Thursday, March 24, 2011

[Halaman Ganjil]
Menari-nari di Atas Bangkai Reputasi
---Anwar Holid

Kalau lagi tertarik, aku baca headline di Yahoo!Indonesia, apa pun topiknya. Salah satunya ialah setiap kali media on-line ini menampilkan topik terkait Cut Tari, apa pun subjeknya, entah tentang suami, upayanya untuk bangkit dari keterpurukan dan kembali meraih kepercayaan diri, bahkan keinginannya kembali ke dunia yang melambungkan namanya, yaitu hiburan.

Sebagai media profesional, ada kesan Yahoo!Indonesia pun ingin mendukung upaya comeback Cut Tari, betapa perempuan ini benar-benar kapok dan tobat atas skandalnya yang terbongkar di masa lalu, dan kini pelan-pelan berupaya memperbaiki diri. Perempuan ini sudah jujur mengaku bahwa dirinya berzina dengan Ariel Peterpan, meski sang pria hingga kini masih menolak mengakui perbuatannya. Cut Tari bahkan berurai air mata ketika mengakui perbuatan itu.
Gambar dari Internet

Tapi dari berita itu, yang jauh lebih menarik perhatianku ialah respons publik terhadap Cut Tari maupun upaya dia untuk bangkit. Ternyata publik sangat sulit memaafkan perzinaan dan kekhilafan itu. Buktinya ialah dari ratusan komentar setiap kali berita Cut Tari muncul, hanya sedikit sekali komentar yang nadanya membesarkan hati atau bernada positif. Boleh dibilang nol koma sekian persen dibandingkan komentar mayoritas. Sisanya ialah menghujat, memaki, mensyukuri (dalam arti "mampus kamu!"), sangsi, dan lebih mengerikan lagi: berprasangka, ngerasani, tega, dan mungkin bisa dibilang tanpa ampun. Setiap kali membaca komentar mengerikan itu, aku selalu gentar. Ternyata bangsa Indonesia itu bisa sangat kejam. Ternyata publik itu bisa sangat kasar. Ternyata respons orang lain itu di luar dugaan. Praduga atau hukuman dari publik itu ternyata lebih mengerikan dari upaya seseorang mencari keadilan. Padahal kita tahu, mayoritas penduduk Indonesia itu beragama dan memiliki bentuk religiositas yang sangat kentara. Alangkah sulit membangun lagi kepercayaan publik yang sudah terkontaminasi oleh kebusukan kelakuan sendiri.

Tampaknya, berita apa saja tentang Cut Tari di media justru jadi kesempatan publik untuk memuntahkan sifat brutal, menyerang, dan membuat dirinya jadi bulan-bulanan tanpa selaput pengaman sedikit pun. Mulai dari penyesalan hingga topik tentang suami, anak, upaya menjalani hidup secara normal, keinginan mendapat pekerjaan seperti dulu, hingga kerinduan terhadap teman setia. Oh, itu semua keinginan orang normal, kataku. Tapi dalam kasus Cut Tari, alangkah sulit dia mendapatkan kembali itu semua.

Dalam hati aku membatin: alangkah ngeri kalau aku jadi Cut Tari. Belum tentu mentalku sekuat perempuan ini bila karena kesalahan fatal mendadak aib-aibku diuar-uarkan di depan publik. Mungkin aku langsung mengubur kepala ke dalam tanah dengan mental hancur berkeping-keping. Perempuan ini hebat. Meski banyak publik terang-terangan bilang bahwa dirinya tak tahu malu, dia tampak berusaha tabah untuk memperbaiki diri. Untuk hal itu, aku salut.

Pengalaman Cut Tari membuatku teringat beberapa kejadian kecil di komunitas tertentu---yang dialami beberapa kawanku, bahkan dalam beberapa taraf meyerempet aku juga. Ada kawan yang tampak rusak reputasinya karena publik menganggapnya melakukan tindakan tak etis atas karir profesionalnya. Ada kawan yang bukunya dicincang-cincang sampai tampak tiada berharga. Ada perusahaan yang reputasinya jadi terkenal jahat dan alangkah sulit membela diri bahwa mereka tengah berupaya memperbaiki diri. Sebagian orang tentu ingat akan wanprestasiku, dan karena itu mungkin mereka menertawakan aku diam-diam. Aku menerima itu dengan pasrah.

Mungkin sebagian dari kita akan bilang, itulah bayaran dari perbuatan buruk seseorang. Bahasa Arabnya: Qisas. Kasarnya: Utang nyawa dibayar nyawa. Peribahasanya: Siapa menabur angin, dia akan menuai badai. Tuntas. Itulah bayaran setimpal bagi orang yang bermain-main dengan zina dan moralitas. Sayangnya, tidak setiap perbuatan seseorang langsung dibayar tuntas. Sebagian diangsur, sebagian ditunda entah kapan---sehingga pelaku kejahatan lain masih bisa tenang-tenang tanpa kuatir bakal digelandang massa. Mungkin dalam hal ini Tuhan tebang pilih atau kita buta apa misteri di balik peristiwa tersebut. Kalau mau uji nyali, bayangkanlah kalau Anda adalah Cut Tari. Bayangkanlah kalau reputasi Anda yang dicincang-cincang massa yang bisa begitu buas mencabik-cabik karakter seseorang. Tindakan brutal itu bisa jadi dipicu karena orang bisa menyembunyikan identitas.

Arvan Pradiansyah di dalam Cherish Every Moment menulis salah satu alasan kenapa orang beragama gagal jadi orang baik ialah karena agama sering menggunakan pendekatan surga dan neraka yang bagi manusia kebanyakan terasa masih jauh dan amat lama. Kalau mau efektif, agama perlu menyosialisasikan bahwa neraka itu tidak hanya terjadi di akhirat. "Surga dan neraka itu juga ada di dunia ini, pada saat ini juga," demikian katanya. Contoh konkretnya bila kita berbuat jahat, mengumbar nafsu, meliarkan hasrat, maupun bertindak berlebihan, balasannya bukan hanya akan kita terima di akhirat nanti, melainkan kontan terjadi di dunia ini. Neraka itu ada di dunia ini. Kalau Anda selingkuh, kelakuan Anda bukan saja rentan terbongkar seperti kasus Cut Tari dan reputasi Anda langsung busuk, melainkan juga berisiko terhadap penyakit kelamin maupun AIDS. Di tingkat pribadi saja, Arvan menulis: "Kalau Anda sering marah dan dendam pada orang lain, tubuh Anda akan memicu timbulnya zat-zat yang sangat berbahaya seperti dopamin dan kortisol. Ini juga adalah bentuk neraka." Bisa kita bayangkan, komentator negatif atas kasus Cut Tari itu tanpa sadar merangsang zat-zat yang membahayakan tubuh sendiri.

Mungkin Anda pernah mengalami neraka dunia itu. Ketika dunia jadi begitu jahat pada Anda. Cuma masih untung, beritanya tidak terendus penulis dan tingkat radiasinya lokal saja. Bayangkan kalau Anda Cut Tari, Zainuddin MZ, Suharto, Aa Gym, Nurdin Halid, atau Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka semua sudah mengalami apa itu neraka dunia, dan orang menari-nari di atas bangkai reputasinya.[]

Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.

KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com

Copyright © 2010 Anwar Holid

Wednesday, March 23, 2011

How to Save PDS HB Jassin

Aku cukup kaget mendapati fakta ternyata Dewan Pembina Yayasan PDS HB Jassin adalah Ajip Rosidi. Tapi justru karena fakta itu mendadak aku kepikiran sesuatu: semoga upaya penyelamatan lembaga itu bisa jadi jauh lebih mudah. Kita anggap aksi Koin Sastra sebagai bonus saja.

Kira-kira begini caranya:

1/ Jual lukisan koleksi Ajip Rosidi. Aku pernah dengar dari seseorang bahwa Ajip Rosidi punya banyak sekali koleksi lukisan karya maestro seni rupa Indonesia. Mungkin salah satu koleksi beliau harganya lima miliar satu lukisan? Kalau iya, alhamdulillah. Itu bisa menutup banyak biaya. Ditambah janji sumbangan satu miliar dari Fauzi Bowo kemarin, paling kotor bisa terkumpul enam miliar. Mungkin Fauzi Bowo akan malu kalau sumbangannya lebih rendah dari orang tua, dan karena itu kita bisa berharap dia akan menggelontorkan sumbangan lebih besar lagi.

2/ Kita mohon sumbangan (dengan sindiran ala pengamen: mohon pengertian) baik kepada para penerbit penghasil bestseller dan penulis bestseller, seperti Kelompok-Kompas Gramedia, Kelompok Agromedia, Kelompok Mizan, Ayu Utami, Edy Zaqeus, Bambang Trim, Raditya Dika, Andrea Hirata, Ahmad Fuadi, Asma Nadia, Andreas Harefa, Jonru, dan seterusnya dan sebagainya. Insyaallah mereka pada mau bantu. Bukankah aksi ini demi menolong sesama teman yang lagi kesulitan?

3/ Minta aksi amal dari para penulis yang jadi politisi maupun penguasa, seperti Rieke Diah Pitaloka, Fadel Muhammad, dan jangan lupa suami-istri SBY dan Ani SBY. Bukankah mereka semua peduli sastra, bahkan dua nama terakhir itu rela menggelontorkan uang untuk proyek-proyek penulisan bukunya? Menyumbang untuk lembaga sastra tentu sangat mulia dan insyaallah bayarannya ialah reputasi yang terjaga di mata publik.

4/ Mengajukan dana hibah ke CSR-CSR bikinan perusahaan kaya. Coba bikin proposal program ke yayasan-yayasan seperti Sampoerna Foundation, Djarum, Bir Bintang, Pertamina, perusahaan BUMN, multinasional, dan seterusnya, termasuk ke yayasan amal luar negeri seperti Ford Foundation. Semoga ada yang terkabulkan. Dana mereka biasanya besar dan bisa untuk membiayai banyak keperluan operasional dan manajemen. Janganlah gampang alergi terhadap sumbangan, termasuk dari Nasdem sekalipun. Yang penting kan bisa dimanfaatkan.

5/ Menggalang sumbangan dan kerja sama dari semua pihak yang peduli sastra, penerbitan, dan perbukuan, baik dari Teater Salihara, kelompok Boemipoetra, termasuk orang yang merasa memiliki passion sastra seperti aku sendiri.

Semoga bermanfaat. Semoga dengan begitu PDS HB Jassin kembali jaya.

Wasalam,


Anwar Holid, aka Wartax
Penulis Keep Your Hand Moving (GPU, 2010).
Tanah Abang, 22 Maret 2011

Tuesday, March 22, 2011

[WAWANCARA]
Tamparan untuk Sikap Beragama Bangsa Indonesia---Anwar Holid

Arvan Pradiansyah menerbitkan You Are Not Alone: 30 Renungan tentang Tuhan dan Kebahagiaan pada trimester akhir tahun 2010 dan memasuki trimester awal 2011 buku ini terus mendapat sambutan positif. Dalam sebulan, buku tersebut sudah cetak ulang, dan hingga kini masih bertahan di display utama banyak toko buku. Sebuah toko buku di Jakarta baru-baru ini masih menyertakan buku tersebut sebagai pilihan dalam "Recommend of the Month" sejak awal tahun 2011. Di media massa mainstream, resensi buku tersebut antara lain muncul di Republika, Seputar Indonesia, Suara Mandiri (NTB), dan Media Indonesia.

Di tengah rapuhnya sikap terhadap keragaman dan fanatisme beragama di Indonesia, buku ini tanpa ragu memprovokasi pembaca betapa kadar spiritualitas orang beragama bisa jadi justru kosong---itu sebabnya mereka suka merasa benar sendiri, intoleran, sampai akhirnya mengamuk dan bertindak brutal. Kita lihat kekerasan atas nama agama terus terjadi secara berlarut-larut, sementara upaya solusinya terasa sukar dipahami terutama oleh pihak-pihak yang bertikai. Lebih gawat lagi, kadang-kadang para pemuka agama tanpa malu menyebarkan kebencian kepada pemeluk agama lain di tempat ibadah, di sela-sela ibadah ritual.

Wawancara dilakukan via email, dijawab oleh Arvan di sela-sela kesibukannya sebagai konsultan sumber daya manusia untuk berbagai perusahaan, penulis, dan pembicara publik---terutama menjadi narasumber talkshow "Smart Happiness" di Smart FM setiap Jumat, pukul 07.00 - 08.00 WIB yang disiarkan ke-20 kota di Indonesia.

                                                                          /***/

Anwar Holid (AH): Pada Jumat, 15 Oktober 2010 di episode JANGAN BUNUH DIRI acara Kick Andy membagi-bagikan 600 kopi You Are Not Alone kepada pemirsanya. Seperti apa perasaan Anda atas pilihan tersebut?

Arvan Pradiansyah (AP): Tentu saja saya merasa senang sekali. Acara Kick Andy itu kan disiapkan oleh tim yang sangat selektif. Kalau pada akhirnya mereka memilih You Are Not Alone sebagai buku pilihan, itu merupakan apresiasi yang luar biasa kepada saya. Selain itu, acara Kick Andy ini kan secara eksposure-nya kan cukup baik dan diminati oleh banyak pemirsa di Indonesia, jadi penampilan buku You Are Not Alone di Kick Andy mudah-mudahan bisa membuat buku ini makin dikenal, dan yang lebih penting lagi membuat pesan yang ingin saya sampaikan di buku ini dapat menjangkau lebih banyak lagi anggota masyarakat.

AH: Menurut Anda, seserius apa persoalan spiritualitas bagi bangsa Indonesia?

AP: Sangat serius. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat religius. Semua orang berduyun-duyun memenuhi rumah ibadah. Bahkan jamaah haji kita merupakan jamaah yang terbesar di dunia. Tapi ternyata menjadi religius tidak serta merta mengubah perilaku kita. Kita masih "juara" dalam hal korupsi, pornografi, dan bajak-membajak. Bahkan tidak ada satu lembaga hukum pun di negara kita yang bebas dari mafia. Ini kan luar biasa sekali. Artinya, ketaatan beribadah ternyata tidak berdampak pada perilaku kita. Kesalehan individu tidak berimbas pada kesalehan spiritual. Padahal inti spiritualitas itu sederhana sekali. Spiritualitas adalah mengenai bagaimana menjadi orang baik. Sangat sederhana bukan?

AH: Sebagian orang ateis juga bisa sangat mendalam membicarakan spiritualitas maupun ketuhanan, misalnya Andre Comte-Sponville dan Friedrich Nietzsche. Apa komentar Anda mengenai hal itu? Spiritualitas seperti apa yang mereka bicarakan? Adakah spiritualitas yang dibicarakan orang ateis itu sama atau berbeda dengan maksud orang beragama?

AP: Menurut hemat saya orang yang ateis itu sesungguhnya adalah orang yang melakukan pemberontakan terhadap organized religion. Penyebabnya bisa banyak hal, misalnya karena keinginan untuk hidup bebas dan tidak terikat. Bukankah agama seringkali (dipersepsikan) membatasi kemampuan berpikir manusia? Bukankah agama seringkali (dipersepsikan) menjejali manusia dengan segala macam dogma yang tidak masuk akal? Jadi pada diri orang yang ateis itu sesungguhnya ada pemberontakan terhadap kemapanan yang diwakili oleh agama, ada benturan antara keinginan untuk berpikir bebas dengan keharusan untuk patuh pada keyakinan dan nilai-nilai tertentu.

Namun jauh di lubuk hati mereka yang paling dalam sesungguhnya mereka percaya kepada Tuhan, paling tidak Tuhan dalam definisi mereka sendiri. Orang-orang seperti Andre Comte-Sponville misalnya, mengatakan bahwa manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Nah, menyebutkan "rohani" saja sesungguhnya sudah menunjukkan indikasi bahwa dia percaya pada sesuatu yang tidak terlihat. Ini sesungguhnya sudah merupakan sedikit indikasi bahwa ia curiga bahwa Tuhan itu ada.

AH: Andre Comte-Sponville mengajukan argumen bahwa spiritualitas bisa dilakukan (dimaknai oleh orang) tanpa Tuhan. Apa komentar Anda?

AP: Memang benar bahwa spiritualitas bisa dimaknai tanpa Tuhan. Inti spiritualitas kan adalah menjadi orang yang baik. Dalam konteks bisnis, spiritualitas berarti melayani orang lain dengan sepenuh hati, dengan segenap jiwa dan raga. Ini tentu saja dapat dilakukan tanpa dikaitkan dengan Tuhan. Namun tanpa dikaitkan dengan Tuhan spiritualitas tidak akan maksimal dan tidak akan sempurna. Kenapa demikian? Karena sesungguhnya dasar dari segala kebaikan itu adalah Tuhan. Tuhan adalah asal muasalnya segala bentuk kebaikan. Bahkan kenapa kita harus melayani orang lain (dengan melakukan pekerjaan) sesungguhnya adalah karena kita meneruskan pelayanan yang diberikan Tuhan kepada kita secara gratis. Tuhan sudah melayani dengan memberikan kehidupan yang begitu indah dan luar biasa kepada kita. Pelayanan ini sulit untuk kita balas karena Tuhan tidak membutuhkan balasan apa pun dari kita. Bukankah dia Yang Maha Kaya? Jadi cara kita membalas pelayanan Tuhan adalah dengan cara melayani sesama manusia. Inilah yang dilakukan orang di dalam bisnis.

Nah, orang yang melakukan spiritualitas tanpa mengaitkannya dengan Tuhan tidak bisa melihat fenomena ini secara keseluruhan. Paradigmanya kurang lengkap, kurang paripurna. Ibaratnya dia hanya melihat perjalanan hidup ini dari A sampai M, bukan sampai Z.

AH: Menurut Anda, dengan cara apa manusia bisa berhubungan secara ideal dengan Tuhan? Apa lewat doa, menaati perintah Tuhan, atau memeluk agama?

AP: Tentu saja dengan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Tanpa menjalankan ibadah sesuai ajaran agama saya kira manusia tidak akan bisa berhubungan secara ideal dengan Tuhan.

Agama sesungguhnya mengandung dua unsur: Religiositas dan Spiritualitas. Religiositas menurut saya lebih pada tata cara untuk berhubungan dengan Tuhan, sementara Spiritualitas adalah pada "pertemuan" dengan Tuhan itu sendiri. Jadi inti dan hakikat setiap agama sesungguhnya adalah Spiriritualitas yaitu bagaimana berhubungan dan berkomunikasi langsung dengan Tuhan.

Banyak orang yang melakukan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya tapi tetap saja gagal "menjumpai" Tuhan. Mereka rajin beribadah tapi tidak pernah memahami apa maksudnya. Mereka sesungguhnya sedang menjalankan aktivitas ritual yang tidak bermakna lebih selain hanya sebagai menjalankan kewajiban. Mereka hanya takut pada Tuhan di rumah ibadah. Tapi begitu ke luar dari rumah ibadah mereka memasabodohkan Tuhan, menganggap Tuhan itu tidak ada dan tidak hadir dalam kehidupan mereka. Inilah orang yang religius tapi tidak spiritual.

Di lain pihak ada orang yang spiritual tapi tidak religius. Orang ini percaya pada Tuhan tapi tidak menganut ajaran agama apa pun. Mereka ini akan sulit berhubungan dengan Tuhan karena bagaimanapun kita membutuhkan cara dan sarana agar dapat berkomunikasi secara intensif dengan Tuhan. Cara inilah yang diatur oleh ajaran agama.

AH: Ini soal penggunaan istilah asing. Seorang pembaca menanggapi You Are Not Alone sebagai berikut: "Sayang, mirip Rhenald Kasali dan Hermawan Kartajaya, Arvan tidak mengajarkan pembacanya mencintai bahasa Indonesia. Semua judul bukunya berbahasa Inggris. Padahal sang penulis mengajarkan tentang cinta. Kenapa kita enggak pakai judul bahasa Indonesia saja? Misal, "Kita tak sendiri". Atau "7 kaidah kebahagiaan". Saya agak iritasi membaca buku bahasa Indonesia, dikarang oleh orang Indonesia, ditujukan untuk pembaca orang indonesia, tapi bahasanya asing, entah itu Arab, Inggris, atau Belanda." Ini seakan-akan menunjukkan bahwa penulis seperti Anda tidak cinta bahasa Indonesia. Bagaimana komentar Anda?

AP: Menurut saya penggunaan judul buku dengan menggunakan bahasa asing bukanlah persoalan cinta. Ini persoalan efektivitas. Setiap bahasa memiliki nilai rasa yang berbeda. Saya pernah membaca bahwa bahasa Arab memiliki nuansa dan nilai spiritual yang tinggi. Sementara bahasa Inggris lebih solid dalam menyampaikan suatu konsep. Jadi sebuah konsep yang diungkapkan dalam bahasa Inggris akan terdengar lebih padat, compact dan bermakna. Coba saja Anda lihat buku-buku saya. Coba Anda rasakan, mana yang lebih solid: Andalah Sang Pemimpin atau You Are A Leader? Menghargai Setiap Saat atau Cherish Every Moment? 7 Kaidah Kebahagiaan atau The 7 Laws of Happiness. Ini sekali lagi adalah masalah rasa bahasa.

Akan halnya You Are Not Alone, menurut saya bukan hanya masalah rasa bahasa, tetapi juga berkaitan dengan maknanya. Dalam bahasa Indonesia mungkin kita menerjemahkannya dengan "Anda Tidak Sendiri". Kata "sendiri" dalam bahasa Indonesia bermakna seorang diri, padahal kata "alone" tidak bermakna seorang diri tapi bisa juga berdua, bertiga, maupun dengan banyak orang.

Maksud saya begini, orang yang berselingkuh itu kan ketika sedang berselingkuh pasti berdua, tidak mungkin sendiri. Orang yang korupsi itu juga kan tidak mungkin sendirian, tapi berjamaah. Padahal pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa orang-orang yang selingkuh atau korupsi itu menyangka diri mereka tidak dilihat oleh Tuhan (bukan berarti bahwa mereka sedang sendirian, tapi bahwa mereka sedang jauh dari Tuhan). Karena itu kalimat yang lebih pas untuk menunjukkan hal ini adalah "You Are Not Alone", bukan "Anda Tidak Sendirian".

AH: Sebagian pembaca berhati-hati bahwa spiritualitas dikhawatirkan bisa mencampuradukkan atau mengotori keyakinan (iman) terhadap agama. Bagaimana membedakan agama dan spiritualitas? Bagaimana cara You Are Not Alone bisa memberi manfaat mengenai kebertuhanan yang hakiki?

AP: Berhati-hati tentu baik-baik saja. Yang tidak baik itu curiga, karena dalam curiga itu ada berbagai prasangka. Banyak orang menyalahpahami spiritualitas karena tidak memahami apa artinya. Seolah-olah spiritualitas adalah ajaran tanpa agama. Padahal sesungguhnya inti dari setiap ajaran agama itu adalah spiritualitas. Tidak ada agama tanpa spiritualitas. Apa itu spiritualitas? Bagi saya spiritualitas itu adalah rasa terhubung (sense of connection) dengan Tuhan. Masalahnya ada banyak orang yang setelah menjalankan ritual keagamaan masih merasa jauh dengan Tuhan. Indikasinya adalah ketika mereka masih melakukan berbagai kemaksiatan walaupun mereka rajin beribadah, seolah-olah ibadah yang mereka lakukan itu tidak ada bekasnya sama sekali dalam keseharian mereka.

Jadi agama itu selalu berkaitan dengan ajaran dan aktivitas ritual sementara spiritualitas itu adalah keterhubungan dengan Tuhan. Nah, pesan utama dan terpenting yang saya sampaikan dalam You Are Not Alone adalah sebagai manusia kita mempunyai kebutuhan untuk selalu dekat dan terhubung dengan Tuhan. Kita harus menyadari bahwa Tuhan bukanlah sosok yang jauh, yang ada diluar angkasa sana. Tuhan justru ada di dekat kita bahkan lebih dekat dari urat leher kita sendiri. Kalau kita menyadari hal ini maka kita akan selalu optimis, tak pernah merasa sendiri, dan tidak akan melakukan perbuatan yang tercela.

AH: Sejauh pengamatan Anda, adakah komentar negatif terhadap You Are Not Alone? Apa tanggapan mas Arvan terhadap review seperti itu?

AP: Sejauh ini tanggapan terhadap You Are Not Alone sangat positif. Beberapa perusahaan bahkan memesan buku ini dalam jumlah banyak untuk dibagikan kepada para karyawannya. Saya juga banyak mendapatkan tanggapan dari berbagai orang yang merasa tercerahkan setelah membaca buku ini.

Saya juga mendapatkan apresiasi dari teman-teman dari berbagai ajaran agama. Ini merupakan bukti bahwa Tuhan adalah sesuatu yang universal. Tuhan ada dalam diri setiap manusia. Orang bisa saja memanggil Tuhan dengan nama yang berbeda, tapi Tuhan yang dimaksud ya Dia Dia juga. Dialah Tuhan Yang Satu. Tuhan Yang Maha Kuasa.

AH: Terakhir: apa harapan utama Anda atas terbitnya You Are Not Alone?

AP: Saya berharap buku ini dapat mengubah paradigma masyarakat Indonesia tentang Tuhan. Tuhan itu dekat, bukan jauh. Tuhan ada di mana-mana, bukan hanya di tempat ibadah. Tuhan ada di kantor, di pabrik, di bursa, di instansi pemerintah, di pengadilan, di kejaksaan, di kepolisian, di mana saja kita berada.[]

Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010).
KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com

Situs terkait:
http://www.ilm.co.id
http://www.elexmedia.co.id/buku/detail/9789792779189

Copyright © 2010 Anwar Holid

Thursday, March 03, 2011


[RESENSI]

Ayo Gerakkan Tanganmu untuk Menulis!
---Ulfi Nugraha, mahasiswa Institut Teknologi Telkom Bandung

Di era yang serba canggih ini, mengemukakan sesuatu yang ada dalam pikiran seperti pendapat, curhat, gugatan, ataupun kisah pribadi dalam bentuk tulisan sudah merupakan hal yang umum. Lihat saja, saat blog begitu populer banyak orang menulis keseharian atau opini dalam blognya. Kemudian diikuti dengan era jejaring sosial seperti Multiply, Facebook, Twitter, dan lain-lain yang menggerakkan orang untuk terus menulis apa yang ada dalam benak mereka.

Sesungguhnya semua orang bisa menulis, tetapi kemampuan untuk menghasilkan ide, mewujudkannya jadi tulisan yang utuh, enak dibaca, serta layak dipublikasi itu perlu dipelajari secara terus-menerus. Bagaimana agar semua itu bisa terwujud? Anwar Holid mencoba memberikan tips bagaimana menulis, mengedit, dan memolesnya dalam buku berjudul Keep Your Hand Moving.

"Keep Your Hand Moving" di buku setebal 160 halaman ini ialah slogan yang dicetuskan Natalie Goldberg, seorang guru penulisan kreatif. Dia mengusung metode free writing yang mengaitkan peran mental dan spiritual dalam menulis. Teknik ini banyak dipuji, bahkan dianggap berhasil merevolusi pendekatan penulisan. Sebenarnya prinsip menulis Goldberg ini sederhana saja, yaitu "keep your hand moving" (gerakkan terus tangan kamu!); jangan mencoret dan jangan mengedit waktu menulis; jangan khawatir soal ejaan, tanda bacaan, tata bahasa; lepaskan kontrol; jangan berpikir, tidak mesti logis; carilah urat nadinya.

Keenam prinsip inilah---terutama slogan "keep your hand moving"---yang memberi inspirasi pada Anwar Holid untuk merumuskan panduan menulis berdasarkan pengalaman dan pengamatannya selama ini. Dia tak sekadar membeberkan prinsip menulis tersebut, tetapi melengkapi apa yang telah diutarakan Goldberg.
____________________________________________________________
Info Buku

Judul: Keep Your Hand Moving: Panduan Menulis, Mengedit, dan Memolesnya      
Penulis: Anwar Holid
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (GPU), 2010      
Halaman: 160 hal.; format: 13.5 x 17 cm
Kategori: Nonfiksi; Penulisan; Pengembangan Diri dan Inspirasional
ISBN: 978-979-22-5844-8      
Harga: Rp.35.000,-      
____________________________________________________________

Anwar Holid tampak hanya mengambil spirit Goldberg dalam menggerakkan seseorang untuk menulis. Selanjutnya, ia memberikan arahan yang lebih praktis dan membumi bagaimana menghasilkan tulisan yang bagus, mengedit, memolesnya sehingga layak untuk dipublikasikan. Di buku mungil ini dia membagi bukunya menjadi delapan bab, semua tersaji dengan padu, ringkas, dan padat. Dua bab pertama berbicara mengenai bagaimana kita harus melemaskan saraf menulis dengan cara membiasakan diri menulis sehingga perlu pengondisian agar kita dapat terus menulis.

Di sinilah slogan "keep your hand moving" diperlukan. Gerakkan terus jemarimu, pokoknya tulis saja walau itu hanya satu paragraf, menjawab e-mail, sekadar respons terhadap segala sesuatu, diari, unek-unek, dan sebagainya. Teruslah menulis, dengan demikian diperlukan alokasi waktu dan menyempatkan diri untuk menulis. Bagi penulis pemula, Anwar Holid menyarankan agar menulis 10-25 menit setiap hari untuk membangun kebiasaan menulis.

Saran yang menarik dari Anwar Holid bagi penulis pemula adalah jangan takut untuk menyalin dan menempelkan pikiran orang pada tulisan dan pikiran sendiri (copy and paste). Tentunya dengan syarat bahwa dalam tulisan itu kita harus mengutarakan bahwa pikiran itu milik orang lain. Ia mengungkapkan bahwa salah satu manfaat copy and paste ialah agar kita belajar menggunakan istilah sebagaimana asalnya.[]

Resensi ini awalnya dimuat di Pikiran Rakyat, pada Kamis, 21 Oktober 2010.