Monday, August 15, 2011

Lebih dari Impian Paling Liar
---Anwar Holid

9 Summers 10 Autumns Penulis: Iwan Setyawan
Penerbit: GPU, Februari 2011
Tebal: 238 halaman
Harga: Rp. 47.000,-
ISBN: 978-979-22-6766-2
Jenis: Fiksi, novel

Kisah orang miskin menaklukkan ujian dan kesulitan demi menjadi manusia yang lebih berkualitas baik secara moral maupun finansial kerap membius pembaca. Masyarakat kota terus-menerus memproduksi cerita seperti itu menjadi urban legend, baik sebagai motivasi maupun bukti bahwa keajaiban memang bisa terjadi. Bahkan ada pendapat itu merupakan bentuk keadilan bagi orang miskin, yaitu dia bisa mengapitalisasi kisah masa lalu untuk glorifikasi diri.

Namun kemiskinan juga membentuk mental yang tipikal. Umumnya orang miskin rendah diri dengan kondisinya, bahkan bisa mengarati mentalnya jadi kerdil. Miskin itu traumatik. Mereka berusaha menyembunyikannya, dan baru mau cerita kalau sudah mampu menguburnya. Ada banyak cerita dengan tokoh yang rendah diri karena miskin. Lihat Fachri, tokoh di Ayat-Ayat Cinta. Dia rendah diri mendekati perempuan karena dirinya adalah anak tukang tape. Di dalam Ketika Hati Harus Memilih, keluarga yang amat miskin dan rumah mirip kandang babi membuat jiwa Eugenio jadi sakit. Semua berawal karena ayahnya adalah tukang jahit.

Berpotensi Mengangkat Moral Bangsa


Kisah seorang anak sopir angkot di kota Batu, Malang, Jawa Timur di dalam 9 Summers 10 Autumns di satu sisi merupakan 'rags to riches story' biasa. Namun di sisi lain dia tampak menyembunyikan trauma yang sulit disembuhkan.

Berasal dari keluarga besar pas-pasan dengan rumah terlalu sempit, terlalu sering mengalami kesulitan keuangan, kerap membatin menahan perasaan baik karena minder atau karena tidak punya ini-itu, Iwan mengandalkan otak untuk meraih satu demi satu sukses dalam perjalanan hidupnya. Dengan ketabahan, ketekunan, dan kecerdasan, dia langganan juara kelas, kuliah di universitas terkemuka, dan selepas kuliah menjadi profesional di bilangan jalan Sudirman, Jakarta. Dari sana dia kemudian meniti karir selama satu dasa warsa di Nielsen Consumer Research, New York City, Amerika Serikat dengan jabatan terakhir Direktur Internal Client Management.

Terdengar inspirasional? Wawan Eko Yulianto menilai kesuksesan sebagai profesional di luar negeri membuat novel ini mengungguli novel sejenis bertema kisah seseorang menggapai mimpi. "Iwan menjadi orang Indonesia yang bukan saja tidak mendapatkan keunggulan kinerja dari ajaran Barat, bahkan sampai menjadi orang yang dituju kalau orang Barat itu butuh tambahan ilmu. Ini poin plus, (dan) sangat berpotensi mengangkat moral bangsa," begitu komentarnya.

Kesuksesan bukan saja mampu mengangkat status ekonomi dan reputasi keluarga, melainkan membuat mereka mampu sejajar dengan keluarga kelas menengah Indonesia pada umumnya. Tapi setelah mampu mencapai semuanya, jiwa Iwan tetap gelisah. Bahkan meditasi yoga yang rutin dia lakukan pun gagal membuatnya tenang. Ujungnya, dia memutuskan tetirah, kembali ke kota masa kecil, pada keluarga yang membentuknya menjadi demikian. Apa motifnya? Inilah yang harus dicermati betul oleh pembaca.

Bisa jadi yang membuatnya gelisah ialah karena dirinya secara emosial ditolak New York. Di kota ini dia bukan merupakan bagian dari komunitas tertentu, pernah ditodong, dan cintanya kepada perempuan kandas dua kali. Otomatis dirinya merasa tak punya makna terhadap lingkungan. Sejak berkarir, yang dia urus hanya kerja, deadline, dan klien.

Kasih Kepada Alter Ego


Perasaan terasing dan kesepian itu tambah berkarat manakala sisa-sisa mental miskinnya muncul dan menimbulkan rasa bersalah bahwa dirinya tak pantas menikmati jerih payah untuk mendapatkan berbagai fasilitas yang tersedia di kota, kebutuhan sehari-hari, demi tuntutan gaya hidup, maupun travelling. Di kota ini dia terasa seperti pelancong yang cuma menceritakan berbagai land mark, restoran, konser, festival, maupun kehidupan kota di setiap perubahan musim. Kehilangan kasih dan kehampaan membuatnya mencurahkan perhatian kepada alter ego yang sosoknya digambarkan sebagai bocah laki-laki. Kepadanyalah Iwan bercerita, mengungkapkan melankolia, kenangan, kerinduan maupun kekhawatiran, serta memperlakukannya penuh kasih. Alter ego inilah yang menemani dan melindungi dalam segala situasi, menguatkan karakter Iwan, terutama kala dirinya galau.

Iwan menggunakan kosakata yang sangat intim---seperti love, dearest---untuk mengungkapkan rasa kasih kepada alter ego ini. Dia juga menunjukkannya lewat aktivitas mulai dari mencium pipi, kening, bergandengan tangan, mengelus rambut, merebahkan badan di dada, dan puncaknya ialah pengakuan di ujung novel: "Aku bisa mengerti dia, seperti aku mengerti diriku sendiri." Keintiman ini mencuatkan kesan bahwa novel ini memperlihatkan cinta homoseksual (homoerotisisme) yang kuat, meskipun penulis mampu membungkusnya secara cantik dan lembut.

Simpel


Untuk menghindari kesan self-centered, 9 Summers 10 Autumns secara simplistik menceritakan seisi keluarga Iwan, ditambah orang-orang yang dianggap penting dalam perjalanan kehidupannya. Setelah semua terkuak, barulah sang protagonis mengakhiri dengan pengakuan dan penerimaan seseorang terhadap diri sendiri secara lega.

Penuturan yang simpel membuat novel ini terkesan permukaan, namun juga lebih mudah diterima pembaca, melahirkan kesan positif hingga mampu membuat status buku ini jadi hip. Situs today.co.id melaporkan novel debut ini laku 15000 kopi dalam tiga minggu.

Seorang pembaca lain berkomentar, "Novel ini membuat aku ingin datang ke New York," kata dia. Ini ironik. Ketika sang protagonis memutuskan pulang untuk mencari makna dan kebahagiaan, bahkan mengampanyekan kisah kehidupannya di tanah kelahiran, efek yang terjadi malah sebaliknya: membuat pembaca takjub pada luar negeri, bukan menumbuhkan kecintaan pada tanah air sendiri, minimal di lingkungan setempat.

Kisah Iwan merupakan bukti dari kebenaran nasihat umum orangtua Indonesia dalam memotivasi anak: pendidikan adalah kunci sukses dan alat terbaik untuk mengangkat harkat martabat seseorang. Bagi keluarga sederhana, itulah satu-satunya cara paling masuk akal untuk memperbaiki kehidupan. Pendidikan mengajari orang memaksimalkan bakat yang bisa dimanfaatkan, menanamkan keyakinan bahwa segala sesuatu tumbuh setahap demi setahap. Kesuksesan Iwan sudah melebihi impian paling liar keluarga kelas bawah Indonesia manapun.[]

Anwar Holid, penulis Keep Your Hand Moving (GPU, 2010).

Tuesday, August 09, 2011

Lima Biji Kurma, Segelas Teh Panas, 
dan Sebungkus Nasi Padang
---Anwar Holid

Tadinya aku sangka akan rada-rada sedih karena harus buka sendirian, tidak bareng keluarga batihku. Tapi ternyata di hari pertama puasa Ramadhan 2011 ini aku mengalami kejadian menyenangkan bersama orang-orang tak kukenal yang buka bersama.

Karena pekerjaan, puasa tahun 2011 ini praktis akan banyak aku lalui jauh dari keluarga. Terpisah dari istri dan kedua anakku. Di sahur pertama saja aku harus pergi pada jam 03.00 dan meninggalkan mereka masih dalam keadaan terlelap. Apalagi anak bungsuku lagi sakit---gejalanya diare. Keadaan itu membuat aku tambah berat melangkah meninggalkan rumah. Sebenarnya waktu diperiksa dokter, dia tampak makin baikan, bahkan dokter kesulitan mendiagnosis dia sebenarnya sakit apa. Awalnya dokter yakin bahwa dia sakit tiphus; tapi setelah memeriksa darahnya, dokter sendiri kebingungan. "Enggak jelas nih dia sakit apa. Semoga baik-baik saja. Teruskan saja perawatannya," kata dia kepada kami sambil menyerahkan resep.

Hari pertama puasa pun berlangsung kurang nyaman. Aku ngantuk habis pada jam-jam pertama kerja. Di kantor bosku bertanya, "Apa kabar?" Aku jawab jujur saja, "Ngantuk berat mas!" Dia tertawa, "Kurang tidur ya?" Dia paham bahwa aku menempuh perjalanan yang lama untuk sampai ke tempat kerja. Sorenya aku harus datang ke pool sebuah travel agar dapat nomor antrean awal, karena mereka tidak membolehkan orang pesan nomor antrean via telepon.

Setelah melewati jalan yang dipenuhi penjual menu buka puasa, aku sampai ke tempat travel beberapa puluh menit menjelang buka. Karena merasa istimewa dengan hari pertama puasa dan sekali-kali ingin makan lebih mewah dari biasa, tadinya aku sudah niat mau buka di sebuah restoran mi terkenal yang ada di dekat situ, tapi begitu ada di dekatnya aku langsung membatin. "Perlu gitu aku buka di tempat itu? Mungkin lebih baik kalo aku berhemat." Tapi membayangkan alternatif makan sendirian di restoran fast food yang ada di depan situ rasanya juga hanya akan menambah kesepianku. Aku memutuskan cari pusat jajanan pekerja di dekat-dekat sana. Semoga di sana banyak pilihan. Lingkungan penduduk di sekitar pusat perkantoran selalu membentuk pusat kuliner bagi kebutuhan banyak pekerja.


Akhirnya aku ikuti rombongan karyawan yang bertolak ke belakang gedung Teater Jakarta XXI. Benar, di situ banyak warung makan. Mulai dari mi hingga warung nasi padang. Tapi yang membuatku lebih mengejutkan ialah ternyata di situ pun ada masjid. "Santai aja deh kalo gitu. Aku makan sehabis magrib aja."

Begitu melangkah ke tempat wudhu di bagian sayap kanan masjid itu, aku melihat petugas masjid lagi menyiapkan makanan untuk buka di dua lajur karpet panjang. Orang-orang sudah berjajar bersila di depan karpet itu. Kebanyakan para pekerja yang mengenakan seragam t-shirt hitam dengan tulisan SALE mencolok. "Ah kebetulan," aku pikir. "Aku mau minta izin buka di sini aja," kataku sebelum wudhu. Begitu selesai wudhu, aku hampiri seorang petugas. "Pak, ikut buka di sini ya?" "Ayo, silakan! Ini memang untuk jamaah kok," jawab dia antusias. Ya sudah, akhirnya aku duduk di salah satu paket makanan. Ada lima biji kurma, segelas teh panas, dan sebungkus nasi. Ini sudah lebih dari cukup untuk buka puasa.

Begitu terdengar azan dari dalam masjid, kami buka bareng. Aku pikir orang-orang akan seragam hanya minum dan makan kurma, lantas segera masuk ke dalam masjid untuk shalat berjamaah. Ternyata tidak. Ternyata banyak sekali yang begitu buka langsung menarik karet pengikat nasi bungkus dan segera menyantap isinya. Aku pikir mereka mungkin sudah sangat kelaparan. Karena enggak kelaparan, aku ikut shalat magrib dulu. Setelah itu baru makan dengan santai.

Aku makan di tempat tadi berbuka. Tinggal satu-dua orang yang makan di situ. Begitu membuka bungkusan... surprise! Isinya nasi padang dengan semur daging, sayur nangka, dan sambel. Ini sudah melebihi harapanku. Petugas tadi menghampiriku. Kini dia beres-beres bekas makan orang. "Mau tambah mas, atau mau dibawa pulang aja?" tawar dia. Aku tertawa. "Makasih pak, ini sudah cukup kok." Rupanya masih ada beberapa bungkus yang tersisa. Dia menawarkan pada orang-orang yang baru datang mau shalat.

Masjid apa nih? batinku setelah mau pulang. Minimal aku ingin memastikan ingat namanya karena membuat hari pertama puasaku jadi mengesankan dan gembira, bebas dari kesepian dan jauh dari nelangsa. Aku lihat-lihat sebentar papan pengumuman. Masjid Al-Hikmah Sarinah Thamrin. Di plang besar jalan masuknya ada info bahwa masjid ini didirikan pada 1968 oleh para pekerja di gedung Sarinah. Sebelum benar-benar meninggalkan masjid ini, aku memandangi bangunan, halaman, juga menaranya. Aku bersyukur sempat memasuki masjid ini, shalat di dalamnya, bahkan mendapat rezeki dari sana.[] 8/9/11

* Gambar dapat dari Internet

Anwar Holid, a natural born muslim. Blogger @ http://halamanganjil..blogspot.com. Kontak:
wartax@yahoo.com

Link terkait:
http://alhikmahthamrin.blogspot.com - sejarah dan pengurus masjid Al-Hikmah Sarinah Thamrin.

Friday, August 05, 2011


[Review Album]
Irisan Tajam dari Lima Album Queen Periode Kedua
 

Deep Cuts, Volume 2 (1977-1982) 
Musisi: Queen 
Jenis: album kompilasi
Rilis: 27 Juni 2011 
Rekaman: 1977–1982 
Genre: Rock, hard rock
Durasi: 52:09 
Label: Universal Music, Island Records
Rating: 5/5

Dibandingkan Deep Cuts, Volume 1 yang terkesan tengah mencari-cari bentuk inovasi dan menonjolkan eksperimen, Deep Cuts, Volume 2 secara gila-gilaan sukses menampilkan Queen sebagai band rock yang benar-benar nendang. Kompilasi ini berisi musik rock kelas berat yang langsung bersarang ke dalam sensasi musikal dan terus membombardir telinga dengan tenaga yang sangat kuat, variatif, dan penuh vitalitas. Irisan seleksi di album ini benar-benar mampu menampilkan permata lagu-lagu Queen dari lima album periode kedua karir mereka, yaitu News of the World, Jazz, The Game, Flash Gordon, dan Hot Space.

Kompilasi dibuka dengan "Mustapha", lagu rock sensasional beraroma kasidah yang intro lenguhan Freddie Mercury di situ bisa mengingatkan pendengar pada lolongan Robert Plant dalam "Immigrant Song." Bagi kita orang Indonesia, "Mustapha" terdengar sangat unik, memorable, menggugah untuk disimak, seperti gampang akrab, apalagi liriknya banyak mengandung kosakata Arab yang terdengar familiar. Track dilanjutkan dengan "Sheer Heart Attack" yang sangat ngebut, ugal-ugalan, dan bertegangan tinggi. Lagu-lagu hard rock bertempo cepat mendominasi kompilasi ini. Hanya empat lagu berjenis power ballads (slow rock) yang terpilih seolah-olah menandakan Queen ingin mengesankan sebagai band yang macho, matang, sekaligus terus inovatif.

Pada fase 1977–1982 Queen sudah menjadi band adidaya. Mereka merupakan pasukan rocker yang sangat diperhitungkan berkat album best-selling dengan daya jelajah luas terhadap berbagai unsur musik namun tetap dalam balutan rock yang kuat dan lagu-lagunya mampu menggerakkan seluruh pendengar untuk berkoar bersama-sama. Fase ini ditandai dengan makin jauhnya mereka meninggalkan kesan progresif-eksperimental yang cukup rumit dan penuh perhitungan di lima album pertama, beralih ke rock yang lebih "langsung" dan spontan. Pengalaman mengajarkan mereka menjadi tambah luwes dalam mengadon dan mematangkan berbagai unsur musik nonrock untuk menjadi karya yang segera terdengar sangat Queen. Contoh News of the World (1977) yang disebut-sebut sebagai album paling keras mereka, hanya menyisakan tiga lagu bernada Hawaiian ("Who Needs You" ), balada ("All Dead, All Dead" ), dan jazz ("My Melancholy Blues").

Di akhir era ini, yaitu ketika menggarap The Game (1980), Queen memasuki babak baru dengan sepakat untuk menggunakan synthesizers, terlibat dalam proyek soundtrack, dan mengubah image penampilan jadi lebih simpel, menghapus make up tebal dan jauh dari kesan glamor, meski tetap atraktif dengan poros berpusat pada aksi Freddie Mercury. The Game melahirkan hits bercorak baru sebagai penambah hits lama yang komposisinya senantiasa grandeur dan sangat rapi. Lagu seperti "Another One Bites the Dust" dan "Crazy Little Thing Called Love" terdengar sangat simpel dan ringan, namun mampu memantapkan posisi mereka sebagai band berstatus superstar.

Untuk Deep Cuts, Volume 2, Queen mengiris empat belas lagu minor yang atraktif dan powerful untuk ditatah sebagai paket yang rasanya terdengar sebagai album studio utuh, begitu padu dan kukuh. Lagu-lagu yang bertumpu pada permainan gitar Brian May memang terdengar dominan, karena dia menyumbang tujuh lagu dalam kompilasi ini, namun John Deacon (bass) dan Roger Taylor (drums, perkusi, dan vokal) juga mampu tampil secara maksimal. Chemistry itu begitu terasa dalam "Dragon Attack", ketika dentuman bass dan pukulan drum berkejar-kejaran sejak awal, diselingi raungan riff dan lengkingan gitar, kemudian sebentar memberi kesempatan untuk pamer solo, sehingga membentuk karya yang energetik dan rancak.

Deep Cuts, Volume 2 juga menandai Queen bersikap lebih lunak terhadap “kegagalan” Hot Space, dengan menempatkan tiga lagu ke dalam kompilasi, melebihi Greatest Hits (1981) yang cuma mengizinkan satu hit untuk disertakan, itu pun merupakan buah kerja sama dengan David Bowie. 

Mungkin hanya penggemar ngeyel yang akan meributkan kenapa lagu-lagu tertentu sampai tega disingkirkan ke dalam kompilasi ini. Di forum Queen Online, banyak orang heran kenapa bukan "Life Is Real (Song For Lennon)", "Let Me Entertain You", maupun "If You Can't Beat Them" yang dipilih. Lagu-lagu tersebut dinilai lebih jelas mewarisi tradisi Queen misal dibandingkan "Staying Power" yang terdengar seperti lagu disko tanggung. Di luar perdebatan yang meramaikan suasana, sungguh sulit mencari cacat Deep Cuts, Volume 2.

Bisa dibilang kompilasi ini merupakan greatest minor songs bila dibandingkan Greatest Hits, sekaligus merupakan kado sempurna untuk merayakan 40 tahun karir Queen.[]



Link terkait:
http://en.wikipedia.org/wiki/Deep_Cuts,_Volume_2_(1977%E2%80%931982)