Friday, May 29, 2009


[HALAMAN GANJIL]

Kelabakan Menatap Esok Hari
--Anwar Holid

Mendengar selintas tentang kampanye dan jumlah kekayaan para calon presiden Indonesia beserta wakilnya malah membuat aku menoleh pada kondisi terakhir diri sendiri. Kepalaku sulit membayangkan kekayaan mereka seperti apa wujud aslinya, persis karena aku tak pernah menyaksikan kekayaan segigantik itu. Alangkah menyedihkan pengalaman kehidupan ekonomiku selama ini. Begitu hina.

Sudah beberapa hari ini aku kehabisan uang, bingung mau berutang pada siapa. Tabunganku sudah ludes kembali. Kemarin aku datang ke seorang teman dengan harapan bisa pinjam uang sekitar 500 ribu, ternyata dia dan kawan-kawannya juga tengah kesulitan menalangi seorang tua yang tengah sakit-sakitan dan butuh perawatan intensif. Kondisinya lebih gawat dari aku.

"Untuk periksa ke dokter sih, ada. Tapi buat obatnya masih belum ada," kata temanku. Orang tua itu konon mantan wakil rakyat Indonesia di masa lalu. Aku pernah beberapa kali ngobrol dengan orang tua itu. Jadi aku pun hanya bisa tersenyum menghadapi kondisi yang sama-sama sulit.

Beberapa minggu lalu aku dapat email dari seorang teman di kota budaya, dia kesulitan mendapat uang untuk melanjutkan kontrak rumahnya. Aku sengaja membiarkan email dia, karena tak bisa berbuat apa-apa. Tadinya aku berharap ada transfer masuk dari klien untuk sisa pembayaran kerja lama, tapi nggak datang juga. Aku sudah kontak orang bersangkutan, sms tidak dibalas.

Keadaan terdesak ini membuat kepalaku selalu menuju ke harta para calon presiden. Alangkah kaya mereka, jumlahnya fantastik. Sementara aku di sini kelabakan mencari utangan, untuk beli sayur dan lauk pauk, bayar ini-itu, ongkos sana-sini, sulit konsentrasi kerja, dan akhirnya hanya bisa kirim sms bernada getir ke seorang teman yang biasanya lebih jenaka: APA ARTINYA ORANG KALAU DIA GAGAL MENCARI UANG? Kasar.

**
Aku juga warga negara Indonesia, punya KTP, kemarin ikut pemilu, bayar retribusi dan pajak, bahkan kini sudah punya NPWP. Apa artinya itu semua, bila aku toh tetap merasa sendirian harus berjuang untuk mendapatkan nafkah bagiku sekeluarga, nggak ada tuh peran pemerintah dalam menjamin kesejahteraan sosialku. Aku jadi merasa sangat dilecehkan oleh uang dan politik dan pemerintahan dan segala sistem sosial yang mungkin nggak ada hubungannya dengan aku semua.

Kalau aku nanti mencontreng salah satu dari tiga pasangan itu, memang apa pengaruhnya? Kalau juga abstain, memang apa ada dampaknya? Kondisi ini membuat aku merasa absurd. Kekayaan keenam orang itu tak menetes sedikit pun kepada orang seperti aku, yang dari kejauhan dan sekilas-sekilas tertoleh oleh peristiwa politik. Mending aku bersiap-siap tegang nonton laga Manchester United versus Barcelona FC di Roma dalam duel final Liga Champions 2008/09. Lebih seru tentu saja.

Setelah mikir-mikir cari utangan, aku teringat target-target ekonomi yang belum tercapai. Aku sudah lama belum juga bisa bikin sertifikat untuk sepetak tanah di lahan sempit, belum bisa bikin asuransi pendidikan buat anak bungsu, belum sedikit pun menabung untuk bayar asuransi pendidikan si sulung tahun ini. Wah, sial, aku jadi kasar. Frustrasi mudah membuat aku hilang kendali.

Sering aku bertanya: bagaimana calon presiden dan wakilnya bisa sekaya itu? Apa yang telah mereka lakukan sampai bisa mengumpulkan kekayaan sebanyak itu? Bisnis apa yang mereka operasikan? Strategi macam apa yang mereka jalankan agar bisa sesukses itu? Apa mereka mempraktikkan ilmu Robert Kiyosaki? Menyewa Brian Tracy agar terus bersemangat kerja? Menyerahkan pengelolaan uang pada Warren Buffett? Menghabiskan buku-buku manajemen tingkat dunia? Punya tim hebat tiada tara? Kerja sama seperti apa yang mereka tanda tangani hingga nilai kekayaannya begitu luar biasa bagi rakyat jelata seperti aku ini? Atau malah mereka menggadaikan kekayaan negara dan mengutip imbalan dari sana?

Aku tertekan karena merasa terinjak untuk mengais sedikit saja. Gila. Aku optimistik, tapi terhadang. Di satu sisi ada orang punya kekayaan melimpah ruah sampai rasanya sulit dipercaya, di sisi lain ada orang iri hati karena merasa begitu sulit mendapatkan sejumlah porsi untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Hidup macam apa yang aku alami ini? Apa aku kurang kerja keras, kurang profesional, kurang smart, bodoh, sial, kurang melayani, kurang ambisius? Kalau per hari ini aku bandingkan dengan keadaan keuanganku yang rata dengan tanah, rasanya aku mau putus asa setiap kali mendengar kata capres, cawapres, kampanye, janji politik, pemilihan presiden. Apa hubungan semua itu dengan aku?


Aku mulai dihinggapi tanda-tanda frustrasi. Kesulitan untuk mendapat nafkah sedikit saja sampai memaksa aku mengeluh seakan sudah sekarat. Keterlaluan. Apa aku sudah terobsesi dan buta oleh kekayaan? Bagaimana bila faktanya aku memang kesulitan? Tiap hari uang dicetak dan diedarkan, tapi alangkah sulit aku dapatkan sisa-sisanya. Sementara di tempat tertentu, sejumlah angka disimpan, disiapkan untuk membayar iklan di media massa, tim sukses, alat kampanye, membentuk citra, minta dukungan, menjamin logistik, menggalang massa, menyiarkan propaganda, mengklaim pekerjaan, bahkan mungkin juga uang tutup mulut dan demi menutupi kebusukan.

Di saat aku sulit begini, politik dan pemerintahan seperti kehilangan relevansi dengan kehidupan sehari-hari. Setelah kemarin secara gratis memberi suara untuk wakil rakyat asing dari partai tertentu yang jelas tak punya komitmen apa pun dengan konstituennya, segera para peserta pemilu itu ribut soal kekuasaan dan koalisi. Mana pernah mereka kembali membicarakan janji-janji politik dan kesejahteraan, bagaimana mewujudkan semua itu. Rupanya mereka merasa baru bisa bekerja untuk rakyat dan negara bila punya kuasa.

Andai salah satu dari kandidat yang aku pilih itu gagal atau berhasil jadi presiden, apa akan mengubah keadaanku? Mungkin tidak. Jadi kenapa juga aku harus ikut merasa terlibat dengan gegap gempita kampanye? Aku bukan bagian dari tim sukses, bukan kerabat, bukan kenalan, tak terikat secara emosional dan personal dengan mereka. Aku hanyalah sasaran tembak, dibidik agar percaya pada salah satu kontestan, yang jangankan peduli pada kehidupan kesejahteraanku, bersimpati pada kondisiku saja tidak. Mending aku konsentrasi lagi menyelesaikan kerja-kerjaku yang tercecer. Menata diri lebih baik.

Tapi ini juga sukar, karena pikiranku melayang-layang memikirkan harta benda orang, yang suka atau tidak, akan jadi presiden di negara tempat aku tinggal, selama lima tahun ke depan. Wajarkah bila aku malah berprasangka berapa kekayaan yang akan mereka dulang selama memerintah, sementara aku juga harus bekerja sendiri memenuhi kebutuhan hidup sekeluarga? Punya presiden atau tidak, hidupku toh begini saja. Semua tergantung dari usaha dan jerih payahku sendiri.

Dengan kekayaan sebesar itu, sudikah mereka juga benar-benar berkorban bagi warga negara, apalagi yang memilih serta menyerahkan kepercayaan dan harapannya? Menyisihkan sebagian buat menambal jalan berlubang, memperbaiki got di RW-ku yang selalu jebol kala hujan deras, maukah mereka? Ikut menyelesaikan utang warga, menolong orang yang kehilangan mata pencaharian, atau daya tawarnya rendah. "Kamu harus bisa membedakan mana uang pribadi dan anggaran dari negara," demikian kira-kira jawaban sopan mereka.

Ha ha... ilusi demokrasi. Aku berharap pemerintah ikut menyelesaikan masalah warga negara sebagai pribadi; padahal mereka juga sibuk dengan urusan masing-masing. Urusan yang lebih besar, katanya. Yaitu urusan negara, urusan sosial, utang luar negeri. Bedanya, sementara mereka tetap bisa mengambil sebagian untuk uang saku sendiri, aku di sini kelabakan menatap esok hari.[]2:34 PM 5/26/2009
Anwar Holid, bekerja sebagai editor, penulis, & publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: 2037348, 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141


Menanti Langkah Baru
---Anwar Holid


SAMPAI akhir 2008 ini perkembangan perbukuan Indonesia masih menarik. Kita makin kerap mendengar ada buku laris lebih dari ratusan ribu kopi, berbagai informasi buku, efek Kick Andy, peluncuran dan tanda tangan, talkshow, festival, pameran dan pasar buku, sayembara, juga penghargaan sastra. Belum lagi ada penerbit e-book & buku digital, termasuk publisitas dan gaya hidup perbukuan di berbagai situs. Dengan perkembangan seperti itu, kita boleh tetap optimistik terhadap dunia perbukuan.

Ada juga yang patut terus disemangati. Matabaca memasuki tahun ke-6, tetap bertahan, dan baru-baru ini menyebar polling untuk meningkatkan layanan. Dalam konteks Indonesia, Matabaca mengagumkan dan patut didukung lebih banyak lagi pegiat baik dari industri perbukuan, percetakan, dan media massa. Beberapa penerbit memiliki media internal yang digarap serius. GPU memiliki Bibliophile, Kelompok Agromedia menerbitkan Bukuné, Erlangga dengan Editor's Choice. Rentang isi media ini beragam, mulai dari iklan buku baru, isu terkait subjek sebuah buku, konsultasi, hingga memadukannya dengan pilihan dan gaya hidup. Persamaannya, produk yang dipromosikan mayoritas eksklusif merupakan produk penerbit tersebut. Kondisi ini mencerminkan betapa publikasi media perbukuan Indonesia belum terwadahi media tertentu yang bisa menampung semua secara seimbang.

Kondisi itu ingin diperbaiki antara lain oleh Matabaca, yang terbukti berusaha ada di lintas penerbit dan menjadikan buku sebagai sumber informasi. Lepas upaya itu belum maksimal, tampak kesulitan menggaet iklan dari industri perbukuan dan yang terkait secara lebih luas---misalnya percetakan, distribusi, biro iklan, jasa penyuntingan, alat tulis kantor (stationery) dan seterusnya---toh hingga kini cukup mampu mengangkat isu-isu yang senantiasa bisa membuat peminat buku menoleh dan berkomentar. Mungkin kelemahan paling kentara ialah justru kurangnya layanan kepada penerbit, misal terbatasnya jumlah resensi, tiadanya gambaran pasar yang cukup jelas, juga menangkap trend yang terjadi pada para bookaholic.

Sekilas melihat Publishers Weekly (PW) dan Writer's Digest (WD)---yang fokus pada industri penerbitan dan kepenulisan---kita lihat bahwa selain iklan buku, media ini memuat iklan lowongan kerja di dunia penerbitan, sayembara penulisan, agenda pertemuan dan festival sastra, workshop menulis, distributor (pemborong buku), teknologi percetakan, literary agent, print-on-demand, self publishing, sampai software dan aksesoris menulis. Sebuah keterkaitan yang tampak sukar dikejar oleh media perbukuan Indonesia. Perbukuan kita belum mampu menarik stakeholder berbondong-bondong mendukung media yang mengkhususkan diri di ranah tersebut. Ini menguatkan prasangka ternyata media perbukuan kita belum didukung oleh industrinya.

PW merupakan standar ideal media perbukuan, pada dasarnya juga bukan media bersirkulasi besar. Sampai 2008---136 tahun sejak debutnya---sirkulasi PW kira-kira 25.000 kopi. Pelanggan terbesarnya ialah penerbit (6000), perpustakaan (5500), toko buku (3800), penulis dan pengarang (1600), perpustakaan universitas & sekolah tinggi (1500), media cetak, film, dan umum (950), dan literary agent & agen rights (750). Rubrik andalannya ialah resensi buku, yang bisa mencapai 40 halaman tiap edisi, menghasilkan resensi lebih dari 7000 judul baru per tahun. "Starred Review" PW kerap jadi jaminan bahwa buku tersebut berkualitas, hingga kerap dikutip menjadi blurb maupun endorsement.

Jelas PW memilih lebih melayani dinamika industri, yang dikomandoi penerbit. Ia hendak menyetir selera pembaca. Sebaliknya, media perbukuan kita cenderung melayani dan menyajikan keinginan pembaca umum, namun tampak sulit menyemangati kalangan industri dan pelaku bisnis, akibatnya mereka malas berlangganan maupun berinvestasi, baik lewat iklan maupun promosi.

MEDIA perbukuan yang patut diperhatikan muncul di Internet. Media ini dibangun secara personal maupun kolektif; sebagian masih buruk, namun sebagian lagi sudah baik, di-update teratur, berisi artikel, esai, dan topik menarik sesuai niat pendiriannya. Jumlahnya cukup mencengangkan, sebab cukup mudah ditemukan, terutama karena keterkaitan antarmereka terbina dengan baik. Setiap situs dan blog selalu mencantumkan rekomendasi link luar. Sambung-menyambung seakan tiada henti. Yang paling menonjol dari sini ialah dedikasi para pendirinya yang nyaris tanpa pamrih, semata-mata demi kepuasan batin, memenuhi idealisme, menyebarkan pemikiran, dan memanjakan selera.

Di Internet ini kita menyaksikan book blogger, terdiri dari mereka yang tanpa pamrih mencintai buku, menikmati dan membicarakan dengan semangat, nyaris tanpa pretensi apa pun selain mengedepankan kesenangan dan selera, alih-alih mengkritik secara sok ilmiah. Sejumlah penerbit telah menangkap peran mereka dan memberi akses agar bisa lebih banyak lagi membaca, mengomentari, membicarakan, dan lantas menyebarkan dan merekomendasikan buku kepada kawan lain. Mereka lebih terpikat internet yang interaktif, cepat, spontan, dan langsung, dibandingkan media cetak yang cenderung lambat, serius, dan kurang interaktif.

Namun tulisan mereka kerap merupakan spoiler, hanya bercerita ulang, bahkan salinan sinopsis, alih-alih merupakan pendapat (komentar) yang jernih dan mampu memberi letupan penasaran pada khalayak. Kelemahan lain dari media ini ialah rendahnya standar kepenulisan, abai terhadap EYD dan kesepakatan umum. Lepas dari itu, media ini pantas diperhatian karena zaman memang mendukung, dipenuhi fasilitas berlimpah. Sebagian penulis malas menulis di media cetak yang ribet dan banyak aturan, sementara di Internet mereka bisa bebas menulis, ekspresif, tanpa halangan, langsung, pada teman-teman dekat. Ini sulit tergantikan.

Kelemahan ini lambat ditutup oleh ide yang mampu mengikat pembaca di setiap edisi baru. "Ide berbuku" kurang tumbuh di media perbukuan, sementara Internet dan semua turunannya berhasil terus-menerus menyambungkan pembaca satu ke pihak lain secara simultan dan nyaris tanpa henti. Ide berbuku apa yang kira-kira kurang tergali media perbukuan? Misalnya mengangkat tema "Buku Tahun Ini", "Penulis Paling Berpengaruh," "Cara Canggih Menulis" (bisa membahas gadget, software menulis, blog, dan sejenisnya), "Penulis Berbakat Tahun Ini", "Penerbit Paling Inovatif", "Penulis Legendaris Indonesia," "Buku Abadi Sastra Kita," atau menerawang masa depan perbukuan. Ketika Haidar Bagir, pendiri Mizan, terpilih sebagai "Top Ten The Best CEO 2008" versi SWA---peristiwa itu luput dari perhatian media perbukuan. Padahal itu bisa dijadikan topik cara mengelola penerbitan yang sukses dan memberi kontribusi pada bangsa. Tampak bahwa ide masih berkutat dengan ide berbuku yang masih menggunakan kertas.

KITA tahu Internet telah menyita waktu, ruang, dan energi yang semakin besar dalam kehidupan manusia. Tapi juga sadar Internet makin mengganggu, memecah konsentrasi, menghalangi orang dari upaya meditasi dan pemikiran mendalam. Beberapa media perbukuan semata-mata terbit online, meski produk turunannya berupa cetakan. Media buku konvensional harus melakukan reposisi dan reorientasi. Bila sukses, media bakal bisa bertahan sepuluh tahun ke depan, mengikuti jejak PW, Kirkus Review, dan WD.

Media perbukuan harus mendekatkan diri pada dinamika industri, yang berdampak besar pada perubahan pasar maupun pendekatan bisnis, bukan mendekati para selebriti untuk dikaitkan dengan buku. Mungkin menarik menimbang jalan yang ditempuh PW dan Kirkus Review: mereka jauh lebih banyak mengulas buku yang akan terbit beberapa minggu sebelumnya. Itulah yang akan jadi panduan bagi penerbit, toko buku, pemborong, termasuk perpustakaan. Beranikah Matabaca bereksperimen dengan hal itu? Mari kita tunggu langkah Matabaca selanjutnya.[]

Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis freelance. Blogger di http://halamanganjil.blogspot.com.

NOTE: Matabaca memuat esai ini pada edisi pamungkas mereka, yaitu pada Desember 2008.

Monday, May 25, 2009



Melawan PKI adalah bagian penting dari kreativitas
---Abdul Hadi W.M.


Akhir bulan September 1965, ketika baru sehari saya berada di Madura, pemberontakan PKI pun meletus. Cepat-cepat saya kembali ke Yogya, ingin melihat situasi lebih dekat. Lagi pula, melawan PKI adalah bagian penting dari kreativitas. Mengapa? Sejak dibantainya seniman-seniman kreatif, saya sudah muak pada PKI dengan Lekra-nya. Mereka ingin memaksakan ideologinya, juga di dalam kesusastraan, dan berusaha membunuh haluan-haluan lain dalam kesusastraan di luar realisme sosial dan romantisisme revolusioner mereka.

Saya sesalkan misalnya, pengarang-pengarang yang semula baik, kini justru menjadi algojo-algojo yang kesetanan setelah menjadi tokoh-tokoh teras Lekra atau dekat dengan Lekra, seperti Pramoedya Ananta Toer, Bakri Siregar, dan Sitor Situmorang. Mereka berpikir bahwa kebebasan mereka harus berarti hancurnya kebebasan pengarang lain di luar kelompok mereka. Dan tentang ini, terus terang saya akan melawannya terus, apalagi mereka tak pernah secara terbuka mengakui kesalahan mereka.

Betapa sedihnya misalnya, ketika Manifes Kebudayaan dilarang dan para pendukungnya diburu-buru tanpa belas kasihan. Begitu juga ketika mereka berdiri tanpa reserve di belakang pelarangan buku sastra secara besar-besaran setelah Manifes Kebudayaan dilarang. Demikian pula ketika Chairil Anwar dinyatakan penyair terlarang di Fakultas Sastra tempat saya kuliah, hanya beberapa waktu setelah Bakri Siregar mempropagandakan sastra revolusionernya, seraya mengganyang H.B. Jassin, Bur Rasuanto, dan lain-lain.

Dikutip dari Abdul Hadi W.M.: "Catatan-catatan Seorang Penyair", dalam Proses Kreatif II (Pamusuk Eneste, ed., Gramedia, 1984), hal. 185-186.

Bisakah kita mengeja f-r-u-s-t-r-a-s-i dengan baik?
[HALAMAN GANJIL]

Salah Eja atau Salah Pikir?
---Anwar Holid


Coba ucapkan "frustrasi" dengan lantang. Dengar baik-baik. Apa ia terdengar sebagai "frustasi"? Kalau ragu, mintalah beberapa teman Anda mengucapkannya dengan keras. Mana yang lebih sering mereka ucapkan: "frustasi" atau "frustrasi"?

Saya cek di Google, ternyata orang jauh lebih banyak menulis "frustasi" daripada "frustrasi." Kurang-lebih setengahnya. Betapa massal kebiasaan salah eja itu. Saya mengecek di arsip-arsip milis, ternyata para membernya pun, sekalipun banyak di antara mereka ialah penulis profesional dan wartawan, melakukan kesalahan serupa. Barangkali saya pun pernah melakukannya.

Baru-baru ini saya baca Our Iceberg is Melting (Elex Media Komputindo, 2007), karya John Kotter dan Holger Rathgeber. Di buku itu saya menemukan kira-kira enam kali kata frustrasi; sekali dieja sebagai f-r-u-s-t-r-a-s-i, sisanya dieja sebagai f-r-u-s-t-a-s-i. Hal serupa saya jumpai di 50 Self-Help Classics (Tom Butler-Bowdon) terbitan BIP.

Pada tahun 2007 lalu Ufuk Press menerbitkan novel karya Mark Robert Bowden, berjudul Joey, Si Frustasi yang Beruntung. Saya memberi tahu, bahwa ejaan yang benar itu ialah "frustrasi." Di dunia musik, band Tipe-X dan Ebiet G. Ade sama-sama menciptakan lagu berjudul "Frustasi." Di Bandung, ada sebuah band bernama The Frustaters. Saya yakin mereka pasti gagal bila diminta mengucapkan "frustrasi."

Salah eja seperti itu betul-betul bikin saya frustrasi. Melakukan kesalahan umum ternyata begitu mudah. Alangkah sulit menulis sesuatu sebagaimana mestinya. Apa kata itu terlalu sulit untuk kita eja? Kalau mengeja frustrasi saja susah, bagaimana lagi bila kita harus menulis: Csikszentmihalyi atau Nietzsche misalnya? Nama akhir saya yang sangat biasa saja kerap salah ditulis sebagai Cholid atau Kholid.

Apa yang kira-kira terjadi pada kita? Apa tangan dan lidah kita secara fisiologi, gen, serta budaya selalu selip dalam mengeja dan menyerap kata frustrasi atau justru pikiran kita yang menganggap bahwa yang benar ialah frustasi?[]

ANWAR HOLID, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Blogger di http://halamanganjil.blogspot.com. Bekerja sebagai editor dan penulis.

KONTAK: wartax@yahoo.com (022) 2037348 Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Saturday, May 16, 2009



[BUKU INCARAN]

Berubah atau Mati
--Oleh Anwar Holid

Our Iceberg is Melting, Perubahan dan Kesuksesan dalam Berbagai Kondisi
Penulis: John Kotter dan Holger Rathgeber
Penerjemah: Maria Rini
Penerbit: Elex Media Komputindo, 2007
Halaman: xv + 165
ISBN: 978-979-27-1763-1


Our Iceberg is Melting (John Kotter dan Holger Rathgeber, 2007) merupakan buku menarik berisi fabel modern tentang koloni penguin di Antartika dalam mengambil keputusan saat menghadapi krisis karena ancaman perubahan yang terjadi pada gunung es (iceberg) tempat mereka tinggal.

Fred, penguin dengan rasa ingin tahu dan penuh selidik, suatu hari menemukan bukti bahwa gunung es tempat tinggal koloni selama bertahun-tahun ini ternyata berpotensi hancur. Di bagian bawah dan dalam gunung es itu muncul retakan dan tanda-tanda pencairan berupa kanal dan lubang membentuk gua bermuatan air. Karena tahun-tahun ini suhu terus bertambah rendah, air di dalam gua itu juga akan membeku. Karena zat cair yang membeku akan memuai secara dramatis, gunung es itu pun bisa pecah berkeping-keping.

Fred hanya penguin biasa. Dia bukan anggota pemimpin koloni, bukan kerabat mereka, bahkan lebih sering terlihat sendirian untuk mengamati lingkungan sekitar daripada berkerumun sebagaimana kebiasaan umum penguin. Beruntung salah satu anggota pemimpin koloni bernama Alice mudah ditemui. Awalnya Alice pun ragu dengan keterangan Fred, tapi setelah membuktikan temuan Fred, Alice segera mengajak Fred membicarakan masalah dan masa depan mereka bersama pemimpin koloni, Louis.

Louis tipe pemimpin pada umumnya. Dia berpengalaman, pintar, bijaksana, sabar, cukup tegas, sedikit menjaga jarak, agak konservatif, dan jika perlu menggunakan otoritas untuk mengatur anggota koloni. Meski begitu dia jelas tidak bisa segala-galanya. Hanya penguin senior tertentu sesama anggota pemimpin koloni yang kurang menghormatinya, di antaranya ialah NoNo. Begitu tahu yang terjadi, Louis segera bertindak. Dia mengumpulkan penguin terpilih untuk mengatasi masalah dan perubahan besar dalam koloni tersebut. Selain mereka bertiga, bergabung juga Buddy dan Profesor. Keenam penguin ini masing-masing mewakili karakter tertentu.

Setelah memperhatikan masalah genting itu, keputusannya ialah mereka harus pindah ke gunung es baru yang aman. Tapi persoalannya ternyata cukup rumit bagi koloni. Penguin bukanlah jenis burung pengembara, sementara sebagian mereka---terutama penguin yang bertugas di bagian ramalan cuaca dan lingkungan---menganggap masalah itu dibuat-buat dan tampaknya mustahil gunung es besar yang selama ini mereka tempati bakal ambrol.

Awalnya sebagian besar anggota koloni panik mendengar bahwa bencana besar sedang mengancam mereka, sementara waktu untuk bertindak sudah sangat mendesak. Tapi setelah komite koloni berhasil menciptakan visi tentang masa depan koloni mereka, lantas membentuk Tim Pengintai yang bertugas mengawali pencarian gunung es baru, barulah koloni bisa merasa senasib. Louis meyakinkan agar koloni jangan terikat pada tempat tinggal. Dia menyatakan mereka bisa menemukan gunung es lain sebagai tempat tinggal untuk hidup lebih aman. Persiapan pindah harus dimulai.

Komite mendukung visi itu dengan komunikasi dan informasi secara terus-menerus, terarah, sampai mayoritas anggota koloni terpengaruh dan menerima yang harus mereka lakukan. Bahu-membahu itu melahirkan kondisi luar biasa bagi mereka, sekaligus pembelajaran bagi seluruh anggota koloni. Bahkan penguin kanak-kanak pun bisa berperan langsung dengan mengadakan acara amal bagi anggota Tim Pengintai dan mampu membangkitkan moral secara signifikan.

Fabel ini memaparkan betapa perubahan niscaya terjadi di dalam kehidupan, pada situasi apa pun. Boleh jadi awalnya perubahan hanya diketahui atau dirasakan oleh anggota biasa yang tidak populer. Perubahan itu melahirkan krisis, memaksa adanya pengambilan keputusan, butuh tim untuk menjalankannya, dan perlu strategi yang bisa diandalkan. Mula-mula orang butuh keyakinan ia akan berhasil, setelah itu memerlukan kemenangan nyata. Juga mengejutkan betapa ada kala alternatif jalan ke luar bisa berasal dari pihak lain. Pada kasus koloni penguin, mereka mendapat ide mengembara setelah bertemu dengan burung camar laut.

Reaksi orang terhadap perubahan lain-lain; ada yang menolak, melawan, menghadapinya dengan aksi gagah berani, menghancurkan penghalang-penghalang yang awalnya mustahil dihancurkan, juga perlahan-lahan menemukan taktik cerdik untuk menghadapinya.

Our Iceberg is Melting merupakan buku ketiga John Kotter yang fokus membicarakan perubahan dalam suatu organisasi, dalam hal ini organisasi massa. Dua buku terdahulunya ialah Leading Change dan The Heart of Change. Dia mengajukan proses Delapan Langkah Perubahan yang terdiri dari empat bagian. Dua proses pertama ialah mengatur tingkatan perubahan, lantas memutuskan apa yang akan dilakukan, empat proses intinya ialah mewujudkan perubahan menjadi kenyataan, terakhir menciptakan budaya baru sampai cukup kuat untuk menggantikan tradisi lama.

Kotter dan Rathgeber mendongeng dengan cara sederhana disertai plot menarik. Buku ini mudah sekali dicerna, namun tetap mampu memperlihatkan ketegangan cerita betapa NoNo dengan bandel terus melakukan intrik penolakan terhadap perubahan. Membacanya mirip membuka Chicken Soup for The Soul. Tapi kelebihannya, Kotter dan Rathgeber menyediakan halaman untuk tindakan konkret dalam menghadapi perubahan, termasuk bernegosiasi menghadapi krisis. Memang buku ini dibuat berdasar riset perilaku individu dan organisasi terhadap perubahan.

Yang sedikit menggelikan, kira-kira enam kali kata "frustrasi" muncul di buku ini. Sekali dieja tepat sebagai f-r-u-s-t-r-a-s-i, sisanya salah semua, dieja sebagai f-r-u-s-t-a-s-i. Lagian, buku ini juga tidak mencantumkan editor, seolah-olah mau sengaja menghindari tanggung jawab atas keteledoran tersebut. Ternyata sulit juga mengubah kebiasaan agar disiplin menulis ejaan sebagaimana seharusnya.[]

Anwar Holid, bekerja sebagai editor, penulis, & publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

Situs terkait:
http://www.elexmedia.co.id

Tag: Dongeng sederhana tentang cara melakukan sesuatu dengan baik di dunia yang terus berubah. (Dari blurb.)

Friday, May 08, 2009

NOTE: Versi lain esai ini dipublikasi Pikiran Rakyat, suplemen Khazanah, Minggu, 3 Mei 2009.

Badabadu dan Martin Amis
--Anwar Holid


WAKTU pertama kali bertemu dan kenalan di Omuniuum---sebuah toko buku dan hobi mungil di depan SMU Aloysius Bandung yang rindang---aku merasa baik-baik saja waktu dia menyebut namanya, 'Badabadu.' Jelas itu panggilan, sangkaku. Orangtua mana mau kasih nama anak dengan nada badut seperti itu?

Aku juga malas mengecek nama dia sebenarnya. Buat apa, tanyaku sendiri; toh mungkin suatu saat tahu sendiri, kalau perkenalan kami berlanjut dan tambah akrab. Lagi pula, di zaman identitas kabur sekarang ini, apa bedanya nama asli dan palsu, kalau kedua-keduanya lain dan nyata? Waktu itu adalah perkenalan biasa sesama pembaca buku. Basa-basi klise. Yang klise biasanya dikuasai semua orang. Pada saatnya berguna.

- Kamu suka baca apa?
- Fiksi, biografi, autobiografi, buku-buku film.
- Siapa penulis favorit kamu?
- Martin Amis.
- Martin Amis? Aku nggak punya teman lain yang suka dia. Kenapa suka dia?
- Wah, sulit dijelaskan. Tapi karya-karya dia asyik loh.
- Paling-paling aku kenal satu orang malah suka ayahnya.
- Ya, ayahnya memang penulis yang terkemuka juga.
- Apa Martin terpengaruh juga sama ayahnya?
- Dalam lingkup keluarga tentu saja. Artinya, dia lahir dari keluarga penulis; seperti beberapa penulis lain, misalnya Virginia Woolf. Tapi tidak dalam karya. Katanya, dia justru sangat terinspirasi oleh Vladimir Nabokov, Saul Bellow, atau Philip Roth.
- Kamu benar-benar suka Martin ya?
- Aku punya semua buku dia, kecuali beberapa, apalagi yang sulit dicari di sini atau karena terlalu mahal.
- Dapat dari mana saja buku-buku itu?
- Banyak. Kebanyakan dari sini juga. (Omuniuum, maksud dia.) Ada yang dapat dari loak, hadiah teman, beli baru. Macam-macam.
- Apa yang paling kamu suka?
- Susah ya... Tapi yang paling asyik kayaknya Night Train dan Visiting Mrs. Nabokov.
- Kenapa?
- Itu karya dia yang paling mudah.
Kami ngakak mendengar alasan itu. Tapi menyenangkan memang mengaku seperti itu. Kalau memang tak mengerti, kenapa juga mengaku-aku paham? Dengan begitu kita terhindar dari menanggung beban sia-sia.
- Apa buku Martin Amis menarik semua?
- Nggak juga. Ada yang isinya kabur atau bikin bingung. Misalnya Koba the Dread.

SAMPAI waktu itu aku belum pernah baca Martin Amis. Aku hanya tahu dia anak Kingsley Amis, penulis Lucky Jim (1954) yang legendaris di Inggris. Sedikit reputasi Martin aku baca dari beberapa informasi kecil, terutama indeks penulis kontemporer. Dia dijuluki "Mick Jagger of Fiction." Apa ini terkait reputasinya terhadap perempuan? Martin juga kontroversial. Sejumlah orang menuduh dia arogan dan punya dendam pada wanita. Orang Islam menuduh dia mengidap Islamofobia. Di Time 2007 edisi "The Most Influential People in the World", Martin Amis menulis tentang Osama bin Laden.

Karena itulah segera aku ingin pinjam buku Martin Amis, sekadar ingin tahu seperti apa karyanya. Badabadu meminjami Night Train; tapi aku kurang terkesan dengan novel itu. Menurutku seperti novel detektif, dengan protagonis polisi wanita. Saking detail, dia memberi tahu novel itu memuat kata "Indonesia" dalam konotasi miring: I guess you can't blame a guy for loving his job, or for being Indonesian, but I have to say that that little slope gives me the creeps. "Aku kira kamu mustahil menyalahkan orang karena mencintai pekerjaannya, atau karena dia orang Indonesia, tapi harus kukatakan justru hal itu yang mengerikan buatku."

Setelah itu aku pinjam Visiting Mrs. Nabokov. Ini buku esai yang menarik, berisi komentar Martin tentang sejumlah selebritas yang pernah dia liput atau sempat bersinggungan dengannya, antara lain Madonna, Ny. Nabokov, Mick Jagger, dan Julian Barnes--kawan sesama penulis, tapi persahabatan mereka sekarang berakhir pahit gara-gara perempuan. Di buku ini juga dia berkomentar sinis terhadap Frankfurt Book Fair, meski semua pencinta buku memuja-muja acara itu.

Kemudian bawa Experience, autobiografinya. Buku itu hanya aku baca bagian awalnya, tapi aku perhatikan betul foto-fotonya. Salah satu yang mencolok: covernya menampilkan ia sedang merokok, padahal masih ABG. Tatapannya tajam. Ngejago sekali. Dengan lagak seperti itu kebengalannya jelas tampak.

Baru setelah pinjam The War Against Cliché: Essays and Reviews, 1971-2000, aku merasakan daya kekuatan Martin Amis: dia blak-blakan, terutama bila sedang sinis. Buku itu membuatku tambah tertarik pada Martin, apalagi Badabadu memberi aku masukan cerpen Martin yang amat saru (aku tegaskan: bukan "seru"), berjudul "Let Me Count the Times". Dari sinilah aku mulai bisa enak menikmati tulisannya.

The War Against Cliché berisi resensi yang pernah ia tulis kala masih bekerja menjadi kritik buku untuk The Times Literary Supplement. Buku itu tebal, membuktikan alangkah panjang kerja dia sebagai peresensi dan kritikus. Cara dia mengkritik apik dan tegas. Salah satunya, karena kurang suka pada novel pop macam The Silence of the Lambs (Thomas Harris), dia hajar novel sejenis itu. Subjek buku Martin Amis memang sangat kena: menulis itu perang melawan klise, perang terhadap basa-basi.

Tapi menghindari klise itu sulit sekali, begitu juga perang melawan yang sia-sia. Berat sekali. Cobalah melawan kebiasaan buruk sendiri. Termasuk ketika berkenalan. Bisa menciptakan perkenalan yang nonklise?

AKU selalu takjub dengan anak-anak muda, apalagi yang wawasan, bacaan, maupun kemampuannya kaya. Bagaimana mereka mencapai itu semua? Selalu begitu pikirku. Tapi rupanya aku luput satu hal: percepatan membuat anak muda ini jauh lebih canggih dari generasi terdahulu. Ada kalanya budaya dalam keluarga atau pencapaian sendiri membuat mereka istimewa. Aku sudah pernah kenalan dengan beberapa anak muda dengan bacaan canggih, up-to-date, sementara sering aku merasa terkurung harus menyelesaikan kewajiban tertentu yang kadang-kadang membuatku aus.

Badabadu sejenis anak muda seperti itu. Dia banyak baca, banyak tahu, banyak dengar, hingga kalau bertemu dengannya, aku seakan-akan segera bakal penuh dengan berbagai informasi yang dia tukarkan.

Badabadu adalah penggemar Martin Amis no. 1 di Indonesia. Bisa jadi satu-satunya.

Setahuku, tak ada orang Indonesia lain yang pernah menyebut Martin Amis, menuliskan, mengenalkan dia pada publik sastra, atau bilang suka karyanya, termasuk penggemar fiksi kontemporer sekalipun. Kalau kita bicara fiksi kontemporer, nama yang paling muncul misalnya Salman Rushdie, Ian McEwan, atau Haruki Murakami. Penulis kontemporer favoritku ialah Raymond Carver--dia pun sudah meninggal. Martin Amis? Terdengar seperti merk minuman keras. Saking takzim, Badabadu suka menyebut Martin Amis dengan, "Tuan Martin Amis yang terhormat."

Setelah pertemuan itu, ditambah interaksi lain, aku merasa cukup akrab dengan Badabadu. Tapi karena sama-sama punya problema, kami hanya bisa sesekali bertemu, itu pun dengan siasat agak sulit. Aku dengan problema sebagai lelaki berumah tangga, dia dengan sejumlah kompleks personalnya.

Salah satu yang aku syukuri dari pertemanan itu ialah aku bisa berhubungan dengan generasi lebih muda. Itu membuatku merasa terkait dengan masa kini dan bisa ikut perkembangan zaman. Misal dalam hal selera. Generasiku terkait dengan grunge/alternatif; generasi dia dengan Britpop.

LAMA kemudian, Omuniuum sudah pindah ke ruko di depan Universitas Parahyangan (Unpar), Ciumbuleuit. Sementara Badabadu pun rutin "menyampah" ke Timbuktu, kerja di dunia film, jadi scriptwriter untuk sebuah variety show televisi yang sempat bikin heboh negeri itu. Kami terpaksa berhubungan via email.

Pertemanan dengan Badabadu menautkan aku pada blog dia yang kini sudah inaktif, http://budibadabadu.blogspot.com. Subjek tulisan di blog itu kadang-kadang aneh, pendek-pendek, tapi juga ada yang tertib-normal, dengan cara bercerita dan sudut pandang kuat. Dia bahkan menghadiahi aku Night Train. Waktu aku tanya kenapa dia memberi buku itu, dia jawab, "Untuk mengenalkan Tuan Martin Amis, aku mau berbuat apa saja."

Siapa tahu, setelah tulisan ini, Anda jadi orang Indonesia ketiga yang tertarik pada Martin Amis. Minimal mengendus baunya.[]

Anwar Holid, bekerja sebagai editor, penulis, & publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com Tel.: 2037348, 085721511193 Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Situs terkait:
http://www.pikiran-rakyat.com
http://itbo.multiply.com/ (blog Omuniuum)

[WORLD BOOK DAY 2009]
Merayakan Keragaman di Hari Buku Dunia
---Anwar Holid


BANDUNG - Saya merayakan Hari Buku Dunia (World Book Day) 2009 dengan datang ke perpustakaan Balepustaka, Bandung. Di sana saya mengembalikan buku, cari-cari buku lain yang mau dipinjam, baca koran, menyapa teman-teman, dan lihat-lihat bazar buku bertema agama dan pluralisme di lantai tiga.

Saya sejak awal naksir berat The Story of Philosophy (Bryan Magee) terbitan Kanisius yang dipajang di bazar. Tapi entah kapan saya bisa beli buku seharga tiga ratus ribu lebih itu. Apalagi keuangan saya sekarang lagi kacau. Saya sudah lihat dan baca-baca edisi Inggris buku itu sekitar dua tahun lalu, pinjam dari teman yang bawa dari Belanda, dan takjub bahwa Kanisius menerbitkan edisi Indonesianya. Dulu, Mizan menerbitkan karya Bryan Magee lain, yaitu Memoar Seorang Filosof yang amat tebal dan entah apa buku itu mendapat perhatian pantas dari pembaca Indonesia.

The Story of Philosophy merupakan edisi luks pengantar menuju alam filsafat. Magee tetap menempuh kekhasan dunia filsafat yang harus diakui memang relatif serius dan lebih menguras pikiran, tetapi dia pandai membuat pembaca senang dan nyaman. Caranya ialah mendesain buku itu secara elegan, membubuhi banyak gambar yang relevan dengan setiap subjek pembahasan, ditambah boks-boks khusus untuk berbagai topik, kutipan yang kuat, dan menyodorkan hal-hal trivial yang informatif. Walhasil, pengantar ini tidak jatuh menjadi komik dan tetap memperlihatkan wajah asli tradisi filsafat, sementara ilustrasinya betul-betul pilihan.

Ada banyak buku pengantar filsafat, baik yang serius-akademik, disajikan secara komik (diterbitkan juga oleh Kanisius dan Erlangga), atau disamarkan dalam fiksi seperti Dunia Sophie (Jostein Gaarder.) Saya mengidam: alangkah senang bila punya The Story of Philosophy. Untuk sementara saya sudah senang dengan melihat-lihat lagi setiap kali ke Balepustaka, karena edisi Indonesia buku itu disimpan di ruang referensi yang hanya bisa dibaca di tempat.

Balepustaka mengusung tema PUSPAWARNA PUSTAKA--Keberagaman untuk Semua selama merayakan WORLD BOOK DAY BANDUNG 2009. Bekerja sama dengan Dipan Senja, mulai Maret-April lalu mereka menyelenggarakan Workshop Buku ‘5 in One’: Basic Writing, yang membahas berbagai aspek dasar penulisan fiksi dan nonfiksi dengan pemateri Adenita, Anjar, Anwar Holid, Evi Sri Rezeki, Hermawan Aksan, Kurniasih, Leo, dan Meldi Rendra. Puncak acara hari ini diisi dengan talkshow tentang film dan toleransi agama, ditambah pemutaran enam film bertema sama.

Perpustakaan Balepustaka berlokasi di Lt. 2 Gedung Pastoral Keuskupan Bandung, Jalan Jawa No.6. Gedung ini ada di kompleks Gereja Katedral. Perpustakaan ini terbuka untuk umum, menyediakan banyak buku dan majalah, termasuk film, musik, dan layanan Internet. Fasilitas di gedung ini juga memadai. Balepustaka bisa memenuhi kebutuhan orang akan bacaan umum yang beredar sekarang. Mereka langganan banyak majalah dan koran umum, misalnya Bobo, Femina, Basis, dan Pikiran Rakyat. Bagi saya, Balepustaka merupakan alternatif terbaik setelah Rumah Buku. Dari Balepustaka saya pinjam banyak buku manajemen, self help, agama, psikologi, dan yang tak disediakan Rumah Buku.[]

Anwar Holid, bekerja sebagai editor, penulis, & publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

Di posting lain, artikel ini berjudul "Ngidam The Story of Philosophy di Hari Buku Dunia."

KONTAK TERKAIT:
Perpustakaan Balepustaka
Lt. 2 Gedung Pastoral Keuskupan Bandung
Jalan Jawa No.6 Bandung

Telp: 022-4207232

Dipan Senja
Jalan Bojong Kaler 37 B
022 - 70990497
http://lawangbuku.multiply.com

Thursday, May 07, 2009


Pay It Forward
Aku nonton film ini dan terkesan sekali oleh moral kebaikan di dalamnya. Tontonlah. Aku merekomendasikannya. Haley Joel Osment bermain cemerlang.

Sunday, May 03, 2009



[SPAMBOT]

AKU MAU BELI WAKTU AYAH
--Anonim


Rudi ialah kepala cabang sebuah perusahaan di Bandung. Seperti biasa, ia tiba di rumah pada pukul sembilan malam. Namun tidak seperti biasa, hari itu justru Leo yang membukakan pintu dengan semangat. Putra pertamanya itu kini duduk di kelas tiga SD. Ia tampak sudah menunggu cukup lama.

"Kok belum tidur?" sapa Rudi sambil mencium anaknya.

Biasanya, Leo memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari. Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga, Leo menjawab, "Aku nunggu ayah pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji ayah?"
"Lho, tumben, kok nanya gaji ayah? Mau minta uang lagi, ya?"
"Ah, enggak. Pengen tahu aja."
"Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari ayah bekerja sekitar sepuluh jam dan dibayar empat ratus ribu. Setiap bulan rata-rata dihitung dua puluh lima hari kerja. Jadi, gaji ayah sebulan berapa, hayo?"

Leo lari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Rudi beranjak menuju kamar untuk ganti pakaian, Leo berlari mengikutinya.

"Kalau satu hari ayah dibayar empat ratus ribu untuk sepuluh jam, berarti satu jam ayah digaji empat puluh ribu dong," katanya.
"Wah, pintar kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobo," perintah Rudi.

Tetapi Leo tak beranjak. Sambil menyaksikan ayahnya ganti pakaian, Leo kembali bertanya, "Ayah, boleh nggak aku pinjam uang lima ribu?"
"Sudah, jangan macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek. Ayah mau mandi dulu. Tidurlah."
"Tapi, yah..."
Kesabaran Rudi habis. "Ayah bilang tidur!" Hardikan itu mengejutkan Leo.

Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya. Usai mandi, Rudi tampak menyesali hardikannya. Ia pun menengok Leo di kamarnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Leo dia dapati sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang lima belas ribu rupiah.

Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata, "Maafkan ayah, sayang. Ayah sayang sama Leo. Buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa. Jangankan lima ribu rupiah, lebih dari itu pun akan ayah kasih."
"Ayah, aku nggak minta uang. Aku mau pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini."
"Iya, iya, tapi buat apa?" tanya Rudi kebingungan.
"Aku mau ajak ayah main ular tangga. Aku sudah menunggu ayah dari jam delapan tadi. Setengah jam saja. Ibu sering bilang waktu ayah itu sangat berharga. Jadi, aku mau beli waktu ayah. Aku buka tabunganku, ada lima belas ribu. Tapi karena ayah bilang satu jam ayah dibayar empat puluh ribu, maka setengah jam harus dua puluh ribu. Duit tabunganku kurang lima ribu lagi. Makanya aku mau pinjam dari ayah," kata Leo.

Rudi terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah itu erat-erat dengan mata berkaca-kaca.[]

CATATAN: Aku menemukan file ini di warnet, aku beri judul dan edit sekadarnya.