Tuesday, June 23, 2009


[jurnal harian]

13_06_2009

Ternyata aku masih sempat buka-buka The Book of Disquiet (Fernando Pessoa) selama main ke rumah mas Andar Manik & mbak Marintan Sirait di daerah Dalem Wangi, Dago Bengkok (Jajaway), komplek PPR ITB, pada Sabtu, 13 Juni, dari siang sampai magrib. Buku itu menurutku tambah menarik, karena ternyata memuat segala kegelisahan penulisnya---yang bernama Bernardo Soares. Dia seorang asisten perbukuan di sebuah perusahaan pajak yang pendiam; tapi ternyata diarinya betul-betul penuh berisi unek-unek dan berat dengan beragam kedalaman hati yang menakjubkan. Aku yakin, kalau orang punya kesempatan mengungkapkan isi hatinya, kira-kira seperti itulah yang akan mereka omongkan. Rasanya aku pun demikian. Kita jadi benar-benar merasa bicara dengan diri sendiri---yang menurutku lebih sehat daripada mengurusi orang lain.

Sambil duduk-duduk di halaman luas yang hijau, di samping hutan di rumah Bintang itu, kepalaku bilang: sudah lama sekali aku enggak menulis diari. Memang aku terus menulis, tapi hampir semua ingin aku jual--yang sebenarnya seret juga, sebagian enggak jelas nasibnya. Aku berharap besar pada awalnya, tapi ternyata enggak laku-laku. Meskipun puas, dalam hati aku bilang bahwa menulis seperti itu terlalu banyak pamrihnya. Tapi gimana lagi, aku ingin dapat sesuatu dari sana.

Membaca The Book of Disquiet membuat aku merasa seperti itulah harus bila aku menulis: jujur, berani bilang apa saja, tegas, tulus. Antara hati dan kepala sepakat.

Aku membatin, andai aku lepas tanggung jawab dari kewajiban untuk cari nafkah, mungkin seperti inilah yang ingin aku lakukan. Menulis tanpa pamrih, santai, menikmati sore yang cerah (atau hujan sekalipun), ngopi, abai pada persoalan-persoalan luar dari diriku. Keluarga jelas merupakan persoalan dalam diriku, sebab ia bagian dalam diriku.

Ceritanya hari ini anak-anak Jendela Ide mengadakan shooting untuk acara Cita-citaku di Trans 7; Ilalang ikut ke sana. Para orangtua juga pada datang seperti biasa. Tapi kali ini mbak Marintan meminta kami semua jadi bagian dari pertunjukan, bersorak-sorai, tepuk tangan, bersuit-suit, menyemangati anak-anak yang main. Suasana jadi gembira, banyak tawa, ceria. Selama anak-anak dengan semangat main musik, bergerak, meloncat-loncat, mengadakan pertunjukan, orangtua jadi penonton yang bersemangat.

Acara di rumah mbak Marintan ini katanya merupakan ujung dari cerita shooting mereka. Kalau menurut kang Mehonk, dalam kisah itu ceritanya Digun, Hilmy, dan Gilang bercita-cita jadi pemain perkusi yang bagus. Mereka main ke beberapa tempat komunitas musik perkusi, lantas ujungnya mengadakan pertunjukan dengan teman-teman satu kelompoknya, Jendela Ide Kids Percussions.

Rumah mas Andar Manik & mbak Marintan Sirait dari segi penampilan menurutku sederhana, unsur kayunya begitu banyak---mirip rumah Erwinthon-Vinon di Buka Tanah, yang sebenarnya enggak jauh-jauh amat dari situ. Rumah ini berlantai dua, dengan balkon kembar. Bahkan genteng depannya juga tanpa plafon. Yang mencolok juga ialah ia dirancang begitu terbuka, pintu lebar dan orang bisa masuk baik dari tengah (gerbang utama), kanan, dan kiri. Praktis yang tertutup yang kamar penghuninya---tempat privasi. Dinding dominan tersusun dari batu kali bulat telanjang, jadi tampak seperti telur yang ditempel rapi. Rumah ini jadi sangat kontras dengan rumah-rumah sekitarnya karena bentuknya yang alamiah dan sederhana, beda dengan kebanyakan rumah di sana yang rata-rata megah, kukuh, bergaya modern. Halaman yang luas memberi kelapangan tersendiri. Dalam hati aku bilang: seperti inilah halaman impian Ubing.

Aku sendiri rasanya sudah lama sekali nggak pernah ke daerah ini. Mungkin terakhir kali aku ke sini yang waktu ke rumah paman Ilham atau lebih lama lagi, ke rumah mas Taufik Rahzen, persis di bagian atas daerah mbak Marintan. Tadinya juga Ubing dan Shanti mau ikut; tapi hujan. Sejujurnya, repotnya pergi bareng sekeluarga ialah soal ongkos angkot yang terasa mahal. Sebenarnya, ongkos itu murah; tapi kalau enggak terjangkau, ya tetaplah mahal. Segala yang tidak terbeli itu artinya mahal. Ah, Wartax, berhenti merusak hari kamu yang sebenarnya menyenangkan.[]19:51


KALAU KAMU INGIN MELANJUTKAN, LEBIH CEPAT, ATAU MEMBERI KEJUTAN

---Anwar Holid


Dalam dua kali Jumatan ini, tukang khotbah di depanku selalu bicara tentang pemilihan presiden 2009 yang akan datang. Entah kenapa selama khotbah itu aku juga tidak ngantuk dan mendengarkan pesan mereka. Tentu saja pesan mereka moralistik dan nyaris absurd, sebab menginginkan pemimpin yang tidak tersedia dalam pilihan. Mereka bilang, pilihlah pemimpin yang adil bijaksana, bertakwa kepada Tuhan, menolong orang miskin, meneladani moral dan tindakan Muhammad Saw. Pesan itu membuat hatiku tertawa sebelum akhirnya ikut shalat Jumat.

Rumus pemilihan presiden tahun 2009 ini sebenarnya sederhana. Kalau kamu ingin MELANJUTKAN semua yang terjadi di Indonesia selama ini, pilihlah SBY-Boediono. Kalau kamu yakin bahwa LEBIH CEPAT LEBIH BAIK, pilihlah JK-WIRANTO. Kalau kamu ingin MEMBERI KEJUTAN kepada negerimu, tinggal pilih MEGA-PRABOWO. Kalau kamu malas dengan tiga pilihan itu, tidurlah pada hari pemilihan umum atau sibuk ikut Facebook. Setel musik, putar film, lihat gosip, baca tabloid. Ada banyak pilihan menarik juga di hari itu, dan sisanya kemungkinan tetap akan baik-baik saja sampai lima tahun ke depan.

Tapi bagi sebagian orang, pemilihan presiden itu penting. Budi Warsito, temanku yang tinggal di Ujung Berung bilang, "Pemilihan presiden itu penting lho mas. Kan menentukan kepala negara. Mau apa kita kalau salah pilih? Jadi aku akan milih satu di antara dua. Satu lainnya itu mah sudah jelas bukan pilihan. Enggak mau saya milih itu." Urip Herdiman Kambali, penyair tinggal di Jakarta, dalam posting "Isu Pertahanan Dalam Kampanye Pilpres 2009" membahas betapa memprihatinkannya wawasan pertahanan ketiga calon pasangan kepala negara itu---meskipun tiga-tiganya punya unsur militer. Dua orang tukang khotbah barusan jelas akan ikut mencontreng, meski dia tentu bakal bingung sendiri menentukan siapa pasangan yang sesuai dengan pesannya. Pendapat itu akan menghantui dirinya, karena ternyata suaranya mirip gaung kosong. Sejumlah ilmuwan bayaran, tim sukses, pemeran beserta rombongan dalam iklan politik, sudah pasti akan memilih patron masing-masing. Seorang saudaraku malah lebih tegas lagi: dia akan cabut ke luar negeri kalau jagoannya kalah. Dia menolak bila harus dipimpin oleh orang bukan pilihannya. Keputusan berani.

Aku juga sudah berkali-kali menerima email baik berupa dukungan dan hujatan atas ketiga pasangan itu, tapi semua langsung aku delete. Aku menganggap itu sama dengan email ajakan bisnis internet dengan pendapatan lima milyar sebulan.

Aku sendiri hidup tanpa patron politik, sementara iklan politik hanya membuat bibirku bergerak sedikit, dan boleh dibilang sudah kehabisan patriotisme. Jadi kemungkinan aku akan sekadar jadi komentator. Negara dan politik kerap hanya membuat aku sedih. Ia sama dengan komoditas. Berguna kalau ada maksudnya. Ia digunakan untuk kepentingan tertentu. Aku nangis nonton Letters from Iwo Jima dan Flag of Our Fathers (karya Clint Eastwood), juga film-film pendek dalam 9/11, baca Angsa-Angsa Liar (Jung Chang), tapi entah kenapa itu hanya mengeraskan pendapat bahwa manusia adalah korban situasi politik.

Saking nihil, aku bahkan berspekulasi, meski penderita paranoid mengepalai negeri ini pun sebenarnya kita tetap bisa baik-baik saja. Bahkan mungkin hal itu bisa memberi peluang terjadinya kejutan. Lihatlah pengalaman sejarah. Bukankah sebagian kepala negara, kaisar, atau raja itu menderita sakit tertentu? Zaman perang dan sengsara yang hebat malah bisa membentuk manusia hebat. Sartre besar setelah dia melewati zaman perang yang fatal. Zaman penjajahan yang menakutkan memberi bekas pada karya-karya Budi Darma yang legendaris. Krisis identitas dan rasialisme di Amerika Serikat mewujudkan sosok yang berpengaruh dalam diri Barack Obama.

Zaman hedonistik seperti sekarang melahirkan filsuf dekaden seperti Michel Foucault. Kemajuan teknologi informasi memungkinkan Anwar Holid merasa perlu sibuk mengurusi soal yang dia anggap penting. Membuat setiap orang kalau mau bisa tampil sesuai gambaran yang dia inginkan sendiri.

Ayo kita awas sebentar. Rezim Suharto yang konon represif toh masih menyisakan banyak pemuja fanatik. Presiden Gus Dur yang konon pahlawan HAM, suka ceplas-ceplos, dan egaliter ternyata malah diberhentikan dengan paksa. Apa SBY-JK berhasil membuat kehidupan sosial dan ekonomi kita semua lebih baik? Apa kebijakan politik, campur tangan mereka, benar-benar merupakan wujud kemurahhatian sebagai kepala negara?

Masih ada banyak orang selamat dan baik-baik saja ketika Hitler memimpin Jerman secara mengerikan.

Ajaib. Meskipun skeptis pada politik, ternyata aku masih bisa menulis soal ini dengan gembira, seakan-akan harapan tetap ada, bahwa dengan menuliskannya aku akan bahagia. Sekilas aku perhatikan, iklan politik tiga calon presiden dan wakilnya itu hanya terdiri dari tiga jenis, yaitu (1) mengusung mitos megalomaniak, (2) dukungan-sokongan, (3) pamrih nama. Di Bandung, walikota Dada Rosada mendukung JK-Wiranto, sejumlah kaum petani ada di belakang Prabowo, dan intelektual bayaran memasang spanduk untuk mendukung SBY. Aku pilih mendukung diri sendiri.

Jadi sekarang bagaimana?

Harapanku sederhana. Semoga Jumat depan aku enggak mendengar lagi omong kosong tentang pemilihan presiden, apalagi dengan kriteria pemimpin ideal untuk bangsa ini. Atau kalau tukang khotbah tetap ngotot, semoga aku sudah tertidur, dan bangun-bangun tinggal shalat. Setelah itu, aku ingin melanjutkan, lebih cepat, dan memberi kejutan atas kerja-kerja yang jadi tanggung jawabku.[]

Thursday, June 11, 2009



Warisan Literer Bernama
Tetralogi Laskar Pelangi

---Anwar Holid


Baru saja saya menemukan kartu voucher isi ulang seri Laskar Pelangi keluaran sebuah operator telepon selular. Gambarnya sama dengan versi poster film tersebut. Begitu melihat kartu itu, angan-angan saya mencari tahu, produk apa saja yang sudah memanfaatkan merchandise dari turunan karya ini? Apa sudah ada cangkir dan handuk bergambar Laskar Pelangi? Mendadak saya membatin, "Kalau sudah begitu berhasil menyelusup ke banyak celah kehidupan, apa buku itu pantas disebut sebagai warisan literer bangsa Indonesia?"

Pertanyaan ini seakan-akan terasa "grandeur", tapi entah kenapa saya tergoda untuk menemukan jawabannya. Boleh jadi karena meledaknya tetralogi Laskar Pelangi membuat saya mengira bahwa novel ini merupakan contoh sempurna dari teori "Black Swan" (Angsa Hitam), yakni sesuatu yang muncul secara mendadak, kebetulan, namun pengaruhnya mampu meruntuhkan pandangan dunia sebelumnya.

Saya mengeksplorasi sejumlah komentar terhadap tetralogi tersebut. Cukup banyak komentar tersedia, bahkan sebuah situs mencuplik pendapat saya sendiri terhadap Laskar Pelangi, yakni berasal dari kolom Selisik (Republika), pada 30 Januari 2006: "Laskar Pelangi nyata-nyata mampu menarik perhatian publik dan membuat banyak orang merasa terlibat." Waktu itu saya menghadiri talkshow di Galeri Soemardja, ITB beberapa minggu setelah novel itu terbit. Orang-orang membahas isu pendidikan di dalamnya. Salah satu aspek menonjol yang lahir dari fenomena Laskar Pelangi ialah betapa tetralogi ini mampu menjadi bahan pembicaraan banyak orang terutama dalam hal pendidikan dan berhasil memenuhi selera massa yang begitu besar---meski golongan yang resisten juga terus-menerus mempertanyakan ada apa di balik fenomena tersebut.

Saya butuh pendapat yang relevan dan cukup menguatkan bahwa tetralogi ini memang pantas untuk dinisbatkan sebagai warisan literer Indonesia, kira-kira setara bila kita dengan bangga menyebut-nyebut bahwa sebuah buku tertentu pantas masuk dalam kategori masterpiece (adikarya)? Adakah syarat tertentu yang membuat sebuah buku bisa dianggap sebagai warisan literer? Atau boleh semata-mata dilihat dari penerimaan publik?

Misal pada kasus gambar kartu voucher isi ulang tadi. Operator telepon selular memilih mengeluarkan kartu voucher seri para pesohor jelas karena alasan dan sasaran khusus, di antaranya ialah mempertimbangkan faktor popularitas. Seperti dulu saya pun pernah mengambil kartu voucher bergambar Coldplay, grup rock asal Inggris yang mendunia. Karena image mereka sudah begitu familiar, operator berharap massa bisa dengan mudah menyerap komoditas tersebut. Di sisi lain, produser merasa telah mengeluarkan sesuatu yang berharga, collectible (pantas dikoleksi dan dicari-cari), dan membanggakan buat pangsa pasarnya.

Begitu juga halnya dengan Laskar Pelangi. Sebagai komoditas, dikemas lewat berbagai media Laskar Pelangi tetap mampu menarik minat banyak orang. Berbagai produk turunan dari sana pun tetap diserbu pembeli, bahkan berpotensi menjadi fetish. Itu menunjukkan mereka sama-sama merasa ikut memiliki atas sebuah produk. Ingin menjadi bagian dari budaya massa.

Komentar Riri Riza (sutradara) dan Mula Harahap (pelaku penerbitan) terhadap novel tersebut mungkin cukup bisa menggambarkan kekuatan kandungan sosio-kultur di dalamnya. Kata Riri, "Andrea Hirata memberi kisah indah tentang keragaman dan kekayaan tanah air, sekaligus memberi pernyataan keras tentang realita politik, ekonomi, dan situasi pendidikan kita. Tokoh-tokoh dalam novel ini membawa saya pada kerinduan menjadi orang Indonesia." Sementara Mula berkomentar, "Cerita-cerita yang dituturkan oleh Andrea Hirata ini menjadi menarik karena ia diletakkan dalam setting Magai yang terpencil itu, tempat budaya Melayu berinteraksi dengan budaya Cina Khek, dimana ekonomi nelayan berinteraksi dengan ekonomi perusahaan tambang timah, dan nilai moral Islami berinteraksi dengan nilai modern yang dekaden."

Lepas dari sejumlah bocel yang diperlihatkan oleh para pengkritik untuk membuktikan kelemahan kisah tersebut, tetralogi Laskar Pelangi menyimpan banyak daya tarik. Begitu kuat dayanya, hingga bisa mempengaruhi keluarga-keluarga yang awalnya boro-boro mau belanja buku selain buku wajib untuk sekolah anaknya, akhirnya rela membelikan novel itu dengan harapan agar anaknya terinspirasi oleh Ikal dan kawan-kawan.

Kritik yang paling menarik minat saya terhadap tetralogi tersebut ialah kajian sisi poskolonialisme di dalamnya. Topik ini mula-mula muncul dari esai Heru Hikayat---yang lebih terkenal sebagai kurator seni rupa daripada kritikus buku---untuk diskusi lain Laskar Pelangi di sebuah universitas. Persoalan itu muncul lagi dari esai "Mengantar dari Luar" (Puthut E.A.) dan buku LASKAR PEMIMPI; Andrea Hirata, Pembacanya dan Modernisasi (Nurhadi Sirimorok). Ketiga orang ini penasaran, kenapa Ikal begitu terpikat pada Jakarta, sementara masyarakat kaumnya menganggap bahwa Jawa merupakan simbol peradaban, kemudian saat dewasa menilai Eropa sebagai jantung kemajuan umat manusia. Mereka menemukan ternyata Ikal inferior terhadap budaya sendiri, dan kerap menjadikannya sebagai bahan olok-olok. Ironi yang menghibur. Kritik Puthut E.A. masuk akal: "Semoga akan ada banyak karya yang mengkritisi isi produk sastra kita; semoga ada yang punya waktu luang, kesabaran dan keberanian untuk membeberkan dimensi politik dan ekonomi sastra kita. Tanpa pengetahuan soal itu, para pelaku sastra ibarat bermain pedang di lanskap gelap."

Di Maryamah Karpov (Bentang, 2009)---novel terakhir tetralogi Laskar Pelangi---olok-olok itu sangat terasa, sampai menghabiskan hampir seperempat bagian isi buku. Meski begitu, Ikal kembali pada akarnya, menggali dan mengagungkan kekuatan budaya setempat, menggunakan warisan leluhurnya. Dia berani menanggalkan atribut kebanggaan setelah merantau amat jauh dari luar pulau untuk menyadari betapa kaumnya sendiri memiliki sesuatu yang pantas dibanggakan.

Sebagai produk budaya, tetralogi Laskar Pelangi cukup universal, ia bisa dinikmati baik oleh orang dewasa dan anak-anak. Isu utama yang muncul dari komoditas produk tersebut ialah soal pendidikan, warisan budaya, identitas, dan penghormatan pada orangtua. Rupanya, publik juga menerima strategi tersebut dengan antusias. Ini terlihat dari reaksi para guru, orangtua, murid-murid, pembaca buku, juga penonton film. Produk turunannya boleh dibilang selalu mereka tunggu. Seperti sekarang, ketika film Sang Pemimpi sedang dalam tahap proses produksi.

Nah, apakah publik akan benar-benar menganggap rangkaian buku Laskar Pelangi ini sebagai warisan budaya atau semata-mata komoditas, bisa jadi bergantung pada penilaian masing-masing orang, terutama seberapa berharga makna buku tersebut buat dirinya.[]


ANWAR HOLID, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Bekerja sebagai editor & penulis freelance. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Copyright © 2008 oleh Anwar Holid

Informasi lebih banyak di:
http://www.klub-sastra-bentang.blogspot.com
http://www.mizan.com

Tuesday, June 09, 2009

Foto-foto konser Efek Rumah Kaca di Rumah Buku dalam program "Rukustik"


Efek Rumah Kaca jadi band pertama yang tampil di Rukustik


Adrian dan Cholil sedang cek sound


Rani di belakang terus bekerja merekam acara ini



Cholil nyanyi Hallelujah versi Jeff Buckley

PS: Kalau butuh foto ERK di Rukustik dengan resolusi besar, silakan hubungi aku atau langsung ke Rumah Buku.


Seeking Truth Finding Islam di Kamisan FLP Bandung

--Anwar Holid


Secara kebetulan, bertepatan saya menerima bukti dua kopi cetakan ke dua buku Seeking Truth Finding Islam (Mizania, 184 hal.), anggota FLP (Forum Lingkar Pena) Bandung membicarakan buku tersebut pada forum Kamisan, 4 Juni 2009 di teras Masjid Salman ITB, pukul 16.00-18.00 WIB.

"Yang biasa hadir memang tidak banyak. Tapi Kang, kalau luang, pasti akan menyenangkan kalau Akang bisa datang dan membagi pengalaman menulis buku itu," demikian email dari Wildan Nugraha, ketua FLP Bandung, pada akhir Mei lalu mengabarkan rencana acara tersebut.

Tertulis, yang akan membahas buku tipis tersebut ialah Jaka Arya Pradana, anggota FLP Bandung mahasiswa ITTelkom.

Saya datang ke masjid itu dengan antusias, namun sayang lupa bawa kamera untuk dokumentasi. Begitu sampai, saya berkeliling mencari-cari Wildan, karena dialah anggota FLP yang wajahnya benar-benar saya hafal. Sayang tidak ketemu. Dulu, kami berdua pernah sama-sama jadi juri lomba mengarang anak-anak yang diadakan masjid ini. Saya lihat sejumlah anak SMU duduk berkelompok membahas pelajaran sekolah didampingi seorang mentor. Mereka itu anak bimbingan belajar dari Karisma (Keluarga Remaja Islam Salman). Akhirnya, saya mampir dulu ke Aksara, sebuah unit bidang jurnalistik yang menggantikan SKAU (Salman Komunikasi Aspirasi Ummat), tempat saya dulu waktu mahasiswa bergabung cukup lama. Saya bertemu Salim, Okky, dan seorang temannya. Mereka sedang rapat.

"Ketemu Wildan enggak ya?" tanya saya sebentar membuyarkan konsentrasi mereka.
"Enggak, mau ke bedah buku ya?" tanya Salim.
"Iya. Biasanya mereka ngumpul di belah mana?" tanya saya.
"Tuh di sebelah kiri. Kelihatan kok dari sini. Belum pada datang kali," tambah Okky.

Untuk menghabiskan waktu, saya lihat Koran Tempo hari itu. Headlinenya tentang Prita, seorang ibu rumah tangga yang mendadak jadi pusat berita gara-gara ditangkap dan di penjara dengan tuduhan pencemaran nama baik terhadap RS Omni International, Tangerang. Waktu pertama kali dengar kasus itu dari Fenfen, saya bilang, "Keterlaluan." Saya justru barusan saja selesai menyunting memoar seorang istri dalam merawat suaminya yang terkena stroke lebih dari satu tahun dan berhubungan sangat baik dengan pihak dua rumah sakit.

Selesai browsing berita koran, saya mendapati teras kiri masjid sudah terisi sejumlah orang duduku melingkar. Mereka sudah mulai beberapa waktu. Wildan ada di sana. Seorang gadis berjilbab lamat-lamat terdengar mengomentari buku berisi profil panjang empat orang Barat yang masuk Islam (convert, atau mualaf dalam konsep Islam). Keempat orang itu ialah Yusuf Islam (Cat Stevens), Ingrid Mattson, Keith Ellison, dan Hamza Yusuf Hanson. Ternyata Jaka Arya Pradana urung datang, dia sakit. Kira-kira hadir dua puluh orang. Salah satu di antaranya ialah Hendra Veejay, seorang penulis yang masuk Islam sejak SMP.

Meskipun kerap merupakan pengalaman hidup yang emosional, dramatik, dan drastik, konversi pada dasarnya sesuatu yang biasa dalam ranah agama. Orang ke luar dan masuk agama tertentu, atau menyatakan antipati, bahkan ateis.

Menurut William James dalam Perjumpaan dengan Tuhan (terjemahan The Varieties of Religious Experience, Mizan, 2004), konversi tidak identik sebagai perpindahan formal seseorang dari agama lama ke agama baru disertai semangat menggebu-gebu. Menurut dia, pemeluk agama yang terpanggil lagi, merasakan kelahiran baru beragama, bersemangat lagi menjalani kehidupan beragama, orang tersebut mengalami konversi. Konversi serupa dengan perubahan seketika seseorang yang awalnya mungkin biasa saja bersikap terhadap agama menjadi lebih patuh maupun taat (devosi). Konversi merupakan salah satu ragam pengalaman agama yang sangat kental.

Dalam konteks Islam, menjadi mualaf betul-betul merupakan persoalah hidayah (petunjuk) Allah kepada seseorang, ditambah merupakan konsekuensi logis dari pencarian iman. Bukti sederhana dari ini ialah ada banyak sarjana Islam yang begitu dekat dengan Islam, mereka pun dihormati kalangan Muslim, namun toh tetap bukan seorang Muslim pada akhir hayatnya. Dia tidak pernah secara eksplisit terdengar menyatakan diri masuk Islam.

Dalam konteks hubungan antaragama, konversi justru sensitif. Cap "Kristenisasi" di kalangan Islam menurut saya merupakan istilah yang amat berbahaya dan mematikan bagi dialog keterbukaan. Persoalannya, terutama di zaman media dan komoditas sekarang, semua agama memiliki lembaga dakwah (syiar) yang tujuannya memperkenalkan diri mereka. Saya mendapati bahwa pengetahuan seseorang terhadap agama lain biasanya minim. Saya sendiri boleh dikatakan buta terhadap agama-agama Abrahamik (Abrahamic religions) yang sebenarnya satu muara dan punya banyak pertalian, misalnya dalam hal kitab suci.

Saya bersyukur dan senang teman-teman FLP Bandung membicarakan Seeking Truth Finding Islam. Dulu saya sempat mengusahakan agar isyu dalam buku itu dibahas di Masjid Laotze, Bandung. Mungkin menarik buat menguji dialog antaragama. Sayang respons Mizan negatif. Wildan menyatakan bahwa ruang di gedung Rabbani--toko baju dan asesoris Muslim--bisa digunakan untuk acara seperti bedah buku atau talkshow. Saya janji akan kembali mengontak orang Mizan, siapa tahu kesempatan itu bisa terbuka kembali.

Selesai acara, saya membicarakan lebih banyak hal lagi dengan Salim, Okky, dan Irvan di Aksara. Mungkin sampai pukul 21.00.[]

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

ANWAR HOLID, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.

KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Situs terkait:
http://www.mizan.com



Konser Diam-diam Efek Rumah Kaca

---Anwar Holid


Band Efek Rumah Kaca (ERK) manggung tanpa disertai publisitas di Rumah Buku, Bandung. Main secara akustik, membawakan lagu-lagu dari dua album mereka, diselingi kejutan menyanyikan beberapa cover version, dalam konser yang berlangsung intim dan dirancang bagus.

BANDUNG - Masih dalam suasana agak murung karena kemarin Shanti panas demam dan kondisi finansial masih melarat, aku sekeluarga datang ke Rumah Buku untuk nonton band Efek Rumah Kaca pada Sabtu, 6 Juni 2009. Seminggu lalu tersiar kabar dari mulut ke mulut bahwa band indie yang lagi hip ini akan manggung di tempat yang asri ini. "Tapi jangan bilang-bilang orang lain ya, soalnya mereka ingin bikin kejutan kayak konser rahasia, gitu," kata orang waktu aku terakhir ke sana untuk pinjam buku The Book of Disquiet (Fernando Pessoa).

Tubuh Shanti sudah normal sejak pagi tadi, dan keceriaannya juga pulih. Itu membuat kami berani membawanya. Rumah Buku sudah lebih ramai dari biasanya waktu kami datang. Teras belakang mereka sedang disetting menjadi "ruang keluarga" untuk persiapan main Efek Rumah Kaca. Fenfen dan Ilalang kangen-kangenan dengan menyapa orang-orang yang mereka kenal. Rani dan Budi dari Rumah Buku menyambut dengan ramah dan lucu-lucuan. Dalam suasana seperti itu, kesenangan menghampiri dan aku merasa mudah penuh terisi oleh kelegaan.

"Maaf ya, mulai mainnya jadi jam setengah lima. Soalnya kita ingin dapat suasana sore yang bagus," entah kata Rani atau Budi yang bilang waktu jam sudah menunjukkan pukul 15.30, jadwal mereka manggung. Wah, makin malam kami pulang, makin kuatir kami pada kondisi Shanti. Orang demam bisa balik panas lagi kalau belum-belum pulih. Bandung hari itu panas, meski sempat turun gerimis sebentar. Menjelang konser cuaca cerah sekali.

"Yang datang ternyata cukup banyak juga ya. Tadinya kami khawatir nggak akan ada yang datang karena sok-sok bikin konser diam-diam, gitu," kata Cholil menyapa penonton yang pada duduk memenuhi taman beralaskan koran dan berbekal losion antinyamuk. Konser tanpa pemberitahuan ini mengingatkan aku pada Heima, film karya grup Sigur Ros tentang mudik mereka di Islandia setelah sekitar setahunan tur keliling dunia. Film kebanyakan berisi scene alam terbuka dan suasana lingkungan yang dramatik.

Aku baru pertama kali ini lihat Efek Rumah Kaca. Sound gaya unplugged mereka menurutku keren. Cholil memainkan gitar akustik yang setting suaranya mengeluarkan bunyi begitu kuat dan penuh, hingga melodi-melodi yang tinggi dan nyaring dari album mereka tersalin dengan sempurna. Adrian main bass dengan kalem, mengiringi sebagai backing vokal. Akbar menurutku tampak sangat santai dan paling enak dilihat. Gerakan tubuhnya di tengah set drum terlihat ritmik, sambil tangan dan kakinya bekerja. Hentakan drumnya asyik; tidak terdengar sebagai pukulan drum nada pop, tetapi malah seperti dalam band jazz atau progresif rock.

Pilihan nada mereka mengingatkan aku pada grup seperti Pink Floyd dan Coldplay. Secara musikalitas, gaya akustik ini terdengar mirip dengan pilihan Damien Rice. Gitar dan bass dibuat seakan-akan bergema, iringan pukulan drum atraktik, jadi meskipun mereka trio, musiknya penuh. Tak ada ruang kosong yang terdengar karena mereka sedikitan. Lagu-lagu mereka yang kurang akrab bagi telinga yang tiap hari mendengar nada pop juga menguatkan mitos pada grup ini.

Efek Rumah Kaca bilang bahwa mereka grup pop, tapi pilihan nada, aksi, juga pernyataan mereka justru bertentangan sebagai band pop yang haus publisitas atau menciptakan lagu yang mudah didengar. Mungkin mereka mau memudahkan. Mereka tidak menyiratkan sebagai band pop. Langkah mereka tidak populer; aku pernah lihat foto mereka bertiga mengenakan t-shirt bertuliskan: Pasar Bisa Diciptakan. Menurutku mereka grup alternatif atau postrock. Banyak orang bilang grup ini politis, seperti terbukti dari beberapa lagunya. Mereka juga justru mengkritik budaya pop dan konsumerisme. Mau mengubah dari dalam?

Adrian menyanyikan "Laki-laki Pemalu."

Mungkin itu yang membuat lagu-lagu mereka agak susah dihafal. Aku beberapa bulan ini dengar album ke dua mereka, Kamar Gelap, dengan hanya mudah ingat Mosi Tidak Percaya (lagu yang sangat politis), Kenakalan Remaja di Era Informatika (singel dari album ini), dan Laki-laki Pemalu. Dari album pertama, yang teringat mudah ialah Cinta Melulu, Terus Belanja Sampai Mati, dan tentu saja lagu yang membuat mereka bisa memikat banyak orang: Di Udara---sebuah lagu yang konon tentang Munir, karena memang didedikasikan buat dia.

Sore itu Efek Rumah Kaca main dua sesi. Sesi pertama berlangsung sampai menjelang magrib. Aku ikut berdendang tapi terkadang lupa judulnya. Sesi kedua Cholil main dengan mengenakan sweater, mungkin kedinginan oleh hawa yang mulai dingin. Dia mula-mula menyanyikan dua cover sendirian, lantas memanggil Adrian dan Akbar untuk memainkan Hallelujah dari versi Jeff Buckley. Ini mungkin kejutan buat para pengunjung. Adrian juga nyanyi Laki-laki Pemalu. Selama konser berlangsung, Rani terus melakukan shooting. Budi bilang pada penonton bahwa konser ini direkam. Aku berharap agar acara bernama "Rukustik" rekaman ini nanti dirilis sebagai live album.

Budi Warsito ngajak ERK ngobrol seputar dunia band.

Kami terpaksa pulang lebih awal, setelah Budi mengajak trio ini ngobrol dengan lucu. Tubuh Shanti kembali lebih hangat, jadi Fenfen dan aku khawatir. Gerimis juga sudah turun agak sering. Entah bagaimana konser itu berakhir, apa mereka jalan terus meski gerimis, atau harus berhenti karena penonton tentu mulai basah. Aku senang bisa nonton acara musik yang bagus dan beli pin ERK gambar pohon meranggas. Ilalang dan Shanti juga gembira. Fenfen banyak ngobrol dengan teman-temannya. Sabtu sore yang memuaskan, sebelum aku harus antusias untuk kembali berhadap-hadapan dengan wajah kehidupan yang menyeringai mengancam.[]

Copyright © 2008 oleh Anwar Holid

KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Situs terkait:
http://www.rukukineruku.com
http://halamanganjil.blogspot.com (foto-foto konser)
http://efekrumahkaca.multiply.com
http://www.myspace.com/efekrumahkaca


Mengajarkan (Kembali) Pancasila

---Sidik Nugroho*)

Pancasila di Zaman Presiden Soekarno
Setelah terhimpit akibat kalah pada Perang Dunia II, kita tahu Jepang membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dalam sebuah sidang yang berlangsung pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945, pertanyaan besar yang muncul ke permukaan dalam sidang adalah, "Bila merdeka, apa yang akan menjadi dasar negara Indonesia?"

Mr. Muhammad Yamin, pada sidang Selasa, 29 Mei 1945 mengemukakan lima dasar negara, yaitu: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dua hari berikutnya, 31 Mei 1945, Dr. Supomo mengajukan lima dasar lain yang mirip, yaitu Persatuan, Kekeluargaan, Mufakat dan Demokrasi, Musyawarah, dan Keadilan Sosial.

Segenap peserta sidang kemudian mendapat pencerahan setelah Ir. Soekarno maju untuk berpidato tentang dasar negara yang digagasnya pada tanggal 1 Juni 1945. Lima dasar yang dikemukan oleh Sukarno adalah Kebangsaan, Kemanusiaan, Kerakyatan, Keadilan Sosial, dan Ketuhanan. Dasar-dasar itu diberi istilah sebagai Pancasila. Soekarno kemudian juga meringkas lagi lima hal itu menjadi tiga, atau disebut Trisila, yaitu Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan. Terakhir, ia memaktubkan kelima hal itu dalam Ekasila, yaitu Gotong Royong.

Isi pidato Soekarno itu sebenarnya merupakan kristalisasi pemikiran yang ia gagas dalam buku Nasionalisme, Islam dan Marxisme (1926). Pidato Soekarno ini amat bersejarah. Hadirin antusias, mereka bertepuk tangan dan bersorak riuh-rendah.

Setelah merdeka, tantangan Indonesia berikutnya ialah adanya ideologi yang memang sejak awal telah disinyalir oleh Soekarno sebagai kekuatan cukup besar dalam pidatonya, yaitu Islamisme. Bahkan antara tahun 1957 hingga 1959 berkembang pemikiran di Dewan Konstituante untuk merumuskan kembali dasar negara, yaitu memilih di antara tiga: Pancasila, Islam, atau Sosio-Demokrasi.

Namun Indonesia tetap menjunjung Pancasila sebagai dasar negara. Ini mengingatkan isi pidato Soekarno, "Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, mau pun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat ... kita hendak mendirikan suatu negara 'semua buat semua'."

Pancasila di Zaman Orde Baru dan Reformasi
Di zaman Orde Baru, kita tahu ada kenyataan pahit nan membosankan tentang P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Alih-alih menjunjung Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, pemerintah malah menjadikan Pancasila sebagai dogma dengan cara yang begitu kaku. Posisi Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi mulai luntur sebab betapa datar dan membosankan sesi-sesi tentang Pancasila yang dikemas dalam P4.

Ketika Orde Baru tumbang oleh mahasiswa, bangsa Indonesia mencari-cari lagi ideologi yang pas di era Reformasi. Buku-buku "haluan kiri" banyak terbit, meski pemerintah menganggap isinya mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara, dan sebagian isinya memuat wacana filosofis dan ideologis liberal. Liberalisme membuat kita berpikir ulang: apakah Pancasila tetap (dan akan terus) menjadi dasar negara?

Pancasila faktanya tetap menjadi ideologi bangsa dan dasar negara, walau kita mungkin masih samar bagaimana kedudukan itu bisa mewujud nyata dalam keseharian berbangsa dan bernegara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidato tiga tahun silam menghimbau agar kita hendaknya "... meletakkan Pancasila sebagai rujukan, sumber inspirasi dan jendela solusi untuk menjawab tantangan nasional.... Sebab Pancasila adalah falsafah, dasar negara dan ideologi terbuka."

Pernyataan ini amat sesuai dengan ucapan Roeslan Abdulgani bahwa Pancasila yang kita miliki bukan sekadar berisikan nilai-nilai statis, tetapi juga jiwa dinamis. Kini, ketika pengaruh kebudayaan asing semakin kuat akibat globalisasi, perlu ada upaya untuk kembali menghadirkan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa. Kedinamisan jiwa Pancasila dapat diwujudkan lewat pendidikan.

Tantangan bagi Dunia Pendidikan
Dr. Anhar Gonggong, seorang sejarahwan, menyatakan pendidikan Pancasila berperan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila dapat ditanamkan secara memadai "... lewat ilmu sejarah, dengan menerangkan secara benar proses kelahiran dan perumusannya. Atau lewat ilmu kenegaraan, bagaimana kita bernegara secara Pancasilais. Jadi, Pancasila bisa berkembang dan tidak sekadar dikunyah-kunyah sebagai alat verbalistik. Pancasila harus menjadi ide realistik."

Semoga dalam peringatan hari lahir Pancasila setiap 1 Juni, guru dapat merenungi lagi sejarah panjang kelahiran dan eksistensi Pancasila. Sebagai salah satu ujung tombak kemajuan bangsa, guru perlu mentransfer jiwa Pancasila yang dinamis dalam diri anak didik di setiap jenjang pendidikan demi menghindarkan generasi penerus bangsa makin parah digerogoti budaya serba instan a la Barat. (*)

*) Sidik Nugroho ialah alumnus Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang. Berprofesi sebagai guru IPS dan Kewarganegaraan SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo. Pengelola blog http://tuanmalam.blogspot.com.