Wednesday, November 28, 2012



Menulis dan Jejaring Sosial 
---Anwar Holid

Apa zaman sekarang membuat manusia jadi lebih sabar?

Perhatikan orang-orang yang sedang antre, menunggu sesuatu, atau tengah melakukan aktivitas lain untuk membunuh kebosanan. Rasanya kini lebih jarang terdengar keluhan atas berbagai hal. Itu karena kini nyaris hampir setiap orang---bahkan anak SD sekalipun---ditemani perkakas elektronik mungil entah berupa handphone, smartphone, dan tentu saja yang paling trend: tablet. Salah satu aktivitas yang bisa membuat mereka tenang ternyata ialah membaca dan menulis menggunakan fasilitas yang tersedia di sana. Bisa jadi mereka berkomentar, menulis sesuatu di jejaring sosial, mengirim pesan, chatting, blogging, bahkan benar-benar menulis untuk keperluan khusus lain---misalnya bikin publisitas untuk viral marketing. Tentu saja ini merupakan dampak menggembirakan bagi dunia tulis-menulis.

Hernadi Tanzil, seorang peresensi yang mengukuhkan reputasinya dari dunia maya, berkomentar: "Fenomena baca dan tulis semenjak ada Facebook, blog, dan Twitter saya rasa memang meningkat. Apalagi di era blog. Semua berlomba menulis apa yang ada di benar mereka. Hanya saja kehadiran Facebook dan Twitter agak sedikit menggeser aktivitas menulis karena orang jadi malas menulis secara utuh dan terstruktur, mereka jadi lebih tergerak untuk menulis status-status singkat dan membaca status-status singkat yang ditulis orang."

Apa jaringan sosial berpengaruh hebat pada kebiasaan menulis dan pemahaman orang? Apalagi kini jaringan sosial bersinergi dengan kemajuan alat-alat komunikasi. Tampaknya begitu.

Pada akhir 2009 Chauncey Mabe melaporkan penelitian lima tahun yang dilakukan Stanford University betapa teknologi digital---terutama jejaring sosial---membuat para remaja menjadi penulis yang lebih baik. Kenapa? Temuan mereka mengungkap fakta simpel: Anda mustahil berperan serta di semua fasilitas itu tanpa kemampuan menulis dan berpikir. Anda pikir status di Facebook, Twitter, maupun Yahoo! sembarangan saja muncul? Tidak. Ia lahir karena alasan tertentu.

Mari perhatikan sekilas saja. Seorang pengguna Facebook bisa saja mula-mula menulis status, kemudian mengomentari status ataupun tulisan kawannya. Selain itu dia membaca berbagai hal, entah notes, email, iklan, dan berita. Untuk keperluan khusus, bisa jadi dia meloncat-loncat dari satu forum ke link-link eksternal menuju situs lain. Dalam sekali buka, entah berapa halaman yang bisa dijelajahi seseorang sekaligus. Kunjungan itu bisa jadi tanpa terasa dan secara amat alamiah memaksa orang meningkatkan kemampuan baca-tulis dan memahami media lain, misalnya audio-visual.

Kita menyaksikan betapa teknologi dan manusia saling mempengaruhi, meski bisa jadi itu semua masih lebih didorong oleh kapitalisme dan kesenangan daripada demi memenuhi kebutuhan manusia secara esensial. Kita lihat betapa setiap saat media massa dan industri teknologi betul-betul merayakan perkembangan tersebut, baik dalam upaya saling integrasi maupun berkompetisi demi mencapai yang terbaik dan paling menarik---entah melalui desain maupun performa perangkat tersebut.



Antusias dan Menyegarkan
Adenita, penulis novel 9 Matahari, menyambut antusias dinamika dunia baca-tulis yang ditopang kemajuan teknologi. Tulis dia di notes Facebook: "Saya meyakini, booming dunia penulisan ini bukan euforia. Ini bukan hanya perubahan perilaku, tapi merupakan perubahan budaya. Meski belum menyeluruh, setidaknya membawa perubahan dari budaya menonton (watching society) menjadi budaya baca (reading society). Dan kemudian naik lagi kepada perubahan budaya menulis (active society). Akhirnya, nikmati semua kemewahan fasilitas komunikasi yang terbentang dihadapan mata. Jangan hanya menjadi saksi ’booming’nya dunia penulisan. Tinggalkan jejakmu dalam tulisan, karena siapapun bisa jadi penulis.. "

Kompas, misalnya, menilai perkembangan tulis-menulis di dunia maya sebagai sesuatu yang menyegarkan, baik dari segi penjelajahan teknik penulisan maupun mode produksi. Pada perkembangan selanjutnya, tentu saja efek positifnya ialah karya-karya dari sana bisa diterbitkan---baik secara tradisional melalui penerbit umum maupun lewat cara tertentu mulai dari self-publishing, POD (print on demand), maupun penerbitan digital yang sekali lagi bisa dibaca lewat berbagai produk teknologi informasi canggih.

Setelah fenomena isi blog menjadi buku, segera menyusul buku berisi status-status Twitter yang dianggap witty (cerdas, nendang, mencerahkan). Bahkan  di kalangan motivator, terbit buku-buku berisi sms yang awalnya mereka sebar lewat kerja sama dengan provider. Mendadak saya sadar ternyata industri buku bisa berkembang untuk terus mencari bentuk baru. Lebih menggembirakan lagi, genre-genre yang beberapa tahun lalu dianggap musiman---seperti chicklit, teenlit, fast book---kini mulai matang untuk membentuk pasar yang besar dan menjanjikan secara finansial. Penerbit sendiri makin berusaha mendekatkan produknya kepada publik, juga melalui berbagai cara dan memanfaatkan semua media yang ada.

Bagaimana dengan nasib penulisnya sendiri? Di sisi yang paling mencolok, Indonesia memasuki era best-seller terbaik yang belum pernah dialami sebelumnya ketika kini penjualan sebuah judul buku bisa mencapai ratusan ribu kopi. Meski masih merupakan fenomena musiman, tetap saja bagi pegiat dunia penerbitan seperti saya, perkembangan itu membesarkan hati. Sudah cukup lama saya kerap merasakan ada sebagian penulis dan penerbit yang begitu obsesif (tergila-gila) untuk menciptakan buku best-seller, dan kini kecenderungan seperti makin menguat.

Baru-baru ini saya mendapati fakta bahwa satu kelompok penerbitan mengurangi standar oplah cetakan demi menyiasati tuntutan produktivitas judul dan kompetisi di pasar, meski kita bisa langsung menebak dampak buruknya terhadap kualitas terbitan. Penulis dan penerbit terus bahu-membahu mengisi kebutuhan pasar dan berusaha terus kreatif menciptakan peluang produk. Saya pikir, sekaranglah zaman ketika menulis bisa dijadikan pegangan profesi, sebab peluangnya terbuka lebar, apalagi bagi penulis yang disiplin, adaptif, dan produktif. Di tengah arus distribusi dan pasar buku yang sangat kompetitif seperti sekarang, penulis profesional juga dituntut untuk bisa menulis cepat dan produktif. Tantangan itu biasanya berbanding terbalik dengan penulis yang mengandalkan mode "menulis sebagai alat ekspresi."

Ada satu strategi penulisan yang mungkin belum banyak ditempuh sejumlah orang, yaitu menulis buku untuk "personal branding." Istilah ini diajukan oleh Wandi S. Brata, Direktur Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Istilah ini dia ajukan bagi penulis yang menghasilkan buku lebih sebagai alat untuk menguatkan reputasi atau membangun citra bahwa dirinya ialah ahli di bidang yang dia tulis. Penulis ini mengembangkan bisnis utama dari bidang dia bangun lewat buku, dan mendapatkan penghasilan yang jauh lebih besar daripada lewat royalti. Fakta membuktikan, dengan menulis seseorang bisa lebih mudah dikenal dan dipercayai publik untuk memberi training daripada mereka yang belum menulis buku.

Gambaran sederhana atas situasi kehidupan tulis-menulis sekarang ini menurut saya menggembirakan. Saya cukup yakin bahwa meski bisa jadi di tahap awal teknologi hanya digunakan untuk bersenang-senang---misalnya untuk mendengar lagu dan nonton video---teknologi berperan mendekatkan masyarakat pada minat baca dan kebiasaan menulis. Dalam beberapa kali interaksi secara selintas via sms, email, dan blog, saya mendapati betapa ekspresi anak yang baru beranjak dewasa ternyata bisa sangat matang, eksploratif, minatnya pada dunia tulis-menulis antusias sekali. Minat ini secara mudah bisa juga terwadahi di dunia maya, misal dalam komunitas menulis maya, kursus menulis online, bahkan bahkan situs yang benar-benar berdedikasi pada dunia tulis-menulis secara umum.

Saya menduga di zaman Internet dan kemajuan teknologi sekarang justru akses pada pusat informasi begitu terbuka dan persis ada di ujung jari masing-masing pemegang perkakas teknologi, apa pun bentuknya. Memang risiko plagiarisme (mengaku milik orang lain sebagai milik penulis bersangkutan, juga copy-and-paste secara vulgar dan tanpa pengakuan) pun bisa begitu mudah terjadi; tapi saya pikir dengan tambahan ajaran moral, kejujuran, maupun kreativitas, pengaruh buruk itu bisa terus dilawan.[]

Anwar Holid, penulis Keep Your Hand Moving (GPU, 2010).

Gambar dari Internet.

Link terkait:
http://bukuygkubaca.blogspot.com
http://www.kotakadenita.com

Tuesday, November 20, 2012

Karya Saya Harus Memunculkan Emosi yang Kuat 
---Wawancara dengan Maradilla Syachridar

Meski sebagian orang bilang pertanyaan soal proses kreatif itu so yesterday, sudah ketinggalan sepuluh tahun lalu, ternyata orang seperti aku masih saja penasaran tentang hal itu. Mungkin karena aku yakin bahwa berkarya merupakan kerja keras, usaha mewujudkan sesuatu yang awalnya cuma ada dalam imajinasi menjadi nyata, bisa diraba dan dihayati. Dalam menulis, kerja keras itu ialah perjuangan terus-menerus seseorang menghajar halaman kosong.

Aku bertemu Maradilla Syachridar di Kineruku, Bandung, perpustakaan yang rutin aku jadikan tempat kerja. Maradilla telah menghasilkan tiga novel, yaitu Ketika Daun Bercerita, Turiya, dan Ruang Temu. Dia juga berkontribusi di buku Perkara Mengirim Senja, Menuju(h), dan Memoritmo yang baru terbit pada tengah November 2012. Aktivitas lain Maradilla ialah menjadi additional player Homogenic, band berbasis di Bandung, kota tempatnya tumbuh.

Berikut wawancara dengan dia.


Seperti apa rasanya jadi penulis seperti kamu?
Ada beban tersendiri, karena saya pribadi merasa bakat saya dalam menulis itu sebenarnya biasa saja, namun karena saya banyak membaca karya yang hebat, usaha untuk menjadi penulis yang lebih baik dari hari ini terus-terusan tertanam di kepala saya.

Apa saja buku favorit yang sangat menginspirasi kamu menulis?
1Q84 (Haruki Murakami), Olenka (Budi Darma), Fraction of the Whole (Steve Toltz).

Apa sih motivasi terbesar kamu menulis?
Ketika melihat karya dalam bentuk apa pun yang begitu bagus dan kuat, itu bisa mendorong saya untuk terus menulis.

Mengapa menulis itu penting menurut kamu?
Karena menulis menjadi salah satu proses saya untuk berkomunikasi dengan orang lain dan diri saya sendiri. Saya adalah tipe orang yang perasa namun suka dipendam, sehingga saya membutuhkan media untuk mengabadikan pemikiran dan sisi lain saya yang tidak tampak di permukaan.

Apa menulis merupakan aktivitas terpenting dalam hidup kamu? Aktivitas apa yang kira-kira bisa mengalihkan perhatian kamu dari menulis?
Ya, saya memiliki aktivitas lain selain menulis, namun menulis menjadi begitu penting dalam hidup saya, sama seperti saya menganggap berumah-tangga juga sangat penting. Jadi, ada tarik-menarik antara aktivitas menulis dan melakukan pekerjaan rumah tangga yang bisa menjadi saling mengalihkan.

Apa uang (penghasilan) bisa menjadi alasan sangat besar bagi kamu untuk menulis?
Dulu awalnya salah satu alasan besar menerbitkan buku adalah ingin memiliki penghasilan sendiri dengan cara yang menyenangkan (sesuai passion), tapi sekarang alasannya lebih dari sekadar penghasilan.

Apa ide penting buat kamu dalam berkarya?
Ya. Ide itu asal-muasal bagaimana sebuah karya bisa lahir.

Bagaimana dan di mana kamu bisa mencari atau mendapatkan ide?
Dari kehidupan sehari-hari, dari sarung bantal yang harus dicuci hingga perkataan orang lain yang terlontar begitu saja.

Saat mulai menulis, apa kamu merencanakan dulu dalam draft, mencatat poin per poin ide, membuat story line (alur cerita), atau malah langsung segera menulis mengandalkan insting dan kekuatan pertama?
Langsung segera menulis saja dalam bentuk potongan-potongan, lalu materi tulisan yang baru ditulis tersebut bisa dibongkar pasang, disimpan di mana saja dalam sebuah naskah.

Bagaimana cara kamu mengolah ide, tema, draft, mengatur kepaduan paragraf, memilih kata (diksi), sampai ke editing, revisi, dan minta pendapat pembaca awal?
- Ide: ditulis di buku kecil (notes), lalu dikembangkan menjadi paragraf.
- Tema: tema biasanya datang setelah ide muncul, lalu mulai mencari bahan atau referensi sebagai penguat tema tersebut.
- Draft: draft biasanya terpisah-pisah (berbentuk potongan). Saya biasa masukkan dalam satu folder karena memang tidak berurutan.
- Mengatur kepaduan paragraf biasanya dilakukan setelah draft pertama selesai (potongan-potongan ide sudah disusun, lalu mulai memasukkan jembatan-jembatan paragraf yang pas dan bisa mengubungkan antara tulisan satu dengan yang lainnya).
- Memilih kata (diksi): setelah membuat kalimat, mulai dicari kata mana yang pas untuk melengkapi kalimat tersebut, bisa dilihat juga dari kamus padanan kata.
- Editing: editing biasanya dilakukan berkali-kali setelah draft pertama jadi. Bisa jadi draft pertama dengan draft yang selanjutnya perbedaannya besar.
- Revisi biasanya saya lakukan setelah draft terakhir selesai. Saya biasa meminta tolong kepada editor yang lebih memahami struktur kalimat yang baik dari saya.
- Minta respons atau pendapat dari pembaca pertama (terdekat) biasa diberikan hanya pada beberapa orang, soalnya semakin banyak orang yang dimintai respons (buat saya) semakin merepotkan dalam hal editing.

Seperti apa pola kerja kamu untuk menyelesaikan satu karya tertentu, apa lagi kalau karya itu berat, panjang, dan butuh energi besar untuk menyelesaikannya?
Tidak ada yang unik untuk menyelesaikannya. Hanya saya menyempatkan diri setiap hari selama sekian waktu untuk menulis, di manapun dan kapanpun. Tidak jarang juga sebelum melanjutkan menulis saya mendengarkan lagu dan bersepeda.

Buat karya sendiri, seperti apa yang menurut kamu sudah selesai atau sempurna, sehingga pantas dipublikasi atau dijual?
Sudah selesai ketika saya sudah menyusun dari prolog hingga epilog. Sudah sempurna setelah saya mengeditnya beberapa kali termasuk memperlihatkannya ke orang lain.

Berapa kali kamu menyunting dan merevisi karya sendiri sebelum akhirnya memutuskan bahwa itu karya yang sudah matang?
Yang pasti lebih dari tiga kali. Bahkan saya bisa mengendapkannya dulu dalam beberapa waktu sebelum diedit lagi.

Apa kamu melakukan riset untuk menulis?
Karena menganggap riset itu penting, saya biasa melakukannya dari buku, Internet, narasumber. Saya bahkan tidak keberatan jika harus ke luar kota untuk riset tersebut.

Apa kamu menetapkan standar mutu tertentu terhadap karya sendiri?
0h ya. Pertama, karya saya harus semakin mudah dipahami. Kedua, harus riset. Ketiga, harus memunculkan perasaan atau emosi yang kuat, setidaknya untuk saya pribadi.

Kondisi seperti apa yang buat kamu kondusif untuk menulis?
Kondisi yang tidak sumpek. Saya tidak terbiasa mengetik di meja yang penuh tumpukan buku maupun kertas, ruangan yang sempit, atau orang terlalu banyak. Saya selalu butuh meja yang rapi dan suasana nyaman, meski bukan berarti selalu tenang.

Kejadian apa yang bisa memaksa atau membuat kamu tertarik segera menulis?
Kejadian yang di luar kebiasaan sehari-hari, subjeknya bisa apa saja. Percakapan dengan orang-orang juga selalu menjadi hal yang menarik perhatian saya untuk ditulis.

Apa yang kamu lakukan bila suntuk menulis padahal sedang berusaha menyelesaikan proyek tulisan?
Meninggalkan tulisan tersebut dan mengerjakan tulisan lain, atau membaca buku, pergi makan bersama orang yang bisa diajak diskusi.

Bagaimana cara kamu menghubungi penerbit waktu berusaha mempublikasikan karya?
Untuk karya pertama saya yang diterbitkan, secara konvensional saya mengirimkan naskahnya ke penerbit dan menunggu untuk diterima atau ditolak. Alhamdulillah langsung diterima. Karya-karya yang selanjutnya prosesnya bermacam-macam. Ada yang ditawari penerbit langsung untuk dipublikasikan atau saya yang menghubungi editornya langsung untuk pengajuan naskah.

Apa tanggapan kamu atas kritik pada tulisanmu, bahkan yang buruk atau menganggap rendah karya kamu?
Mengamini jika memang masuk akal. Saya harus semakin memahami kekurangan saya dan terus mencoba untuk memperbaikinya sesuai dengan karakter penulisan saya.


Apa kamu merasa perlu mendapat motivasi atau semangat dari orang lain untuk berkarya?
Dari orang lain mungkin saya hanya butuh dukungan. Motivasi untuk menulis selalu kuat walau hanya dari diri sendiri.

Ada tambahan lagi?
Saya merasa proses menulis bagi saya dapat menjadi alasan untuk melakukan hal lain. Misalnya dengan menulis saya jadi tertarik untuk bermusik (karena saya membuat lirik) atau bahkan kembali menari balet, karena siapa tahu suatu saat saya dapat membuat sebuah performance art yang menggabungkan semua bidang yang saya dalami.[]

Foto dari Internet.

Link terkait:
http://halamanganjil.blogspot.com/2011/06/membangun-dan-meruntuhkan-mimpi-anwar.html
http://www.brainmelosa.blogspot.com
http://www.maradilla.com
Twitter: @maradilla

Monday, November 19, 2012

Jadilah Serigala Lapar di Antara Domba yang Tersesat
---Anwar Holid

Bincang buku Lokasi Tidak Ditemukan menjadi konferensi para pemadat musik.


Taufiq Rahman, Ismail Reza, Budi Warsito (ki-ka).
"Sebenarnya alasan saya menerbitkan buku ini ialah agar bisa jalan-jalan," kata Taufiq Rahman dengan nada serius, tetapi orang-orang malah tertawa. "Waktu tur buku Like This, saya berkesempatan bertemu banyak pegiat scene musik di berbagai kota dan saya tahu ada banyak orang baik di sana." Kali ini buku debutnya Lokasi Tidak Ditemukan: Mencari Rock And Roll Sampai 15.000 Kilometer diperbincangkan secara intim dan blak-blakan pada Minggu, 18 November 2012 di Kineruku, Bandung. Di tempat yang dianggap sebagai "the coolest library in town" ini Taufiq kembali bertemu puluhan orang fans musik rock’n’roll. Salah satunya Ismail Reza, seorang penggila musik yang cukup familiar di Bandung. Dia menanggapi buku itu sekaligus mengorek lebih dalam isi kepala Taufiq. Di antara hadirin tampak Ucok Homicide, Anto Arief dari 70's Orgasm Club, juga Harlan Boer yang baru saja merilis EP Sakit Generik. Taufik mengaku, para pegiat scene musik lokal itulah yang sangat berjasa membantunya menyebarkan ide dan berbagi antusiasme musik di situs yang dia dirikan bersama Philips Vermonte, Jakartabeat.net.

Lokasi Tidak Ditemukan menarik bukan saja karena membukakan mata untuk mendengar musik-musik penting yang mungkin belum terjelajahi atau terlalu tersingkir oleh musik niaga (mainstream), melainkan juga berusaha memuat banyak pemaknaan sewaktu menikmati musik, baik lewat album, nonton konser, juga menziarahi tempat-tempat legendaris di dunia rock and roll. Taufiq menemukan dan menawarkan banyak hal dari penjelajahan itu. Bertutur ala catatan personal, dia secara jeli berusaha menyusun konteks sosial-politik suatu musik, baik merekatnya dengan penelitian musikolog, data statistik, maupun hipotesis yang kelewat berani. Sikap ini lahir dari keyakinannya bahwa “menulis musik adalah menulis tentang manusia."

Menandaskan hal itu Ismail Reza bilang bahwa menulis musik yang baik mestinya memang harus bisa membuka banyak kemungkinan. "Musik yang baik kalau bisa semakin banyak menghasilkan tafsir baru setiap kali didengar," kata dia. Dia menyatakan bahwa para pemadat musik seperti Taufiq---yang ingin menyatakan bahwa dirinya menemukan musik berharga---harus bisa menjadi serigala lapar di tengah domba-domba tersesat. Misinya ialah dengan ganas dan jujur mengabarkan musik yang bagus kepada khalayak, sebab industri musik dengan segala kepentingannya secara cerdik pula mampu menipu telinga dan otak banyak orang agar mengonsumsi produk musik yang "dianggap bagus" padahal sebenarnya busuk.


Itu membuat perdebatan seperti apa musik yang bagus dan apa kriterianya jadi sangat relatif. Buat Reza jawabannya telak, "Musik yang bagus adalah musik yang gua suka." Orang yang bilang seperti ini harus bisa menjelaskan dan meyakinkan orang lain kenapa musik yang disukainya bagus, layak diapresiasi, dan produk musik lainnya pantas dibuang. Sementara menurut Taufiq musik yang bagus ialah yang punya dampak sosial-politik kuat. Musik seperti itu tidak terbatas hanya karena laku sekian juta kopi atau mendapat habis-habisan dari berbagai media dan komentator terkemuka. Orang yang mau menulis musik selayaknya mengabarkan pada publik setiap kali menemukan musik bagus. Itu yang membuat kini Taufik mengaku sudah meninggalkan musik rock and roll umum---terutama produk Barat, bahkan yang dianggap masterpiece sekalipun---dan memilih melanjutkan penjelajahan ke ranah yang belum banyak tergali, entah dari Arab, Afrika, anak benua India, dan tentu saja Indonesia. "Menulis musik bukan lagi 5W1H, melainkan creative writing," ujarnya. "Kita harus bisa membuat agar subjeknya jadi menarik."

Meski bisa jadi cara bertutur tulisan Taufiq bagi sebagian orang terasa kurang fun, bahkan berisiko dianggap snob dan pretensius, harus diakui banyak pembaca bilang bahwa Taufiq menulis musik dengan passion, dengan gairah tinggi. Kata Ucok, "Saya tahu Taufik tidak suka hip-hop, tapi hanya dia yang mampu mereview album Homicide dengan benar." Itulah yang membuat perjalanan Taufik bersama musik rock seolah-olah tak akan pernah mau berakhir, karena ia terus menemukan "lokasi-lokasi" baru yang menawarkan hal berharga. Dia menolak membuang tinta dan kata untuk musik yang buruk, bahkan kalau perlu coba dilawan dan dihancurkan.[]

Anwar Holid, bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.

Taufiq Rahman: @rahmantaufiq
Situs terkait dan pemesanan buku: http://www.jakartabeat.net, http://www.kineruku.com

Monday, November 05, 2012


Puber ke Dua Mendengar Musik
---Anwar Holid

Aku praktis berhenti membeli album beberapa tahun sebelum kematian mantan Presiden Suharto di awal tahun 2008. Waktu itu aku menjual sekotak koleksi terakhir kasetku buat beli sembako. Yang tersisa dari koleksiku adalah kaset atau cd yang mungkin tidak punya nilai jual, kebanyakan berupa album tanpa sleeve atau rekaman kopian karena waktu itu aku sangat kesulitan mendapat yang asli atau terlalu malas untuk beli, juga rekaman yang masuk dalam kategori "rare". Setelah penjualan itu, keinginanku untuk membeli rekaman nyaris hilang dengan sendirinya. Memang sesekali aku dihadiahi rekaman cd oleh kawan dan kenalan, atau dalam kesempatan yang sangat jarang aku beli rekaman ketika berada di kota lain. Belinya pun tidak lagi di toko musik, melainkan di toko oleh-oleh---tempat yang dari dulu kuanggap kurang pantas menjual rekaman.

Tapi meski begitu aku tetap antusias mendengar musik, menyimak album, membaca rilisan baru, atau memperhatikan berita musik. Kali ini medianya mayoritas berasal dari Internet. Sebenarnya, ini tampak sebagai kelanjutan dari kebiasaanku mencari musik-musik susah di awal tahun 2000-an, ketika aku punya akses Internet bagus. Terus terang, untuk alasan tertentu sejak itu aku pilih mendengar album via mp3 atau mwa. Ketika itu aku masih punya Walkman dan Discman dan kalau ada niat aku membuat mixtape. Tapi karena Discman boros batere, akhirnya barang itu aku jual. Waktu itu aku pikir bahwa komputer/laptop sudah bisa memuaskan antusiasmeku terhadap musik, dan ternyata keyakinan itu bertahan hingga sekarang. Apalagi sekarang aku juga punya mp3 player.

Kenapa pilih mp3? Alasan utamanya adalah karena murah. Tentu tidak bisa dibilang 100 % gratis, tapi lebih terjangkau dan yang jauh lebih penting download memungkinkan kita mendapatkan musik apa pun dan dari mana pun, bahkan mendapatkan yang tidak bisa dibeli di toko musik biasa dalam negeri. Singles, EP, reissued, remastered, maupun deluxe edition, termasuk rekaman dadakan pemusik yang hanya muncul di negeri tertentu--yang industri musiknya bagus--mustahil didapatkan di negeri ini.

Industri dalam sudut pandang mereka yang berdaya beli kecil memang menyebalkan. Kita dirayu membeli semua produk, padahal bisa jadi tidak semua artis ingin mengomersilkan karya ciptanya. Apalagi tidak setiap orang mampu membeli dan lebih ingin mendapatkan sesuatu dari penciptanya, bukan pengganda atau pemilik hak edarnya. Sejak awal, tampaknya orang lebih peduli pada musisi karena karyanya, alih-alih memilih perusahaan rekaman, meski perusahaan jelas berjasa dalam menyebarkan musik.

Ada musisi yang awalnya cuma ingin karyanya didengar sebanyak mungkin orang tanpa harus dibebani target penjualan. Pikirkan ketika Wilco menyimpan Yankee Hotel Foxtrot di Internet dan menyilakan orang mendownloadnya. Kadang-kadang musisi hanya lebih ingin populer dan berhasil menyampaikan pesan dibandingkan ingin kaya karena berhasil menjual jutaan keping album. Kata seorang musisi pendukung download mp3, "Seperti seks, musik itu lebih bagus kalau gratis." Ambil contoh Coldplay. Rugikah band ini bila nyaris semua lagunya didownload secara ilegal? Mungkin tidak. Mereka bisa jadi justru harus berterima kasih karena memiliki tambahan penggemar. Yang jelas rugi adalah perusahaan pengganda CD karena gagal mendapatkan uang dari jualan, produksi, atau anak asuhnya. Sebagian musisi lebih memprioritaskan orang mendengar dan suka musiknya. Tapi industri dan artis bisa jadi berpandangan berbeda.

Perdebatan antara gratis dan harus beli maupun ilegal vs legal masih berlangsung hingga kini. Tetapi sudah terbukti bahwa internet, teknologi multimedia, dan cyberspace menjadi biang turunnya penjualan fisik industri musik. Tapi bisa jadi karena hal itu pula maka fans sebuah group musik jauh lebih banyak dan beragam. Kalau mau, orang bisa memenuhi cyberspace dengan hasil download atau menyimpan hasilnya agar bisa dibagikan kepada yang tertarik. Biarlah cd, kaset, vinyl, menjadi semacam kebutuhan eksklusif jika seseorang memang ingin mendapatkan barang itu secara fisikal, lebih rinci, bisa diraba-raba, ada aromanya.

Tentu mp3 juga masih belum menjadi segala-galanya, meski cyber bisa menyediakan banyak hal. Daya tawar terpenting teknologi ialah betapa mp3 dan cyberspace memberi kemudahan untuk mendapatkan sesuatu. Di Internet, kita masih harus mencari sejumlah hal yang kerap terpencar, baik artwork (sleeve), lirik, kredit, dan "keutuhan" bahwa file tersebut memang album. Pada rilisan fisik, itu sudah sepaket atau semacam one-stop shopping. Di internet kita harus meluangkan waktu mencari itu semua demi merasakan keutuhan sebuah album dan itu berarti lebih menghabiskan energi, waktu, serta ribet, menghambat banyak hal lain. Buruknya, kadang-kadang kita dikecoh oleh nama file yang salah, dipersulit password menyebalkan, juga kualitas suara yang mengerikan. Kita memang harus memilih dan berendah hati menerima kekurangan. Dari sisi ini, industri rekaman tentu masih bisa bangga bahwa layanan mereka jelas tidak bisa begitu saja dihapus oleh tawaran kemudahan yang sering menipu. "Namanya juga gratisan," begitu gurau seorang kawan.

Di tengah ketidakberdayaanku, aku jelas bersyukur atas penemuan mp3, teknologi p2p, file sharing, serta para penyedia dan penyimpan file. Bayangkan saja, setelah dulu agak putus asa cari album Nusrat Fateh Ali Khan atau Youssou N'Dour di dunia nyata, kini aku bisa mendapatkannya gratis dan dalam jumlah yang justru bisa membuat aku gelagepan karena enggak tahu lagi apa yang mesti diambil saking banyaknya. Walhasil kadang-kadang aku kepayahan juga dengan file-file itu, cuma didengar selintas untuk kemudian tertelantar atau sekalian dihapus permanen. Sebagian orang meledek bahwa mengumpulkan album sebesar 287 gb di komputer jelas lain dengan punya 287 rekaman fisik yang bisa ditilik-tilik.


Secara fisik, aku cukup meminjam rekaman koleksi Kineruku atau dari kawan-kawan yang kerap beredar di situ bila benar-benar merasa perlu. Beberapa kenalanku punya antusiasme jauh lebih ganas terhadap musik, apalagi mereka rela dan mampu belanja rock. Jakartabeat.net berhasil mengumpulkan banyak orang yang mampu menyimak dan menjelajahi musik secara lebih solid. Memang cara mereka mengungkapkan cinta pada musik kadang-kadang nadanya terdengar agak snob, berlebihan, atau over-intelektual, tapi antusiasme, penemuan, penafsiran, maupun pendalaman mereka betul-betul menyegarkan gairahku terhadap musik. Dengan idealisme mereka bekerja keras dan bersenang-senang mendefinisikan lagi jurnalisme musik. Di sana, musik bukan cuma berisi album yang mencoba menelurkan hits, melainkan menjadi pernyataan dan berusaha memiliki makna sosial dan semangat zaman.

Di siang hari aku sekarang jadi pelayan Garasi Opa, toko barang vintage di Kineruku yang salah satu hot itemnya adalah vinyl. Toko ini juga menjual kaset, terutama album lawas yang dinilai legendaris dan dicari-cari pendengar. Hal itu membuat aku jadi kembali sering memegang kaset dan vinyl. Bukan hanya album pop rock Indonesia lama, melainkan juga keroncong, dangdut, orkes melayu, gambang kromong, kasidah, musik daerah, termasuk band-band kabur tapi dinilai penting dalam ceruk pasar tertentu, seperti Blossom Toes, Bonzo Dog Band, Young Marble Giants, The Fugs, juga Kelompok Kampungan. Di Garasi Opa aku jadi bisa mendengar dengan baik album Harry Roesli, Lemon Trees Anno '69, Leo Kristi, Waldjinah, Remy Sylado, Franky & Jane, Yockie Suryoprayogo, Bimbo, dan lain-lain setelah dulu waktu remaja cuma sepintas ikut dengar di kamar kawan yang suka mendengar musik lawas Indonesia . Aku jadi ingat waktu mendengar Kiayi Kanjeng, Uking Sukri, Kua Etnika, Zithermania, Slamet Abdul Sjukur, Suarasama, juga Mukti-Mukti, Keroncong Rindu Order, dan lain-lain yang pendengarnya barangkali terbatas.

Anak muda yang datang ke Garasi Opa suka menanyakan keroncong, gambang kromong, dan entah kenapa hal itu membuatku terharu dan penasaran apa mereka sedang mencari harta karun terpendam musik Indonesia dari masa lalu? Pernah suatu hari aku nyetel album Gesang, seorang pengunjung mendadak bilang, "Mas, aku mau ini dong. Dulu ibu saya sering nyetel musik kayak ini." "Wah maaf," jawabku. "Yang ini belum dilepas oleh bos saya. Hanya untuk didengar dulu." Di tengah sajian musik kodian lewat radio, televisi, dan jaringan supermarket, mendengarkan keroncong, gambang kromong, album seminal, atau musik eksperimental yang dirilis baik untuk ekspresi, eksplorasi nada, pernyataan estetika, kolaborasi ide, maupun bersenang-senang jelas lain nuansanya. Salah satu yang berharga ialah betapa tetap menarik membicarakan relevansi album itu di zaman sekarang. Masih menantang membicarakan jeroan atau visi musik Rhoma Irama, AKA, Gombloh; tapi musik setipe karya Obbie Messakh cuma enak didengar di karaoke atau bus antarkota. Di luar itu, musik mereka mati gaya. Mau dibolak-balik ulang kayak apa juga tetap terdengar kacangan dan merengek. Tapi harus diakui mau mendengar kaset juga ada kendala. Sebagian generasi muda bakan tidak pernah melihat atau punya pemutar kaset. Mereka mendengar lewat hp atau mp3 player dan parahnya mendengar per lagu, bukan menyimak per album.

Meski kini paling banyak menyimpan musik di harddisk, keinginan untuk membuka-buka kaset atau cd terbit lagi, bahkan sengaja merawat lagi agar kondisinya tetap baik. Yang berjamur aku bersihkan satu-satu. Memang sudah pupus niat mewariskan barang itu kelak pada anakku seperti dulu, karena aku sadar mereka membentuk selera dan punya zaman sendiri, cuma aku jadi memelihara yang ada. Tape playerku kembali bersaing dengan Windows Media Player untuk memutar lagu, bahkan menyetel kaset nasyid generasi awal The Zikr milik istriku, ceramah Aa Gym, atau mengumandangkan lagu Sunda karya Doel Sumbang yang akhirnya jadi disukai Ilalang (12 tahun). September lalu aku memboyong puluhan kaset adikku dari rumah orangtuaku di Lampung yang sudah masuk kardus karena tapenya rusak dan tidak diperbaiki. Wah, senang banget! Rasanya aku menemukan lagi jalur bisa yang membuatku sedikit lebih bergairah dan melihat-lihat panorama.

Apa aku pelan-pelan kembali pada kebiasaan lama yang sebenarnya nyaris punah? Entahlah. Cuma beberapa minggu lalu untuk pertama kali aku tersenyum-senyum sendirian di sebuah toko rekaman, menilik berbagai album sampai tangan penuh debu, dan akhirnya memutuskan mengambil Pulau Bali, Keroncong Instrumental Vol. 3 oleh Orkes Keroncong Irama Jakarta. Itulah kaset pertama yang aku beli barangkali setelah lebih dari sepuluh tahun lalu. Rasanya mirip dulu waktu aku pertama kali beli kaset Queen. Gemetaran.[]

Link terkait:
http://halamanganjil.blogspot.com/2008/03/selamat-jalan-kaset-dan-mantan-presiden.html