Monday, October 04, 2021

Kisah Tutupnya Warteg di Tegallega

Oleh: Anwar Holid 


Warteg langgananku di samping lapangan Tegallega, Bandung sudah sekitar dua bulan tutup. Waktu beberapa kali aku datangi sehabis kerja, warung ini tutup terus tanpa ada pengumuman di dindingnya. Biasanya kalau mereka libur ada pengumuman kapan mereka akan buka lagi. Aku tanya juru parkir yang mangkal di situ kenapa warung nasi ini tutup saja, mereka jawab, 'Duka a, teu teurang,' — entah mas, gak tahu.


Karena tutup lama, aku sangka mereka habis kontrak dan tidak memperpanjang, atau kena imbas pandemi Covid-19 — entah pelanggan jadi sangat turun, peraturan yang menyulitkan pedagang dan pembeli, atau amit-amit mereka terpapar penyakit mengerikan ini sampai berhenti beroperasi. Kadang-kadang aku sengaja lewat warteg itu sekadar buat ngecek apa mereka beneran tutup atau buka lagi.


Kadang-kadang pas makan di situ aku ngobrol dengan pemiliknya, sepasang suami-istri. Si istri perhatian sama rasa makanan dan nutrisi, sementara si suami suka mendengarkan khutbah di YouTube — meski mereka tetap mengumandangkan dangdut koplo agar suasana terus ceria. Mereka membolehkan aku bawa nasi, jadi aku cuma beli sayur dan lauk. Aku juga sering makan tanpa nasi — kebiasaan yang suka dianggap aneh oleh pelayannya, namun tidak oleh si istri.


Setahun lalu deretan toko persis di samping warteg itu terbakar ludes. Yang menakjubkan warteg itu tidak terjilat api, meski waktu kejadian mereka pun panik menyelamatkan diri dan mengeluarkan barang-barang. Betapa mereka bersyukur lolos dari kejadian mengerikan itu. 


Pas tadi pagi lewat sana, aku lihat warteg itu ternyata buka. Langsung saja aku mampir. Awalnya aku mau cari keringat mengitari lapangan Tegallega. Tapi pas masuk tak ada wajah yang aku kenal. Apa mereka aplusan?? (Mereka tak pernah melakukannya selama ini.) Aku tanya mbak yang melayani aku.

'Mbak mengganti yang lama??'

'Iya.'

'Memang mas dan mbaknya ke mana??'

'Kecelakaan mas. Masnya patah kaki, pinggangnya hancur.'

Haduhhh... lemas aku dengarnya.

'Kecelakaan apa??' tanyaku prihatin. Aku duga tabrakan dan semacamnya.

'Masnya kan bantu pasang lampu di rumah mertua, gak tau gimana... dia jatooohhh.'

'Aduhhh.... ketimpa tangga juga??'

'Gak tau kalo itu.'

'Mbak ini sodaranya?'

'Iya mas. Keponakannya orangtua si mbak.'

'Sekarang gimana kondisi masnya?'

'Masih belum bisa jalan. Berdiri aja harus dibantu. Dirawat istrinya.'

'Sekarang di Tegal?'

'Iya mas.... tadinya dari sini sempat diobati ke rumah sakit di Solo, terus dibawa pulang ke kampung.'

Foto dari internet.

Aku ngeri membayangkan kecelakaan itu. Musibah dan takdir, siapa yang tahu?? Dulu mereka lolos dari bencana, sekarang harus menerima kenyataan gawat. Aku sarapan di situ tetap tanpa beli nasi. Kepala jadi rada berat dengar musibah itu. Aku lihat stiker paguyuban persatuan pengusaha warteg Bandung. Semboyannya dalam bahasa jawa: _sedulur selawase,_ saudara selamanya. Semoga mereka kompak membantu rekan mereka yang lagi tertimpa musibah. Apa takdir dan peristiwa itu semacam koin yang salah satu sisinya bisa terlempar begitu saja, meski kita begitu hati-hati melakukannya?? Aku kecelakaan sepeda, gaji dikurangi atau telat dibayar, orang di-phk, honor dipotong, kerja keras tak dibayar, dipalak preman, dibohongi calon investor, ditipu orang yang bilang mau nyumbang, atau dirampok dengan kekerasan. Entah dari mana terlintas selarik lagu Ebiet G. Ade: 

anugerah dan bencana adalah kehendak-Nya 

kita mesti tabah menjalani 

hanya cambuk kecil agar kita sadar 

adalah Dia di atas segalanya...


'Apa mbak sering hubungan sama mas dan mbaknya?' tanyaku sambil bayar.

'Kadang-kadang aja mas.' 

'Semoga masnya cepat pulih dan sehat.'

'Iya mas. Makasih. Nanti kalau nanti aku kasih tahu ke mereka, dari siapa ya?'

'Bilang saja dari pelanggan yang bawa nasi sendiri,' jawabku.

Mbaknya Tertawa.[]

Anwar Holid, kerja sebagai editor dan penulis. Blog: http://halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.


Thursday, June 10, 2021


Pindah Klub dan Tempat Kerja
Oleh: Anwar Holid


 

Pindah klub atau tempat kerja kerap tak seoptimis sebagaimana diharapkan dari awal. Yang terjadi suka kompleks dan butuh adaptasi. Cristiano Ronaldo pindah dari Real Madrid ke Juventus dengan harapan bisa membantu klub menjuarai Liga Champions, yang terjadi mereka malah terpuruk baik di liga domestik dan antar-klub negara Eropa. Gianluigi Buffon pindah dari Juventus dan balik lagi ke sana namun tetap tak kunjung mampu meraih ambisi bersama. Antoine Greizmann pindah ke Barcelona dengan harapan jadi tandem maut buat Messi, tapi yang terjadi kerap kekecewaan. Pelatih dan rekan setim seperti ragu atas kemampuannya. Hingga kini dia tidak lebih gahar dari kemampuannya ketika masih di Atletico Madrid. Luis Suarez kecewa berat dicampakkan Barca, namun dapat energi baru begitu bergabung dengan Atletico Madrid dan dapat kepercayaan dari manajer Diego Simeone.

Waktu Manchester United merekrut Teddy Sheringham, banyak orang sangsi atas keyakinan Alex Ferguson karena Teddy seorang striker tua. Tapi Teddy penasaran bagaimana rasanya jadi juara liga. Itu yang membuatnya meninggalkan Tottenham Hotspurs dan menjalani petualangan baru. Di Manchester United Teddy sukses merasakan gelar treble.

Di dalam klub atau perusahaan selalu ada dinamika. Meski tidak selalu fokus pada seseorang yang dinilai paling menonjol, pemain bintang biasanya kerap jadi bahan omongan. Di Atletico Madrid, Joao Felix awalnya dianggap sebagai transfer gagal, tapi di musim 2020/21 perlahan-lahan ia dinilai memuaskan seiring mautnya kerja sama dengan Luis Suarez. Sebagai striker muda dia dianggap mau belajar pada striker berpengalaman. Barangkali tahun depan dia bisa lebih baik menjalani karirnya dan membuat rekor baru, misalnya dengan menjuarai Liga Champions.

Inter Milan menjuarai Liga Serie A musim 2020/21 berkat banyak pemain buangan yang dianggap gagal di klub sebelumnya atau pemain veteran yang ingin mencari petualangan baru. Di sana ada mantan pemain Manchester United: Young, Lukaku, Sanchez, Darmian; mantan Manchester City (Kolarov); Tottenham Hotspurs (Eriksen); Real Madrid (Hakimi); Barca/Juventus (Vidal); juga Bayern Munich (Perisic). Tokoh utama di balik kejayaan Inter Milan musim ini ialah manajer Antonio Conte. Dia dinilai berhasil membangkitkan potensi pemain seperti Romelu Lukaku jadi bermental lebih kuat dan memenangi laga-laga penting.

Motivasi orang pindah klub atau perusahaan sangat beragam. Ada yang karena kecewa sama bosnya, ingin penghasilan lebih besar (biasanya diawali oleh kekecewaan terhadap perusahaan), harapan baru, peran baru, penyegaran karir, kejengkelan tak tertanggungkan, kemarahan... bahkan karena dipecat. Ada yang pindah baik-baik dan memecahkan rekor transfer, ada yang pindah karena terpaksa — seperti David Beckham mendadak pindah ke Real Madrid setelah insiden dilempar sepatu oleh manajer Alex Ferguson.

Ada faktor penerimaan, kecocokan, juga atmosfer di tempat baru. Ada orang yang awalnya sangat optimis pindah, tapi segera menyesal karena mendapati tempat barunya lebih menyedihkan. Justru di tempat lama ia merasa dapat pelajaran mengesankan. Kalau seperti itu, jelas terasa menyesal pindah. Tapi mustahil mau balik lagi. Akibatnya dia berpikir siap-siap pindah ke tempat baru dengan membawa-bawa kemangkelan.

Nicolas Anelka pindah ke Real Madrid dengan harapan besar, namun di klub baru itu dia mengalami kenyataan buruk karena dari awal diperlakukan menjengkelkan, ada penolakan diam-diam sejumlah pemain atas kehadirannya. ‘Real Madrid memperlakukan aku seperti anjing!’ kata dia geram. Akibatnya dia segera sadar betapa mestinya tidak perlu meninggalkan Arsenal, klub yang membentuknya jadi bintang. Di sana dia dapat dukungan dari manajer tepercaya dan teman seklub. Setelah setahun yang sulit di Real Madrid, dengan segera Anelka terus berpindah-pindah klub dalam waktu singkat, namun ia dinilai kehilangan bakat dan kemampuan terbaiknya. Dia sungguh berbeda dibanding Karim Berzema yang betah bertahan dan bisa bersaing terus lebih dari satu dekade di Real Madrid.

Mayoritas orang pindah ke tempat baru karena ingin memperbaiki diri. Memperbaiki diri tidak selalu terkait dengan penghasilan atau uang. Ada orang rela pindah dengan penghasilan lebih rendah, tapi hati dan hidupnya jadi lebih tenang karena bisa berhenti melakukan praktik yang haram dan jahat. Dia merasa lebih berkah. Orang ganti profesi baru dengan pertimbangan bisa lebih baik dan bahagia menjalani hidup pilihannya.

Pindah kerja ke tempat baru mungkin saja merupakan peningkatan karir, pencapaian baru, atau peluang berbuat lebih baik. Tapi tak ada jaminan buat itu. Mungkin segala sesuatunya sudah dipertimbangkan sebelum pindah, tapi hal-hal di luar bayangan tetap bisa terjadi. Sering ada drama, adaptasi, dan risiko di tempat baru. Lepas dari berbagai faktor itu, pindah klub atau tempat kerja baru membuktikan betapa hidup memang terus bergulir dan berganti peran. Bisa jadi peran itu di satu titik berlangsung lama — misalnya jadi pekerja, jadi manajer, jadi petani — lantas berganti dengan cepat, misalnya dipilih sekadar sebagai selingan hidup. Jadi ya terus jalani saja.[]


Anwar Holid — editor dan penulis, tinggal di Bandung. Blog: halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.

Note: foto dari internet.


Friday, January 29, 2021

I'm Not Well, debut album Black Foxxes.

Black Foxxes dan Daya Tahan Mark Holley

Oleh: Anwar Holid

 

Black Foxxes adalah salah satu band paling favoritku sejak sekitar 3 tahun belakangan. Mereka berasal dari kota Exeter, Inggris. Mereka selalu disebut band indie. Genrenya rock alternative. Mereka tidak populer. Di Twitter dan Instagram followersnya masing-masing di bawah 5 k. Videoclip musiknya juga tak ada yang viral.

Motor band ini ialah Mark Holley. Ia berperan sebagai vokalis, gitaris, dan penulis lirik utama. Aku lupa kok bisa 'menemukan' band ini dan suka dengan karyanya. Mungkin dari daftar terbaik tahunan yang suka aku temui di media musik rock online. Waktu itu unit trio ini baru menghasilkan debut album, judulnya I'm Not Well (2016). Judul album dan covernya buatku sangat kuat. Gelap, berupa lukisan cat minyak menampilkan bocah laki-laki yang kelihatan lagi bermasalah dengan tato I'M NOT WELL di tangannya. Waktu menyimak I'm Not Well rasanya album ini dalam, mencekam, dan ekspresif, seperti melampiaskan luka. Benar-benar pantas jadi album favorit.

Setelah I'm Not Well mereka merilis Reiði (2018). Reiði diambil dari b. Islandia, artinya 'marah' (anger, rage). Album ini juga direkam di negara dekat kutub utara itu.

 

Reiði, album ke-2 Black Foxxes.

Yang bikin aku rada aneh sekaligus penasaran ialah pada Mark Holley. Dia sejak awal membentuk Black Foxxes diberitakan punya masalah kesehatan dan sakit mental, berupa kekuatiran berlebihan (anxiety) dan penyakit radang usus kronis (penyakit Crohn). Dia sudah lebih dari 8 tahun menderita radang usus dan belum sembuh sampai sekarang. Penyakit ini memang belum ada obatnya. Salah satu akibatnya si penderita bisa sering mencret dan kehilangan berat badan.

Aku ngebatin: kok bisa ya orang yang bertahun-tahun punya masalah kesehatan dan sakit mental tetap produktif menghasilkan karya bagus?? Buatku ini mengagumkan. Sakit dan depresi tetap membuatnya bertahan, gak membuatnya jadi runtuh, terus berkarya. Berarti mentalnya kuat. Dia terus berusaha mengatasi penyakit dan mengolah kondisi menyakitkan itu jadi sesuatu yang bermakna, bisa dinikmati — meski hasilnya memang tetap terasa murung dan tertekan. Sebagian orang bertahun-tahun mengidap penyakit mengerikan dan terus menerima konsekuensi dampak buruknya, namun mereka tetap mampu menghasilkan kebaikan, karya, yang tampak cemerlang dan seolah-olah bisa mengabaikan penyakit untuk sementara.

Black Foxxes mencerminkan betul merupakan media untuk menyalurkan ekspresi dan kondisi Mark Holley. Tidak ada lagu mereka yang nadanya ceria atau berirama cepat dan mendorong orang ajojing. Rata-rata lagu mereka bertempo sedang atau lambat. Hentakannya keras, seolah-olah tanpa halangan. 'Sataker kebek' dalam istilah Sunda. Sering ada jeda pelan di lagunya, biasanya membuat pendengar termangu atau ngelangut. Suara gitarnya terdengar rendah dan banyak distorsi. Di sejumlah lagu Mark Holley terdengar merintih dan menjerit penuh emosi, seakan ada rasa sakit yang mendorongnya melolong sejadi-jadinya. Itu membuat nyanyiannya terdengar menyerang atau kasar. Beruntung Mark Holley didukung dua temannya Tristan Jane (bass guitar) dan Ant Thornton (drums) hingga bisa menghasilkan dua album.

Black Foxxes (2020), photo by Connor Laws.

Setelah Reiði kelar, mereka kesulitan mendapatkan kontrak rekaman untuk merilis album ketiga. Kondisi ini bikin mereka putus asa. Di masa pandemi, mungkin mereka juga sulit melakukan tur dan tampil di festival. Tekanan itu membuat dua teman Holley ke luar dari Black Foxxes pada awal 2020. Jelas kondisi ini makin membuat Holley kesulitan merilis album sebagai band. Aku pikir mereka akan bubar. Tapi ternyata pada akhir Oktober 2020 mereka merilis album dengan nama sendiri, Black Foxxes, dari label Spinefarm Records, Finlandia. Kebayang kan kesulitan mereka, jika ada band asal negeri yang begitu subur industri musiknya malah mendapat kontrak rekaman dari label di negeri Viking.

Mereka menggunakan nama sendiri sebagai pernyataan kelahiran energi baru, ada transisi ke fase baru. 'Album ini nyaris batal rilis, tapi akhirnya kelar,' demikian kata mereka di akun @blackfoxxes. Ya, di album ini Holley didukung dua teman baru, yaitu Finn McLean (drums) dan Jack Henley (bass guitar). Di album ini mereka menyertakan 2 lagu berdurasi cukup panjang, yaitu "Badlands" (8:29) dan "The Diving Bell" (9:31).[]

Anwar Holid, editor dan penulis, tinggal di Bandung. Blog: halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.