Tuesday, December 18, 2007

[HALAMAN GANJIL]

Kali Ini Amat Beruntung
-----------------------
--Anwar Holid



Aku termasuk pendengar yang sangat suka duo Tuck & Patti. Tuck, gitaris pria kulit putih, bukan saja sangat lincah dan mahir main gitar akustik senar kawat, melainkan petikannya juga terdengar amat khas. Sementara Patti, vokalis wanita kulit hitam, bernyanyi penuh ekspresi, suaranya 'agem', termasuk ala scat sing kala berkejar-kejaran penuh harmonis dengan iringan gitar partnernya. Mereka berdua konon suami-istri, karena aku belum pernah lihat sertifikat pernikahan mereka. Mereka boleh dibilang pasangan unik, saling isi, sama-sama berambut kriwil. Bedanya rambut Tuck pirang keperak-perakan, sementara rambut Patti sehitam arang.

Bukti bahwa aku suka duo itu jelas, aku punya album-album mereka, terutama sekarang dalam bentuk mp3. Dulu aku punya kaset The Very Best Of mereka, tapi sekarang entah di mana. Dulu waktu zaman Audiogalaxy, aku mendownload lagu mereka sebanyak mungkin, dan dapat lumayan. Sementara dari ngopi dari koleksi Rumah Buku dan pinjam ke beberapa teman, mungkin aku punya 5-6 album mereka. Favoritku ternyata tetap, yaitu album The Very Best Of dan As Time Goes Bye. Sementara lagunya antara lain Better Than Anything, Time After Time (cover lagu Cindy Lauper), My Romance, Sukiyaki, On A Clear Day, They Can't Take That Away From Me, dan lain-lain. The Very Best Of Tuck & Patti merupakan salah satu album favoritku sepanjang masa, semua lagu dalam album itu asyik buat didendangkan.

Aku sekali lagi agak yakin pertama kali suka mereka dari KLCBS, radio jazz di kota tempat aku tinggal, Bandung. KLCBS itu stasiun favoritku, lepas bahwa aku sebenarnya suka dengar rock atau heavy metal. Setelah itu aku cari kasetnya di Cihapit, pusat kaset & CD bekas paling terkenal di Bandung. Lama-lama kesukaanku pada mereka terpatri. Dulu aku beruntung sempat nonton konser mereka di Sabuga, mungkin kira-kira pada 1987, bareng seorang senior, waktu aku masih kerja di Mizan. Tuck & Patti waktu itu datang bareng Stanley Jordan, seorang gitaris jazz elektrik yang juga menarik dan asyik, termasuk dalam mengolah lagi lagu-lagu pop dan rock jadi komposisi jazz yang menggairahkan. Aku juga sudah lupa berapa harga tiket Tuck & Patti plus Stanley Jodan dulu; mungkin Rp.25.000,- kalau bukan Rp.50.000,-; tapi yang jelas akustik di Sabuga cukup maksimal untuk bisa menikmati pertunjukan mereka. Kalau dikenang-kenang, alangkah surut ke belakang masa itu, masa ketika aku bisa merelakan uang untuk nonton konser, beli CD, atau nonton film---tapi patut dicatat, yang gratis dan berkualitas juga banyak aku alami.

Waktu tengah malam lihat-lihat detik.com, aku baca pada 15 Desember 2007 nanti Tuck & Patti akan konser di Jakarta dalam acara 'Holiday Jazz Tour.' Aku senang baca berita itu; tapi melihat iklannya langsung membuat aku menelan ludah. Tiket termurahnya Rp.500.000,-, kelas silver. Jelas aku mustahil bisa ngebelain tiket seharga itu, yang mungkin dengan uang yang sama lebih baik aku belikan stroller buat Shanti, putri bungsuku. Alangkah mahal tiket itu rasanya. Tapi barangkali tidak. Harga itu tentu pantas untuk pertunjukan mereka yang berkelas. Persoalannya ialah kondisiku sekarang sulit bisa memprioritaskan hal-hal seperti itu. Dalam hal ini, bisa jadi aku kurang beruntung. Tapi apa gara-gara sudah agak jelas mustahil nonton mereka lagi, aku wajar merasa kurang beruntung. Barangkali aku menilai diriku salah.

Bila memang sedang beruntung, aku ditakdirkan mengalami hal-hal menyenangkan, jauh di melampaui harapan-harapanku sendiri. Ketika sedang beruntung, rasanya peristiwa itu memang bakal sulit sekali terulang. Sesuatu yang mengesankan memang sering sulit sekali dilupakan. Cinta pertama tampak selalu sulit dilupakan, karena itu memang mengesankan; begitu dengan pertama kali menikah, dan sebagainya. Dulu, waktu punya duit tinggal Rp.10.000,- aku pernah dapat kembalian Rp.100.000,- dari sebuah kantin tempat aku belanja sayur terakhir hari itu. Aku baru sadar itu di rumah, ketika mau menyimpang pulangan itu. Aku ngotot pada istri bahwa itu merupakan keberuntungan. Atau barangkali itu salah satu bentuk ketidakjujuranku.

Meski bukan saudara Si Untung, ada sejumlah keberuntungan yang bisa aku ingat-ingat dengan baik. Pertama-tama, keberuntungan tampak bersaudara dengan kebaikan, dan barangkali wajar bila itu agak berbau fisikal dan duniawi. Orang mudah mengaitkan keberuntungan dengan kenikmatan duniawi, aku pikir itu baik-baik saja, karena kita manusia yang hidup di dunia, dan hanya di tempat nan sementara ini aku bisa mengalami hal fisikal, meski aku agak yakin kenikmatan itu bersifat kualitatif. Makin mengejutkan, tambah seru saja nilai keberuntungan itu. Tapi ada seseorang yang bilang, makin keras usaha kita, maka makin besar keberuntungan yang bakal kita dapat. Apa selalu keberuntungan itu datang mendadak, begitu saja, dan gratis? Entahlah. Kalau kita baca dari kisah di kitab suci, keberuntungan itu semacam 'buah.' Maryam itu gadis yang amat saleh dan hanya membaktikan hidupnya untuk Allah; maka salah satu keberuntungan yang dia dapat ialah makanan dari surga. Bukankah kenikmatan makan buah itu sesuatu yang duniawi?

Sulit memastikan kapan keberuntungan mau datang. Ia malah lebih suka datang begitu saja. Tanpa pernah ada isyarat mimpi sebelumnya, mendadak aku diberi tiket seminar Re-Code Your Change DNA Rhenald Kasali senilai Rp.500.000,- oleh mas Rinto, kenalan di GPU Bandung. Padahal waktu itu kami persis baru kenalan; mungkin itu sejenis cara 'salam kenal' buat aku. Itu seminar yang amat segar dan bagus, dan aku mengingatnya sebagai salah satu keberuntungan di tengah haus wawasan akan manajemen perusahaan. Karena berbagai sebab di luar kuasa, ternyata aku sempat juga mengalami keberuntungan merasakan kemewahan, misalnya nginap di hotel bintang, antara lain HI, Sheraton, Salak, atau Perdana Wisata. Secara wajar, semua kemewahan itu jelas di luar jangkauan keuangan maupun kemampuanku. Semua datang dari orang yang merasa perlu memberi aku kebaikan. Apa aku merasakan itu sebagai sejenis kebanggaan? Tidak. Aku menerima itu dengan rendah hati dan rasa syukur. Itu semua hanya keberuntungan. Lain tidak.

Ada kala keberuntungan datang karena kita sedang butuh sementara kita kehabisan cara untuk mengusahakan agar kebutuhan itu ada. Ceritanya kami sudah beberapa bulan terakhir cukup akrab dengan keluarga seorang pengajar di Jurusan Arsitektur Universitas Parahyangan (Unpar). Awalnya aku yang kenal dengan sang istri, karena ada urusan perbukuan. Tapi lama-lama dia juga akrab dengan istriku; mungkin karena sama-sama punya anak masih kecil. Lantas aku kenal dengan sang suami, sampai jadi akrab, saling berkunjung, makan bareng. Keluarga ini sering memberi kami barang, termasuk yang menurutku cukup mewah. Salah satu 'pemberian' (tepatnya dipinjami tanpa batas) yang paling berharga barangkali satu unit CPU Pentium 4, yang jelas sungguh luar biasa karena kami sulit sekali mengup-grade komputer Pentium 233 MMX yang sudah berusia lebih dari delapan tahun dan hard disknya kadang-kadang mendadak hang. Mereka juga suka memberi barang lain, mulai dari pengepel sampai baju buat anak-anak. Saking sungkan, aku pernah kirim pesan ke sang istri: 'Jangan-jangan nanti semua barang kalian terdampar di rumahku.' Keberuntungan yang aku terima dari mereka jelas berupa limpahan barang yang jelas sulit aku dapat secara normal.

Entahlah, apa keberuntungan selalu terkait dengan kondisi keuangan dan kemampuan seseorang belanja sesuatu, dan karena itu bersinggungan antara miskin dan kaya. Beruntungkah orang yang bisa memberi tiket platinum konser Tuck & Patti? Pada satu titik, ya. Beruntungkah Dede (si Manusia Pohon) mendapat perawatan gratis dari dokter-dokter terbaik, bahkan mendapat perhatian nasional? Bisa jadi ya, meski unsur tragis dan ironi di situ tampak lebih kentara. Bila seseorang bisa membeli laptop untuk keperluan kerja maupun gaya tapi akhirnya dia gunakan uang itu untuk kebutuhan sekeluarga, kurang beruntungkah dia? Apa keberuntungan melulu terkait sesuatu yang kita dapat secara gratis? Jadi romantis dong. "Rokok-makan gratis," maksudnya.

Dapat gratisan memang menyenangkan, apa pun itu, apalagi bernilai mahal. Waktu renovasi rumah atas bantuan Habitat Kemanusiaan Indonesia, kami juga sekalian gratis mendapat rancangan desain rumah dari para arsitek Unpar, tambah pengawasan renovasi cuma-cuma. Kata Okky, salah satu dari arsitek itu, "Memang gue sengaja mengalokasikan harus ada pekerjaan yang pro bono." Jelas sekali itu juga merupakan keberuntungan. Betapa untung bertemu dengan orang yang mau membagi milik yang paling berharga. Mereka membagi gratis karena ingin menyemai kebaikan, sejenis dedikasi kepada sesama manusia.

Keberuntungan yang telah berkali-kali aku alami ternyata selalu mengejutkan. Ini menarik dan menyenangkan. Berpikir positiflah agar keberuntungan memang terjadi. Bukalah senantiasa segala kemungkinan bisa terjadi, termasuk berkah yang barangkali di luar nalar. Dunia ini diciptakan begitu luas agar segala kemungkinan bisa terjadi. Wah... sebelum Tuck & Patti manggung pada 15 Desember nanti memang tinggal tiga hari tambah beberapa jam lagi. Kalau toh aku mungkin kurang beruntung karena gagal nonton duo harmonis itu, aku tetap dengan senang hati berharap ada keajaiban. Seperti Charlie di saat-saat terakhir mendapat tiket emas dari batang cokelat yang dia beli dengan uang yang dia temukan di balik gundukan salju.[] 11/12/2007

Anwar Holid, penulis merasa beruntung sudah beristri, punya dua anak, dan bisa menikmati musik dengan baik, terutama sekarang dari mp3.

Tuesday, December 04, 2007

[keajaiban dunia]

Dede si 'Manusia Pohon', Pengidap HPV Ekstrem
----------------------------------------------------------------------------
---Anwar Holid

Begitu pikiranku teringat 'berita itu', sekujur tubuhku langsung merinding, seakan-akan muncul sesuatu dari pori-poriku, dan seketika pula aku terpejam, berusaha melupakan berita yang barusan aku baca. Tapi rupanya berita itu sulit lenyap meski aku menggeleng-gelengkan kepala, dan setiap kali itu pula aku terus merinding dan merasa ada yang salah dengan tubuhku. Yang muncul dalam pikiranku ialah rasa ngeri; ngeri bagaimana kalau aku mengalami penyakit yang amat aneh itu. Hanya dengan membayangkan saja tubuhku langsung bereaksi abnormal. Mendadak aku ingat informasi bahwa gen manusia bisa berubah drastik bila mengalami sesuatu yang luar biasa; misalnya rambut mendadak beruban dalam 1 - 2 hari setelah seseorang mengalami kejadian yang amat mengejutkan, atau orang bisa langsung gagap. Aku merasa seperti itu, tubuhku mendadak gatal di mana-mana setiap kali ingat berita itu dan seketika aku meringis atau minimal mengeluarkan keringat, seakan-akan ditusuk-tusuk ratusan jarum.

Rasa ngeri itu muncul setelah aku baca berita tentang penyakit yang diderita Dede (36-37 tahun) di Kompas dan Media Indonesia, Minggu, 25/11/07. Sekujur tubuh Dede terkena penyakit kulit yang membuat dirinya jadi mengerikan karena ia terlihat jadi mirip monster. Badannya dipenuhi bintil-bintil kutil secara ekstrem, dan terutama sekali di kedua tangan dan kakinya tumbuh sesuatu yang amat aneh, hingga jemari-jemarinya berkembang abnormal seperti serabutan akar pohon yang kotor oleh lumpur. Aku sulit sekali membayangkan persis seperti apa keadaan dirinya, bahkan ketika aku lihat foto-fotonya. Dilihat dari foto-foto, kedua pasang kaki dan tangannya berubah bentuk seperti potongan balok kayu. Sekarang ini seluruh telapak tangan dan kakinya sudah tidak kelihatan lagi. Menurut berita, kini dia sudah lumpuh. Menurut dokter yang merawatnya, dia mengidap epidermo displacia veruciformis disertai giant cutaneous horn atau tumbuhnya tanduk raksasa di permukaan kulit. Penyakit ini sejenis kutil, namun memanjang dan membesar menyerupai tanduk. Kutil yang tadinya kecil-kecil kini membesar, memanjang, mengeras, berbentuk seperti sulur kuku panjang dan kulit kayu kasar. Karena penyakitnya itu Dede dijuluki 'Manusia Pohon.'

Entah persis kapan beberapa tahun lalu aku sudah sempat baca artikel dan lihat foto di Pikiran Rakyat tentang Dede yang sedang mengemis di Alun-alun Bandung. Waktu itu aku sudah ngeri membayangkan bila ketemu dengan orang seperti dia. Rupanya kini dia jadi pemberitaan media massa lagi karena pihak RS Hasan Sadikin (dibantu sejumlah pihak) mau gratis mengoperasi penyakit Dede. Tim dokter dikepalai Cissy Rachiana dan Rachmatdinata. Bahkan Dr. Anthony Gaspari, kepala Departemen Dermatologi di University of Maryland School of Medicine, Amerika Serikat, disebut-sebut wikipedia.org tertarik untuk terlibat langsung, tapi tampaknya keterlibatannya dihalangi Indonesia, dalam hal ini oleh Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Menurut Dr. Anthony Gaspari, setelah mempelajari sampel perubahan fisik dan darah Dede, Dede mengidap Human Papilloma Virus (HPV), dengan kondisi yang luar biasa jarang. Dalam kondisi normal, itu merupakan penyakit yang menyebabkan kutil kecil. Kutil bisa hilang sendiri atau bisa sembuh oleh banyak obat yang dijual di apotek.

Akibat kondisi itu Dede ditinggalkan istri dan dipecat dari pekerjaan (dia seorang buruh bangunan). Dia punya dua anak, Entang dan Entis, tinggal bersama di rumahnya yang butut. Menurut berita, Dede pernah berusaha mengobati penyakitnya di RS Hasan Sadikin pada November 1997 (10 tahun lalu), tapi rupanya tak sembuh-sembuh dan akhirnya ditinggalkan karena terlalu miskin untuk membiayai pengobatan. Syukurlah, setelah tambah parah dan teknologi kedoteran maju, dia hendak diobati secara gratis. Semoga upaya itu berhasil.

Yang terus-terusan menggangguku ialah bayang-bayang betapa ngeri penyakit itu bila aku yang mengidap. Menurut dokter, penyakit Dede tidak menular; namun efek psikologisnya berat sekali. Mungkin mirip lepra. Aku ingat sebuah ungkapan yang kira-kira menyatakan bahwa meskipun keanehan di dunia ini sulit dipercayai bisa terjadi, jangan tutup keyakinan bahwa hal semacan itu memang bisa terjadi. Dede jelas menunjukkan hal itu. Yang dia alami luar biasa, ganjil, aneh, bahkan di satu titik menakutkan. Aku langsung ingat kisah nabi Ayub yang didera berbagai cobaan, mulai dari penghancuran kekayaan hingga dia didera penyakit kulit sampai keadaannya menjijikkan, semua anaknya mati, dan dia ditinggalkan istri. Aku ingat Michael K. yang cacat, agak-agak imbesil, dan dia dikerjai habis-habisan oleh manusia normal. Aku ingat Gregor Samsa yang mendadak bangun mendapati dirinya jadi coro raksasa setelah mimpi buruk. Kontrasnya aku ingat istri yang cantik sebagaimana perempuan normal lain, lalu dua anakku yang cakep dan lucu---persis karena mereka anak kami.

Ada berapa banyak kisah menggetarkan seperti Dede itu? Pengalaman manusia memang aneh-aneh. Aku pernah baca ada manusia yang mengaku dirinya Tuhan, mengaku dirinya Jibril, nabi baru, titisan sesuatu yang ilahiah, atau ketemu malaikat... tapi barangkali Dede lebih bersahaja. Dia sudah jujur atas penyakit itu; dia sedih karena ditinggalkan istri, khawatir bila kedua anaknya mengidap penyakit yang sama, dan prihatin karena gagal cari nafkah untuk membiayai kehidupan mereka. Manusiawi banget. Kasus yang dialami Dede sangat jarang. Ah, ternyata betapa menakutkan bila aku mengalami sesuatu yang sangat jarang. Aku ingat pada teman yang kena lupus atau orang yang kena ODHA, sambil terus gemetar, sebenarnya ada apa dunia memperlihatkan fenomena yang sangat ganjil.

Dunia memang penuh misteri. Agama banyak menyimpan hal misterius, masyarakat melahirkan kisah ajaib, peristiwa memperlihatkan kejadian di luar imajinasi orang, dan keanehan alam terus terjadi. Entahlah, apa yang misterius-misterius itu agak sama dengan yang 'gaib', yang buat aku 'tersembunyi', tak kasatmata. Menurut beberapa orang, yang gaib itu cuma dua, yaitu 'Tuhan' dan 'Kiamat.' Sementara aku sendiri yakin banyak sekali yang misterius dan gaib di dunia ini, dan aku hanya bisa 'yakin' secara buta. Aku kehabisan kata-kata setiap kali menyaksikan hal ajaib seperti dialami Dede itu, hanya bisa tertunduk malu melihat tukang pulung, atau orang cacat, atau orang yang mengidap penyakit amat berat. Secara sikap, aku hanya bisa diam bila menyaksikan kesedihan atau penyakit mengerikan yang dialami orang lain. Aku sulit berempati dengan hal-hal seperti itu; aku hanya bisa sedih dan berdoa agar mereka yang sakit tabah menghadapi, lantas disembuhkan.

Sakit dan malapetaka membuat aku murung, bertanya-tanya, malu sebagai manusia. Jelas karena aku hanya bisa diam, gagal berbuat apa-apa lagi. Sementara itu aku juga punya kesedihan-kesedihan sendiri. Aku nyerah atas kondisi di luar pemahamanku itu. Bila dihadapkan pada fenomena penyakit Dede dengan orang yang ngaku pernah ketemu malaikat atau ngaku dirinya malaikat, apa yang pantas kita lakukan? Aku sendiri lebih suka diam, menyerahkan semua itu pada masing-masing, kalau tidak mengembalikan persoalan itu pada Tuhan. Manusia, dengan segala variasinya, dan dunia, dengan segala kemungkinannya, masih menyimpan keajaiban entah apa lagi, mungkin dengan efek psikologis yang lebih hebat lagi pada sesama manusia. Aku berdoa agar bisa menghadapi itu semua dengan tabah dan kuat.[]23:03 01/12/2007

ANWAR HOLID, salah satu manusia normal, beristri satu, beranak dua, tinggal di Bandung; sedang panik didekati deadline.

Link informasi tentang Dede dan kondisinya:
http://en.wikipedia.org/wiki/Dede_%28Indonesian%29
http://www.sundaymirror.co.uk/news/sunday/2007/11/04/i-m-half-man-half-tree-98487-20058521/
http://afp.google.com/article/ALeqM5gQu4jn4L81TSYZFPdHNPgYZb0S4g
http://www.telegraph.co.uk/news/main.jhtml?xml=/news/2007/11/12/wtree112.xml&CMP=ILC-mostviewedbox
http://www.telegraph.co.uk/news/main.jhtml?xml=/news/2007/11/26/wtree126.xml
http://www.news.com.au/story/0,23599,22768474-2,00.html

Friday, November 30, 2007

Pakai Kuitansi atau Tidak
---------------------------------------
>> Anwar Holid



‘Bagasinya mau pakai kuitansi atau tidak?’ tanya petugas check in di bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng kepadaku, yang memang sudah jelas terlalu banyak bawa beban. Dia seorang pemuda dengan pakaian seragam yang rapi; menawariku pilihan sambil tersenyum. Aku dari awal sudah malas dengan keramahan yang dibuat-buat dari wajah portir sejak aku turun dari mobil, menawarkan trolley, hingga membawaku ke hadapan petugas check in.
‘Ya, pakai.’
Aku jelas sekali dengar dia berkata, ‘418 ribu rupiah,’ sambil melanjutkan, ‘ini barang pribadi atau perusahaan?’
‘Perusahaan,’ kataku sambil menyodorkan uang.
‘Bayar di kasir,’ kata dia, menampik pemberianku.

Jadi aku jalan ke kasir, menyerahkan tiket beserta kode kelebihan beban. Setelah diperiksa-periksa, yaitu dengan dibolak-balik, ternyata biaya kelebihan beban itu adalah Rp.814.000,00.
‘Lho... dia bilang tadi 418 ribu,’ aku tersentak dengan biaya sebesar itu. Di luar dugaan; dalam hati akulangsung berteriak, mending dikirim dengan jasa kurir biasa.
‘Bapak di mana diperiksa?’ tanya dia sambil menyerahkan tiket pada rekannya. Aku menunjuk meja tempat periksa bagasi. Rekan kasir itu langsung menuju meja tersebut.
‘Di sana,’ jawabku sambil menunjuk dengan jemari. Sesaat kemudian rekannya sudah balik menyerahkan tiket ke kasir, dan mengoper kepadaku.
‘Coba bapak tanya lagi ke petugas itu; silakan periksa.’
Aku jadi balik lagi ke meja pemeriksaan bagasi. Begitu sampai aku langsung menyergah, ‘Mas, kok jadi 814 ribu? Tadi Anda bilang 418 ribu?’
‘Memang 814 ribu. Mungkin bapak salah dengar.’ Dia menanggapi dengan tenang.
Fucking what!? Salah dengar? Dengan kesal aku balik ke kasir, menyerahkan tiket. ‘Kata dia memang jadi 814.’

Periksa sebentar, aku menyerahkan uang. Mengambil kembalian dan kuitansi biaya kelebihan beban. Aku jadi membayar sebanyak itu, langsung tahu arti ‘pakai kuitansi atau tidak.’ Dongkol sekali perasaanku, meski sebenarnya tak punya hubungan dengan uang itu, karena memang bukan milikku, melainkan punya lembaga yang membayar ongkos keberangkatanku. Dari sana aku melanjutkan jalan, ke tangga pemberangkatan. Portir menenteng sebagian bawaanku, yang sebenarnya ringan dan ingin aku bawa sendiri; tapi dia tetap memaksa membawakan.

‘Tadinya bapak bisa bayar setengah kalau jadi minta bantuan teman saya di meja check in itu. Tapi bapak bilang mesti pakai kuitansi sih...’ cerocosnya; barangkali dengan begitu dia bisa menenangkan kedongkolanku. Dia sengaja menekankan kata ‘jadi’ waktu berkata-kata.

Jadi begitu permainan mereka, batinku. Aku menyerahkan uang portir. Dia langsung menyelipkan lembar 10.000 ke balik baju seragam; membawa yang 15.000. Aku jadi berani berprasangka; yang dia tilep itu pasti untuk pribadi; sisanya barangkali buat setoran. Walhasil, di dompetku tinggal tersisa Rp.31.000,00. Astaga, cepat benar duit amblas di bandara ini. Tersedot hilang hanya dalam hitungan langkah. Aku jadi mengandalkan bawaan pribadi, yang aku ambil dari duit sisa biaya bersalin istri. Jumlahnya Rp.100.000,00. Aku pasrah menerima kejadian menjengkelkan ini. Yang paling menjengkelkan dari sini ialah penipuan biaya pemeriksa tiket ke kasir pembayaran, persis karena aku mengharuskan mereka memberi kuitansi pembayaran. Di pikir-pikir apa yang sebenarnya terjadi kalau aku tak punya kuitansi? Pertama, mungkin uang itu akan masuk ke kantong pribadi mereka; kedua: aku bisa klaim berapa saja untuk biaya kelebihan beban ke lembaga tempat aku kerja---tapi tanpa bukti. Risikonya adalah aku bisa dituduh korupsi. Ha ha ha... betapa pintar mereka mencoba menjebak aku. Sementara kalau barang hilang aku nggak bisa klaim karena nggak punya bukti pembayaran. Selama nunggu pesawat itu ajy membatin: barangkali inilah bayaran dari sebuah perjalanan pertama. Terkejut dan sulit membantah karena tak tahu apa-apa. Aku anak bawang dalam hal ini, mereka memanfaatkan kelemahan itu. Lagi pula aku kehilangan alasan untuk keberatan, terutama karena terdesak waktu; di sisi lain aku masih bisa menahan kejengkelan meski benar-benar ditipu. Berapa orang yang berhasil mereka tipu dengan mudah setiap hari?

Aku jadi ingat cerita-cerita tentang perjalanan yang sulit dan heroik; entah karena alasan pribadi atau kekurangan biaya dan terpaksa mesti dilakukan. Ada orang pergi mengarungi Indonesia dengan sepeda atau jalan kaki, pergi ke Aceh dengan mobil butut atau bus kelas ekonomi; ke Balikpapan menumpang kapal laut dalam dek kelas ekonomi. Semua jelas lebih sulit dibandingkan perjalananku; mereka bisa kepanasan, kelelahan, berdesak-desakan, keringat bercucuran, tubuh kekurangan cairan, atau muntah-muntah selama perjalanan karena kalah oleh bau dalam ruangan. Aku yakin perjalananku ini lebih menyenangkan, hanya sedikit khawatir karena duit tinggal sedikit. Mestinya aku baik-baik saja, karena toh bisa menelepon bala bantuan dengan mudah. Apalagi waktu subuh aku sudah berdoa mohon keselamatan kepada Allah (i.e. Tuhanku), menyerahkan segala urusan dan peristiwa kepadanya.

Aku akan memulai sedikit selingan hidup sekitar dua bulan di Banda Aceh; ditemani lima buku Soni Farid Maulana, After The Plague (kumpulan cerpen T.C. Boyle), buku Mengubah Dunia (David Bornstein), buku Pamusuk Eneste dan Natalie Goldberg, Joyce Wycoff, dan Al-Qur’an. Aku sedikit ragu mampu membaca Al-Qur’an selama di sana, tapi toh tetap tak tega bila meninggalkan, terlebih diperingatkan oleh Ubing. Tapi aku akan berusaha membaca kitab itu. Aku sudah baca-baca puisi SFM, berusaha menamatkan Mengubah Dunia, belum bisa menikmati cerpen T.C. Boyle. Tapi semua itu BUKAN tujuanku ke sana. Aku ke sana karena diamanati jadi fasilitator kelas di Seuramo Teumuleh. Untuk itulah aku bekerja dan nanti melakukan evaluasi kinerja. Aku mestinya menjalankan itu dengan baik---dan untuk itu aku butuh sejumlah rujukan dan pengayaan, terutama sejenis buku karya Goldberg, Wycoff, dan Pamusuk Eneste. Aku pernah sesekali jadi teman diskusi untuk topik tulis-menulis atau penyuntingan; kali ini yang aku hadapi adalah satu kelas, yang jumlahnya diperkirakan bisa mencapai 25 orang, setiap hari.

Sehari sebelum keberangkatan aku bertemu dengan senior-senior di Mizan, termasuk dengan editor penerbit Hikmah yang sudah aku kenal via email tapi belum pernah bertemu---mereka menghadiahi aku tiga buku. Beberapa orang menyelamati aku menjelang pergi ke Banda Aceh; aku senang dengan salam itu, seolah-olah jadi ajimat keselamatan dan benteng ketenangan. Tapi yang terus membuat aku takjub sekaligus kecapaian luar biasa adalah aku bolak balik Jakarta-Bandung pada malam 1 November 2006 hanya berselang beberapa jam karena Ubing melahirkan Kimya. Aku sempat memperhatikan wajahnya yang kemerah-merahan, mirip sekali dengan Ilalang waktu bayi, bahkan tempat bekas tekanan darahnya sekalian. Setelah mengubur ari-ari menjelang tengah malam, aku langsung balik ke Jakarta. Selama perjalan ke Banda Aceh, hanya kejadian itu yang terus teringat, diselingin pemandangan gumpalan awan yang mirip batu mengapung di danau tenang, bukan kejadian menjengkelkan habis mengeluarkan biaya besar karena kelebihan beban. Puji Tuhan, betapa luas Dia memberi aku peluang mendapat kegembiraan.[]2 & 5/11 06


Kontak: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B, Bandung 40141 Tel. (022) 2037348 SMS 08156140621 email: wartax@yahoo.com
READER'S ADVISORY: Sejumlah kalimat di esai ini mungkin kasar, menyinggung perasaan, atau berlebihan. Aku memohon maaf untuk hal itu, termasuk memohon ampun dan rahmat Allah.

PERNAHKAH ANDA MENERIMA PESAN TUHAN?
-------------------------------------------------------------
>> Anwar Holid


Dedicated to ....



TENTU Tuhan malas sekali menggunakan teknologi ciptaan manusia, maka Dia sekarang-sekarang ini belum terdengar menelepon seseorang untuk menerima perintah maupun pesan-Nya. Dia juga belum pernah naik ojek, membayar lebih, mampir ke rumah salah satu makhluk-Nya, lantas ngobrol topik aktual ditemani secangkir kopi dan gorengan. Minimal untuk menertawakan kekonyolan manusia atau optimisme berlebihan mereka. Dari situ Dia mungkin akan mewajibkan penghuninya melakukan sesuatu, entah larangan atau komando. Atau jangan-jangan ada salah satu di antara Anda pernah menerima sms dari Tuhan, misalnya dengan pesan: pergilah kamu ke arah barat, di sana kamu akan menemukan tanah harapan. Begitu mematuhi perintah itu, Anda terkejut mendapati tanah itu sudah padat dan kalau ingin memiliki sepetak saja, Anda mesti punya sertifikat atau hak guna bangunan yang harus ditandatangani seorang notaris dengan bayaran mahal, dan Anda juga harus bayar pajak atau retribusi cukup mahal kepada penguasa setempat, dan sulit menggugat untuk apa pajak dan retribusi itu ditarik.

Entah kenapa Tuhan selalu menggunakan malaikat untuk menyampaikan perintah atau pesan. Dalih paling mudah ialah itu tentu menunjukkan bahwa manusia terlalu berbahaya atau rapuh bila berhadap-hadapan langsung dengan Tuhan. Hanya satu-dua orang yang pernah langsung mendengar suara Tuhan---perhatikan: baru suara, bukan sosok ataupun wajah, salah satunya ialah Musa. (CMIIW). Kebanyakan nabi menerima pesan Tuhan via malaikat---waktu itu bahkan belum ditemukan HP, dan Tuhan bisa jadi belum pernah membayangkan manusia bakal menemukan HP. Kalau tidak, tentu Tuhan akan memonopoli jaringan dan jadi operator. Pesan-pesan Tuhan memang menakutkan, maka harus ditanggung oleh sesuatu yang kuat, patuh, teguh. Contoh: Tuhan mengirim pesan agar Ibrahim menyembelih anaknya--waaah, kebayang bila Anwar Holid mendapat pesan serupa agar menyembelih anaknya. Tentu dia akan cepat-cepat menghapus pesan itu dan menggerutu, 'Pesan kamu kok aneh sekali sih, Tuhan?' Tuhan memang hanya mengirim pesan kepada manusia sesuai kapasitas masing-masing. Maka entah seperti apa kondisi jiwa seorang Ibrahim yang setelah berkali-kali sedikit ragu menerima suatu pesan, kemudian yakin bahwa itu berasal dari Tuhan, lalu melaksanakan dengan mantap. Dari sudut gelap kita boleh terheran-heran ada orang bisa begitu yakin atas keilahiyahan pesan yang amat spekulatif dan berisiko. Apa karena sebelumnya dia pernah bercakap-cakap dengan Tuhan, mengandalkan kejernihan hati, atau merupakan bentuk berserah diri? Katakanlah kita kaya, berpenghasilan 157 juta per bulan, kemudian hati kita menerima pesan: 'bebaskan pembantu-pembantu kamu dari kemiskinan, sekolahkan mereka, beri mereka kesempatan setara, beri modal dan akses pengetahuan, pupuklah biar jadi manusia unggul, jangan hanya jadi tukang potong rumput.' Segera setelah menerima pesan itu kita keberatan; terus siapa dong yang nanti mengepel, membersihkan mobil, membersihkan kotoran anjing, menyapu kamar dan rumah, mencuci kakus, gimana kalau mereka nanti lebih sukses dari anak-anakku? Walhasil, pesan itu jadi arsip---ia ada, tapi sekadar jadi berita atau rujukan entah untuk apa.

Satu-satunya kiriman Tuhan yang enak dibayangkan ialah ketika Maryam---anak Imran, bunda Isa al-Masih---menerima makanan dari malaikat setiap kali lapar. Makanan itu dari surga, mungkin hitung-hitung nggak ada yang makan lagi setelah Adam dan Hawa diusir ke Dunia dahulu kala. Sayang kalau dibiarkan begitu saja, bisa buruk soalnya. Tentu kualitas makanan surga lain---apa sempat ada yang busuk waktu didatangkan dari kerajaan itu, meski tidak ada berita bahwa di surga pernah ada kulkas raksasa. Tapi tampaknya jasa kurir Tuhan lebih canggih dari Tiki.

Kalau dipikir-pikir, Tuhan juga sedikit peduli pada nasib banyak umat manusia. Kalau tidak, mestinya Dia ngasih setiap orang miskin---termasuk aku---minimal satu kartu kredit berisi kurang-lebih satu milyar rupiah, biar kalau belanja cukup lega dan habisnya lama. Kartu kredit itu berguna waktu darurat, misalnya ketika banjir dan orang harus nginep di hotel dan mengungsi ke luar kota sementara waktu. Mungkin Tuhan memang kurang peka sampai-sampai melupakan kebutuhan dasar manusia. Kalau berpendapat seperti itu, kita menganggap bahwa Tuhan adalah semacam bank gratis buat kaum miskin, atau kira-kira seperti Robin Hood yang suka bagi-bagi barang curian.

Nyaris setiap kali habis beribadah aku berdoa khusyuk, 'Ya Tuhan, terima kasih atas rezeki dari-Mu hari ini. Jadikanlah aku hamba-Mu yang senantiasa bersyukur atas pemberian-Mu. Cukupkanlah pemberian-Mu kepadaku. Penuhilah kebutuhanku, bahagiakanlah keluargaku, lindungilah mereka. Penuhilah kekurangan-kekuranganku.' Kadang-kadang, ketika berhari-hari kekurangan uang atau nafkah, kalau ada takdir, setelah berdoa seperti itu aku menemukan Rp.5.000,- tercecer di jalan atau Rp.2.000,- di antara buku dan barang. Dalam hati aku bilang, 'Oh, inilah yang disisakan Tuhan buat aku hari ini.' Entah apa anugerah itu benar-benar pemberian Tuhan atau muncul karena keteledoran seseorang. Setidaknya, dengan Rp.1.000,- aku bisa dapat singkong goreng tiga potong, cukup mengenyangkan sebagai ganjal makan siang. Mungkin Tuhan tahu bahwa aku belum terlalu perlu harus diberi keajaiban besar-besar, mengingat kalau terpaksa toh masih masih bisa berutang ke sana-kemari atau kasbon ke kantor. Habis aku juga mintanya kabur dan nggak definitif, jadi membingungkan Tuhan. Mungkin lain kali aku harus berganti, doa, misalnya, 'Ya Tuhan, kasih aku Honda Jazz, naikkan gajiku, beri aku laptop, lancarkan tanganku menulis, tambah pintar kemampuan kerjaku, cukupkan istirahatku, lunasi utang-utangku, tambah rekeningku (dari money laundry juga boleh), jangan lupa: boleh juga tambah satu istriku!' Bukankah permintaan itu sebenarnya terlalu sederhana buat Tuhan? Banyak orang mendapat sesuatu jauh lebih besar daripada permintaanku itu. Tapi aku belum terlalu putus asa untuk berdoa seperti itu, khawatir malah diledek Tuhan.

Untuk masa sekarang, pesan Tuhan memang terasa kuno sekali, dan usang. Di zaman ketika orang bisa pesan makanan, barang, buku, bahkan orang sekalipun via banyak media, tentu pesan-pesan Tuhan yang terekam di banyak alkitab itu terasa sekali aneh. Misalnya ada nabi yang dipesan agar pengikutnya tidak minum air sungai kecuali segenggam. Dulu Tuhan pernah pesan kepada Nuh, 'Bikinlah kapal yang besar, dengan itu nanti kamu dan pengikutmu menyelamatkan umat manusia beserta isinya.' Coba kalau sekarang ada orang persis menerima pesan yang sama, sementara di sekitarnya masih banyak yang sama-sama terbukti memiliki pengetahuan. Apa yang terjadi? Apa akan ada lomba pembuktian doa? Pesan-pesan Tuhan seperti itu melambangkan apa ya? Apa Tuhan ingin orang bikin organisasi besar-besaran agar orang bisa masuk golongan tertentu sebanyak-banyaknya? Tapi pesan ajaib Tuhan biasanya hanya sekali terjadi, dan tentu jarang sekali terulang. Keajaiban itu sungguh fenomenal, sampai sulit dipercaya kecuali diterima begitu saja. Misalnya waktu Tuhan menyuruh Musa menyentakkan tongkat ke Laut Merah, dan seketika itu laut terbelah dan terbentuklah jalan lapang bagi pengikutnya untuk ramai-ramai menyeberang ke tanah seberang. Kejadian seperti itu hanya mungkin diwujudkan dalam film Hollywood menggunakan spesial efek canggih. Karena sulit diulang itu kini sebagian orang suka mencermin-cerminkan peristiwa dahulu kala pada fenomena yang terjadi di dekatnya. Misalnya bahwa seseorang dipercaya tengah mengalami fase seperti yang dialami nabi-nabi tertentu di zaman dahulu. Waaah... orang kan boleh-boleh saja kok yakin dengan imannya. Aku sendiri, lepas dari nubuat itu, sekarang ini memasuki fase sinis. Yah, bagaimana lagi? Aku hanya bisa menduga-duga dengan samar dan sekadar menanti segala sesuatu terjadi dengan takjub. Lebih persis: aku membiarkan segala sesuatu terjadi dan hanya berharap kebaikan dari sana. Aku hanya akan mengurus persoalanku sendiri.

Dengan pengetahuan yang amat sedikit aku miliki, aku merasa ternyata keajaiban mungkin saja terjadi setiap saat, terutama untuk hal-hal yang rutin dan remeh. Misalnya, justru ketika aku janji pada 2007 ini tak akan beli buku demi menghemat pengeluaran dan menambah tabungan, eh aku malah dihadiahi banyak buku oleh berbagai penerbit. Aku menerima hadiah itu dengan senang hati sekaligus janji berusaha menulis atau membaca, siapa tahu bisa direkomendasikan ke banyak orang lain. Ditambah pinjaman buku, cd, dvd gratis dari Rumah Buku, bahkan tiket seminar senilai Rp.500.000,- Apa itu boleh dianggap sebagai keajaiban. Aku juga baca bahwa para korban sesbuah kecelakaan selalu berharap keajaiban. Waktu di Aceh, aku banyak sekali mendengar kisah tentang keajaiban orang mengalami tsunami, antara lain tentang seseorang yang diselamatkan naga. Padahal bukankah naga itu hanya mitos? Minimal orang selamat dari sesuatu yang fatal. Memang sih, dibandingkan Isa yang menghidupkan lagi Lazarus atau Yunus masuk perut ikan paus, yang aku alami, atau yang dialami kebanyakan orang itu, terlalu sederhana. Alasannya juga jelas: karena aku terlalu miskin untuk mengalami keajaiban lebih besar. Pantas. Apalagi bila cuma dihadiahi Turkish Coffee. Tapi mari lihat moralnya: kadang-kadang keajaiban hanya terjadi sekali dan itu membuka peristiwa lain. Lagi pula, keajaiban itu ada bayarannya. Bayarannya ialah kesabaran. Kesabaran itu kadang-kadang baru hadir lewat jalan yang rumit. Mungkin biar seru, jadi plotnya sering macam-macam dan disembunyikan dulu, dan orang yang mendengar/membaca ceritanya juga tertarik/terkesima. Biar orang yang mengalaminya degdegan dan hanya mengharap yang paling seru---bisa bahagia atau mengerikan. Orang berharap keajaiban dengan ikut program televisi, membaca novel atau buku tertentu, ikut organisasi, melakukan sesuatu, termasuk berharap menemukan keajaiban di antara spam yang diterima di email account, entah cerita menakjubkan atau tiba-tiba ditunjuk menang lotere ribuan Euro, atau berhak menerima sumbangan dari lembaga kemanusiaan. Bukankah Tuhan yang butuh waktu untuk menghadirkan eksistensi-Nya? Tuhan tak perlu alasan bila ingin menunjukkan kuasa. Betul, tidak? Eh, lupa, Tuhan memang hanya perlu memilih manusia sesuai masing-masing pesan dan keajaiban. Artinya, kita boleh berdoa mendapat keajaiban paling hebat di alam semesta ini, tapi lebih baik lagi kalau kita mengukur diri. Sebagian orang memang mengalami keajaiban hebat itu. Seorang pembantu tentu lain kadarnya dibandingkan tuan---kecuali bila suatu saat pembantu itu memiliki kualitas tuan. Setiap orang mesti tahu diri, jangan berlebihan---tapi mesti ingat, jangan pernah meremehkan diri sendiri, sebab keajaiban terus terjadi meski kenabian sudah selesai. Yah, setidaknya keajaiban kecil yang masih cukup sukar kita pahami. Tapi ia terjadi, kadang-kadang setidaknya sekadar terbuka. Sesuai kadar masing-masing orang bisa menemukan keajaiban atau tahu bahwa Tuhan barangkali mengirim pesan via sesuatu, termasuk perantara. Kalau begitu peran perantara penting. Dia mengirim maksud Tuhan. Maka kita saksikan di beberapa belah dunia tertentu ada orang mengaku mendapat ajaran dari Mikael atau Jibril, atau di tempat lain mengaku mati dan memasuki alam ruh/malakut, melihat-lihat kondisi orang mati, diajak ke surga dan neraka, untuk kemudian hidup lagi dan menceritakan kisah itu kepada orang yang masih hidup di dunia. Waaah.... itu kisah sama sulitnya masuk akal bila ada seseorang kawin lagi setelah betul-betul diminta Tuhan harus poligami. Untuk hal-hal yang sulit diterima, lebih aku nonton pertandingan bola. Pertandingan bola juga kerap memunculkan keajaiban. Meski curang, Maradona pernah mengalaminya. Barangkali pesan Tuhan di kalbunya, 'Jangan bilang syapa-syapa!' Itu namanya keajaiban silap mata. Minimal keajaiban remeh itu masih bisa bikin air mata seseorang menetes, dan itu tanda bahwa Allah masih suka bikin drama. Lihat saja waktu Manchester United menyodok dari belakang mengalahkan Bayern Munchen di final Liga Champions. Itu juga sejenis keajaiban, meski tarafnya belum sedramatik David mengalahkan Goliath.

Yang sering aku sinisi dari pesan-pesan Tuhan itu antara lain ternyata dampaknya baru akan terasa kalau seseorang melakukan kontak atau memiliki keterlibatan tertentu. Bila orang terdekat Anda mendapat pesan Tuhan lewat Mikael, Anda mau apa? Mengamini atau menolaknya? Membiarkannya? Ketika dahulu Ibrahim mendapat pesan agar menyembelih anaknya, ke mana itu kira-kira tetangga atau Pak RT di sekitarnya? Ibrahim hanya memberi tahu pesan itu kepada anak dan istrinya; bahkan istrinya yang lain nggak diberi tahu. Apa waktu itu nggak ada orang lain selain keluarga Ibrahim? Kenapa dia nggak dipergoki orang di tengah jalan ketika sedang membawa anaknya ke altar? Siapa tahu ada seseorang memergokinya, dan bertanya, 'Ibrahim, kamu mau ngapain?' 'Mau nyembelih anak.' 'Kenapa kamu lakukan itu?' 'Tuhan memerintah aku begitu.' 'Kalau begitu coba kau minta perintah Tuhan yang lain.' 'Apa misalnya?' Ibrahim ganti bertanya. 'Misalnya memberikan istri pertamamu buat aku.' Waaah... takut ah memain-mainkan peristiwa ilahiah itu lebih lanjut.

Kalau kita baca-baca, terutama dari buku agama atau dari khazanah yang dinamai sebagai 'spiritualitas', pesan Tuhan itu ternyata masih berseliweran sampai sekarang. Tapi herannya pesan itu kok tampaknya berdampak kecil sekali pada Bumi. Apa para presiden dari banyak negara itu sama sekali nggak pernah menerima pesan Tuhan? Kenapa Tuhan nggak mau mengirim pesan justru kepada mereka yang pegang kuasa dan berdaya melakukan sesuatu? Katakanlah Tuhan memberi pesan kepada Anwar Holid untuk memerangi kerusakan moral; apa coba yang harus aku lakukan? Menyelidiki setiap isi file di komputer atau rumah dari sesuatu yang maksiat? Di zaman dulu, Tuhan lebih masuk akal, mereka mengirim pesan kepada Sulaiman, Daud, Musa, atau Muhammad yang berkuasa penuh atas kaumnya, karena mereka adalah penguasa, jadi mereka bisa memobilisasi orang. Bayangkan bila yang terjadi sebaliknya, ketika pesan Tuhan justru diterima oleh orang asing dan bukan siapa-siapa, yang bahkan bila disampaikan kepada pembantu, sopir pribadi, atau office boy, mereka menggeleng nggak paham. Atau kita berani bilang bahwa memang ada orang rendahan (lesser people) yang kurang pantas mendapat pesan dari Tuhan? Alangkah sayang pesan itu dikirim. Boros pulsa saja, bukan?

Tentu kita boleh bertanya kenapa Tuhan hanya mengirim kepada orang tertentu, terutama nabi. Kita belum pernah dengar petugas kebersihan kantor menerima pesan Tuhan, misalnya agar memberi peringatan kepada bosnya yang korupsi atau berzina. Atau sebaliknya, ada orang diperintah Tuhan agar korupsi uang negara---yang dikutip baik dari pajak, retribusi, dan berbagai pungutan lain atas nama otoritas negara seperti disinyalir di paragraf awal tadi---sebesar 700 milyar Rupiah untuk kemudian dibagi-bagikan kepada kerabat dan orang-orang di sekitarnya. Barangkali pesan-pesan seperti itu memang terlaknat, meski kitab suci juga mencontohkan agar orang berani menyatakan kebenaran, meski taruhannya nyawa. Moralnya ialah orang mestinya berani menyampaikan kebenaran, serendah apa pun keadaannya. Tapi di sisi lain kita juga tahu bahwa para penerima pesan Tuhan itu pada akhirnya putus asa dan menyerah bila sudah terdesak dan gagal meneruskan pesan yang diterimanya. Dalam kegagalan itu mereka mengadu kepada Tuhan, yang paling ekstrem biasanya mereka minta agar kaumnya---orang-orang di lingkungan terdekatnya---dihukum karena malas atau menolak berita yang dia sampaikan. Memang harus diakui bahwa para pelawan nabi itu sering berlebihan beroposisi, termasuk melakukan penyiksaan, perundungan, dan pembunuhan. Tapi, kalau dibandingkan dengan sebutan sebagai orang terpilih, wajarkah mereka minta agar penentangnya dikutuk? Aku nggak tahu. Aku hanya khawatir ada di antara mereka orang yang sama sekali nggak ikut campur. Bukankah wajar bila ada orang yang malas terlibat perseteruan antara dua kubu dan memilih jalan sendiri, independen? Atau ada orang yang sebenarnya tidak terlibat (tidak ikut campur) tapi terkena dampak, dan gagal menghindar dari konflik? Hal seperti ini sering terjadi. Misalnya ada konflik antara tentara negara dan kelompok separatis di suatu wilayah; penduduk tempat itu, yang sebenarnya menolak terlibat, terpaksa merasakan dampak pertikaian. Bukankah boleh seseorang memilih jalan atau mencari aman sendiri, demi keselamatan dirinya? Bukankah dirinya sendiri---sebagai satu individu---juga makhluk Tuhan yang sama-sama pantas mendapat perlindungan atau memutuskan nasib sendiri? Tentu konyol bila ada satu kota dikutuk tapi ada orang yang tak bersalah juga kena celaka. Kutukan atau hukuman Tuhan itu menandakan bahwa kesabaran ternyata punya batas, dan para penentang tak punya kesempatan memukul balas. Batas kesabaran ialah ketika penerima pesan memohon bala bantuan Tuhan, atau ketika dia tak bisa berbuat apa-apa lagi selain mesti membuktikan keotentikan pesan Tuhan. Ketika Maryam dilecehkan dan dituduh berzina karena melahirkan anak di luar nikah, dan kesulitan menjawab pelecehan itu, dia membuktikannya dengan meminta agar bayi Isa memberi kesaksian. Kisah ini mematahkan anggapan mandek selama ini bahwa kesabaran tak berbatas. Menarik ditanyakan, kenapa meski seseorang lulus seleksi sebagai pilihan Tuhan, toh dia gagal menahan kesabaran? Apa moral dari peristiwa seperti ini. Apa Tuhan membiarkan sisi kekurangan itu sebagai bagian dari kelemahan manusia? Peristiwa seperti ini mirip dengan gambaran anak kecil yang mengadu ke orangtuanya karena dia diserang oleh anak-anak lain dan kalah, lantas mewek dan minta dukungan pihak yang lebih kuat. Nabi-nabi, di tingkat paling permukaan juga seperti itu. Bila merasa umat yang diajaknya/didakwahinya sudah keterlaluan, berlebihan, lantas kalah karena sebab apa pun, dia mengadu ke Tuhan. Yaaah... siapa juga yang bisa menanggung amarah Tuhan? Kalau semua kembali ke Tuhan, kita pasti sulit berbuat apa-apa. Kalau Tuhan sudah turut campur, nggak ada ruang tersisa buat manusia.

Tentu ada di antara kita meyakini bahwa Tuhan masih mengirim pesan, meski bisa jadi bertanya-tanya, pada siapa pesan itu dikirim, apa pesan-Nya, dan bagaimana cara pesan itu sampai. Kalau Anda kurang-lebih sudah 18 tahun naik angkot sebagai satu-satunya alat transportasi ke mana-mana dan hingga sekarang sehat wal afiat, belum pernah mengalami kecelakaan lalu lintas, entah angkotnya diseruduk atau terguling, bahkan keserempet sekalipun, kira-kira apa pesan dari kejadian seperti itu? Anda sekadar inkarnasi si Untung, atau Tuhan hendak menulis pesan bahwa Anda ditakdirkan nggak bakal punya kendaraan pribadi dan lebih baik membagi ongkos buat para sopir? Bila ada seorang perempuan baru sehari jadi pelacur terus esoknya terjangkiti virus HIV dan sebentar kemudian mengidap AIDS, apa maksud Tuhan mengirim pesan berbentuk peristiwa mengerikan itu? Sekadar ingin main-main dengan keimanan seseorang atau hendak bilang jangan ambil risiko dengan permainan berbahaya? Bila Anda baru pertama kali naik pesawat, terus ketika naik ternyata pesawat itu celaka dan lenyap entah ke mana dalam perjalanan, tak ditemukan tim SAR setelah pencarian berminggu-minggu, pesan apa yang Anda terima dari Tuhan sebelumnya? Apa Anda malam sebelum berangkat mimpi meilhat ikan mitik berenang-renang di sungai amat dalam? Mungkin Dia dulu pernah pesan kepada Anda: 'Kamu akan mati dalam kecelakaan pesawat udara.' Bukankah Tuhan mengirim pesan dalam bentuk apa pun, hanya saja kita sering kesulitan membaca bahasa yang disampaikan itu? Atau apa Tuhan memang bicara langsung kepada pilihannya, berlapis tabir setipis apa pun, dan karena itu penerima berhak merespons atau menanggapi bagaimanapun?

Ternyata sulit membicarakan pesan Tuhan dengan jernih, karena Anda tahu Dia malas sekali mengangkat telepon atau mengirim sms dan menulis email atau surat ke alamat Anda dengan pesan yang jernih. Aku cukup yakin bahwa Tuhan adalah jenis pihak yang lebih suka bermain-main dengan tanda, dan Dia suka membiarkan orang menafsir sesuai keinginan atau kecenderungan masing-masing. Tentu Tuhan lebih suka dengan orang yang lebih sesuai dengan standar ketentuan-Nya, dan kriteria hal seperti itu biasanya kompleks, meskipun jelas dan banyak faktornya. Tapi bukankah alat komunikasi antara Maha Pencipta dan makhluk bukan sekadar 'tafsir'? Sejumlah pihak menggunakan alat komunikasi yang lebih canggih dari semua peralatan itu, entah itu pandangan batin, kejernihan hati, dan penglihatan tertentu. Lagi pula, siapa butuh siapa? Orang butuh pesan Tuhan atau Tuhan ingin kirim-kirim pesan? Kebanyakan kasus menunjukkan ternyata orang lebih butuh pesan Tuhan beserta aksinya. Lihat dan baca lagi kisah-kisah nabi. Kebanyakan mereka meminta bantuan Tuhan begitu putus asa. Pada orang tertentu sebaliknya, Tuhan mengirim pesan, baik yang dituju siap atau tidak, mereka hanya mesti menerima, tanpa mempertimbangkan risiko sebelumnya. Kiat menghadapinya apa? Menurut Rhenald Kasali sederhana saja, yaitu 'Change!' alias 'Berubah!'

Sejumlah cendekiawan (sarjana) atau siapa pun suka membicarakan berbagai kemungkinan maksud pesan-pesan Tuhan itu, entah secara filosofis, menggunakan hermenetika, menduga-duga tanpa praduga bersalah, atau lewat cara mistik. Aku nggak tahu mana yang valid dari cara-cara tersebut; faktanya ialah selama Dunia masih ada, peristiwa terus bergulir, kejadian masih berlangsung, aku yakin pesan Tuhan itu hadir, bagaimanapun bentuknya. Bila seorang tukang beling mendorong gerobak keliling kota mengorek-ngorek satu demi satu tempat sampah yang dia temui, gerobaknya ditulisi Pilox asal-asalan dengan frasa: N451B MUJUR atau SURATAN TAKDIR tambah gambar tengkorak murung, apa itu juga sejenis pesan Tuhan? Siapa tahu yang menyemprot grafiti itu Jibril, karena Jibril masih kaku menggunakan alat ciptaan manusia? Mestikah orang repot membaca pesan Tuhan, atau putuskan saja bahwa segala peristiwa di sini pasti atas kehendak Dia, dalam pengawasan kerajaan Tuhan? Lalu kalau sudah begitu, kita sebaiknya berbuat apa?

Mengira-ngira maupun menelusuri pesan Tuhan memang sulit, membicarakannya pun bisa jauh dari jernih, karena kita tahu antara Pencipta dan makhluk memang beda dan masing-masing punya cara berkomunikasi sendiri, dengan 'hukum' bahwa Pencipta lebih superior. Orang seperti aku, yang eksplisit jelas belum sekalipun pernah menerima pesan Tuhan lewat media apa pun, lebih suka berpendapat bisa jadi pesan Dia sudah pernah ditulis atau pernah disampaikan di celah-celah peristiwa atau tempat tertentu, pada orang siapapun, dan tinggal dilaksanakan atau diperhatikan untuk menjalani peristiwa di dunia. Kalau tidak, aku yakin orang boleh mempertanyakan validitas orang yang mengaku mendapat pesan Tuhan. Bukankah kita sering dengar orang rindu Tuhan dan mendesak-Nya dengan doa atau dalil berikut janji-janji, tapi ketika sesuatu terjadi, yang dia bisa lakukan hanya diam? Mungkin saja suatu saat mendadak ada spam masuk ke email seseorang, isinya singkat saja: 'Jangan pernah kamu main-main dengan pesan Tuhan, kalau tidak, aku bakal merenggut semua berkah yang pernah kau rasakan, cepat atau lambat.' Wasalam, god@heaven.net. Mungkin orang itu cepat-cepat menutup email atau memforward pesan itu ke ribuan orang dengan harapan bisa lepas dari siksa atau segera mendapat rezeki besar-besaran. Siapa sangka bahwa Tuhan juga suka main-main dengan makhluk-Nya? Bukankah Tuhan cinta pada ciptaan-Nya dan senantiasa mencari cara untuk menyapa orang-orang terdekatnya? Mungkin itu yang akhirnya membuat aku menyerah mesti percaya, tentu ada orang yang jelas menerima pesan Tuhan, meski dia juga sulit langsung langsung bertanya, kenapa pesan itu sulit dicerna. Aku menerima dan percaya, tapi tentu ya hanya bisa diam.

Aku pernah mendengar kisah seorang profesor matematika Amerika Serikat, dosen sebuah universitas ordo Jesuit, namun bertahun-tahun menerima pesan Tuhan itu-itu saja: Dia masuk ke sebuah ruangan asing penuh orang yang juga tak dia kenal. Mereka sujud bersama, duduk di antara sujud, dipimpin oleh seseorang berjubah putih. Dia baru menceritakan kisah itu bertahun-tahun kemudian setelah dirinya bersyahadat. Waktu mendengar kisah itu, aku membatin: Apa Tuhan hanya bicara dengan satu nada, terus mengulang-ulang, atau malah konsisten? Tuhan ternyata sangat simbolik memberi pesan pada profesor itu, Dia membebaskan orang menafsirkan pesan itu sesuai keadaan dirinya. Meski mimpi itu agak kurang detil, misalnya, kenapa tidak sekalian si profesor diperlihatkan wajah imam pada dirinya, dan dengan begitu bisa mencari tahu, siapa dia. Barangkali Jibril sedang berganti rupa? Atau Tuhan bilang, nggak penting imamnya siapa, yang penting iman kepada-Ku.

Sebagian orang sibuk mencari cara bagaimana menerima pesan Tuhan agar lebih afdol atau lebih mudah memahami, maka di antara mereka menuliskan lambang-lambang yang pernah mereka tahu, kemudian memformulakan bahwa bila ada pesan seperti ini maka maknanya ialah itu. Mereka bikin primbon. Sebagian orang percaya bahwa Tuhan bicara secara simbolik; meski sebagian orang lain lebih suka bilang bila pesannya ikan maka artinya juga ikan. Satu pihak (baik itu Tuhan atau manusia) kadang-kadang suka langsung mengatakan maksud sebagaimana yang dia ucapkan. Mereka bicara dengan jelas, polos. Bagi sebagian kecil orang, Tuhan kelihatan amat akrab hingga mereka bebas bermain-main dengan-Nya.

Wah, tampaknya lebih baik aku mengakhiri dulu tulisan ini, padahal sebenarnya sedang capek menunggu pesan dari Tuhan.[]17:50 11/03/07

Kontak: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Telepon: (022) 2037348 HP: 08156-140621 Email: wartax@yahoo.com
Seorang Janda di Pinggir Kerajaan
---Anwar Holid


JANDA DARI JIRAH (Novel)

Penulis: Cok Sawitri
Penerbit: GPU, Juni 2007
Tebal: 192 hlm.
Format: 13.5 x 20 cm
ISBN 979-22-2875-6
Harga: Rp 35.000



TAKHTA jelas merupakan hal rumit, ia rawan menyebabkan perebutan kekuasaan dan dendam. Pembagiannya sering menimbulkan masalah, bahkan ketika dengan hati-hati hendak dijinakkan dengan berbagai cara, baik lewat perkawinan, pemberian wilayah, penetapan silsilah---yang membuat seseorang merasa berhak duduk di singgasana atau harus mempertahankan hingga mati. Di banyak kasus takhta mesti direbut dengan siasat, tekad, dan cita-cita yang semangatnya perlu diwariskan bergenerasi-generasi, dimitoskan, sampai prasasti pengakuan ditulis bahwa ia memang pernah memegang tampuknya. Takhta melibatkan banyak hal, kerap menimbulkan pergesekan, prasangka, dan bila gagal dielakkan, mengalirkan banjir darah.

Janda dari Jirah karya Cok Sawitri (GPU, 2007) menyuratkan betapa raja muda Airlangga yang membangun Kadiri dari reruntuhan Medang, diceritakan bijak bestari ternyata terus-menerus galau atas takhtanya, meski telah bekerja keras mengeluarkan seluruh kemampuan untuk memakmurkan daerah kekuasaan. Airlangga tetap merasa terancam oleh Wura Wuri meski dia terhitung masih kerabat, sementara simbol-simbol legitimasi resmi kedaulatan bahwa dirinya pewaris sah Medang gagal ditemukan. Wilayah Wura Wuri berada di balik Jirah, sebuah wilayah kabikuan Buddha terdiri dari beberapa desa subur, dipimpin seorang pendeta utama perempuan, dikenal sebagai Rangda ing Jirah, ibu seorang putri bernama Ratna Manggali.

Posisi kabikuan Jirah berikut reputasi sang Rangda agak misterius namun sulit ditembus kekuasaan formal kerajaan. Wilayah ini mirip “tanah haram” yang harus suci dari pertempuran, bersih dari pertumpahan darah, bebas dari kepentingan kerajaan. Siapapun yang datang ke sana untuk minta perlindungan harus dijamin keselamatannya. Kabikuan merupakan wilayah suci, tempat orang menuntut ilmu, mengolah jiwa. Saking tinggi pencapaian Rangda ing Jirah, murid utamanya bukan saja manusia, ia juga menguasai binatang dan tumbuhan yang siap melindungi dan memenuhi permintaannya. Tanpa sepengetahuan Airlangga ternyata Samarawijaya menuntut ilmu di kabikuan dan lebih dari itu, seluruh simbol legitimasi kerjaan Medang ternyata dia pegang. Sesuai silsilah, dialah pewaris bekas kerajaan Medang, sementara Airlangga hanya seorang raja menantu; keluarganya berasal dari wangsa terkemuka di Bali. Memang agak aneh betapa Airlangga yang diceritakan tegas, pemberani, cendekia, toleran, masih butuh hal-hal artifisial, seolah-olah seluruh pencapaian dan kerja kerasnya masih kurang. Mengetahui itu semua Airlangga merasa langsung tahu takdir yang harus terjadi untuk kerajaannya.

Airlangga banyak diceritakan dari sudut pandang Narotama, penasihatnya yang lembut, setia, namun kerap disepelekan para panglima pasukan. Penulis memberi porsi amat besar tentang Airlangga, yang menyatukan dalam dirinya ide negara dan pribadi. Dia menceritakan betapa bila Airlangga menyerbu kerajaan lain, pasti berpola bumi hangus, dihabisi sampai ke anak-anak raja yang ditaklukkan. Dia tega tapi punya alasan kuat, yakni agar dendam tak mengalir ke keturunan selanjutnya. Masuk akal. Kerajaan taklukkan itu kemudian diurus oleh kerabat yang loyal atau putri-putrinya dia nikahi. Solusi yang bagus. Airlangga tak khawatir dengan separatisme. Begitu terlihat ada gelagat pemberontakan, langsung dia gerus sampai hancur, tanpa sisa akar---kecuali bila kecolongan. Separatisme tampak lebih bermotif kekuasaan dan keinginan makmur bagi suatu klan tertentu.

Sang janda sendiri menjadi latar belakang yang menyelimuti novel. Dia berkarakter, sampai membuat semua pihak enggan. Hidupnya lurus dalam jalan bakti pada Buddha, meski akhirnya harus berhadap-hadapan dengan kekuasaan yang menganggapnya memelihara duri kerajaan. Cok menggambarkan sang janda mantap sebagai pendeta. Meski sosok utuh dirinya sulit dijelaskan karena bercampur-campur dengan mitos dan legenda, Cok sukses mengubur kesan sang janda sebagai tukang tenung atau perempuan tua sakit hati.

COK SAWITRI memanfaatkan betul keahliannya menulis puisi, maka dia menatah kata dengan hati-hati untuk menghasilkan novela ini, sedikit menjelajahi gaya penulisan realisme magis, mengembangkan hal-hal mistikal mitologi Bali. Untuk memunculkan nuansa kuno, dia banyak mengambil kosakata langka, misalnya sisia, poruhita, telik sandi (sejenis informan). Sayang kata-kata sulit itu dibiarkan dikira-kira pembaca tanpa glosarium.

Mirna Yulistianti, editor GPU, memberi tahu, “Cok menulis seperti orang sedang ekstase” dan selesailah draft novel ini dalam waktu singkat. Memang Cok menulis mirip ibu yang mendongeng pada anak, hingga terasa novel ini kentara sekali menonjolkan sisi “mengisahkan” (tell) daripada “memperlihatkan” (show), tapi dia tampak hati-hati menafsir sejarah dan membaca rujukan. Berdasar tulisannya, Cok hendak mengembalikan ingatan publik bahwa hakikatnya sang janda ialah ibu kebajikan. Dengan cara seperti itu dia berusaha menempatkan dengan tegas tempat perempuan yang sudah sering disalahpahami itu dalam sejarah Jawa-Bali. Upaya cukup ambisius; dan mari kita tunggu apa di kemudian hari novela ini benar-benar berhasil memulihkan citra klise tentang seorang perempuan yang dalam banyak lakon dan cerita dihitamkan.[]

Thursday, September 27, 2007

INDONESIA RAYA
-----------------------------
---Anwar Holid, warga negara Indonesia dengan no. KTP 1050050909733005




Pada Jumat, 3 Agustus 2007 lalu aku memenuhi janji membawa Ilalang (7 tahun) sekeluarga ke Museum Mandala Wangsit Siliwangi di jalan Lembong, Bandung. Dulu sekali ketika masih SMU aku pernah ke sana dengan saudara sebaya dan teman-teman sekolah. Aku lupa bagaimana perasaanku waktu itu. Kini, sambil mengantar anak, ternyata aku entah terkesan atau malas menatap sesuatu yang berhubungan dengan 'negara' atau militerisme. Dulu aku masih kanak-kanak ketika ke sini, dan kembali ke museum satu ini sambil membawa dua orang anak. Fenfen sendiri jelas sekali malas berada di sana, dan sebagian reaksinya ialah dia gelisah dan ingin cepat-cepat pergi dari sana. Aku cukup semangat menemani Ilalang mengelilingi museum dan memperhatikan banyak hal, terutama peperangan yang dahulu dipertaruhkan oleh tentara Siliwangi dan rakyat Jawa Barat pada umumnya. Artefak momen-momen kemerdekaan juga ada di sana; salah satunya ialah meja dan kursi tempat Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir (?) berunding, sekalian dengan teko dan cangkirnya. 'Wah... ini cocok banget kalau dipasang di rumah kita!' seru Fenfen. Aku ngakak. Memang meja dan kursi itu mungil.

Aku senang bahwa Ilalang sangat antusias melihat tank baja, mobil senjata, meriam, senjata mesin, senapan-senapan kuno, mulai dari senjata 'dorlok' atau 'locok' ke bambu runcing, pistol, bayonet (?), pedang, parang, samurai, dan lain sebagainya. Senjata itu tampak begitu agung dan mitikal. Baju-baju yang pernah digunakan para pelawan penjajah Belanda atau Jepang sudah lapuk (cukup terpelihara), sementara bendera merah putih juga sudah usang. Kata Ilalang, 'Ini mungkin ketembak Belanda yah!' waktu melihat bendera merah putih sobek-sobek di tiang tank baja tua karatan tapi masih tampak menakutkan.

Museum itu sendiri makin lapuk; gedungnya tampak tua dan agak diabaikan, meski dijaga oleh para petugas berpakaian dinas kantor militer, lengkap dengan selempang kebesaran. Tampaknya jarangg juga dikunjungi oleh orang. Waktu beberapa hari sebelumnya menelepon bahwa hanya aku sekeluarga yang akan datang, bukan serombongan besar sekolah atau sekelas, petugas sedikit heran. Langit-langit di lantai dua jauh lebih buruk, banyak yang sudah somplak, penuh noda bekas genangan hujan, berbentuk seperti 'pulau-pulau' acak-acakan di bantal tua yang kotor dan nggak pernah dilapisi bungkus bantal yang cantik. Sebagian dinding atas bolong, memunculkan sinar-sinar cahaya dari luar. Dalam hati aku membatin, 'Kodam Siliwangi mungkin malas memelihara museum ini dengan sungguh-sungguh, tapi kalau dihancurkan juga takut kualat sama sejarah.' Jadi museum ini dibiarkan apa adanya, dengan segala keburukannya, termasuk dinding-dinding yang telah mengelupas.

Sambil bicara ini-itu merespons berbagai reaksi Ilalang, aku merasakan aroma heroisme yang dulu pernah dipelajari selama sekolah, terutama pelajaran sejarah dan PMP (Pendidikan Moral Pancasila), tapi akhirnya makin luntur karena aku tambah tua dan abai tentang hal-hal sejenis itu. Sekarang perasaan itu berubah jadi sejenis apatisme atau sinisme. Well, aku malas bila harus mengungkapkan kejijikanku pada semangat terhadap negara yang tampaknya nihil---tapi aku harus menghargai dan mengakui bahwa ada orang yang percaya pada ide-ide tentang negara agung dan mulia, dan karena itu harus dibela dan diprioritaskan. Aku sejak awal kehilangan perasaan seperti itu. Aku selalu bilang aku memilih menyelamatkan diri sendiri bila negara ini berkecamuk dalam perang karena aku merasa nggak punya hubungan atau ketertarikan apa pun dengan yang namanya nasionalisme. Tapi mungkin aku bohong dengan hal itu. Aku pernah diceritai bahwa nasionalisme baru bisa tumbuh tanpa disangka-sangka. Seseorang bisa menangis karena mendengarkan lagu Indonesia Raya di tengah kapal yang sedang berlayar di laut Pasifik; atau ketika Alan Budikusuma dan Susi Susanti memenangi emas pertama bagi negerinya. Aku nggak punya momen seperti itu. (Mungkin patut dikasihani.) Dari Bandung sini aku menyaksikan separatisme akut muncul di Timor Timur, Aceh, Papua, Maluku---dan berkali-kali pemerintah dan pihak militer Indonesia kecolongan; tapi kalau TNI membalas secara brutal juga pasti bakal jadi persoalan. Kasus yang sulit.

Sekarang ini aku sedang baca Janda dari Jirah karya Cok Sawitri, terbitan GPU, 2007. Buku ini memberi porsi besar tentang raja muda bernama Airlangga, yang kalau menyerbu kerajaan lain, meski masih kerabat, pasti berpola bumi hangus, dihabisi sampai ke anak-anak raja yang ditaklukkan. Dia tega tapi punya alasan kuat, yakni agar dendam nggak mengalir ke keturunan berikut. Masuk akal. Kerajaan taklukkan itu kemudian diurus oleh kerabat yang loyal atau putri-putrinya dia nikahi. Kayaknya sebuah solusi yang bagus. Tapi mungkin nanti akan ada yang menolak dengan sengit; 'Airlangga nggak seperti itu. Itu bohong. Dia jauh lebih mulia dari itu. Dia seorang yang bijaksana dan haus ilmu pengetahuan.' Wah... silakan menulis buku baru saja tentang dia kalau begitu. Bikin alasan yang meyakinkan. Galilah sumber yang lebih dalam dan berwawasan. Dalam buku itu Airlangga nggak khawatir dengan separatisme. Begitu terlihat ada gelagat pemberontakan, langsung dia gerus sampai hancur, tanpa sisa akar---kecuali bila kecolongan. Separatisme atau nasionalisme tertentu pada tanah sendiri tampak lebih bermotif kekuasaan dan keinginan makmur bagi sebuah klan tertentu. Dari dulu aku agak yakin barangkali sebenarnya cukup mudah membangun sebuah bangsa, asal orang mau mengorban diri untuk itu dan terus-terusan disemangati untuk membesarkan keluarga serumpun.

Yang paling menyedihkan aku ketika berada di lantai dua Museum Mandala Wangsit Siliwangi ialah menyaksikan bendera Fretilin yang disita dalam sebuah serangan, berikut simbol-simbol perjuangan mereka. Bendera itu sudah amat lapuk dan luntur; menandakan betapa lama peristiwa bersejarah itu berlangsung. Aku membatin, 'Dulu bendera ini direbut dengan taruhan nyawa oleh para tentara, diserang dengan strategi hati-hati, bahkan mungkin dengan pertumpahan darah di masing-masing pihak (aku lupa dengan keterangannya), dibawa dengan penuh kebanggaan, dan pasukan perebutnya mungkin diberi penghargaan oleh atasan dan negara berwenang. Tapi lihatlah, akhirnya Timor Timur sekarang jadi negara sendiri, merdeka, meski dari koran aku selalu membaca nada miring peristiwa-peristiwa yang terjadi di sana. Akhirnya mereka juga yang menang, memiliki negeri sendiri bagi para pejuang dan pembelanya. Pecundang, penjahat perang, dan pejuang negara ternyata sama saja. Mereka membela sesuatu yang mereka nilai mulia, berusaha saling mengalahkan, dan ternyata begitu berbeda bila dilihat dari sudut pandang lain. Kosong.' Mereka membela fatamorgana bernama Indonesia atau Timor Timur. Aku samar-samar teringat guru Isa dalam sebuah cerita Idrus (?); dia yang sama sekali tak pernah gembar-gembor tentang heroisme ternyata lebih tabah menahan siksa dan tahan menyimpan rahasia daripada seorang 'pejuang' yang sok tapi bernyali ayam. Begitu juga yang ditampilkan di museum itu. Pasukan Siliwangi menyergap rombongan DI/TII; Kartosuwiryo memenggal seorang tentara Siliwangi, pasukan Siliwangi menangkap Kartosuwiryo di tengah hutan, peristiwa G30S, ulama-ulama mengobarkan semangat juang santri melawan Belanda atau Jepang, ibu-ibu sibuk di dapur umum. Heroisme. Membela Indonesia Raya. Barangkali itu yang tampak hilang dalam diriku, dan entah aku akan memilikinya begitu saja, tanpa alasan jelas sekalipun, tanpa pamrih---atau baik-baik saja tanpa itu. Dalam banyak hal aku meragukan ide tentang bangsa atau negara dan hal-hal seperti itu. Aku lebih yakin pada kemanusiaan. Tapi kemanusiaan tanpa politik merupakan sesuatu yang amat sulit, sebab tanpa politik, pemerintahan, dan sejenisnya, sekelompok orang punya potensi berbuat jahat.

Ilalang takjub dengan seluruh isi museum itu, termasuk dua harimau Siliwangi yang diawetkan. Barangkali museum ini mewujudkan imajinasinya tatkala nonton Star Wars, Lord of the Rings, dan film-film epik lain, atau melihat ilustrasi pesawat perang dalam buku-bukunya. Atau membuat dia maju selangkah dibandingkan teman-teman sekelasnya, memungkinkannya bercerita lebih banyak dan pamer pengetahuan pada guru dan sahabatnya. Atau malah menguatkan pandangannya tentang pelajaran sejarah. Dia sudah mulai tanya-tanya bagaimana orang Indonesia dahulu perang melawan Belanda atau Jepang. 'Ayah pernah ikut perang?' tanya dia suatu hari. Aku ketawa ngakak. 'Enggak Lalang... ayah lahir waktu perang sudah selesai.'

Buat aku yang lebih penting sekarang ini ialah kesempatan lebih bagus untuk kemakmuran setiap orang yang menghuni tanah di kolong langit terik ini. Bukankah itu sangat sering kita khawatirkan, bahwa kesejahteraan masih begitu timpang, tapi kita sendiri masih pelit untuk berbagi sebesar-besarnya bagi kesejahteraan orang lain. Kalau begitu jalan keluarnya ialah bagaimana cara agar orang-orang miskin atau sengsara itu lebih punya kesempatan makmur tapi kekayaan kita utuh dan bertambah. Win-win solution, huh? Aku lebih butuh negeri yang membuat aku bersemangat kerja dan mendapatkan kemakmuran pantas dari sana, mewujudkan sejumlah harapan sederhana sebagai manusia. Aku adalah pribadi tertentu di dunia ini. Apalah arti sebuah negeri dibilang pemurah bila di dalamnya seorang pemulung tergeletak di bawah naungan bayang-bayang pohon karena kecapaian kesulitan mencari nafkah, sementara aku harus sedikit gelisah khawatir dicap mencampur-campurkan kepentingan tertentu karena bekerja untuk dua lembaga.

Pada Minggu, 5 Agustus 2007 lalu aku baca Yayasan Air Putih menemukan teks asli lagu 'Indonesia Raya' karya W. R. Supratman. Barangkali itu temuan penting bagi Indonesia yang terasa kehilangan makna kebangsaan dan kenegaraan, setelah berbagai peristiwa besar terjadi, mulai dari krisis moneter, Reformasi 1998, Otonomi Daerah, atau sistem baru pemilihan wakil rakyat dan presiden. Berartikah itu untukku juga? Aku sulit sekali memaknai temuan itu, tapi tampaknya momennya cocok sekali, menjelang Agustusan. Kejadian itu hanya langsung mengingatkan aku pada mas Farid Gaban karena dia pernah aku lihat menggunakan laptop yang di balik layarnya bertuliskan logo 'Air Putih' amat bagus. Dan sekarang laptop itu ditelan oleh bumi Indonesia, hilang karena dicuri salah satu penduduknya yang entah miskin atau iri melihat barang itu. Alangkah kontras nama 'Air Putih' yang begitu sederhana, sangat biasa, sangat hakiki, dibandingkan 'Indonesia Raya' yang nadanya heroik, bersemangat, barangkali menggetarkan dan patriotik.

Kalau aku orang sejenis Airlangga, yang menyatukan dalam dirinya ide 'negara' dan 'pribadi', mungkin aku akan bersemangat dengan temuan itu. Tapi aku adalah Wartax, ayah seorang anak SD kelas 2 yang tengah tumbuh dan butuh tanah air tempat berkembang lebih baik di masa depan, yang sinis terhadap ide negara, namun susah payah menjalani hidup di dalamnya, harus berdamai dengan banyak hal, mudah makan ati, memiliki sepetak tanah beserta rumah kecil tanpa pekarangan, masih kesulitan bayar kebutuhan hidup bahkan untuk hal-hal yang mendasar, dan masih harus bayar pajak buat negara lagi! Aku tahu tentu konyol kalau berharap pemerintah atau negara ini mampu menyelesaikan persoalan-persoalan fundamental yang aku hadapi, termasuk persoalan kemakmuran sekalipun. Cukup pengalaman mengajari negara dan aparatnya sering berpangku tangan terhadap kesewenang-wenangan, bahkan mereka juga tega berbuat brutal dan sembarang comot orang, diam saja terhadap ketidakadilan kecuali ada maunya. Negeri ini menjadi tempat aku bercocok tanam, menjadi buruh, bekerja, bermimpi, berharap, berbuat apa saja, berharap baik, bahkan menjerit-jerit karena kesal atas banyak hal. Norah Jones, penyanyi favoritku, menciptakan lagu yang lebih bersahaja untuk negerinya, 'My Dear Country', salah satu baitnya menyatakan: Aku senang atas hal yang telah engkau berikan kepadaku. Aku amat menyayangimu, negeri tercintaku. Tapi kadang aku tak paham permainan yang kita lakukan. // Aku senang atas yang telah engkau berikan kepadaku. Tapi yang paling penting ialah aku bisa bebas, menyanyikan lagu yang aku lantunkan, di hari pemilihan umum.[]10:17 07/08/2007

ANWAR HOLID adalah warga negara Indonesia dengan no. KTP 1050050909733005; warga Yahoo.com dengan alamat wartax@yahoo.com.

KONTAK: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B, Bandung 40141, Telp. (022) 2037348 - SMS: 08156140621.
Berakhlak atau Beragama
---------------------------------------
---Anwar Holid


Boleh jadi Jalaluddin Rakhmat dan Arvan Pradiansyah belum pernah tampil berhadap-hadapan, tapi lewat buku masing-masing mereka ternyata bisa berbagi topik serupa. Secara kebetulan buku tersebut terbit berdekatan menjelang bulan Ramadhan. Dua penulis ini jelas berbeda karakter. Yang pertama dikenal luas sebagai cendekiawan Muslim cum pakar komunikasi; yang kedua dikenal sebagai pembicara publik dan fasilitator pengembangan SDM. Persamaannya mereka berdua pandai berkomunikasi dan sukses menulis buku-buku yang mempengaruhi massa karena terbukti bestseller.

Topik yang mereka bagi bersama itu ialah keprihatinan menyaksikan fenomena orang beragama ternyata banyak juga yang berwatak buruk. Jalaluddin mengangkat semangat topik ini dalam buku yang ia juduli Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih (Mizan, 2007). Sementara dalam Cherish Every Moment (Elexmedia, 2007) Arvan mengusung topik itu sebagai bab yang menantang: "Orang Beragama atau Orang Baik?"

Topik ini terasa klise namun setiap kali dibahas selalu menimbulkan kontroversi, terlebih-lebih bila mengingat kita merupakan bangsa dengan jumlah warga negara beragama terbesar di dunia. Di negara yang dipenuhi orang beragama ini alangkah janggal justru terjadi tindakan pelanggaran HAM, ketidakadilan, kerusuhan massal, penindasan struktural, kemiskinan moral, maupun tindakan-tindakan antikemanusiaan. Apa arti hukum agama bila gagal mencegah pemeluknya dari perbuatan yang merugikan sesama manusia? Ada banyak kasus membuktikan orang beragama ternyata jahat dan tega merendah-rendahkan atau menyerang orang lain dengan membabi buta. Menurut Jalaluddin, itu terjadi karena orang lebih mendahulukan fiqih (tata cara hukum) daripada akhlak; sedangkan menurut Arvan salah satu sebabnya karena orang gagal memahami esensi agama. Orang seperti itu mudah mengatasnamakan keyakinan agama atau dogma, padahal dirinya sama sekali tak tercelup oleh inti ajaran agama tersebut. Orang seperti itu jadi fanatik; toleransinya pada pihak lain nol. Mereka mengutamakan hukum di atas segala-galanya sampai rela menyerang pihak lain yang berbeda. Mereka menganggap kesalehan itu diukur dari kesetiaan terhadap fiqih. Menurut Arvan, kenapa orang beragama gagal jadi orang baik karena orang tersebut menganggap agama merupakan seperangkat peraturan yang membatasi, mengikat, menyusahkan, hitam-putih. Di atas berbagai kepentingan, Nabi Muhammad menyatakan: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak." Hadis riwayat Al-Thabrani menyatakan: sesungguhnya seorang hamba mencapai derajat tinggi di hari akhirat dan kedudukan yang mulia karena akhlaknya yang baik, walaupun ia lemah beribadah.

Bukan semata-mata menjelang Ramadhan maka kedua buku tersebut lantas jadi menarik untuk diperbincangkan; keduanya mengingatkan kita tanpa akhlak yang baik terhadap sesama manusia dan alam, kehidupan beragama jadi sejenis omong kosong tentang Tuhan. Robert T. Pirsig di buku legendarisnya, Zen and the Art of Motorcycle Maintenance, menyatakan: Orang bisa secara fanatik membaktikan hidupnya pada politik atau keyakinan agama atau segala bentuk dogma maupun tujuan lain karena dogma atau tujuan tersebut meragukan.

Tentu penulis dari dua generasi berbeda cukup jauh ini juga bukan hendak mengampanyekan pendapat bahwa beragama itu sia-sia atau mengikuti fiqih itu nihil; melainkan para pemeluk agama harus mencamkan dalam dirinya ada sesuatu yang lebih luhur daripada sekadar formalitas atau rutinitas agama. Karena senantiasa menjanjikan hal yang paling luhur, paling mulia, agama mendidik pemeluknya menemukan hakikat ajaran. Jalaluddin menyarankan agar kaum Muslim mengubah cara pandang dari berparadigma fiqih lama-kelamaan jadi berparadigma akhlak. Sedangkan Arvan dengan ungkapan lain membidik maksud serupa, yaitu agar orang menemukan esensi agama, yaitu "kasih." Mengasihi orang lain merupakan kunci agar orang lain bisa dikatakan telah beriman (Cherish, hal. 149). Jalaluddin menarik banyak ibadah ujung-ujungnya merupakan latihan membentuk akhlak, baik shalat, puasa, zakat, dan haji. Shalat sudah jelas mestinya dapat mencegah kekejian dan kemungkaran. Puasa merupakan latihan agar orang bertakwa; orang bertakwa ialah orang yang menginfakkan harta dalam suka dan duka, mampu menahan amarah, memaafkan orang lain, dan berbuat baik.

Menarik membaca dua pendapat saling menguatkan tentang pentingnya berakhlak baik dan berlomba-lomba memberi manfaat bagi kehidupan. Orang pertama secara eksplisit memanfaatkan teks-teks khazanah Islam, orang kedua lebih implisit menggunakan pendekatan berdasar prinsip spiritualitas-universal, demi menjalani hidup agar indah setiap saat. Manfaatnya sama: bila konsisten dipraktikkan, kedua cara itu mampu mengubah orang jadi tahu betapa berharga kehidupan dan ia akan menjaga agar kehadirannya penuh makna. Arvan mengampanyekan agar setiap saat orang bisa sama-sama menghargai semua momen dalam kehidupan. Ini merupakan ajakan ambisius, apalagi bila mengingat betapa orang dikejar-kejar waktu, mengalami peristiwa buruk, dan kerap menjalani sesuatu secara terpaksa. Kuncinya orang harus menghargai dan menemukan sendiri keindahan dalam kehidupan tersebut. Jalaluddin menyebut empat ciri utama orang yang menganut 'paradigma akhlak', yaitu (1) ia mengakui adanya kebenaran jamak (multiple reality); (2) ia bisa ikhlas meninggalkan fiqih demi persaudaraan; (3) melihat ikhtilaf sebagai peluang untuk memberikan kemudahan menjalankan agama; (4) mengukur kemuliaan seseorang dari akhlaknya (Dahulukan…, hal. 62).

Mumpung Ramadhan, pertama-tama saya mengajak diri sendiri, mari menghargai waktu yang persis kita miliki sekarang dan memenuhinya dengan kemuliaan.[]

NB: Awalnya kolom ini berjudul 'Berbagi Topik Serupa.' Karena pertimbangan biar lebih tegas dan sesuai maksud, saya ubah jadi seperti di atas.

Wednesday, July 18, 2007

DAVID LURIE
------------
>> Anwar Holid


Saya mengenal lelaki itu karena bisnis. Waktu itu saya di kantor, dan karena tugas, saya yang kadang-kadang harus menemui orang yang berurusan dengan kantor. Tak pernah terbayangkan ternyata lelaki blak-blakan itu adalah seorang profesor sastra Inggris. Awalnya saya tidak terkesan dengan perkenalan itu, bukan karena dia tidak ramah, melainkan lebih karena dia terlampau mengejutkan untuk sebuah pertemuan pertama. Biasanya kita mengawali perkenalan dengan ramah-tamah gaya lama, yang isinya wajar bisa diterima siapa pun; misalnya tentang kabar hari ini, berita sehari-hari, termasuk kejadian politik yang baru terjadi. Seberapa sering kita bisa dengan lega membicarakan yang benar-benar tentang diri sendiri? Tentu saja jarang, sebab diri sendiri kerap mengalami kegelisahan, yang bila dibagi pada orang lain, kita tidak bisa menjamin dia akan bisa menerimanya dengan lega; tentu saja karena ada aba-aba 'belum saatnya', atau 'terlalu awal' untuk sebuah perkenalan.

- Untuk lelaki seumur saya, 52 tahun, cerai, saya pikir saya bisa menyelesaikan masalah seks cukup baik; itu yang diucapkannya tak lama setelah kami duduk bersama, memperkenalkan diri, berbasa basi sangat singkat. Apa maksud dia bilang seperti itu? Itu ucapan terus terang atau semacam pengakuan? Apa maksud dia menyelesaikan masalah dengan pelacur? Cara menyelesaikan masalah seks cukup baik bagi seorang duda? Terus terang ceritanya membuat selera seks saya juga langsung naik; sebagaimana lelaki pada umumnya saya kadang-kadang memiliki masalah seks. Ternyata benar. Dia tak sungkan bilang punya simpanan, seorang call girl kelas tinggi, berkulit coklat; persetubuhan mereka yang lama dan liat---seperti perkawinan dua ekor ular.

Sebenarnya dia sendiri agak jatuh cinta pada pelacur muda itu, tapi dalam banyak hal dia tahu diri tak bisa menjadi seorang kekasih bagi perempuan itu. Dia tetap seorang pelanggan biasa, tak ada haknya melarang perempuan itu menerima lelaki pelanggan lain. Tapi dengan begitu lelaki itu juga jadi tahu cara memenuhi hasrat seksualnya; kalau tidak mengencani istri-istri koleganya sesama dosen, yang bisa dirayu bila mau, dia tidak segan mencari pelacur lain. Atau pegawai perempuan universitas. Untuk lelaki seperti dia, seorang profesor, berpenghasilan cukup, punya jabatan, dapat beasiswa, hidup sendiri, tak banyak keinginan, sederhana, dia bisa membelanjakan uang untuk membayar perempuan yang disukainya, siapa saja. Hidup yang tentu saja sangat nyaman bagi seorang kasanova, atau womanizer.

Profesor berkulit putih itu bernama David Lurie, dosen kajian puisi, spesialisasi puisi zaman Romantik, mengajar di Universitas Teknik Cape. Dia sedang menekuni studi tentang Lord Byron, yang entah kenapa mirip dengan dia dalam satu sisi: suka perempuan, dan perempuan tampaknya juga mudah sekali jatuh memberikan cinta dan seluruh tubuh pada pelukannya. Barangkali sudah begitu nasib menentukan jalan hidupnya, dan dia sekadar menjalaninya. Sebenarnya saya bosan dengan indikasi seakan-akan sejumlah penyair atau penulis itu banyak yang punya skandal seks. Penyair kan tidak beda dengan pengusaha, misalnya. Pengusaha atau politikus juga banyak yang punya skandal seks, tapi kenapa itu tampaknya kurang istimewa bila dibandingkan skandal seks seniman?

Dua kali menikah, dua kali cerai, punya anak satu, dengan banyak skandal seks dalam hidupnya. Dia tak menyangkal memang hanya ingin bersenang-senang dalam hidup, melakukan sesuatu yang semata-mata disukainya. Apalagi keinginan seseorang yang hidupnya nyaris tak kekurangan? Keinginan itu adalah menuntaskan kepuasan batin. Untuk itu pun dia tahu cara memenuhinya: dia menulis kritik, sudah tiga buku dia hasilkan. Meskipun dia juga mengakui dengan sederhana bahwa ketiga buku itu 'tidak menimbulkan riak sedikit pun' di dunia kritik sastra. Dia berharap karya tentang Lord Byron itu bisa menimbulkan riak, setidaknya kepuasan untuk dirinya. 'Kepuasan' saya pikir cocok untuk mengidentifikasikan dirinya. Bila belum puas, dia akan terus; bila sudah, dia akan berhenti.

Setelah perkenalan singkat itu saya pikir dia akan mengenalkan salah satu perempuan teman kencannya pada saya, atau menceritakan perselingkuhan lainnya. Yah, itu harapan saya. Tapi ternyata saya kecele. Dia pernah bilang, sebenarnya dia tidak disukai kolega perempuannya, apalagi yang punya kecenderungan 'feminis'. Di jurusannya ada satu-dua dosen perempuan yang terang-terangan ingin menyingkirkan dia, tapi sejauh ini gagal. Saya tidak tahu apa itu disebabkan pengaruhnya di kampus, atau justru karena kesenioran dan kesarjanaannya. Saya pikir karena kesarjanaannya; artinya, menyingkirkan seorang profesor pasti butuh usaha luar biasa, atau kejadian luar biasa; tidak bisa memecat begitu saja seperti pada dosen muda. Seperti dinosaurus, yang begitu luar biasa, sampai hanya bisa musnah oleh kejadian yang juga harus ekstrem.

Saya juga sebenarnya bisa dibilang tidak akrab benar dengan dia. Persahabatan kami memang tambah baik setelah perkenalan itu, tapi itu lebih disebabkan bisnis. Menurut saya sendiri, dia lelaki pendiam dan penyendiri. Karena itu dia sesekali menawari minum bareng, dan saya terima dengan terbuka. Untuk apa saya tolak? Dia simpatik. Saya pikir karena itu dia bisa meniduri perempuan manapun; selain itu dia tampan dan punya segala yang bisa diinginkan perempuan. Dia rela memberi hadiah berharga bahkan pada pelacur favoritnya; mana ada lelaki mata ke ranjang bisa begitu pemurah? Ketampanan memang merupakan pemikat yang tak kenal kendala. Lord Byron juga tampan, dan meskipun kewarasannya diragukan, bajingan, dia bisa meniduri banyak perempuan dan dia sendiri jadi rebutan. David pernah cerita kenapa bisa begitu mudah dekat dengan perempuan. Sejak kecil dia diasuh oleh banyak perempuan di keluarganya; bisa pembantu, bibi, atau istri-istri ayahnya. Barangkali secara alamiah dia punya bakat dekat dengan perempuan, dan perempuan juga nyaman ada didekatnya. Disebabkan ketampanan, sekali dia melirik, OK sajalah. Sebenarnya, bagi dia sendiri, perempuan dan seks itu fungsinya benar-benar untuk melepaskan energi dan protein yang menggumpal dan berlebihan. Saya tak bisa komentar apa-apa tentang itu.

Waktu terakhir kali kami bertemu, dia bilang jatuh cinta pada seorang mahasiwanya. Dari ceritanya, saya mengira gadis itu berkulit hitam.

- Kami bertemu di jalan sepi belakang kampus. Saya menyapanya, tapi ternyata akhirnya dia saya undang minum di rumah. Dia seolah-olah memberi cahaya. Saya jatuh cinta dan tiba-tiba merasa jadi budak Eros. Dan setelah itu, terjadilah.

Dari nadanya dia berkata sungguh-sungguh. Tapi bila sangsi, mana bisa kita percaya pada bajingan? Ditiduri lagi. Mahasiswanya, berusia dua kali lebih muda dari dia, bahkan lebih muda lagi. Dalam hati saya bilang, dia ini memang kasanova, tak bisa hidup tanpa memeluk wanita, maunya jatuh cinta melulu setiap melirik 'barang halus'. Tapi bisa jadi memang begitu. Orang bisa jatuh cinta pada siapa saja dengan kualitas 100 % sama namun bentuknya beda-beda. Dalam kasus David, misalnya, dia juga jatuh cinta pada pelacur langganannya, ingin mereka mengekspresikan cinta dengan normal, tapi akhirnya tidak bisa; pelacur itu merasa tidak layak karena punya keluarga, suami, dan anak. Bila Anda percaya pada kualitas David Lurie, dia bisa menerima apa saja keadaan orang lain---apalagi bila menjadi kekasihnya. Lurie adalah tipikal manusia yang sebenarnya sangat egaliter, terbuka, tak mau repot, menempatkan kenikmatan dan kenyamanan hidup sebagai tujuan hidup nomor satunya. Barangkali dia sadar menjalani Epicureanisme. Tapi apa dengan begitu dia jadi tampak istimewa? Bisa jadi tidak.

Setelah itu kami lama tak jumpa. Beberapa waktu setelah tak ada yang istimewa, tiba-tiba terdengar berita mengejutkan, Prof. David Lurie disidang dengan tuduhan pelecehan seksual dan pemerkosaan pada mahasiswanya. Tentu saja heboh; kenapa kali ini kenapa dia ceroboh? Berita itu bahkan masuk koran. Ternyata mahasiswa itu punya pacar, dan dia marah sekali tahu kekasihnya kencan dengan dosen, tidak terima, dan berhasil memaksanya melakukan tuntutan. Ditambah lagi saudara dan keluarganya juga marah. Karena tertekan, mahasiswa itu akhirnya keluar kuliah. Runyam. Bukankah mereka jatuh cinta? Sidang itu jadi skandal, dan dia kalah. Dia memang menerima tawaran agar mengaku salah melakukan pelecehan seksual dan pemerkosaan, tapi menolak minta maaf pada universitas, apalagi terhadap peristiwa itu. 'Buat apa?' kata dia bertahan. 'Bukankah kalian minta pernyataan bahwa aku salah melakukan itu? Aku mengakuinya. Tanpa syarat. Tapi buat apa minta maaf? Kami jatuh cinta. Tak ada yang salah dengan itu.'

Begitulah dia dipecat dan jadi cemoohan. Reputasinya di kampus hancur. Tapi setidaknya dia dapat pensiun. Pensiun seorang guru besar. Di satu sisi dia lega; menurutnya sendiri, dia pernah mengaku pada saya, dia tak punya bakat mengajar. (Memang benar, bakatnya adalah bercinta). Dia jadi dosen hanya untuk mata pencaharian, sama sekali tak bisa memotivasi mahasiswa. Sebagai dosen dia sangat biasa, cara mengajarnya tak istimewa, tak bisa memikat agar mereka lebih cinta ilmu dan pengetahuan, apalagi belajar pada kehidupan. Jika mahasiswa tak mendengar kuliahnya, silakan; asal nanti lolos ujian. Saya sepakat dengan komentar tentang dirinya itu. Siapa bisa bersimpati atau perhatian pada lelaki mata ke ranjang dengan moral sangat longgar? Barangkali tidak ada, meski yang dia ucapkan kadang-kadang benar. Andai seseorang berdebat dengan pelacur tentang agama, dan pelacur itu di atas angin melancarkan serangan argumen, bisa mendesak nyaris menang, dengan mudah orang bisa menyergah dengan jurus ampuh, 'Ah, tahu apa pelacur tentang agama!'

Sekarang dia bisa menghabiskan waktu sesuka hati. Sesak karena sidang dan tatapan orang, dia pindah sebentar ke rumah putrinya, di desa pinggiran kota Cape. Di sana dia bertekad menyelesaikan karya tentang Lord Byron, tanpa terduga hasilnya adalah naskah opera kamar. Tapi tanpa pernah terkira, kecelakaan menimpa mereka; tiga orang penjahat kulit hitam merampok rumah putrinya, menghancurkan isinya, memperkosa putrinya, menghajar dia dan membakar tubuhnya, kemudian melarikan mobilnya. Dia meradang keras sekali. Dia terpukul dan hancur oleh peristiwa memalukan ini: bagaimana mungkin seorang sarjana berkulit putih seperti dia bisa diperlakukan begitu hina, dan anaknya hamil oleh sperma manusia kulit hitam dari golongan penjahat dan bromocorah. Betapa dia merasa terhina. Tapi dalam kondisi terpuruk itu sempat-sempatnya dia bilang: risiko kepemilikan adalah kehilangan. Terlalu banyak orang, terlalu sedikit barang. Semua harus dapat bagian. Saya ingat waktu membujuk gadis yang menyebabkannya dipecat, dia merayu seperti itu.

- Kecantikanmu harus dibagi.

- Kalau sudah ada yang menerima bagian itu?

- Harus lebih banyak orang yang merasakan bagiannya.

David Lurie hancur dan marah sekali pada peristiwa yang dia alami. Saya sendiri sulit sekali berempati pada dia. Saya yakin orang lain pun akan seperti saya kalau mendengar kisahnya. Saya pernah nonton, seorang pembaca acara bertanya kepada gadis yang diperkosa ramai-ramai oleh temannya, kenapa tidak lapor polisi? Jawab gadis itu, 'Karena kalau lapor saya sendiri yang akan disalahkan. Kenapa kamu bergaul dengan mereka? Kenapa kamu melakukan seks bebas dan memakai narkoba?' Dalam kondisi runyam seperti itu jarang orang bisa bersikap jernih dan tegas, bahwa sesuatu bisa didudukkan terpisah dengan pandangan lurus. Pada kasus David Lurie, lebih sulit lagi saya bersimpati padanya, di tengah kesialan dan kesakitan itu dia masih bisa berzina dan berselingkuh dengan kawan putrinya. Herannya, perempuan itu juga melakukan persetubuhan dengan perasaan berdebar-debar dan penuh pengharapan. Astaga, manusia macam apa profesor ini?

Saya setengah tak percaya memperhatikan penuturannya, pening memandang dia. Saya sesak, sinis, sebal atas perilakunya. Tapi saya kagum dengan integritasnya, pandangan optimistik dan iktikad baiknya terhadap dunia. Meski dalam hati bertanya, 'Apa itu cukup buat dunia?' Tentu saja tidak. Manusia sama sekali tidak cukup hanya dengan jadi baik, jujur, atau optimistik.

Beberapa waktu lalu saya bertemu lagi dia. Dia bilang dengan gembira sudah selesai menulis opera kamar itu, meski tidak tahu apa bisa dipentaskan. Saya tersenyum seakan-akan tahu dunia yang dihadapinya kurang-lebih setimpal dengan hidup yang dihadapinya, yang dipandangnya. Maksud saya, dia tidak jadi cengeng atau merasa berhak menuntut keadilan atas kesukaran yang dialaminya. Kegetiran adalah bagian dari dunia, seperti juga bau busuk, kejahatan, korupsi, kasih sayang, dan semua peristiwa yang bisa terjadi. Semua wajar, semua diizinkan.

Sekadar mengumumkan, yang mengenalkan saya pada Prof. David Lurie itu adalah J.M. Coetzee, penulis Afrika Selatan pengarang Disgrace; dan bisnis saya adalah menyunting terjemahan.[] 5:58 AM 4/11/05 | Untuk Kang Tanzil dan Rani, semoga suka.

Monday, July 16, 2007

Ketika Menulis Menjadi TAKDIR
>> Djoko Pitono


BUDI DARMA, guru besar Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya, Mei nanti memasuki masa purnatugas. Itu karena pada 25 April lalu usianya telah genap 70 tahun. Meskipun masih akan tetap mengajar sebagai guru besar emeritus, sastrawan terkemuka itu tampaknya akan lebih banyak waktunya untuk menulis, aktivitas yang paling disukainya.

Dalam pandangan Budi Darma, menjadi guru besar tidak jauh berbeda dengan keadaan ketika dirinya menjadi rektor pada 1980-an. Keadaanlah yang menuntutnya untuk memegang jabatan tersebut, tanpa ia minta dan inginkan. Ia memandang jabatan itu sebagai amanah. Tetapi ia juga merasa bahwa dengan menjadi rektor, kehidupannya sebagai sastrawan dan budayawan terampas.

Berbeda dengan jabatan tersebut, Budi Darma memandang menjadi pengarang adalah karena takdir. Wahyudi Siswanto dalam bukunya Budi Darma: Karya dan Dunianya (Grasindo, 2005), mengemukakan bahwa bakat, kemauan, dan kesempatan untuk menulis bagi Budi Darma tidak lepas dari takdir. Ia merasa ada sesuatu dalam dirinya yang memaksanya untuk menulis. Ia pun merasa bahwa tanpa menulis ia menjadi manusia tidak bermanfaat.

Namun, jangan dikira menulis membuat Budi Darma bahagia. Pandangan soal ini pernah dikemukakan dalam buku Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (editor Pamusuk Eneste) yang terbit pada 1984. Ia mengatakan, menulis justru menimbulkan kesengsaraan. Tidak menulis berarti berkhianat terhadap takdir. Tanpa menulis hidupnya terasa kosong, dan ia pun mengaku jarang menulis meskipun sebenarnya tulisannya sangat banyak.

Sebagai sastrawan, Budi Darma memang produktif. Ia menulis tidak hanya cerpen-cerpen dan novel, tetapi juga esai-esai sastra, dan juga puisi. Lihat misalnya tulisan Sunaryono Basuki di Jawa Pos edisi Minggu, 22 April 2007. Orang-orang memandangnya sebagai seorang yang jenius. Dalam berbagai forum seminar, misalnya, Budi Darma sering membuat para peserta takjub. Itulah karena apa yang ditulis di makalahnya persis sama dengan apa yang dikatakannya, termasuk dalam bahasa Inggris. Masuk akal bila pada 1963 ia menjadi lulusan terbaik Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM dan dengan mudah mendapat beasiswa untuk belajar di Amerika pada 1974 hingga lulus doktor pada 1980. Sekadar catatan, Budi Darma tidak hanya menguasai bahasa Inggris, tetapi juga bahasa Belanda dan Jerman, selain bahasa Indonesia dan Jawa, tentunya.

Dalam penampilannya, Budi Darma santun dan ramah pada siapa saja. Cara ia berpakaian dan berdandan juga rapi. Rumah dan halamannya asri dan bersih. Tetapi dalam tulisan-tulisannya, baik fiksi maupun nonfiksi, Budi Darma bisa melancarkan kritik sangat menyengat terhadap banyak pihak. Nada tulisannya pun sering blak-blakan.

Perihal studi sastra, yang tidak disukai dosen dan mahasiswa Fakultas Sastra, juga menjadi perhatiannya. Tulisannya di jurnal Prasasti yang diterbirkan FBS Universitas Negeri Surabaya, mungkin membuat banyak dosen dan mahasiswa salah tingkah.

Menurut Budi Darma, studi sastra terdesak oleh studi kebahasaan sejak akhir tahun 1960-an hingga saat ini, dan entah sampai kapan. Ia melukiskan bagaimana dosen di Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Sastra sebuah PTN tidak satu pun yang memilih untuk mengampu mata kuliah sastra, padahal mereka semua tamatan Fakultas Sastra. Mereka memilih mengajar mata kuliah studi kebahasaan.

Kecenderungan terdesaknya studi sastra oleh studi kebahasaan disebabkan antara lain kemungkinan teknis. Semenjak awal 1960-an, banyak sarjana muda atau sarjana Indonesia dikirim ke luar negeri untuk belajar studi kebahasaan karena studi kebahasaan erat hubungannya dengan pengajaran bahasa asing. Sedang para sarjana muda dan sarjana yang memperoleh kesempatan untuk mempelajari studi sastra di luar negeri segan untuk mempergunakan kesempatan tersebut. Alasan mereka sederhana, yakni beban membaca dalam studi sastra terlalu berat, katanya.

Titik berat studi sastra, kata Budi Darma, adalah penghayatan. Segala sesuatu yang bersifat penghayatan lebih sulit dirumuskan daripada segala sesuatu yang bersifat kognisi. Karena itu, studi sastra kurang mempunyai formulasi yang jelas. Masalah-masalah dan penemuan-penemuan dalam studi sastra kurang dapat diformulasikan dan diartikulasikan dengan jelas pula. "Karena studi sastra kurang mempunyai formulasi yang jelas, maka studi sastra banyak dianggap kurang ilmiah," tuturnya.

Tetapi kalau toh studi kebahasaan dianggap lebih mudah dibanding studi sastra, apakah lantas muncul banyak karya tulis termasuk buku-buku kebahasaan? Jawabnya sama tidak menggembirakan. Sama dengan keadaan fakultas-fakultas yang lain, Fakultas Sastra juga tidak banyak memunculkan buku-buku. Bila ditanya soal ini, Budi Darma punya jawabannya, mungkin bisa memerahkan telinga.

Budi Darma mengatakan, tidak perlu berharap banyak dari dosen yang tidak mau menulis. Ia menyarankan agar kita "merelakan" para dosen itu bekerja hingga mereka pensiun. "Lebih baik kita menggantungkan harapan dari generasi muda," kata Budi Darma dengan nada datar. Dalam sebuah tulisannya pada 1983, Budi Darma mengemukakan bahwa pada dasarnya menulis itu memang sulit. Kesulitan untuk menulis terutama bersumber pada kurangnya kemampuan seseorang untuk berpikir kritis. Seseorang yang tidak dapat berpikir kritis dengan sendirinya tidak dapat mengidentifikasi dan memilah-milah persoalan dengan baik. Dan bila seseorang tidak mempunyai kemampuan melihat persoalan dengan betul, pikirannya juga tidak mempunyai kelengkapan daya analisis yang baik. Persepsi orang semacam ini dengan sendirinya kabur. Dan, kekaburan persepsi merupakan sumber kelemahan seseorang untuk menemukan persoalan yang dapat ditulisnya.


"Ketidakmampuan menemukan persoalan menyebabkan seseorang tidak mungkin menulis mengenai persoalan. Milik orang semacam ini terbatas pada kemampuan menceritakan kembali pengalamannya, atau apa yang pernah dilihatnya, didengarnya, dan dipelajarinya, " kata Budi Darma. (*)


DJOKO PITONO, editor dan penulis buku.

SUMBER: Posted by: "nutze matapena"
Di Balik Buku , Minggu, 29 April 2007.