Tuesday, November 29, 2005

Vitalitas Maroeli Simbolon
>> Anwar Holid


Do not go gentle into that good night,
Old age should burn and rave at close of day;
Rage, rage, against the dying of the light.
---Dylan Thomas (1914 - 1953), penyair, penulis drama, dan cerita pendek Wales. Puisi "Do Not Go Gentle into that Good Night"

Yang paling penting ketika sakit ialah jangan pernah menyerah.
---Vladimir Ilyich Lenin (1870-1924), pemimpin revolusi Russia


SAYA mengenal Maroeli Simbolon karena tugas, dan baru sekali bertemu, yaitu ketika buku dia, Sepasang Luka Cinta, didiskusikan dalam talk show Teras Buku di Delta FM Bandung, pada November 2004---itu artinya nyaris sekitar satu tahun lalu. Perkenalan itu membuat saya jadi lebih familiar dengannya, terutama setiap kali mendapati cerpen-cerpennya dipublikasikan oleh media massa di Jakarta.

Interaksi saya dengannya terus terjadi ketika pada paro kedua 2005 ini Jalasutra memutuskan menerbitkan naskah Jalang!, yang awalnya menjadi cerita bersambung di Sinar Harapan pada Februari - Maret 2005. Di selang-seling menyunting naskah tersebut dan kesibukan rutin, saya mendengar kabar tentang jatuh sakitnya dia pada Oktober 2005, dalam kondisi kritis dan dirawat di Rumah Sakit Cikini. Waktu pertama kali bertemu dia juga cerita tentang beberapa penyakit yang dia derita, tapi ternyata yang sekarang membuatnya ambruk justru bukan yang pernah dia sebut, yaitu gagal ginjal.

Sejumlah penulis jatuh sakit, tapi niscaya di antara mereka ada yang mampu bangkit dan mengalahkan penyakit yang menyerang produktivitas dan kreativitas, bisa jadi bahkan kemudian mengalami fase hidup yang kerap berbeda sama sekali bila dibandingkan ketika mereka dulu sehat wal afiat. Sebagian di antara mereka meninggal setelah berjuang habis-habisan ternyata kalah melawan penyakit.

Sejumlah penulis atau penyair ternyata dokter. Sejumlah risalah tentang penyakit dan rahasia serta interpretasinya ditulis. Banyak novel, cerita, drama, dan puisi fokus pada penyakit telah terbit; Albert Camus menulis La Peste (Sampar), tentang menyebarnya penyakit pes di kota Oran, Gabriel García Márquez menerbitkan El amor en los tiempos del cólera (Love in the Time of Chorela), tentang berjangkitnya penyakit kolera di tengah-tengah perang pada 1870 dan 1930 di sebuah masyarakat Amerika Latin. Didera kemurungan akibat ayahnya sakit parah, Dylan Thomas malah dipaksa mampu mengungkapkan kekuatan puitik dalam ‘Do Not Go Gentle into that Good Night’ (1952), puisinya yang paling terkenal dan banyak dikutip .

Tapi penyakit terus berkembang, seakan-akan berkejaran dan mengolok-olok cara manusia menghadapi kehidupan. Rasa sakit maupun penyakit memang merupakan satu sisi dalam diri setiap orang yang suatu ketika niscaya akan kita temui, kalau bukan akan muncul baik dengan sengaja atau tanpa diminta, akibat dari kebiasaan hidup sehari-hari atau semata-mata karena kejatuhan.

Dalam esai Illness as Metaphor Susan Sontag menulis perlambang penyakit dengan begitu tabah: "Sakit adalah sisi gelap hidup, kewarganegaraan yang lebih sukar. Semua orang yang lahir memegang dua kewarganegaraan: kerajaan sehat dan kerajaan sakit. Meski kita semua lebih suka hanya mengegunakan paspor yang sehat, cepat atau lambat kita wajib memperkenalkan diri sebagai warga negara kerajaan lain itu, setidaknya karena terserang. Sakit sudah selalu digunakan sebagai metafora untuk menekankan tuduhan bahwa sebuah masyarakat korup atau zalim. Metafora penyakit tradisional terutama adalah cara menjadi berapi-api, sebaliknya metafora modern relatif lebih menunjuk ketidakpuasan." Esai seperti itu baru bisa ditulis setelah dia pulih dari jatuh sakit.

BILA kita tahu seperti itu, apalagi yang perlu dikhawatirkan?

Penyakit bukan musuh yang harus mati-matian dihindari, melainkan kawan asing yang harus disadari keberadaannya, sebab dia senantiasa mengejutkan ketika datang berkunjung. Sakit hanyalah kondisi ketika manusia harus menyadari seluruh keterbatasannya. Ketika itu dia diberi kesempatan untuk mengambil jeda; mungkin untuk memikirkan hal paling mendasar dalam hidup, dihentikan dari sebuah kesenangan tertentu, atau yang paling sering: diberi ujian untuk menakar kesabaran dan ketahanan mental.

Maroeli Simbolon juga tahu persis apa makna dan pengaruh penyakit buat dirinya, buat karirnya. Memang penyakit telah berkali-kali berusaha mempecundanginya, tapi toh dia belum gagal menahan serangan itu. Di dalam Sepasang Luka Cinta, dia beberapa kali menulis tentang penyakit dan dengan kontras dibandingkan pada kehidupan. Tulisan itu adalah bukti ketabahannya ketika diopname selama lebih dari dua bulan pada 2003. Syukur alhamdulillah dia ternyata masih mampu bertahan dan terus berkarya, hingga kini, meski sekali lagi, penyakit berusaha memukulnya. Di buku itu dia menulis:
Aku tafakur seribu bahasa, menerima nasib ketika penyakit menyerangku tiba-tiba. Serangan di tengah malam buta---tanpa pesan dan aba-aba. Di kala aku sedang terlelap, penyakit itu merasuki tubuhku---menjalari seluruh urat nadiku. Akhirnya, aku terkapar dengan rasa sakit yang luar biasa di sekujur tubuh. Pandanganku yang nanar menangkap tatapan penyakit yang mengejekku.
"Apa yang dapat kau lakukan dengan kondisi seperti ini?" sindir penyakit persis di pusat mata.
Aku mengaduh sepenuh nyeri.

BANYAK penulis hidup dalam masalah akut, mau berupa kemiskinan, ancaman kematian, kekurangan modal sosial, hidup terancam, dikejar-kejar penguasa lalim atau kelompok militan fanatik; sementara penyakit, kekerasan, atau sejumlah kekurangan sudah terlalu biasa untuk disebut lagi.

John Clare (1793-1864), penyair dan naturalis Inggris zaman romantik, hidup luar biasa miskin, kurang patronase, dan minuman keras menghancurkan kesehatan, mental, dan hidupnya---yang kebanyakan dihabiskan di rumah sakit. Namun dia memiliki ingatan menakjubkan dan bakat puitik. Buku pertamanya, Poems Descriptive of Rural Life and Scenery (1820), berhasil mempengaruhi dan mengguncang kehidupan sastra zaman itu.

Pada Juli 1841, karena rindu pulang kampung, tanpa sepeser pun, dia kabur dari rumah sakit jalan kaki kurang-lebih 128 km (80 mil) dari London ke Northamptonshire (kira-kira jarak Bandung-Bogor) sampai terpaksa makan rumput di pinggir jalan untuk menahan lapar. Baru tujuh bulan kemudian dia sampai di rumah; namun pada akhir tahun itu dia dinyatakan sudah gila. Setelah itu dia menghuni rumah sakit St. Andrew selama 23 tahun, namun masih mampu menghasilkan tulisan dan puisi yang tetap mengagumkan. Puisi itu akhirnya diedit oleh Eric Robinson dan Geoffrey Summerfield, terbit sebagai Selected Poems and Prose (1966).

Motinggo Busye, Kuntowijoyo, Benny R. Budiman, dan penulis-penulis yang telah wafat, juga Radhar Panca Dahana, Gola Gong dan mereka yang sekali waktu sempat ditumbangkan penyakit, tahu betul betapa sakit ternyata gagal menghentikan energi kreativitas, meski mereka juga mampu merasakan tanda-tanda kapan semua harus berakhir.

Manusia yang tangguh dan punya vitalitas hanya akan berhenti ketika harus berhenti, ketika kesempatan berbuat atau berkarya sudah habis. Bila belum, entah bagaimana mereka akan tetap berusaha mencipta. Vitalitas itu seolah-olah memberi peringatan hanya pada yang absolutlah mereka takluk. Waktu, kematian, alam, Tuhan, hanyalah empat dari sejumlah hal misterius yang absolut, yang harus mereka wanti-wanti kapan semuanya memperlihatkan diri.[]

Anwar Holid, editor Jalasutra, eksponen komunitas TEXTOUR, Rumah Buku, Bandung.

Thursday, November 10, 2005

Idul Fitri 1426 H/2005 M (Semua Dimaafkan)
-------------------------------------------

>> Anwar Holid


Lebaran kali ini aku sekeluarga dapat banyak sekali sms, e-mail, dan juga kartu Lebaran. Rasanya kali ini adalah yang terbanyak; dari kawan dekat, orang asing, kenalan baru, bahkan dari kawan-kawan non-Muslim. Dari teman-teman non-Muslim ini aku hanya bisa tersenyum dan bersyukur menghargai kebaikan, toleransi, dan keikhlasan mereka berhubungan dengan orang Muslim. Aku hanya bisa dengan ikhlas menerima kebaikan dari semua orang yang digerakkan oleh sebuah energi positif (kebaikan) yang tengah melanda sebuah kesempatan---kesempatan terbaik bagi orang untuk berhubungan dengan sesamanya.

Hanya dari Tuhan kami tak mendapat sms atau kartu Lebaran. Mungkin Dia tidak menyimpan no. HP kami atau terlalu sibuk, lupa, kehabisan pulsa, atau memang diabaikan dari daftar penerima ucapan selamat Lebaran. Ini menggelitik, padahal HP kami dicatat oleh Presiden SBY---untuk sesekali dikirimi salam peringatan dan propaganda. Tapi, jangan-jangan aku memang tak pantas menerima sms dari Tuhan. :(

Baik-baik saja. Kami tak kecewa nggak mendapat sms dari Tuhan. Karena manusia adalah citra-Nya, aku sudah syukur mendapat banyak pantulan keagungan dan kebaikan yang tecermin dari seluruh makhluk-Nya. Untuk seorang individu yang cukup kotor seperti aku, kebaikan, keramahan, ketulusan orang-orang itu sebenarnya terasa sudah berlebihan. Terlalu baik buat aku. Terus-terang, kalau ditimbang-timbang aku sebenarnya nggak pantas menerima semua itu---tapi ternyata kebaikan Tuhan itu mengalahkan segala-galanya. Bila sudah dikehendaki, semua pasti terjadi. Lebaran kali ini bahkan menyambung hubunganku dengan keluarga jauh yang rasanya telah putus cukup lama karena kehilangan kontak; selain itu memberi aku sekeluarga berkenalan dengan orang-orang mengesankan; bertubi-tubi menerima kebaikan. Itu semua sudah cukup ajaib buat aku. Puji Tuhan.

Mengingat puasa Ramadhan (shaum), sebenarnya yang baru aku dapat hanya haus dan lapar. Itu adalah hasil paling buruk (minimal) dari seseorang yang puasa. Aku menyesal untuk hal ini. Aku tentu sedih dengan wanprestasi ini, tapi aku belum mampu memuasakan seluruh binatang yang hidup dalam diriku. Aku terbukti gagal berperang dengan diri sendiri. Orang-orang di dekatku bisa dijadikan saksi. Aku nggak akan membela diri. Pasrah menerima dakwaan tentang keburukanku. Tapi aku berdoa semoga kembali diberi kesempatan untuk menggembalakan binatang-binatang itu, agar tahu persis sebenarnya aku seperti apa.

Yang paling menarik dalam Lebaran kali ini adalah munculnya kesadaran Ilalang tentang konsep 'shaum' atau 'puasa' dan 'Ramadhan.' Ia juga mulai kenal kosakata 'sahur', 'buka', 'shalat tarawih', 'baju lebaran', 'batal'---dan aspek-aspek sejenisnya. Di TK dia sudah diminta puasa selama ada di sekolah (± 2,5 jam); dia dibelikan baju koko yang dengan sangat semangat digunakan untuk berangkat shalat tarawih. Tapi begitu ikut shalat dia gelisah dan kecapean, 'Bosen ah! Gitu-gitu aja. Diulang-ulang terus!' Tapi esoknya dia kembali semangat mengajak aku tarawihan.

Usia dia sekarang lima tahun lebih. Mulai ngerti ini-itu meski naif. Cerewetnya kadang-kadang terasa terlalu. Namanya kanak-kanak. Begitu siang-siang di bulan Ramadhan lihat kawan kami merokok atau makan, dia protes, 'Kok Om nggak puasa? Nggak kayak ibu dan ayah? Kok tetap ngorokok? Kok makan sih? Malu dong!' Ucapannya masih cadel-cadel. Alah, padahal yang dia omongi itu kawan kami yang Nasrani. Tahun depan mungkin giliran dia marah-marah dan kesulitan belajar shaum, atau di tahun-tahun mendatang setelahnya dia belajar buka sembunyi-sembunyi. Jadi ingat sindiran sebuah iklan: 'Sekalinya ditutup, langsung pada buka.' Atau seperti aku: rasanya memang puasa, tapi jiwanya belum bisa ditaklukkan, masih liar dan jelalatan.

Aku sekeluarga juga belajar zakat dan sedekah, meski tahu persis zakat itu tak bakal bikin penerimanya bebas dari kemiskinan. Itu hanyalah sedikit upaya penyucian, sebagaimana aku dulu disucikan oleh orangtua yang menzakatkan anak-anaknya. Apalah arti sedekah itu dibandingkan harapan kebaikan yang ingin aku dapatkan. Bagi orang lain, kebaikan bahkan selalu kurang. Bahkan orang lain kadang-kadang mendapat celaan atau tuduhan (fitnah) justru setelah berbuat baik. Dibanding berkah dan kebaikan yang kami dapat, zakat dan sedekah itu pasti juga timpang timbangannya; tapi setidaknya kami berusaha melatih agar indra kebaikan tetap rutin terasah. Karena kebaikan itu terus-terusan aku terima, bahkan di saat paling buruk sekalipun. Tanpa kebaikan, berkah, bantuan, orang lain dan seluruh aspek yang berpengaruh dalam hidupku, aku kosong. Aku menerima kebaikan dari segala arah, dari siapa saja: dari keluarga, tempat kerja, rekanan, saudara, handai tolan, orang lain, orang asing, kenalan baru, siapa saja tanpa pernah terduga sebelumnya.

Lepas dari sejumlah keinginan gagal terpenuhi, aku ternyata mendapat banyak sekali hal sampai jumlahnya mustahil terhitung. 'Kalau yang kamu inginkan tidak terjadi, syukurilah yang kamu dapatkan.' Pelajaran moral sederhana yang ingin aku hayati sebaik-baiknya. Hidup telah memberi aku nyaris semua---tak terkata hal yang sudah semestinya dan paling dasar. Dengan caranya sendiri hidup mengajari aku banyak hal---meski aku masih bodoh, bandel, bebal, sulit menerima pelajaran. Dunia adalah kelas tempat aku mengaji segala hal, termasuk dengan kesalahan dan kemalasan.

Karena banyak sekali disalami dan disapa oleh orang dan kalangan, tentu wajar bila aku merasa jiwa Idul Fitri 1426 H/2005 M ini adalah 'damai'---yang tentu saja segera kontradiktif dengan banyak peristiwa di luar sana, di dunia nyata yang kadang-kadang tega berwajah kejam, tanpa sedikit pun peduli waktu dan kesempatan: seorang gadis berusia 7 tahun diperkosa, kerusuhan menjalar di kota-kota di Prancis, seseorang terbunuh, kecelakaan terjadi, orang lain jadi buron, kesewenang-wenangan terus berlangsung, politik terus penuh dengan dagang kuasa. Maaf dan damai seolah-olah langsung kehilangan makna. Semua terjadi, semua dibolehkan. Tapi semua juga dimaafkan.

Izinkan aku mengubah syair Kurt Cobain:
Apa lagi yang harus kutulis
Aku tak punya hak
Aku harus apa lagi
Semua dimaafkan.


Tapi hidup sampai waktunya. Peristiwa terus terjadi juga untuk urusan-urusan lucu dan sebenarnya tak perlu. Karena itu manusia menjaga riak-riaknya terus gelisah, memecah kesunyian, mempertaruhkan keyakinan, melayani orang, menanam kebaikan, mencari kesempatan, mengisi peluang. Manusia diberi kesempatan maksimal untuk mengisi dunia sampai waktu memberhentikannya. Kita dipersilakan melakukan apa saja, termasuk ketika terpaksa harus menerima keadaan.

Setiap orang hidup dalam dunianya, sendirian, dengan mimpi dan kesulitan, dengan jatah bahagia dan malapetaka. Tapi dalam dunia itu juga terbuka celah interaksi, tempat orang lain masuk, saling membagi, memberi pengaruh, menaruh peran, menjadi utusan.

Dan damailah di Bumi...[]6 November 2005 Tel. (022) 2037348
ODE KAMPUNG 2006: Temu Penyair se-kampung Nusantara
-------------------------------------------------------------------

>> Gola Gong heri.hendrayana@rcti.tv


Saya mendengar cerita tentang komunitas Mendut pimpinan Sutanto, pada sekitar 1995 mengadakan hajat besar dengan tema refleksi emas negeri ini, yang saat itu berulangtahun ke-50. Para seniman dan budayawan di seantero negeri berdatangan ke Mendut, Yogyakarta. Mereka bertebaran di rumah-rumah penduduk. Untuk urusan MCK, mereka memanfaatkan sungai. Toto ST Radik yang hadir di perhelatan akbar itu mengenang, "Tidak perlu dana besar untuk pergi ke pesta seniman dan budayawan di Mendut.

Sutanto membuat denah kampung Mendut, dimana kami bisa menginap yang murah-meriah, makan alakadarnya, dan beli rokok." Tambah Toto, semua penyair diberi kesempatan berorasi, mengeluarkan uneg-uneg, bahkan sumpah serapahnya. Lalah-lahan terbuka di perkampungan dijadikan tempat berdiskusi dan berekspresi.

KOTA MODERN
Sepuluh tahun kemudian. Apa yang digemakan oleh para penyair di komunitas Mendut, terkikis zaman dan perubahan waktu. Kampung tak lagi jadi idaman. Kampung disimpan dalam toples kaca atau album foto.

Negeri ini tidak mengalami perubahan apa pun. Soeharto lengser, Habibi naik tidak merubah apa-apa. Gusur naik dan dilengserkan, giliran Megawati berkuasa, juga tidak merubah apa-apa. Kini SBY belum genap setahun, koruptor banyak yang terbongkar tapi uang tidak bisa kembali.

Tumbalnya lagi-lagi rakyat. Harga-harga membumbung. BBM dinaikkan, agar si kaya mensubsidi si miskin. Semua dibebankan ke rakyat. Sementara para petinggi negara dan anggota dewan ongkang-ongkang kaki di restoran sambil mencari-cari slilit di antara gigi.

Semua orang di negeri ini - siapapun dia - terseret arus globalisasi; hedonis dan konsumtif. Revolusi fashion, food, dan film menghajar semua kalangan. Semua orang silau dengan yang berbau modernisasi. Kampung ditinggalkan. Kota jadi acuan. Pulau jadi loncatan, negeri seberang jadi harapan. Padahal orang-orang kampung yang menyerbu kota itu belum juga bisa meninggalkan budaya kampungnya. Di rumah-rumah yang sempit di perumahan menengah ataupun sederhana, mereka masih saja memelihara kambing, ayam, atau burung. Mereka bersembunyi dalam status sosial, bahwa burung atau ayam bukan untuk diternakkan, tapi sekedar dikoleksi untuk melepas kepenatan. Di ruang-ruang resepsi yang wah, mereka masih saja membuang abu rokok sembarangan dan menyisakan makan malam padahal di jalanan banyak yang kelaparan. Sementara orang-orang kampung miskin yang berjejalan di gang-gang kumuh, di kolong jembatan, mengotori sungai dan selokan dengan sampah atau air kencing mereka.

Ya, semua orang lupa pada kampung kelahiran mereka sendiri. Atau orang yang mengaku kota, juga mengabaikan saudara-saudara mereka di kampung. Mereka lebih suka belanja dengan merek palsu yang penting gaya dan seminar dengan bahasa yang aneh-aneh atau bersilaturahim di kota dengan tema intelektual, bahkan berkunjung ke luar negeri adalah maha segala. Segala macam kegiatan dirancang, untuk mengelabui saudara sendiri yang tersisa di kampung. Studi banding ke luar negeri. Kongres ini-itu. Semua kalangan jadi genit dan kebarat-baratan. Siapa yang tidak bersinggungan dengan liberalisme, maka dia bukan manusia.

PRO-KONTRA
Tidak terkecuali para seniman dan budayawan. Mereka tidak percaya satu sama lainnya, sehingga merasa perlu membuat organisasi untuk mengatur sesama teman sendiri dengan alasan agar bisa terkontrol dan saling mengontrol. Dewan-dewan dibentuk dan prilakunya jadi seperti anggota dewan sungguhan, karena selalu minta disubsidi. Ya tidak apa. Minta disubsidi, itu bukan sesuatu yang hina.

Tapi tiba-tiba saja...

Di media massa para seniman dan budayawan mencuri perhatian di tengah krisis multidimensi negeri ini. Kasus-kasus korupsi belum lagi terselesaikan, masyarakat yang tercekik kemiskinan di kampung disuguhkan fenomena seniman dan budayawan yang imejnya tidak mau diatur itu, kini ricuh sendiri. Saling usung poster dan rame-rame bikin konprensi pers.

Kubu-kubuan mencuat. Kubu barat, kubu timur. Kubu utara, kubu selatan. Siapa yang tak berkubu, maka tak mendapat giliran atau bagian. Kongres Dewan Kesenian Daerah di Papua yang merekomendasikan DKI (Dewan Kesenian Indonesia) diprotes oleh mereka juga. Ada pro dan kontra. Semua sepakat, bahwa perbedaan pendapat adalah berkah. Keberagaman adalah bagian dari demokratisasi. Semoga juga dalam kekaryaan, mereka tidak memaksa yang lain untuk mengikuti satu ganre saja, karena dalam kekaryaan juga terjadi keberagaman. Ya, semoga pro dan kontra soal organisasi, terbawa juga dalam hal kekaryaan mereka. Ada karya kota, karya kampung, karya pinggiran, karya tengahan, karya atas, karya bawah, dan karya samping.

Tapi Iman Soleh, raja monolog dari Bandung, yang pro DKI berpesan, "Sebaiknya seniman harus bersatu. Jika bersatu, tidak ada yang bisa mengalahkan!" Iman memang menginginkan seniman bersatu padu. Kini Kongres Kesenian Indonesia (KKI) 2 yang baru saja usai akhir September lalu, merekomendasikan kerja kesenian harus disubsidi pemerintah lewat APBN atau APBD. Apakah itu berarti, jika seniman bersatu maka pemerintah akan mengongkosi kerja kesenian? Kalau tidak bersatu, apakah seniman bisa mensubsidi sendiri kegiatannya?

TEMA
Adalah Rumah Dunia, komunitas nirlaba di Komplek Hegar Alam 40, kampung Ciloang Serang, yang mencoba meneruskan semangat komunitas Mendut. Mencoba menembus batas. Mencoba membentuk kembali kebersamaan antara seniman dan masyarakat, yang jadi sumber inspirasi bagi karya-karyanya. Menjadikan kembali masyarakat yang tinggal di kampung sebagai saudara sekandung, yang sudah lama ditinggalkan, dengan cara menghapuskan lagi jarak.

Bukankah penyair juga adalah manusia?

Bermula dari obrolan santai antara saya, Toto ST Radik dan teman- teman sukarelawan di Rumah Dunia. Bermula dari harga beras yang menaik, karena Toto selain penyair, jurkam KB, juga juragan beras. Kemudian menukik ke peta kepenyairan di Banten, yang carut-marut.
Lalu diskusi menembus batas, lewat SMS dengan Gus tf Sakai di Payakumbuh, Chavcay Saefullah di Ciputat, Firman Venayaksa (PJ Program Rumah Dunia) yang sedang jadi pembicara di KKI 2, Wan Anwar di Serang dan Soni Farid Maulana di Bandung. Maka tercetuslah ide membuat kegiatan "Ode Kampung: Temu Seniman se-Kampung Nusantara", yang insya Allah akan digelar pada Februari 2006. Titik utamanya adalah pada para penyair.

Tapi, para pembicaranya bisa lintas seni; perupa, pemusik, pelakon....

Ini masih bisa didikusikan. Haya penamaan "Ode Kampung" adalah mengibaratkan kampung yang bersenandung sedih menunggu kematiannya. Tapi yang lebih penting sebagai stimulus bagi para pelajar dan mahasiswa di Banten. Juga bagi para penyair se-kampung nusantara yang selama ini terpinggirkan. Semangat yang diusung sejalan dengan Rumah Dunia; mencerdaskan dan membentuk generasi baru yang kritis serta mandiri. Yang siap memerangi kebatilan dengan pena.

Kegiatan Ode Kampung mengangkat tema besar "Sastra(wan) di tengah persoalan kampungnya". Atau "Seniman di tengah persoalan kampungya.

Beberapa topik diskusi akan digelar pada Sabtu dan Minggu. Topik-topik yang diusung adalah:
1) Pembelajaran Sastra di Sekolah,
2) Kontekstualisme Sastra Masih Perlukah?,
3) Sastra Kanon dan Sastra Kampung, dan
4) Mencari sastra kampung yang mendunia.


Keempat topik diskusi itu akan digelar masing-masing dua sesi setiap harinya; Sabtu pagi dan siang, serta keesokan harinya, Minggu. Tapi, Ode Kampung tidak hanya diisi diskusi antar penyair saja. Pelajar, mahasiswa, guru, dosen, bahkan orang kampung boleh ikut. Juga ada pembacaan puisi dan proses kreatif para penyair, serta pelatihan puisi.

Para volunteer Rumah dunia sudah bersiap-siap menyebarkan undangan kepada para pelajar dan mahasiswa, serta guru bahasa dan sastra Indonesia di Banten.

"Ini anggap saja kegiatan klab diskusi atau kelas menulis Rumah Dunia, yang sudah rutin diadakan setiap Sabtu dan Minggu," kata Rimba Alangalang, PJ Sekretariat Rumah Dunia. Andi Suhud Sentra Utama, donatur tetap Rumah Dunia, siap mencetak poster sebanyak 500 eksemplar seusai lebaran untuk sosialisasi kegiatan.

Bahkan Gus tf Sakai lewat SMS menanggapi dengan serius, "Saya siap jadi pemandu pembelajaran puisi!"

Begitu pula Soni Farid Maulana, "Saya akan datang!"

Firman Venayaksa tidak tinggal diam. Firman menyebarkan informasi Ode Kampung dari mulut ke kuping di KKI 2. Hasilnya dia sampaikan lewat SMS, "Jamal D Rahman, Dyah Hadaning, Sihar Ramses, dan komunitas Mnemonic di Badung siap menyerbu Rumah Dunia!"

DANA PESERTA
Darimana datangnya dana? Apakah dari mata turun ke dompet? Sementara ini Rumah Dunia sudah menyiapkan dana awal sebesar Rp. 2 juta. Itu dari uang kas, hasil keuntungan "Gramedia Book Fair". Selebihnya, kami akan meminta dukungan dari Gramedia, Mizan, Gema Insani, Mujahid Press, Senayan badi, Akoer. Tidak akan banyak, paling sekitar Rp. 500 ribu saja. Konpensasi buat mereka adalah pemuatan logo di leaflet dan spanduk. Juga kami akan bergerilya secara perseorangan. Galang seratus ribu pasti akan moncer.

Uangnya untuk apa? Tentu bukan untuk kami. Uang itu nanti dipakai untuk konsumsi dan promosi/publikasi. Menyewa sound system dan tenda perlu, karena Februari pas musim hujan mencapai puncaknya. Juga untuk pembuatan antoloji puisi "Ode Kampung Nusantara".

Lantas siapa boleh ikut di kegiatan Ode Kampung? Siapa saja boleh ikut. Ini terbuka. Dari Banten dan luar Banten. Bahkan luar Jawa. Penyair pemula, penyair bukan pemula, pintu kami buka lebar-lebar. Silahkan datang. Hanya saja, perlu mengongkosi sendiri. Karena kegiatan Sabtu dan Minggu, berarti harus menginap 1 atau dua malam.

Tentang penginapan, ternyata warga kampung Ciloang dan Komplek Hegar Alam menyambut gembira kegiatan Rumah Dunia. Mereka dengan suka cita siap menyewakan kamar-kamar di rumahnya.

"Pokoknya, kami akan mendukung setiap kegiatan Rumah Dunia," Ayubi, pengojek, mengomentari. Dia bercerita, saat "Gramedia Book Fair" Agustus 2005 lalu panen besar. Banyak penumpang hilir-mudik menyewa mootrnya.

Pak RT dan Pak RW kampung Ciloang serta Pak RT Komplek Hegar Alam seia sekata, menyambut baik kegiatan Ode Kampung. "Di rumah saya ada 3 kamar," Pak Mutholib, Ketua RW Ciloang bersemangat.

Juga Mang Romli, pengojek Ciloang, "Saya juga ada 3 kamar." "Di saya 2 kamar," Bik Piah, rumahnya yang bersebelahan dengan Rumah Dunia, nimbrung.
"Saya satu rumah," kata Pak Pendi, warga komplek Hegar Alam. "Saya sekeluarga ngungsi dulu ke orangtua."

Satu kamar bisa diisi rame-rame. Paling banyak 3 atau empat orang. Seorang kena ongkos menginap Rp. 25 ribu/malam. Jika Minggu malam masih betah, tambah 25 ribu rupiah lagi. Konon, akan ada minuman teh atau kopi panas saat sarapan. Kalau makan, banyak warung nasi bertebaran. Ada nasi uduk, ketupat sayur, nasi pecel, mie ayam, dan jajanan kampung lainnya.
Jadi, siapkn untuk menabung dari sekarang.

PUISI-PEMBICARA
Tentu antoloji puisi tidak akan dilewatkan. Kepada semua yang berkeinginan mengikuti Ode Kampung, mengirimkan 5 puisi terbaiknya, yang bertemakan kampung halaman. Rumah Dunia akan bekreja keras dengan segala kekurangan, menyaring puisi untuk diikutkan di antoloji puisi "Ode Kampung Nusantara". Pada malam Minggu, mulai dari jam 19.30 hingga 22.00 ada pemutaran film, pertunjukan seni, dan peluncuran antoloji puisi.

Siapa saja boleh mementaskan karya seninya.

Hal lainnya adalah mendatangkan pembicara para penyair kampung dengan reputasi karya intenasional, diyakini akan memberi semangat baru bagi perkembangan kepenyairan di Banten khususnya dan Indonesia umumnya. Ini sangat penting. Kami sedang mengupayakan mendatangkan penyair lainnya seperti Isbedy (Lampung), Halim HD (Solo), Saut Situmorang (Yogya), Acep Zamzam Noor (Tasik), Alwy (Cirebon), dan Wayan Sunarta. Nama-nama itu sudah melanglan buana dari kota ke kota di Nusantara. Diharapkan kehadiran mereka bisa memberi wawasan bagi para penyair se-kampung nusantara.

Topik-topik diskusi Ode Kampung diusung mereka. Ini baru wacana dan akan terus didikusikan. Semoga rekan sesama penyair memberi masukan dan terus menggulirkan Ode Kampung ini. Semuanya tentu dengan harapan, mimpi, dan doa bersama.

Saya jadi teringat omongan Garin Nugroho, bahwa orang gunung (kampung) lebih peka dan lebih canggih menangkap fenomena seni dan budaya yang terjadi di sekelilingnya. Mereka dapat langsung merespon dan menggabungkannya dengan khazanah kesenian yang telah dimilikinya." Garin mencontohkan Ismanto, seniman dari komunitas Merapi, yang merespons kesenian modern dan memadukan dengan tradisional." Siapa tahu warga kampung Ciloang yang agamis, setelah mengikuti kegiatan Ode Kampung, melihat dan mnedengarkan para pnyair berdiskusi dan membacakan sajak-sajaknya, jadi terinspirasi membuat karya yang dinamis dan baru.

Setidak-tidaknya akan suasana perubahan di sini.

Maka mari kita segerakan saja niat bersama ini!

Jangan tunda-tunda lagi!

Serang, 30 September 2005
Salam dari Rumah Dunia


Gola Gong
---------------------
Komplek Hegar Alam 40
Kampung Ciloang, Serang 42118
Tlp: 0254 - 202861
Email: rumahdunia@yahoo.com
http://www.rumahdunia.net