Wednesday, November 18, 2009



Berbagi Ilmu Penulisan
---Anwar Holid

Writing is a journey to the unknown.
--Charlie Kaufman


Selama tiga bulan terakhir ini saya menjadi guru workshop penulisan di sebuah yayasan di Bandung. Workshop tersebut berlangsung tiap Sabtu, akan berakhir pada Sabtu, 20 November 2009 nanti, ditandai dengan acara nonton bareng film tentang penulis---kami masih menimbang apa akan nonton tentang Beatrix Potter atau Harvey Pekar. Sekitar dua bulan sebelumnya saya juga menjadi instruktur kelas serupa di visikata.com. Namun karena gagal berkomitmen, saya mengundurkan diri dua minggu sebelum program tersebut akan selesai.

Sebenarnya saya enggan menjadi guru, sebab kemampuan pedagogi saya boleh dibilang nol. Yang lebih membuat saya suka ialah pengalaman berbagi dengan para peserta. Momen itu sangat berharga, dari sanalah saya bisa menyerap ilmu dan pengetahuan milik orang lain. Lepas dari kekurangan sebagai instruktur menulis, entah kenapa saya bersemangat sekali ingin merenung setelah workshop itu selesai. Ada apa dengan kemampuan menulis? Ini bisa jadi sangat terkait dengan kebiasaan baca juga.

Agak mengherankan ada peserta yang ikut pada pertemuan pertama, tapi setelah itu tak pernah muncul kembali. Atau sebaliknya, awalnya tampak bersemangat, menunggu-nunggu, bahkan janji akan terus hadir selama masa workshop, tapi begitu dimulai tak sekali pun batang hidupnya tampak. Ada juga yang persis tahu workshop sedang berlangsung, tapi ternyata dia memilih aktivitas lain. Kejadian ini membuktikan ternyata tak semua niat kuat itu akhirnya terlaksana. Ini mirip dengan sesal sebagian orang yang gagal membaca tumpukan buku, meskipun dia semangat berniat menghabisinya, tapi waktunya ternyata habis buat kerja dan merokok, sementara sampul bukunya terus tertutup rapat. Bisa jadi kemampuan retorika saya buruk dan ilmu saya cetek, jadi gagal menjadi guru menulis dengan pesona seperti magnet dan mampu memikat banyak peserta. Tapi bagaimana lagi, justru dengan berbagi ilmu itulah saya pun mendapat pengetahuan baru.

Kejutan lain ialah ternyata ada peserta yang benar-benar mengaku tidak bisa menulis apa-apa (blank), bingung cara memulainya, meskipun dia merasa ada sesuatu di dalam kepalanya yang ingin ia tumpahkan. Seseorang mengaku baru bisa menulis bila ada pendapat yang merangsang pengetahuannya, jadi tulisannya merupakan respons dan sumber polemik. Ada lagi peserta lain yang tampak mampu menulis, punya banyak pemikiran dan pendapat, berpengalaman membaca banyak literatur, namun merasa tidak punya waktu untuk menulis, dan Tuhan tampak belum menakdirkannya untuk menulis. Dia percaya sebagian penulis memang sengaja diberi waktu khusus untuk menulis, seperti Buya Hamka yang baru bisa menulis tafsir Al Quran ketika di penjara. Teman saya ini mengaku kehabisan waktu menulis karena kegiatannya tersita untuk mengurus warung. Dia agak yakin bahwa sebagian karya tulis itu seolah-olah lahir dari keadaan "terpaksa" kalau bukan memang sudah dirancang seperti itu. Dugaan ini benar. Sejumlah buku atau karya tulis tampaknya tidak lahir dari tangan, tetapi dari mulut pengarangnya. Contoh terkemuka dari "menulis" model ini ialah ribuan puisi Jalaluddin Rumi, yang konon lahir begitu saja dari ucapan beliau ketika dalam keadaan ekstase spiritual. Para muridnya yang mendengar itu langsung "mengikat puisi itu" dengan mencatatnya. Di Bandung, keprolifikan Jalaluddin Rakhmat salah satunya berkat rutinitas ceramah mingguan di masjid samping rumahnya. Koleganya---kalau bukan putranya sendiri---lantas mentranskripsi sekaligus mengedit hasil ceramah dan tanya jawab itu menjadi sejumlah buku dengan tema tertentu. The Autobiography of Malcolm X awalnya merupakan penuturan Malcolm X kepada penulis Alex Haley, dan akhirnya menjadi buku monumental. Jelaslah bahwa buku tidak mesti lahir dari tulisan atau ketikan, ia juga bisa lahir dari rekaman dan ucapan.

Belajar dari pengalaman, saya cukup percaya bahwa menulis berawal dari kebiasaan yang diteguhkan lewat disiplin. Kebiasaan bisa jadi bermula dari keberanian. Saya juga yakin bahwa menulis merupakan keahlian (kemampuan) yang bisa dipelajari. "Kamu hanya butuh alat, bukan aturan," demikian tegas Roy Peter Clark dalam bukunya Writing Tools. Alat menulis ialah bahasa dan seluruh unsurnya, alat untuk menyampaikan pesan dan luapan pesan sepenuh perasaan dan tepat seperti keinginan kita. Saya berpegang bahwa awal menulis bisa dipicu dengan adagium KEEP YOUR HAND MOVING dari Natalie Goldberg. Meski Alfathri Adlin, seorang teman saya, bilang yang lebih mendasar ialah KEEP YOUR MIND THINKING. Itu benar. Menulis maupun membaca merupakan keterampilan yang harus dipelajari manusia. Ia bukan bawaan orok. Dulu kita semua buta huruf dan buta menulis. Baru setelah belajar a-b-c, kita jadi bisa menyampaikan pesan lewat pernyataan.

Jadi lebih dari sekadar bisa menulis dengan baik, orang ingin mewujudkan isi kepala jadi tulisan persis sesuai keinginannya. Mungkin itu sebabnya sebagian mahasiswa heran kenapa dia pernah bisa menulis paper atau skripsi, tapi bingung dengan isinya, atau tulisan itu betul-betul buruk sampai malu bila harus dibaca kembali. Ini persis kata Joe Elliot, vokalis Def Leppard, yang pernah berseloroh begini: "Saya harus mabuk dulu kalau mau mendengarkan album pertama kami." Orang bisa geleng-geleng kenapa dahulu dia bisa menulis secara ajaib---baik bagus ataupun buruk. Penulis hanya perlu mengakui bahwa itu memang karyanya. Setelah itu lupakan atau lanjutkan. Kehidupan jalan terus, pikiran lain mendesak, emosi perlu diluapkan.

Selama workshop, saya menyadari bahwa mayoritas peserta sebenarnya sudah punya kebiasaan dan kemampuan menulis yang bagus, berani berekspresi dan bereksperimen, punya kebiasaan menulis yang hebat, bahkan sebagian dari mereka sudah berprestasi, misalnya memenangi sayembara penulisan. Sebagian orang punya blog yang rutin dia isi dan ternyata jadi favorit banyak orang. Bila dia menulis, tanggapan orang bersahut-sahutan. Peserta lain jadi redaktur buletin internal yayasan. Saya pikir itu tanda bahwa mereka telah jadi penulis. Di sisi lain ada juga teman yang masih ragu untuk berani mengirimkan tulisan ke media massa semata-mata dia merasa pemikirannya bertentangan dengan arus utama saat itu, meskipun argumennya kuat dan jelas. Fenomena ini muncul berbagai kesempatan workshop penulisan yang pernah saya hadiri. Jadi apa kekurangan mereka? Yang paling utama ialah mereka buta akan aturan umum (standar) menulis yang berlaku di media massa atau digunakan oleh penerbit yang bagus. Ini lebih dari sekadar menguasai EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dengan baik, melainkan menulis secara efektif, hemat, fokus, tegas, langsung pada sasaran. Menguasai EYD tentu bisa membuat tulisan kita rapi, tapi belum menjamin tulisan kita "bernyawa" dan punya "suara" sendiri, yang kuat, mampu mempesona pembaca dari awal sampai akhir.

Ini persis kriteria Hetih Rusli terhadap tokoh cerita yang kuat. "Yang terpenting ialah meniupkan nyawa ke dalam diri si tokoh. Tokoh tersebut harus hidup, bergerak, dan bernapas pada saat kita membacanya. Si tokoh harus hidup dalam bentuk tiga dimensi di benak pembaca, bukan cuma tertulis di atas kertas." Hal serupa berlaku pada tulisan nonfiksi. Feature profil orang dan biografi hebat pasti punya tokoh yang mengesankan.

Wajar kalau begitu banyak orang mampu menulis namun dia heran sendiri kenapa tulisannya diabaikan orang lain atau ditolak media massa. Perhatikan blog, zine, atau media tertentu lain. Mereka suka menulis suka-suka, sehendak hati, tak peduli apa orang lain kesulitan dengan cara berbahasanya. Ini membuktikan sebenarnya menulis sangat personal, khas, sesuai maksud masing-masing---sementara industri, akal sehat, kesepakatan umum, dan keinginan menyetarakan cara berpikir memunculkan standardisasi. Sejumlah orang mampu menulis di luar standar dan ternyata baik-baik saja. Saya pernah bertemu mahasiswa yang menerbitkan zine tapi buta EYD. Bagi dia yang penting ekspresinya terlampiaskan dan pikirannya tersampaikan.

Itu sebabnya saya berpendapat bahwa persoalan terbesar menulis ada pada proses editing (penyuntingan). Saat itu penulis harus berjarak dari karyanya dan tulisan mulai hendak menyapa pembaca luas. Jernihkah maksudnya? Mau apa dia dengan tulisannya? Bisakah tulisan itu dibaca? Bagaimana bahasanya? Kepaduan paragrafnya? Apa persis sesuai keinginan penulis? Adakah emosi mengalir di sana? Ketika diedit, tulisan dinegosiasikan. Saya pernah menghabiskan empat kali pertemuan hanya untuk membahas editing satu karya sebelum penulisnya benar-benar siap mengirimnya ke media massa. Apalagi saya ternyata bukan tipe editor killer yang tega main babat kalimat kabur tanpa diskusi lebih dulu. Di fase inilah berkah lain muncul, yaitu saya jadi membuka-buka rujukan baru. Mizan mengirimi Quantum Writer (Bobbi DePorter), dari Herry Mardian saya memfoto kopi Writing Tools (Roy Peter Clark) dan On Writing Well (William Zinsser), Ignatius Haryanto mengirimi The Quotable Book Lover (Ben Jacobs & Helena Hjalmarsson, eds.) dan Menuju Jurnalisme Berkualitas. Semua merupakan pustaka berharga.

Persoalan editing juga yang saya kemukakan kepada bang Mula Harahap waktu dia menelepon saya membicarakan sekolah tulis-menulis yang sedang dia rancang di kepalanya. "Iseng-iseng aku search tentang sekolah menulis, ternyata muncul nama kau," katanya. Wah, senangnya ditelepon senior ramah seperti dia. Sudah lama kami tak kontak.

Setelah workshop penulisan selesai, saya harus segera meneruskan order yang terbengkalai karena berhari-hari berkutat menyiapkan materi. Rekan kerja saya sampai penasaran karena saya membiarkan respons editannya. "Apa pembicaraan kita mengenai teks itu sudah berhenti? Saya harap tak ada salah paham di antara kita." Ah, tidak, jawab saya. Saya hanya sebentar teralihkan ke subjek yang juga penting untuk dikaji dengan sungguh-sungguh.

Entah kapan dan di mana lagi saya punya kesempatan berbagi ilmu penulisan.[]

Anwar Holid sehari-hari bekerja sebagai editor dan penulis, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Wednesday, November 11, 2009



Keep Your Mind Thinking

Yang Bisa Saya Rumuskan Per Hari ini Tentang Menulis Ilmiah

---Alfathri Adlin

Saya ingat bahwa sejak awal belajar menulis, saya sudah memulainya dengan nekad menuliskan ‘analisis sok ilmiah’. Tulisan utuh pertama saya adalah tentang jilbab yang dikaitkan dengan semiotika dan budaya populer. Tulisan tersebut sangat emosional dan buruk sekali. Dengan percaya dirinya saya kirim tulisan itu ke Republika. Hasilnya? Ditolak mutlak. Namun tulisan ini kemudian berevolusi terus-menerus setiap tahun hingga akhirnya memanjang menjadi tiga puluhan halaman dan di muat di Jurnal IIIT. Kemudian saya revisi lagi dan masuk dalam antologi "Menggeledah Hasrat." Hanya itu saja dari tulisan awal saya yang berevolusi terus menerus, tulisan-tulisan awal lainnya pada umumnya sudah hilang entah ke mana. (Lagi pula kalau membacanya lagi pastilah memalukan.)

Selain emosional, tulisan-tulisan saya di fase awal sangatlah divergen. Panjang sekian puluh halaman, penuh kutipan dan saduran, namun tidak ada fokus dan kesatuan tema. Selama bertahun-tahun saya selalu menulis dengan cara seperti itu. Namun, karena bantuan dan masukan dari sekian banyak teman yang cerdas dan berbakat dengan mengedit dan memberi saran tentang bagaimana sebaiknya saya menulis, sedikit demi sedikit mulai ada perbaikan. Ketertarikan terhadap ‘yang sok ilmiah’ itu juga terlihat pada saat menerjemahkan buku di Mizan. Saya lebih memilih buku yang membahas suatu topik ilmiah (Posmodernisme dan Cultural Studies) sekalipun disajikan secara populer. Dan saat ini, saya bekerja sebagai editor yang salah satu tugasnya menangani naskah penulis lokal khusus kajian
humaniora. Nah, dengan sepenggal pengalaman menulis itu, dan beberapa pengamatan pribadi saat mengedit buku penulis lokal, saya mencoba memberanikan diri memaparkan apa yang saya mengerti per hari ini tentang menulis ilmiah.

Terlihat pada judul"tulisan ini bahwa saya memang memplesetkan slogan yang sangat sering dipakai oleh Anwar Holid: Keep Your Hand Moving. Plesetan ini selain buat lucu-lucuan, sebenarnya juga untuk menekankan aspek yang berbeda dari menulis ilmiah. Slogan "keep your hand moving" mengisyaratkan suatu keproduktifan membuat tulisan, bahkan kalau bisa dilakuken setiap hari. Istilah kerennya`prolifik. Apakah menulis ilmiah pun harus dilakukan saban hari (mengikuti nasihat mas Hernowo)?

Jenis tulisan itu bermacam-macam. Ada tulisan personal, sastrawi, ilmiah, dan lain sebagainya. Tulisan personal adalah salah satu tulisan yang bisa dilakukan setiap hari. Namun keprolifikan serupa tidak bisa dituntut dalam menulis ilmiah. Untuk menulis ilmiah yang"baik, orang perlu membaca, merenung" panjang dan menyusun argumen yang sistematik dan tajam. (Belum lagi kalau mau menulis kajian filsafat, untuk memahami buku rujukan yang dipakai sebagai bahan menulis membutuhkan waktu yang tidak sebentar.) Kesemua proses menulis ilmiah itulah yang saya rumuskan menjadi "keep your mind thinking."

Di dunia ilmiah banyak pemikir besar yang sepanjang hidupnya hanya menghasilkan sedikit buku atau tulisan, namun meskipun terbilang tidak prolifik, pemikiran mereka mengubah paradigma pada masa berikutnya. Contoh paling ekstrem ialah Ferdinand de Saussure yang dinobatkan menjadi bapak linguistik modern dan pencetus semiologi (sekarang lebih dikenal dengan istilah semiotika) justru melalui buku yang tidak pernah ditulisnya. Pengantar Linguistik Umum yang monumental serta mengubah wajah filsafat dan linguistik abad ke-20 itu "hanyalah" catatan kuliah dari para murid yang kemudian mereka kumpulkan dan rangkai menjadi sebuah buku legendaris.

Saya ingat sebuah cerita. Suatu ketika Einstein tengah berada di sebuah pesta dan dia melihat seorang fisikawan yang selalu sibuk mencatat dengan membawa notes. Einstein bertanya kepada fisikawan itu tentang kebiasaannya. Sang fisikawan menjelaskan bahwa itu membantunya untuk bisa selalu sigap mencatat setiap lintasan ide yang melintas di benaknya, sehingga bisa dia catat dan tuliskan nantinya. Sang fisikawan menganjurkan Einstein untuk mencobanya juga. Einstein berkata: "Entahlah apa itu berguna buat saya, karena saya hanya punya satu ide sepanjang hidup saya."

Dalam dunia ilmiah, biasanya pemikir besar memang "hanya" memiliki satu ide besar yang kemudian dia kembangkan dan beranak-pinak menjadi sekian buku atau tulisan. Tak jarang dalam perjalanan karirnya, sang pemikir bisa merevisi pemikiran-pemikiran terdahulunya---itulah pentingnya mencantumkan tanggal dalam setiap tulisan agar para kritikus mengetahui dan memahami evolusi pemikiran sang penulis ilmiah tersebut. Jadi, dalam menulis ilmiah, keprolifikan bukanlah hal yang "didewakan." Ketajaman tawaran pemikiran dalam tulisan itulah yang lebih "didewakan."

Kalau Anda ingin menulis yang sastrawi---juga termasuk esai personal---kemampuan memikat melalui "craft" (keahlian merangkai) kata-kata mutlak diperlukan. Sementara dalam dunia menulis ilmiah, "craft" kata-kata untuk membuat tulisan yang memikat bukanlah hal utama.

Contoh paling ekstrem dari hal ini adalah Max Weber. Melalui bukunya yang membahas tentang Kapitalisme dan Etika Protestan, Max Weber menancapkan pengaruhnya yang panjang hingga hari ini dalam dunia sosiologi dan bidang humaniora lainnya. Namun, ada satu hal yang memprihatinkan dari Max Weber: tulisannya buruk sekali. Aneh bukan? Seseorang bisa mempengaruhi dunia pemikiran justru melalui tulisan yang kualitasnya nyaris dodol. Tapi itulah dunia menulis ilmiah.

Kalau boleh saya menganalogikannya, menulis ilmiah itu menyerupai percakapan William Wallace dengan pamannya dalam film Brave Heart. Dalam suatu upacara peringatan para pahlawan perang Skotlandia di malam hari, Wallace kecil tampak tertarik pada pedang pamannya. Mengetahui hal itu, pamannya berkata kepada Wallace kecil: "Kamu bisa membaca?" Wallace menggeleng. Kemudian pamannya berkata: "Pertama-tama aku akan melatih kamu menggunakan ini (sambil sang paman menyentuhkan telunjuknya ke jidat Wallace), setelah itu baru aku akan melatih menggunakan ini (sambil sang paman mengacungkan pedangnya)."

Ya, dalam menulis ilmiah itu yang paling utama ialah Anda melatih kemampuan berpikir analitis-teoretik terlebih dahulu, soal "skill" menulis itu bisa dilatih belakangan. Dan tidak perlu "ngotot" untuk prolifik, dahulukanlah ketajaman analisis-teoretik.[]

Alfathri Adlin bekerja sebagai editor (nonfiksi) Penerbit Jalasutra. Dia bisa dikontak lewat Facebook.


Bagaimana Cara Supaya Novel Saya Bisa Tembus ke GPU?
---Hetih Rusli


Judul di atas adalah jawaban dari pertanyaan, "Mbak, gimana sih caranya supaya novel saya bisa nembus ke GPU? Seperti apa naskah yang Mbak sukai?" Ah, mari saya tuliskan tipsnya di sini.

1. Tokoh
Novel-novel laris biasanya memiliki tokoh-tokoh yang melekat di benak pembaca. Sebut saja tokoh seperti Harry Potter, Scarlett O'Hara, Holden Caulfield, atau Edward Cullen. Buat tokoh dengan karakter kuat, nama yang khas bisa membantu. Tapi yang terpenting ialah meniupkan nyawa ke dalam diri si tokoh. Tokoh tersebut harus hidup, bergerak, dan bernapas pada saat kita membacanya. Si tokoh harus hidup dalam bentuk tiga dimensi di benak pembaca, bukan cuma tertulis di atas kertas.

Keputusan-keputusan yang diambil si tokoh dalam perjalanannya di sepanjang novel itu harus sesuai dengan karakter si tokoh. Seorang Edward Cullen akan melemparkan dirinya di depan mobil demi menyelamatkan gadis yang dia cintai, sementara Holden Caulfield akan memutar bola matanya lalu menganalisis kejadian tersebut dengan sinis. Scarlett O'Hara akan membunuh orang lebih dulu dibanding harus mengorbankan nyawanya sendiri untuk menyelamatkan keluarganya, sementara Harry Potter tidak ragu mengorbankan nyawanya demi sahabat-sahabatnya.

Dan tolong deh, enggak perlu menyebutkan semua karakteristik tokoh lengkap dengan sifat-sifatnya pada halaman 2, paragraf pertama sehabis si tokoh datang terlambat ke sekolah. Misalnya, "Len adalah gadis berusia 16 tahun berambut pendek berponi dan hobi main basket. Dia sedikit tomboy tapi baik hati, makanya dia punya banyak teman. Len anak tunggal konglomerat yang setiap hari diantar jemput ke sekolah dengan Jaguar. Dia berbintang Libra, makanya dia sering plin-plan mengambil keputusan. Len naksir Leo, anak basket yang juga ketua OSIS. Len paling suka pelajaran seni di sekolahnya, mungkin karena ibunya pelukis. "

Dijamin pada halaman 20, Len sudah tidak menarik lagi karena saya nyaris sudah tahu "segalanya" tentang Len dalam satu paragraf, dan pada halaman 30 saya sudah malas bacanya...

2. Alur Cerita
Kadang-kadang pengarang sering mengajak pembacanya muter-muter enggak keruan hanya karena si penulis kepingin saja memasukkan jalinan peristiwa atau dialog yang kalau ditanya kenapa dia melakukannya, jawabannya adalah, "Because I like it."

Alur cerita seharusnya dibuat untuk menghasilkan efek tertentu. Ada hubungan sebab akibat yang terjadi di dalam alur. Kejadian A menghasilkan peristiwa B, yang berlanjut ke C, dan seterusnya. Bahkan dialog pun harus ada tujuannya. Bukan cuma, "Hm, lucu nih kalo gue masukin adegan tokohnya nongkrong kongkow-kongkow di Starbucks lalu ngobrol-ngobrol seperti yang suka gue lakuin sama temen-temen gue."

Yang lebih menyebalkan adalah pengarang-pengarang yang suka banget pamer pengetahuan padahal enggak nyambung sama alur cerita, hanya untuk menunjukkan, "Nihhh... gue ceritain ya... Gue kasih tau nih tentang gimana membuat roket." Hanya karena dia tahu caranya...

3. Tema Cerita
Tidak perlu membuat cerita yang harus BEDA dan ORISINAL yang TIDAK ADA DUANYA, walaupun beda, orisinal, dan tak ada duanya memang menarik perhatian pada pandangan pertama. Daur ulang adalah hal biasa, dan tambahkan bumbumu sendiri. Baca saja "Twilight Saga", Shakespeare akan menari dalam kuburnya melihat bagaimana konsep kisah cinta terlarang yang tak kesampaian dan hanya bisa dipisahkan maut yang ditulisnya 400 tahun lalu diramu sedemikian rupa oleh Stephenie Meyer. Sementara Joss Whedon akan nyengir mendengar konsep "vampire with a soul." "Ke mane aja, Mbak Steph?" mungkin itu kata Anne Rice. Dan yeah, sedikit cinta segitiga tidak pernah merugikan untuk dijadikan tema atau subtema.

Banyak pengarang memulai cerita dengan membawa kegelisahan dan gagasan, tapi melupakan fakta bahwa tulang punggung fiksi adalah cerita. Sehingga cerita dipaksakan masuk untuk memuat gagasan dan kegelisahan tersebut. Jangan melemparkan kegelisahanmu bulat-bulat kepada pembaca. Mulailah dengan cerita, selipkan kegelisahan dan gagasan itu dalam bab demi bab dalam novel. Selain membuat pembaca jadi penasaran setiap membalik halaman, efek cuci otaknya dijamin akan lebih dahsyat.[] Friday, March 20, 2009

Hetih Rusli bekerja sebagai editor di Gramedia Pustaka Utama. Halaman Facebooknya ialah http://www.facebook.com/hetih.

Wednesday, November 04, 2009


Pink Floyd ketika masih berlima.

Crazy Diamonds, You Shine Like the Sun
---Anwar Holid

Pada edisi Oktober 2008, UNCUT menerbitkan cover story berjudul "Pink Floyd 30 Greatest Songs" yang antara lain dipilih sendiri oleh Dave Gilmour, Nick Mason, dan puluhan insan musik lain, terutama kalangan dekat mereka, seperti manajer, desainer cover, produser, sound engineer, konduktor, musisi junior yang amat terpengaruh oleh mereka, fotografer sezaman mereka, dan lain-lain. Secara menyesakkan Roger Waters terpaksa diabaikan sebagai pemilih, karena dia secara hukum dilarang menggunakan nama Pink Floyd; sementara Richard Wright dan Syd Barrett sudah meninggal.

Ke-30 lagu itu ialah:
01. Shine on your crazy diamond
02. See emily play

03. Interstellar overdrive

04. Arnold layne

05. Another brick in the wall (part 2)

06. Wish you were here

07. Set controls for the heart of the sun

08. Astronomy domine

09. Jugband blues

10. Fearless

11. Lucifer

12. Careful with that axe, eugene

13. Atom heart mother (suite)

14. Is there anybody out there?

15. Breathe

16. Goodbye bluesky

17. Apples and oranges

18. Comfortably numb

19. Have a cigar

20. See-saw

21. One of these days

22. High hopes

23. Brain damage

24. Chapter 24

25. Fat old sun

26. Time

27. If

28. Green is the colour

29. Money

30. Echoes


Buat aku sendiri, daftar ini lebih memuaskan dibandingkan seleksi dalam Echoes - The Best of Pink Floyd (2001). Entahlah, urutan tersebut merupakan hierarki atau acak. Tapi kalau sekilas diperhatikan, boleh jadi alasannya kesetimbangan. Daftar itu diawali dengan lagu yang amat panjang (25 menit), ditopang lagi di tengah-tengah (23 menit), dan ujungnya (23 menit). Echoes kekurangan aspek itu, bahkan sengaja memberikan edisi potongan untuk lagu-lagu panjang.

Yang mungkin cukup seru, tak ada lagu terpilih dari album The Final Cut dan A Momentary Lapse of Reason. Sementara lagu dari The Dark Side of the Moon dan The Wall mendominasi. Sebagian kritikus maupun penggemar Pink Floyd menilai bahwa The Final Cut merupakan album solo Roger Waters yang harus dikerjakan anggota Pink Floyd, dan sebaliknya, A Momentary Lapse of Reason kerap dinilai sebagai album solo Dave Gilmour yang dikemas atas nama Pink Floyd, minus Roger Waters. Namun lebih dari semua itu, ke-30 lagu itu memperlihatkan rentang karir dan karya Pink Floyd secara seimbang.

Perjalanan karir Pink Floyd terbagi dalam tiga fase utama. Pertama di awal terbentuknya band itu, di bawah kepemimpinan Syd Barrett. Kedua setelah Barrett meninggalkan band itu karena emosinya labil dan sakit mental, dan kepemimpinan segera diambil alih oleh Roger Waters. Ketiga setelah ketiga anggotanya berseteru dan bermusuhan dengan Roger Waters, dan akhirnya ganti David Gilmour memimpin Pink Floyd. Periode pertama dan ketiga berlangsung relatif sebentar bila dibandingkan periode ketika mereka menghasilkan sejumlah master piece dengan arahan artistik di bawah Roger Waters.

Menurut statistik, Roger Waters punya andil 70 % dari semua karya Pink Floyd. Meski begitu, harus diakui statistik itu tidak berarti mengesampingkan kualitas sumbangsih keempat anggota lainnya. Ada banyak lagu Pink Floyd yang dengan mudah memperlihatkan virtuositas masing-masing anggota. Contoh peran Richard Wright dalam The Great Gig in the Sky; Dave Gilmour dalam One of These Days, dan Nick Mason dalam Echoes. Jadi meskipun Syd Barrett sudah lama sekali inaktif dan Roger Waters secara menyakitkan kalah di pengadilan, ruh keduanya masih begitu terasa dalam karya Pink Floyd. Bahkan boleh dibilang kedua orang itu senantiasa menghantui Pink Floyd dan menjadi patokan bagi setiap karya mereka. Karya, reputasi, dan sosok mereka mustahil tumbang hanya oleh kegilaan maupun arogansi dan egoisme.

Mendengarkan ke-30 lagu itu membuat aku seakan-akan menyaksikan layar lebar berisi perjalanan sebuah band yang sarat drama, kegilaan, kreativitas, sekaligus ironi, kesedihan, dan perseteruan.

"Kami tak pernah berhasrat ingin jadi terkenal ataupun bintang rock 'n' roll," kata Richard Wright. Di awal formasi sebagai band kampus Regent Street Polytechnic, bisa jadi niat itu jujur. "Kami lebih ingin jadi seniman daripada musisi rock," kata Nick Mason dalam BBC 7 Ages of Rock bagian 2. Dari latar belakang keluarga, semua anggota Pink Floyd berasal dari golongan kelas terdidik-mapan. Kemakmuran sudah menjadi bagian mereka sejak orok. Jadi mereka lebih butuh aktualitas atau keinginan mencapai status baru yang prestisius.

Richard Wright sendiri, misalnya, jauh lebih terpengaruh Miles Davis (pemain trumpet & komposer jazz terkemuka) dibanding pemain piano/keyboard dari ranah rock. Album debut mereka, The Piper at the Gates of Dawn (Agustus 1967), juga tampak merupakan album rock yang nyeleneh daripada mudah didengar dan didendangkan. Apalagi mereka sejak awal menampilkan instrumental rumit berdurasi cukup panjang, Interstellar Overdrive (9,41 menit), dan nanti ditradisikan di album ke-2, dengan A Saucerful of Secrets (12 menit.) Mana ada grup rock biasa berani melakukan terobosan seperti itu? Kecenderungan itu sudah agak lain bila dibandingkan dengan pendekatan The Beatles yang tengah sedang populer.

"Kami memainkan musik yang sulit dipahami perusahaan rekaman," papar Wright. Tapi lepas dari itu, eksperimen dan jangkauan musik mereka sungguh luar biasa. Bila mula-mula mereka main di klub underground, lama mereka mengemuka, jadi pionir, dan sangat berpengaruh. Merekalah bapak dari genre psychedelic rock, art rock maupun progresif rock. Dan lebih dari itu semua, keberhasilan mereka secara komersial nyaris tak tertandingi oleh grup mana pun yang sealiran mereka. Gabungan musik mereka---blues, rock, jazz, bunyi-bunyi "aneh"---kerap bernuansa depresif, bahkan disisipi oleh jeritan atau lolongan orang, belum lagi raungan gitar, timpalan bebunyian dari keyboard, dentuman bass, juga suara-suara kehancuran dari simbal dan tempo yang bikin gelisah dari drum. Lagu seperti "Shine on your crazy diamond", "Echoes", "Interstellar overdrive" merupakan contoh sempurna dari musik Pink Floyd yang kompleks, namun terasa dalam, seakan membawa pendengarnya ke lorong jauh atau melesak ke dalam bawah laut nan mencekam. Tapi sejumlah lagu normal Pink Floyd juga sangat mudah diingat, enak didengar dan didendangkan, misalnya Goodbye bluesky, Wish you were here, dan If (balada), Comfortably numb (bernuansa slow rock yang anthemic), dan yang paling legendaris: Another brick in the wall (part 2).

Wajar ketika EMI pertama kali mengontrak mereka, Pink Floyd digadang-gadang akan mengubah perjalanan musik. Tapi yang pertama-tama terjadi bukanlah sukses gila-gilaan, melainkan kegilaan dalam arti harfiah. Sakit itu menyerang motor mereka, Syd Barrett, mahasiswa seni yang kreatif dan eksentrik. Perilakunya yang aneh dan labil, konon terutama disebabkan oleh kecanduan narkotika jenis LSD yang membuat orang berhalusinasi, membuat riwayat seninya benar-benar tamat. Dalam keadaan labil, misalnya ketika di panggung, Barrett hanya bisa mondar-mandir, membuat bingung teman-temannya yang main musik dengan serius. Sementara massa penonton, yang kerap terpesona oleh mitos dan salah anggap, malah mengira itu bagian dari pertunjukan, senang melihatnya. Antik. Di studio, kadang-kadang Barrett mencoba menawarkan lagu baru kepada teman-temannya, tapi setiap kali latihan, iramanya selalu ganti-ganti, dan lama-lama membuat mereka frustrasi. Klimaksnya, Barrett dipecat dan ditinggalkan oleh teman-temannya, terutama atas inisiatif Roger Waters. Untuk menopang gitar dan vokal atas absennya Barrett, mereka meminta teman main gitar Barrett untuk bergabung, namanya David Gilmour.

Begitu Barrett inaktif, Waters mengambil peran sebagai pengendali utama musik Pink Floyd. Bahkan segera menjadi motor penggerak paling utama. Tapi dia pun rupanya punya trauma dan sifat arogan dan egois berlebihan, yang di puncak pertentangan justru membuatnya jadi seorang desertir. Pink Floyd masa Roger Waters merupakan periode emas. Mereka menghasilkan sejumlah album legendaris yang luar biasa, terutama Meddle, Dark Side of the Moon, Wish You Were Here, Animals, dan The Wall. Namun dominasi Waters akhirnya keterlaluan sampai membuat semua orang di sekelilingnya bermasalah, dan akibatnya memusuhi dia. Waters bahkan pernah memecat Richard Wright usai pembuatan The Wall.

"Ada pertentangan pribadi yang amat besar antara aku dan Roger, sampai pada titik aku mustahil bisa bekerja sama lagi dengan orang itu. Jadi aku cabut," kata Wright.

Bahkan saudara perempuan Barrett saja bisa bersaksi betapa Waters jadi menyebalkan. Konon, salah satu sebab Waters jadi selfish ialah karena dia kehilangan ayah sejak kecil. Di puncak ketegangan itu, Waters membubarkan Pink Floyd setelah merilis The Final Cut. Tapi rupanya Mason dan Wright---sebagai sesama founding member---menolak prakarsa itu, apalagi David Gilmour dan produser juga ada di belakang mereka. Gilmour sudah bukan anak bawang lagi. Dia telah menjelma sebagai salah satu gitaris rock terhormat sedunia dan lagu ciptaannya maut. Maka peranglah mantan empat sekawan itu di pengadilan, memperebutkan nama Pink Floyd dan harta gono-gininya. Keputusan pengadilan mungkin lebih menyakitkan lagi buat Waters, sebab Mason dan Gilmour memenangi perkara, berhak atas mayoritas lagu band itu, dan lebih penting lagi: mereka yang berhak menggunakan nama Pink Floyd. Waters memboyong semua isi hak cipta album The Wall---hanya berbagi sedikit dengan Gilmour yang ikut menciptakan 1-2 lagu di sana, dan seluruh isi The Final Cut, dan maskot balon babi Pink Floyd.

Bisa jadi keputusan itu fatal bagi Waters. Sebagai brand, Pink Floyd merupakan nama besar. Trio ini terus mentas dan berkarya. Pertunjukan Pink Floyd konon sulit sekali ditandingi karena begitu spektakuler, terutama dari segi visualisasi, efek, teknologi, dan cahaya. Mereka menghasilkan dua album studio A Momentary Lapse of Reason (1987) dan Division Bell (1994)---album terakhir mereka sejauh ini. Di sela-sela itu mereka merilis dobel album live, A Delicate Sound of Thunder dan P*U*L*S*E*, ditambah kompilasi the best, Echoes: The Best of Pink Floyd (2001.) Konser Pink Floyd senantiasa penuh sesak, dan pada 1997 mereka mencatat rekor sebagai salah satu band dengan pendapatan konser terbesar di dunia; puncaknya pada 1994 ketika mereka mencatat rekor mendapat 193,6 juta dolar AS dari 59 kali show.

Sementara itu, pertunjukan paling kolosal Roger Waters bisa jadi waktu dia menggelar konser The Wall - Live in Berlin (1990) di Jerman, untuk memperingati runtuhnya Tembok Berlin delapan bulan sebelumnya. Tapi meski ditonton sekitar 250.000 orang, secara finansial harapan dia gagal---boleh jadi karena awalnya ini merupakan konser amal, sementara penjualan albumnya enggak balik modal. Waters sendiri tetap konsisten mengusung konsep album dalam album solonya, tapi suksesnya hanya biasa saja, jelas sulit bila dibandingkan dengan Pink Floyd.

Perseteruan satu lawan tiga itu ternyata ada akhirnya. Pada 2 Juli 2005 Pink Floyd ikut dalam konser amal Live 8 yang diinisiasi oleh Bob Geldof. Reuni itu sangat bersejarah, dinanti-nantikan semua penggemar Pink Floyd nyaris seperempat abad lamanya, sebab kuatir batal, terutama takut bahwa kebencian Waters pada Gilmour mengemuka dan merusakkan momen itu. Tapi syukurlah, walau di bawah tekanan, mereka sukses reuni untuk membawakan "Breathe", "Money", "Wish You Were Here" dan "Comfortably Numb." Setelah konser para penggemar berharap lebih jauh dari itu; tapi itu agak mustahil. Positifnya, reuni itu memperbaiki hubungan mereka. Nick Mason kembali akur dengan Rogers dan diajak untuk main drum di konser Roger Waters, termasuk ketika dia membawakan seluruh isi album The Dark Side of the Moon di Hyde Park, London.


Jelas karena renta dimakan usia, setelah konser Live 8 itu Richard Wright sakit-sakitan, bahkan batal menghadiri pelantikan Pink Floyd terpilih masuk dalam UK Music Hall of Fame, pada 16 November 2005. Dan kira-kira dua tahun setelah ikut dalam konser David Gilmour Live in Gdansk (Polandia), Wright meninggal dunia pada 26 Agustus 2008. Itulah penampilan terakhirnya di panggung. Dua tahun sebelumnya, pada 7 Juli 2006, Syd Barrett diberitakan meninggal dunia pada umur 60 tahun.

Sekarang Pink Floyd telah jadi jimat dan reruntuhan. Mereka menyisakan warisan yang besar. Tiga anggotanya yang masih hidup sudah pada tua, gemuk, lamban, tapi juga lebih bijak, dan mau mengakhiri karir dengan cara lebih baik. Selain pernah menampilkan sisi gelap kehidupan dalam diri masing-masing, toh berlian-berlian ini tetap bersinar.[]

Anwar Holid, penggemar Pink Floyd yang belum pernah merasakan LSD. Dia bekerja sebagai editor dan penulis, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Situs terkait:
http://zine.rukukineruku.com/?p=331 (esai tentang kreativitas dan kegilaan Syd Barrett oleh Budi Warsito)
http://en.wikipedia.org/wiki/Category:Pink_Floyd

Contoh lagu Pink Floyd:
http://www.mediafire.com/?jjjtdmrnmxw (The Great Gig In The Sky)
http://www.mediafire.com/?bzithh3g1nz (Is There Anybody Out There?)
http://www.mediafire.com/?x21qjtmyu25 (Jugband Blues)

[HALAMAN GANJIL]


Nasi Goreng à la Wartax atau Upaya Jadi Ayah yang Baik
---Anwar Holid


Setiap anak normal pastilah punya kenang-kenangan mengesankan dengan orangtuanya. Aku, kini berumur 36 tahun, masih ingat ibuku yang kadang-kadang suka membuatkan pisang goreng kalau aku habis hujan-hujanan waktu aku masih SD. Rasanya, itulah pisang goreng paling nikmat yang pernah aku makan. Ayahku juga suka membakarkan singkong atau ubi jalar di tungku kami. Ya, sampai di zaman Facebook sekarang orangtuaku masih memasak dengan kayu bakar atau kompor minyak tanah. "Takut meledak," kata ibuku waktu aku tanya kenapa dia tak punya kompor gas. Lagian, seingatku di kampung dia belum ada subsidi pemberian kompor gas gratis.

Ayahku juga biasanya selalu mau bila aku minta diambilkan kelapa muda. Aku memang kurang lancar memanjat pohon kelapa, apalagi setelah jadi "anak kota" yang tinggal di Bandung. Aku sudah lupa kapan terakhir kali benar-benar memanjat untuk mengambil kelapa sendiri.

Kini aku punya dua anak. Sang sulung kelahiran tahun 2000, adiknya kelahiran 2006. Tinggal di Bandung yang kini dianggap sudah tercemar, membuat ibu mereka melarang hujan-hujanan. Takut pilek atau sakit. Menurutku ketakutan itu berlebihan, tapi mungkin beralasan. Memang, kalau hujan lebat dan air meluap-luap sampai ke jalan, baru terasa betapa busuk dan kotor air umum di Bandung. Itu lain sekali waktu aku masih kecil dan justru terbiasa hujan-hujanan di kampung.

Si sulung kini sudah kelas 4 SD. Kadang-kadang, kami enggak punya makanan yang siap dia santap buat sarapan sebelum berangkat sekolah. Roti, yang sesekali kami beli, sudah habis, sementara makanan kemarin juga sudah ludes malamnya. Yang tersisa hanya sedikit nasi di rice cooker. Ilalang---anak sulung kami---suka berinisiatif bikin telur ceplok sebagai lauk. Dia sudah cukup lancar bikin telur ceplok atau dadar. Kadang-kadang bumbunya suka aneh-aneh, pokoknya yang dia anggap menarik, suka dia gunakan, padahal bisa jadi malah bikin enek. Misalnya dia pernah pakai kecap asin buat telur ceplok.

Kalau lagi rajin, biasanya aku suka segera membuatkan nasi goreng buat sarapan Ilalang dan Shanti. Aku sudah lama terbiasa bikin nasi goreng, mungkin sejak SMA. Biasanya aku paling suka mencampur resepnya dengan teri, tapi ternyata tidak setiap saat kami punya teri. Dulu aku bikin semacam resep yang dijadikan sambal dulu sebelum aku goreng dan akhirnya dicampur nasi. Resep ini menurutku agak merepotkan, karena aku harus mengulek bumbu-bumbunya dulu sampai jadi saus. Ada resep yang jauh lebih sederhana, dengan hasil masih cukup mantap---setidaknya menurut anak-anakku. Resep ini aku dapat dari Fenfen, setelah kami nikah.

Aku cukup mengiris-iris setipis mungkin bawang merah sesuai banyaknya nasi yang akan digoreng. Sementara bawang putih dimemarkan dulu sampai hancur, lantas dicacah-cacah sekecil mungkin. Setelah itu digoreng dan diaduk-aduk sampai harum dan kelihatan menguning. Begitu siap, campur ia dengan garam, penyedap (favorit Fenfen ialah Knorr), dan kecap Bango, terus diaduk-aduk sampai menyatu. Terakhir, masukkan nasi, lantas digoreng sampai bumbu itu merata ke seluruh nasi. Bila sukses, semuanya akan berwarna merah tua. Dengan begitu, perut kedua anakku cukup terisi sampai siang.

Ini foto nasi goreng, ngambil dari internet, via Google.

Ilalang suka rada pedas, sementara Shanti jangan terasa cabai sedikit pun. Jadi buat Shanti didahulukan, baru dicampur cabai buat Ilalang. Satu hal, aku tak pernah lagi mencampur telur untuk nasi goreng. Ini jelas ajaran Fenfen. Kata dia, telur itu bikin anyir nasi goreng. Bikin selera makan hilang. Kalau mau bikin harus dipisah.

Kenapa harus kecap Bango? Yah, ini kelihatannya seperti iklan yang dipaksakan. Menurut Fenfen, itulah satu-satunya kecap yang dia yakini rasa dan kualitasnya. Keyakinan itu dia dapat dari ibunya. Jadi lidahnya lidah kecap Bango. Bahkan dia punya cerita lucu tentang itu. Ceritanya, dulu suatu hari ibunya minta ayahnya beli kecap. Ayahnya ternyata malah beli kecap ABC. Ibu mertuaku itu langsung menyergah, "Ceuk enong geh kecap Bango, Aa..." (Kata aku juga kecap Bango, Aa...) dengan gerakan tertentu. Bagi dia, selain kecap Bango itu bukan kecap. Jadi, sejak nikah, merek itulah yang tersedia di rumah kami sekarang. Saking fanatik, Fenfen bisa minta bumbu sate pesanannya jangan dikasih kecap. Biar nanti saja di rumah dicampur dengan kecap Bango.

Aku sendiri enggak punya fanatisme, apalagi bila cuma soal kecap. Kecap adalah kecap, mau ia Bango, ABC, Noni, Merak, atau merek lain. Tapi diingat-ingat, memang iklan kecap Bango yang paling aku ingat di radio dulu, ketika mereka mengklaim jangan khawatir ada perang dunia, selama ada kecap Bango. Waktu itu memang zaman perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet.

Aku cukup menikmati bikin nasi goreng sederhana itu. Pamrihnya ialah semoga di hati mereka aku cukup melekat jadi ayah yang baik dan menyenangkan buat anak-anakku. Biar mereka nanti bisa mengenang aku sebagai ayah yang baik, lepas dari segala kekurangan dan ketidaksabaranku setiap kali terdesak. Aku terharu setiap kali Shanti menghabiskan sepiring nasi goreng buatanku itu. Berbeda dengan Ilalang yang cukup bisa makan semua, Shanti pilih-pilih banget. Kadang-kadang agak lama setelah bangun, pagi-pagi dia sudah teriak, "Ayaaah, Kati minta nasyi goweng..." Dia masih cadel. Tapi aku yakin dia cukup antusias dengan masakanku.

Pelan-pelan aku menghidupkan lagi kenangan mesra masa kecil, ketika aku dibikinkan makanan oleh orangtuaku. Mungkin, itulah berkah jadi anak dan orangtua sekaligus.[]

Anwar Holid, suami beristri satu, ayah beranak dua. Bekerja sebagai editor dan penulis, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141


[BUKU INCARAN]


Sebundel Karya Jurnalistik Bermutu

Menuju Jurnalisme Berkualitas, Kumpulan Karya Finalis & Pemenang Mochtar Lubis Award 2008
Penyunting: Ignatius Haryanto
Penerbit: KPG, 2009
Halaman: 424 + xv
ISBN 13: 978-979-91-0174-7
Harga: Rp.55.000,-



Menuju Jurnalisme Berkualitas merupakan buku kumpulan karya finalis dan pemenang Mochtar Lubis Award 2008. Anugerah tersebut merupakan program penghargaan jurnalistik yang bertujuan memberi apresiasi dan menumbuhkan semangat kompetisi di kalangan wartawan Indonesia untuk menghasilkan karya unggul. Saya pertama kali dengar rencana acara anugerah bagi karya jurnalistik ini pada akhir 2006, ketika bertemu dengan Ignatius Haryanto, salah satu pendiri Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), juga seorang penulis prolifik---telah menghasilkan kira-kira lima belas buku populer dan banyak menulis di media massa. Ternyata dia sekaligus menjadi Direktur Program Mochtar Lubis Award 2008.

Ignatius Haryanto waktu diskusi di toko buku Ultimus, Bandung. (Foto: Anwar Holid)

Tolok ukur Mochtar Lubis Award ialah Pulitzer Prize di Amerika Serikat. Di awal inisiasinya, anugerah tersebut terdiri dari lima kategori, yaitu pelayanan publik, tulisan feature, pelaporan investigasi, foto jurnalistik, dan liputan mendalam jurnalisme televisi. Ada lima finalis untuk masing-masing kategori, hal tersebut membuat buku ini jadi cukup tebal. Dewan juri terdiri dari para macan jurnalistik dengan reputasi terkemuka, antara lain Farid Gaban, Sori Siregar, Yusi Avianto Pareanom, Arya Gunawan Usis, Maria Hartiningsih, Dwi Setyo Irawanto. Setelah menampilkan karya para finalis, di ujung setiap kategori dewan juri mengajukan alasan kenapa mereka memenangkan suatu karya.

Hal paling berharga dari buku ini ialah kita bisa membaca dan belajar tentang tulisan bermutu, sekaligus tahu alasan kenapa karya tersebut memang benar-benar mantap. Penilaian para dewan juri sangat tegas dan jernih. Ini memberi kepastian bahwa karya yang bagus itu memang bisa diukur, ada faktor dan kriterianya. Menurut Ignatius Haryanto sendiri: aneka contoh (karya ini) akan sangat berguna bagi para pembaca dan membuat mereka bisa mencecap langsung seperti apa karya jurnalistik yang baik tersebut. (Hal. ix).

Jadi buku ini terutama berharga sekali bagi mahasiswa jurnalistik dan siapapun yang tertarik dengan kepenulisan, orang yang ingin jadi citizen journalist, termasuk blogger. Kita bisa membaca baik tulisan pendek yang berisi, maupun tulisan (amat) panjang yang benar-benar memikat. Contohnya The Lost Generation (Muhlis Suhaeri), pemenang kategori pelaporan investigasi. Karya sepanjang seratus halaman tentang pembersihan etnik Tionghoa di Kalimantan Barat sekitar tahun 1967 oleh konspirasi TNI dan suku Dayak ini betul-betul memikat, menegangkan, membuat miris, hebat, dan memiliki unsur kemanusiaan yang dalam sekali. Komentar juri: juri terkesan pada gairah penulis untuk mencari data, menelusuri dokumen tua, dan hasil riset para peneliti, menelusuri fakta, dan menjumpai mereka yang terlbiat dengan mengandalkan ingatan. Tulisan ini memberikan pemahaman sejarah tentang praktik militerisme, politik pecah belah, operasi intelijen, kisah tragis manusia yuang terjebak di antara situasi pergantian politik negara, dan akar perdagangan perempuan, serta konflik komunal di daerah Kalimantan Barat (terutama daerah Pontianak, Singkawang, dan sekitarnya.)

Buku ini secara tersirat menguatkan kaitan antara industri pers yang sehat, berkembang baik, dengan kualitas karya jurnalistik yang juga hebat---meskipun ini bukan sesuatu yang mutlak. Mayoritas finalis awalnya dipublikasi media besar dan terkemuka, seperti Kompas, Pikiran Rakyat, dan Tempo, merupakan karya wartawan yang bekerja di sana atau sumbangan dari kontributor. Tapi itu bukan berarti media daerah, kecil, atau spesifik, kehilangan kesempatan untuk menghasilkan karya gemilang. The Lost Generation awalnya dimuat harian Borneo Tribune (Pontianak).

Kalau benar-benar mengharapkan kualitas, bisa jadi ada dua kekurangan dalam buku ini. Pertama dari tampilan kategori foto jurnalistik, yang hanya diwakili oleh sebuah foto untuk setiap finalis, alih-alih misalnya berupa esai foto yang terdiri dari rangkaian sejumlah foto untuk suatu peristiwa. Apalagi foto tersebut juga tak dicetak khusus pada plat art paper, melainkan kertas biasa yang kurang memadai untuk menampilkan kualitas karya foto. Kedua, untuk kategori liputan mendalam jurnalisme televisi, yang malah memilih menampilkan script alih-alih membungkus tayangan videonya dalam sekeping cd sebagai sisipan. Betul-betul sulit membayangkan kesuksesan kualitas sebuah liputan acara televisi sekadar dari script tanpa ada tayangannya. Zaman sekarang apa sulitnya menyelipkan cd untuk hal seperti itu? Ini patut disayangkan.

Anugerah yang menggunakan nama seorang wartawan legendaris Indonesia ini patut kita hargai dan dukung. Mochtar Lubis bukan hanya seorang wartawan hebat, ia juga seorang penulis yang lengkap, tokoh politik, aktif dan berani menyadarkan warga. Warisan intelektual dan karyanya banyak. Semoga Mochtar Lubis Award terus berkembang dan di masa depan mampu menambah kategori, termasuk merambah ke karya sastra, penerbitan, dan musik.[]

Anwar Holid, bekerja sebagai editor dan penulis, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141