Wednesday, July 18, 2007

DAVID LURIE
------------
>> Anwar Holid


Saya mengenal lelaki itu karena bisnis. Waktu itu saya di kantor, dan karena tugas, saya yang kadang-kadang harus menemui orang yang berurusan dengan kantor. Tak pernah terbayangkan ternyata lelaki blak-blakan itu adalah seorang profesor sastra Inggris. Awalnya saya tidak terkesan dengan perkenalan itu, bukan karena dia tidak ramah, melainkan lebih karena dia terlampau mengejutkan untuk sebuah pertemuan pertama. Biasanya kita mengawali perkenalan dengan ramah-tamah gaya lama, yang isinya wajar bisa diterima siapa pun; misalnya tentang kabar hari ini, berita sehari-hari, termasuk kejadian politik yang baru terjadi. Seberapa sering kita bisa dengan lega membicarakan yang benar-benar tentang diri sendiri? Tentu saja jarang, sebab diri sendiri kerap mengalami kegelisahan, yang bila dibagi pada orang lain, kita tidak bisa menjamin dia akan bisa menerimanya dengan lega; tentu saja karena ada aba-aba 'belum saatnya', atau 'terlalu awal' untuk sebuah perkenalan.

- Untuk lelaki seumur saya, 52 tahun, cerai, saya pikir saya bisa menyelesaikan masalah seks cukup baik; itu yang diucapkannya tak lama setelah kami duduk bersama, memperkenalkan diri, berbasa basi sangat singkat. Apa maksud dia bilang seperti itu? Itu ucapan terus terang atau semacam pengakuan? Apa maksud dia menyelesaikan masalah dengan pelacur? Cara menyelesaikan masalah seks cukup baik bagi seorang duda? Terus terang ceritanya membuat selera seks saya juga langsung naik; sebagaimana lelaki pada umumnya saya kadang-kadang memiliki masalah seks. Ternyata benar. Dia tak sungkan bilang punya simpanan, seorang call girl kelas tinggi, berkulit coklat; persetubuhan mereka yang lama dan liat---seperti perkawinan dua ekor ular.

Sebenarnya dia sendiri agak jatuh cinta pada pelacur muda itu, tapi dalam banyak hal dia tahu diri tak bisa menjadi seorang kekasih bagi perempuan itu. Dia tetap seorang pelanggan biasa, tak ada haknya melarang perempuan itu menerima lelaki pelanggan lain. Tapi dengan begitu lelaki itu juga jadi tahu cara memenuhi hasrat seksualnya; kalau tidak mengencani istri-istri koleganya sesama dosen, yang bisa dirayu bila mau, dia tidak segan mencari pelacur lain. Atau pegawai perempuan universitas. Untuk lelaki seperti dia, seorang profesor, berpenghasilan cukup, punya jabatan, dapat beasiswa, hidup sendiri, tak banyak keinginan, sederhana, dia bisa membelanjakan uang untuk membayar perempuan yang disukainya, siapa saja. Hidup yang tentu saja sangat nyaman bagi seorang kasanova, atau womanizer.

Profesor berkulit putih itu bernama David Lurie, dosen kajian puisi, spesialisasi puisi zaman Romantik, mengajar di Universitas Teknik Cape. Dia sedang menekuni studi tentang Lord Byron, yang entah kenapa mirip dengan dia dalam satu sisi: suka perempuan, dan perempuan tampaknya juga mudah sekali jatuh memberikan cinta dan seluruh tubuh pada pelukannya. Barangkali sudah begitu nasib menentukan jalan hidupnya, dan dia sekadar menjalaninya. Sebenarnya saya bosan dengan indikasi seakan-akan sejumlah penyair atau penulis itu banyak yang punya skandal seks. Penyair kan tidak beda dengan pengusaha, misalnya. Pengusaha atau politikus juga banyak yang punya skandal seks, tapi kenapa itu tampaknya kurang istimewa bila dibandingkan skandal seks seniman?

Dua kali menikah, dua kali cerai, punya anak satu, dengan banyak skandal seks dalam hidupnya. Dia tak menyangkal memang hanya ingin bersenang-senang dalam hidup, melakukan sesuatu yang semata-mata disukainya. Apalagi keinginan seseorang yang hidupnya nyaris tak kekurangan? Keinginan itu adalah menuntaskan kepuasan batin. Untuk itu pun dia tahu cara memenuhinya: dia menulis kritik, sudah tiga buku dia hasilkan. Meskipun dia juga mengakui dengan sederhana bahwa ketiga buku itu 'tidak menimbulkan riak sedikit pun' di dunia kritik sastra. Dia berharap karya tentang Lord Byron itu bisa menimbulkan riak, setidaknya kepuasan untuk dirinya. 'Kepuasan' saya pikir cocok untuk mengidentifikasikan dirinya. Bila belum puas, dia akan terus; bila sudah, dia akan berhenti.

Setelah perkenalan singkat itu saya pikir dia akan mengenalkan salah satu perempuan teman kencannya pada saya, atau menceritakan perselingkuhan lainnya. Yah, itu harapan saya. Tapi ternyata saya kecele. Dia pernah bilang, sebenarnya dia tidak disukai kolega perempuannya, apalagi yang punya kecenderungan 'feminis'. Di jurusannya ada satu-dua dosen perempuan yang terang-terangan ingin menyingkirkan dia, tapi sejauh ini gagal. Saya tidak tahu apa itu disebabkan pengaruhnya di kampus, atau justru karena kesenioran dan kesarjanaannya. Saya pikir karena kesarjanaannya; artinya, menyingkirkan seorang profesor pasti butuh usaha luar biasa, atau kejadian luar biasa; tidak bisa memecat begitu saja seperti pada dosen muda. Seperti dinosaurus, yang begitu luar biasa, sampai hanya bisa musnah oleh kejadian yang juga harus ekstrem.

Saya juga sebenarnya bisa dibilang tidak akrab benar dengan dia. Persahabatan kami memang tambah baik setelah perkenalan itu, tapi itu lebih disebabkan bisnis. Menurut saya sendiri, dia lelaki pendiam dan penyendiri. Karena itu dia sesekali menawari minum bareng, dan saya terima dengan terbuka. Untuk apa saya tolak? Dia simpatik. Saya pikir karena itu dia bisa meniduri perempuan manapun; selain itu dia tampan dan punya segala yang bisa diinginkan perempuan. Dia rela memberi hadiah berharga bahkan pada pelacur favoritnya; mana ada lelaki mata ke ranjang bisa begitu pemurah? Ketampanan memang merupakan pemikat yang tak kenal kendala. Lord Byron juga tampan, dan meskipun kewarasannya diragukan, bajingan, dia bisa meniduri banyak perempuan dan dia sendiri jadi rebutan. David pernah cerita kenapa bisa begitu mudah dekat dengan perempuan. Sejak kecil dia diasuh oleh banyak perempuan di keluarganya; bisa pembantu, bibi, atau istri-istri ayahnya. Barangkali secara alamiah dia punya bakat dekat dengan perempuan, dan perempuan juga nyaman ada didekatnya. Disebabkan ketampanan, sekali dia melirik, OK sajalah. Sebenarnya, bagi dia sendiri, perempuan dan seks itu fungsinya benar-benar untuk melepaskan energi dan protein yang menggumpal dan berlebihan. Saya tak bisa komentar apa-apa tentang itu.

Waktu terakhir kali kami bertemu, dia bilang jatuh cinta pada seorang mahasiwanya. Dari ceritanya, saya mengira gadis itu berkulit hitam.

- Kami bertemu di jalan sepi belakang kampus. Saya menyapanya, tapi ternyata akhirnya dia saya undang minum di rumah. Dia seolah-olah memberi cahaya. Saya jatuh cinta dan tiba-tiba merasa jadi budak Eros. Dan setelah itu, terjadilah.

Dari nadanya dia berkata sungguh-sungguh. Tapi bila sangsi, mana bisa kita percaya pada bajingan? Ditiduri lagi. Mahasiswanya, berusia dua kali lebih muda dari dia, bahkan lebih muda lagi. Dalam hati saya bilang, dia ini memang kasanova, tak bisa hidup tanpa memeluk wanita, maunya jatuh cinta melulu setiap melirik 'barang halus'. Tapi bisa jadi memang begitu. Orang bisa jatuh cinta pada siapa saja dengan kualitas 100 % sama namun bentuknya beda-beda. Dalam kasus David, misalnya, dia juga jatuh cinta pada pelacur langganannya, ingin mereka mengekspresikan cinta dengan normal, tapi akhirnya tidak bisa; pelacur itu merasa tidak layak karena punya keluarga, suami, dan anak. Bila Anda percaya pada kualitas David Lurie, dia bisa menerima apa saja keadaan orang lain---apalagi bila menjadi kekasihnya. Lurie adalah tipikal manusia yang sebenarnya sangat egaliter, terbuka, tak mau repot, menempatkan kenikmatan dan kenyamanan hidup sebagai tujuan hidup nomor satunya. Barangkali dia sadar menjalani Epicureanisme. Tapi apa dengan begitu dia jadi tampak istimewa? Bisa jadi tidak.

Setelah itu kami lama tak jumpa. Beberapa waktu setelah tak ada yang istimewa, tiba-tiba terdengar berita mengejutkan, Prof. David Lurie disidang dengan tuduhan pelecehan seksual dan pemerkosaan pada mahasiswanya. Tentu saja heboh; kenapa kali ini kenapa dia ceroboh? Berita itu bahkan masuk koran. Ternyata mahasiswa itu punya pacar, dan dia marah sekali tahu kekasihnya kencan dengan dosen, tidak terima, dan berhasil memaksanya melakukan tuntutan. Ditambah lagi saudara dan keluarganya juga marah. Karena tertekan, mahasiswa itu akhirnya keluar kuliah. Runyam. Bukankah mereka jatuh cinta? Sidang itu jadi skandal, dan dia kalah. Dia memang menerima tawaran agar mengaku salah melakukan pelecehan seksual dan pemerkosaan, tapi menolak minta maaf pada universitas, apalagi terhadap peristiwa itu. 'Buat apa?' kata dia bertahan. 'Bukankah kalian minta pernyataan bahwa aku salah melakukan itu? Aku mengakuinya. Tanpa syarat. Tapi buat apa minta maaf? Kami jatuh cinta. Tak ada yang salah dengan itu.'

Begitulah dia dipecat dan jadi cemoohan. Reputasinya di kampus hancur. Tapi setidaknya dia dapat pensiun. Pensiun seorang guru besar. Di satu sisi dia lega; menurutnya sendiri, dia pernah mengaku pada saya, dia tak punya bakat mengajar. (Memang benar, bakatnya adalah bercinta). Dia jadi dosen hanya untuk mata pencaharian, sama sekali tak bisa memotivasi mahasiswa. Sebagai dosen dia sangat biasa, cara mengajarnya tak istimewa, tak bisa memikat agar mereka lebih cinta ilmu dan pengetahuan, apalagi belajar pada kehidupan. Jika mahasiswa tak mendengar kuliahnya, silakan; asal nanti lolos ujian. Saya sepakat dengan komentar tentang dirinya itu. Siapa bisa bersimpati atau perhatian pada lelaki mata ke ranjang dengan moral sangat longgar? Barangkali tidak ada, meski yang dia ucapkan kadang-kadang benar. Andai seseorang berdebat dengan pelacur tentang agama, dan pelacur itu di atas angin melancarkan serangan argumen, bisa mendesak nyaris menang, dengan mudah orang bisa menyergah dengan jurus ampuh, 'Ah, tahu apa pelacur tentang agama!'

Sekarang dia bisa menghabiskan waktu sesuka hati. Sesak karena sidang dan tatapan orang, dia pindah sebentar ke rumah putrinya, di desa pinggiran kota Cape. Di sana dia bertekad menyelesaikan karya tentang Lord Byron, tanpa terduga hasilnya adalah naskah opera kamar. Tapi tanpa pernah terkira, kecelakaan menimpa mereka; tiga orang penjahat kulit hitam merampok rumah putrinya, menghancurkan isinya, memperkosa putrinya, menghajar dia dan membakar tubuhnya, kemudian melarikan mobilnya. Dia meradang keras sekali. Dia terpukul dan hancur oleh peristiwa memalukan ini: bagaimana mungkin seorang sarjana berkulit putih seperti dia bisa diperlakukan begitu hina, dan anaknya hamil oleh sperma manusia kulit hitam dari golongan penjahat dan bromocorah. Betapa dia merasa terhina. Tapi dalam kondisi terpuruk itu sempat-sempatnya dia bilang: risiko kepemilikan adalah kehilangan. Terlalu banyak orang, terlalu sedikit barang. Semua harus dapat bagian. Saya ingat waktu membujuk gadis yang menyebabkannya dipecat, dia merayu seperti itu.

- Kecantikanmu harus dibagi.

- Kalau sudah ada yang menerima bagian itu?

- Harus lebih banyak orang yang merasakan bagiannya.

David Lurie hancur dan marah sekali pada peristiwa yang dia alami. Saya sendiri sulit sekali berempati pada dia. Saya yakin orang lain pun akan seperti saya kalau mendengar kisahnya. Saya pernah nonton, seorang pembaca acara bertanya kepada gadis yang diperkosa ramai-ramai oleh temannya, kenapa tidak lapor polisi? Jawab gadis itu, 'Karena kalau lapor saya sendiri yang akan disalahkan. Kenapa kamu bergaul dengan mereka? Kenapa kamu melakukan seks bebas dan memakai narkoba?' Dalam kondisi runyam seperti itu jarang orang bisa bersikap jernih dan tegas, bahwa sesuatu bisa didudukkan terpisah dengan pandangan lurus. Pada kasus David Lurie, lebih sulit lagi saya bersimpati padanya, di tengah kesialan dan kesakitan itu dia masih bisa berzina dan berselingkuh dengan kawan putrinya. Herannya, perempuan itu juga melakukan persetubuhan dengan perasaan berdebar-debar dan penuh pengharapan. Astaga, manusia macam apa profesor ini?

Saya setengah tak percaya memperhatikan penuturannya, pening memandang dia. Saya sesak, sinis, sebal atas perilakunya. Tapi saya kagum dengan integritasnya, pandangan optimistik dan iktikad baiknya terhadap dunia. Meski dalam hati bertanya, 'Apa itu cukup buat dunia?' Tentu saja tidak. Manusia sama sekali tidak cukup hanya dengan jadi baik, jujur, atau optimistik.

Beberapa waktu lalu saya bertemu lagi dia. Dia bilang dengan gembira sudah selesai menulis opera kamar itu, meski tidak tahu apa bisa dipentaskan. Saya tersenyum seakan-akan tahu dunia yang dihadapinya kurang-lebih setimpal dengan hidup yang dihadapinya, yang dipandangnya. Maksud saya, dia tidak jadi cengeng atau merasa berhak menuntut keadilan atas kesukaran yang dialaminya. Kegetiran adalah bagian dari dunia, seperti juga bau busuk, kejahatan, korupsi, kasih sayang, dan semua peristiwa yang bisa terjadi. Semua wajar, semua diizinkan.

Sekadar mengumumkan, yang mengenalkan saya pada Prof. David Lurie itu adalah J.M. Coetzee, penulis Afrika Selatan pengarang Disgrace; dan bisnis saya adalah menyunting terjemahan.[] 5:58 AM 4/11/05 | Untuk Kang Tanzil dan Rani, semoga suka.

Monday, July 16, 2007

Ketika Menulis Menjadi TAKDIR
>> Djoko Pitono


BUDI DARMA, guru besar Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya, Mei nanti memasuki masa purnatugas. Itu karena pada 25 April lalu usianya telah genap 70 tahun. Meskipun masih akan tetap mengajar sebagai guru besar emeritus, sastrawan terkemuka itu tampaknya akan lebih banyak waktunya untuk menulis, aktivitas yang paling disukainya.

Dalam pandangan Budi Darma, menjadi guru besar tidak jauh berbeda dengan keadaan ketika dirinya menjadi rektor pada 1980-an. Keadaanlah yang menuntutnya untuk memegang jabatan tersebut, tanpa ia minta dan inginkan. Ia memandang jabatan itu sebagai amanah. Tetapi ia juga merasa bahwa dengan menjadi rektor, kehidupannya sebagai sastrawan dan budayawan terampas.

Berbeda dengan jabatan tersebut, Budi Darma memandang menjadi pengarang adalah karena takdir. Wahyudi Siswanto dalam bukunya Budi Darma: Karya dan Dunianya (Grasindo, 2005), mengemukakan bahwa bakat, kemauan, dan kesempatan untuk menulis bagi Budi Darma tidak lepas dari takdir. Ia merasa ada sesuatu dalam dirinya yang memaksanya untuk menulis. Ia pun merasa bahwa tanpa menulis ia menjadi manusia tidak bermanfaat.

Namun, jangan dikira menulis membuat Budi Darma bahagia. Pandangan soal ini pernah dikemukakan dalam buku Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (editor Pamusuk Eneste) yang terbit pada 1984. Ia mengatakan, menulis justru menimbulkan kesengsaraan. Tidak menulis berarti berkhianat terhadap takdir. Tanpa menulis hidupnya terasa kosong, dan ia pun mengaku jarang menulis meskipun sebenarnya tulisannya sangat banyak.

Sebagai sastrawan, Budi Darma memang produktif. Ia menulis tidak hanya cerpen-cerpen dan novel, tetapi juga esai-esai sastra, dan juga puisi. Lihat misalnya tulisan Sunaryono Basuki di Jawa Pos edisi Minggu, 22 April 2007. Orang-orang memandangnya sebagai seorang yang jenius. Dalam berbagai forum seminar, misalnya, Budi Darma sering membuat para peserta takjub. Itulah karena apa yang ditulis di makalahnya persis sama dengan apa yang dikatakannya, termasuk dalam bahasa Inggris. Masuk akal bila pada 1963 ia menjadi lulusan terbaik Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM dan dengan mudah mendapat beasiswa untuk belajar di Amerika pada 1974 hingga lulus doktor pada 1980. Sekadar catatan, Budi Darma tidak hanya menguasai bahasa Inggris, tetapi juga bahasa Belanda dan Jerman, selain bahasa Indonesia dan Jawa, tentunya.

Dalam penampilannya, Budi Darma santun dan ramah pada siapa saja. Cara ia berpakaian dan berdandan juga rapi. Rumah dan halamannya asri dan bersih. Tetapi dalam tulisan-tulisannya, baik fiksi maupun nonfiksi, Budi Darma bisa melancarkan kritik sangat menyengat terhadap banyak pihak. Nada tulisannya pun sering blak-blakan.

Perihal studi sastra, yang tidak disukai dosen dan mahasiswa Fakultas Sastra, juga menjadi perhatiannya. Tulisannya di jurnal Prasasti yang diterbirkan FBS Universitas Negeri Surabaya, mungkin membuat banyak dosen dan mahasiswa salah tingkah.

Menurut Budi Darma, studi sastra terdesak oleh studi kebahasaan sejak akhir tahun 1960-an hingga saat ini, dan entah sampai kapan. Ia melukiskan bagaimana dosen di Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Sastra sebuah PTN tidak satu pun yang memilih untuk mengampu mata kuliah sastra, padahal mereka semua tamatan Fakultas Sastra. Mereka memilih mengajar mata kuliah studi kebahasaan.

Kecenderungan terdesaknya studi sastra oleh studi kebahasaan disebabkan antara lain kemungkinan teknis. Semenjak awal 1960-an, banyak sarjana muda atau sarjana Indonesia dikirim ke luar negeri untuk belajar studi kebahasaan karena studi kebahasaan erat hubungannya dengan pengajaran bahasa asing. Sedang para sarjana muda dan sarjana yang memperoleh kesempatan untuk mempelajari studi sastra di luar negeri segan untuk mempergunakan kesempatan tersebut. Alasan mereka sederhana, yakni beban membaca dalam studi sastra terlalu berat, katanya.

Titik berat studi sastra, kata Budi Darma, adalah penghayatan. Segala sesuatu yang bersifat penghayatan lebih sulit dirumuskan daripada segala sesuatu yang bersifat kognisi. Karena itu, studi sastra kurang mempunyai formulasi yang jelas. Masalah-masalah dan penemuan-penemuan dalam studi sastra kurang dapat diformulasikan dan diartikulasikan dengan jelas pula. "Karena studi sastra kurang mempunyai formulasi yang jelas, maka studi sastra banyak dianggap kurang ilmiah," tuturnya.

Tetapi kalau toh studi kebahasaan dianggap lebih mudah dibanding studi sastra, apakah lantas muncul banyak karya tulis termasuk buku-buku kebahasaan? Jawabnya sama tidak menggembirakan. Sama dengan keadaan fakultas-fakultas yang lain, Fakultas Sastra juga tidak banyak memunculkan buku-buku. Bila ditanya soal ini, Budi Darma punya jawabannya, mungkin bisa memerahkan telinga.

Budi Darma mengatakan, tidak perlu berharap banyak dari dosen yang tidak mau menulis. Ia menyarankan agar kita "merelakan" para dosen itu bekerja hingga mereka pensiun. "Lebih baik kita menggantungkan harapan dari generasi muda," kata Budi Darma dengan nada datar. Dalam sebuah tulisannya pada 1983, Budi Darma mengemukakan bahwa pada dasarnya menulis itu memang sulit. Kesulitan untuk menulis terutama bersumber pada kurangnya kemampuan seseorang untuk berpikir kritis. Seseorang yang tidak dapat berpikir kritis dengan sendirinya tidak dapat mengidentifikasi dan memilah-milah persoalan dengan baik. Dan bila seseorang tidak mempunyai kemampuan melihat persoalan dengan betul, pikirannya juga tidak mempunyai kelengkapan daya analisis yang baik. Persepsi orang semacam ini dengan sendirinya kabur. Dan, kekaburan persepsi merupakan sumber kelemahan seseorang untuk menemukan persoalan yang dapat ditulisnya.


"Ketidakmampuan menemukan persoalan menyebabkan seseorang tidak mungkin menulis mengenai persoalan. Milik orang semacam ini terbatas pada kemampuan menceritakan kembali pengalamannya, atau apa yang pernah dilihatnya, didengarnya, dan dipelajarinya, " kata Budi Darma. (*)


DJOKO PITONO, editor dan penulis buku.

SUMBER: Posted by: "nutze matapena"
Di Balik Buku , Minggu, 29 April 2007.
Simpatik tapi Tidak Kritis
---------------------------------------
Anwar Holid

JALALUDDIN RAKHMAT (Kang Jalal) memberi kata pengantar amat menyengat di buku Muhammad: Prophet For Our Time karya Karen Armstrong (Mizan, 2007), judulnya: ‘Karen Armstrong, Simpatik tapi Tidak Kritis.’ Kata pengantar tersebut merupakan 'hadiah' sangat berarti untuk menemani pembaca selama menikmati buku biografi Nabi Muhammad dari sudut pandang seorang komentator agama. Bagi sebagian Muslim pun, pendapat Kang Jalal tentang sirah nabawiyah itu boleh jadi tetap bakal mengguncang, apalagi bagi Muslim yang kurang terbiasa dengan khazanah non-Sunni. Muhammad: Prophet For Our Time sendiri disiapkan nyaris sempurna, mulai dari penerjemahan dan editing, didesain amat cantik, hingga menambah bobot buku lebih dari sekadar benda cetak atau sumber pengetahuan. Karen Armstrong menulis dengan sangat luwes, lincah, jernih, dan menyajikan wacana seperti bila kita meluncur di permukaan licin, tanpa kesukaran pemahaman sama sekali.

Saya sudah menamatkan beberapa buku Karen Armstrong, membaca-baca berbagai file profil dia, wawancara, artikel mengenai dirinya, pikiran dia dari berbagai sumber, termasuk menulis profil dia di Matabaca, tapi tak terlintas sedikit pun kesimpulan bahwa dia tidak kritis. Bahwa Armstrong simpatik tentu semua pembaca buku-buku dia sepakat. Tapi disebut tidak kritis? Baru Kang Jalal berani berpendapat demikian. Walhasil, kata pengantar dia sangat berguna mengimbangii isi buku. Sebuah kata pengantar yang sangat tajam dan menunjukkan betapa keyakinan (iman) lain dengan penelusuran sejarah atau interpretasi terhadap teks dan riset dari berbagai sumber rujukan. Padahal, berkat pengabdian Armstrong dalam membangun jembatan memajukan pemahaman antaragama pada 1998 Islamic Center California Selatan menganugerahi dia penghargaan. Pada 1999 dia menerima anugerah dari Muslim Public Affairs Council Media.

Bagaimana Karen Armstrong jadi tidak kritis di mata Kang Jalal?

Salah satu yang paling mencolok, Armstrong ternyata lolos memperhatikan dan tak merujuk sejumlah biografi Nabi Muhammad karya penulis Muslim terkemuka, misalnya Sejarah Hidup Muhammad (Muhammad Husain Haekal). Padahal buku Haekal tersebut sangat bermanfaat dalam menjelaskan soal kisah gharaniq (ayat-ayat setan). Kelemahan Armstrong itu terutama disebabkan karena dia mengutip buku 'tarikh dalam terjemahan Inggris. Itu pun terbatas pada sumber Ahli Sunnah, yang diterimanya tanpa kritik.' Kang Jalal mengambil satu kisah peristiwa vital yang dia jadikan bukti bahwa Armstrong tidak kritis, yaitu ketika Muhammad menerima wahyu pertama, dan setelah itu beliau menggigil ketakutan, disertai kecemasan, kebingungan, dan kesedihan. Begitu pulang beliau berkata kepada Khadijah, "Selimuti aku! Selimuti aku!" sampai hilang rasa takut itu.

Tulis Kang Jalal: Tidak pernah wahyu datang dengan cara yang 'mengerikan' seperti ketika ia datang kepadaa Nabi Saw. Bukankah beliau adalah kekasih Rabbul `Alamin, yang tanpa Dia, seluruh alam semesta tidak akan diciptakan. Atas dasar apa Jibril menakut-nakuti Nabi dan menyakitinya? Kisah itu menunjukkan bahwa peristiwa menerima wahyu yang seharusnya mencerahkan, malah menggelisahkan. Kisah itu bertentangan dengan gambaran Al-Quran Surah Al-An`am ayat 125: Barang siapa yang Allah kehendaki untuk memberikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk menerima Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. (H. 28 - 30). Karena itu, tegas Kang Jalal, riwayat turunnya wahyu seperti itu harus kita tolak karena bertentangan dengan Al-Quran.

SAYA terperangah dengan argumen Kang Jalal. Betapa berbeda cara dia membaca, menilai, dan menyimpulkan suatu informasi sangat lain dibandingkan pendapat umum selama ini. Dia memadukan pengetahuan itu dengan keyakinan kuat, memanfaatkan khazanah yang luas lagi dalam, dan siap sedia andai keteguhan itu diguncang. Saya lemas, ternyata selama ini pun tidak kritis. Kenapa tidak kritis? Karena menerima keterangan begitu saja. Maka wajar bila sudah baca beberapa buku Karen Armstrong, tak pernah terbetik pendapat lain terhadap dia, yaitu mengamini bahwa dia seorang komentator agama yang simpatik. Saya gagal menemukan atau meraba betapa ada yang salah dalam keterangan maupun keyakinan selama ini, mirip keyakinan mayoritas orang tak kritis lain. Sikap tak kritis ketika membaca amat riskan mengeraskan pendapat salah yang dianggap sebagai kebenaran umum. Sesuai kapasitas sebagai cendekiawan, Kang Jalal mengajak pembaca agar lain kali lebih kritis saat membaca, sebab dengan itu kita bisa jelas-jelas membedakan mana pendusta, kaum munafik, penipu, suka riya, mau untung sendiri, dengan orang beriman. Kita mudah menemukan Muslim yang memegang teguh kisah tentang proses penerimaan wahyu pertama itu begitu saja, menganggap itu sebagai kebenaran, dan sulit sekali menghapusnya,

Pembaca, penulis, sarjana, memang bagus bila bekerja keras melakukan riset dari berbagai rujukan; tapi bila tidak kritis, dia bakal salah menyisipkan detil itu ke dalam rangkaian tulisan yang sedang dikerjakan, lebih parah lagi, bisa ikut berkubang dalam kesalahan, melestarikan kebodohan, dan malah menyebarkannya pada publik. Wah, mengerikan jadinya![]

Note: Esai ini dipublikasikan di harian Republika, rubrik Selisik, Minggu, 15 Juli 2007.


KONTAK: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B, Bandung 40141, Telp. (022) 2037348 – SMS: 08156140621

Saturday, July 14, 2007

TIRAMISU
---Adilla Anggraeni


Semua selalu sama. Rasa lezat, adonan lumer, dan lembut di lidah. Semua terbungkus lembut. Dan Rania terbuai.

Selalu sama. Kafe yang sama, tempat duduk di sudut yang sama; percakapan lain. Tapi tumpukan kertas di hadapannya seolah tak perduli. Mereka mencampur semua, meramu semua.

Tua, muda. Kenapa kedua kata sifat itu seolah bukan hanya bertentangan, tetapi juga mencerminkan dua sisi berlainan? Mengapa semua orang mengucapkan kata "tua" dengan rasa jijik, takut, dan antisipasi berlebihan? Mengapa wajah mereka memucat, seolah tengah melihat sendiri lubang kuburan mereka digali? Tak bisakah kata "tua" dan "muda" diucapkan seolah mengucapkan kata merah dan hijau? Tanpa tendensi dan makna terselubung?

Dan Raina kembali tersenyum. Menggoyangkan pena di tengah kedua jemari, mencoba menerka apalagi yang akan ia tulis di helaian kertas di hadapannya. Hidup. Tentu, tiada yang lebih bernyawa dan menginspirasi dari hidup itu sendiri. Bahkan lebih dari cinta yang diagung-agungkan banyak orang sebagai sumber inspirasi terbesar. Bukankah cinta itu sendiri hadiah kehidupan?

Kening Raina berkerut. Pandangannya kembali terlempar pada sosok-sosok sekitar, yang menghirup kopi atau cairan apa pun yang ada di gelas mereka dengan kepuasan tersendiri. Seorang lelaki duduk tepat di hadapannya, pakaian sedikit lusuh, tapi dengan raut wajah bersinar ketika ia membolak-balik koran di tangannya. Kebahagiaan itu! Manusia macam apa yang bisa begitu bahagia hanya dengan menikmati secangkir kopi, di udara membekuka tulang seperti ini?

Manusia yang tahu cara mensyukuri hidup. Raina memutuskan. Dan kembali tertunduk mencoretkan sesuatu di atas kertas. Bibirnya membentuk seutas senyum. Jikalau aku bisa merekam adegan di hadapanku ini seperti pelukis pada kanvasnya! Raina iri, sangat iri karena ia perlu menggoreskan seribu kata sebelum akhirnya mampu menandingi kelancaran bahasa seorang pelukis.

Raina begitu iri, sehingga pikirannya kacau saat itu. Dosis kafein yang ia tenggak sebelumnya gagal meredakan kekalutan. Raina meremas kertas di hadapannya keras-keras. Selalu sama, selalu sama. Kejadian ini berulang lagi, hingga ia ingin berteriak begitu keras dan melupakan segala, kecuali rasa tiramisu yang masih menari-nari di lidah.

Kenapa adonan di depannya ini bahkan bisa berbicara lebih banyak daripada kertas naskah ini? Bisa cerita lebih banyak dari kerutan yang menghiasi wajah seseorang? Bukankah kerutan itu menandai setiap peristiwa besar kehidupan? Garis kegembiraan yang terbentuk setelah bertahun-tahun menjadi satu kerutan. Lalu ada garis tangis. Garis terkejut. Garis lengkung tanpa arti yang terbentuk karena keheranan. Itu saja. Tapi ia telah kalah berbicara.

Setiap ada di café ini Raina selalu membandingkan dua hal: kopi pahit dan tiramisu manis menggigit. Taplak meja bersih dan serbet kotor. Kakinya yang bersepatu hak tinggi dan pengemis telanjang kaki di luar. Lembar uang di meja yang pasti cukup untuk hidup selama seminggu dan recehan dalam kaleng di muka pengemis itu.

Lucu begitu rasa dan aroma yang selama ini diacuhkan banyak orang bisa menjadi alat pengenang masa lalu. Mereka seperti menyekap dan membelenggu, memaksa menoleh masa lalu yang ingin dikubur oleh orang bersangkutan. Mereka hantu berwujud, diam-diam mencengkeram dari belakang.

Raina menghirup kopi. Entah saraf apa yang dihidupkan kopi ini ketika ia tersentak dan dipaksa bangun untuk merangkai jaring-jaring kehidupan di atas kertasnya. Raina tidak melukis. Ia merangkai dan memutus jaring-jaring kehidupan, membingkai dan menempelkan di tempat yang cocok.

Dalam dunianya Raina merasa menjadi Tuhan. Ia menulis nasibnya dalam versi lain, dengan boneka-boneka takdir tanpa daya yang akan menuruti segala kehendaknya. Ia menjungkirkan fakta, membolak-balikkan kenyataan dan mengguncang sekaligus. Lalu ada tiramisu, yang rasanya bagai ambrosia, minuman para dewa.

Raina mungkin perwujudan Prometheus, yang dihukum karena melanggar kekuasaan sendiri. Prometheus yang terjebak keabsurdan hidup, dalam ketragisan heroik. Apa semua pahlawan tragis sebenarnya bodoh? Mungkin akan ada sebuah literatur Jawa mengatakan bahwa Kurawa sebenarnya pintar karena mereka mampu mengatur strategi untuk merebut sesuatu dan menjadikan hal itu milik, bukan nrimo tanpa perlawanan!

Ketragisan heroik dan hukum rimba setali tiga uang. Siapa bilang hukum rimba dalam pergaulan manusia itu hanya ada di kota besar, atau lebih spesifik, di ibu kota? Raina tersenyum sinis. Hukum rimba sudah ada saat manusia pertama kali diciptakan! Telah ada saat Qabil membunuh Habil. Saat jerapah berleher pendek sia-sia beradaptasi dan harus punah karena kandas menjangkau daun di pepohonan tinggi.

Mungkin pengemis itu hasil hukum rimba, seleksi alam maha luas yang membuat dia asing akan manis dan lembut tiramisu; matahari dan hujan lebih meresap dalam tulang-tulangnya, sehingga senyum puas dan terima kasih dia lebih indah daripada milik lelaki setengah baya di hadapan Raina yang dari tadi mengaduk-ngaduk cangkir kopi pekat dengan wajah orang yang bisa melihat seisi dunia lewat cupu manik Astagina.

Raina ingin lari ke luar dan minta pengemis itu bertutur, memohon mencicipi sesuap tiramisu dan mendengar tawanya. Mungkin tawa dia akan terdengar merdu dan jernih seperti mata air yang telah menembus peradaban, bergema membius hutan-hutan dengan gemericikannya.
Raina ingin bicara tentang patriotisme, nasionalisme, merah dan putih, darah dan tulang, tanah dan air dalam buku-bukunya. Ia ingin mengejawantahkan tawa pengemis yang tak kunjung terdengar, mendeskripsikan rasa tiramisu, menurunkan hujan di gurun selebat di pegunungan. Kata-kata saja kurang, kadang-kadang menggagalkan, menyeret ekspresi hingga ke titik nadir, bukan melambungkannya ke titik zenith.

Inspirasi dan bukan sesuap nasi. Pilihan sulit. Segala yang tabrakan bisa berakibat seperti asteroid yang menimbulkan hujan meteor, meski hasilnya bisa tak seindah itu. Raina sudah memanfaatkan kesepuluh jemari untuk meraih keinginan sejauh ia ingat. Jika tidak, air mata jadi senjata pamungkas. Pada dasarnya manusia mustahil benar-benar tumbuh sejak bayi. Kepolosan tangisan bayi bahkan telah digugurkan oleh sejenis tangis lain dengan tujuan sama, mendapatkan keinginan.

Adegan yang sama. Raina, tiramisu, kopi. Bahkan adegan serupa masih terulang ketika sebuah suara memanggilnya mengajak pulang, memutus adegan yang tengah berkejaran.Adegan berisi Raina, tiramisu, dan kopi.[]

Adilla Anggraeni lahir di Jakarta 16 Februari 1988. Saat ini mahasiswi tahun terakhir Nanyang Business School, NTU, Singapura. Telah menerbitkan Contra Veritas (kumpulan cerpen, 2006).
Kontak: HP: +6598823890/+62 852 15 666 908 E-mail: lunar_gaia@yahoo.com - forthingdale@hotmail.com.

Thursday, July 12, 2007

PERESENSI BERBAGI RAHASIA
---------------------------------------------------
>> Anwar Holid


Pertemuan Peresensi Pustakaloka-Kompas yang berlangsung pada Jumat, 4 Mei 2007 di Ruang Kenanga I, Istora Senayan Jakarta, persis seperti harapanku berlangsung menarik dan menyenangkan. Semua kursi tampak penuh, meski beberapa orang yang aku harapkan ternyata mangkir. Ignatius Haryanto (IGNH), J. Sumardianta, tak tampak, padahal aku ingin ketemu lagi setelah lama nggak kontak. Kang Hernadi Tanzil bahkan sejak awal sudah bilang nggak bisa datang karena ada tugas kantor yang harus dia selesaikan. Dia bilang, 'Nanti cerita-cerita tentang hasil gathering ya mas...'

Yang juga mengejutkanku, di antara hadirin ternyata ada Endah Sulwesi, seorang peresensi yang juga sangat produktif, terutama untuk fiksi. 'Yang mana orangnya?' tanyaku pada Chus, waktu kami dengan teman-teman dari Penerbit Koekoesan mampir makan di Nando's Cilandak Town Square. 'Itu, cewek kecil-kecil yang duduk di depan.' O, baru ingat. Sosoknya pernah muncul di Koran Tempo, Femina, dan Tempo. 'Coba tadi ada yang ngenalin aku ke dia,' kataku. 'Oh, belum kenal toh?' 'Sudah sih, lewat email. Tapi kan belum pernah ketemu.' Aku juga bertemu dengan Mumu_Aloha, penulis dan editor, yang bertahun-tahun lalu sempat chat dengan aku. 'Mereka-mereka' ini teman main sekomunitas yang relatif sering ketemu, meski kalau bertemu bareng sekaligus malah jarang dan relatif sulit karena terhalang aktivitas masing-masing. 'Jadi kita mesti berterima kasih pada gahtering ini karena bisa membuat kita ketemu bareng,' begitu aku dengar salah seorang bilang di belakang mobil, entah Chus atau Mumu. Muhidin M. Dahlan, kawan lama dari Jogja juga datang. Dia kini justru sering tinggal di Jakarta.

Dalam perjalanan ke Nando's yang tersendat-sendat karena macet Damhuri Muhammad terus-menerus ngomong soal sumbangan dan pengaruh Sriti.com bagi perkembangan karir penulis muda. 'Aduh, hati gue rasanya berpasir deh denger komentar seperti ini,' begitu balas Chus. Ternyata Chus, Sjaiful, dan Win dari Salju Bogor (Salbo), yang menggerakkan Sriti.com, ialah alumni IPB. 'Wah, aku beberapa bulan lalu kenalan sama mas Siba (Dwi Setyo Irawanto). Dia keluaran Kehutanan loh.' Ternyata dia senior Sjaiful.

H. Witdarmono sebelum menyampaikan topik standar cara meresensi dan hakikat meresensi, dia membaca langsung contoh resensi dia atas To Kill a Mocking Bird (Harper Lee), yang dia tulis bertahun-tahun lalu sebelum novel itu barusan diterjemahkan Femmy Syahrani dan diterbitkan Qanita. Waktu mendengar resensi itu dibacakan, aku langsung bisa merasakan bahwa itu contoh resensi yang bagus. 'Saya berani bilang bahwa meresensi itu mungkin puncak dari menulis,' begitu yang aku ingat dari salah satu ucapannya. Di antara standar resensi yang dia tetapkan ialah sejarah penulis, latar situasi sosial-budaya, relevansi penerbitan, dan cara menyajikan, di samping tentu saja menceritakan tentang isi buku tersebut. Terasa pertimbangannya sebelum meresensi mencakup banyak hal. Dia mengaku rata-rata menghabiskan sepuluh hari untuk menuntaskan resensi yang betul-betul siap dipublikasi. Pernah waktu tinggal di New York (?), dia ingin sekali menulis tentang The Satanic Verses (Salman Rushdie) yang persis sedang heboh karena penulisnya difatwa mati oleh Imam Khomeini. 'Tapi kalau saya meresensi buku ini, mungkin justru Kompas yang kena hujat di Indonesia,' kata dia. Alternatifnya, dia menulis esai tentang realisme magis (magic realism) dengan menyebut novel itu sebagai contoh utama. Peresensi juga mesti punya strategi tertentu untuk membaca situasi yang sedang berkembang, termasuk pada sensitivitas publik.

Mungkin karena H. Witdarmono menyampaikan materi dengan berdiri di depan forum, tidak duduk di podium, suasana jadi santai. Ketika bicara, aku pun akhirnya memutuskan berdiri di depan forum juga, setelah ikut menyimak penuturan H. Witdarmono di barisan paling depan. Yang paling aku fokuskan dalam pertemuan itu ialah harapan agar resensi di Indonesia terus berkembang, mengalami kemajuan, seiring industri buku yang tengah pasang naik. Fungsi resensi bagi perkembangan industri buku pastilah signifikan, perkembangannya mesti dicermati bukan saja di media massa biasa, melainkan juga termasuk resensi yang ada di blog dan milis (mailing list). Resensi di media itu justru berseliweran dan perkembangannya mungkin di luar dugaan banyak pihak. Aku termasuk yang suka membaca banyak posting resensi dari milis, dan selalu salut betapa mereka bisa mencerap buku dengan cepat begitu terbit/beredar di pasar. Kata Tanzil, 'Mereka umumnya rajin memposting resensi baru, biasanya seminggu sekali, namun ada juga yang seminggu bisa dua atau tiga buku! Mereka memang tak pernah masuk media cetak tapi bagi para pecinta buku dan punya akses internet, blog mereka selalu menjadi blog yang wajib dikunjungi.'

Sebagian orang yang hadir dalam pertemuan itu termasuk mereka yang rajin meresensi, meski belum pernah dimuat di media seperti Kompas. Baik-baik saja sebenarnya. Cuma memang redaksi punya standar tertentu yang harus dipenuhi agar sebuah artikel layak muat. H. Witdarmono menegaskan kriteria ini dengan sangat tepat, yaitu 'Setiap surat kabar adalah sebuah pribadi.' Tarik-menarik antara kontributor dan media ini merupakan ranah yang amat lentur dan dipengaruhi banyak faktor, dan kita bisa bisa belajar banyak dari situ. Dari resensi yang dimuat, kita bisa belajar tentang keluasan dan ketajaman analisis, kelenturan berbahasa, kelincahan menulis, diksi yang sangat banyak, juga ketulusan dan idealisme. Resensi di blog dan milis juga punya kekuatan sendiri. Posting mereka bisa mengundang komentar puluhan orang sehari dan langsung bisa memancing reaksi banyak orang. 'Kadang-kadang mereka juga suka janjian membaca dan mereseni buku yang sama,' tambah Tanzil.

Meresensi di media massa dan blog/milis punya daya tarik dan kekhasan masing-masing. Yang paling penting barangkali kesungguhan menulis. Aku sendiri sadar kelemahanku yang paling besar justru kurang produktif meresensi, bahkan suka gagal menemukan inti buku setelah baca, atau kesulitan menentukan akan berangkat dari mana resensi itu. 'Betul, meresensi itu kan nggak bisa dipaksa,' kata Damhuri Muhammad. Aku setuju poin itu, tapi sebenarnya aku juga yakin bahwa usahaku kurang keras untuk menghasilkan resensi atas buku tertentu, apalagi bila buku itu benar-benar bagus dan punya keunggulan. Aku sampai sekarang selalu menyesal setiap kali gagal meresensi.

Selain bisa silaturahim dan saling kenal, di pertemuan itu kami sekaligus bisa berbagi banyak hal, baik tentang buku dan penulis favorit, jenis yang sama-sama disukai, dan tentu saja: cara menulis resensi sebaik dan seantusias mungkin. Para hadirin sama-sama mau saling membagi rahasia. Bahkan Aria (?), yang sering meresensi buku ekonomi mengaku tak bisa menerangkan cara meresensi; dia hanya melakukannya, dengan berusaha fokus pada buku yang dikritik. Kecenderungan ini agak lain dengan saran pendekatan resensi umum yang suka membandingkan dengan buku lain yang relevan. Sementara Kasiyanto, sejarahwan dari UI, jelas sekali keunggulannya mengulas buku kuno. Memperhatikan kekhasan, kekuatan, gairah, dan kemampuan peresensi sendiri tampaknya jadi faktor penting agar bisa menghasilkan tulisan yang bagus, bernunsa, kuat. Donny Gahral Adian menyatakan, biasanya dia berangkat meresensi justru dari adanya perasaan gelisah, gelo, bahkan jijik terhadap buku yang dia baca. Dia yakin dari situ akan lahir dialog antara pembaca dengan penulis yang kritik, sebab ada sesuatu yang dipertanyakan, digugat, dipertentangkan dengan pendapat peresensi. 'Kalau ingin memuja buku itu, mendingan Anda menulis endorsement saja.' Wah, keras juga pendapatnya tentang resensi.

Di pertemuan itu peresensi berbagi rahasia, dari yang meresensi secara tertib, kesulitan mengungkapkan cara menulis, hingga tiada lelah berusaha mencari strategi agar dimuat media massa. Poin dari situ ialah: yang paling penting justru menulis, meningkatkan produktivitas, dan ketangguhan mengetuk tuts keyboard. Mode orang menulis beda-beda, khas, saling mengayakan.

Di pertemuan itu aku menyinggung sedikit perbandingan kondisi peresensi di luar negeri dengan Indonesia, meski mungkin kurang relevan dan di luar konteks. Tapi sekadar mengungkap dan mungkin bisa jadi obrolan menarik, ternyata jadi peresensi enak dan menjanjikan juga. Di Indonesia, jadi peresensi sudah cukup enak dan menyenangkan, tapi mungkin masih jauh dari menjanjikan---terutama sebagai pilihan karir. Kalau kita sebut nama peresensi (kritik buku) ternama di luar negeri, seperti Michiko Kakutani, Martin Amis (dia juga seorang novelis sangat terkemuka di Inggris), Sara Nelson, Anthony Lane, ternyata menjadi peresensi selain merupakan pilihan yang prestisus, juga menjanjikan secara finansial. Memang kita di sini punya kekurangan yang membuat meresensi masih merupakan semacam hobi atau demi memenuhi idealisme, tapi ternyata perkembangan akhir-akhir ini menarik juga kita perhatikan, terutama resensi di blog atau yang diposting di milis. Resensi di situ ternyata berpengaruh besar juga bagi komunitas maya, dan kini kiprah mereka juga sangat diperhatikan penerbit.

Isu sindikasi media yang cukup ramai di milis jurnalisme@yahoogroups.com juga sempat aku lontarkan. Terbayang kan bila seorang peresensi mendapat bayaran berlipat-lipat dari setiap media yang bersedia membeli tulisannya. Tapi isu ini pasti berat, mengingat sistem sindikasi belum diterima di Indonesia. Di milis jurnalisme@yahoogroups.com sejumlah penulis freelance sedang berencana membangun daya tawar agar bisa menjalankan sistem ini.

Demi menjaring pasar lebih luas, sejumlah penerbit kini juga makin terbiasa mengadakan lomba resensi, terutama untuk buku yang diperkirakan bakal laku dan promosinya dianggarkan. Hadiahnya kira-kira sebesar honor pemuatan artikel opini/essay di media massa. Peserta lomba sering banyak, dan yang menang resensinya disebar ke milis atau diposting. Dampak dari lomba ini tentu saja buku tersebut mesti dibeli dulu oleh para peserta.

Pulangnya dong... semua peserta dibekali 'berkat' pertemuan, yaitu sekantong buku dari penerbit KKG. Isinya beda-beda, bergantung rezeki masing-masing. Ada yang senang dengan kebetulan itu, ada juga yang jadi ledek-ledekan. 'Wah, buku ini bukan gue banget gitu...' kata Chus waktu memeriksa sebuah judul dari kantongnya. Waktu aku periksa, tasku berisi enam judul, salah satunya kumpulan cerpen Emha Ainun Nadjib dan buku tentang kesehatan gigi (yang amat menarik minatku). Sementara Damhuri bilang, 'Wah, nyesel gue beli buku tadi...' Pertemuan peresensi itu memang diadakan dalam acara Kompas-Gramedia Fair. Pastilah ada di antara buku yang dibagi-bagi itu suatu saat akan diresensi. Aku yakin.

Wah... sudahlah. Sekarang ambil buku, baca, selami, tulis resensinya. Kirim atau bagikan ke khalayak; dari situ semoga ada yang tumbuh, baik pro dan kontra, termasuk penghargaan, atau setidak-tidaknya rasa syukur bahwa kita telah menikmati pengetahuan, buah kehidupan.[] 17:55 07/05/2007
Republika, [Selisik], Minggu 17 Juni 2007

SIHIR PEMULUNG KATA
------------------------------
>> Anwar Holid



Kepada Cium (Kumpulan Puisi)

Penulis: Joko Pinurbo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (GPU), 2007
Tebal: 44 hlm; 13.5x20 cm
Harga: Rp20.000,-
ISBN: 979-22-2716-4





Nyaris semua kritik menyatakan salah satu puncak puisi Indonesia era 2000-an ada di pundak Joko Pinurbo (Jokpin). Bahkan blurb buku puisi ini dengan bersemangat menyatakan: masa depan puisi Indonesia terletak pada tangannya. Bukti pengakuan itu tentu sejumlah prestasi: memenangi Khatulistiwa Literary Award berkat Kekasihku (2004); buku-bukunya laris, padahal hampir semua penerbit pikir panjang bila hendak menerbitkan buku puisi saking trauma betapa sulit menjual buku puisi. Menurut seorang editor GPU, Kepada Cium terjual 800 kopi dalam tiga minggu pertama masuk ke toko pada awal April 2007. Pencapaian itu sulit disamai penyair lain.

Kepada Cium, kumpulan puisi kedelapan dia, amat lain dari segi materi dibandingkan buku dia sebelumnya. Beda paling signifikan yaitu hilangnya tradisi tambahan esai terhadap puisi dalam edisi tersebut, termasuk tak ada endorsement sastrawan lain maupun pujian dari kritik terkemuka. Keputusan penulis dan penerbit ini bisa jadi semacam keyakinan makin besar bahwa Jokpin berani menyerahkan puisi kepada pembaca tanpa harus ditemani pendapat kritik maupun disuguhi komentar yang biasanya cenderung dingin, serius, dan bahkan sampai tahap tertentu membatasi kebebasan pembaca yang ingin menikmati puisi seenak-enaknya.

Buku ini sangat tipis, hanya terdiri dari 33 puisi, puisinya pun relatif pendek semua. Kesan tipis ini disiasati dengan menambah sejumlah drawing karya Mirna Yulistianti, editor buku tersebut. Hasilnya, buku tampil tambah manis. Karena tipis, Kepada Cium bisa selesai dalam sekali baca, mungkin hanya butuh waktu kurang dari satu jam untuk menamatkan. Tapi, juga justru karena tipis, pembaca akan mudah sekali terpikat oleh puisi-puisi itu, akibatnya mereka akan mengulang-ulang membaca. Jokpin tak menerangkan kenapa memutuskan hanya memuat 33 puisi, padahal dalam periode 2005-2006 dia produktif dan karyanya terus bermunculan di media massa. Barangkali dia ingin memastikan pilihan tersebut bakal menyihir publik, sesuai ucapannya: 'Puisi yang baik adalah yang bisa menyihir.'

Setelah bolak-balik membaca Kepada Cium, yang paling terasa ialah Jokpin mengurangi kadar main-main yang mencapai puncaknya dalam Telepon Genggam (2003). Dia mengembara, memain-mainkan imajinasi dan logika, namun semua disampaikan hati-hati, lebih tenang, dan bilapun lucu, efeknya hanya menimbulkan senyum simpul, atau nyengir getir saking sangat menyindir. Di buku ini dia jelas berusaha mengekang hasrat mengembangkan puisi jadi flash fiction agar betul-betul tetap merupakan puisi asli. Dari sana kita bisa yakin atas komentar Dr. Okke Kusuma Sumantri Zaimar bahwa keahlian Joko Pinurbo mengemukakan pisau bermata dua bukan bualan untuk meyakin-yakinkan publik maupun demi menyenang-nyenangkan penyair.

TAHUN 2005 - 2006 merupakan periode perih bagi Indonesia; pada awal 2005 terjadi tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, kemudian menyusul berbagai bencana alam, banjir bandang, kebocoran lumpur panas Lapindo, termasuk gempa di Jogjakarta, yang sempat merusakkan rumah Jokpin dan meruntuhkan rumah dua adiknya. Adakah peristiwa dalam periode itu tertatah di buku ini? Dia menulis puisi tentang tsunami dan gempa, juga terpukul oleh kejadian fatal yang menimpa anak-anak karena kalah oleh kemiskinan. Wajar bila beberapa puisi bernuansa sedih, sekaligus religius dan peka sosial. Yang terbaik melampiaskan perasaannya terhadap keperihan antara lain 'Kepada Uang', 'Harga Duit Turun Lagi', dan 'Sehabis Sembahyang.'

Menilik subjek yang muncul, Jokpin justru banyak mengulang atau makin mengulik tema yang dulu dia perkenalkan dalam Telepon Genggam. Kepada Cium banyak menggunakan citra telepon genggam, kesulitan komunikasi, kondisi sosial, dan tentu saja terus mencari sisi baru citra lama yang membuat penyair ini legendaris: celana, celana dalam, kasih sayang, kenangan masa kecil, perihal tubuh dan benda-benda rumah. Sisanya macam-macam: menafakuri waktu, harapan, absurditas menghadapi kenyataan hidup, mengejek kepura-puraan, dan eksplorasi terhadap puisi dan bahasa itu sendiri. Dengan begitu Kepada Cium menghasilkan dua jenis puisi: yang langsung bisa dinikmati, bermakna jelas, menyinggung perasaan---jenis mata pisau pertama, karena langsung mengarah, menusuk ego manusia yang profan, ragawi, senantiasa kurang puas dan sulit sekali bersyukur. Lainnya kabur, unik, mengedepankan naluri, menarik-narik pembaca ke batas samar antara makna tersirat dan harfiah---jenis mata pisau kedua, yang mengarah lebih pada permainan tafsir dan berbagai kemungkinan.

Membahas 'pisau bermata dua', bisa diperdebatkan apakah itu suatu keunggulan atau justru merupakan tanda ambiguitas dan ciri kelemahan? Bila merujuk pada Saini KM dalam Puisi dan Beberapa Masalahnya, ambiguitas di antaranya disebabkan oleh kegagalan penyair dalam menemukan lambang yang tepat untuk pikiran dan perasaannya, atau penyair sendiri ragu-ragu serta belum memutuskan apa sebenarnya yang menjadi pokok renungannya, sikap dan perasaan apa yang dialami dalam hubungannya dengan pokok tersebut (hal. 213). Puisi sangat pendek Jokpin sangat potensial menghadirkan ambiguitas, misalnya 'Ranjang Kecil', 'Magrib', 'Seperti Apa Terbebas dari Dendam Derita'; barangkali disebabkan ketersediaan ruang penafsiran dari teks itu pun sangat sempit. Pembaca awam pasti kesulitan menentukan maksud persis sang penyair sebenarnya apa. Ambiguitas sering sengaja disisakan penyair agar melahirkan polemik, macam-macam tafsir, bahkan mistifikasi.

Kepada Cium tampaknya merupakan kado tanda ulang tahun ke-44 Jokpin. Dalam bingkisan itu dia memasukkan banyak isi, dari yang universal, menyangkut perhatian semua insan hingga ke detil batin individu, yang intim, hanya bisa diresapi khusyuk sendirian.[]
MENEMUKAN INTI PENULISAN
----------------------------------------------------
ANWAR HOLID


Para pengulas buku telah mengajariku bukan saja tentang caraku menulis, tapi juga mengapa aku menulis.
>> Amy Tan, Lawan dari Takdir (h. 320)


BERKAH seorang peresensi ialah mendapat kesempatan menulis buku yang dia cintai, yang setelah selesai baca berhasil menginformasikan kepada publik betapa berharga buku tersebut, sehingga patut direkomendasikan, dimiliki. Resensi, baik eksplisit maupun implisit, biasanya menyebut bahwa buku tersebut layak dibeli. 'Niat saya hanya ingin membantu pembaca buku menentukan pilihan. Untuk itulah saya mencoba menulis resensi agar calon pembaca/pembeli terbantu,' demikian aku Hernadi Tanzil, seorang peresensi produktif, yang resensinya tersebar ke sejumlah media massa, milis, dan blog.

Peresensi selalu mendapat kepuasan setiap kali berhasil menulis tentang buku yang sudah dia baca. Pada dasarnya peresensi menyesal bila sudah tamat membaca tapi akhirnya gagal menulis tentang buku tersebut, apalagi bila buku tersebut faktanya bagus, layak direkomendasikan, pantas disarankan kepada publik. Tapi harus diakui bahwa menulis resensi pun ternyata bisa cukup sulit. Sama dengan jenis tulisan jurnalistik lain, resensi punya kesulitan tertentu yang harus bisa diatasi oleh peresensi. Salah satu halangan menulis resensi bisa jadi kegagalan menentukan subjek atau fokus atas resensi tersebut.

Bila resensi hanya berupa otak-atik comotan salinan pengantar penulis dan penerbit, pemberi kata pengantar, termasuk sinopsis beserta blurb, tentu saja jauh lebih berharga memahami buku daripada sekadar meresensi semata-mata demi dimuat di media massa. Kemalasan peresensi membaca biasanya akan terbukti oleh orang yang tahu persis kandungan tersebut, atau pembaca lain yang sungguh-sungguh menyelami isinya, dan paling fatal, biasanya resensi tersebut dangkal. Pembaca tentu sulit berharap banyak pada resensi dangkal, selain info ada buku baru. Tapi, lepas dari itu semua, ada adagium ternyata penerbit pasti senang setiap kali ada resensi atas buku yang mereka terbitkan, bahkan resensi yang buruk sekalipun. Ini juga menunjukkan peran penting resensi, apa pun media penerbitannya. Kini kita tahu resensi bisa muncul di mana saja, tapi resensi di media massa umum seperti koran, majalah, tetap memiliki standar yang kuat dan punya reputasi yang sulit diganti. Carol Meyer, mantan editor Random House dan HBJ, penulis The Writer's Survival Manual, menyatakan: Tanpa resensi sulit bagi sebuah buku mencolok dari kerumunan buku lain yang diterbitkan berbarengan, terutama jika buku itu tak punya budget iklan. Intinya, buku Anda butuh perhatian media.

RESENSI yang baik berupaya melampaui hasil pembacaan; ia berhasrat menemukan inti kedalaman subjek buku, yang sudah berhasil dijabarkan penulis. Taruhan terbesar resensi bisa jadi kejujuran menilai, ditambah kejelian memposisikan seberapa penting (berhasil) buku tersebut memberi sumbangan kepada khalayak. Menilai dan memposisikan buku mesti ditentukan baik-baik. Komentar positif saja masih kurang. Amy Tan, penulis Amerika Serikat, juga menghendaki agar resensi jangan sampai mengeluarkan buku dari segi hakikat penulisannya; bila itu buku sastra, timbanglah kadar sastranya, jangan justru menekankan kritik pada aspek sosial atau politik. Di sini pentingnya peresensi menghargai pencapaian penulis, berhenti menyerang dari sudut yang bukan sasaran penulis.

Dari resensi yang bagus kita bisa belajar bahwa resensi selalu berisi komentar berimbang antara kritik dan pujian, disertai pendapat yang jelas kenapa peresensi berpendapat demikian. Sementara peresensi yang sungguh-sungguh (berdedikasi), membuktikan ternyata menulis resensi bisa didekati dari mana saja. Antara menyajikan resensi yang menarik, bahasanya lincah, asyik dibaca, jernih, sebanding dengan berkomentar secara wajar, mengolah lagi hasil pembacaan, menghargai upaya penulis, memberi pertimbangan yang dibutuhkan (bisa dengan menunjukkan kelemahan atau membandingkan dengan buku & penulis lain, memberi tahu manfaat buku tersebut pada khalayak.

Dari resensi bagus kita bisa belajar bahwa resensi tersebut pasti sudah beres dari seluruh aspek penulisan, ia memenuhi standar publikasi, bahkan mungkin bisa dibilang sempurna; ia berisi informasi berharga yang layak diketahui publik, kedalaman pendapat, berhasil menutupi kejanggalan mungkin ada pada buku (dan resensi itu sendiri), dan terutama sekali: fokus. Fokus ini akan memberi permata pada pembaca, membimbing pembaca persis kenapa perlu memperhatikan buku tersebut.

Salah satu upaya fokus dalam meresensi ialah mutlak membaca buku tersebut seluruhnya, utuh, sebaik mungkin, dan pada saat bersamaan di pinggir halaman tandailah kalimat atau pasase yang penting, butuh perhatian, mengundang pertanyaan, atau harus diberi penjelasan. Membaca memang memakan waktu, butuh energi, menyita tenaga, tapi bayarannya pun sepadan: kita akan punya pandangan utuh terhadap buku tersebut, mudah menentukan fokus, dan alternatif menentukan pendekatan.

Sebelum hendak mengirimkan resensi ke media massa, pastikan peresensi berhasil menutupi kejanggalan (lubang) dalam artikel tersebut, dan jangan segan menyunting dan merevisi tulisan bila perlu dilakukan. Biasanya menyunting dan merevisi terkait dengan subjek tulisan dan ruang yang tersedia. Menyiasati ruang bukan sekadar bisa menulis panjang atau pendek, melainkan tetap harus memperhatikan apa yang berharga disampaikan, mesti dibuang (karena berpeluang mengaburkan fokus), termasuk struktur (alur tulisan) pun mesti enak dinikmati.

SALAH satu alternatif yang mungkin menarik diobrolkan ialah keleluasaan berkarir sebagai peresensi. Di Indonesia jarang sekali ada media yang khusus mempekerjakan peresensi atau kritikus buku, yang bisa menjadi pilihan karir dan dijalani bertahun-tahun; yang sering ialah penjaga rubrik (desk) buku, dengan tugas utama menyunting resensi dari para kontributor. Di sisi lain, sistem sindikasi media belum diterima di Indonesia. Farid Gaban, jurnalis dari Pena Indonesia, berpendapat sistem sindikasi sebenarnya membuka peluang penulis freelance (termasuk peresensi) mendapatkan honor dari beberapa media atas sebuah tulisannya. Dalam Harga Sebuah Impian (Chicken Soup for the Writer's Soul edisi Indonesia) beberapa penulis sukses karena tulisannya dijual memanfaatkan sistem sindikasi. Selama ada media yang membeli tulisan tersebut, peluang mendapat honor tetap ada; sementara media selalu bersedia membeli tulisan yang bagus, bahkan yang pernah terbit bertahun-tahun lalu. Artinya, peresensi senantiasa boleh menganggap tulisannya sebagai investasi yang sewaktu-waktu bisa mendatangkan penghasilan.

Bila kita perhatikan, hampir semua media massa memiliki rubrik resensi dan buku; itu semua merupakan peluang bagi peresensi. Semakin rajin peresensi dan matang tulisannya, makin besar peluang dia menembus media. Pada saat bersamaan, penerbit pun pasti akan suka cita mengirim buku terbaiknya, berharap salah satu menarik minat peresensi dan mampu membangkitkan antusiasme menulis. Bukan itu saja, sebagian penerbit bahkan menyemangati peresensi dengan memberi tambahan honor setiap kali resensi atas buku terbitan mereka berhasil dipublikasi media massa terkemuka. Tahu sebabnya? Karena resensi yang dimuat terbukti meningkatkan pesanan dari toko buku. Bila sudah begitu, tinggal peresensi sungguh-sungguh mencurahkan energi dan waktu untuk membereskan tulisan.[]