Tuesday, December 28, 2010


[RESENSI]
Spiritualitas, Esensi Beragama
---M. Iqbal Dawami
Seputar Indonesia, Sabtu, 25 Desember 2010

KETIKA manusia mengalami peristiwa dahsyat yang bakal merenggut nyawanya,seketika itu pula dia membutuhkan kekuatan di luar  dirinya,yaitu Tuhan, yang bisa menyelamatkannya.

"Benar gak sih masih ada Tuhan dalam diri kita? Coba Anda tes dengan mengunjungi Gunung Merapi...Pasti Ada Tuhan!" Begitu bunyi status  Facebook seorang teman saat kejadian erupsi Gunung Merapi yang memakan korban jiwa. Status tersebut mengindikasikan ketika seseorang  dihadapkan pada musibah, biasanya manusia sadar bahwa mereka membutuhkan pertolongan Tuhan. Stalin, seorang tokoh komunis  Rusia, secara tidak langsung mengakui juga adanya Tuhan. Arvan Pradiansyah dalam buku You Are Not Alone mengisahkannya. Waktu itu Stalin bersama  rombongannya tengah berada di dalam pesawat, tiba-tiba pesawatnya mengalami kerusakan parah tepat di atas pegunungan.

Tak ayal, Stalin merasakan ketakutan yang luar biasa dan secara spontan dia berkata, "Tuhan, tolonglah aku!" Kisah Stalin itu menandakan  bahwa di dalam bawah sadar seorang ateis sekalipun terdapat kesadaran mengenai keberadaan Tuhan. Peristiwa dahsyat yang merenggut nyawa bisa menghentakkan kesadaran manusia akan keberadaan dan kekuatan Tuhan.

Lewat buku ini Arvan memberikan pesan bahwa  manusia senantiasa diperhatikan Tuhan.Tuhan selalu ada dalam kancah kehidupan manusia. Kehadiran Tuhan itu terejawantahkan lewat  agama. Hanya saja kemudian Arvan merenungkan, mengapa sebagian manusia beragama yang notabene memercayai adanya Tuhan tidak kunjung berkelakuan baik?

Mengapa agama seolah tidak berhasil membuat penganutnya menjadi orang yang baik? Mengapa Indonesia yang dikenal sangat religius  sekaligus juga dikenal sebagai negeri terkorup di dunia? Mengapa kita juga memperoleh predikat nomor dua untuk pornografi dan nomor tiga  untuk masalah narkoba?
___________________________________________
DETAIL BUKU

You Are Not Alone: 30 Renungan tentang Tuhan dan KebahagiaanPenulis: Arvan Pradiansyah
Penerbit: Elex Media Komputindo, 2010
Halaman: 252 hal., soft cover
ISBN: 978-979-27-7918-9      
Harga: Rp.52.800,-
___________________________________________

Agama Minus Spiritualitas

Arvan mencoba mencari akar penyebab perihal pertanyaan-pertanyaan di atas. Salah satu penyebabnya adalah manusia kerap kali  beragama,tapi minus spiritualitas. Padahal, esensi beragama sejatinya adalah spiritualitas. Inti spiritualitas adalah bagaimana menjadi orang  baik. Adapun landasan kecerdasan spiritualitas adalah kesadaran akan kehadiran Tuhan: dalam setiap situasi merasa selalu dilihat Tuhan dan  merasakan kebersatuan dirinya dengan Tuhan [hal. 7-8]. Kesadaran spiritual di atas membuat Arvan yakin bahwa masalah yang terjadi dalam hidup kita bisa selesai dengan sendirinya.

Betapa tidak, ketika seseorang demikian dihadapkan pada persoalan, dia akan langsung ingat Tuhan. Jika melakukan perbuatan buruk, dia  sadar bahwa dia akan mengecewakan Tuhannya yang senantiasa memperhatikannya dari waktu ke waktu. Sayangnya, kata Arvan, agama  sering kali terpisah dari spiritualitas. Sembari mengutip pendapat John Naisbitt, Arvan mengatakan pada abad ke-21 ini agama semakin kurang  diminati orang, sebaliknya orang semakin berminat terhadap spiritualitas. Minat ini tentu saja didorong kebutuhan untuk mengisi spiritualitas  kita yang semakin lama semakin kering karena percepatan kehidupan. Di sinilah terletak masalahnya: agama semakin terpisah dari  spiritualitas, padahal sebenarnya spiritualitas itulah inti dari keberagamaan seseorang [hal. 112].

Melalui buku ini Arvan mengajak pembaca untuk beragama secara spiritualitas. Spiritualitas merupakan kebutuhan manusia yang sangat  mendesak sekarang ini. Kita butuh tempat yang kokoh untuk bersandar, sesuatu yang memberikan ketenangan, kepastian, dan ketenteraman  yang sejati. Adapun efek dari beragama plus spiritualitas adalah rasa cintanya kepada sesama manusia. Manusia beragama seperti itu akan  senantiasa menghadirkan Tuhan dalam kesehariannya seperti pada saat bekerja dan berinteraksi dengan orang lain. Tuhan selalu hadir dalam  dirinya, dalam gerak langkahnya, dan dalam segala hal yang dilakukannya.

"Agama spiritualis" yang digagas Arvan ini sejatinya mirip dengan konsep tasawuf Ibnu Arabi, sufi-filsuf Andalusia, yaitu "tajalli." Kata "tajalli"  berarti "penampakan diri Tuhan" yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas. Dengan kata lain, Tuhan seolah-olah telah  menyatu kepada orang yang telah mengalami mukasyafah (merasakan kehadiran Tuhan). Karakter dan kepribadian mereka dipenuhi sifat-sifat  Tuhan, seperti mencintai, menyayangi, menolong, dan sebagainya. Tampaknya buku ini tepat sekali untuk menjadi obat dari tiga penyakit jiwa  masyarakat modern, sebagaimana dikatakan Sayyid Hossein Nasr, yaitu kehilangan orientasi ilahiah, kehampaan spiritual, dan degradasi  moral. Setiap pembahasan dalam buku ini dibuka dengan kisah-kisah yang segar, menarik, kadang berhumor, tapi sarat hikmah dan nilai-nilai  kebajikan.

Bentuk kisahnya pun beraneka ragam dalam pelbagai macam gaya. Namun,semuanya menarik pembaca kepada renungan-renungan soal  ketuhanan dan kebahagiaan. Terdapat kekuatan besar dari pelbagai kisahnya. Jika kita membaca buku ini dengan penuh penghayatan  mendalam kemudian mengamalkan pesan-pesannya, kita akan mendapatkan perubahan pikiran dan perilaku yang positif. Buku ini sangat  relevan dengan situasi yang ada sekarang.(*)

M. Iqbal Dawami, bergiat di Kere Hore Jungle Tracker Community (KHJTC) Yogyakarta.

Tuesday, December 14, 2010


[Halaman Ganjil]
Kesehatan, Kebaikan, Kesulitan, dan Keajaiban
---Anwar Holid

Tahun ini aku mendapati dua orang kawanku patah tangan dan seorang lagi patah kaki. Beberapa bulan lalu seorang lagi kawanku terpeleset waktu mau membuka gagang kunci kamar mandi, membuat jempolnya patah.

"Sekitar akhir Maret 2010 kemarin aku kecelakaan. Ketabrak ojek. Tangan kiriku patah. Dioperasi deh. Aduh, enggak kebayang kalau ketua yayasan tempatku kerja enggak membayari semua ongkosnya. Aku juga enggak cukup kaya bisa bayar 25-30 juta untuk operasi itu. Kesehatan ternyata kalau dihargai dengan uang adalah rejeki juga, ya...gede lagi jumlahnya..." demikian cerita temanku.

Patah tangan yang menimpa kawanku yang lain terdengar miris. Waktu itu dia survey ke desa. Jalan berlumpur, becek, dan licin. Mungkin karena kebiasaannya pakai sandal, dia terpeleset. Badannya yang gemuk menimpa tangan sampai patah. Dia terpaksa pulang kampung biar bisa dirawat maksimal oleh keluarga, sebab di Bandung dia hidup sebatang kara. Dia merasa malu kalau tambah merepotkan kawan-kawan yang selama ini berhubungan dekat dengannya.

Anak bungsuku, umur 3 tahun, jemarinya sempat terjepit oleh bantingan pintu mobil, tapi alhamdulillah baik-baik saja setelah dironsen. Ibu mertuaku dua kali terserang stroke, sampai membuat istriku mudik, ikut merawat berhari-hari, bahkan merelakan sebagian honornya untuk sedikit membantu pengobatan atau menyediakan makanan favorit bergizi untuk ibunya. Konyolnya, pada saat bersamaan kondisi keuanganku tengah buruk, membuatku memutuskan enggak menengok mertua. Sebab kalau tetap nekat konsekuensinya tambah berat dan merepotkan buat keluarga batihku sendiri.

Pada trimester kedua tahun 2010 aku terlibat menulis kisah perusahaan pembuat vaksin dan serum. Keterlibatan itu sungguh menyadarkan betapa kesehatan merupakan kondisi yang jangan sampai lengah kita jaga. Bahkan bila nahas, sudah kita jaga semaksimal pun bisa jadi penyakit menyerang tanpa permisi, dan orang langsung kelenger tanpa bisa menyalahkan siapa atau keadaan apa pun. Virus dan bakteri adalah dua sumber penyakit yang mustahil kita kendalikan. Bahkan sebagian penyakit belum ada obatnya atau belum ditemukan pencegahannya. Antivirus flu belum kita temukan. Penyakit malaria belum ada vaksinnya. Penyakit dari virus bisa menyerang kapan dan di mana saja. Kalau pasanganmu mengidap sirosis (gagal hati akut), kamu, keturunan (anak), bahkan anggota keluarga yang berinteraksi setiap hari bisa terkena tanpa disadari. Menggunakan gelas bekas minum orang lain, sikat gigi atau sisir orang lain berisiko menyebarkan penyakit karena virus. Ini bisa membuat kita mati kutu. Fakta: sejak Oktober 2010 ini wabah kolera menghantui negara Haiti dan telah merenggut nyawa lebih dari 5000 orang, seolah-olah merupakan lanjutan dari bencana gempa bumi di awal tahun di negeri itu dan menewaskan sekitar 300.000 jiwa. Kita di sini lebih peduli pada gunung berapi yang muntah-muntah tanpa kuatir bahwa bakteri kolera bisa menyebar entah lewat celah mana.

Kesehatanku sendiri prima sejak akhir 2009 dan hingga menjelang akhir 2010 tidak sakit ringan sama sekali, baik berupa flu, sakit perut, atau sariawan. Ini sangat menakjubkan dan rasa syukurku atas kondisi ini masih sangat kurang, mustahil bisa mengimbangi anugerah. Setiap kali ingat atas anugerah kesehatan yang hebat, aku berusaha berterima kasih kepada Tuhan, meski kerap tergesa-gesa dan cuma di dalam hati.

Kalau berkecukupan, asuransikanlah kesehatan maupun jiwa kita. Itu investasi yang pantas diambil. Di negara maju, itu jadi standar layanan masyarakat. Jujur, aku sendiri enggak punya asuransi kesehatan maupun jiwa. Kondisi ini kadang-kadang membuat aku nelangsa. Bayangkanlah kalau kamu mendadak celaka, mengidap penyakit fatal, langka, atau belum ada obatnya. Atau kalau ada ternyata harganya enggak terjangkau oleh penghasilanmu. Kita sudah sering tahu ada sebagian penduduk Indonesia gagal membayar obat dan yang bisa kita ekspresikan cuma mengulang umpatan Iwan Fals, "Hai modar aku. Hai modar aku!"

Kita baru bisa menghargai kesehatan setelah sengsara karena sakit.

Begitu juga dengan kebaikan.

Kebaikan itu semacam jaring pengaman bila kita ada di tubir putus asa dan gagal mengandalkan kekuatan sendiri untuk menolong diri sendiri. Kondisi paling khas dari situasi ini ialah ketika kita kehabisan uang, sementara kerjaan belum beres, deadline sudah lewat, dan kita frustrasi karena terdesak serta kesulitan menyelesaikan order dengan baik. Menagih panjer mungkin malah berisiko menghancurkan reputasi di mata klien. Siapa yang bisa menolong kamu? Bisa jadi teman dekat, teman jauh yang nyaman kamu utangi, mungkin orang tua kamu, atau saudara yang menurutmu baik dan lebih sukses.

Bentuk kebaikan sering mengejutkan dan rentangnya sulit kita perkirakan. Di awal bulan Puasa 1431 H perusahaan rekanan kerjaku mengirim sekarung beras kualitas prima, lima kilo minyak goreng, lima toples kue kering, lima kilo gula pasir, dua kotak susu bubuk, sirup, satu set jas hujan, dan sarung. Sampai Desember ini, sebagian di antara kiriman itu belum habis kami konsumsi. Buat aku sekeluarga, itu mencengangkan. Beberapa bulan sebelumnya, seorang kawan memberi aku laptop. Meski dia merendah bahwa itu barang lama dan baterenya sudah drop, tetap saja perangkat itu sebelumnya entah kapan bisa aku jangkau. Setelah Lebaran, seorang saudaraku membebaskan utang yang sudah terlalu lama sulit aku kembalikan. Dan di saat-saat kritis, aku ternyata sesekali masih kembali menelepon orang tua untuk minta bantuan. Pasti juga karena kebaikan bila aku diajak kerja sama oleh rekanan lama, yang insya Allah akan dimulai pada Januari 2011.

Memang tidak semua kebaikan terjadi sesuai keinginan. Aku sempat memohon bea siswa untuk ikut pelatihan jadi entrepreuner tangguh di sebuah lembaga milik seorang ahli perubahan perusahaan, tapi ditolak. Aku sesekali membalas para pengirim spam yang menjanjikan gaji tiga puluh tujuh juta per bulan sambil klak-klik di Internet mengikuti tawaran programnya untuk sekadar menyisakan dana CSR buat aktivitasku, tapi semua respons mereka negatif. Dari situ aku berprasangka mungkin mereka pun masih punya masalah finansial. Bahkan sempat terpikir menempel pesan begini: Tuhan, kamu tahu aku butuh keajaiban finansial, tapi kenapa transfer dari Gayus enggak sampai-sampai saja ke nomor  rekeningku? Tapi baru sekarang berani aku tulis.

Bila kawan mentraktir, mengajak liburan, menghadiahi sesuatu, memberi keringanan, kenalan lama memberi pekerjaan, maupun klien memanggil kita lagi sudah merupakan kebaikan, apalagi bila kita pada tahun ini terhindar dari malapetaka akbar berakibat fatal dan menyengsarakan banyak orang. Rasanya konyol bila kita berdoa jangan mendapat cobaan, sebab Tuhan bisa berbuat semaunya dan bencana yang maha merusakkan belum terjadi, tapi kita mesti bersyukur karena masuk daftar orang yang selamat.

Kesehatan dan kebaikan adalah dua hal yang ingin aku tebalkan menjelang akhir tahun 2010 ini.

Kesehatan dan kebaikan berpadu melahirkan energi untuk aktivitas sehari-hari, meski hasil dan kualitasnya bisa diperdebatkan. Misal soal tulisan. Ada orang bilang tulisanku mencerminkan keputusasaan, karena suka mengungkap kesulitan keuangan; sebagian lagi menilai tulisan itu mencerminkan aku terus berjuang demi mendapat penghasilan mencukupi. Aku sendiri suka masih merasa kekurangan, meski tidak berarti aku kehilangan alasan untuk bersyukur. Situasi ini absurd bagi orang beragama. Kamu mesti menghindari bencana, tapi jangan takut mati; sebab mati itu pasti terjadi. Bila kamu mati di tengah jalan demi menghindari bencana, kamu ada di jalan Tuhan dan dalam kesaksian terhadapnya. Kawanku berkata, "Biar aja soal rejeki mah. Yang penting berusaha. Aku juga sering merasa kekurangan kalau nurutin semua keinginan mah. Meski kekurangan, toh sampai hari ini aku masih hidup dengan baik dan bisa bercanda ria ha ha ha."

Apa pun kondisinya, jangan putus asa dan kita harus bersyukur.

Betul kesulitan menghadang, situasinya bisa bikin kondisi mental dan emosi labil, gagal menenangkan diri, atau jadi gelap mata, tapi kesempatan selalu ada. Hukum menyatakan manusia hanya akan menerima cobaan atau ujian sesuai kadarnya. Jadi semua orang pasti mampu mengatasi cobaan. Tapi kalau faktanya dia gagal? Artinya dia putus asa dan kurang berusaha. Itu membuat aku berpikir, kesulitanku sebenarnya masih biasa. Akui saja, aku suka kurang keras berusaha atau terlalu santai, hingga ketinggalan kereta.

Pikirkan kondisi Julian Assange, salah seorang pendiri Wikileaks---situs pembocor informasi sensitif, terutama yang dianggap sebagai rahasia negara, korupsi gila-gilaan, konspirasi rencana jahat, penyiksaan, kecurangan, dan kesewang-wenangan terhadap kemanusiaan. Setelah semua saluran donasi untuk organisasinya ditutup dan rekening banknya dibekukan, dia diuber-uber Interpol sebagai penjahat, dan barusan saja ditangkap di Inggris untuk dibawa ke Swedia dengan dakwaan perkosaan maupun pelecehan seksual. Situasi dia sangat sulit dan menyengsarakan. Apa pernah penangkapan menyenangkan? Tidak. Kecuali yang kamu tangkap adalah ikan bernama Gayus, karena kamu bisa kecipratan duit dari dia.

Assange, Gayus, Anwar Holid, juga kamu, sama-sama mengalami kesulitan dengan kadar dan kelas berbeda-beda. Maksudnya: manusia itu sama saja, cuma beda nasib dan pendapatannya.

Selama 2010 tercatat juga cuaca di Indonesia agak aneh. Musim hujan berlangsung sepanjang tahun, bahkan di sejumlah tempat kebanjiran. Kasihan ketika banjir melanda pesawahan, desa atau perkampungan, sebab ia menimpa banyak petani dan penduduk biasa yang sulit untuk segera mengungsi atau mendapat bantuan. Entah berapa ribu hektar tanah terendam dan mengakibatkan gagal panen. Deras hujan membongkar selokan, mengelupaskan aspal, melongsorkan tanah, membobol tanggul. Dari akhir 2009 hingga akhir 2010 curah hujan tetap tinggi, membuat musim kemarau batal mentas. Bagaimana 2011 nanti? Apa gantian ia bakal tampil gila-gilaan setelah setahun ngumpet? Entah. Tuhan tidak mengirim bocoran ramalan cuaca tahun depan ke Wikileaks.

Intinya aku bersyukur. Lepas dari kekurangan, keburukan, maupun sikap keterlaluan yang sudah aku perbuat ketika dalam kondisi terpuruk kehabisan kesabaran atau sulit menerima keadaan. Ingat: Tuhan tidak akan menguji manusia di luar batas kemampuannya. Sesengsara apa pun orang bakal diuji, potensi menang tetap ada, sebab ujian di bawah standar kemampuannya. Aku lega tahu kunci ini. Cobaan itu konon perlu bagi manusia, sebab ia jadi ukuran bagi kesempurnaan kualitas seseorang. Tapi kalau sudah menyangkut soal mental dan emosi, lain lagi reaksinya. Kadang-kadang suka kalap, terutama kalau lagi kesal karena kerjaan enggak selesai-selesai, penghasilan menipis, sementara transfer dari Gayus enggak datang-datang.[]

Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.

KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com

Copyright © 2010 Anwar Holid

Monday, December 06, 2010


[Review Album]
Sifat Bunglon dalam Diri Norah Jones

...Featuring Norah Jones
Musisi: Norah Jones (album kompilasi)
Durasi: 83 menit (19 track)
Rekaman: 2001-2010
Rilis: November 2010
Label: Blue Note
Genre: Jazz, pop, pop country, alternative rock
Rating: ***

Apa Norah Jones sudah baikan lagi dengan Lee Alexander hingga album kompilasi ini dirilis? Lee Alexander ialah pemain bass sekaligus produser yang menemani perjalanan karir musik Norah Jones sejak awal. Dia memimpin The Handsome Band, band yang dulu setia mendukung dan menemani Norah tampil di setiap tur. Lebih dari itu, Norah Jones dan Lee Alexander ialah sepasang kekasih sekaligus kawan kerja, sebelum akhirnya mereka pisah ketika Norah Jones merilis The Fall tahun 2009.

Apa kaitan hubungan personal dua orang ini dengan kompilasi ini? Album ini mengumpulkan nyaris semua proyek Norah Jones dengan musisi lain, sejak awal karir di awal tahun 2000-an hingga 2010. Ini artinya minimal di empat track, minimal secara virtual Norah harus bersanding lagi dengan Lee. Track pembuka pun berjudul "Love Me" yang mereka bawakan ketika sama-sama mendirikan The Little Willies di awal karir. Lantas "Loretta" (bareng The Handsome Band), "Creepin' in" (karena diambil dari album Feels Like Home yang di situ Lee berperan besar), bahkan ketika berduet amat mesra dengan M. Ward menyanyikan "Blue Bayou", itu pun dilakukan ketika bersama The Handsome Band konser di kota Austin, Amerika Serikat, dengan Ward sebagai musisi pembuka.

Kalau Anda telah mengikuti setiap proyek sampingan Norah Jones dengan musisi lain, album ini mungkin terasa kurang mengejutkan, meski tentu menyenangkan dan memuaskan selera fanatik karena sengaja mengumpulkan hampir semua proyek sempalan selain sebagai penyanyi solo. Memudahkan kita menyimak secara utuh. Dari album ini akan terasa betapa Norah Jones sangat adaptif, memberi energi positif, dan berusaha selalu tampil istimewa di setiap proyek yang melibatkan dirinya. Rentang musik dalam kompilasi berdurasi panjang ini lebar dan beragam sekali.

Norah terkenal berkat kekhasan musik, cara berdendang, dan permainan piano. Di kompilasi ini ketiga unsur tersebut menonjol dengan manis, baik saat jadi lead vocalist maupun ketika harus berduet dengan orang lain. Kehadiran Norah senantiasa berpengaruh baik dan perannya seakan-akan selalu memberi nilai lebih pada sebuah komposisi. Terlebih-lebih dalam lagu balada yang menuntut nafas panjang demi mengeluarkan energi lebih untuk mencapai nada tinggi, kemampuannya akan muncul secara maksimal.

Dia bisa muncul murni membawakan jazz murni bareng Ray Charles, Herbie Hancock, Dirty Dozen Brass Band, Charlie Hunter, juga Willie Nelson; memadukan dengan country bareng Sasha Dobson dan Dolly Parton; melantunkan lagu pop bersama M. Ward, Belle & Sebastian, Sean Bones; hip-hop dengan OutKast, Q-Tip, Talib Kweli, Wyclef Jean; juga merambah genre alternatif-manis bersama Foo Fighters, Ryan Adams, juga El Madmo---trio pseudo punk yang dibentuk Norah entah setelah kesambet apa. Di El Madmo Norah mencampakkan piano, mengganti nama, menyamar dengan mengenakan stocking jaring, rok mini, memakai wig blonde, bermakeup topeng, mengubah dirinya jadi lead guitarist sekaligus berani nyanyi dengan menggeram. Dari band ini dipilih "The Best Part", lagu bertempo lambat bernada repetitif-monoton, biar penggemar utama Norah tahu bahwa penyamarannya terbongkar meski berusaha keras menyembunyikan jati diri.

"Jelas sangat menggairahkan, menyenangkan, dan membuat tersanjung bila diminta bernyanyi dengan seseorang yang aku kagumi," kata Norah tentang album ini. "Bekerja dengan musisi lain memang sedikit menarik kamu ke luar dari zona nyaman. Kita mungkin cuma bisa meraba-raba apa yang bakal bisa diharapkan dari sana. Rasanya seperti jadi bocah yang sedang asyik main-main."

Di album ini kita akan menyaksikan Norah Jones berperan sebagai bunglon yang menunjukkan minat tinggi pada berbagai jenis musik dan bahkan mungkin memang sengaja ingin menghindarkan dirinya dari cap sempit terhadap genre tertentu. Hanya saja untuk tujuan komersil dan keterbatasan media, eksperimen musiknya yang sangat ajaib---misal dengan Mike Patton atau Anoushka Shankar---diabaikan dari daftar. Dia leluasa bekerja sama baik dengan musisi veteran, seumuran, maupun junior.

Karena campur aduk dari berbagai sumber, susunan daftar tracknya juga terasa makin pas. Di awal-awal kita mendengar lagu smooth jazz dengan nuansa main-main dan menghibur yang pasti bakal segera disukai para penggemar berat Norah. Di tengah album hadir musik hip-hop, alternatif, dan pop dengan kadar cukup besar, dan di akhir bagian kembali hadir lagu-lagu manis. Durasi yang sangat panjang seperti sengaja menjadi persembahan atau usaha memanjakan agar pendengar betah berlama-lama menyimak penyanyi favoritnya.

Kalau toh album ini dirilis semata-mata untuk keperluan komersil dan bukan untuk rekonsiliasi, kita masih bisa berharap bahwa di masa depan Norah Jones bisa bekerja sama dengan siapa saja, selama proyek itu menarik dan berhasil, meski untuk keperluan jangka pendek sekalipun. Sebab untuk mampu mengeluarkan album utuh memang butuh dukungan musisi dengan chemistry yang kuat, biar hasilnya lebih dari sekadar featuring.[]

Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.

KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com

Copyright © 2010 oleh Anwar Holid

Sunday, December 05, 2010


[HALAMAN GANJIL]

Sembilan Hari Lagi Kiamat!
---Anwar Holid

Sembilan hari lagi kiamat!

Bagaimana jika kita semua tahu persis bahwa sembilan hari lagi alam semesta ini bakal kiamat, dan Tuhan dengan cara tertentu sudah memberi tahu jauh-jauh hari? Kita tahu Tuhan senantiasa menepati janji maupun bisa melakukan apa pun sesuka-sukanya tanpa pernah bisa kita duga sama sekali. Ngeri kali kedengarannya.

Kemarin, seorang temanku pernah bilang dengan nada sedih, "Coba ya, sekarang kita selalu digiring oleh media. Kita diawaskan bahwa 66 hari lagi akan ada Piala Dunia. Seminggu lagi sebuah program akan ditayangkan di tv, atau sebulan lagi sebuah band manggung. Tanggal sekian album sebuah band akan dirilis. Tiga hari lagi buku seorang penulis terkenal akan diluncurkan. Atau kita tahu hari, jam, tempat, dan dengan siapa seorang selebritis menikah untuk ketiga kalinya. Coba, apa yang terjadi kalau semua orang tahu bahwa sembilan lagi dunia bakal kiamat? Atau katakanlah terjadi begitu saja, apa yang akan kita lakukan? Toh aku yakin kita juga enggak pernah tahu rencana Tuhan terhadap sesuatu."

Kata temanku lainnya, "Kalau sembilan hari lagi kiamat, mungkin aku harus ke diskotik atau klub eksekutif dulu, habis seumur-umur belum pernah menginjakkan kaki ke sana."

Ya, orang---bahkan aku sendiri---bisa berdebar-debar menantikan final Piala Dunia atau Liga Champions kapan saja berlangsung, gelisah menanti kelahiran anak, termehek-mehek mencari uang untuk biaya hidup, kecewa terhadap sebuah kejadian, jengkel menghadapi klien, menangisi kematian seseorang, atau gembira ria karena mendapatkan sesuatu, tapi tampaknya cuek saja terhadap segala rahasia yang dipegang Tuhan. Bisa juga malas-malasan mendekatkan diri pada rahasia dan rencana masa depan Tuhan. Padahal jika kita tahu persis bahwa kiamat bakal terjadi dalam sembilan hari ke depan, segalanya bisa jadi berubah sama sekali.

Memang belum ada jaminan bahwa sajadah, tasbeh, atau rosario akan jadi laku banget dalam hari-hari itu, atau gereja jadi dipenuhi umat, sejumlah orang melakukan pertobatan massal, atau aku langsung mengurung diri, tapi pastilah "peristiwa besar" seperti Piala Dunia, menanti kedatangan Barack Obama, serta-merta dihentikan kegiatannya, Amerika Serikat berhenti mencerca Islam, orang Islam berhenti bertikai dengan Israel dan Yahudi, dan aku berhenti menulis. Pada saat seperti itu, tampak bisa dipastikan semua orang hanya akan mempersoalkan satu masalah itu saja. Meskipun ada juga kemungkinan lain, misal seseorang harus merasakan sesuatu yang belum pernah dia cicipi, sebelum dunia ini bakal benar-benar berakhir dan berantakan.

Untuk menyambut dan mementingkan Piala Dunia saja, kita sudah melakukan banyak sekali hal, merelakan banyak waktu, meluangkan banyak kesempatan. Di supermarket orang memborong tv, karena mereka ingin nonton pertandingan seru. Sebuah kantor bahkan bisa menganggarkan dana khusus untuk beli tv. Industri maupun media massa bersaing demi memanfaatkan kesempatan hajatan besar empat tahunan itu. Jika melewatkan, itu artinya kehilangan sejumlah pasar dan uang. Untuk semua hal yang dianggap penting, kita tampak mustahil menghilangkan sopan-santun atau adat jika seseorang yang dipentingkan datang berkunjung. Bahkan dengan cara yang munafik sekalipun. Seperti itukah yang akan kita perbuat seandainya kita tahu betul bahwa sembilan hari lagi kiamat?

Itu memang persoalannya. Andai Anda kenal seseorang yang begitu dekat dengan Tuhan dan dia diberi tahu bahwa kiamat akan berlangsung sembilan hari lagi, akankah Anda percaya padanya? Sering kita justru tertawa jika ada orang mengaku bahwa dia mendapatkan sesuatu dari Tuhan. Andai Tuhan sejak dulu sudah bikin pengumuman di Al-Quran, Injil, maupun lembaran suci lain bahwa kiamat ditetapkan pada 9 Januari 2011, pukul 05.13 pagi, masih bisakah kita menyibukkan diri dengan persoalan lain kecuali tentang kiamat dan Tuhan sejak November 2010? Masihkah media massa atau kita, orang biasa, presiden, ulama, maupun para aparat pemerintahan menaruh perhatian pada penanggulangan bencana, konspirasi kekuasaan dan kejahatan, gejolak gunung berapi, gosip selebritas, korupsi, pornografi, pelanggaran HAM dan HAKI yang terjadi pada esok hari?


Sayang-disayang, tampaknya kita memang kehabisan satu orang pun yang bisa dipercaya bahwa dia tahu langsung dari Tuhan bahwa kiamat bakal terjadi pada tanggal itu atau nanti. Benarkah itu artinya jelas tiada manusia yang kenal langsung dengan Tuhan hingga dia tahu segala yang Dia rahasiakan? Mungkin bukan seputus asa ini artinya. Atau mungkin kita sangsi karena kita juga sangat ragu dengan kualitas pengenalan kita sendiri terhadap Tuhan?

Kata seorang guru ngaji, kita kesulitan mengenal Tuhan karena belum menjadikan ia sebagai isu paling penting dalam kehidupan kita. Akibatnya kita enggak tahu apa agenda Tuhan, prospek, berikut visi-misi Tuhan. Jangankan yang terang, apalagi pada hidden agenda Tuhan. Konon, andai ada seseorang tahu persis rahasia Tuhan, dia akan dihormati siapa pun sebelum hari mengguncangkan itu terjadi---karena semua orang akan bersandar dan berencana pada informasi mahabesar itu. Atau bisa juga sebaliknya: nyaris semua orang menolak berita fatal itu---kecuali sedikit dan merupakan lingkaran pertama dari pemegang rahasia itu. Kita bisa becermin dari peristiwa banjir bandang di zaman Nuh atau ketika kota Sodom dan Gomorah dihancurkan di zaman Luth.

Tapi lepas dari buta informasi itu, kita orang masih bisa berharap banyak pada Tuhan untuk selalu bermurah hati agar selalu menurunkan berkah dan kasihnya. Kita masih optimistik terhadap banyak hal, termasuk tetap berniat mau melangsungkan segala yang masih kita bisa. Sampai saatnya habis, untuk waktu yang tidak ditentukan. Itu mungkin pentingnya rahasia buat kita. Sebab kata seorang bijak, tidak hanya orang haus yang mencari air, air pun menghampiri mereka yang kehausan.

Jadi, tampaknya baik kalau kita bersiap-siap terhadap kemungkinan terburuk atau berdoa semoga lebih tabah, sebab bencana paling buruk pasti terjadi atau setiap orang pasti mengalami sesuai versi masing-masing. Sebab kita toh mustahil juga berjudi dengan itu, kan?[]
Heru Hikayat dari belakang.

Yang Lebih Diri
---Heru Hikayat

Setahun lalu ayah pergi. Mendadak. Kami, anak-anaknya, merasa tak siap. Bahkan para pedagang langganan ayah pun kaget. "Oh, Bapak itu, yang suka jalan-jalan dan jajan itu, kan dia sehat?", demikian komentar khas mengenai kepergian ayah.

Memangnya ada orang yang siap menyongsong kematian?

Konon ayah kehilangan kesadarannya dalam posisi sujud. Kami memang tidak tahu persis, tak ada di antara kami yang melihat kejadiannya langsung. Senja itu, gelap dan hujan. Ayah pulang dari mesjid. Kata seorang pedagang, ia melihat ayah duduk di pinggir jalan, pada sebuah pembatas tembok. Para tetangga yang kemudian membawa ayah ke pos jaga dan membersihkan tubuhnya bersaksi: wajah dan bagian lutut ayah kotor, namun tak ada jejak benturan keras, tampaknya beliau bersujud perlahan. Barangkali ia pusing luar biasa, karena stroke yang diakibatkan tekanan darah tinggi---keterangan yang kami dapat kemudian dari dokter.

Para tetangga sempat bingung, tak mengenali identitas ayah. Setelah beberapa usaha ditempuh, salah seorang dari mereka mengenali wajah ayah karena mereka sering sholat bersama di mesjid. Barangkali mesjid memang tidak semata-mata tempat bertemu dengan Tuhan, mesjid merupakan tempat pertemuan manusia dengan manusia.

Para tetangga itu, saat melihat sosok orang tua yang bersujud di pinggir jalan, di tengah hujan, menjadi lebih memanusia karena melihat manusia yang sedang tidak berdaya. Ada sesuatu yang lebih besar dari manusia hadir di sana.

Barangkali ayah sujud bukan karena tak tahan dengan rasa pusing. Barangkali ia melakukannya karena itu adalah posisi yang paling merendah. Ia merasa perlu merendah, serendah-rendahnya, di hadapan sesuatu yang mutlak tak terhindarkan: mati.

Aku teringat martir. Para martir bukan hanya menyongsong kematian dengan sukarela, mereka bersemangat seperti menjelang seorang kekasih. Bukankah semangat itu datang dari suatu keyakinan bahwa kematian mereka akan memiliki makna? Makna yang melampaui diri mereka sendiri. Makna itu, baru tampak ketika kita mau menerima, ada yang lebih besar dari kita. Dengan begitu, diri juga menjadi berarti.

Aku kira, memang ada orang yang siap menjelang kepastian mutlak bernama kematian itu.[]

Pasir Impun, 14 November 2010

Heru Hikayat

Note: awalnya esai ini diposting di Facebook pada 17 November 2010.