Thursday, June 16, 2016



Kehilangan Momen Berbuat Baik 
Anwar Holid

Suatu pagi pas jalan ke pasar inpres, aku ditawari seorang laki-laki berwajah bingung dan memelas untuk membeli sekantung keresek beras. Dia bilang istrinya mau melahirkan dan tak punya cara lain mencari uang buat biaya persalinan, makanya menawari siapa saja yang ada di pinggir jalan. Aku minta maaf menolak membeli berasnya, bilang di rumah masih ada persediaan, dan sedang tidak berencana beli beras. Aku memang mau beli sejumlah kebutuhan keluarga, tapi tidak termasuk beras. Laki-laki itu berusaha terus meyakinkan dan membujuk, tapi aku tetap menolak. Raut wajahnya tampak makin sedih. Aku lihat kilatan matanya makin berair mengalir ke sudut, menggumpal mau jatuh jadi tangis. sambil melengos putus asa, dia bilang, 'Maaf... ini memang salah saya...'

Aku langsung nelangsa dengar itu dan memegang pundaknya sambil berkata, 'Bukan... itu bukan salah akang. Saya hanya enggak niat beli beras. Mungkin nanti ada orang lain yang mau beli beras akang. Maaf ya...' Dia mengangguk dan kami berpisah.

Aku membatin, aku percaya bahwa dia jujur atas kondisinya. Dia tak punya cara lain berusaha, sehingga berharap keberuntungan di pinggir jalan. Sementara aku tidak spontan membantu orang lain dan merasa kurang lapang. Aku pernah dalam situasi sulit serupa, dan tahu persis betapa mencari bantuan memang bisa sangat sulit. Sekarang saja aku tengah butuh biaya untuk renovasi rumah, pengen beli kamera, mau beli road bike, kadang-kadang dituntut beli barang yang lebih mahal lagi, membiayai macam-macam keinginan... tapi masih terlalu malas lebih giat mendulang rezeki. Aku merasa bahwa keperluan itu masih bisa ditunda. Padahal aku tak punya aset selain menawarkan jasa, memaksimalkan kemampuan dan kesempatan. Kejadian itu membuatku membatin, kenapa ya Tuhan mempertemukan aku dengan pria itu?

Kenapa aku tak langsung menolongnya dan terlalu keukeuh dengan rencana yang sudah disusun? Apa kalau aku beli berasnya maka hidupku bisa berantakan atau malah diketawain sebagai orang yang gampang ditipu orang pinggir jalan? Jujur saja aku tidak kuatir oleh komentar orang lain. Cuma aku penasaran. Kenapa aku ditakdirkan menyaksikan detil kehidupan seseorang yang tengah kesulitan? Mungkin itu tanda sebenarnya aku bisa menolongnya sesuai kemampuan. Karena kemampuanku kecil, maka yang dihadapkan kepadaku juga detil kehidupan yang simpel. Kenapa orang seperti itu tak dipertemukan dengan pengusaha sukses, gubernur atau pemimpin partai? Kalo itu terjadi tentu persoalannya bisa langsung beres dan bisa dimaksimalkan untuk pencitraan.

Kenapa pria itu tak ketemu dengan para pemimpin negara-negara yang tengah berunding membicarakan masa depan dunia dan persoalan rumit seperti kemiskinan, krisis ekonomi dunia, ancaman terorisme? Apa hal itu terlalu sepele dibanding persoalan besar dunia, maka terjadi di sudut bumi di luar jangkauan radar kekuatan besar. tampaknya juga mustahil bahwa 'persoalan kecil' seperti kebutuhan pribadi terungkap di acara demikian. Mungkin gak sih dalam pertemuan 'penting' tingkat internasional seseorang minta tolong dirinya butuh biaya persalinan istri, ongkos sunatan, atau biaya nikah anaknya? Orang akan bilang itu irelevan dan di luar konteks. Atau gila. Jadi apa sebenarnya kejadian kecil itu sama bobotnya dengan peristiwa besar yang dianggap penting dan perlu dicatat sejarah?

Ah... mungkin aku terlalu repot mencari-cari alasan atas kemalasanku segera menolong, meski di luar rencana dan irelevan. Jujur saja aku suka menyesal tak bisa menolong karena merasa sempit, padahal kalau mau bersikap lapang mestinya masih bisa menyisihkan kemampuan atau rezeki walau sedikit. Sementara pada saat merasa mampu, kesempatan itu sudah lewat. Kita kehilangan momen berbuat baik, padahal kesempatan itu cuma sekelebat. Waktunya sempit sekali, dan mungkin tak terulang lagi. Seperti tendangan penalti, dalam hitungan detik ia harus segera dieksekusi.

JEDARRRRR!!!!![]


[HALAMAN GANJIL]

Wednesday, June 15, 2016



Ketika sang Raja Tak Bisa Pura-Pura
Oleh: Anwar Holid


Aku mendengar kabar kematian Freddie Mercury dari TVRI. Waktu itu hampir tengah malam. Aku sedang sendirian menatap televisi hitam putih. Semua orang sudah tidur. Ketika penyiar memberitakan kematian Freddie, aku langsung terpana. Aku dengar baik-baik sampai selesai. Setelah itu aku terdiam beberapa saat. Rasanya ada yang menghilang dari dalam diriku. Seakan-akan ada yang kosong... tapi setelah itu pikiranku langsung membeberkan album dan lagu Queen favoritku.

Queen adalah band favorit nomor satuku. Aku tumbuh ketika lagu I Want to Break Free atau Radio Ga Ga sering diputar atau diminta agar disetel di radio. Sumber utama informasi Queen berasal dari majalah Hai. Tambahannya dari seperti Vista atau entah dari mana saja. Freddie meninggal setelah Queen merilis Innuendo. Namun spekulasi bahwa Freddie menderita HIV-AIDS sudah terdengar sejak Queen merilis The Miracle. Di beberapa video clip era itu, Freddie terlihat sudah sangat kurus, tulang pipi menonjol, dan matanya cekung. Dia mencukur kumis tebalnya, namun mengganti dengan membiarkan cambang dan kumis tumbuh tipis. Penampilan seperti itu menguatkan dugaan banyak fans, meski dia belum mengakui kepada umum.

Dokumenter Days of Our Lives bahkan mengungkapkan bahwa Freddie merahasiakan dirinya terjangkiti HIV-AIDS dari May, Roger, dan Deacon, dan malah mengutarakan pertama kali pada Jim Beach, manajer Queen. Bisa jadi pilihan tersebut membuktikan betapa dalam hal tertentu Freddie memang seorang tertutup dan pemilih. Tentu saja ini kontradiktif dengan image Freddie di panggung yang kharismatik, memikat, meledak-ledak, dan sangat komunikatif. Di sinilah dirinya sebagai seorang great pretender jadi kentara. Dia seperti bermain peran sesuai tuntutan personanya. Dia suka mengganti-ganti 'topeng' sesuai kebutuhan untuk diperlihatkan dan dilampiaskan semaksimal mungkin, entah sebagai seorang rock star (musisi), teman, makhluk sosial, dan pecinta. Bisa dibilang dia mengeksplorasi berbagai peran itu hingga ujung, berani mendobrak tabu, bahkan melampaui batas, misalnya dalam hal seks.

Apa yang kira-kira ingin dilampiaskan atau disembunyikan seorang rock star jika pada dasarnya dia berkeliaran dari satu puncak ke puncak lain? Apa dia sebenarnya kebingungan dan akhirnya terjebak dalam kepura-puraan akut? Freddie sangat ekspresif, terbuka, banyak ide dalam bermusik dan seni, juga mudah berempati atas nasib manusia. Tapi sebaliknya, dia tampak sengaja menutupi kehidupan pribadinya, yang hanya dibagi pada orang tertentu yang dianggapnya mengerti dan sudah benar-benar dianggap dekat.


Beberapa detil kebiasaan memperlihatkan bahwa secara bawah sadar Freddie tetap tidak bisa berpura-pura atau menyembunyikan diri. Ini terlihat misalnya dari kebiasaan mengusap bibir atas kumis, tidak percaya diri karena gigi tonggosnya, kuatir dengan kulit dan latar belakangnya yang cukup berbeda dari kebanyakan orang di sekitarnya, juga kesukaannya pada wanita tegap berpayudara besar. Soal kecenderungan biseksualnya, bisa jadi itu tidak terlepas dari pengaruh lingkaran gaya hidup sangat bebas. Manajer hebat di awal karir Queen ialah seorang gay, teman-teman dekat Freddie banyak yang homoseksual dan biseksual, asisten pribadinya pun gay, sementara kehidupan asmaranya sering berakhir buruk. Semua itu membuatnya lebih parah. Gaya hidup Freddie memang sangat berisiko, sementara saran ketiga temannya agar meninggalkan dan berhati-hati tak digubris.

Momen paling menyedihkan sekaligus menggugah dalam dokumenter Freddie Mercury: The Great Pretender ialah ketika menyadari dirinya bakal tak tertolong lagi. Kondisi itu mengubah jalan hidupnya sekaligus memaksa orang-orang di dekatnya harus sangat hati-hati berinteraksi dengan dia, dan membuatnya ringkih. Namun justru saat itulah dia berusaha terus berdiri dan total memaksimalkan bakat demi melampiaskan kemampuan terbaiknya. Dari sini lahirlah Barcelona bersama Monserrat Caballe yang ambisius, diteruskan dengan kerja terakhir bersama Queen untuk menghasilkan Innuendo yang pantas dikenang. Freddie seperti memberikan 'perlawanan' terakhir dengan penuh gaya. Dia berusaha mengeluarkan kemampuan terbaiknya sebelum akhirnya kalah oleh HIV-AIDS dan meninggal secara tragis.

Enigma dan magnet terkuat Queen memang Freddie Mercury. Di atas panggung, aksinya sungguh menawan. Dia membuat ribuan penonton terkesima, terperangah, sekaligus mampu menggerakkan orang agar kompak melakukan aba-abanya, entah berdendang dan menyanyi bersama, tepuk tangan, dan lainnya. Namun di balik panggung, ketika hingar-bingar pertunjukan sudah usai, ketika proses kreatif di studio berakhir, dia seperti sengaja memisahkan diri dari sebuah unit bernama Queen. Saat itulah dia sendiri, ada di lingkaran lain yang membuatnya mungkin nyaman atau malah bisa melampiaskan hasratnya yang paling liar. Dalam kondisi seperti itu tentu hanya sedikit orang tahu kepribadian Freddie Mercury sesungguhnya seperti apa. Dan kita sebagai fans Queen barangkali hanya bisa memandang dia dari bangku penonton. Pertama untuk mendengar dan menikmati karyanya; kedua penasaran siapa sesungguhnya Mr. Bad Guy ini. Apa dia memang seorang rock star atau raja berpura-pura?[]

Freddie Mercury - The Great Pretender
Sutradara: Rhys Thomas | Produser: Rhys Thomas, Jim Beach | Editor: Christopher Bird | Rilis:16 Oktober 2012 | Genre: Dokumenter | Asal negara: Inggris | Bahasa: English | Durasi: 87 menit | Produksi: Eagle Rock; Mercury Songs Release



Anwar Holid, fans Queen tinggal di Bandung

Thursday, June 09, 2016


Harapan
Oleh: Agus Kurniawan

Sewaktu kecil saya menemukan komik strip di koran bekas, yang dipakai sebagai pembungkus belanjaan ibu saya dari Pasar Grabag, suatu kecamatan di pinggiran Kabupaten Magelang. Komik itu berbahasa Jawa, berkisah seperti ini.

Syahdan seorang pejabat kerajaan berpangkat rendah bermuram diri di jalan setapak suatu hutan di tepi kota. Berteriak, memaki, dan menyumpah. Bersamaan itu, berlalulah seorang pengelana tua, berjenggot putih tak terawat dan bersorban dekil. Sang pengelana yang tampak kurang meyakinkan penampilannya itu pun diliputi empati, lalu bertanya.
"Kisanak, apakah gerangan yang membuatmu berduka, marah, hingga mengutuki Tuhan?"
"Ah, kau orang tua tahu apa. Aku ini pejabat. Mau marah, teriak, mengumpat, suka-suka saya... Tuhan itu tidak adil. Aku pejabat yang baik, selalu patuh dan berbakti pada kerajaan, mengapa ditimpakan fitnah yang keji. Salahku apa, dosaku apa."
"Kisanak, sekalipun penderitaanmu berat, tetapi tidak semestinya engkau mengutuki Sang Pencipta. Jika kau tetap menyumpahi-Nya seperti itu, kau akan tertimpa adzab yang lebih besar."
"Hai tua bangka," suara pejabat itu menggelegar bak petir. Kemarahannya makin tak terkendali, apalagi setelah seorang pengelana tua yang tampak bukan siapa-siapa itu mengguruinya. Dicabutnya keris, lalu mengancam, "Kalau kau tak pergi dari sini sekarang juga, ujung kerisku yang akan membuat nyawamu pergi."

Pengelana tua itu pun beranjak, tetapi sambil berucap, "Allah Maha Kuasa, apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi."

Beberapa waktu kemudian, entah mengapa pejabat itu ditimba musibah beruntun, yang teramat pedih, yang jauh lebih berat dari sebelumnya. Persis seperti perkataan pengelana tua itu. Pejabat pun jatuh sakit, dan merasa selalu dihantui oleh perkataan dan wajah sang pengelana. Berbulan-bulan tak kunjung sembuh, sampai seorang kyai tabib menyelidiki asal-muasalnya.
"Kyai, ini semua terjadi karena saya mengancam seorang pengelana tua di hutan..."
"Pengelana? Bagaimana kejadiannya? Coba kau sebutkan ciri-cirinya."
Setelah sang pejabat menceritakan dengan terbata-bata kejadian tempo dulu, dan tentang ciri-ciri sang pengelana yang begitu dihapalnya, kyai itu pun menjerit, "Astaghfirullah. Kau, malang sekali. Itu Sunan Bonang. Kau kena kutukan Sunan Bonang!"

Apakah komik itu ingin bercerita tentang kesaktian Sunan Bonang, salah seorang Wali Songo, ulama maksum yang berperan besar dalam menyebarkan Islam di Tanah Jawa? Folklorenya sih begitu. Tapi, bagi saya, moral ceritanya bukan itu. Komik ini mengisyaratkan tentang satu kata yang termasuk paling penting dalam kehidupan manusia, yakni harapan. Komik itu sama sekali tak bercerita tentang kutukan ulama masyhur itu. Tetapi berkisah tentang kondisi mental seseorang yang berprasangka buruk terhadap kemungkinan. Dampaknya memang dahsyat.

Ketika seseorang secara intensif menganggap dirinya tak mampu melakukan sesuatu, maka 'mental state'-nya akan menjadi seperti itu. Lalu secara tidak nampak, individu itu akan menyesuaikan perilaku dan tindakannya sesuai dengan kondisi mentalnya. Semacam alam bawah sadar. Refleks, otomatis. Bukan sunan yang mengutuk pejabat itu, tetapi dia sendiri yang mengondisikan dirinya ke arah kehancuran.

Masih tentang harapan, saya pernah menonton film epik, Jakob The Liar, dibintangi aktor maestro, Robbin Wiliams. Kisah ini tentang seorang Yahudi tahanan Jerman bernama Jakob, pada masa Perang Dunia II. Dia melata di kamp kosentrasi yang papa, dan terus-menerus berbohong hingga dihukum mati karena kebohongannya. Dia membual memiliki radio--barang terlarang, yang setiap hari mengudarakan pergerakan tentara Sekutu mengganyang Jerman. Tentu dia tak punya radio, tetapi terus saja berbohong. Mengapa? Bualannya ternyata melimpahkan semangat hidup yang tiada banding kepada seluruh penghuni kamp. Pernah sekali dia jujur, lalu fatal akibatnya. Teman baiknya di kamp mati gantung diri, merasa tak punya lagi harapan hidup. Jakob berbohong untuk memasok harapan.


Adakah sesuatu yang lebih penting dan langka ketimbang harapan, pada saat penderitaan dan kematian akrab berkarib? Dan harapan itu nyatanya memang menyelamatkan teman-temannya dari penderitaan, dari kematian yang tak perlu.

Harapan telah bertakhta agung dalam setiap kisah zaman. Bangsa Yunani, misalnya, memiliki legenda tentang ini. Kita mengenalnya sebagai hikayat Pandora. Konon, Pandora adalah perempuan pertama di dunia, yang dilimpahi beragam anugerah oleh para dewa: kecantikan, kepandaian, kelembutan, hasrat, dan juga nyanyian merdu. Tetapi dia sesungguhnya diciptakan sebagai petaka bagi sang terhukum, Promotheus, yang lancang mencuri api dari haribaan Zeus, tetua para dewa. Oleh mereka, Pandora yang molek itu dititahkan untuk menggoda lalu menikahi kakak Promotheus yang memang dianggap pendek akal, yakni Epimetheus. Promotheus sudah memperingatkan kakaknya agar menolak hadiah dari Zeus--"pandora" juga berarti hadiah. Tapi sang kakak tak menghiraukannya. Mana bisa menolak hadiah perempuan jelita yang tak ada duanya di Bumi.

Padahal sesungguhnya Pandora telah dibekali sebuah "bom" oleh para dewa, yang akan diledakkannya di depan Epimetheus. Dan benar saja, begitu sampai di depan calon suaminya, Pandora pun membuka "bom" itu, sebuah kotak berisi segala bentuk kejahatan dan keburukan, tetapi juga harapan. Alhasil, bumi yang semula tanah surgawi, replika citra kahyangan, yang bisa dinikmati tanpa perlu bersusah-susah, mendadak menjadi tempat yang buruk, dekil, dan menyesatkan. Pandora hanya menyisakan satu saja di dalam kotak itu, yang kemudian disimpannya rapat-rapat sebagai pusaka, yakni harapan. Hanya harapan yang tersisa di dalam kotak, sebuah modal awal dari perjuangan menaklukkan dunia yang buruk dan menyesatkan itu.

Suatu sore Faiza, si bungsu anak saya yang lagi gemar-gemarnya melahap ensiklopedia, bercerita dengan gayanya yang agak show-off. 
"Ayah, kenapa bangsa Indonesia itu jadi bangsa yang menyedihkan, ya?"
"Maksudnya?"
"Kan Allah sudah memberikan berbagai kekayaan kepada kita. Misalnya cadangan emas, sekian juta kilo (dia menyebut angka yang diambil dari bacaannya). Terus laut yang luas, yang produksi ikannya sekian juta ton (dia menyebut angka). Mengapa bangsa kita tetap miskin dan terbelakang?"

Sudah tentu saya harus menjawab pertanyaan itu setidaknya sama atau lebih baik dari Jakob. Saya mustahil mengiyakan pesimisme si kecil yang bisa jadi akan mematri menahun. Lalu saya pun bercerita tentang tanah-tanah subur yang merangkai kepulauan nusantara ini. Kelak tanah ini akan menghasilkan energi terbarukan yang tak dimiliki oleh banyak bangsa lain, sekalipun itu bangsa-bangsa besar. Jagung atau singkong kita kelak akan memasok bahan bakar biologis ke seluruh dunia, menggantikan BBM jika sudah terkuras habis. Makanan kita akan memenuhi pasar-pasar negara manca karena kita memiliki tanah yang subur. Listrik kita juga akan melimpah, karena kita memiliki sinar matahari dan angin meruah, untuk menggantikan listrik konvensional.
"Jadi, nanti negara kita akan jadi negara maju, Ayah?"
"Tentu. Tentu saja, anakku."

Sambil menyembunyikan mata saya yang berkaca-kaca, saya teringat sebuah hadist qudsi, yang bunyinya, "Aku (Allah) sesuai persangkaan hamba-Ku."[]

Agus Kurniawan, seorang karyawan. Bekerja di Jakarta, tinggal di Banjaran, Kab. Bandung.