. Jika sudah seperti itu, baru musik terasa punya kekuatan dahsyat yang menggelorakan, baik sebagai penanda zaman atau ikut membantu meruntuhkan rezim.
Foto diolah dari Internet.

Musik memang komoditas, benda mati yang diperjual-belikan, tapi ia berarti karena mesti punya isi. Dengan begitu musik bukan hanya cara untuk bersenang-senang, berusaha meraih popularitas dan kaya, menggandakan kapital, menggerakkan industri, tapi lebih condong sebagai pernyataan, mencanangkan idealisme, menyampaikan keyakinan, mengkritik kejumudan. Musik seperti itu tidak bakal kosong, tapi sejak awal diperhitungkan, penuh muatan. Tinggal bagaimana musisi dan barisan pendukungnya (produser, teknisi, label, dan lain-lain) mengemas agar bisa menghasilkan musik yang kuat. Belum tentu musik ideal bermuatan kritik jeblok penjualannya atau tidak sesuai selera pasar. Belum tentu juga musik kodian langsung meledak, membuat orang mengambil album dan membelinya, apa lagi menginspirasi dan menggerakkan pendengarnya. Bisa jadi album yang diciptakan buat bersenang-senang berbalut kedalaman menangkap dan mengungkapkan gelegak ekspresi, malah menjadi semangat generasi, mendobrak, dan tak ragu lagi dinilai sebagai adikarya.

Buku ini merupakan buah dari pengalaman Herry sebagai pendengar musik yang rakus dan serius, bahkan terlibat di dalamnya. Di dalamnya berisi opini, membahas band, resensi, obituari, sampai desainer cover album. Kita bisa membayangkan bagaimana musik menyertainya ketika terancam mati saat ikut demonstrasi di zaman reformasi, apa lagu atau album yang pantas direkomendasikan, bagaimana album menjadi penting dan sebuah genre bisa lahir. Lebih dari itu, ia menuturkan bagaimana musik bisa membentuk diri dan menentukan sikap dalam kehidupannya. Sikap dan tulisannya bernyali. Ketegasan sangat berguna saat menilai, misalnya terhadap suatu album. Penilaian harus independen. Katanya: Segila apa pun sebuah album diresensi bagus oleh media, tak akan mengubah fakta bahwa ia album yang buruk. Sebaliknya, siapapun yang tak menyukai album buruk tak lantas menggenggam nilai kebenaran estetik absolut yang harus diikuti khalayak (hal. 91). Mungkin karena itu pula Herry sengaja menyingkirkan Rage Against the Machine menjadi tidak penting. Sayang juga ia terbilang jarang membahas skena musik Indonesia.

Terbit dengan semangat copyleft, patut disesalkan bahwa kualitas cetakan buku ini mengkhawatirkan. Ini terasa sekali dalam ilustrasi, padahal ia hadir di setiap bab dengan porsi cukup banyak. Selebihnya, buku ini intens dan cermat. Tulisan Herry lugas, hidup, penuh passion, penting untuk bertukar pikiran, membongkar wawasan, dan bersifat referensial. Dia kuat memposisikan diri, dan karena itu membuat bukunya sangat pantas direkomendasikan.[]


Anwar Holid, bekerja sebagai editor dan penulis, tinggal di Bandung.

Wednesday, January 11, 2017

Kenikmatan yang Menghipnotis
--Anwar Holid

Mustt Mustt
Studio album karya Nusrat Fateh Ali Khan
Durasi: 49:43
Tahun rilis: 1990
Genre: Qawwali, world music, musik Pakistan, fusion, eksperimental
Produser: Michael Brook
Label: Real World Records


Mustt Mustt merupakan salah satu album terbaik world music yang pernah ada. Meski jelas genre album ini ialah Qawwali (musik puji-pujian tradisional Islam dari Pakistan), namun musiknya secara luar biasa apik dibalut dalam semangat fusi antara rock, jazz, dan eksperimental yang jenial. Album ini lahir berkat saran Peter Gabriel agar Nusrat Fateh Ali Khan bekerja sama dengan Michael Brook, seorang musisi avant garde sekaligus produser musik asal Kanada.

Nusrat Fateh dengan grupnya bermain musik sebagaimana karakter mereka yang asli, sementara Michael Brook bekerja ekstra keras memoles album ini agar bisa diterima secara luas oleh publik pendengar internasional. Hasilnya sulit sekali dilupakan. Selain penjualannya sukses, album ini dipuji habis-habisan oleh banyak majalah dan kritikus. Contoh, album ini terpilih sebagai salah satu Top 100 Albums of the 1990s dari Alternative Press. Massive Attack pun tidak tahan untuk membuat remix atas lagu "Mustt Mustt" sampai menjadi hit di klub-klub London, Inggris.

Nusrat Fateh Ali Khan secara drastik mengurangi durasi musik Qawwali yang biasanya puluhan menit menjadi tipikal musik rock (sektiar 3-5 menit) dengan tetap mempertahankan intensitas sebagai musik puji-pujian, baik lewat bahasa Pakistan, lolongan dan energi vokalnya yang sulit dicari tandingannya. Di Indonesia, musik Qawwali mungkin secara mudah diasosiasikan dengan kasidah atau gambus; tapi dari segi olah vokal tampaknya lebih dekat dengan tradisi didong di Aceh. Karena itu dalam sekali dengar album ini pasti akan terasa gampang familiar di telinga kita. Elemen rock, permainan efek-efek bernada psikedelik, dan eksplorasi musik eksperimental di setiap lagu di album ini membuatnya jadi terkesan sangat maju, seolah-olah meninggalkan tanah asalnya untuk kemudian dikenal luas oleh pendengar internasional.

Nusrat Fateh Ali Khan (ki.) dan Michael Brook (ka).

Album ini menjawab dan membuktikan bahwa musik merupakan unsur penting dalam budaya Islam, terutama Sufisme (tasawuf). Kalau ada sebagian golongan Muslim mengharamkan musik, tentu mustahil kita bisa asyik mendengarkan album kasidah, gambus, bahkan lantunan puji-pujian dalam pengajian.

Kalau kamu sedang berniat meluaskan selera musik, terutama ke wilayah khazanah world music dan musik eksperimental, Mustt Mustt adalah album yang harus kamu dengarkan. Kamu pasti bakal tercengang betapa benturan antara musik timur dan barat bisa menyuguhkan kenikmatan yang sangat menghipnotis.[]

Anwar Holid, penikmat musik dari Bandung. Bekerja sebagai editor, penulis, dan  publisis.

Tuesday, January 10, 2017

Editor, Orang Gila, dan Sebuah Kamus
Kisah Seru di Balik Kelahiran Oxford English Dictionary
---Anwar Holid

The Professor and The Madman
Judul asli: The Professor and the Madman: A Tale of Murder, Insanity, and the Making of the Oxford English Dictionary
Penulis: Simon Winchester
Penerjemah: Bern Hidayat
Penerbit: Serambi, Januari 2007
Halaman: 341
ISBN: 979-1112-53-3

Ada ungkapan tentang buku, yaitu Habent sua fata libelli. Artinya: buku punya nasibnya sendiri-sendiri. Setiap buku punya cerita masing-masing kenapa ia mesti hadir dan akhirnya dibaca orang yang sempat melakukannya. Memang mustahil bila semua buku yang ada di dunia ini sempat dibaca semua orang, meski itu buku paling terkenal dan paling laris sekalipun. Tapi sudah banyak buku berisi cerita tentang sebuah buku tertentu maupun berbagai buku lain. Kini juga mulai biasa muncul buku beranotasi tentang suatu buku yang dianggap menarik untuk 'ditemani.' Namun kesan yang umum muncul ialah 'buku tentang buku lain' biasanya dianggap lebih inferior ketimbang buku yang dibahas. Contoh: buku tentang Al-Quran biasanya dinilai lebih rendah dibanding Al-Quran itu sendiri. Jadi lebih baik orang juga langsung bersentuhan dengan subjek bahasannya. Jarang ada buku tentang buku yang benar-benar kuat dan mandiri, atau malah sama menarik dengan buku yang dibahas.

The Professor and The Madman dengan sangat menarik dan rinci menceritakan tentang pembuatan Oxford English Dictionary, sebuah kamus legendaris luar biasa tebal yang biasa disebut dengan OED. Lebih dari itu, buku ini menemukan banyak kisah seru di balik para editor dan kontributor (relawan), institusi literer, yang puluhan tahun bahu-membahu hendak menciptakan kamus paling hebat sedunia. Inti kisah paling menarik itu ialah antara James Murray, editor kepala proyek OED tersebut, dengan Dr. William Chester Minor, kontributor yang boleh dibilang paling penting dalam penyusunan OED, sebab ternyata sejak pertama jadi relawan OED dia adalah pasien Rumah Sakit Jiwa Kriminal Broadmoor. Dia memang menghuni RS itu setelah melakukan pembunuhan atas George Merret, seorang penduduk Lambeth Marsh, kawasan kumuh pinggiran London. Minor mulai membantu mencarikan kutipan-kutipan untuk OED sekitar 1880, dan terus bekerja secara sistematik dalam sel sekaligus perpustakaannya, biarpun dia didera skizofrenia yang di ujung hidupnya begitu parah.

Bagaimana ceritanya dua orang yang bak bumi dan langit ini bisa bekerja sama, sampai akhirnya bertemu? Inilah yang diceritakan Simon Winchester dengan sangat menarik. Winchester bertindak sebagai detektif yang berusaha melakukan reka ulang atas semua peristiwa penting, baik terhadap pembunuhan, upaya awal pembuatan kamus besar, biografi Murray dan Minor---dengan hasil menakjubkan. Lebih menarik lagi karena kisah itu terjadi pada zaman Victoria, yang tentu saja harus direka ulang dengan ketelitian luar biasa, hati-hati, meskipun tetap imajinatif dan merangsang rasa penasaran.

Winchester mesti bergumul dengan tumpukan arsip bulukan, penelusuran literatur, membaca rujukan kuno, bahkan berhadap-hadapan dengan berbagai institusi congkak karena menganggap arsip yang dibutuhkan Winchester itu masuk kategori rahasia dan tertutup bagi siapapun. Untunglah Tuhan memberkatinya, hingga dia mengalami sejumlah kejadian mengejutkan, misal mendadak mendapat kiriman arsip yang persis dia butuhkan, atau mendapat bantuan orang-orang yang menghargai niat baiknya. Berbekal semua bahan itu dia mengira-ngira dengan jeli seperti apa kejadian dramatik itu berlangsung, dan akhirnya tersusunlah buku yang mirip sebagai novel sejarah.

Buku Winchester ini masuk kategori nonfiksi, karena dia menulis berdasar fakta, bertumpuk-tumpuk data dan analisis, sementara hukum nonfiksi ialah dilarang bohong. Dia menulis selentur novel berkualitas tinggi, menghadirkan rangkaian kisah begitu lancar, tanpa sandungan sama sekali. Edisi Indonesia buku ini citranya agak dibelokkan sebagai novel, mungkin dengan harapan agar calon pembaca tertarik pada cerita pembunuhan dan kegilaan, dibandingkan pembuatan sebuah kamus. Tindakan Serambi mirip yang dilakukan GPU tatkala menerbitkan Angsa-Angsa Liar (Jung Chang), yang dikategorikan "fiksi dewasa."

Persoalannya dalam konteks Indonesia ialah: siapa mau peduli tentang OED? Ini tantangan amat berat bagi sebuah buku yang memilih subjek tentang hal yang terasa asing di masyarakat Indonesia. Mungkin hanya sebagian kecil orang Indonesia yang bisa dengan baik membayangkan OED dalam kepalanya. Mereka boleh jadi mahasiswa sastra Inggris, penggila buku, atau malah lembaga dengan koleksi pustaka mengagumkan. Maka klaim bahwa OED jadi acuan para hakim, pembuat undang-undang, cendekiawan, filsuf, dan pengarang itu mengacu pada peradaban Barat, terutama Inggris dan AS. Dengan iming-iming apa pun, rasanya sulit memancing rasa penasaran orang Indonesia umum terhadap OED. Mungkin buku Winchester ini baru menarik perhatian terutama sekali bagi para penggila buku dan jurnalis. Dunia tulis-menulis biasanya mudah dipancing dengan kisah menakjubkan tentang buku dan literer. Di dunia perbukuan, OED merupakan salah satu kisah agung yang bakal membuat pikiran siapa pun terkagum-kagum. Mereka yang tertarik dengan bahasa, kepenulisan, penerbitan, pastilah ingin tahu tentang hal itu.

OED merupakan proyek ambisius sebuah bahasa negara yang karena saking besar, di luar dugaan ternyata banyak juga melahirkan banyak penulis tersohor. J.R.R. Tolkien, penulis The Lord of the Rings, aslinya seorang filologis dari Universitas Oxford dan pernah jadi pegawai OED bagian riset etimologi (ilmu bahasa yang mencari asal-usul kata.) Julian Barnes, novelis kontemporer Inggris, juga pernah jadi pegawai OED, meski dia mengaku benci kerja di sana.

Selain mampu menggali kedalaman batin Murray maupun Minor, Winchester juga membongkar mitos tentang kedua tokoh tersebut, selain tentu saja memposisikan betapa penting arti OED bagi bangsa Inggris. Sebelum OED lahir pun bangsa Inggris telah memiliki tradisi dan warisan sastra yang kaya. Munculnya kamus itu menguatkan bahasa Inggris di bidang ilmiah dan sosial-politik.

Simon Winchester sendiri merupakan penulis nonfiksi sarat pengabdian. Karir kepenulisannya diawali sebagai koresponden luar negeri untuk koran The Guardian, sebelum akhirnya menulis sejumlah buku dan jadi kontributor media seperti National Geographic, Smithsonian Magazine, dan resensi buku di The New York Times---koran yang melahirkan standar buku bestseller. Walau telah menulis beberapa buku sebelumnya, The Professor and The Madman merupakan sukses utama pertamanya. Judul ini digunakan untuk edisi AS dan internasional, sementara aslinya di Inggris berjudul The Surgeon of Crowthorne (Ahli Bedah dari Crowthorne.) Crowthorne adalah county tempat RSJ Broadmoor berada. Kemudian dia menulis sekuel buku itu, yaitu The Meaning of Everything: The Story of the Oxford English Dictionary. Berkat pengabdian di dunia jurnalisme dan literatur, Ratu Elizabeth II menganugerahi dia gelar OBE (Order of the British Empire), penghargaan tertinggi bagi warga sipil kerajaan Inggris.[]

Note: Ilustrasi dari Internet

---Anwar Holid, bekerja sebagai penyunting, penulis, dan publisis. Tinggal di Bandung.

Tuesday, January 03, 2017

jangan takut mencari bahagia dengan cara tak biasa
oleh anwar holid

'tau gak, hidup dia sekarang bahagia setelah nikah sama suami keduanya,' kata kawanku tentang seorang kawan perempuan kami.
'bahagia gimana?' tanyaku rada datar.
'yah pokoknya dia kelihatan senang. hidup makmur. rumah besar mentereng. sering liburan ke tempat-tempat impian, indah, dan terkenal. mobil ada. anaknya cantik-cantik. kayaknya gak ada kurangnya...' kawanku berusaha meyakinkan aku.
'emang suaminya kerja di mana sampai mereka bisa kaya begitu?'
'di perusahaan tambang minyak, di laut china selatan.'
'oh... mereka hidup pisah ya?' giliranku menebak.
'iya... ketemuan tiga bulan atau enam bulan sekali.'
'yaaaah... kasihan dong, gak tiap hari dapat pelukan dan ciuman suaminya, gak tiap hari tidur bareng atau minimal dapat senyuman kekasihnya,' aku mencoba meremehkan nasib kawan kami.
'halah... kamu! itu harga yang mereka bayar untuk mendapatkan kebahagiaan, tau!'
'oh, jadi kebahagiaan itu harus dibayar segitunya ya? aku pikir kebahagiaan itu tanpa syarat.'
'ya enggak lah. kamu aja sering bilang there’s no such thing as a free lunch.'
'terus gimana kamu bisa menjamin mereka bahagia? suami-istri hidup terpisah itu berat tau. bahkan bisa jadi menyengsarakan. bikin batin tertekan, interaksi susah, pas lagi dibutuhin gak ada, hubungan emosi dan seks juga lebih jarang. jadinya lebih terhadang. dan itu semua sangat mendasar dalam membangun kebahagiaan!'
'hahaha... barusan kamu bilang kebahagiaan itu tanpa syarat. sekarang kenapa kamu bilang itu semua penting sebagai pembentuk kebahagiaan?'
'loh... itu menurut orang. menurut studi. ada temuannya. aku mah yakin, kebahagiaan seorang presiden dan buruh itu kualitasnya sama, walaupun status sosial dan harta bendanya beda.'
'halah... teori! kebahagiaan seorang presiden pasti lebih tinggi kualitasnya dibanding kebahagiaan seorang buruh!'
'dari mana kamu yakin?'
'dari statusnyalah. keduanya jelas beda. raja mikirin bangsa dan negara, skalanya jauh lebih luas dan rumit; buruh memikirkan diri sendiri, skalanya kecil, mungkin lebih gampang terpenuhi. ada yang bilang... orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu itu beda. jadi aku yakin bahagia seorang presiden pasti beda dari pemulung.'
'apa kamu yakin presiden memikirkan bangsa dan negaranya? bukan kekuasaan, hawa nafsu, syahwat, atau kemasyhuran dan kepentingannya sendiri? kita aja sering kok segitunya mikirin kondisi dan nasib bangsa dan negeri ini, seolah-olah paling tahu cara menyelesaikan masalah bangsa dan masyarakat---padahal itu semua ada di luar kuasa kita.'
'udah, udah... kamu tambah ngelantur. lantas kenapa kamu sangsi bahwa hidup seseorang itu bahagia?'
'yah... karena kamu mengaitkan kebahagiaan dengan kepemilikan materi. padahal bisa jadi kedua hal itu gak nyambung.'
'kamu yakin ngomong gitu? buktinya kita kan sering menyangka bahwa orang berlimpah materi itu gampang kelihatan lebih senang? kebutuhan hidup lebih terpenuhi. lebih makmur. banyak orang bilang kebahagiaan membawa orang pada kemakmutan. kekuatirannya berkurang, gak gampang cemas, dibanding orang yang serba kekurangan. bahkan mungkin saja dia gampang berbagi dengan hartanya, menjadikan sebagian hartanya untuk menyenangkan orang lain. contohnya ya kawan kita itu....'
'yah... tapi kita juga kan gak tau kalo dia mungkin cemas soal utang-utangnya. mungkin dia mikir kenapa hartanya gampang sekali berkurang, padahal susah-payah didapatkan? aku sering lihat ada orang kaya yang dikit-dikit panik bila kekayaannya berkurang, usahanya merugi sedikit saja. jelas mereka gak rela kalo neracanya negatif. apa seperti itu orang bahagia?
sementara orang yang hartanya memang sedikit sudah gak cemas sama sekali soal itu semua, karena dia tak memikirkan yang tak dimilikinya. kebutuhan hidup orang kan lain-lain. sebagian orang mungkin lebih butuh harta; sementara yang lain mungkin saja lebih butuh hal-hal nonmateri, mungkin emosi, perhatian, kasih sayang.'
'itu namanya kamu membanding-bandingkan kebahagiaan seseorang dengan orang lain. padahal untuk bahagia orang harus menerima kondisinya tanpa pamrih. jangan membanding-bandingkan dirimu dengan orang lain.'
'ya memang... kebahagiaan itu soal mindset. cuma aku penasaran. kalo orang sering bilang bahwa kepemilikan materi tidak menjamin kebahagiaan nurani, tapi kenapa yang sering digembar-gemborkan dan duluan dikejar malah selalu kepemilikan materi? padahal kepemilikan materi tak bisa langsung diubah jadi kebahagiaan... apalagi kalo dibandingkan dengan kerja keras cara mendapatkannya. mungkin itu cuma bayaran setimpal. sementara aku rada yakin bahwa kebahagiaan itu sejenis dengan kepuasan batin. kepemilikan itu menurutku gak cenderung seiring dengan kebahagiaan kok... kita sudah sering lihat buktinya.'
'hehehe... mungkin itulah manusia. sering gak konsisten. bilangnya begini padahal maksudnya begitu. apa yang dicari beda dengan yang ditemukan. menyangka dengan punya kekayaan berarti menemukan kebahagiaan.'
'nahhh... itulah yang sering bikin aku sangsi sama orang yang dibilang bahagia. karena kita cuma bisa lihat luarnya. sementara dalam hati orang siapa tahu?'
'tapi gampang sinis atau terus-terusan sangsi sama kebahagiaan orang lain bikin kamu kayak sakit jiwa. kan pasti ada orang yang benar-benar bahagia di dunia ini. gak perlu restu kamu bahwa seseorang bisa bahagia!'
'hahahaha.... segitunya. tega kamu!'
'iyalah... kalo kamu gak bahagia bukan berarti gak ada orang lain yang bener-bener bisa merasakan kebahagiaan.'
'baiklah. aku cuma ingin bilang jangan menyeragamkan kebahagiaan seseorang satu sama lain. seolah-olah dalam kondisi yang sama otomatis melahirkan kebahagiaan yang sama. aku gak yakin kayak begitu.'
'ah dasar kamu ngeyel... pantes kamu kelihatan susah bahagia.'
'wkwkwkwk... bukannya sesuatu yang sulit diperoleh maka kadar bahagianya pun makin besar?'
'jadi kamu mau melecehkan bahwa kebahagiaan karena harta itu kadarnya rendah?'
'ya itu tergantung gimana seseorang menilai harta dan meletakkan kebahagiaan. kalo bagi dia kebahagiaan itu ada dalam setumpukan harta, dia pasti menghargai harta lebih dari segala-galanya... tapi kalau kekayaannya berkurang pasti langsung berkurang pula kebahagiannya. padahal menurutku kebahagiaan juga bisa didapat dari hal-hal kecil yang tak kalah esensial.'
'apa contohnya?'
'banyak. keramahan dengan teman kerja, bebas bilang apa saja ke bos atau klien, gak perlu kuatir mau bikin status apa pun di media sosial, toleran sama perbedaan... itu semua simpel kan? kalo kita cuma menganggap kebahagiaan itu ada dalam hal-hal besar, kasihan sekali aku yang cuma punya hal-hal sepele. '
'hahaha.... sekarang buktiin aja deh bahwa kamu bener-bener bisa bahagia dengan keyakinan itu, bukan sedikit-sedikit nyinyir atau sangsi bahwa kebahagiaan versi orang lain itu palsu atau malah gak ada.'
'yah... itu yang dari dulu ingin aku sampaikan. cuma aku gak bisa dengan gampang meyakinkan orang lain... jatuhnya malah jadi skeptis, atau lebih parah jadi debat dan sangsi. seolah-olah kebahagiaan itu susah dicari. padahal menurutku orang bisa bahagia dengan cara berbeda-beda, tertentu, atau malah gak biasa.'
'nahhh... kalo gitu akuilah bahwa orang memang bisa bahagia meski enggak sesuai dengan standarmu.'
'ah... orang gampang silau dengan nasib orang lain dan menyangka di situlah letak kebahagiaannya. padahal belum tentu. jangan menutup kemungkinan bahwa kebahagiaan bisa muncul dalam situasi yang gak terduga.'
'kalo gitu sering-seringlah bikin surprise sama orang lain biar bisa bahagia!'
'ah...... kalo itu sih namanya kamu ngarep!'

Foto: Wartax
pelan-pelan percakapan merendah. entah apa yang ada dalam pikiran kami masing-masing setelah jeda yang lengang itu. apa bersikukuh dengan kebahagiaan versi masing-masing atau membuka diri dengan kemungkinan baru bahwa bahagia bisa jadi menelusup ke lubang paling sempit di dalam hati seorang insan.[] 3/1/17