Monday, August 23, 2010


[Esai]

Penulis sebagai Petani
---Anwar Holid

Mungkin karena pekerjaan sampingan ayahku bertani, aku sering mengibaratkan penulis sebagai petani. Di sela-sela kerja utamanya sebagai guru dan kepala sekolah dasar, di desanya ayahku punya satu-dua bidang tanah yang dia garap untuk ditanami berbagai tumbuhan. Sekarang, aset terbesarnya ialah sepetak kebun jati yang batangnya baru sebesar badan anak berumur sepuluh tahunan. Dulu, di satu ladang dia menanam jagung, di ladang lain ada singkong atau rambutan. Di lain waktu, dia menanam padi, kelapa dan pisang---dua tumbuhan ini bisa dikatakan berbuah abadi dan senantiasa ada di kebunnya.

Bekerja sebagai petani butuh tenaga fisik cukup besar. Pada beberapa kasus, lahan pertanian bisa berada di tempat yang sulit dijangkau dan cukup berbahaya, misalnya di lereng gunung, tempatnya jauh, di bibir jurang, atau di tanah itu banyak batu besar berserakan. Kita harus menyiangi, membersihkan dari tanaman lain yang mungkin mengganggu dan mengambil jatah makan, menyirami, memupuki (dari membeli tentu saja!), dan terus memperhatikan perkembangannya. Siapa tahu, tanpa muncul gejala lebih dulu, mendadak hama menyerang, atau entah dari mana asalnya tiba-tiba tananam itu diserang penyakit. Meski baik-baik dipelihara, bisa saja tanaman itu mati begitu saja tanpa sebab jelas. Kejadian menjengkelkan seperti itu bisa terjadi dalam berbagai taraf, mulai dari yang ringan, jamak, bisa diatasi, hingga berupa gagal panen ditambah kerusakan alam. Seberapa sering kita mendengar berhektar-hektar sawah terendam, kekeringan, atau diserbu belalang dan tikus, membuat petani merugi besar-besaran. Sia-sialah usahanya berbulan-bulan memelihara dan berharap panen. Kalau petani itu beriman, dia akan berserah diri dan mengadukan nasib pada Tuhan; sadar betapa kejayaan dan kejatuhan itu bagian dari kehidupan. Tapi bila si petani kurang sabar, mungkin dia akan menyalahkan alam dan memaki Tuhan.

Dari ayah, aku belajar jadi petani itu pada dasarnya bisa cukup fleksibel, namun harus punya bekal memadai sebelum dan selama memelihara tanaman. Meski mungkin bisa kalau belajar dulu, ayahku belum pernah menanam vanili, cokelat, bengkuang, atau berkebun bunga. (Kakek & nenekku justru sudah lama berkebun cokelat). Bisa jadi dia tak tertarik menanam itu semua, tapi bisa jadi karena tanahnya kurang cocok untuk tanaman tersebut atau dia buta cara menanam maupun memanfaatkannya, misal ke mana harus menjual, bagaimana mengolah, atau menggunakannya. Maka sejauh ini dia menanam yang paling dia kuasai. Menjelang pensiun, ayahku belajar dua hal baru: memelihara kambing dan membuat kolam untuk ditanami ikan. Dia sukses memelihara ikan, bisa membuat mereka tumbuh besar, dan memanennya; tapi cukup gagal memelihara kambing. Dua dari tiga anak kambingnya mati dengan segera.

Di Lembang, Jawa Barat, ada petani bunga, sayur-mayur, dan jamur. Meskipun bertetangga, tidak masing-masing dari mereka bisa menanam tiga jenis tanaman itu secara berganti-gantian. Artinya, petani bunga bisa akan makin tahu dan ahli dengan bunganya, dan mungkin tak akan pernah menanam jamur, meskipun harganya bisa jadi menggiurkan. Sebaliknya, di antara petani jamur itu ada yang tadinya berasal dari kota. Mereka menjual rumah dan tanah, kemudian pindah ke Lembang, sudah belajar dan tahu cara menanam jamur, hingga kemudian sukses menjadi petani jamur, baik dengan memasok jamur ke hotel dan pasar khusus, maupun langsung ke pasar umum.

Dari petani, kita belajar untuk mengenal dulu karakter tanaman sebelum dipelihara, cara mengurus, dan konsisten terhadap tanaman tersebut. Tujuannya, agar ke depan, kita makin ahli menanamnya. Petani gladiol akan makin kenal perilaku bunga andalannya bila dia bergumul bertahun-tahun dan mempelajari cara menghadapi bunga tersebut. Aku pernah dengar seorang peternak kelinci berkata bahwa binatang itu mirip dengan manusia. Dalam hal apa misalnya? Kalau salah makan, ia akan mencret dan sakit. Kalau cuaca dingin, mereka lebih suka bergumul agar mendapat kehangatan. Kalau kepanasan mereka lebih suka diam dan istirahat.

Kalau kehidupan petani itu kita tarik dalam kehidupan penulis, kejadiannya sedikit-banyak cukup mirip dan bisa dibandingkan. Sebagian penulis hanya bisa menulis jenis tertentu. Seorang wartawan bisa jadi gagal kalau diminta menulis novel. Meskipun ada beberapa wartawan yang lancar juga menulis novel, misalnya Seno Gumira Ajidarma dan Akmal Nasery Basral. Pilihan antara mau jadi spesialis atau generalis bisa jadi pelik dan fleksibel, tergantung kebutuhan dan faktor kreatif. Sebagian penulis hanya bisa menulis fiksi, hanya mampu menggubah puisi, menulis naskah drama, menyusun proposal, menciptakan teks iklan, menulis memoar, atau menjadi scriptwriter. Tapi mungkin pada akhirnya seorang penulis ingin dikenal di satu-dua bidang tertentu yang di situ dia ahli dan cukup dihormati karya-karyanya, dan sebaliknya, publik juga mudah mengidentifikasi kehadiran dan karyanya. Kita lebih mengidentifikasi Ignatius Haryanto sebagai jurnalis dalam arti umum, dan punya integritas di sana, padahal ia juga produktif menulis buku dengan beragam tema atau memiliki perhatian besar dalam persoalan analisis wacana.

Kalau dilatih dan diusahakan, seorang penulis kemungkinan besar akan mampu menulis segala jenis tulisan. Asal persiapan dan ilmunya cukup, penulis pasti akan bisa menulis novel, berita, buku, memoar, opini, dan lain sebagainya. Kemampuan untuk menguasainya bisa dilatih dan dipelajari---apalagi ditambah jargon "kreatif" dalam dunia penulisan. Tinggal persoalannya ialah apa dia mau, merasa mampu, atau bahkan merasa bagus dan berwenang (otoritatif) untuk menulis subjek tersebut. Contoh, aku pernah mengajukan proposal penulisan buku biografi grup U2. Editor penerbit bersangkutan menolak usul itu karena amat ragu bakal ada orang Indonesia yang mau beli biografi tersebut bila yang menulis adalah aku, sebab aku bukan siapa-siapa di kancah jurnalisme musik. Alasan dia masuk akal. Tapi mungkin juga karena aku cukup punya pengalaman menulis biografi, dulu ada sebuah penerbit yang menawari aku agar bersiap-siap untuk menjadi ghost writer bagi Nazril Irham! Tapi sayang rencana itu abortif. (Kalau sukses, kata temanku kemarin, mungkin aku bisa mendapat 32 video yang kini dihebohkan orang-orang.) Bisa jadi Anda mampu menulis puisi, tapi kalau tak ada yang mengakui kemampuan itu, bisa jadi lama-lama Anda akan putus asa.

Di novel The Ghost Writer, Robert Harris menceritakan seorang penulis yang mampu beralih subjek sesuai pesanan karakter klien, mulai dari sepakbola, musik, film, maupun politik. Kemampuan itu cukup mirip dengan petani yang bisa fleksibel menanam berbagai tumbuhan---orang biasa menjuluki petani seperti itu "bertangan dingin." Dalam kasusku, aku sudah beberapa kali berhasil menulis tentang subjek yang sangat jauh dari perhatian utamaku. Meski cukup sukar, bukankah itu merupakan bukti bahwa bila kita mengeluarkan kemampuan maksimal dan berusaha keras, kerja tersebut mampu membuahkan hasil---apalagi ada ahli yang memeriksa, memberi masukan, dan menilai apa yang kita lakukan sudah benar atau belum. Tentu pembaca umum silakan menilai sendiri atau menyangsikan tingkat keberhasilan tersebut; apa tulisan tersebut bermanfaat atau sekadar mengulang informasi basi. Tentu baik-baik saja bila Anda memilih satu subjek sebagai pilihan karir, bahkan sangat mungkin ke depan Anda akan makin dalam dan hebat menguasainya.

Setelah berlatih, berusaha kreatif dan inovatif, mencurahkan tenaga dan perasaan sehebat mungkin, terus menghasilkan karya, belum tentu hasilnya sesuai harapan penulis. Bisa jadi tulisan itu gagal, ditolak penerbit, disangsikan teman dekat, diabaikan pembaca, harus diperbaiki di sana-sini sampai membuat penulis kepayahan, batal terbit, tetap dianggap sebagai main-main, atau paling parah manuskrip karya itu hilang, dicuri, dan tak kembali lagi. Itulah gagal panen bagi penulis. Apa itu merupakan upaya sia-sia?

Ada dua hal yang bisa dilakukan penulis kalau ia gagal panen. Pertama, mengubah strategi menulis; kedua pindah ke bidang lain yang memungkinkan dirinya lebih sukses.

Kalau menulis hanya membuat orang sengsara, tersiksa, terabaikan.... tinggalkan saja. Beralihlah ke bidang lain yang bisa membuat kita berhasil. Menulis hanyalah salah satu aktivitas dari kehidupan yang begitu ramai ini. Kalau orang memaksakan diri masuk ke sana dan membuatnya sakit; aku lebih suka menyarankannya berhenti dan memasuki dunia yang lebih mudah buat dia. Seorang kawan menasihati: "Ketika kegagalan datang beruntun di bidang yang sama, itu tanda waktu kita buat 'mendengar.' Sering kita lebih sibuk 'bicara' lewat karya, tapi kedodoran dalam 'mendengar' persepsi orang lain tentang karya itu, padahal merekalah pasar dari karya kita." Kadang-kadang menulis itu merupakan satu-satunya dunia yang bisa dimasuki seseorang, maka dia habis-habisan untuk memperjuangkan karyanya.

Tentu lain soal kalau kita mendapati penulis bertipe seperti Emily Dickinson atau John Kennedy Toole; keduanya menulis sesuai idealitas sendiri yang agak lain dengan kecenderungan umum zamannya. Meski semasa hidup tulisannya redup, dianggap tiada, gagal terbit... baru setelah meninggal bisa terbit, masyarakat luas segera tercerahkan dan sadar betapa hebat karya itu. Itulah penulis yang berkarya dengan keyakinan dan keuletan diam-diam, bahwa dia harus berkarya seperti itu. Keduanya pantang menyerah hanya karena semasa hidup tulisannya dianggap gagal dan ia secara fisik, finansial, dan emosi sia-sia menikmati buah yang ia pelihara. Namun toh akhirnya karya itu berkembang dan bersinar, mewangi di kemudian hari. Moralnya, kalau kita yakin bahwa kita punya misi untuk menulis sesuatu, lakukanlah sebaik mungkin. Dengan izin Tuhan karya itu akan abadi dan bisa dinikmati umat manusia kapan saja. Sudah banyak bukti dari cerita tentang penulis seperti itu. Di dunia pertanian, ada jenis petani yang dianggap aneh karena cara bercocok tanamnya unik dan butuh bertahun-tahun untuk meyakinkan publik bahwa cara seperti itu bisa diterima dan lebih selamat bagi alam.

Ada cerita seorang penulis senior datang ke penerbit menawarkan naskah. Setelah melihat dan membaca karya itu, editor menilai bahwa karya bapak itu serius, berat, segmented, bakal sedikit pembaca yang mau beli. Dia berkata, "Pak, tulisan bapak bagus, mendalam, berat, namun tetap cukup enak dinikmati. Sayangnya, kalau kami terbitkan naskah bapak, tak akan ada orang yang mau beli buku itu. Pasarnya terlalu kecil. Sekarang kami tawarkan, bagaimana kalau bapak menulis tema-tema yang kami butuhkan? Dengan kemampuan bapak yang hebat dan sudah terlatih, saya yakin bapak bisa menulis tema yang kami butuhkan, pasarnya cukup besar, dan sedang banyak dicari pembaca." Mula-mula bapak ini keberatan karena ia harus menulis sesuatu yang bukan intensitasnya atau temanya kurang dia sukai. Tapi setelah berhasil diyakinkan, akhirnya dia mau mencoba. Hasilnya? Karya-karya dia bisa terbit dan laku di pasar. Penerbit dan penulis sama-sama senang dan menang. Apa arti dari karya-karya dia yang ditolak? Mari kita anggap itu sebagai latihan melemaskan saraf menulis dan latihan intelektual. Paling buruk, karya itu suatu ketika bakal jadi artifak yang akan ditemukan arkeolog atau peneliti arsip. Bayangkan kalau bapak itu menolak permintaan editor; dia harus mencari-cari terus penerbit yang cocok dengan naskah itu. Mungkin hingga sekarang dia akan berstatus "penulis yang sedang berjuang." Kalau seorang petani terus-terusan gagal dengan tanaman yang telah dia pelajari baik-baik karakter dan cara pemeliharaannya, mungkin saatnya dia harus ganti tanaman. Kalau dia gagal menanam semua tumbuhan yang pernah dicobanya, mungkin dia memang tak berbakat jadi petani. Beralihlah dia mengoptimalkan bakat dan kemampuan lain dalam dirinya, misalnya berdagang atau jadi tukang.

Roy Peter Clark, seorang guru penulisan dari Amerika Serikat, lebih suka mengibaratkan penulis sebagai tukang kayu. Karena itu dia menyatakan bahwa penulis butuh perabot daripada aturan. Dalam Writing Tools, dia menyebut lima puluh perabot terpenting bagi penulis---dimasukkan ke dalam empat kotak besar---yang bisa digunakan untuk menciptakan tulisan hebat dan bermanfaat. Tukang kayu bertugas menciptakan benda-benda bermanfaat bagi penggunanya, termasuk memperbaiki bila benda-benda itu rusak. Jadi selain mula-mula membayangkan akan jadi apa kayu-kayu yang ada di tangannya, ia harus bisa membuat benda itu sampai terwujud sempurna. Di lain kesempatan, kalau barang-barang itu rusak, bisa dengan cekatan memperbaikinya, tahu apa yang rusak, dan tahu persis cara mengubah atau merombak agar indah dan berfungsi sempurna.

Strategi lain yang bisa ditempuh penulis agar lebih taktis berkarya ialah dengan lebih dulu mengajukan proposal penulisan yang kira-kira potensial diterima penerbit dan asyik untuk digarap dengan penuh semangat. Melalui proposal penulisan, penulis mula-mula hanya perlu membayangkan ideal buku itu nanti seperti apa, apa isinya, bagaimana karya itu akan disajikan, bagaimana cara membuatnya jadi menarik, apa nilai lebih maupun keunggulan dari karya itu, menyebut alasan kenapa dirinya pantas menulis subjek tersebut, siapa kira-kira dan seberapa luas pangsa pasarnya. Dengan begitu, penulis hanya akan menggarap usul yang disetujui; dia bisa menghemat tenaga untuk kerja-kerja produktif yang pasti akan ada pasarnya. Selebihnya dia bisa konsentrasi dan obsesif untuk mewujudkan karya-karya ideal yang bisa dia cita-citakan.

Dulu, ayahku bukanlah petani tulen. Namun kini setelah pensiun, mungkin dia mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya pada ladang, tanaman, dan ternak yang dia pelihara. Dengan itulah dia mendapat tambahan penghasilan, bahkan kadang-kadang kalau perlu sesekali dia berikan juga kepada aku---satu dari tiga anaknya---atau dititipkan buat cucu-cucunya. Sebagai penulis, kadang-kadang aku gagal dan melakukan wanprestasi, tindakannya berpotensi menghancurkan reputasi; tapi sebagian lagi mampu aku selesaikan dengan baik dan mendapat kepercayaan untuk menggarap kerja baru. Aku masih punya harapan dan kemampuan sebagai penulis. Dilihat dari situ, sebenarnya aku masih bisa belajar untuk meningkatkan panen dan penghasilan, meski sesekali muncul ketakutan dalam diriku. Mungkin itu masih wajar, sepanjang kepercayaan dan optimisme akan masa depan lebih kuat dan membuat kita lebih cerdas dan kuat berusaha.[]07/25/10

Anwar Holid bekerja sebagai penulis & editor. Buku barunya ialah Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Friday, August 20, 2010



Limpahan Energi Seorang Dewa Gitar
---Anwar Holid

Slash (album)
Artis: Slash
Rilis: Maret 2010
Genre: Hard rock, Blues rock, Heavy metal
Track: 14 (edisi standar), tambah variasi versi lain
Durasi: 60:29 
Label: EMI (Amerika Serikat), Universal Music (Jepang), Roadrunner Records (Eropa), Sony Music (Australia)
Produser: Eric Valentine, Kevin Churko, Kid Rock
Rating: ****


Di zaman hard rock/heavy metal memasuki era ketika aksi solo gitar dinilai usang, dianggap membosankan, dan bisa diabaikan, maka sebutan "dewa gitar" (guitar god) sebenarnya jadi irelevan. Apalagi bila dewa tersebut turun gunung untuk melemparkan album. Akankah publik bakal melihat dia masih sebagai ksatria bergitar, atau justru lebih menghendaki dan memperhatikan musik maupun komposisi yang dia tawarkan di dalamnya? Ketika itulah sang dewa sendiri mustahil bisa terus jalan bila cuma mengandalkan sayatan atau cara mengayunkan kampak. Dia harus menawarkan cara mencipta lagu yang wajib hebat dan bisa dikenang.

Slash merupakan salah satu ikon dewa gitar yang paling mudah dikenali di era 90-an, yakni ketika dia bersama Guns N' Roses---yang dijuluki "Band Paling Berbahaya di Dunia"---merajai dunia persilatan baik dengan sepak terjang musikalitas maupun berita-berita rusuh yang mereka hasilkan. Penampilan Slash sederhana: terkesan sangar, cool, jaket kulit, rambut kriwil, topi tinggi, kacamata hitam, rokok menggantung di bibir, dan gitar Gibson Les Paul. Sempurna untuk sosok seorang rock star. Apalagi sayatannya dalam "Sweet Child O'Mine", "Welcome to the Jungle", maupun "November Rain" dan "Estranged" kini telah menjadi klasik. Setelah itu, diawali munculnya grunge, lahirlah era ketika solo gitar perlahan-lahan ditinggalkan dan harus membagi ruang setara dalam band. Maka sebuah band hard rock kini mustahil mengandalkan gitaris sebagai sajian utama, melainkan seluruh individu. Bahkan dalam genre post-rock yang sebenarnya memberi peluang seorang gitaris utama (lead guitarist) untuk tampil gila-gilaan berkat kebiasaan melahirkan lagu instrumental, solo gitar sudah benar-benar teredam dan menelusup ke dalam komposisi secara keseluruhan. Ketika pada Agustus 2005 Rolling Stone mengeluarkan daftar 100 Gitaris Terhebat Sedunia, mungkin wajar bila nama Slash lenyap. Dia tersalip oleh gitaris yang bisa jadi lebih stylish atau secara musikalitas lebih mumpuni, seperti John Frusciante (Red Hot Chili Peppers), The Edge (U2), Kim Thayil (Soundgarden), bahkan oleh Joni Mitchell---seorang singer-songwriter folk-rock yang melahirkan lagu legendaris "Big Yellow Taxi."

Namun meski zaman berganti dan kecenderungan kurang berpihak padanya, Slash tetap menjalankan misi mesiahnya. Terbukti dia mampu kembali ke jalur sukses dengan membentuk Velvet Revolver. Setelah Velvet Revolver bubar, dia mengeluarkan album solo pertamanya, berjudul namanya sendiri. Sebagian orang berpendapat bahwa album ini hadir untuk membungkam Chinese Democracy yang kerap diolok-olok sebagai album solo Axl Rose dengan label Guns N' Roses. Jika Chinese Democracy memperlihatkan Guns N' Roses yang sudah berantakan, Slash justru mengerahkan kekuatan untuk menyatukan misi dengan memanggil semua kolaborator terbaik yang dia inginkan. Di album ini Slash mampu menghadirkan lagi semua kawan dalam Guns N' Roses era Appetite for Destruction, kecuali Axl Rose tentu saja. Dari sini kita bisa melihat betapa permusuhan Slash vs Axl Rose sudah mirip dengan persaingan Roger Waters vs David Gilmour atau John Lennon vs Paul McCartney. Terlebih-lebih kehadiran vokalis seperti Fergie mampu secara sempurna menggantikan posisi Axl Rose, baik dari cara nyanyi, cengkok, suara sengau, maupun powernya.

Di album ini, sisi paling menariknya mungkin memperhatikan bagaimana Slash menampilkan dan memilih vokalis. Ini sangat berharga mengingat setiap lagu harus diisi vokalis berkarakter dan jangan sampai album tersebut tampak memiliki cacat atau gagal hanya gara-gara kesalahan memilih penyanyi, apalagi dia bukan gitaris skillful seperti Steve Vai atau sangat ngulik seperti Tom Morello. Dari sisi ini, pilihan Slash sangat hebat dan jeli. Vokalis tamu di album ini rata-rata ikon hard rock/heavy metal segenerasi dengannya, antara lain Ian Astbury (The Cult), Chris Cornell (Soundgarden), Kid Rock; veteran seperti Ozzy Osbourne, Iggy Pop, Alice Cooper, Lemmy Kilmeister (Motorhead); maupun junior seperti M. Shadows (Avenged Sevenfold), Adam Levine (Maroon 5), Myles Kennedy (Alter Bridge), dan Andrew Stockdale (Wolfmother). Pilihan ini memperlihatkan cara Slash betapa dia tega mencampakkan Axl Rose. Menariknya lagi, dia mampu menghasilkan lagu yang sesuai dengan karakter para vokalis itu. Duet dengan M. Shadows menghasilkan lagu bertenaga sampai berbalut thrash metal, dengan Adam Levine menciptakan balada manis dan easy listening, bareng Ozzy lahirlah rock bernuansa gothic yang hebat, bersama Myles Kennedy mampu melantunkan "Starlight", sebuah slow rock tipikal yang kuat. Untuk menonjolkan ego diri sendiri, Slash menampilkan nomor instrumental bersama Dave Grohl (drum) dan Duff McKagan (bass) yang megah, ritmis, dan tentu saja penuh oleh raungan dan sayatan suara gitar.


Slash pas banget buat semua penggemar musik hard rock, terlebih mereka yang tergila-gila dengan karakter era akhir 80-an dan dekade 1990-an. Album ini total digerakkan oleh gitar, penuh limpahan energi; ia menampilkan kualitas Slash secara utuh. Sebuah album hard rock/heavy metal sejati, bisa memesona penggemar tua karena ada pionir heavy metal dan mampu menarik minat pendengar muda karena sukses berkolaborasi dengan para rocker terkemuka masa sekarang, termasuk kemulusan memadukan dengan sedikit unsur hiphop dan orkestra. Wajar bila review profesional yang berafiliasi dengan klasik rock atau gitar memuji-muji album ini, sementara media umum memberi nilai cukup. Kompas menilai album ini sebagai "album rock yang megah" menjelang rombongan Slash mengunjungi Indonesia untuk manggung di Surabaya dan Jakarta. Di album ini kita akan kembali menyaksikan dan menyimak betapa seorang dewa gitar tetaplah sakti apalagi dia terus konsisten menelurkan album lepas dari berbagai impitan masalah dalam karirnya. Lagu di sini rata-rata catchy, mampu memuaskan dahaga pemuja musik rock. Meski bisa jadi dinilai kurang inovatif, ini merupakan album dengan standar tinggi yang penuh selera.

Best track:
01 - Ghost (feat. Ian Astbury)
14 - We're All Gonna Die (feat. Iggy Pop)
09 - Watch This Dave (feat. Dave Grohl and Duff McKagan)
02 - Crucify The Dead (feat. Ozzy Osbourne)
11 - Nothing To Say (feat. M. Shadows)
12 - Starlight (feat. Myles Kennedy)
[]

Anwar Holid menyetel musik untuk menemaninya kerja. Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Situs terkait:
http://www.slashonline.com
http://slash.ultimate-guitar.com/tours/?awesm=53DAm
http://en.wikipedia.org/wiki/Slash_(album) --> info album
[BUKU INCARAN]

Menemukan Misi Diri Demi Kebaikan Hidup
---Anwar Holid

Masyarakat kita dikenal sebagai masyarakat religius tapi sayangnya bukan masyarakat yang spiritual. Kita rajin pergi ke tempat ibadah tapi begitu ke luar dari sana kita menjadi orang yang berbeda 180 derajat. Kita percaya pada Tuhan tapi tidak beriman kepada Tuhan. Ketika beribadah kita menyembah Tuhan, tapi ketika berbisnis kita memasabodohkan Tuhan. Kita melakukan hal-hal tercela tanpa beban, seolah-olah Tuhan tidak melihat kita, bahkan menganggap Tuhan tidak pernah ada.

Tuhan bukanlah sosok yang jauh. Dia sangat dekat dengan diri kita dan senantiasa memperhatikan kita. Dosa, kesalahan, dan perbuatan tercela sesungguhnya disebabkan manusia tidak percaya bahwa Tuhan itu senantiasa melihat dan bersamanya. Pemikiran inilah yang semakin meyakinkan saya betapa pernyataan "You Are Not Alone" sangat powerful.

Demikian tulis Arvan Pradiansyah di kata pengantar buku terbarunya You Are Not Alone: 30 Renungan tentang Tuhan dan Kebahagiaan (Elex Media, 252 hal.) yang terbit awal Agustus 2010. Buku tersebut merupakan renungan dirinya mengenai Tuhan dan kebahagiaan. Tuhan yang dimaksud dalam buku tersebut lebih bersifat sebagai Tuhan universal, tidak mengacu pada ajaran agama tertentu. Tujuannya agar renungan tersebut dapat dinikmati oleh pembaca dengan beragam latar belakang, bahkan yang mengaku ateis sekalipun. Jadi buku ini berbicara mengenai spiritualitas, bukannya religiositas. Maka dalam buku itu bertebaranlah pernyataan penyejuk jiwa dari berbagai khazanah manusia, mulai dari agama-agama di dunia ini, kisah dan perlambang, juga berbagai kajian spiritualitas yang berkembang di masa kontemporer. Bagi peminat karya-karya Arvan, buku ini mungkin akan segera mengingatkan pada Life is Beautiful karena juga disajikan melalui kisah singkat yang mampu membangkitkan kedalaman spiritual.

"Saya ingin menulis buku yang dapat mengirimkan pesan kuat untuk memprovokasi pikiran orang agar dapat berubah menjadi lebih baik," tegas Arvan. Dia berharap buku ini memiliki dampak cukup signifikan bagi pengembangan karakter masyarakat Indonesia. Tentu sungguh memprihatinkan bila kita membaca fakta betapa mayoritas penduduk di negeri religius ini justru memiliki kebiasaan korupsi yang mengerikan. Tidak ada satu pun lembaga penegakan hukum yang bersih dari korupsi.

Karenanya, dalam buku ini Arvan berusaha mengaitkan spiritualitas dengan pembentukan manusia agar menjadi lebih berkualitas. Dia menyatakan bahwa manusia itu diciptakan dengan misi masing-masing dari Tuhan. Tulisnya: Hidup adalah sebuah misi yang harus kita pertanggungjawabkan. Tuhan tidak menciptakan kita sekadar untuk memenuhi dunia. Tuhan pasti menciptakan kita dengan maksud tertentu. Ada misi Tuhan yang dititipkan kepada kita. Namun Dia hanya secara implisit menyatakan yang Dia inginkan dari kita masing-masing. Kitalah yang harus mencarinya dengan cara mengeksplorasi dan mengenali diri masing-masing. Karena itu, hal terpenting dalam hidup ini ialah menemukan apa yang terpenting dan menjalankan apa yang terpenting. (Hal. 123.)

_____________________________________
DETAIL BUKU

You Are Not Alone: 30 Renungan tentang Tuhan dan Kebahagiaan
Penulis: Arvan Pradiansyah
Penerbit: Elex Media, 2010
Halaman: 252 hal., soft cover
Kategori: Spiritualitas; Inspirasional; Pengembangan Diri
ISBN: 978-979-27-7918-9      
Harga: Rp.52.800,-
_____________________________________

Arvan menggunakan judul You Are Not Alone dari lagu Michael Jackson untuk menyatakan bahwa manusia tidak sendiri. Di manapun kita berada, ke manapun kita pergi, kita selalu menjumpai Tuhan. Lagu itu pertama kali dia dengar ketika bersekolah di The London School of Economics (LSE), London, Inggris, jurusan Industrial Relations & Human Resources tahun 1995 berkat beasiswa British Chevening Awards dari The British Council. Arvan dikenal sebagai ahli sumber daya manusia, konsultan perusahaan, kolumnis, dan pembicara publik. Arvan juga telah menulis beberapa buku best seller, di antaranya You Are a Leader!, Life is Beautiful, dan The 7 Laws of Happiness. Selain itu dia juga merupakan narasumber tetap untuk talkshow "Smart Happiness" di Smart FM Network setiap hari Jumat pukul 07.00 - 08.00 WIB yang disiarkan langsung ke-22 kota di Indonesia. Semua itu melengkapi aktivitasnya sebagai Managing Director di Institute for Leadership & Life Management (ILM), sebuah lembaga pelatihan dan konsultasi sumber daya manusia, kepemimpinan, dan life management berbasis di Jakarta.

Arvan Pradiansyah menyebutkan rencananya bahwa buku You Are Not Alone akan dilaunching di toko buku Gramedia Matraman, Jakarta, pada Sabtu, 28 Agustus 2010.[]


Copyright © 2009 oleh Anwar Holid

Situs terkait:
http://www.elexmedia.co.id
http://www.ilm.co.id

Arvan Pradiansyah juga berinteraksi di http://www.facebook.com

Friday, August 13, 2010


Kreatiflah dengan Alasan Kuat
---Anwar Holid

Oh My Goodness, Buku Pintar Seorang Creative Junkies
Penulis: Yoris Sebastian
Penerbit: GPU, 2010
Ukuran: 14 x 21 cm
Harga: Rp 68.000,-
ISBN: 978-979-22-5526-3


Yoris Sebastian menggabungkan pengetahuan dan pengalaman kreatifnya dengan berbagai contoh bahwa kreativitas bisa berupa apa saja yang memungkinkan; baik berupa pengembangan dari hal yang sudah ada maupun berawal dari sesuatu yang dianggap mustahil karena aneh dan menentang arus---antara lain berupa penemuan, buah dari penelitian. Kita bisa belajar banyak tentang berpikir dan bertindak kreatif maupun menemukan ide-ide segar baik untuk bekerja dan menambah wawasan dari buku ini.

Landasan isi buku ialah pengalaman kerja dan kehidupan penulisnya sebagai orang kreatif. Yoris menerima penghargaan tahunan International Young Creative Entrepreneur of the Year (2006) dari British Council. Dia menjadi berita karena merupakan General Manager Hard Rock Cafe termuda di Asia saat berusia 26 tahun (GM termuda kedua di Dunia). Di sini dia sukses menyelenggarakan acara yang secara umum diakui sebagai mahakaryanya, yaitu I Like Monday. Yoris menerima berbagai penghargaan terutama di bidang advertising dan entertainment. Kini dia adalah CEO OMG Consulting, yang kerap mampu memaksa mulut para klien menganga dan berkata 'oh my goodness' atas usulan-usulan mereka.

Buku ini mula-mula menerangkan kreativitas itu apa, seperti apa, bagaimana ia berperan dalam kehidupan maupun karir seseorang, cara menggali dan memanfaatkannya, mengasah maupun menambahnya, mengadopsi kreativitas pihak lain dan mengolah untuk kepentingan sendiri, lantas mengambil keputusan kreatif secara terkontrol tanpa lupa mempertimbangkan risiko. Dia banyak mengajukan contoh betapa kreativitas itu sangat luas dan mengejutkan, mulai dari pesulap hingga pebisnis sukses kelas nasional dan dunia.

Yoris menyebut dirinya sebagai 'creative junkie' (kecanduan oleh hal kreatif). Dia menerapkan kreativitas dalam banyak detail kehidupan, misal sengaja mengenakan arloji di tangan kanan, berlawanan dengan kebiasaan umum yang mengenakan di tangan kiri. Buku ini pun menanggung akibat salah satu keputusan kreatifnya, yaitu sengaja tanpa nomor halaman. Kalau tanpa nomor halaman, lantas kenapa buku ini sampai perlu dibagi tiga 'part' dalam sembilan 'chapter'? Bukankah pembaca bakal kesulitan langsung menuju masing-masing topik? Ini memberi peluang bahwa pembaca bisa membaca buku dari mana saja tanpa perlu khawatir akan kehilangan keutuhan dan kepaduan akan pemikirannya.

Yoris merupakan contoh sempurna orang Indonesia yang gemar mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris secara bersamaan baik lewat kosakata, istilah, maupun kalimat. Jangankan untuk ekspresi, dia sengaja menggunakan or untuk ganti atau. Isi buku ini pun sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris, begitu juga babnya. Dia menggunakan 'chapter' alih-alih bab. Atau menulis begini: as easy as follow someone kreatif di twitter! Kenapa dia tidak sekalian menulis dengan ungkapan inggris? Oh my goodness, what a decision! Jadi jangan berharap banyak pada mode penyuntingan buku ini, terutama menyangkut copyediting. Buku ini sembarangan dan inkonsisten menggunakannya, misal penggunaan huruf kapital, italic, dan bold yang suka-suka. Dia menulis “Singapore” dan “tau” alih-alih “Singapura” dan “tahu.” Ada poin-poin yang ditulis italic, tapi di tempat lain normal. Di satu tempat nama majalah italic, di lain tempat tegak, sementara judul film dibiarkan tegak. Di halaman tertentu waffle ditulis tegak, di halaman lain italic---meski hanya penulis yang tahu apa itu artinya. Sementara sejumlah kosakata asing yang rasanya telah biasa kita dengar dan tahu artinya malah dicetak italic, seperti workshop, style, fresh, skill. Namun toh dia masih selip menulis "Project Manhattan" dan "Dead Poet's Society", bukan "Manhattan Project" atau "Dead Poets Society." Salah eja di halaman copyright buku ini pasti terjadi karena teledor dan tetap sulit diterima bila dinilai sebagai keputusan kreatif.

Dengan tegas Yoris mengesankan bahwa kreativitas merupakan alat untuk mencapai keberhasilan. Kreatif idealnya berbanding lurus dengan kesuksesan dan kemakmuran. Semakin kreatif seseorang, akan semakin sukses dia. Anggapan ini jelas merupakan buah dari pandangan umum bahwa semua orang sekarang memang ingin tambah sukses dan makmur. Yoris mengingatkan jangan sampai kreatif semata-mata karena ingin beda. Kreatiflah dengan alasan kuat. Jangan sampai kita rugi hanya karena ingin disebut kreatif. Maka menurut Yoris kreatif yang gagal dijual itu sia-sia. Di sinilah pentingnya memperhatikan pemikiran dia mengenai thinking outside the box, execute inside the box---yakni agar orang tidak semata-mata aneh dan nyeleneh, tapi juga sungguh-sungguh mengantisipasi dan memperkirakan risiko seteliti mungkin dari kreativitasnya. Itu pentingnya memulai kreativitas dari hal kecil. Bila hanya bikin heboh tapi tak berdampak pada penjualan dan pendapatan, itu kreativitas yang buruk dan merugikan. Dia pernah mengalami hal semacam itu. Karena itu dia berprinsip execute inside the box, artinya bertindak sesuai keterbatasan di dalam ruang kreatif yang relevan. Intinya, bermain aman. Tapi kalau yakin berani ambil risiko lebih besar dengan harapan ledakan hasil yang jauh lebih besar lagi, dia mengajukan prinsip perbandingan 70:20:10 sebagai landasan untuk memaksimalkan hasil.

Kita bisa salut dan bertanya tentang kreativitas pada Yoris. Misal apa yang akan terjadi bila kreativitas sama sekali tak didukung dana, perusahaan, atau lingkaran terdekat pencetusnya. Akan sia-siakah kreativitas itu? Kasus Vincent van Gogh mungkin menarik kita renungkan. Semasa hidup, dia melukis terutama menggunakan warna-warna cerah dan sapuan kuas yang tebal, kuat, dan kasar. Ini bertentangan dengan kebiasaan perupa di zamannya, meski jelas inovatif dan berani. Hasilnya? Karyanya gagal total menarik perhatian masyarakat umum semasa dirinya hidup---terutama kalangan patron seniman. Lukisannya hanya laku 1-2. Hidupnya hina dina, disepelekan, ricuh dengan teman, dan karyanya diabaikan. Karya kreatifnya gagal memberi efek positif baik pada dirinya, kesuksesan, maupun masyarakat di zaman itu. Kondisi itu membuatnya frustrasi. Namun bertahun-tahun kemudian setelah kematiannya yang tragis, karyanya baru dinilai hebat dan dunia mengakui dirinya sebagai pelopor aliran ekspresionisme. Karya-karyanya kemudian bernilai luar biasa mahal dan diburu banyak orang. Tapi semua sudah terlalu terlambat bermanfaat untuk dirinya sendiri. Ini paradoks mengerikan.

Orang seperti van Gogh lebih mudah dianggap sebagai misfit (salah tempat) daripada kreatif. Ini membuktikan bahwa sebagian dari kreativitas gagal dan berpotensi merugi secara besar-besaran. Fakta tersingkirnya laserdisk, kamera Polaroid, disket, video Betamax, juga Netscape Navigator yang awalnya dinilai lebih inovatif dan berkualitas namun akhirnya tersingkir baik karena ketinggalan zaman, ribet, atau kalah oleh penemuan baru yang lebih massif dan diterima orang kebanyakan menunjukkan ada sejumlah faktor kenapa suatu produk kreativitas bisa sukses dan lainnya gagal, selain semata-mata soal persaingan bisnis yang kejam. Sayang aspek ini tak dibahas Yoris.

Lepas dari itu, Oh My Goodness tetap menarik karena bisa membangkitkan saraf kreatif pembacanya. Penyajiannya yang informal, berbagai teknik mewujudkan kreativitas, juga ajakan untuk tetap semangat belajar menimba ilmu pengetahuan dari berbagai sumber agar lebih menyuburkan kreativitas merupakan sisi menarik buku ini yang pantas dihargai, apalagi Indonesia sekarang tengah menggalakkan jargon “industri kreatif.”[]

Anwar Holid, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Buku barunya ialah Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Saturday, August 07, 2010

[BUKU INCARAN]

Bertaruh Nyawa untuk Menerbitkan Memoar
---Anwar Holid

The Ghost Writer (Sang Penulis Bayangan)
Penulis: Robert Harris
Penerjemah: Siska Yuanita
Penerbit: GPU, 2010 
Tebal: 320 halaman; format: 15 x 23 cm 
ISBN: 978-979-22-5562-1
Harga: Rp.50.000,- (Soft Cover)


The Ghost Writer perlahan-lahan tamat juga di sela-sela deadline kerja penulisan yang sempat bikin aku blank, karena harus menjelajahi subjek sulit. Tadinya aku pesimis bisa menamatkan novel ini karena perasaan bersalah lebih baik memburu target kerja dan berusaha keras terserap ke dalam tugas, tapi rupanya kadang-kadang aku tenggelam sebentar ke dalam novel ini. Novel ini aku baca dengan rasa gelisah karena kerja belum selesai, sementara deadline tambah dekat, dan seorang klien menghentikan kerja sama---entah untuk sampai kapan. Buku ini aku bawa-bawa ke Jakarta, sesekali aku baca di tengah angkot atau mobil dinas yang membawaku ke para narasumber yang mau diwawancarai, hendak aku serap pengalaman dan ilmunya.

Pada dasarnya The Ghost Writer bercerita tentang dua orang. Orang pertama itu ialah penulis bayangan (ghost writer) yang disewa untuk merevisi dan menulis ulang memoar mantan perdana menteri Inggris bernama Adam Lang. Orang kedua ialah Adam Lang sendiri. Ketika itu Adam Lang tengah diajukan ke Mahkamah Internasional oleh mantan menteri luarnya yang kini bekerja di PBB. Menteri luar negeri ini dulu dipecat Lang dari kabinetnya; dia seorang politisi senior, berpengaruh, dan integritasnya tampak terjaga.

Lang dituntut atas kejahatan perang. Dia diduga memberi perintah penangkapan dan penginterogasian empat warga negara Inggris keturunan Pakistan atas desakan CIA, yang lantas dibawa paksa ke penjara Guantanamo. Lang juga diduga memerintahkan sebuah operasi rahasia yang dilaksanakan tanpa persetujuan parlemen. Meski dicintai warga negara Inggris dan politik luar negerinya berhasil, Lang tampak terlalu menjadi kolaborator Amerika Serikat dengan mendukung semua kebijakan perang melawan terorisme. Tuduhan kejahatan inilah yang membuatnya nyaris digelandang ke pengadilan internasional di Amsterdam. Beruntung dia tengah berada di Martha's Vineyard, sebuah pulau kecil di Massachusetts, Amerika Serikat, yang terkenal sebagai tempat liburan orang Amerika Serikat kala musim panas. Amerika Serikat tidak ikut mengakui pengadilan internasional. Jadi selama ada di sana, untuk sementara Lang aman. Sayangnya dia di sana kala musim dingin, di pulau terpencil pula; jadi suasananya benar-benar sepi, sebab hanya berisi segelintir penduduk setempat yang berprofesi sebagai nelayan, dan sehari-hari diterpa hujan deras dan badai. Istrinya terang-terangan bilang sebenarnya Adam Lang sudah bernasib seperti Napoleon Bonaparte yang diasingkan di pulau Elba. Sebenarnya, niat awal Lang ada di sana ialah menyelesaikan memoar politik pasca dirinya selesai menjadi perdana menteri. Memoar ini bukan saja bernilai jutaan dolar karena sudah terikat kontrak dengan penerbit raksasa, namun juga merupakan satu-satunya cara dirinya membela diri dan berpeluang menimbulkan pengakuan kontroversial. Sayangnya, sekretaris setianya, seorang staf politikus tiada tara, ghost writer pertama yang sudah menulis draft awal memoar itu, ditemukan tewas ketika hendak menyerahkan manuskrip ke penerbit. Maka disewalah ghost writer kedua, narator dalam novel ini.

Ghost writer kedua ini seorang oportunis. Dia satu almamater dengan Adam Lang, hanya beberapa tahun di bawahnya, apolitis, hidup melajang, dan tampak egois. Meski terbilang sukses berkarir sebagai ghost writer dan tahu posisinya dalam industri buku, dia berharap bisa meningkatkan karir karena selama ini kliennya rata-rata orang "kelas dua", misalnya rockstar uzur dan karirnya sudah tenggelam tapi tetap merasa jadi mesiah, atau pemain sepak bola kasar yang merasa ucapan-ucapannya sekelas dengan Shakespeare. Mungkin dengan mendapat klien mantan perdana menteri, karirnya jadi melesat luar biasa.

Memang benar. Begitu sepakat mengerjakan proyek itu dan mendapat panjer (uang muka) besar, suatu hari dia dihajar orang asing yang hendak merebut manuskrip memoar sang mantan perdana menteri. Tapi halangan itu tak menyurutkan niatnya. Ketika benar-benar mulai mengerjakan proyek bersama Adam Lang, harapannya tampak semakin nyata. Sebagai pribadi, Adam Lang sangat mempesona. Dia seorang komunikator andal, pandai meyakinkan, sekaligus tegas dalam mengambil keputusan. Tapi dalam jalinan politik, kita sulit memastikan sebenarnya seperti apa pengaruh kebijakan-kebijakannya. Apa keputusannya membuat Inggris makin signifikan berperan di dunia internasional, kondisi ekonomi dan isu-isu keadilan bertambah baik atau terpuruk. Kita tahu bahwa sebagian dari politik ialah kompromi, baik dengan partai, kolaborator, bahkan dengan kekuatan musuh sekalipun.

Sikap apolitis sang ghost writer pada satu sisi menyulitkannya bekerja dan menyelami ada apa sesungguhnya di dalam dan luar politik Inggris, namun di sisi lain membuatnya bebas sekaligus tega berpendapat apa pun tentang Adam Lang. Karena berjarak sangat jauh dengan politik dan tetek bengeknya, sang ghost writer sebenarnya tepat mengerjakan order ini. Dengan kemampuannya, dia mampu mengubah naskah memoar Adam Lang sebagai politisi dan kering tanpa drama menjadi manusia utuh yang patut mendapat simpati. Dia jadi tahu sisi pribadi Lang yang mungkin kurang disadari publik, misal betapa Adam selalu minta input dari siapapun sebelum mengambil keputusan, atau ternyata kehidupan rumah tangga mereka sudah runtuh. Tapi demi nama baik dan citra internasional, mereka belum bisa cerai, meskipun sudah pisah ranjang. Fakta ini makin seksi karena hidup Adam diatur oleh sekretaris perempuan gesit sebagai bagian dari protokoler resmi dan aturan partai. Kita rasanya mendapat suguhan plot sempurna: politik, kekuasaan, perempuan, dan konspirasi. Robert Harris mengolahnya menjadi kepenasaran yang amat berisiko, terutama bagi sang narator. Tentu dia ingin menguak siapa sesungguhnya Lang, bagaimana lingkaran kekuasaan memainkan peran melalui lembaga studi di universitas maupun korporasi multinasional, tindakan politik yang mengerikan, sampai mendapati tanda-tanda di luar prakiraannya sendiri. The Ghost Writer sampai ujung setia pada peran ganda itu: Di satu sisi, buku ini memberi gambaran hebat bagaimana seorang penulis bekerja, baik menggunakan nurani, insting, maupun profesionalitasnya. Di lain sisi ia menuturkan kehidupan sang perdana menteri sejak awal menapaki karir politik hingga caranya merebut kekuasaan.

"Dalam banyak level, The Ghost Writer adalah novel yang hebat," demikian pendapat USA Today. Menurut mereka, Harris membuat novel ini sarat godaan, kekuasaan, dan manipulasi. Bahkan Roman Polanski tak tahan untuk mengadaptasinya menjadi film. Sementara itu nyaris seluruh resensi di media massa internasional lain tergoda untuk mengaitkan novel ini dengan kejadian nyata politik di Inggris. Robert Harris tampak mau menampilkan suasana lebih muram lagi, mulai dari musim dingin, London yang jadi mirip Jakarta karena kerap ada dalam situasi bahaya baik oleh teror bom atau demonstrasi, sampai kehidupan pribadi sang ghost writer yang kelihatan kekurangan cinta dan simpati.[]

Anwar Holid pernah menjadi penulis bayangan. Buku barunya ialah Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Link terkait:
http://www.gramedia.com/buku_detail.asp?id=KCQN1516&kat=4
http://en.wikipedia.org/wiki/The_Ghost_(novel)
http://en.wikipedia.org/wiki/Robert_Harris_(novelist)
Esai
Tulisan untuk Mengenali Diri Sendiri
---Anwar Holid

Esai itu mirip rok mini: cukup panjang untuk menutupi subjek, cukup pendek biar kelihatan menarik.
---Anonim

Esai ialah pendapat pribadi atas hal tertentu atau menyampaikan gagasan mengenai sesuatu. Kalau begitu, apa bedanya dengan opini? Pada dasarnya, keduanya sama saja, sebab opini juga berarti pandangan pribadi mengenai sesuatu. Mereka hanya beda sedikit saja. Misal topik tentang rokok. Dengan pendekatan atau teknik tertentu, tulisan tersebut bisa menjadi esai atau opini. Kalau kita mengeksplorasi rokok dari kenikmatan mengonsumsinya, kapan pertama kali berkenalan dengannya, apa yang terjadi pada dirinya selama merokok, betapa rokok mengingatkan seseorang akan ayahnya yang tega membeli rokok untuk diri sendiri daripada memberi uang untuk istri atau jajan anaknya---kemungkinan besar tulisan itu akan jadi esai. Sebaliknya, kalau kita menulis tentang dampak merokok pada kesehatan, betapa industri rokok menyumbang besar bagi ekonomi negara, bisa menyerap tenaga kerja besar-besaran---bisa jadi akan melahirkan opini.

essay: A short written composition in prose that discusses a subject or proposes an argument without claiming to be complete or thorough exposition. The essay is more relaxed than the formal academic dissertation.
---The Concise Oxford Dictionary of Literary Terms

Ada esai yang ditulis secara formal dan informal. Esai formal, sebagaimana sering kita baca dalam opini, jurnal ilmiah, atau makalah (paper), pendekatannya resmi, termasuk waktu memaparkan masalah, menarik kesimpulan, juga gaya bahasa dan penyampaiannya. Meski sama-sama mengutip buku, pendapat orang, atau menceritakan suatu peristiwa, esai informal dan formal mudah dibedakan. Seperti apa?

(1) Bahasa esai imajinatif. Ia bersifat lentur, mengalir, enak dinikmati, membuat kita terpikat untuk menuntaskan, menikmati pemaparan penulis. Bahasa imajinatif bisa muncul berkat pilihan kata yang tepat dan kaya, ungkapannya segar, maupun pernyataan yang mampu membuat pikiran orang mengembara.

Istilah "mengalir" dipengaruhi oleh kepaduan (koherensi) antarparagraf, karena ia memuluskan pembacaan, tidak loncat-loncat---lebih buruk lagi bila membuat pembaca merasa tersandung-sandung atau terperangkap. Inkoherensi antarparagraf berpotensi membingungkan karena pembaca butuh jangkar untuk mengaitkan informasi agar menjadi satu pemahaman utuh. Memang mungkin saja komposisi sebuah tulisan kompleks; namun selama keterkaitannya terjaga, tulisan itu tetap berpeluang enak dinikmati.

essay: Short nonfiction prose piece: a short analytical, descriptive, or interpretive piece of literary or journalistic prose dealing with a particular topic, especially from a personal and unsystematic viewpoint.---Encarta® World English Dictionary

(2) Esai menonjolkan pendapat pribadi. Semua definisi mengaitkan esai dengan pandangan pribadi. Ciri ini kerap membuat esai dipandang sebelah mata, yaitu khawatir bahwa pandangan pribadi yang subjektif itu pasti berat sebelah dan ujung-ujungnya dicap tidak ilmiah. Padahal pendapat pribadi mengutamakan kedalaman keterlibatan orang terhadap subjek yang dijelajahinya, sejauh mana ia mau menggali persoalan sampai ke intinya. Karena sungguh-sungguh terlibat, harapannya orang bisa berpendapat secara jernih, jujur. Di sinilah nilai penting esai: ia merupakan upaya seseorang menemukan kebenaran. Kebenaran yang mana? Minimal kebenaran bagi penulisnya dan subjek yang hendak dia paparkan.

Esai menunjukkan bahwa pendapat pribadi juga sah untuk menerangkan sesuatu. Pendapat penulis, orang yang dikutip, juga subjek tulisan bisa menjadi pijakan pendapat, karena integritas dan keunggulan seseorang bisa dipertanggungjawabkan. Orang punya pertimbangan rasional untuk mengajukan pendapat. Sayang sebagian orang suka kurang percaya diri untuk mengajukan pendapat (anggapan) sendiri, akibatnya ia lebih suka mengutip pendapat orang lain yang dianggap lebih otoritatif atau valid untuk menopang pendapatnya.

Dari segi isi, esai lebih merupakan upaya untuk memahami persoalan atau fenomena daripada menerangkan. Orang boleh jujur menyatakan pikiran terdalam, penolakan, kebingungan, bahkan paling liar sekalipun, juga meraba-raba suatu fenomena akan bermuara ke mana. Esai memberi ruang renung yang spekulatif. Di buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan (2004), Ignas Kleden merenungi makna sastra Indonesia setelah membaca dan menginterpretasi sejumlah karya sastrawan Indonesia. A. Sudiarja dalam Bayang-Bayang (2003) merenungi manfaat filsafat bagi kebajikan manusia untuk menjalani kehidupan sehari-hari.

essay: A moderately brief prose discussion of a restricted topic. ---A Handbook to Literature

Esai itu fleksibel. Kita bisa menulis hal sepele seperti fanatisme pada pulpen tertentu hingga masalah berat bagaimana nasib budaya baca di tengah gempuran budaya tonton. Esais bisa membahas panjang-lebar subjek tertentu---misal mengenai kesakitan dan kondisi manusia dalam Illness as Metaphor (1978) karya Susan Sontag---sampai esai personal seperti dilakukan Haris Fauzi dengan Kenisah. V. S. Naipaul menulis esai panjang untuk membicarakan India, negeri leluhurnya, sementara Budiarto Shambazy terlatih menulis fenomena kasak-kusuk politisi secara atraktif, disertai komentar berani dan tajam.

Ciri penting esai ialah gairah seseorang menelusuri subjek yang ingin dikejarnya. Gairah ini biasanya melahirkan kedalaman (intensitas), membuat penulis melahap sebanyak mungkin bahan bacaan sebagai bahan renungan dan interpretasi yang ujungnya akan melahirkan suatu sikap atau ketetapan hati. Bacaan tidak melulu berfungsi sebagai bahan kutipan, tetapi sebagai vitamin yang akan membuat wawasan atau pikiran seseorang berkembang. Tentu saja wawasan juga bisa muncul dari pengamatan maupun kejelian terhadap kehidupan sehari-hari atau fenomena yang menarik hati penulis. Pengamatan inilah yang kerap melahirkan penyataan jenial (bersifat ramah dan bertujuan baik).

Esai yang baik biasanya mampu membangkitkan gairah berpikir yang lebih hebat kepada pembaca---bisa jadi awalnya mengawang-awang, namun lama-lama menguat, terpatri, dan mewujud menjadi khazanah batin. Ini memang bersifat batiniah dan abstrak, sebab bacaan yang hebat seringnya menyirami kehausan jiwa baik pada pengetahuan dan kebajikan.

essay: An analytic, interpretative, or critical literary composition usually much shorter and less systematic and formal than a dissertation or thesis and usually dealing with its subject from a limited and often personal point of view. Choosing the name essai to emphasize that his compositions were attempts or endeavors, a groping toward the expression of his personal thoughts and experiences, Montaigne used the essay as a means of self-discovery.---Merriam-Webster's Encyclopedia of Literature

Setelah membahas bentuk dan sifatnya, kita bisa menyimpulkan bahwa pada dasarnya esai itu tulisan alamiah seseorang mengenai hal tertentu. Esai hanya berbeda sedikit dengan berita. Dalam berita wartawan justru harus memberi tahu peristiwa atau hal-hal di luar dirinya kepada publik. Esai sebaliknya, penulis mengemukakan pandangan, komentar, keyakinan, dalam dirinya kepada publik. Montaigne, penulis Prancis yang pertama kali menggunakan kata "essai" dalam buku-bukunya pada tahun 1572 memaksudkan esai sebagai upaya untuk menemukan (mengenali) diri sendiri.

Karena itu saran agar orang lancar menulis esai ialah dengan membiasakan menulis sesering mungkin, ditambah belajar dari tulisan maupun bacaan hebat karya orang lain---kalau mau ditambah buku tentang penulisan. Dilihat dari hasil akhir, esai memamerkan ciri khas penulis. Tentu butuh jam terbang agar seseorang mengenal karakter tulisan sendiri---dan sebaliknya, pembaca langsung tahu bahwa sebuah esai merupakan karya penulis tertentu. Untuk mencapai kaliber seperti itu, penulis butuh daya tahan, produktivitas, pembelajaran, dan tentu saja: penemuan diri sendiri.[]

Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Contoh esainya ada di http://halamanganjil.blogspot.com. Buku barunya ialah Keep Your Hand Moving (GPU, 2010).

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
Kami Memburu Naskah Potensial yang Bisa Dijual
---Anwar Holid

Kalau diberi kesempatan, naskah seperti apa yang akan kamu terbitkan? Jawabannya: aku mau  menerbitkan semua buku yang aku inginkan.

Mimpi! Kenyataan tak semudah itu. Penerbit merupakan lembaga bisnis yang bertaruh dengan uang. Ia berhitung untung-rugi. Setiap penerbit punya selera dan ketentuan sendiri. Jujur, penerbit manapun lebih suka menerbitkan naskah yang sudah dijamin biaya produksinya---misal oleh penulis sendiri, pemodal, atau pihak lain yang berkepentingan---daripada harus menerbitkan naskah yang pasarnya belum jelas, butuh energi, dan biaya besar untuk balik modal. Kecenderungan ini terbukti dari banyaknya naskah pesanan, padahal editor sudah kerap memberi tahu bahwa naskahnya tidak layak dan teknik penulisannya payah. Tapi karena penerbit pasti mendapat untung tanpa perlu susah-susah menjualnya, naskah itu tetap harus terbit, bahkan kerap dirayakan dengan gegap gempita.

Buku yang terbit kadang-kadang tak ada hubungannya dengan naskah baik atau buruk. Sering penerbit hanya butuh naskah laku, yang langsung bisa meyakinkan bakal mendatangkan uang, menghasilkan bonus, terjual ratusan ribu kopi, dan memasarkannya dengan semangat. Mau naskah sebagus apa pun, semulia apa pun, kalau dinilai tak mendatangkan untung tak bakal diterbitkan. Kalau terpaksa diterbitkan, entah oleh penerbit profesional atau self-publishing, hasilnya sama saja: buku itu menumpuk bertahun-tahun, sebelum akhirnya akan dikilo ke tempat loak. Naskah bagus bisa berbeda dengan naskah laku, dan itu merupakan misteri bagi semua pemain industri perbukuan, meski penerbit terus berusaha menaklukannya.
Banyak buku yang dilecehkan sebagian pembaca ternyata laris di pasar, jadi bestseller, dicetak puluhan kali, mendatangkan untung miliaran rupiah bagi penerbit dan penulis. Penerbit kerap lebih tertarik dengan naskah yang punya potensi jadi bestseller daripada naskah yang dianggap baik. Untuk mendapat naskah bestseller penerbit bahkan berani menyewa penulis dan membayar kontan. Orang boleh saja menghina-hina sebuah buku rendah mutunya, kosong isinya, ditulis biasa saja, bahkan mungkin merupakan pseudosains utak-gatik-gatuk, tapi kalau buku itu laku, silakan gigit jari orang yang menghina-hina itu. Setiap buku laris pasti bakal ada susulannya; penerbit lain sangat ingin mendapat naskah sejenis itu. Penerbit selalu mencari momen bestseller, bagaimanapun caranya.

Kalau begitu, naskah seperti apa yang bisa terbit? Jawabannya jelas naskah yang bakal laku bila jadi buku. Jawaban ini bisa sangat beragam bentuknya, sebab penerbit punya pernyataan bisnis masing-masing---bahkan bisa tak malu-malu mengkhianati pernyataan itu. Contoh: ada penerbit yang berafiliasi dengan Islam malah menerbitkan buku tentang seorang Yahudi yang dianggap menghancurkan dunia Islam. Kenapa penerbit ini mau menerbitkannya? Karena dia ingin memetik keuntungan dari buku itu.

Naskah yang bisa menarik perhatian penerbit biasanya punya ciri sebagai berikut:
1/ Ditulis dengan rapi. Ini syarat mutlak. Selera editor biasanya langsung rusak bila melihat naskah yang terlalu banyak salah eja. Bila seleranya rusak, dia akan lebih kesulitan lagi menemukan permata dalam naskah itu. Wah, bukankah memperbaiki dan memoles kesalahan naskah itu tugas editor? Benar. Tapi penulis harus menolong diri sendiri dulu. Penulis dilarang membebankan persoalan elementer ini pada editor. Di sinilah pentingnya penulis harus berusaha mengetik secara disiplin dan akurat, kalau bisa tanpa kesalahan satu pun.

2/ Subjek (isi) tulisan itu jelas. Penulis mestinya mengusung ide tertentu yang fokus. Ia mau bicara apa? Bagaimana cara dia menyampaikan pemikiran? Kalau bertele-tele, banyak menyertakan hal irelevan, malah membuat kabur persoalan, editor bisa langsung menolak naskah itu atau mencorat-coretnya. Kalau cara penyampaiannya kurang greget, sementara ide ceritanya biasa, naskah itu akan mudah diabaikan. Sebaliknya, meski ide ceritanya biasa, namun disampaikan secara unik, atraktif, dengan sudut pandang menarik, kemungkinan besar naskah itu masih tetap bisa memikat. Isi naskah merupakan perhatian utama editor, sebab pada dasarnya itulah yang akan ia kemas menjadi buku yang bisa dijual, bisa ditawarkan kepada calon pembaca.

Jonathan Karp, seorang editor berpengalaman di Amerika Serikat, menyatakan: "Kami akan mati-matian berusaha menerbitkan buku yang luar biasa, karya penulis yang memiliki perspektif unik, otoritasnya diakui, dan mampu menarik perhatian orang. Karya yang bisa menjelaskan mengenai budaya kita. Ia mesti bisa menerangi, menginspirasi, memancing emosi pembaca, sekaligus menghibur. Pendapat, otoritas, maupun subjek buku itu harus tunggal, istimewa, luar biasa."

Noor H. Dee, editor di LPPH, berpendapat bahwa sebuah naskah pantas diterbitkan bila memiliki nilai kebaruan dan keunikan. Pembaca juga harus bisa mendapatkan manfaat dari naskah tersebut. "Saya lebih memilih naskah yang sedang hip (digemari) di pasaran, sebab trend pasar juga jadi pertimbangan saya," demikian ujarnya.

3/ Punya nilai lebih atau keunggulan yang bisa ditonjolkan. Ini berguna bila subjek bahasan penulis serupa dengan penulis lain, atau topik itu sudah dibahas banyak buku lain. Apa yang ditawarkan naskah ini, misalnya apa rahasia yang belum terungkap penulis lain, temuan baru, efektivitas, bahkan hal-hal sepele yang mungkin bisa diunggulkan sebagai nilai jual.

Contoh kasus: Isi Outliers (Malcolm Gladwell) kalau dilihat-lihat sangat klise, berisi pandangan manusia tentang kesuksesan. Buku motivasional atau how-to sudah membicarakannya dari banyak sisi. Tapi kenapa Outliers tetap bisa menonjol secara luar biasa dan jadi bestseller gila-gilaan? Bisa jadi karena dua hal: (1) teknik penulisannya hebat dan lincah sekali. (2) cara berpikir Gladwell unik dan cara dia menarik kesimpulan mengejutkan.

Carol Meyer dalam The Writer's Survival Manual menyebut ada tujuh faktor yang sering jadi pertimbangan editor dalam meloloskan naskah, yaitu:
1/ Apa naskah ini cocok dengan buku-buku terbitan sebelumnya? Apa penerbit pernah sukses dengan buku seperti ini? Kalau tidak, apa ada celah baru yang masuk akal untuk menerbitkan naskah ini? Bagaimana menjualnya?

2/ Apa subjek buku itu akan bisa dia edit dengan nyaman? Kalau harus outsource, apa biayanya terjangkau?

3/ Apa editor punya waktu untuk mengeditnya?

4/ Apa naskah itu ditulis dengan baik?

5/ Bagaimana kompetisi naskah sejenis di pasar?

6/ Apa subjek naskah itu sedang populer, membuka subjek baru, atau punya kemungkinan melahirkan trend baru?

7/ Apa penerbit sanggup membiayai ongkos produksinya?

****

Tak ada yang suci di dunia penerbitan. Sebuah naskah bisa terbit karena belasan alasan dan kondisinya macam-macam. Apalagi naskah apa pun bisa dipoles dan direvisi. Bahkan kerap terjadi naskah yang sebenarnya belum layak pun bisa dipaksa terbit bila ada pihak yang menginginkan atau mau membiayainya. Ingatlah buku-buku buruk yang pernah kita baca. Standarnya ialah asal naskah itu memenuhi syarat tertentu, masuk kategori cukup (tidak memalukan bila diterbitkan), bisa diupayakan, ada sesuatu yang ingin dikejar, maka naskah itu niscaya bakal terbit.

Sederhananya, bila editor menilai bahwa naskah yang dibacanya sudah cukup bagus, cukup yakin bahwa naskah itu punya nilai jual, ia akan meloloskan dan mengusulkan untuk diterbitkan. Kalau naskah disiapkan dengan baik, itu sudah cukup untuk menjadi bahan buku yang memadai. Perkara bestseller, siapa yang tahu. Banyak buku bestseller kualitas isinya biasa saja. Ada buku yang isinya bermutu tapi tak laku. Secara umum, Dari dulu buku bestseller itu tipikalnya sama: penulisannya populer, isinya mudah dipahami, cukup "ringan" waktu dibaca, menggugah (inspirasional), memberi wawasan yang segar, simpel, berorientasi pasar, bisa memenuhi selera umum seluas mungkin.

Kalau Anda mau menulis buku yang berpeluang jadi bestseller, menulislah secara populer dan informal. Pelajarilah cara menulis yang efektif-efisien. Belajarlah dari buku laris, bergurulah pada penulis, instruktur menulis, atau penerbit yang tergila-gila pada buku bestseller.

Salah satu faktor bestseller ialah karena buku itu ditulis oleh seorang ahli di bidang tertentu dan dia mampu menggunakan keahlian atau wawasannya sebagai basis untuk meyakinkan pembaca, bukan untuk pamer pengetahuan atau justru menonjol-nonjolkan betapa tinggi ilmunya. Alasan ini mungkin masih kabur. Konkretnya: carilah naskah karya seorang ahli di bidang tertentu, ditulis secara populer, banyak memiliki insight, dan segar, mungkin ia bakal mudah jadi buku bestseller.

Fakta ada banyak naskah yang awalnya ditolak puluhan editor, gagal diterbitkan penerbit tertentu, namun begitu diterima dan diterbitkan pihak lain ternyata mendapat pengakuan hebat di mana-mana, dikritik habis-habisan, atau akhirnya jadi bestseller mestinya membuka mata dan menyemangati penulis bahwa naskah yang baik itu pasti layak diterbitkan dan punya nilai jual. Karena itu teruslah menulis dan berkarya.

Keep your hand moving.[]

Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Buku barunya yang akan terbit ialah Keep Your Hand Moving (GPU, Juli 2010). Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Thursday, August 05, 2010

KEEP YOUR HAND MOVING Sudah Terbit

[PENGUMUMAN]

Teman-teman, buku KEEP YOUR HAND MOVING sudah terbit pada akhir Juli 2010 lalu. Bila berminat, teman-teman bisa membelinya di toko buku Gramedia, toko-toko buku lain (semoga tersedia), ataupun secara online dari link ini.

Buku ini tipis, harganya Rp.35.000,-

Setelah baca maupun beli, saya berharap buku itu:
(1) Bermanfaat bagi Anda semua, terutama untuk praktik menulis.
(2) Dikritik habis-habisan.

Intinya, dengan buku ini saya mengajak orang menulis sesuai maksud, ekspresif, dan rapi.

Masukan Anda pasti sangat bermanfaat, terutama karena saya berniat menulis sekuelnya. (Bahan-bahan sudah ada, cuma subjeknya belum fokus.)

Sekilas kisah di balik penerbitan buku itu ada dalam posting 'Harapan Atas Terbitnya Keep Your Hand Moving.'

Komentar awal atas terbitnya buku ini ada di link ini.

Terima kasih atas kebaikan dan keramahan teman sekalian.

Wasalam,


Anwar Holid

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Harapan Atas Terbitnya Keep Your Hand Moving
---Anwar Holid

Seorang kawan yang tahu bahwa bukuku akan diterbitkan GPU suatu hari bertanya, 'Degdegan enggak anak barunya mau lahir?'
'Enggak sih, cuma aku berharap banget jangan sampai melakukan kesalahan fatal di buku itu.'
'Memang kenapa?'
'Aku kan rewel sama editan buku-buku yang aku baca. Kalau bukuku sendiri banyak salah eja misalnya, tentu menyedihkan. Bisa malu sendiri aku. Apalagi ini buku tentang penulisan.'
'Ha ha ha... mengkritik memang mudah ya?'
'Enggak juga sih. Yang penting kan ada dasarnya. Cuma akan konyol kalau aku melakukan kesalahan serupa. Takut blunder.'
'Terus apa yang kamu lakukan?'
'Aku sudah bilang ke editor yang ngurus bukuku agar mengusahakan jangan sampai ada kesalahan. Supaya hati-hati. Aku juga begitu. Kami sudah ngobrol dan saling berusaha. Apalagi naskah ini juga sudah dibaca sama orang lain. Jadi ada pembanding.'
'Apa harapan kamu setelah buku itu terbit?'
'Aku berharap minimal tiga hal: (1) penjualan buku itu laris; (2) bermanfaat bagi banyak orang; (3) dikritik habis-habisan. Karena itu aku lagi usul ke bagian promosi GPU agar bisa mengadakan publisitas untuk buku itu. Syukur kalau bisa beberapa kali.'
'Semoga dikabulkan. Enggak semua orang bisa mendapatkannya.'
'Benar.'

Buku ini berjudul KEEP YOUR HAND MOVING, diterbitkan GPU pada akhir Juli 2010.

Waktu terakhir kali memeriksa cetak coba buku itu, muncul salah eja mengagetkan, misal ada tulisan 'berkecupan', padahal di naskah asli aku menulis 'berkecukupan.' Bagaimana bisa muncul kesalahan seperti itu?

Kawan lain bertanya, 'Apa ini buku tentang motivasi menulis?'

Sebenarnya ini bukan buku murni tentang cara menulis setahap demi setahap. Yang lebih aku tekankan pertama-tama ialah mempersuasi orang untuk menulis sebebas mungkin, abaikan dulu soal tetek-bengek bahasa. Aku ingin bilang 'ayo menulis secara bebas dan rasa senang, terus kita perbaiki perlahan-lahan lewat disiplin, biar luwes.' Baru nanti di ujung buku aku sebut pentingnya standar bahasa, EYD, menulis secara rapi, dan berusaha jangan sampai melakukan kesalahan elementer yang bisa menodai kredibilitas penulis. Menulis dengan baik dan  rapi itu menguatkan kepercayaan orang lain. Aku lebih suka bilang ini buku tentang berbagi soal penulisan.

Komentar dia, 'Siapa tahu kalau disebut sebagai buku "panduan" maka lebih jelas dan tegas.'

Sang editor menimpali: 'Ada fakta bahwa subjudul yang simpel dan komunikatif biasanya justru akan membuat sebuah buku lebih laku. Toh, judul utamanya sudah cukup "stylish." Tak ada salahnya dengan kata "panduan."'

Maka editor memilihkan subjudul 'Panduan Menulis, Mengedit, dan Memolesnya' untuk buku tersebut.

Keep Your Hand Moving intinya mengajak orang menulis sesuai maksud, ekspresif, dan rapi. Mula-mula buku ini berusaha membangkitkan saraf dan kebiasaan menulis, berani mewujudkan ide jadi tulisan yang utuh, enak dibaca, layak publikasi---baik untuk ditawarkan ke media massa atau penerbit maupun disebar ke publik lewat berbagai cara. Banyak orang suka menulis, tapi caranya kerap sembarangan, mengabaikan aturan umum, sementara mereka buta standar yang berlaku, padahal ingin tulisan itu dibaca massa. Maka sering terjadi miskomunikasi. Di sini pentingnya menguasai norma bahasa, karena ia menyetarakan cara berpikir. Dengan itulah penulis dan pembaca jadi 'nyambung.'

Penulis juga perlu mampu menilai, menganalisis, dan mengedit karya sendiri, melenturkan tulisan atau menggayakan cara bertutur agar lebih hebat dan bertenaga. Ujungnya menyemangati untuk mau belajar dari karya orang lain, pantang menyerah, dan terus menciptakan karya terbaik.

Materi naskah buku ini awalnya berasal dari dua workshop penulisan yang di sana aku jadi gurunya, ditambah tulisan ketika aku diundang jadi instruktur atau bahan diskusi di workshop lain. Setelah aku coba utuhkan isinya, proposal bukunya aku ajukan ke GPU. Aku memohon endorsement kepada delapan orang untuk buku ini; lima di antaranya bersedia memberi, yaitu Hernowo, Ignatius Haryanto, Arvan Pradiansyah, Adenita, dan Akmal Nasery Basral.

Semoga Keep Your Hand Moving bisa menjadi bacaan berharga bagi mereka yang bermaksud ingin mengungkapkan gagasan, melampiaskan perasaan, dan sama-sama berusaha meningkatkan kualitas tulisan. Beberapa bulan lalu ada kawan lamaku kirim email begini: 'Aku ingin belajar nulis, euy. Harus bagaimana ya?' Buku ini semoga bisa menjawab pertanyaan sejenis itu.[]

Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141