Friday, November 14, 2008


Simple work but high income
--------------------------------------------
--Anwar Holid


Gus K menulis kepadaku: "Kamu harus bisa menyeimbangkan antara hard work but low income dengan simple work but high income. Kerja rutin yang melelahkan dan berincome kecil harus diimbangi dengan pekerjaan yang gampang-gampang saja tapi berincome besar."

Hmm, dulu aku pernah dinasihati orang tua: No pain no gain. Jangan berharap sukses kalau kamu nggak kerja keras. Dulu waktu musim merger perusahaan besar di Amerika Serikat ternyata bermasalah dan malah merugi, Time menulis headline: Big business, big risk.

R-a-s-a-n-y-a ada yang salah dengan pernyataan itu, tapi kok terdengar p-u-i-t-i-s ya? Apa itu sejenis contradictio in terminis lagi?

Dalam hati aku menjerit: Kasih tahu dong Gus, kerja gampang apa yang banyak menghasilkan? Aku juga pasti senang kalau bisa menghasilkannya.
[]

13/11/08

Monday, November 10, 2008



Buku yang Menolong Pembaca Menemukan Lentera Jiwa
-------------------------------------------------
---Oleh Anwar Holid


Talkshow The 7 Laws of Happiness di Tiga Radio dan JakTv.


JAKARTA - Setelah terbit pada akhir September lalu dan dibicarakan di beberapa event, The 7 Laws of Happiness (Kaifa, 2008) karya Arvan Pradiansyah mulai mendapat respons dari berbagai pihak, terutama media massa, lembaga dan perusahaan. Arvan mengaku pihaknya sedang menjadwalkan kemungkinan mengadakan talkshow di beberapa toko buku besar di Jakarta, seperti Gramedia Matraman, Pondok Indah, dan Mal Taman Anggrek. Pada Jumat, 24 Oktober 2008 lalu buku tersebut didiskusikan di MP Book Point, dan menurut rencana akan disiarkan JakTv pada Minggu, 16 November 2008, pukul 09.00.

"Pengalaman saya dengan tiga buku sebelumnya menunjukkan bahwa talkshow di toko buku itu bisa membuat toko memesan buku dalam jumlah cukup banyak dan mendisplay di tempat strategis," kata Arvan. The 7 Laws of Happiness merupakan buku keempat Arvan, namun merupakan buku pertama yang diterbitkan Kaifa, imprint Kelompok Mizan. Kaifa memang mengkhususkan pada buku manajemen, bisnis, self-help, dan motivasi. Tiga buku dia sebelumnya, yaitu You Are Leader!, Life is Beautiful, dan Cherish Every Moment semua merupakan rangkaian bestseller. Selain terpilih sebagai Buku Nonfiksi Terbaik 2008 versi Koran Tempo, Cherish Every Moment kini bisa diakses lewat Amazon.com, yang kriteria terpilihnya cukup berat.

Menggunakan cara ungkap lugas disertai daya persuasi yang sudah khas, secara panjang lebar
Arvan membahas kebahagiaan, membantu orang cara membantu dan melatih orang memilih pikiran serta tindakan yang membuat hidup bahagia. Andy F. Noya, host acara Kick Andy, mengomentari buku itu: "Orang yang berbahagia adalah mereka yang sudah menemukan lentera jiwa mereka. The 7 Laws of Happiness menuntun Anda menemukan lentera itu."

Sebagai ahli sumber daya manusia dan akrab dengan dunia media, Arvan juga dikenal sebagai pembicara publik. Dia menjadi host acara "Lite is Beautiful" di radio Lite FM; para pendengarnya kerap menyebut Arvan sebagai "Personal Inspirator." Untuk buku terbarunya, pada November ini tiga radio akan menyiarkan talkshow bukunya, yaitu:

* Selasa, 11 November 2008, pukul 07.00 - 08.00 di RADIO BAHANA
* Minggu, 16 November 2008, pukul 15.00 - 16.00 di PRO RESENSI, RRI PRO 2 FM
* Selasa, 25 November 2008, pukul 19.00 - 20.00 di SMART FM

Hernadi Tanzil, pembaca yang telah menamatkan buku tersebut, menyatakan, "The 7 Laws of Happiness merupakan pelatihan pikiran sistematis dan metode untuk menumbuhkan kebahagiaan dengan cara memilih pikiran positif, dan memfokuskan perhatian pada pikiran positif tersebut. Buku ini melatih menyaring dan memilih pikiran positif, membuang pikiran negatif yang masuk ke kepala kita dan menggantinya dengan pikiran yang sehat dan bergizi."

Bila dua buku pertama Arvan bertema umum mengenai kepemimpinan (leadership), dua buku terakhirnya lebih banyak membicarakan life management (manajemen kehidupan.)[] 10/11/08

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid


Informasi lebih banyak di:
http://www.ilm.co.id
http://www.mizan.com

Wednesday, November 05, 2008



[HALAMAN GANJIL]

Saya dan Barack Obama
---------------------
--Anwar Holid


- Tax, apa kamu malas nulis tentang buku kamu?
- Bukan malas, tapi malu.
- Malu kenapa?
- Masak kalau untuk buku sendiri aku mau ngusahain nulis, sementara untuk buku yang aku terima dari pihak lain aku malas? Apalagi banyak dari buku itu sangat bagus dan sangat pantas ditulis atau direkomendasikan. Kesannya narsis. Bukan kesannya lagi, tapi iya! Aku lebih malu lagi pada pihak-pihak yang mengirimi aku buku.
- Memang buku apa yang menurutmu bagus akhir-akhir ini?
- Banyak. Beberapa di antaranya sudah aku baca, cuma belum bisa aku tulis saja. Tapi tiap kali ada kesempatan, selalu aku rekomendasikan.
- Lebih menarik dari isu Barack Obama yang lagi naik daun?
- Isu itu bagaimana kemasannya. Sebagian tema buku itu biasa saja, tapi bisa ditulis sangat menarik, dan itu bisa membuat buku jadi memukau.

Saya menulis buku biografi populer Barack Hussein Obama: Kandidat Presiden AS yang punya "Muslim Connection" (Mizania, 2007.) Itu buku kecil, ditulis seinformatif dan seluwes mungkin, menekankan eksplorasi keislaman dan keindonesiaan pada diri Barack Obama. Nama tengah "Hussein" pada buku itu sangat penting karena menjadi pembeda di antara buku tentang Obama lain yang beredar; meskipun Obama sendiri bilang, "Orang AS nggak peduli sama nama tengah."

Sejak terbit, tanggapan yang datang pada saya positif dan kadang-kadang mencengangkan. Buku itu menghubungkan saya dengan ibu Maria Sri Sumaryatiningsih, teman Ann Dunham (ibu Barack Obama), seorang mantan dosen Universitas Sriwijaya, Palembang yang kini tinggal di Belanda. Dia bilang, "Ann Dunham itu persis seperti yang kamu ceritakan. Dari mana kamu bisa menulis seperti itu?"
- Saya mengumpulkan berbagai bahan dari Internet, bu.

Ibu Maria lantas cerita bagaimana dia bisa kenalan dengan Ann Dunham. "Mungkin waktu itu tahun 1983-an, saya masih jadi dosen Unsri. Di sana saya kenal bu Ann karena sedang melakukan penelitian pertanian di daerah rawa-rawa. Di antara teman-teman ibu Ann, salah satunya ialah Dr. William Collier (Bill), mantan dosen IPB, dan juga pernah bekerja di IBRD. Bill tinggal di jalan Kumbang, Bogor. Entah sekarang masih ada apa tidak, saya sudah tidak kontak lebih dari 20 tahun." Saya bilang, "Wah, sayang kita kenalan setelah buku itu terbit. Ini pasti jadi info yang sangat berharga, karena bisa menambah keterangan tentang ibu Ann. Nanti kalau ada edisi revisi akan saya masukkan."

Ibu Maria cerita kesulitan hidup yang dialami Ann, terutama setelah ditinggal Lolo Soetoro. Dia sering ditipu oleh sopirnya sendiri, mencuri uang rekening, dan lain sebagainya. Ibu Maria bahkan sampai bilang begini, "Ann, hidupku ini sudah susah. Tapi yang kamu alami kayaknya lebih susah lagi."

Ada juga yang bilang bahwa Barack Hussein Obama langsung jadi buku favoritnya, mengalahkan buku karya seorang penulis senior. Segera setelah buku itu terbit, saya dihubungi orangtua yang minta dicarikan kontak ke Maya Soetoro, adik tiri Barack Obama; tujuannya biar orang Indonesia bisa terang-terangan mendukung Obama. Seorang ketua DPD sebuah provinsi bilang bahwa buku itu berhasil menaikkan adrenalin pemuda Indonesia agar berprestasi seperti Obama. Semua itu terlalu mengejutkan buat saya yang menulis buku itu awalnya karena order.



Dulu, kepada seorang editor Mizan, saya pernah menawarkan proposal penulisan kisah 25 nabi dalam Islam menggunakan pendekatan perspektif dari khazanah Yahudi, Kristen, dan Islam. Ternyata buat dia proposal itu kurang menarik. Alasan utamanya ialah paling hanya lima nabi yang benar-benar bisa menarik perhatian banyak pembaca dan calon pasar. Proposal itu ditolak. Tapi 1-2 minggu setelah itu saya ditelepon, "Tax, mau nggak nulis tentang Barack Obama?"

Awalnya saya bingung dan ragu dengan tawaran itu. Tapi menimbang berbagai hal, akhirnya tawaran itu saya terima. Ternyata setelah terbit, hasilnya positif. Buku itu lumayan bisa menarik perhatian orang, diresensi di berbagai media dan blog, sementara menurut standar Mizan, buku itu masuk kategori best seller, membuat saya dinilai pantas menerima hadiah sejumlah buku mahal. Kini predikat saya tambah; selain sebagai kontributor "Selisik" dan kolom [HALAMAN GANJIL], saya dikenal sebagian orang sebagai penulis biografi Barack Obama.

Salah satu dari orang yang menghubungi saya gara-gara buku itu akhirnya berteman. Dia seorang mahasiswa di Kalimantan Tengah. Minatnya pada penulisan dan perbukuan menggebu-gebu, dan akibatnya dia kerap menanyakan ini-itu ihwal dunia penerbitan dan penulisan pada saya. Menarik cara orang dihubungkan oleh tulisan. Selain berusaha menulis novel, dia rupanya berminat sekali bikin cabang FLP di kotanya, sampai akhirnya perkenalan kami merembet ke orang-orang FLP Bandung yang saya kenal.

Ketertarikan pada isu Obama membuat saya hampir secara otomatis menyimpan arsip berita online tentang dia, dari manapun sumbernya, baik dari situs kantor berita atau milis, terlebih-lebih bila saya dapat akses Internet gratis di Ultimus. Begitu banyak arsip itu sampai suatu ketika terpantiklah ide dalam kepala saya, "Mungkin menarik kalau aku bikin buku quotations Barack Obama. Mau aku tawarkan ke Mizan ah." Kini saya berinisiatif mengajukan buku kutipan-kutipan Obama kepada editor yang sama. Tapi rupanya, seiring waktu dan perkembangan mutakhir, Mizan merasa buku tentang Barack Obama sudah terlalu banyak. Walhasil sang editor menolak ide itu. Di sisi lain, sang editor mencium gelagat bahwa Obama memang kurang peduli pada keindonesiaan maupun keislaman, dan makin ketahuan bahwa Obama cenderung sangat pro-Israel---sekutu AS di jazirah Arab. Gelagat itu hanya butuh waktu untuk "meledak" dan melahirkan sentimen antipati pada Obama, terutama bagi penduduk Indonesia yang Muslim. Terpicu berbagai hal seperti itu, saya sempat menulis artikel untuk apa umat Islam berharap paa Obama; tapi artikel itu ternyata ditolak media yang saya kirimi.

Awalnya saya kecewa usul membuat buku quotations itu ditolak, meskipun proyek itu benar-benar masih embrio. Ide itu saya utarakan ke tiga penerbit lain; walhasil, dua mendiamkan usul itu, satu editor sebuah penerbit langsung semangat. Secara prinsip dia setuju proyek itu, tapi harus mendapat persetujuan dari para direktur. Baiklah saya tunggu. Dalam beberapa hari selanjutnya saya menanti jawaban definitif sambil mengerjakan order lain yang mesti selesai. Tapi ternyata eksekusi positif proposal itu lama-lama kabur. Memang biasa bahwa usul yang muncul sering pertama-tama mendapat tentangan dan respons negatif, alih-alih mencari peluang sukses. Jadi saya menganggap proposal itu mati di tengah jalan. Saya tentu bersyukur bila benar-benar jadi, tapi kalau toh tidak, ada banyak order lain yang juga harus beres.

Entah ada rahasia apa yang terjadi, ketika ide itu benar-benar lenyap, mendadak saya dihubungi seorang editor GPU, menanyakan apa saya tertarik mengedit naskah Barack Obama: In His Own Words, karya Lisa Rogak. Buku itu persis seperti yang saya rencanakan. Perasaan saya campur aduk menerima tawaran itu. Saya terkejut apa yang tengah berlangsung dalam kosmos diri saya. Mendadak ada energi yang mengantarkan saya agar mengerjakan tawaran itu. Rasanya ini jelas berkat buku Barack Hussein Obama itu. "Saya tahu kamu orang yang cocok untuk mengerjakan naskah ini," demikian kata editor itu.

Pertama-tama saya senang karena mendapat order dan jaminan pekerjaan dalam bulan itu. Lainnya saya terkejut kok bisa kebetulan seperti itu terjadi pada saya. Saya pernah baca dan cukup meyakini bahwa kebetulan merupakan faktor kehidupan yang penting harus diyakini keberadaannya. Tapi di sisi lain saya sebenarnya masih bermabisi menyusun sendiri quotations Barack Obama, bukan mengedit karya orang lain. Kondisi itu saya ceritakan, dan kami akhirnya saling tertawa. Akhirnya jadilah saya memprioritaskan mengedit quotations itu.



Barack Obama: In His Own Words menarik. Selain dikumpulkan dari sumber utama, pilihannya penting, bercakupan luas. Di sana ada ucapan tentang politik dan hukum AS, situasi politik, pencalonan dirinya, harapannya, cara dia menanggapi berbagai isu dan persoalan, mulai dari masalah undang-undang dan pemerintahan yang jadi keahliannya, urusan rumah tangga, sampai upaya kerasnya berhenti merokok. Yang saya rasakan, ucapan itu membuktikan bahwa Obama elegan, cerdas, jujur, humanis, dan humoris. Tapi walaubagaimanapun, dia produk asli AS---dia mempercayai nilai-nilai normatif bangsa itu.

Naskah itu secara virtual membuat saya merasa jadi tambah dekat dengan Obama dan tertarik dengan strateginya meraih simpati warga AS agar memilihnya jadi presiden pada pemilu November 2008 nanti. Yang paling sensasional mungkin waktu ada Konvensi Nasional Partai Demokrat Agustus 2008 barusan, ketika dia dikukuhkan sebagai kandidat presiden dan acaranya menyedot semua perhatian media dan orang. Empat tahun lalu, di acara yang sama, dia pun memukau hadirin dan jadi bintang muda partai itu. Kini semua yang dia punya itu begitu kuat, melempangkan jalannya untuk terus membuat sejarah. Dulu dia pun berperan besar mendukung Bill Clinton agar bisa jadi presiden; kini giliran keluarga Clinton mendukung agar dia jadi presiden.

Obama merupakan sosok yang magnetik. Dalam konteks karir kepenulisan saya, dia berhasil membakar semangat agar saya menyelesaikan tulisan dengan cukup baik dan utuh. Ketika selesai dan terbit, boleh dibantah kemungkinan buku itu merupakan biografi pertama Obama dalam bahasa Indonesia. Di suatu diskusi buku itu, seseorang bertanya, "Berapa persentase antara baca dan menulis untuk buku itu?" Wah, pertanyaan sulit, karena saya tak mengira-ngiranya. Tapi yang terjadi kira-kira sebagai berikut: saya baca banyak-banyak sesuai kebutuhan, terus menulis sesuai rancangan storyline, mengejar poin demi poin yang sudah ditentukan. Setelah selesai, naskah itu diedit---baik oleh saya sendiri, editor bersangkutan, dan seorang editor ahli.

Dalam karir penulisan saya, buku itu merupakan langkah maju dan lebih komprehensif saya dalam penulisan biografi, setelah dulu saya menulis hal serupa tentang Shirin Ebadi (laureat Nobel Perdamaian dari Iran) yang diterbitkan Mizan dan sejumlah profil lain. Boleh jadi gara-gara buku itu juga saya akhirnya jadi editor buku biografi Irawati Durban Ardjo---seorang tokoh tari Sunda. Yang paling mutakhir, administrator www.superkoran.info dan www.apakabar.ws meminta review buku tersebut untuk diiklankan di sana.

Benar dugaan awal saya. Ternyata menulis tentang diri sendiri, apalagi yang menyenangkan, itu mudah; ini sedikit-banyak memperlihatkan aspek narsisme dalam diri saya. Tapi, belajar dari penulis yang menuturkan kisah tentang penerbitan buku-bukunya, kisah seperti itu menyemangati orang untuk terus berkarya dan menghasilkan karya lebih baik berikutnya.[]


ANWAR HOLID, penulis & penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Bukunya ialah Barack Hussein Obama (Mizania, 2007.) Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com

KONTAK: wartax@yahoo.com | (022) 2037348 - 08156140621 | Panorama II No. 26 B, Bandung 40141

Monday, November 03, 2008




Celana pendek sejengkal
-----------------------
--Anwar Holid


Setelah beberapa tahun berlalu, sebagian perempuan kini bosan mengenakan t-shirt ketat-pendek yang panjangnya hanya sepusar dan jins yang hanya sampai bawah pinggang, membuat belahan pantat dan celana dalam mereka kelihatan, sementara perut mereka mudah terbuka ke mana-mana, bisa dilihat siapa pun, apalagi oleh lelaki berlibido normal.

Ganti mode itu kini ialah celana pendek. Ukuran celana ini bervariasi. Ada yang sedengkul, di atas dengkul, setengah paha, atau lebih pendek lagi, dan ketat. Saking pendek, menurut pandangan saya, mungkin tingginya hanya sejengkal, lengkap dengan saku persis di bokong. Itu perkiraan dari lirikan saya yang sering menyaksikan para perempuan mengenakan celana seperti itu. Boleh jadi akurat, sebab konon mata bisa mengukur dengan tepat. Yang paling sering, saya melihat mereka bila sedang ke supermarket harus belanja kebutuhan rumah tangga. Boleh jadi saya membeli buah, sayur, jamur, daun, susu, yang hanya ada di supermarket, tak ada di pasar biasa. Kecenderungannya, menurut saya, orang memang berhias dulu kalau mau ke supermarket. Sekalian wara-wiri.

Kalau menyaksikan perempuan bercelana pendek sejengkal, saya suka malu sendiri. Malu karena sebenarnya saya senang, tapi kalau terang-terang memperlihatkannya, kelakuan saya jadi benar-benar memalukan. Mau dilihat terus takut ada masalah, sementara saya terus terang kesulitan melepaskan pandangan. Susah. Sama dulu waktu setiap kali melihat perempuan dengan belahan pantat terbuka atau menyembulkan tato di bagian bawah punggungnya... kalau boleh iseng, saya pengen memasukkan kecoak atau cecak ke dalamnya. Biar heboh. Dalam hati saya bertanya-tanya, sebenarnya apa sih yang mereka inginkan dari berpenampilan seperti itu di tempat umum? Biar kelihatan seksi? Cantik? OK. Tampilan seperti itu memang seksi dan cantik. Bolehkah saya terus melihatnya? Ini masalahnya... ternyata menurut standar etiket, itu norak, mengganggu, dan imoral.

Tapi yang paling mengganggu waktu bulan Ramadhan lalu, waktu saya mau taraweh ke masjid Al-Furqan di UPI. Di jalan saya melihat seorang gadis juga menuju ke sana, tangannya mendekap mukena dan perangkat shalat, sambil mengenakan celana pendek sejengkal itu! Waduh, apa nggak salah nih mata saya? batin saya mengumpat. Kayaknya sih memang boleh-boleh saja pergi ke masjid dengan dandanan begitu. Siapa boleh melarang orang mau beribadah? Tapi saya yang jadinya gelisah, terus terpikir sampai sekarang. Bingung dengan pemandangan seperti itu. Mungkin benar bahwa masjid sekarang juga jadi ajang trend mode.

Saya pernah bilang ke seorang teman, gara-gara perempuan sekarang banyak yang suka pakai celana pendek sejengkal begitu, jelas mustahil zaman sekarang bakal melahirkan lelaki seperti Ken Arok. Apa pasal? Menurut legenda, Ken Arok terpesona oleh pancaran betis mulus Ken Dedes yang tersingkap. Lantas dari situ dia obsesif terhadap perempuan itu, membunuh suaminya---seorang raja---lantas memperistri Ken Dedes, dan menobatkan dirinya jadi raja. Di tahun awal 2000-an ini yang tersingkap bukan lagi betis, melainkan hampir seluruh bagian kaki, diambah perut atau dada. Betis tersingkap sudah tidak menggetarkan lelaki lagi. Bila yang tersingkap lebih lebar, barulah bisa menggetarkan.

Kalau ditelusuri jauh ke masa silam, dulu saya pernah melihat iklan HP SonyEricsson dengan gambar gadis molek menggantungkan HP persis di belahan dadanya, sementara tagnya begini: Lagi ngeliatin apa sih? Saking terkesan, saya menyimpan iklan itu. Dengan gugup saya harus jujur bilang bahwa saya tidak melihat HPnya.

Suatu saat nanti, kalau para perempuan sudah bosan dengan mode celana pendek sejengkal itu, saya membayangkan mereka beramai-ramai berganti mode mengenakan bikini. Ah... terlalu kasar tampaknya. Kalau iya itu yang terjadi, semoga saya tidak jantungan menghadapinya. Sisi optimismenya ialah saya merasa bahwa perempuan yang sadar aurat juga tambah banyak---rasanya. Mereka menutup tubuh rapat-rapat, yang saking rapat, biasanya malah jadi ketat seperti ketupat. Mereka mengenakan legging, manset, atau kaos yang mengikuti bentuk tubuh, dan bila tertekuk, jadi melar memperlihatkan warna kulit. Dalam hati saya suka bingung, apa mereka ini nggak bisa membedakan jilbab dari lingerie?

Memang susah jadi laki-laki. Di satu sisi harus menjaga pandangan, di sisi lain yang terlihat banyak menggoda kelelakian.[]

Anwar Holid, pernah dengan heroik menghapus banyak file porno di sebuah warnet.


PANDUAN MERAIH KEBAHAGIAAN
---Rini Nurul Badariah


The 7 Laws of Happiness, Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia
Penulis: Arvan Pradiansyah
Penerbit: Kaifa
Jumlah halaman: 428 halaman
Genre: non fiksi, psikologi, motivasi



Menikmati proses sebenarnya adalah esensi dan hakikat kehidupan itu sendiri (hal.169)

Kebahagiaan adalah tujuan hidup, namun formatnya teramat relatif. Ada yang meletakkan kebahagiaan pada masa depan (sehingga saat sekarang menjadi penuh keluh-kesah), pada kedudukan dan jabatan, pada kemilau harta benda, serta berbagai unsur yang bersifat materiil lainnya. Betapa beragamnya penafsiran manusia terhadap apa yang disebut berbahagia.

Arvan Pradiansyah mengangkat ke permukaan aneka persoalan yang kerap mengukir keseharian kita sehingga sulit menggenggam kebahagiaan. Tujuh prinsip dasar yang dikemukakannya untuk mewujudkan hal itu adalah Patience (Sabar), Gratefulness (Syukur), Simplicity (Sederhana), Love (Kasih), Giving (Memberi), Forgiving (Memaafkan), dan Surrender (Pasrah). Intinya kebahagiaan baru dapat direguk jika kita berrelasi dengan individu lain dan tentunya Yang Maha Tinggi, bukan berfokus pada diri sendiri dari waktu ke waktu.

Ketebalan halamannya yang acap kali ‘mengerikan’ bagi kebanyakan pembaca buku di masyarakat kita ditepiskan dengan berbagai pernik seperti kutipan-kutipan, ilustrasi yang menyegarkan penglihatan, dan pemilihan font yang ukurannya bersahabat dengan mata. Kadang-kadang penulis bertutur seperti tengah berdialog langsung dengan pembaca, menggiring pembaca untuk bermonolog batin dan menjenguk jauh ke dalam batinnya sendiri. Karena urusan kebahagiaan adalah perkara yang terus dipertanyakan dan dikejar, padahal sebenarnya kita telah mengetahui caranya namun kerap keliru menerapkan.



Arvan Pradiansyah juga menyajikan sejumlah teknik dan contoh, untuk mendukung penjelasannya. Semua aspek diuraikan serinci mungkin, misalnya menyangkut kesabaran. Menurut penulis, sabar bukan berarti mengurut dada. Sabar menuntut kita untuk melakukan satu hal pada satu waktu. Di samping itu, sabar adalah kata kerja aktif dan merupakan perjalanan awal.

Buku ini dapat dikonsumsi oleh siapa saja, untuk mengungkap hal-hal sederhana guna meraih kehidupan yang bahagia. Seperti kata Confucius di halaman 235, Hidup ini betul-betul sederhana, tetapi kita senantiasa membuatnya rumit.

Rini Nurul Badariah, penulis, blogger di http://rinurbad.multiply.com

Resensi ini pertama kali dipublikasi Batam Pos, Minggu, 26 Oktober 2008.

Sunday, November 02, 2008




Si Kaya yang Miskin, Si Miskin yang Kaya
Oleh: Agus Kurniawan



Situasinya jadi pelik ketika uang tidak lagi berguna. Yakni ketika uang, berapapun banyaknya, tidak lagi mampu membeli kebutuhan yang paling mendasar. Anehnya, di sisi lain seseorang justru memiliki semua yang dibutuhkan walaupun dia tidak memiliki uang sepeser pun. Lalu berlakulah ungkapan, "Si kaya yang miskin dan si miskin yang kaya."

Seperti itulah kira-kira kisah teman-teman saya, pehobi offroad, yang malam itu beroffroad ria menjelajahi perbukitan Hambalang, di wilayah kabupaten Bogor. Pesertanya kira-kira sepuluh orang. Ketika mencapai puncak sebuah bukit, kira-kira pukul tiga dini hari, rombongan itu sudah benar-benar kecapekan. Air minum dan perbekalan sudah lama ludes. "Seperti mau pingsan," begitu kata seorang teman menggambarkan situasinya.

Perlu diketahui, offroad motor adalah olah raga yang sangat melelahkan. Seseorang harus memiliki ketahanan fisik prima untuk melakukannya. Tidak salah bila olah raga ini juga punya sebutan enduro, yang maksudnya kira-kira "seberapa tahan Anda melawan rintangan." Bukan hanya naik turun bukit, tetapi juga karakter medannya yang berat. Kadang becek berlumpur, kadang berbatu-batu. Jangan bayangkan kita dapat duduk nyaman di sadel motor, seperti kalau kita onroad di jalan aspal yang mulus. Kita bahkan tidak boleh duduk. Kita harus setengah berdiri. Telapak kaki menapak step. Pantat diangkat sedikit ke atas. Lutut dan paha ditekuk. Persis seperti skotjam. Ketika jalanan mendaki, tubuh harus ditarik kedepan, duduk di tangki bensin. Sebaliknya bila menurun, tubuh ditarik jauh ke belakang. Tujuannya semata-mata agar motor trail kita tidak salto. Kalau tidak begitu, bisa-bisa kepala berhelm cakil itulah yang menancap duluan ke tanah sebelum akhirnya motor menyusul menimpa tubuh kita. Tetapi meski sudah berhati-hati dan berakrobat sana-sini, tak ayal satu dua kali kita tetap jatuh juga. Bila sudah benar-benar kecapekan, kita tak akan mampu lagi berdiri. Tubuh lunglai, jemari gemetaran. Setengah pingsan.

Di bukit Hambalang itu teman-teman saya tidak hanya kecapekan. Tetapi juga kehausan dan kelaparan. Tentu saja mereka memiliki bekal uang yang cukup. Dalam situasi normal, mereka bisa pesan buffet bermenu bawal bakar, kakap, atau mushroom soup yang hangat. Tetapi ini bukit yang jauh dari mana-mana, bahkan dari rumah penduduk. Jangankan makanan, air bersih pun tak ada. Dengan kata lain, teman-teman saya memang kaya. Tetapi situasinya begitu papa.

Untung saja di puncak bukit itu terdapat sebuah rumah sederhana. Berdinding bambu, bertiang kayu hutan. Ukurannya bahkan lebih kecil dari RSS. Di sekitarnya terdapat kebun singkong yang sudah siap panen. Kebun jagung baru saja di tanam. Rumah ini memiliki persediaan air minum yang disimpan di sebuah gentong gerabah. Air itu diambil dari sumber air di kaki bukit. Dua kilometer jauhnya. Tidak ada radio atau teve. Apalagi home theater atau sambungan internet. Penghuninya adalah sepasang kakek-nenek berusia 70-an tahun. Wajahnya memang keriput, tetapi gerak-geriknya segesit anak muda. Selain bertani ala kadarnya, kakek-nenek ini juga mengumpulkan apa saja untuk dibawa ke kaki bukit. Kayu atau dedaunan. Dijual, lalu ditukar beras, ikan asin, dan garam.

Kakek-nenek ini bak malaikat penolong bagi teman-teman saya. Keduanya tidak hanya memberi air putih, tetapi juga teh hangat yang serasa minuman surga. Dan saat rombongan itu asyik beristirahat, kakek-nenek itu pun segera mengupas ketela. Menanaknya dengan sedikit garam. Setelah matang, mereka menyuguhkannya pada para tamu yang kelaparan. Tak perlu waktu lama untuk menghabiskannya. Teman-teman saya menyebut singkong rebus itu sebagai stick gunung. Sebutan yang tulus, penuh rasa terima kasih.

Di akhir perjumpaan, teman-teman saya bermaksud membayar semua hidangan. Tetapi kakek dan nenek itu serta-merta menolaknya. Dalam bahasa Sunda, kakek itu berkata, "Teu kedah atuh, aden. Sawios, da eta cai sareng sampeu wungkul." (Nggak usah, den, wong itu sekadar air putih dan singkong.) Lalu rombongan itu pun melanjutkan perjalanan. Dengan perut kenyang.

Di puncak bukit, kakek-nenek itu memang orang miskin. Tetapi anehnya, dia mampu mensedekahi orang-orang yang lebih kaya. Betapa misteri hidup ini memang tidak ada habisnya.[]

--Kontak Agus Kurniawan:
Pertama kali diposting di Facebook

Foto: yang atas karya Erick S. , yang bawah dari Internet