Monday, April 25, 2011

[HALAMAN GANJIL]

Tentukan Sendiri Makna Pekerjaanmu
---Anwar Holid

"Dulu, waktu menjadi general manajer di sebuah perusahaan multinasional, aku menganalogikan pekerjaanku seperti burung dalam sangkar emas. Pekerjaan itu mentereng, digaji besar, nyaman, tapi entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang hilang dan kurang. Di kantor itu, yang paling sering aku lakukan ialah hanya menandatangani berbagai berkas kredit, perjanjian dengan perusahaan lain, dokumen karyawan, rapat, dan rutinitas yang menjemukan. Aku kehilangan kesempatan berbuat hal besar, yang bisa membuat aku merasa lebih punya makna terhadap lingkungan.

"Sekarang, setelah punya perusahaan sendiri, aku menganggap pekerjaan ini sebagai pelayan, atau kalau mau sedikit lebih 'hebat', mengibaratkan pekerjaanku sebagai juru masak. Dengan menjadi pelayan untuk klien aku bisa memberi lebih banyak kepada orang dan lingkungan, dan karena itu aku mendapat kebahagiaan lebih besar. Dengan menganggap diriku sebagai juru masak, aku harus menyiapkan 'masakan' yang enak untuk pelanggan, sesuai selera dan kebutuhan mereka. Perusahaan mereka butuh apa, orang-orangnya perlu apa. Sama halnya, masak kan soal selera, bagaimana cara menyajikan. Kalau enak, harganya pas, layanannya memuaskan, pelanggan akan datang dan datang lagi. Kalau pelanggan terus-terusan datang, bisnis kita pun dengan sendirinya pasti akan langgeng," demikian kata seorang kenalan seniorku.

Apa terdengar aneh bahwa seseorang bisa merasa lebih bahagia dengan menjadi pelayan daripada seekor burung yang tinggal dalam sangkar emas? Bisa jadi.

Seorang kawan lain menganggap pekerjaannya sebagai gigolo. Apa dengan begitu konotasi pekerjaannya jadi rendah? Kalau memperhatikan betapa seorang gigolo juga harus pandai menyenangkan dan memuaskan orang yang membayarnya, kita mungkin boleh menilai tidak ada salahnya dengan perumpamaan itu. Yang penting alasannya, bukan merasa jadi apa seseorang dengan pekerjaannya.

Mendengar analogi makna pekerjaan bagi seseorang, pikiranku terlontar pada tukang pulung yang memunguti benda yang dianggapnya masih punya nilai. Kira-kira, paling luhur, mereka memaknai pekerjaan mereka sebagai apa? Apa mereka menilai dirinya sebagai sapu yang membersihkan ruangan atau halaman yang kotor, menyedot debu-debu yang menyesakkan, mengambili sampah yang dibuang oleh penghuni joroknya secara sembarangan. Pernahkah mereka menganggap pekerjaannya sebagai menteri kesehatan atau menteri pekerjaan umum, misalnya?

Bagi bintang film porno, kira-kira mereka menganggap pekerjaannya sebagai apa? "Ah, kamu jangan ngomong soal bintang film porno. Bisnis dan industrinya saja sudah aneh," sergah kawanku. Di Amerika Serikat, bintang film porno pun bangga dengan profesinya. Kenapa? Mereka ikut berperan menyejahterakan negara dengan bayar pajak, selain itu, mereka tentu saja menghibur orang yang kesepian, memuaskan fantasi dan selera orang terhadap seks.

Ada rockstar yang menganggap dirinya sebagai messiah. Meski kehidupan pribadinya kacrut, dia tetap punya energi untuk terus menyuarakan kritik dan pesan moral. Ada pedagang yang merasa dirinya adalah pembawa berita gembira. Baik-baik saja bila barangnya hari itu tidak terbeli, yang penting dia telah memberi tahu dunia, ada benda miliknya yang bisa membuat kualitas hidup umat manusia jadi lebih hebat. Ada seniman yang menganggap dirinya sebagai lelaki penghibur. Ada pemain bola yang merasa dirinya adalah penari bila sedang berada di lapangan hijau. Ada orang yang merasa dirinya ialah lilin---sebuah analogi usang. Dia menerangi lingkungan sekitar, tapi lama-lama energinya habis dan sumbunya hangus.
Dengan memaknai pekerjaan, orang punya alasan betapa hidupnya jadi berarti. Kesadaran itu memotivasi dirinya untuk berbuat hebat, memberi makna dalam kehidupan. Dalam perusahaan, dia mampu melampaui pekerjaan lebih dari sesuatu yang fisikal; sementara dalam kehidupan dia merasa ada sejumput manfaat dalam hidupnya di dunia ini. Mungkin itulah yang membuat seseorang jadi kreatif, betah, dan ingin terus memberi yang terbaik. Orang itu menemukan passionnya. Talentanya berkembang secara maksimal.

Tentu ada banyak paradoks tentang cara orang memaknai pekerjaannya. Seorang polisi bisa punya motivasi yang buruk ketika menangkap penjahat atau orang yang dituduh kriminal; seorang debt collector mungkin justru merasa sukses setelah mengintimidasi penunggak utang kaya yang mencoba berkelit bayar utang. Teroris maupun pelaku bom bunuh diri kerap mengganggap dirinya melaksanakan perintah mulia dari Tuhan.

Bisa jadi seseorang justru menemukan kebahagiaan dan makna meski menurut kita pekerjaannya menjemukan dan remeh. Pikirkan office boy, penjual jamu, pelacur, rockstar, tukang reparasi mesin, penulis, operator, TKI di luar negeri, buruh kasar, sopir, babu, dan semua pekerjaan yang mungkin kita bayangkan. Sudah kerap terbukti betapa pekerjaan mentereng pun tidak menjamin memberi makna pada seseorang. Ada banyak orang yang berada di puncak karir, dengan jabatan tinggi, pengaruh besar, kekuasaan penuh, malah merasa kosong atas pekerjaan dan kehidupannya. Tapi lepas dari tekanan dan kehampaan, orang masih berusaha bertahan dan terus berjalan, karena ada banyak pertaruhan di sana. Perhatikan stres, interaksi, perintah, dan negosiasi tiada henti antara karyawan, kolega, manajer, dan perusahaan. Perhatikan pekerja atau bahkan direktur yang bingung karena gajinya tetap terus kurang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan orang yang dia tanggung, sebesar apa pun penghasilannya. Apa istrinya terlalu boros, kebutuhan anaknya terlalu besar, dan gaya hidupnya sangat mahal? Pikirkan orang bangkrut dan perusahaan besar yang utangnya tak terbayar sampai akhirnya divonis pailit.

Siapapun bisa kehabisan alasan tentang makna pekerjaannya. Pekerja seperti ini sudah habis. Dia akan terlihat seperti bongkahan balok kayu mati. Semulia maupun setinggi apa pun predikatnya, sudah selayaknya dia dijadikan kayu bakar, dipaksa tutup buku, dan ganti profesi yang sesuai dengan gairahnya. Ada cerita tentang seorang musisi yang sudah jenuh menjalani hidup dari panggung ke panggung, pindah tempat setiap minggu, hilir mudik dengan kawan band, hiruk-pikuk konser dan belakang panggung, sampai dia menemukan gairah baru sebagai pilot untuk perusahaan transportasi. Ada dokter yang berhenti berkarir karena lebih mendapatkan kepuasan sebagai sales alat kesehatan.

Tidak semua makna kerja didapat semata-mata karena orang sukses di bidang itu. Ada orang yang justru hancur setelah sukses. Pikirkan orang yang pernah membuat "one hit wonder." Seorang kawan senior pernah bilang begini tentang pekerjaannya sekarang, "Apa lagi coba yang ingin kita cari dalam pekerjaan? Aku pernah jadi manajer, general manager, direktur, bahkan komisaris perusahaan. Pernah ditawari head hunter dengan gaji di luar bayanganku sendiri. Tapi ternyata yang paling membuatku merasa berarti ialah ketika berbagi ilmu kepada orang lain, menyampaikan keyakinan terhadap sesuatu: begini lho cara membuat agar kita lebih baik menjalani karir dan kehidupan."

Dari berbagai komentar itu, tak ada cara tertentu untuk memaknai pekerjaan. Namun pastikan bahwa Anda mencintai apa yang Anda kerjakan. Terlalu remeh, orang bisa disepelekan; terlalu sering, orang bisa lecet. Temukan sendiri kebahagiaan Anda dalam bekerja. Peran setiap orang beda-beda. Sebagian orang senang jadi pengendali, sebagian puas dengan menganggap dirinya sekrup. Orang mungkin sulit memuaskan dahaga dirinya dan tidak bisa selalu mendapat apa yang diinginkannya. Tapi orang jelas bisa bahagia oleh hal kecil. Formulanya bisa jadi sederhana, seperti kata John Ruskin, kritikus seni dan sosial asal Inggris yang hidup dua abad lalu. Dia bilang begini: "Agar bahagia dalam bekerja, ada tiga hal yang diperlukan. Cocok dengan pekerjaan itu. Tidak berlebihan mengerjakannya. Dan memiliki naluri kesuksesan di dalamnya."[]

Anwar Holid, menganggap pekerjaannya sebagai desainer.

Friday, April 01, 2011

Kita Juga Bangsa yang Rajin!
---Anwar Holid

Demi berkomitmen dan bersikap profesional terhadap janji, sudah sekitar tiga bulan ini aku selalu berusaha berangkat ke Jakarta sekitar pukul 04.00 dini hari. Tentu saja aku menyiapkan kepergian itu lebih dari setengah jam sebelumnya; jelas aku harus lebih sigap dari awal. Entah karena ngebut atau kehilangan orientasi waktu, bangun-bangun sering aku mendapati mobil travel yang aku tumpangi sudah berada di pintu gerbang tol Pondok Gede. Di waktu sepagi buta itu ternyata semua pintu tol sudah penuh oleh kendaraan. Antrean mobil mengular panjang, memenuhi semua jalur masuk. Kendaraan sudah begitu banyak. Beruntung para pengendara tertib, jadi lalu-lintas cukup lancar meski sangat padat. Mungkin mereka hanya perlu ekstra hati-hati agar tidak menyerempet maupun terjadi insiden.

Masuk ke tengah kota lebih-lebih lagi, motor dan mobil saling berdempetan. Kali ini suasana lebih semrawut; tapi meski begitu tampaknya  masih terkendali. Orang-orang sudah menguasai jalanan, siap berlomba menuju tempat masing-masing. Belum lagi ternyata halte-halte  busway juga sudah penuh oleh penumpang. Menyaksikan itu semua, dalam hati aku bilang, "Wah, orang Indonesia ternyata rajin-rajin kan?  Enggak semalas seperti cerita yang sering aku dengar." Buktinya orang sejak pagi buta sudah siap-siap berangkat kerja. Aku jadi ingat  seorang tetangga yang punya warung. Dia harus berangkat ke pasar induk pada dini hari untuk belanja barang, biar dirinya masih punya waktu untuk tidur sebelum shalat subuh, setelah itu langsung buka hingga menjelang magrib. Dulu banget, aku pernah diajak teman ke Depok sore-sore naik KRL. Wadao, tiada terbayang penuh dan berdempet-dempetnya. Kepadatan dan situasinya mungkin hanya bisa disaingi orang-orang Yahudi malang yang dipaksa masuk untuk diangkut ke dalam gerbong kereta oleh tentara Nazi. Kejam dan tidak manusiawi.

Menyaksikan kerja keras dan sifat rajin bangsa sendiri itu, entah kenapa rasanya terbit rasa bangga di dada. Tapi sebersit tanya juga muncul: "Kenapa ya kita masih terkenal sebagi bangsa yang malas atau tingkat kesejahteraannya rendah? Ini cap jelek atau kenyataan?  Bukannya ini semua bukti nyata bahwa kita pun sangat rajin?" Aku jadi rada jengkel dengan puja-puji terhadap kehebatan bangsa lain di negeri  tetangga. Kayaknya yang bagus-bagus itu selalu dari luar negeri. Bahwa mereka kayaknya lebih rajin dan giat. Contohnya pujian bertubi-tubi pada bangsa Jepang setelah peristiwa bencana tsunami pada awal Maret 2011. Wah, pujian itu justru membuat dadaku mendidih, sampai  menyemangati aku untuk menyelesaikan tulisan ini. "Kita juga bangsa yang rajin kok. Kita mungkin hanya terlalu undervalue dan underrated  terhadap diri sendiri, dan sebaliknya terlalu overvalue terhadap bangsa lain. Kita sudah sama-sama giat, tapi mungkin masih ada sesuatu yang salah hingga kondisi kita masih terbilang buruk." Nah, tanya kenapa. Memang rajin, bekerja keras, dan tabah itu seperti apa?
http://markodia.blogspot.com/2010/10/renungan-hari-rabu-tgl-13-oktober-2010.html

Seorang kawan berkomentar. "Kalo rajin datang tepat waktu terus absen, itu mah cuman rajin karena. Kebanyakan orang itu pada datang pagi-pagi hanya karena agar tidak telat masuk kantor. Sehabis itu banyak yang ngopi-ngopi sambil santai merokok… dan menunggu jam 5 datang. Apa rajin yang seperti itu? Sedangkan kerjaannya cuma melihat jam? Ini terjadi loh di kantor pemerintahan."

Kawan senior berkata, "Mesti dilihat dulu beda rajin dengan keharusan. Mereka rajin pagi-pagi datang ke kantor karena kemauan dan kesadaran diri atau karena 'takut' dapat teguran dari atasan yang notabene bisa mengancam karir mereka di kantor? Dilihat dari kehidupan sehari-hari memang harus diakui bangsa Indonesia masih jauh dibandingkan bangsa Barat." Tuh kan, meski mengakui bahwa kita memang bangsa rajin, teuteup saja terdengar nada undervalue di sana. Sengit pada bangsa sendiri.

Aku sendiri pernah menyaksikan kehebatan sebuah bangsa. Ceritanya aku ikut workshop buku fotografi di lembaga budaya negara tersebut. Aku melihat dan meraba sendiri seperti apa kehebatan dan kemajuan mereka dalam menciptakan produk. Benar-benar sampai membuat kami para peserta minder, bahkan aku sendiri pesimistik sampai membatin begini: "Entah apa yang harus kami lakukan untuk mengejar ketertinggalan itu."

Jadi bagi bangsa Indonesia, rajin dan tabah saja masih kurang. Belum ada nilai tambahnya. Masih dari senior tadi, dia menambahkan, bangsa lain itu punya budaya on-time yang hebat. "Bahkan di tempat hiburan pertunjukan anak, orang Barat sangat menghargai waktu. Aku pernah hanya telat sekitar 10 menit ke tempat pertunjukan, namun waktu negosiasi dengan petugas sambil menunjukkan  tiket, mereka bilang pertunjukan sudah mulai dan bila aku masuk akan mengganggu konsentrasi orang yang sedang menonton. They are very punctual person." Padahal soal jadi "punctual person" sebenarnya kita pun sudah dilatih, misal dari jadwal ibadah dan deadline. Tapi entah kenapa rasanya masih belum berpengaruh besar pada hidup kita.

Apa ini soal skala kemassifan? Secara individu ada banyak di antara kita yang etosnya sangat rajin, bekerja keras, tepat waktu, dan profesional. Tapi karena jumlahnya masih minoritas dibandingkan bangsa Indonesia secara keseluruhan, kebiasaan baik itu masih gagal menciptakan budaya massa yang mampu mengalahkan secara telak kebiasaan buruk sebuah bangsa. Akibatnya, kita bangsa Indonesia masih begini-begini saja. Kekurangan, cacat, dan pelanggarannya masih terlalu banyak dibandingkan upaya memperbaikinya.

Contoh pengalamanku sendiri. Meski jadwal berangkat persis pukul 04.00, sering mobil travel baru berangkat lima belas menit atau bahkan setengah jam kemudian. Kenapa? Menunggu penumpang yang ketinggalan. Lebih parah lagi, beberapa kali kejadian mobil ternyata belum ada di lokasi. Akibatnya para penumpang jelas terlambat sampai di tujuan. Kawanku yang rutin naik KRL juga begitu. Gangguannya ada-ada saja. Entah jalur rusak, mati listrik, ubah jadwal seenaknya, atau antre giliran. Akibatnya, penumpang terlambat dan terlantar. Padahal mereka sudah berangkat jauh lebih pagi dan mengantisipasi kejadian buruk.

Seorang instruktur Barat pernah menyebutkan kunci kemajuan bangsanya: "Ini bukan untuk merasa jadi arogan. Barangkali pengalaman bicara. Kami belajar. Kami menemukan dan mencari." Aku memperhatikan, bagian paling sulit dari pencapaian itu antara lain soal penghargaan (apa pun bentuknya, berupa apresiasi maupun uang), upaya mencapai kesempurnaan (inovasi), juga eksplorasi dan suasana kompetisi.

Ada komentar, kawan-kawan? Apa yang harus kita lakukan untuk mengejar ketertinggalan itu? Apa ini soal karakter bangsa atau benar-benar soal sikap? Kasih tahu aku, biar kita tetap optimistik.[]

Tanah Abang, 03/29/2011