Wednesday, July 28, 2010


Kami Ingin Menjadi Pemakmur Bumi
---Anwar Holid

Film itu durasinya 13 menit. Ia membuatku tertegun, mengebor mata sampai bergetar, akhirnya memaksa butiran beningnya menetes. Ia menohok persis sesuatu yang rasanya kerap aku alami atau renungi, terutama saat dilanda depresi oleh nasib. Kemiskinan, juga rasa tiada berdaya karena gagal memenuhi kebutuhan hidup paling sederhana sekalipun, cuma kadar yang mereka alami lebih ekstrem.

Tadinya, kawan yang memberi video ini bilang, "Bisa enggak kamu bikin proposal dari film ini?" Proposal? tanyaku. Aku hanya bisa bikin proposal penerbitan buku, bukan untuk mempersuasi perusahaan atau orang-orang kaya-dermawan untuk berbuat sesuatu atau bederma menolong sesama. Tapi aku bilang, "Aku kenal satu-dua orang yang terbiasa mengurus bakti sosial atau hibah untuk masyarakat. Bisa juga mendekatkan orang yang mau melaksanakan CSR atau aktivitas seperti bisnis sosial." CSR dan bisnis sosial adalah jargon kapitalisme yang sangat sulit aku pahami, meskipun aku tahu kini banyak perusahaan mempraktikannya. CSR telah menjadi standar di setiap company profile; sementara bisnis sosial sukses dijalankan oleh orang seperti Muhammad Yunus dengan Grameen Bank, juga Ashoka Foundation. Sempat kerja sama dengan 1 - 2 BUMN membuat aku tahu bahwa mereka menyediakan dana CSR sangat besar. Aku bahkan pernah dengar ada BUMN yang bingung mau berbuat apa lagi saking begitu besar dana CSR yang mereka miliki.

Film itu memperingatkan aku agar jangan berhati kerdil. Dulu kala mahasiswa aku pernah kerja bakti bersama kawan-kawan dengan 1 - 2 hari tinggal bareng keluarga miskin di masyarakat desa pinggiran Bandung, di balik-balik perbukitan yang indah dan permai. Untuk mendapat ilmu, pernah juga aku hidup beberapa hari di pesantren yang jorok di kota lain. Sementara sekarang aku justru kadang-kadang nelangsa memperjuangkan nasib sendiri, berusaha memahami betapa hidup itu ada-ada saja kejadiannya. Seperti kemarin aku menerima sms kawan, bunyinya: 'mengapa ya uang selalu mempermainkan hidup kita? di kala banyak uang kita senang dan tenang, sebaliknya ketika enggak ada, kita sedih dan panik.' Aku jawab: 'aku juga bingung soal uang. kemarin kepikiran mau nulis status begini: mana yang lebih mengerikan: kehilangan uang atau kehilangan tuhan? tapi urung aku lakukan karena merasa malu.' Bukan berarti kepedulian sosialku jadi rendah atau hilang; sebaliknya, aku merasa status sosialku masih rapuh, maka lebih baik memperbaiki nasib sendiri. Sebagian orang mungkin tak perlu kita kasihani, sebab mereka berjuang keras untuk diri sendiri.

Nah, bagaimana kalau kita tidak tinggal 1-2 hari bersama orang miskin dan kekurangan, melainkan ikut bergumul dengan lumpur, di medan lokasi yang berat, transportasi dan aksesibilitas seadanya, sanitasi buruk, kekurangan gizi, tingkat pendidikan rendah, dan sebagian masyarakatnya tertinggal begitu jauh dari peradaban yang Anda miliki? Kalau mau, Anda bisa cabut dari sana, atau sesekali pelesir ke kota terdekat untuk mendapatkan udara segar.

Tersebutlah kecamatan Peundeuy, di kabupaten Garut, jaraknya kira-kira 150 km dari Bandung ke arah selatan. Di peta biasa provinsi Jawa Barat, kecamatan ini bahkan tidak tercantum. Namanya kalah oleh Pameungpeuk, yang terkenal karena punya pantai. Mungkin Pameungpeuk dan Peundeuy tidak sejalur, tapi dalam peta wilayah yang lebih detail, ia berada sebelum Pameungpeuk. Kecamatan ini berada di antara perbukitan dan sawah-sawah yang mungkin menawarkan pemandangan asri serta menakjubkan, rata-rata wilayahnya berada pada 100 - 1000 m di atas permukaan laut dan lebih tinggi lagi, dengan derajat kemiringan mayoritas di atas 40 persen. Tapi bagaimana kita percaya bahwa di tempat seperti itu kemiskinan dan ketertinggalan begitu nyata terwujud? Di sana masih ada jembatan gantung dari bambu, rumah-rumah berbilik bambu yang sudah bolong-bolong, hanya punya satu sekolah SMP dan SMU, dengan gedung semi permanen dan tembok sebagian besar sudah mengelupas. Tingkat drop out anak-anak SD di sini tinggi sekali, dan dilihat dari film itu, bangunan SD-nya amat mengenaskan. Kalau Bill Gates atau beberapa kawanku drop out dari universitas, mungkin masih bisa jadi cerita menarik; tapi apa yang bisa kita harapkan dari anak yang drop out SD? Mereka bakal jadi pengusaha kelereng? Tidak. Setelah putus sekolah, kebanyakan dari mereka kawin pada usia dini, merantau ke kota besar seperti Bandung dan Jakarta untuk menjadi pembantu rumah tangga, buruh serabutan, maupun penjual asongan butong (seribu sekantong). Kondisi ini mengingatkan aku pada film Not One Less. Terdiri dari enam kelurahan dengan luas sekitar 5.679 ha, Peundeuy berada kira-kira 65 km dari ibukota kabupaten Garut---yang terkenal oleh industri dodol dan kerajinan lainnya.

Sejumlah sarjana dari beberapa perguruan tinggi terkemuka Indonesia dan berbagai disiplin ilmu ternyata sudah berada di Peundeuy sekitar delapan tahun terakhir ini, hidup bersama masyarakat setempat, bergabung dalam wadah pengabdian bernama Pasanggrahan Baranang Siang (PBS). Tentu saja tanpa publikasi apa pun. Aksi mereka hanya diketahui sesama kawan dekat, sampai aku melihat video itu. Video mereka pun tidak tersebar mirip virus seperti halnya video zina orang-orang terkemuka. Bagaimana mereka bisa "menemukan" Peundeuy sebagai pilihan tempat berkarya daripada bergabung dengan sesama kawan satu strata sosial untuk bekerja normal di perusahaan besar, menjadi wirausahawan, atau mencari klien ke sana-kemari seperti aku? Apa mereka punya pengalaman serupa dengan Greg Mortenson dalam Three Cups of Tea atau John Wood dalam Leaving Microsoft to Change the World? Di Peundeuy, mereka ikut bertani, memelihara ternak, memberi penyuluhan soal gizi dan kesehatan, cara mengurus keuangan keluarga dan mengelola rumah tangga, membagi ilmu pengetahuan, menggali potensi alam lebih besar lagi di wilayah itu, dan tak lupa: ikut mengajar anak-anak di SD sampai SMA. Kini mereka berhasil mendirikan sebuah SMP Terbuka-Terpadu secara gratis untuk anak-anak setempat. Kurikulumnya dirancang alamiah, berbasis karakteristik lokal, memperhatikan tantangan wilayah tempat tinggalnya, dan materi sains serta riset terpadu. Kabar terakhir yang aku dengar, untuk pertama kalinya pada tahun ini (2010) ada siswa SMA dari kecamatan ini yang lulus saringan masuk perguruan tinggi.

"PBS didirikan sebagai bentuk keprihatinan sekaligus tanggung jawab kami untuk membantu pemerintah untuk mencari solusi alternatif bagi pembangunan khususnya di daerah tertinggal. Kami ingin menjadi pemakmur bumi. Misi kami ialah menggali khazanah nusantara, merajut sejarah bangsa, dan bersatu membangun negeri," demikian papar Dani Daud Setiana, alumni Teknik Industri ITB yang menjadi kepala PBS. Dari riset bertahun-tahun, mereka menyimpulkan perlunya peran serta sangat banyak dari para sarjana agar turun ke daerah, terutama untuk membantu pemerintah daerah merumuskan dan mengetahui masalah sesungguhnya yang terjadi di daerah tertinggal.
Dani Daud Setiana

Selain memperhatikan pendidikan, Daud dan rekan-rekan ikut memberi pelayanan kesehatan, dan mengembangkan ekonomi berbasis swabahu wilayah---yaitu ekonomi yang dibangun dengan mengoptimalkan aspek agro-ekologis, teknologi dan faktor produksi, nilai ekonomis, dan sosial budaya setempat. Mereka juga sangat berharap agar pemerintah menjadikan Program Darma Bakti Sarjana sebagai program nasional.

Kalau mau beramal bakti, karya PBS di Peundeuy mungkin bisa menyengat kita sampai malu. Cukup dengan berbuat sesuatu yang positif untuk masyarakat setempat. Kalau orang Islam kekurangan lahan dakwah, bergabunglah dengan PBS. Penduduk Peundeuy seratus persen Muslim! Yah, mungkin jihad itu enggak bakal diliput media massa, tapi nilainya insya allah setara dengan mempertaruhkan nyawa di hadapan tentara Israel. Sementara buat mereka yang punya program CSR, Anda bisa bangun jembatan dan memperbaiki jalan yang hancur di sini, mendirikan bangunan sekolah baru, membuat MCK agar sanitasi berfungsi wajar, atau bederma untuk meningkatkan gizi dan ilmu pengetahuan. Orang-orang yang butuh bantuan nyata ada di wilayah kita. Ia tidak jauh-jauh ada di Timur Tengah atau Afrika. Ia ada di sekitar rumah kita. Kawan-kawan yang suka travelling, silakan jadikan kecamatan ini sebagai tujuan baru. Siapa tahu mendapat pengalaman spiritual di sini.

Tiga belas menit menyaksikan film Peundeuy dan aksi para pegiat PBS membuatku teringat pada puisi "Orang-Orang Miskin" karya Rendra. Di situ dia menulis begini:

Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.[]

Untuk tindakan lebih lanjut, silakan hubungi Dani Daud Setiana di 08122128092.
Link terkait:
http://www.sancang.net --> situs Pasanggrahan Baranang Siang (PBS)
http://www.sancang.net/node/4?page=show -->profil para pegiat Pasanggrahan Baranang Siang (PBS)
___________________________________
Anwar Holid bekerja sebagai penulis & editor. Buku barunya ialah Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.
Perjalanan yang Penuh Muatan
---Anwar Holid

BANDUNG - Apa perjalanan bisa mengubah seseorang? Apa yang sebenarnya berubah dalam dirinya? Apa setiap perjalanan selalu menggetarkan? Rasa penasaran sejenis ini muncul dari para hadirin di acara publisitas buku Jingga (GPU, 2010) karya Marina S. Kusumawardhani di Potluck Coffee Bar & Library, Bandung pada Kamis, 22 Juli 2010. Jingga merupakan buku keduanya setelah Keliling Eropa 6 Bulan Hanya 1000 Dolar (GPU, 2008) yang sangat sukses, padahal sebenarnya perjalanan ke kedua negara tetangga kita itu dia lakukan lebih awal, yaitu ketika masih jadi mahasiswa Institut Teknologi Bandung, antara tahun 2003 - 2004. Perjalanan ke India dan Thailand itu dia sebut sebagai perjalanan untuk mencari "surga di bumi"---tampaknya lebih menjadi renungan spiritual daripada sekadar pergi ke tempat eksotik yang dianggap memiliki daya tarik mistik.

Obrolan yang dihadiri puluhan backpacker, kawan sealma mater, juga teman-teman cybernya itu berlangsung sederhana, tanpa basa-basi. Ini merupakan diskusi kedua setelah launching di Kinokuniya, Jakarta, awal Juli lalu. Marina mengaku buku itu lahir dari upaya penemuan diri, pencarian makna, dan perpisahan. Dorongan lebih kuat lagi muncul setelah dua kawannya meninggal karena "krisis eksistensial." Mengapa India dan Thailand? Jawaban sederhananya waktu itu dia terinspirasi oleh perjalanan band Kula Shaker ke India. Band dari Inggris ini pernah sempat melahirkan hit "Govinda" yang meleburkan unsur musik India dan alternative rock. Marina lebih dari sekadar histeria terhadap band ini, melainkan berusaha menemukan arti dari lirik-lirik mereka.

"Imajinasiku ketika pergi ke kedua negara itu ialah dominan jingga," katanya. Mulai dari pakaian para bhiksu, sinar matahari, suasana alamnya. Itulah yang menyatukan kedua negara tersebut. Tapi ternyata, di ujungnya perjalanan itu semua bergantung pada suasana batin pelakunya sendiri. Kata dia, "Mau seindah apa pun, yang fisikal itu akhirnya memudar." Jadi ada sesuatu yang lebih dalam dari perjalanan, misalnya belajar soal adaptasi, keterbukaan, serta menelusuri jalan kebahagiaan. Dia mengisahkan ketika berada di Kashmir, sebuah wilayah konflik di bagian utara India yang berbatasan dengan Afghanistan dan Cina. Waktu itu di sana sedang kuat-kuatnya solidaritas agama, terutama Hindu dan Islam, padahal itulah salah satu sumber konflik. Dia merenung, kalau begitu apa arti agama? Kenapa pada tahap tertentu ia malah menjadi sumber kehancuran, apakah ia cuma topeng dan identitas yang bisa memisahkan golongan manusia? Atau ia menjadi jalan manusia untuk mencapai Tuhan? Marina berpendapat bahwa umat beragama itu pada dasarnya sedang berjalan menuju Tuhan. "Cuma persoalannya, apa perjalanan itu sampai ke sana atau tidak," demikian tandasnya. Mungkin itu sebabnya Wimar Witoelar berkomentar bahwa Jingga "menjadi santapan mental yang jauh lebih luas." Bagi Wimar, buku ini memberi kenikmatan membaca sekaligus menambah perlengkapan orang mengarungi kehidupan multibudaya---yang rentan hilang dalam masyarakat karena fanatisme golongan, daerah, suku, dan agama.


Yang membuat para backpacker bertanya-tanya dengan nada takjub ialah pengalaman Marina tentang budget dan menemukan muatan dari perjalanan tersebut. Karena tahu setiap perjalanan butuh biaya, sebagian backpacker mengaku sudah berusaha sangat hemat, tapi menurut mereka yang dilakukan Marina ternyata super-duper hemat. Apa dia mengorbankan kenyamanan atau kemewahan lebih dari segala-galanya? Menurut Marina, itu tergantung definisi masing-masing orang terhadap yang dijalani atau dinilainya. Dia bahkan baru kenal istilah "backpacker" ketika berada di Thailand dan sadar ternyata membentuk komunitas pertemanan yang amat besar di dunia ini.

"Perjalanan itu semakin spontan, semakin terbuka pada banyak hal, akan semakin bagus dan seru," katanya. Marina juga berpendapat perjalanan ke suatu tempat itu jauh sangat bermakna dan nyaman bila kita kenal dengan orang setempat, apalagi bila membuahkan pertemanan yang langgeng. Sekadar jalan-jalan ke suatu kota dan berpotret-potret di sebuah landmark akan membuat capek dan membosankan. Perjalanan yang hebat idealnya melahirkan pengalaman dan pengetahuan bagi pelakunya.

Berdasarkan nilai dan budayanya, Marina yakin bahwa orang Indonesia itu jauh lebih adaptif dan terbuka pada budaya dan orang luar. Kita cenderung melihat orang lain sebagai teman, berbeda dengan orang barat yang biasanya mula-mula membedakan orang dalam tiga kategori, yaitu orang asing (stranger), teman (friend), dan rekan kerja (colleague).[]

Silakan kenalan dengan Marina di Facebook:
http://www.facebook.com/jedimarina

_________________________________________
Anwar Holid bekerja sebagai penulis, editor, & publisis. Buku barunya ialah Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

String Quartet yang Hebat dan Akrab
---Anwar Holid

Yes, I Listen To DJava String Quartet
Grup: DJava String Quartet
Rilis: 2010
Durasi: 37 menit (9 track)
Genre: string quartet, klasik
Label & Produser: DJava Sting Quartet
Harga: Rp.20.000,- (bonus pin)
Rating: ****


Yes, I Listen To DJava String Quartet merupakan album musik klasik yang dimainkan secara dinamik sekaligus enak sekali didengar dan dinikmati. Ia jelas berakar sangat kuat pada musik klasik dan betul-betul memperhatikan pakemnya, namun pendekatannya sangat akrab, merayu, bahkan kadang-kadang nadanya terdengar seperti sedang bercanda dan humoris, membuat album ini asyik banget untuk didengar terus-menerus. Suasana hangat itu menjadi nilai tambah dari album ini. Album ini mengembalikan pada pemahaman awal bahwa musik itu sesuatu yang harus bisa dinikmati, membuat pendengarnya gembira, santai, dan mendapatkan pengalaman berharga setelahnya.

Meski dibuka dengan lagu berdurasi cukup panjang (sepuluh menitan), delapan lainnya merupakan lagu dengan durasi yang rata-rata sama dengan kecenderungan musik pop sekarang, yaitu sekitar empat menitan. Mungkin faktor pilihan lagu dan durasi yang membuat album ini jadi terasa sangat dinamik dan segar. Album ini mampu mengejutkan pendengar bahwa musik klasik ternyata bisa tampil secara gembira, luwes, informal, jauh dari kesan kaku dan resmi. Yang muncul dari album ini ialah kepiawaian (virtuositas) keempat pemainnya, yaitu Danny Ceri (violin), Ahmad Ramadhan (violin), Dwi Ari Ramlan (viola) dan Ade Sinata (cello). Mereka bermain seimbang, terus saling menimpal memberi peran dan saling menguatkan.

Pada dasarnya album ini hanya menampilkan tiga komposisi. Pertama karya Joseph Haydn, yaitu String Quartet No. 61 in D minor, Op. 76, terdiri dari empat movement; kedua Cublak-cublak Suweng Tema Variasi aransemen karya Budhi Ngurah, dan ketiga karya Sulkhan Tsintsadze, Three Miniatures for String Quartet terdiri dari empat movement. Haydn sudah sangat terkenal sebagai salah satu bapak musik klasik yang paling berpengaruh dan terkenal; Tsintsadze merupakan komposer paling ulung dari negeri Georgia, sementara Budhi Ngurah---meski namanya bisa jadi masih asing---jelas mampu mengaransemen ulang lagu tradisional Indonesia dengan sangat apik. Cublak-cublak Suweng di sini terdengar sangat menggairahkan untuk dimainkan secara string; mereka sedikit memberi sentuhan nuansa nada-nada keroncong yang dimainkan dengan jenaka. Mendengarnya seolah-olah melihat sekelompok anak kecil yang main riang gembira, berlari-lari kecil, saling berkejaran di halaman luas nan asri.

Buat saya sendiri, penampilan terbaik DJava String Quartet tergambar hebat saat membawakan Three Miniatures for String Quartet. Dua menit pertama lagu ini mula-mula berirama sangat cepat, lantas reda, beralih jadi tenang, mendayu-dayu, sangat pelan dan menyayat, akhirnya secara bertahap naik kembali jadi cepat, bersemangat, bergelombang, membuat kita berayun-ayun. Sempurna, baik saat main bersama-sama maupun solo. Salut!

Yang juga menarik dari album ini soal produksinya. Meskipun sederhana dan murah, kualitas suara album ini tetap terdengar hebat dan rasanya tiada kekurangan apa pun di dalamnya. Kemasan simpel dan minimalis ini mengingatkan pada desain rilisan ECM. Kuartet terdiri dari mahasiswa Institut Seni Indonesia, Jogjakarta ini merekam album di studio milik Agus Suwage---seorang perupa kontemporer terkemuka Indonesia yang justru terkenal karena suka musik rock dan jazz. Ke depan, mungkin kita boleh berharap agar DJava String Quartet  menghasilkan album kedua, ketiga, dan seterusnya sama hebat dan menarik atau bahkan lebih dari album debut ini. []

Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141


Link terkait:
http://djavastringquartet.blogspot.com --> blog resmi grup ini
http://tobucil.blogspot.com --> untuk beli cd dan management
http://www.rukukineruku.com --> untuk sewa atau beli cd
Menjelang Ramadhan Bersama Luna Maya
---Anwar Holid

Pada bulan Juli setahun lalu Luna Maya menjadi model iklan sebuah operator telepon seluler selama musim Ramadhan dan Lebaran 1430. Dia mengenakan kerudung oranye dan baju kurung, di beberapa billboard dia bahkan mengenakan jilbab---meski tetap saja penampilannya centil. Waktu lihat dia ditampilkan seperti itu, aku secara naif berkomentar, "Oh, dia ternyata seorang Muslim."

Karena iklan itu muncul sejak menjelang Ramadhan dan Lebaran, meramaikan industrinya, kita jangan membayangkan Luna Maya tampil di lapangan-lapangan untuk berkhotbah atau demi alasan religius, melainkan menghibur banyak orang dengan imitasi agama, dan kita tahu apa artinya itu semua, yaitu untuk meningkatkan brand, image, dan penjualan si juragan acara bersangkutan.

Persis setahun kemudian orang Indonesia beramai-ramai melihat Luna Maya menanggalkan baju, lantas membuatnya jadi pesakitan karena ketahuan berzina. Masyarakat anonim, pers, dan kelompok tertentu menghujat dan mencibirnya, seakan-akan berkepentingan dengan moralitas dan agama yang runtuh di kalangan generasi muda. Bahkan kelompok keras Islam seperti Hizbut Tahrir menghendaki agar para pelaku zina itu di hukum di depan publik. Mereka tampak beranggapan bahwa Luna Maya dan kawan-kawan harus bertanggung jawab atas aib yang mereka lakukan. Oh, no!

Kini kalau kebetulan lihat di televisi, aku menyaksikan mata Luna Maya sembab, ada bekas air mata, hidungnya memerah, nada bicaranya ketakutan dan kuatir, senyum lebarnya lenyap, meski dia tetap saja tak jadi kelihatan jelek karena itu. Apalagi dia sesekali tampil mengenakan kerudung pula. Sebagai figur publik, dia pastilah tahu bagaimana harus berpenampilan di depan masyarakat sesuai maksud dan tujuan---meskipun mungkin sekarang dia sudah lupa di mana menyimpan baju kurung dan jilbab yang dia kenakan dalam iklan Ramadhan tahun lalu.

Betapa tanpa kita sadari waktu mengalir begitu subtil, sampai akhirnya semua terjungkir balik. Dalam rentang setahun itu, Luna Maya mungkin setiap hari tampil di televisi, di hadapan jutaan pemirsa Indonesia, senang dengan gurauan-gurauan dan tingkah laku centilnya, merasa terhibur oleh kehadirannya... tapi ternyata sulit mengampuni kesalahannya yang fatal. Di mana-mana zina itu memang berbahaya... tapi tidakkah penduduk Indonesia, apalagi yang Muslim, bisa memaafkan kesalahan orang dewasa yang tak tahan menahan dorongan hasrat seksualnya? Katanya kita ini bangsa pemaaf. Ha ha ha... kamu ini memang naif Wartax!

Aku mengira memaafkan itu harga yang pantas buat seluruh kerja keras Luna Maya di dunia hiburan Indonesia. Bukankah dia tak pernah mengecewakan kita selama ini? Mungkin di balik kejatuhan seseorang, kita masih bisa membuktikan simpati, baik sebagai sesama manusia atau sesama orang seagama. Bagaimana Luna Maya tidak tersungkur? Aku dengar sekarang dia tidak lagi jadi presenter acara di televisi, dicopot sebagai model iklan sabun, iklan lainnya berhenti disiarkan, rekan-rekan kerjanya menghindar karena takut terseret skandal, cafenya di Bandung katanya diserbu sekelompok orang. Ngeri amat kini nasibnya. Bayangkan tekanan mental dan kerugian material yang dia alami. Belum lagi depresi dan trauma. Bayangkan kalau kita sendiri jadi pengangguran, kehilangan mata pencaharian, terancam, sementara pengeluaran tetap harus jalan, ditambah dipermalukan. Kita tak tahu, mungkin dia juga menyesal telah berbuat itu. Bukankah kita juga begitu setiap kali melakukan kesalahan? Kita berdoa dan berharap bisa menghapus dosa. Tapi bagi kelompok intoleran, hukuman tetap hukuman. Ia harus dijalankan. Entahlah kalau sudah begitu. Aku lebih memilih agar kita menghukum dan menyesali diri sendiri daripada menuding orang lain.

Kini Ramadhan 1431 H datang sebentar lagi. Kita mungkin bakal berhenti melihat iklan Luna Maya lagi. Dia juga mungkin akan lebih memilih ikut pesantren kilat, mendalami agama, bederma, dan beri'tikaf (tinggal di masjid dengan niat tertentu, yaitu mengkhususkan diri beribadah karena taat kepada Allah) daripada menerima order. Ramadhan dikenal sebagai jalan penyucian bagi umat Islam. Daripada ribut terus menuntut kesucian dan kejujuran orang lain, lebih baik mari bersama-sama introspeksi diri. Maafkanlah kesalahan Luna Maya, meskipun kita mungkin enggak membuang video jelek itu dan tetap menyimpannya entah di mana.[]




Anwar Holid, berusaha baik karena takut. Bekerja sebagai penulis & editor. Buku barunya ialah Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.
[ini semacam esai sok moralis]