Friday, November 30, 2007

Pakai Kuitansi atau Tidak
---------------------------------------
>> Anwar Holid



‘Bagasinya mau pakai kuitansi atau tidak?’ tanya petugas check in di bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng kepadaku, yang memang sudah jelas terlalu banyak bawa beban. Dia seorang pemuda dengan pakaian seragam yang rapi; menawariku pilihan sambil tersenyum. Aku dari awal sudah malas dengan keramahan yang dibuat-buat dari wajah portir sejak aku turun dari mobil, menawarkan trolley, hingga membawaku ke hadapan petugas check in.
‘Ya, pakai.’
Aku jelas sekali dengar dia berkata, ‘418 ribu rupiah,’ sambil melanjutkan, ‘ini barang pribadi atau perusahaan?’
‘Perusahaan,’ kataku sambil menyodorkan uang.
‘Bayar di kasir,’ kata dia, menampik pemberianku.

Jadi aku jalan ke kasir, menyerahkan tiket beserta kode kelebihan beban. Setelah diperiksa-periksa, yaitu dengan dibolak-balik, ternyata biaya kelebihan beban itu adalah Rp.814.000,00.
‘Lho... dia bilang tadi 418 ribu,’ aku tersentak dengan biaya sebesar itu. Di luar dugaan; dalam hati akulangsung berteriak, mending dikirim dengan jasa kurir biasa.
‘Bapak di mana diperiksa?’ tanya dia sambil menyerahkan tiket pada rekannya. Aku menunjuk meja tempat periksa bagasi. Rekan kasir itu langsung menuju meja tersebut.
‘Di sana,’ jawabku sambil menunjuk dengan jemari. Sesaat kemudian rekannya sudah balik menyerahkan tiket ke kasir, dan mengoper kepadaku.
‘Coba bapak tanya lagi ke petugas itu; silakan periksa.’
Aku jadi balik lagi ke meja pemeriksaan bagasi. Begitu sampai aku langsung menyergah, ‘Mas, kok jadi 814 ribu? Tadi Anda bilang 418 ribu?’
‘Memang 814 ribu. Mungkin bapak salah dengar.’ Dia menanggapi dengan tenang.
Fucking what!? Salah dengar? Dengan kesal aku balik ke kasir, menyerahkan tiket. ‘Kata dia memang jadi 814.’

Periksa sebentar, aku menyerahkan uang. Mengambil kembalian dan kuitansi biaya kelebihan beban. Aku jadi membayar sebanyak itu, langsung tahu arti ‘pakai kuitansi atau tidak.’ Dongkol sekali perasaanku, meski sebenarnya tak punya hubungan dengan uang itu, karena memang bukan milikku, melainkan punya lembaga yang membayar ongkos keberangkatanku. Dari sana aku melanjutkan jalan, ke tangga pemberangkatan. Portir menenteng sebagian bawaanku, yang sebenarnya ringan dan ingin aku bawa sendiri; tapi dia tetap memaksa membawakan.

‘Tadinya bapak bisa bayar setengah kalau jadi minta bantuan teman saya di meja check in itu. Tapi bapak bilang mesti pakai kuitansi sih...’ cerocosnya; barangkali dengan begitu dia bisa menenangkan kedongkolanku. Dia sengaja menekankan kata ‘jadi’ waktu berkata-kata.

Jadi begitu permainan mereka, batinku. Aku menyerahkan uang portir. Dia langsung menyelipkan lembar 10.000 ke balik baju seragam; membawa yang 15.000. Aku jadi berani berprasangka; yang dia tilep itu pasti untuk pribadi; sisanya barangkali buat setoran. Walhasil, di dompetku tinggal tersisa Rp.31.000,00. Astaga, cepat benar duit amblas di bandara ini. Tersedot hilang hanya dalam hitungan langkah. Aku jadi mengandalkan bawaan pribadi, yang aku ambil dari duit sisa biaya bersalin istri. Jumlahnya Rp.100.000,00. Aku pasrah menerima kejadian menjengkelkan ini. Yang paling menjengkelkan dari sini ialah penipuan biaya pemeriksa tiket ke kasir pembayaran, persis karena aku mengharuskan mereka memberi kuitansi pembayaran. Di pikir-pikir apa yang sebenarnya terjadi kalau aku tak punya kuitansi? Pertama, mungkin uang itu akan masuk ke kantong pribadi mereka; kedua: aku bisa klaim berapa saja untuk biaya kelebihan beban ke lembaga tempat aku kerja---tapi tanpa bukti. Risikonya adalah aku bisa dituduh korupsi. Ha ha ha... betapa pintar mereka mencoba menjebak aku. Sementara kalau barang hilang aku nggak bisa klaim karena nggak punya bukti pembayaran. Selama nunggu pesawat itu ajy membatin: barangkali inilah bayaran dari sebuah perjalanan pertama. Terkejut dan sulit membantah karena tak tahu apa-apa. Aku anak bawang dalam hal ini, mereka memanfaatkan kelemahan itu. Lagi pula aku kehilangan alasan untuk keberatan, terutama karena terdesak waktu; di sisi lain aku masih bisa menahan kejengkelan meski benar-benar ditipu. Berapa orang yang berhasil mereka tipu dengan mudah setiap hari?

Aku jadi ingat cerita-cerita tentang perjalanan yang sulit dan heroik; entah karena alasan pribadi atau kekurangan biaya dan terpaksa mesti dilakukan. Ada orang pergi mengarungi Indonesia dengan sepeda atau jalan kaki, pergi ke Aceh dengan mobil butut atau bus kelas ekonomi; ke Balikpapan menumpang kapal laut dalam dek kelas ekonomi. Semua jelas lebih sulit dibandingkan perjalananku; mereka bisa kepanasan, kelelahan, berdesak-desakan, keringat bercucuran, tubuh kekurangan cairan, atau muntah-muntah selama perjalanan karena kalah oleh bau dalam ruangan. Aku yakin perjalananku ini lebih menyenangkan, hanya sedikit khawatir karena duit tinggal sedikit. Mestinya aku baik-baik saja, karena toh bisa menelepon bala bantuan dengan mudah. Apalagi waktu subuh aku sudah berdoa mohon keselamatan kepada Allah (i.e. Tuhanku), menyerahkan segala urusan dan peristiwa kepadanya.

Aku akan memulai sedikit selingan hidup sekitar dua bulan di Banda Aceh; ditemani lima buku Soni Farid Maulana, After The Plague (kumpulan cerpen T.C. Boyle), buku Mengubah Dunia (David Bornstein), buku Pamusuk Eneste dan Natalie Goldberg, Joyce Wycoff, dan Al-Qur’an. Aku sedikit ragu mampu membaca Al-Qur’an selama di sana, tapi toh tetap tak tega bila meninggalkan, terlebih diperingatkan oleh Ubing. Tapi aku akan berusaha membaca kitab itu. Aku sudah baca-baca puisi SFM, berusaha menamatkan Mengubah Dunia, belum bisa menikmati cerpen T.C. Boyle. Tapi semua itu BUKAN tujuanku ke sana. Aku ke sana karena diamanati jadi fasilitator kelas di Seuramo Teumuleh. Untuk itulah aku bekerja dan nanti melakukan evaluasi kinerja. Aku mestinya menjalankan itu dengan baik---dan untuk itu aku butuh sejumlah rujukan dan pengayaan, terutama sejenis buku karya Goldberg, Wycoff, dan Pamusuk Eneste. Aku pernah sesekali jadi teman diskusi untuk topik tulis-menulis atau penyuntingan; kali ini yang aku hadapi adalah satu kelas, yang jumlahnya diperkirakan bisa mencapai 25 orang, setiap hari.

Sehari sebelum keberangkatan aku bertemu dengan senior-senior di Mizan, termasuk dengan editor penerbit Hikmah yang sudah aku kenal via email tapi belum pernah bertemu---mereka menghadiahi aku tiga buku. Beberapa orang menyelamati aku menjelang pergi ke Banda Aceh; aku senang dengan salam itu, seolah-olah jadi ajimat keselamatan dan benteng ketenangan. Tapi yang terus membuat aku takjub sekaligus kecapaian luar biasa adalah aku bolak balik Jakarta-Bandung pada malam 1 November 2006 hanya berselang beberapa jam karena Ubing melahirkan Kimya. Aku sempat memperhatikan wajahnya yang kemerah-merahan, mirip sekali dengan Ilalang waktu bayi, bahkan tempat bekas tekanan darahnya sekalian. Setelah mengubur ari-ari menjelang tengah malam, aku langsung balik ke Jakarta. Selama perjalan ke Banda Aceh, hanya kejadian itu yang terus teringat, diselingin pemandangan gumpalan awan yang mirip batu mengapung di danau tenang, bukan kejadian menjengkelkan habis mengeluarkan biaya besar karena kelebihan beban. Puji Tuhan, betapa luas Dia memberi aku peluang mendapat kegembiraan.[]2 & 5/11 06


Kontak: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B, Bandung 40141 Tel. (022) 2037348 SMS 08156140621 email: wartax@yahoo.com
READER'S ADVISORY: Sejumlah kalimat di esai ini mungkin kasar, menyinggung perasaan, atau berlebihan. Aku memohon maaf untuk hal itu, termasuk memohon ampun dan rahmat Allah.

PERNAHKAH ANDA MENERIMA PESAN TUHAN?
-------------------------------------------------------------
>> Anwar Holid


Dedicated to ....



TENTU Tuhan malas sekali menggunakan teknologi ciptaan manusia, maka Dia sekarang-sekarang ini belum terdengar menelepon seseorang untuk menerima perintah maupun pesan-Nya. Dia juga belum pernah naik ojek, membayar lebih, mampir ke rumah salah satu makhluk-Nya, lantas ngobrol topik aktual ditemani secangkir kopi dan gorengan. Minimal untuk menertawakan kekonyolan manusia atau optimisme berlebihan mereka. Dari situ Dia mungkin akan mewajibkan penghuninya melakukan sesuatu, entah larangan atau komando. Atau jangan-jangan ada salah satu di antara Anda pernah menerima sms dari Tuhan, misalnya dengan pesan: pergilah kamu ke arah barat, di sana kamu akan menemukan tanah harapan. Begitu mematuhi perintah itu, Anda terkejut mendapati tanah itu sudah padat dan kalau ingin memiliki sepetak saja, Anda mesti punya sertifikat atau hak guna bangunan yang harus ditandatangani seorang notaris dengan bayaran mahal, dan Anda juga harus bayar pajak atau retribusi cukup mahal kepada penguasa setempat, dan sulit menggugat untuk apa pajak dan retribusi itu ditarik.

Entah kenapa Tuhan selalu menggunakan malaikat untuk menyampaikan perintah atau pesan. Dalih paling mudah ialah itu tentu menunjukkan bahwa manusia terlalu berbahaya atau rapuh bila berhadap-hadapan langsung dengan Tuhan. Hanya satu-dua orang yang pernah langsung mendengar suara Tuhan---perhatikan: baru suara, bukan sosok ataupun wajah, salah satunya ialah Musa. (CMIIW). Kebanyakan nabi menerima pesan Tuhan via malaikat---waktu itu bahkan belum ditemukan HP, dan Tuhan bisa jadi belum pernah membayangkan manusia bakal menemukan HP. Kalau tidak, tentu Tuhan akan memonopoli jaringan dan jadi operator. Pesan-pesan Tuhan memang menakutkan, maka harus ditanggung oleh sesuatu yang kuat, patuh, teguh. Contoh: Tuhan mengirim pesan agar Ibrahim menyembelih anaknya--waaah, kebayang bila Anwar Holid mendapat pesan serupa agar menyembelih anaknya. Tentu dia akan cepat-cepat menghapus pesan itu dan menggerutu, 'Pesan kamu kok aneh sekali sih, Tuhan?' Tuhan memang hanya mengirim pesan kepada manusia sesuai kapasitas masing-masing. Maka entah seperti apa kondisi jiwa seorang Ibrahim yang setelah berkali-kali sedikit ragu menerima suatu pesan, kemudian yakin bahwa itu berasal dari Tuhan, lalu melaksanakan dengan mantap. Dari sudut gelap kita boleh terheran-heran ada orang bisa begitu yakin atas keilahiyahan pesan yang amat spekulatif dan berisiko. Apa karena sebelumnya dia pernah bercakap-cakap dengan Tuhan, mengandalkan kejernihan hati, atau merupakan bentuk berserah diri? Katakanlah kita kaya, berpenghasilan 157 juta per bulan, kemudian hati kita menerima pesan: 'bebaskan pembantu-pembantu kamu dari kemiskinan, sekolahkan mereka, beri mereka kesempatan setara, beri modal dan akses pengetahuan, pupuklah biar jadi manusia unggul, jangan hanya jadi tukang potong rumput.' Segera setelah menerima pesan itu kita keberatan; terus siapa dong yang nanti mengepel, membersihkan mobil, membersihkan kotoran anjing, menyapu kamar dan rumah, mencuci kakus, gimana kalau mereka nanti lebih sukses dari anak-anakku? Walhasil, pesan itu jadi arsip---ia ada, tapi sekadar jadi berita atau rujukan entah untuk apa.

Satu-satunya kiriman Tuhan yang enak dibayangkan ialah ketika Maryam---anak Imran, bunda Isa al-Masih---menerima makanan dari malaikat setiap kali lapar. Makanan itu dari surga, mungkin hitung-hitung nggak ada yang makan lagi setelah Adam dan Hawa diusir ke Dunia dahulu kala. Sayang kalau dibiarkan begitu saja, bisa buruk soalnya. Tentu kualitas makanan surga lain---apa sempat ada yang busuk waktu didatangkan dari kerajaan itu, meski tidak ada berita bahwa di surga pernah ada kulkas raksasa. Tapi tampaknya jasa kurir Tuhan lebih canggih dari Tiki.

Kalau dipikir-pikir, Tuhan juga sedikit peduli pada nasib banyak umat manusia. Kalau tidak, mestinya Dia ngasih setiap orang miskin---termasuk aku---minimal satu kartu kredit berisi kurang-lebih satu milyar rupiah, biar kalau belanja cukup lega dan habisnya lama. Kartu kredit itu berguna waktu darurat, misalnya ketika banjir dan orang harus nginep di hotel dan mengungsi ke luar kota sementara waktu. Mungkin Tuhan memang kurang peka sampai-sampai melupakan kebutuhan dasar manusia. Kalau berpendapat seperti itu, kita menganggap bahwa Tuhan adalah semacam bank gratis buat kaum miskin, atau kira-kira seperti Robin Hood yang suka bagi-bagi barang curian.

Nyaris setiap kali habis beribadah aku berdoa khusyuk, 'Ya Tuhan, terima kasih atas rezeki dari-Mu hari ini. Jadikanlah aku hamba-Mu yang senantiasa bersyukur atas pemberian-Mu. Cukupkanlah pemberian-Mu kepadaku. Penuhilah kebutuhanku, bahagiakanlah keluargaku, lindungilah mereka. Penuhilah kekurangan-kekuranganku.' Kadang-kadang, ketika berhari-hari kekurangan uang atau nafkah, kalau ada takdir, setelah berdoa seperti itu aku menemukan Rp.5.000,- tercecer di jalan atau Rp.2.000,- di antara buku dan barang. Dalam hati aku bilang, 'Oh, inilah yang disisakan Tuhan buat aku hari ini.' Entah apa anugerah itu benar-benar pemberian Tuhan atau muncul karena keteledoran seseorang. Setidaknya, dengan Rp.1.000,- aku bisa dapat singkong goreng tiga potong, cukup mengenyangkan sebagai ganjal makan siang. Mungkin Tuhan tahu bahwa aku belum terlalu perlu harus diberi keajaiban besar-besar, mengingat kalau terpaksa toh masih masih bisa berutang ke sana-kemari atau kasbon ke kantor. Habis aku juga mintanya kabur dan nggak definitif, jadi membingungkan Tuhan. Mungkin lain kali aku harus berganti, doa, misalnya, 'Ya Tuhan, kasih aku Honda Jazz, naikkan gajiku, beri aku laptop, lancarkan tanganku menulis, tambah pintar kemampuan kerjaku, cukupkan istirahatku, lunasi utang-utangku, tambah rekeningku (dari money laundry juga boleh), jangan lupa: boleh juga tambah satu istriku!' Bukankah permintaan itu sebenarnya terlalu sederhana buat Tuhan? Banyak orang mendapat sesuatu jauh lebih besar daripada permintaanku itu. Tapi aku belum terlalu putus asa untuk berdoa seperti itu, khawatir malah diledek Tuhan.

Untuk masa sekarang, pesan Tuhan memang terasa kuno sekali, dan usang. Di zaman ketika orang bisa pesan makanan, barang, buku, bahkan orang sekalipun via banyak media, tentu pesan-pesan Tuhan yang terekam di banyak alkitab itu terasa sekali aneh. Misalnya ada nabi yang dipesan agar pengikutnya tidak minum air sungai kecuali segenggam. Dulu Tuhan pernah pesan kepada Nuh, 'Bikinlah kapal yang besar, dengan itu nanti kamu dan pengikutmu menyelamatkan umat manusia beserta isinya.' Coba kalau sekarang ada orang persis menerima pesan yang sama, sementara di sekitarnya masih banyak yang sama-sama terbukti memiliki pengetahuan. Apa yang terjadi? Apa akan ada lomba pembuktian doa? Pesan-pesan Tuhan seperti itu melambangkan apa ya? Apa Tuhan ingin orang bikin organisasi besar-besaran agar orang bisa masuk golongan tertentu sebanyak-banyaknya? Tapi pesan ajaib Tuhan biasanya hanya sekali terjadi, dan tentu jarang sekali terulang. Keajaiban itu sungguh fenomenal, sampai sulit dipercaya kecuali diterima begitu saja. Misalnya waktu Tuhan menyuruh Musa menyentakkan tongkat ke Laut Merah, dan seketika itu laut terbelah dan terbentuklah jalan lapang bagi pengikutnya untuk ramai-ramai menyeberang ke tanah seberang. Kejadian seperti itu hanya mungkin diwujudkan dalam film Hollywood menggunakan spesial efek canggih. Karena sulit diulang itu kini sebagian orang suka mencermin-cerminkan peristiwa dahulu kala pada fenomena yang terjadi di dekatnya. Misalnya bahwa seseorang dipercaya tengah mengalami fase seperti yang dialami nabi-nabi tertentu di zaman dahulu. Waaah... orang kan boleh-boleh saja kok yakin dengan imannya. Aku sendiri, lepas dari nubuat itu, sekarang ini memasuki fase sinis. Yah, bagaimana lagi? Aku hanya bisa menduga-duga dengan samar dan sekadar menanti segala sesuatu terjadi dengan takjub. Lebih persis: aku membiarkan segala sesuatu terjadi dan hanya berharap kebaikan dari sana. Aku hanya akan mengurus persoalanku sendiri.

Dengan pengetahuan yang amat sedikit aku miliki, aku merasa ternyata keajaiban mungkin saja terjadi setiap saat, terutama untuk hal-hal yang rutin dan remeh. Misalnya, justru ketika aku janji pada 2007 ini tak akan beli buku demi menghemat pengeluaran dan menambah tabungan, eh aku malah dihadiahi banyak buku oleh berbagai penerbit. Aku menerima hadiah itu dengan senang hati sekaligus janji berusaha menulis atau membaca, siapa tahu bisa direkomendasikan ke banyak orang lain. Ditambah pinjaman buku, cd, dvd gratis dari Rumah Buku, bahkan tiket seminar senilai Rp.500.000,- Apa itu boleh dianggap sebagai keajaiban. Aku juga baca bahwa para korban sesbuah kecelakaan selalu berharap keajaiban. Waktu di Aceh, aku banyak sekali mendengar kisah tentang keajaiban orang mengalami tsunami, antara lain tentang seseorang yang diselamatkan naga. Padahal bukankah naga itu hanya mitos? Minimal orang selamat dari sesuatu yang fatal. Memang sih, dibandingkan Isa yang menghidupkan lagi Lazarus atau Yunus masuk perut ikan paus, yang aku alami, atau yang dialami kebanyakan orang itu, terlalu sederhana. Alasannya juga jelas: karena aku terlalu miskin untuk mengalami keajaiban lebih besar. Pantas. Apalagi bila cuma dihadiahi Turkish Coffee. Tapi mari lihat moralnya: kadang-kadang keajaiban hanya terjadi sekali dan itu membuka peristiwa lain. Lagi pula, keajaiban itu ada bayarannya. Bayarannya ialah kesabaran. Kesabaran itu kadang-kadang baru hadir lewat jalan yang rumit. Mungkin biar seru, jadi plotnya sering macam-macam dan disembunyikan dulu, dan orang yang mendengar/membaca ceritanya juga tertarik/terkesima. Biar orang yang mengalaminya degdegan dan hanya mengharap yang paling seru---bisa bahagia atau mengerikan. Orang berharap keajaiban dengan ikut program televisi, membaca novel atau buku tertentu, ikut organisasi, melakukan sesuatu, termasuk berharap menemukan keajaiban di antara spam yang diterima di email account, entah cerita menakjubkan atau tiba-tiba ditunjuk menang lotere ribuan Euro, atau berhak menerima sumbangan dari lembaga kemanusiaan. Bukankah Tuhan yang butuh waktu untuk menghadirkan eksistensi-Nya? Tuhan tak perlu alasan bila ingin menunjukkan kuasa. Betul, tidak? Eh, lupa, Tuhan memang hanya perlu memilih manusia sesuai masing-masing pesan dan keajaiban. Artinya, kita boleh berdoa mendapat keajaiban paling hebat di alam semesta ini, tapi lebih baik lagi kalau kita mengukur diri. Sebagian orang memang mengalami keajaiban hebat itu. Seorang pembantu tentu lain kadarnya dibandingkan tuan---kecuali bila suatu saat pembantu itu memiliki kualitas tuan. Setiap orang mesti tahu diri, jangan berlebihan---tapi mesti ingat, jangan pernah meremehkan diri sendiri, sebab keajaiban terus terjadi meski kenabian sudah selesai. Yah, setidaknya keajaiban kecil yang masih cukup sukar kita pahami. Tapi ia terjadi, kadang-kadang setidaknya sekadar terbuka. Sesuai kadar masing-masing orang bisa menemukan keajaiban atau tahu bahwa Tuhan barangkali mengirim pesan via sesuatu, termasuk perantara. Kalau begitu peran perantara penting. Dia mengirim maksud Tuhan. Maka kita saksikan di beberapa belah dunia tertentu ada orang mengaku mendapat ajaran dari Mikael atau Jibril, atau di tempat lain mengaku mati dan memasuki alam ruh/malakut, melihat-lihat kondisi orang mati, diajak ke surga dan neraka, untuk kemudian hidup lagi dan menceritakan kisah itu kepada orang yang masih hidup di dunia. Waaah.... itu kisah sama sulitnya masuk akal bila ada seseorang kawin lagi setelah betul-betul diminta Tuhan harus poligami. Untuk hal-hal yang sulit diterima, lebih aku nonton pertandingan bola. Pertandingan bola juga kerap memunculkan keajaiban. Meski curang, Maradona pernah mengalaminya. Barangkali pesan Tuhan di kalbunya, 'Jangan bilang syapa-syapa!' Itu namanya keajaiban silap mata. Minimal keajaiban remeh itu masih bisa bikin air mata seseorang menetes, dan itu tanda bahwa Allah masih suka bikin drama. Lihat saja waktu Manchester United menyodok dari belakang mengalahkan Bayern Munchen di final Liga Champions. Itu juga sejenis keajaiban, meski tarafnya belum sedramatik David mengalahkan Goliath.

Yang sering aku sinisi dari pesan-pesan Tuhan itu antara lain ternyata dampaknya baru akan terasa kalau seseorang melakukan kontak atau memiliki keterlibatan tertentu. Bila orang terdekat Anda mendapat pesan Tuhan lewat Mikael, Anda mau apa? Mengamini atau menolaknya? Membiarkannya? Ketika dahulu Ibrahim mendapat pesan agar menyembelih anaknya, ke mana itu kira-kira tetangga atau Pak RT di sekitarnya? Ibrahim hanya memberi tahu pesan itu kepada anak dan istrinya; bahkan istrinya yang lain nggak diberi tahu. Apa waktu itu nggak ada orang lain selain keluarga Ibrahim? Kenapa dia nggak dipergoki orang di tengah jalan ketika sedang membawa anaknya ke altar? Siapa tahu ada seseorang memergokinya, dan bertanya, 'Ibrahim, kamu mau ngapain?' 'Mau nyembelih anak.' 'Kenapa kamu lakukan itu?' 'Tuhan memerintah aku begitu.' 'Kalau begitu coba kau minta perintah Tuhan yang lain.' 'Apa misalnya?' Ibrahim ganti bertanya. 'Misalnya memberikan istri pertamamu buat aku.' Waaah... takut ah memain-mainkan peristiwa ilahiah itu lebih lanjut.

Kalau kita baca-baca, terutama dari buku agama atau dari khazanah yang dinamai sebagai 'spiritualitas', pesan Tuhan itu ternyata masih berseliweran sampai sekarang. Tapi herannya pesan itu kok tampaknya berdampak kecil sekali pada Bumi. Apa para presiden dari banyak negara itu sama sekali nggak pernah menerima pesan Tuhan? Kenapa Tuhan nggak mau mengirim pesan justru kepada mereka yang pegang kuasa dan berdaya melakukan sesuatu? Katakanlah Tuhan memberi pesan kepada Anwar Holid untuk memerangi kerusakan moral; apa coba yang harus aku lakukan? Menyelidiki setiap isi file di komputer atau rumah dari sesuatu yang maksiat? Di zaman dulu, Tuhan lebih masuk akal, mereka mengirim pesan kepada Sulaiman, Daud, Musa, atau Muhammad yang berkuasa penuh atas kaumnya, karena mereka adalah penguasa, jadi mereka bisa memobilisasi orang. Bayangkan bila yang terjadi sebaliknya, ketika pesan Tuhan justru diterima oleh orang asing dan bukan siapa-siapa, yang bahkan bila disampaikan kepada pembantu, sopir pribadi, atau office boy, mereka menggeleng nggak paham. Atau kita berani bilang bahwa memang ada orang rendahan (lesser people) yang kurang pantas mendapat pesan dari Tuhan? Alangkah sayang pesan itu dikirim. Boros pulsa saja, bukan?

Tentu kita boleh bertanya kenapa Tuhan hanya mengirim kepada orang tertentu, terutama nabi. Kita belum pernah dengar petugas kebersihan kantor menerima pesan Tuhan, misalnya agar memberi peringatan kepada bosnya yang korupsi atau berzina. Atau sebaliknya, ada orang diperintah Tuhan agar korupsi uang negara---yang dikutip baik dari pajak, retribusi, dan berbagai pungutan lain atas nama otoritas negara seperti disinyalir di paragraf awal tadi---sebesar 700 milyar Rupiah untuk kemudian dibagi-bagikan kepada kerabat dan orang-orang di sekitarnya. Barangkali pesan-pesan seperti itu memang terlaknat, meski kitab suci juga mencontohkan agar orang berani menyatakan kebenaran, meski taruhannya nyawa. Moralnya ialah orang mestinya berani menyampaikan kebenaran, serendah apa pun keadaannya. Tapi di sisi lain kita juga tahu bahwa para penerima pesan Tuhan itu pada akhirnya putus asa dan menyerah bila sudah terdesak dan gagal meneruskan pesan yang diterimanya. Dalam kegagalan itu mereka mengadu kepada Tuhan, yang paling ekstrem biasanya mereka minta agar kaumnya---orang-orang di lingkungan terdekatnya---dihukum karena malas atau menolak berita yang dia sampaikan. Memang harus diakui bahwa para pelawan nabi itu sering berlebihan beroposisi, termasuk melakukan penyiksaan, perundungan, dan pembunuhan. Tapi, kalau dibandingkan dengan sebutan sebagai orang terpilih, wajarkah mereka minta agar penentangnya dikutuk? Aku nggak tahu. Aku hanya khawatir ada di antara mereka orang yang sama sekali nggak ikut campur. Bukankah wajar bila ada orang yang malas terlibat perseteruan antara dua kubu dan memilih jalan sendiri, independen? Atau ada orang yang sebenarnya tidak terlibat (tidak ikut campur) tapi terkena dampak, dan gagal menghindar dari konflik? Hal seperti ini sering terjadi. Misalnya ada konflik antara tentara negara dan kelompok separatis di suatu wilayah; penduduk tempat itu, yang sebenarnya menolak terlibat, terpaksa merasakan dampak pertikaian. Bukankah boleh seseorang memilih jalan atau mencari aman sendiri, demi keselamatan dirinya? Bukankah dirinya sendiri---sebagai satu individu---juga makhluk Tuhan yang sama-sama pantas mendapat perlindungan atau memutuskan nasib sendiri? Tentu konyol bila ada satu kota dikutuk tapi ada orang yang tak bersalah juga kena celaka. Kutukan atau hukuman Tuhan itu menandakan bahwa kesabaran ternyata punya batas, dan para penentang tak punya kesempatan memukul balas. Batas kesabaran ialah ketika penerima pesan memohon bala bantuan Tuhan, atau ketika dia tak bisa berbuat apa-apa lagi selain mesti membuktikan keotentikan pesan Tuhan. Ketika Maryam dilecehkan dan dituduh berzina karena melahirkan anak di luar nikah, dan kesulitan menjawab pelecehan itu, dia membuktikannya dengan meminta agar bayi Isa memberi kesaksian. Kisah ini mematahkan anggapan mandek selama ini bahwa kesabaran tak berbatas. Menarik ditanyakan, kenapa meski seseorang lulus seleksi sebagai pilihan Tuhan, toh dia gagal menahan kesabaran? Apa moral dari peristiwa seperti ini. Apa Tuhan membiarkan sisi kekurangan itu sebagai bagian dari kelemahan manusia? Peristiwa seperti ini mirip dengan gambaran anak kecil yang mengadu ke orangtuanya karena dia diserang oleh anak-anak lain dan kalah, lantas mewek dan minta dukungan pihak yang lebih kuat. Nabi-nabi, di tingkat paling permukaan juga seperti itu. Bila merasa umat yang diajaknya/didakwahinya sudah keterlaluan, berlebihan, lantas kalah karena sebab apa pun, dia mengadu ke Tuhan. Yaaah... siapa juga yang bisa menanggung amarah Tuhan? Kalau semua kembali ke Tuhan, kita pasti sulit berbuat apa-apa. Kalau Tuhan sudah turut campur, nggak ada ruang tersisa buat manusia.

Tentu ada di antara kita meyakini bahwa Tuhan masih mengirim pesan, meski bisa jadi bertanya-tanya, pada siapa pesan itu dikirim, apa pesan-Nya, dan bagaimana cara pesan itu sampai. Kalau Anda kurang-lebih sudah 18 tahun naik angkot sebagai satu-satunya alat transportasi ke mana-mana dan hingga sekarang sehat wal afiat, belum pernah mengalami kecelakaan lalu lintas, entah angkotnya diseruduk atau terguling, bahkan keserempet sekalipun, kira-kira apa pesan dari kejadian seperti itu? Anda sekadar inkarnasi si Untung, atau Tuhan hendak menulis pesan bahwa Anda ditakdirkan nggak bakal punya kendaraan pribadi dan lebih baik membagi ongkos buat para sopir? Bila ada seorang perempuan baru sehari jadi pelacur terus esoknya terjangkiti virus HIV dan sebentar kemudian mengidap AIDS, apa maksud Tuhan mengirim pesan berbentuk peristiwa mengerikan itu? Sekadar ingin main-main dengan keimanan seseorang atau hendak bilang jangan ambil risiko dengan permainan berbahaya? Bila Anda baru pertama kali naik pesawat, terus ketika naik ternyata pesawat itu celaka dan lenyap entah ke mana dalam perjalanan, tak ditemukan tim SAR setelah pencarian berminggu-minggu, pesan apa yang Anda terima dari Tuhan sebelumnya? Apa Anda malam sebelum berangkat mimpi meilhat ikan mitik berenang-renang di sungai amat dalam? Mungkin Dia dulu pernah pesan kepada Anda: 'Kamu akan mati dalam kecelakaan pesawat udara.' Bukankah Tuhan mengirim pesan dalam bentuk apa pun, hanya saja kita sering kesulitan membaca bahasa yang disampaikan itu? Atau apa Tuhan memang bicara langsung kepada pilihannya, berlapis tabir setipis apa pun, dan karena itu penerima berhak merespons atau menanggapi bagaimanapun?

Ternyata sulit membicarakan pesan Tuhan dengan jernih, karena Anda tahu Dia malas sekali mengangkat telepon atau mengirim sms dan menulis email atau surat ke alamat Anda dengan pesan yang jernih. Aku cukup yakin bahwa Tuhan adalah jenis pihak yang lebih suka bermain-main dengan tanda, dan Dia suka membiarkan orang menafsir sesuai keinginan atau kecenderungan masing-masing. Tentu Tuhan lebih suka dengan orang yang lebih sesuai dengan standar ketentuan-Nya, dan kriteria hal seperti itu biasanya kompleks, meskipun jelas dan banyak faktornya. Tapi bukankah alat komunikasi antara Maha Pencipta dan makhluk bukan sekadar 'tafsir'? Sejumlah pihak menggunakan alat komunikasi yang lebih canggih dari semua peralatan itu, entah itu pandangan batin, kejernihan hati, dan penglihatan tertentu. Lagi pula, siapa butuh siapa? Orang butuh pesan Tuhan atau Tuhan ingin kirim-kirim pesan? Kebanyakan kasus menunjukkan ternyata orang lebih butuh pesan Tuhan beserta aksinya. Lihat dan baca lagi kisah-kisah nabi. Kebanyakan mereka meminta bantuan Tuhan begitu putus asa. Pada orang tertentu sebaliknya, Tuhan mengirim pesan, baik yang dituju siap atau tidak, mereka hanya mesti menerima, tanpa mempertimbangkan risiko sebelumnya. Kiat menghadapinya apa? Menurut Rhenald Kasali sederhana saja, yaitu 'Change!' alias 'Berubah!'

Sejumlah cendekiawan (sarjana) atau siapa pun suka membicarakan berbagai kemungkinan maksud pesan-pesan Tuhan itu, entah secara filosofis, menggunakan hermenetika, menduga-duga tanpa praduga bersalah, atau lewat cara mistik. Aku nggak tahu mana yang valid dari cara-cara tersebut; faktanya ialah selama Dunia masih ada, peristiwa terus bergulir, kejadian masih berlangsung, aku yakin pesan Tuhan itu hadir, bagaimanapun bentuknya. Bila seorang tukang beling mendorong gerobak keliling kota mengorek-ngorek satu demi satu tempat sampah yang dia temui, gerobaknya ditulisi Pilox asal-asalan dengan frasa: N451B MUJUR atau SURATAN TAKDIR tambah gambar tengkorak murung, apa itu juga sejenis pesan Tuhan? Siapa tahu yang menyemprot grafiti itu Jibril, karena Jibril masih kaku menggunakan alat ciptaan manusia? Mestikah orang repot membaca pesan Tuhan, atau putuskan saja bahwa segala peristiwa di sini pasti atas kehendak Dia, dalam pengawasan kerajaan Tuhan? Lalu kalau sudah begitu, kita sebaiknya berbuat apa?

Mengira-ngira maupun menelusuri pesan Tuhan memang sulit, membicarakannya pun bisa jauh dari jernih, karena kita tahu antara Pencipta dan makhluk memang beda dan masing-masing punya cara berkomunikasi sendiri, dengan 'hukum' bahwa Pencipta lebih superior. Orang seperti aku, yang eksplisit jelas belum sekalipun pernah menerima pesan Tuhan lewat media apa pun, lebih suka berpendapat bisa jadi pesan Dia sudah pernah ditulis atau pernah disampaikan di celah-celah peristiwa atau tempat tertentu, pada orang siapapun, dan tinggal dilaksanakan atau diperhatikan untuk menjalani peristiwa di dunia. Kalau tidak, aku yakin orang boleh mempertanyakan validitas orang yang mengaku mendapat pesan Tuhan. Bukankah kita sering dengar orang rindu Tuhan dan mendesak-Nya dengan doa atau dalil berikut janji-janji, tapi ketika sesuatu terjadi, yang dia bisa lakukan hanya diam? Mungkin saja suatu saat mendadak ada spam masuk ke email seseorang, isinya singkat saja: 'Jangan pernah kamu main-main dengan pesan Tuhan, kalau tidak, aku bakal merenggut semua berkah yang pernah kau rasakan, cepat atau lambat.' Wasalam, god@heaven.net. Mungkin orang itu cepat-cepat menutup email atau memforward pesan itu ke ribuan orang dengan harapan bisa lepas dari siksa atau segera mendapat rezeki besar-besaran. Siapa sangka bahwa Tuhan juga suka main-main dengan makhluk-Nya? Bukankah Tuhan cinta pada ciptaan-Nya dan senantiasa mencari cara untuk menyapa orang-orang terdekatnya? Mungkin itu yang akhirnya membuat aku menyerah mesti percaya, tentu ada orang yang jelas menerima pesan Tuhan, meski dia juga sulit langsung langsung bertanya, kenapa pesan itu sulit dicerna. Aku menerima dan percaya, tapi tentu ya hanya bisa diam.

Aku pernah mendengar kisah seorang profesor matematika Amerika Serikat, dosen sebuah universitas ordo Jesuit, namun bertahun-tahun menerima pesan Tuhan itu-itu saja: Dia masuk ke sebuah ruangan asing penuh orang yang juga tak dia kenal. Mereka sujud bersama, duduk di antara sujud, dipimpin oleh seseorang berjubah putih. Dia baru menceritakan kisah itu bertahun-tahun kemudian setelah dirinya bersyahadat. Waktu mendengar kisah itu, aku membatin: Apa Tuhan hanya bicara dengan satu nada, terus mengulang-ulang, atau malah konsisten? Tuhan ternyata sangat simbolik memberi pesan pada profesor itu, Dia membebaskan orang menafsirkan pesan itu sesuai keadaan dirinya. Meski mimpi itu agak kurang detil, misalnya, kenapa tidak sekalian si profesor diperlihatkan wajah imam pada dirinya, dan dengan begitu bisa mencari tahu, siapa dia. Barangkali Jibril sedang berganti rupa? Atau Tuhan bilang, nggak penting imamnya siapa, yang penting iman kepada-Ku.

Sebagian orang sibuk mencari cara bagaimana menerima pesan Tuhan agar lebih afdol atau lebih mudah memahami, maka di antara mereka menuliskan lambang-lambang yang pernah mereka tahu, kemudian memformulakan bahwa bila ada pesan seperti ini maka maknanya ialah itu. Mereka bikin primbon. Sebagian orang percaya bahwa Tuhan bicara secara simbolik; meski sebagian orang lain lebih suka bilang bila pesannya ikan maka artinya juga ikan. Satu pihak (baik itu Tuhan atau manusia) kadang-kadang suka langsung mengatakan maksud sebagaimana yang dia ucapkan. Mereka bicara dengan jelas, polos. Bagi sebagian kecil orang, Tuhan kelihatan amat akrab hingga mereka bebas bermain-main dengan-Nya.

Wah, tampaknya lebih baik aku mengakhiri dulu tulisan ini, padahal sebenarnya sedang capek menunggu pesan dari Tuhan.[]17:50 11/03/07

Kontak: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Telepon: (022) 2037348 HP: 08156-140621 Email: wartax@yahoo.com
Seorang Janda di Pinggir Kerajaan
---Anwar Holid


JANDA DARI JIRAH (Novel)

Penulis: Cok Sawitri
Penerbit: GPU, Juni 2007
Tebal: 192 hlm.
Format: 13.5 x 20 cm
ISBN 979-22-2875-6
Harga: Rp 35.000



TAKHTA jelas merupakan hal rumit, ia rawan menyebabkan perebutan kekuasaan dan dendam. Pembagiannya sering menimbulkan masalah, bahkan ketika dengan hati-hati hendak dijinakkan dengan berbagai cara, baik lewat perkawinan, pemberian wilayah, penetapan silsilah---yang membuat seseorang merasa berhak duduk di singgasana atau harus mempertahankan hingga mati. Di banyak kasus takhta mesti direbut dengan siasat, tekad, dan cita-cita yang semangatnya perlu diwariskan bergenerasi-generasi, dimitoskan, sampai prasasti pengakuan ditulis bahwa ia memang pernah memegang tampuknya. Takhta melibatkan banyak hal, kerap menimbulkan pergesekan, prasangka, dan bila gagal dielakkan, mengalirkan banjir darah.

Janda dari Jirah karya Cok Sawitri (GPU, 2007) menyuratkan betapa raja muda Airlangga yang membangun Kadiri dari reruntuhan Medang, diceritakan bijak bestari ternyata terus-menerus galau atas takhtanya, meski telah bekerja keras mengeluarkan seluruh kemampuan untuk memakmurkan daerah kekuasaan. Airlangga tetap merasa terancam oleh Wura Wuri meski dia terhitung masih kerabat, sementara simbol-simbol legitimasi resmi kedaulatan bahwa dirinya pewaris sah Medang gagal ditemukan. Wilayah Wura Wuri berada di balik Jirah, sebuah wilayah kabikuan Buddha terdiri dari beberapa desa subur, dipimpin seorang pendeta utama perempuan, dikenal sebagai Rangda ing Jirah, ibu seorang putri bernama Ratna Manggali.

Posisi kabikuan Jirah berikut reputasi sang Rangda agak misterius namun sulit ditembus kekuasaan formal kerajaan. Wilayah ini mirip “tanah haram” yang harus suci dari pertempuran, bersih dari pertumpahan darah, bebas dari kepentingan kerajaan. Siapapun yang datang ke sana untuk minta perlindungan harus dijamin keselamatannya. Kabikuan merupakan wilayah suci, tempat orang menuntut ilmu, mengolah jiwa. Saking tinggi pencapaian Rangda ing Jirah, murid utamanya bukan saja manusia, ia juga menguasai binatang dan tumbuhan yang siap melindungi dan memenuhi permintaannya. Tanpa sepengetahuan Airlangga ternyata Samarawijaya menuntut ilmu di kabikuan dan lebih dari itu, seluruh simbol legitimasi kerjaan Medang ternyata dia pegang. Sesuai silsilah, dialah pewaris bekas kerajaan Medang, sementara Airlangga hanya seorang raja menantu; keluarganya berasal dari wangsa terkemuka di Bali. Memang agak aneh betapa Airlangga yang diceritakan tegas, pemberani, cendekia, toleran, masih butuh hal-hal artifisial, seolah-olah seluruh pencapaian dan kerja kerasnya masih kurang. Mengetahui itu semua Airlangga merasa langsung tahu takdir yang harus terjadi untuk kerajaannya.

Airlangga banyak diceritakan dari sudut pandang Narotama, penasihatnya yang lembut, setia, namun kerap disepelekan para panglima pasukan. Penulis memberi porsi amat besar tentang Airlangga, yang menyatukan dalam dirinya ide negara dan pribadi. Dia menceritakan betapa bila Airlangga menyerbu kerajaan lain, pasti berpola bumi hangus, dihabisi sampai ke anak-anak raja yang ditaklukkan. Dia tega tapi punya alasan kuat, yakni agar dendam tak mengalir ke keturunan selanjutnya. Masuk akal. Kerajaan taklukkan itu kemudian diurus oleh kerabat yang loyal atau putri-putrinya dia nikahi. Solusi yang bagus. Airlangga tak khawatir dengan separatisme. Begitu terlihat ada gelagat pemberontakan, langsung dia gerus sampai hancur, tanpa sisa akar---kecuali bila kecolongan. Separatisme tampak lebih bermotif kekuasaan dan keinginan makmur bagi suatu klan tertentu.

Sang janda sendiri menjadi latar belakang yang menyelimuti novel. Dia berkarakter, sampai membuat semua pihak enggan. Hidupnya lurus dalam jalan bakti pada Buddha, meski akhirnya harus berhadap-hadapan dengan kekuasaan yang menganggapnya memelihara duri kerajaan. Cok menggambarkan sang janda mantap sebagai pendeta. Meski sosok utuh dirinya sulit dijelaskan karena bercampur-campur dengan mitos dan legenda, Cok sukses mengubur kesan sang janda sebagai tukang tenung atau perempuan tua sakit hati.

COK SAWITRI memanfaatkan betul keahliannya menulis puisi, maka dia menatah kata dengan hati-hati untuk menghasilkan novela ini, sedikit menjelajahi gaya penulisan realisme magis, mengembangkan hal-hal mistikal mitologi Bali. Untuk memunculkan nuansa kuno, dia banyak mengambil kosakata langka, misalnya sisia, poruhita, telik sandi (sejenis informan). Sayang kata-kata sulit itu dibiarkan dikira-kira pembaca tanpa glosarium.

Mirna Yulistianti, editor GPU, memberi tahu, “Cok menulis seperti orang sedang ekstase” dan selesailah draft novel ini dalam waktu singkat. Memang Cok menulis mirip ibu yang mendongeng pada anak, hingga terasa novel ini kentara sekali menonjolkan sisi “mengisahkan” (tell) daripada “memperlihatkan” (show), tapi dia tampak hati-hati menafsir sejarah dan membaca rujukan. Berdasar tulisannya, Cok hendak mengembalikan ingatan publik bahwa hakikatnya sang janda ialah ibu kebajikan. Dengan cara seperti itu dia berusaha menempatkan dengan tegas tempat perempuan yang sudah sering disalahpahami itu dalam sejarah Jawa-Bali. Upaya cukup ambisius; dan mari kita tunggu apa di kemudian hari novela ini benar-benar berhasil memulihkan citra klise tentang seorang perempuan yang dalam banyak lakon dan cerita dihitamkan.[]