Thursday, June 26, 2008



Menyimak Pink Floyd

--Anwar Holid

Aku pertama kali suka Pink Floyd (PF) karena musiknya, seingatku karena dengar The Wall punya Kang Indra, saudara tua yang sangat suka rock dan punya banyak koleksi kaset. Waktu itu aku mungkin SMA awal; tentu saja kemampuan Inggrisku boleh dibilang lima koma sekian. Baru ketika perlahan-lahan tambah ngerti Inggris, aku baca syair grup musik tersebut, itu pun terbata-bata, hanya bisa ngerti yang kasar atau memang sangat mudah diartikan. Sekarang, kemampuan Inggriskku sedikit ada peningkatan, tapi tetap saja aku kesulitan bila baca syair utuh mereka, dan tentu harus dibantu kamus. Itu mending, sekarang begitu menemukan syair yang terasa bagus, langsung aku copy, save, untuk dijadikan kutipan. Lumayan, nambah kosakata. Karena memang hanya satu-dua pasase lirik yang benar-benar paham, aku berani bertaruh, misalnya, berapa orang Indonesia suka PF yang benar-benar ngerti lirik lagu per lagu album The Wall, The Dark Side of the Moon, Wish You Were Here, The Division Bell, A Momentary Lapse of Reason, dan album lainnya.


Kerap aku meragukan pernyataan bahwa pendengar Indonesia yang suka musik Barat (atau grup tertentu) terutama karena mereka suka dengan lirik-liriknya, terlebih-lebih bila dikuatkan dengan pernyataan seperti ini: "liriknya kuat, dalam banget" atau "kekuatan grup itu terletak pada lirik/syair." He he he, aku suka nyengir kuda. Di antara ribuan orang Indonesia yang suka PF, misalnya, berapa persen yang betul-betul paham liriknya, apalagi dari lagu demi lagu? Kenapa aku bilang begitu? Pertama, karena kemampuan Inggrisku masih buruk, tapi ternyata berani ngaku suka PF. Kenapa? Lebih karena musik, bukan lirik---tapi jelas orang lain bisa beda. Persis ketika aku kerap menemui generasi lebih muda yang jauh lebih canggih ngomong Inggris.


Jadi kalau ada orang Indonesia bilang bahwa kekuatan PF ada di lirik, dalam hati aku bilang, "Ayolah... mending dengar musiknya. Kalau lirik mah denger Iwan Fals atau Rhoma Irama. Lebih langsung ngerti." Rhoma Irama, Taufik Ismail, Ebiet G. Ade, dan lain-lain juga sama hebat kok. Saat acara dengar The Pink Floyd Chamber Suite for Grand Piano and String Quartet, ada peserta diskusi komentar, "Ruh Pink Floyd tak muncul dari karya-karya serius itu," menurutku itu karena persoalan bahasa, komunikasi, pemahaman, dan tafsir. (Pernyataan: aku belum tahu tentang album itu.) Bagaimana mungkin mendapat ruh PF tanpa paham lirik mereka dengan sungguh-sungguh? Atau sebagian orang lebih suka pernyataan ini, "Dengarkan musiknya, lupakan liriknya?"


Tiap kali dengar lagu PF, misalnya Mother, Goodbye Blue Sky, Shine on You Crazy Diamond (lengkap), Echoes, dari The Dark Side of the Moon, Wish You Were Here... yang terbetik adalah "Ya Tuhan, bagus amat ini lagu." Dan kemudian lagu itu mampu memaksa aku membaca lirik mereka; tanpa baca lirik, mana ngerti aku nyanyian langsung dari mulut mereka? Listeningku boleh dibilang juga buruk. Waktu pertama kali dengar Goodbye Blue Sky, rasanya reaksi pertamaku ialah, "Apa ini lagu rock?"---alih-alih memperhatikan lirik, sebab lagu itu balada.


Yang mengherankan, setelah baca-baca berbagai info tentang PF, lama kelamaan ternyata aku kurang simpatik, sebal pada Roger Waters, penulis lirik PF yang paling kuat. Dalam prasangkaku, ketika masih di PF dan secara de facto dianggap pemimpin, dia ini mungkin tipe orang arogan, self-centered, sok, sombong, dominan, penuh kuasa. Apalagi ketika akhirnya dia dan tiga temannya berseteru, pecah, dan terus-terusan saling gugat di pengadilan. Dengar-dengar, Waters ini sudah sampai tahap jijik pada David Gilmour. Yang membuatku "senang" tanpa kejelasan, dari perpecahan itu, menurutku, Waters yang kalah; Gilmour (dan PF) menang. Setidak-tidaknya karena Gilmour dianugerahi gelar Sir (atau CBE) oleh pemerintah Inggris, sedangkan Waters tidak. Album dan konser PF era pimpinan Gilmour masih laku keras, sedangkan album solo Waters boleh dibilang biasa. Aku malas dan kehilangan niat dengar album solo Waters, meski ada akses; tapi malah kepingin dengar album solo Gilmour. Aku pernah lihat dia main solo gitar di sebuah video gitaris rock, tapi sayang nggak dicopy. Artinya, tanpa PF, Waters mungkin boleh dibilang sama dengan pencipta lagu lain. Jadinya aku suka merasa aneh; menyukai lagu ciptaan orang yang di bawah sadar aku sebali. Dipikir-pikir ini mirip "kasusku" pada Pramoedya Ananta Toer; meski baca sejumlah bukunya, suka, dan amat terkesan, tapi aku nyaris nggak punya simpati pada dia---dengan alasan pribadi tertentu. Tapi apa pengaruhnya aku suka dan benci pada seseorang? :(


Sudah satu-dua bulan ini Winamp dan Windows Media Player di komputerku nyaris tiap hari mengumandangkan album-album PF, apa saja. Enaknya, aku bisa menyusun sesuai selera, terutama pada lagu yang berdurasi lama. Aku hampir selalu suka lagu berdurasi lama; rasanya penuh dan puas. Setiap dengar, aku selalu takjub dengan ciptaan itu, dengan kreativitas mereka. Lalu ditambah beberapa kali nonton vcd live mereka, mungkin yang paling mengesankan ialah Live at Pompeii. Aku bahkan minta seorang teman agar mengopikan Animals, mencari siapa yang punya Atom Heart Mother. Dulu saudaraku Uzie punya kaset double live album Delicate Sound of Thunder, tapi sekarang dia di luar jangkauanku. Dari Kineruku aku mendengar lagi P*U*L*S*E* dan A Momentary Lapse of Reason.


Seorang teman yang punya ribuan cd bilang bahwa dia paling suka A Saucerful of Secrets dan kurang suka The Wall atau album konsep PF. Kenapa? Ternyata menurut dia, "Terlalu bernuansa opera." Teman lain, namanya Haris Fauzi, sangat memuji The Final Cut, dan menyatakan ada salah satu lagu di sana yang dicontek habis oleh Kantata Takwa. (Lagu mana jadi apa ya?). Padahal, menurut bawah sadarku, The Final Cut justru merupakan album PF yang paling malas aku dengar. Lebih jelas lagi, dari berbagai info, ini adalah album PF yang total dihasilkan di bawah kendali Waters, bahkan boleh dibilang album solo Waters yang dikerjakan PF. Sebaliknya A Momentary... yang oleh sebagian kritik dibilang album solo Gilmour yang dikerjakan PF (minus Waters, karena waktu itu dia sudah ke luar). Di Wikipedia ada pernyataan betapa Waters jelas sekali jijik dengan A Momentary... Nah!


Baru-baru ini secara mengejutkan aku dapat album The First Three Singles di sebuah warnet. Menurut Budi Warsito, album ini ternyata sangat langka dan hanya ada dalam satu box set mereka yang harganya ratusan ribu. Wah, punya barang kolektor dong! Acia akhirnya mendownloadkan Atom Heart Mother (1970), Delicate Sound of Thunder (1988), ditambah album solo David Gilmour. Kemudian Erick menghadiahi aku satu cd-rom berisi 11 album mereka dengan kualitas prima. Berkat itu semua, rasanya hampir semua lagu PF sudah aku dengar. Apa lagi? Penyair Urip Herdiman Kambali menulis sajak High Hopes, mengambil sebuah judul lagu PF di The Divison Bell (1994.) Rupanya lagu itu bisa memicu kreativitas seseorang. Queensryche dalam Take Cover mengcover version Welcome to Machine; sementara Dream Theater pernah membawakan cover The Dark Side of the Moon versi mereka sendiri.


Bagiku pribadi, mendengarkan PF ternyata punya kenikmatan sendiri, apalagi bila dibarengi baca lirik, mengartikan, dan sambil melihat-lihat desain grafis album mereka yang cantik-cantik. Menyimak album mereka yang sudah berusia puluhan tahun, kadang-kadang terdengar lebih menakjubkan dibandingkan menghiraukan album A Perfect Circle, Tool, atau Porcupine Tree yang lahir tahun-tahun belakangan. Lagu-lagu PF terkesan mengambang, melayangkan pendengar melampaui ruang dan waktu, mengantarkan aku memasuki wilayah imajinal dan kenikmatan yang mungkin hanya bisa diceritakan setelah mengalami.[]


Anwar Holid, pada dasarnya seorang penggemar Queen.

Tuesday, June 24, 2008




Hetifah dan Taufikurahman


---Anwar Holid


Melihat stiker dan spanduk Hetifah dan Taufikurahman bertebaran di ruang terbuka Bandung membuat aku ingin menulis tentang keduanya, dari sudut pribadi yang sama-samar, karena aku hanya tahu sekilas dan terbatas tentang mereka. (Tapi kayaknya jelas mereka nggak kenal aku.) Kedua orang itu niat mencalonkan diri jadi walikota Bandung. Pertanyaan pertama yang muncul dari kepalaku ialah: "Apa motif mereka ingin jadi walikota?" Apa mereka ingin jadi ketua Persib?


Taufikurahman aku tahu waktu masih di Salman-ITB. Dia waktu itu dia baru pulang dari luar negeri, terus jadi pengurus YPM Salman, selain tentu saja mengajar di almamaternya, ITB. Aku dengar reputasinya bagus. Hetifah aku kenal waktu gabung dengan PATTIRO, karena dia jadi konsultan program PATTIRO. Dulu, aku tahu mbak Hetifah masih berjilbab; maka aku kaget melihat banyak spanduk dirinya tersenyum lebar tanpa jilbab. Sebenarnya, "gosip" tentang dia melepas jilbab ini sudah aku dengar beberapa bulan sebelumnya, tapi aku pikir itu hanya pembicaraan antar kawan. Beberapa kawanku menanggalkan jilbab, dan aku entah kenapa malas ingin tahu tentang motif mereka melakukan itu. Maksudku, orang berubah setiap saat. Tapi, waktu aku tanya ke Ubing apa sih istilah buat orang yang melepas jilbab, dia bilang, "Itu namanya futhur, mundur, berbalik ke belakang."


Reputasi Hetifah di dunia LSM jelas terkemuka. Dia dulu di AKATIGA, Sawarung, IPGI, yang semuanya merupakan LSM besar. Dulu aku dengar dari seorang program officer Ford Foundation bahwa AKATIGA adalah sedikit dari LSM yang bisa bekerja sama lama---artinya terus dapat donor---dengan Ford Foundation. Itu artinya mereka inovatif, bisa mengikuti irama lembaga donor, kalau bukan merancang program yang menarik perhatian lembaga donor. Di zaman Reformasi, ada satu kejadian yang mungkin membuat AKATIGA tidak populer di kalangan aktivis, yaitu ketika entah ketua IMF atau Bank Dunia atau WTO (harus klarifikasi) datang ke kantor mereka di samping Gedung Sate. Kedatangan itu didemo banyak kalangan yang gigih menolak neoliberalisme.


Aku kaget waktu pertama kali lihat spanduk upaya pencalonan dirinya jadi walikota. Untuk apa orang yang sudah lama ada di jalur NGO kini berusaha merebut kursi pemerintahan? Apa dia merasa perlu menyeberang ganti ada di pemerintahan untuk meningkatkan kinerja demi perubahan sosial-politik? Aku kadang-kadang merasa absurd dengan pilihan orang. Tapi apalah yang aku tahu tentang orang lain. Biarlah; kalau itu demi kebaikan, silakan saja. Spanduk Hetifah menawarkan "Program 100" yang buat aku sendiri beberapa di antara bikin geli. Dia menawarkan MENYEDIAKAN 100 HOT SPOT INTERNET. Aku pikir, apa manfaat program ini untuk orang seperti aku yang punya komputer jadul dengan teknologi 10 tahun lalu? Aku nggak punya laptop, dan komputerku Pentium I, jelas tanpa teknologi wi-fi. Buat aku, program ini nonsens dan elitis, nggak populer sama sekali. Program ini hanya memihak kaum urban yang punya laptop lengkap dengan wi-finya.


Di situs dia ada "Program 100" lain yang menurutku bisa menarik orang banyak, misalnya MEMFASILITASI 100 LEMBAGA KEUANGAN MIKRO, MENYEDIAKAN 100 AREA PKL, MEMFASILITASI 100 KLINIK UKM/BDS, juga MERAIH 100 KEMENANGAN PERSIB. Herannya, dalam pikiranku, kenapa nggak ada "Program 100" yang terkait dengan CSR---jargon LSM yang kini sedang trend?


Taufikurahman memasang spanduk dengan slogan "Bangkit Bersama untuk Perubahan" dan "Selamatkan Kota Bandung!!!"---dengan tiga tanda seru. Tapi aku nggak tahu dia mau mengubah apa dan menyelamatkan apa. Apa dia mau mengubah air Cikapundung yang butek jadi jernih dan bebas sampah? Apa dia mau menyelamatkan Bandung dari perjudian atau serbuan pengemis? Apa dia mau mengubah biaya pendidikan yang mahal ini jadi terjangkau rakyat miskin? Atau mau mengubah komputer jadulku jadi laptop dengan teknologi bluetooth? Boleh jadi; dengan begitu aku bisa menikmati Program 100 HOT SPOT Hetifah begitu nanti terwujud. Aku dengar dari seseorang, Taufikurahman dulu jadi pendiri Partai Keadilan cabang Bandung.


Taufikurahman dicalonkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hetifah berusaha jadi calon independen. Mereka nanti harus bersaing terutama dengan Dada Rosada, walikota yang sedang bertugas sekarang. Belum lagi kandidat lain, yang konon ada dari birokrat/pejabat lama. Di sejumlah perempatan, spanduk Dada Rosada terbentang segede jebug mengalahkan spanduk Taufikurahman dan Hetifah. Aku ingin tahu, apa kalau terpilih Taufikurahman bakal memperlakukan kota cenderung sesuai adat keagamaan; sementara Hetifah akan bakal mengelola kota sebagai LSM?


Di tengah arus politik yang cepat itu, aku terpikir, wah... generasi yang bakal memimpin kota, bangsa, dan negara ini makin mendekat dari generasiku, generasi muda---artinya generasi ini tumbuh dewasa untuk kemudian menua. Jelas setiap orang punya motif kenapa ingin jadi pemimpin. Mungkin mau memperbaiki kota tercintanya, mereformasi sesuatu, menolong kaum miskin, atau ingin tantangan baru, kekuasaan dan gaji lebih besar. April 2008 lalu Fernando Lugo terpilih sebagai presiden Paraguay; dia melepas dulu status uskup karena ordo melarang seorang romo berpolitik. Program utamanya ialah antikorupsi dan reformasi agraria. Dia kebanyakan dipilih oleh penduduk miskin.


Apa artinya jadi pemimpin? Itu sulit aku jawab; sebab jangankan memimpin orang lain, mengarahkan diri sendiri agar berlaku sesuai ajaran luhur juga sulitnya minta ampun. Terlalu sering aku kalah oleh hawa nafsu. Baru-baru ini aku baca Imperium (Robert Harris), novel tentang Cicero, orator terkemuka Roma (106 SM-43 SM). Dia memperjuangkan nasib orang-orang yang dijahati dan diperlakukan semena-mena oleh gubernur. Tawar-menawar politiknya jelas; Cicero memperjuangkan nasib mereka, mereka dan sukunya memberi suara dan dana untuk Cicero.


Politik adalah keterwakilan. Kalau orang merasa terwakili oleh salah satu calon, tentu dia akan memilih calon itu. Kalau tidak, orang akan mengabaikan mereka, memilih melanjutkan hidup sendiri, yang boleh jadi apolitis. Dengan berbagai faktor di dalam dan luarnya, kota tumbuh sendiri. Dari dalam, aku menyaksikan Bandung tumbuh dan berkembang. Meski kadang-kadang merasa begitu kecil jadi bagian kota ini, aku senang tinggal di sini, terlibat dalam dinamikanya.[]


Anwar Holid, penduduk Bandung, tinggal di gang Panorama II. Ngeblog @ http://halamanganjil.blogspot.com/ Menulis buku Barack Hussein Obama (Mizania, 2007).


FYI, Hetifah dan Taufikurahman juga ngeblog.

Thursday, June 19, 2008



Bisnis Sosial
---Anwar Holid


Aku tiba-tiba dapat sms dari Marina Silvia K., anak Aksara yang baru-baru ini menulis Keliling Eropa 6 Bulan Hanya 1000 Dolar terbitan GPU. Mas, bisa nggak kita ketemu, aku ada keperluan soal bisnis sosial, begitu kira-kira maksud smsnya.

Bisnis sosial!, teriak batinku. Aku baru saja selesai menyunting terjemahan buku Muhammad Yunus, Creating World Without Poverty, yang persis bicara subjek ini. Sejak menyunting, aku tambah salut pada bankir untuk kaum miskin ini. Lepas bahwa beberapa orang mengkritiknya dengan tega, menurutku dia pantas dihargai setinggi-tingginya, kalau bukan sewajarnya. Aku mendapati "Enam Belas Keputusan Bank Grameen" merupakan aturan yang sangat berharga. Aku yakin aturan ini sangat mulia dan pantas diikuti siapapun.
----------------------------------
Enam Belas Keputusan Bank Grameen:

1. Empat prinsip Bank Grameen---Disiplin, Persatuan, Keberanian, dan Kerja Keras---yang harus dijalankan dan diutamakan dalam setiap langkah kehidupan kita.

2. Kita harus menyejahterakan keluarga kita.

3. Kita tak akan hidup di rumah bobrok. Kita harus memperbaiki rumah dan berusaha mendirikan rumah baru sesegera mungkin.

4. Kita harus menanam sayuran sepanjang tahun. Kita harus makan banyak sayuran dan menjual kelebihannya.

5. Selama musim tanam, kita harus menanam sebanyak mungkin benih.

6. Kita harus merencanakan keluarga kecil. Kita harus meminimalkan pengeluaran. Kita harus merawat kesehatan.

7. Kita harus mendidik anak-anak dan memastikan mampu membiayai pendidikan mereka.

8. Kita harus merawat anak-anak dan lingkungan agar selalu bersih.

9. Kita mesti membangun dan menggunakan W.C.

10. Kita harus menggunakan saringan teko untuk menghilangkan racun.

11. Kita mesti jangan mengambil mahar (mas kawin) dari pernikahan putra kita; jangan pula memberi mahar apa pun pada pernikahan putri kita. Kita harus menjaga pusat perkumpulan bebas dari kutukan mahar. Kita jangan melakukan pernikahan dini.

12. Kita mesti jangan menimbulkan ketidakadilan pada siapapun; kita pun jangan pernah membiarkan siapapun melakukannya.

13. Untuk pendapatan lebih tinggi, kita secara kolektif harus melakukan investasi lebih besar.

14. Kita harus selalu siap saling membantu. Jika seseorang dalam kesulitan, kita semua harus membantu.

15. Jika kebetulan menemukan pelanggaran disiplin di pusat manapun, kita semua harus ke sana dan membantu memulihkan kedisiplinan itu.

16. Kita harus sama-sama ambil bagian dalam semua aktivitas sosial.
----------------------------------

Bagi orang yang kerap merasa miskin dan kerdil seperti aku, aturan itu menyadarkan bahwa aku sebenarnya sudah cukup kaya, meski sekali lagi aku nggak punya investasi besar, nggak punya aset besar, nggak punya asuransi jiwa, dan seterusnya. Aku masih punya utang ke beberapa teman dan sodara. Investasiku ialah tabungan yang hampir selalu habis di akhir bulan, tabungan dana masa tua, dan asuransi pendidikan Ilalang. (Rumah kami, berdasar hasil penelusuran Ubing, karena ada di gang, tidak bisa dijadikan jaminan pada bank biasa.) Dari banyak segi kami cukup lega untuk terus bersyukur atas segala limpahan rezeki. Puji Allah.

... Karena harus mengembalikan buku & dvd ke Bale Pustaka, aku janjian dengan Marina di sana. "Mas Wartax, apa kabar, lama banget kita nggak ketemu," kata dia.

Benar. Rasanya entah kapan kami terakhir ketemu dan sempat ngobrol waktu di Aksara. Tahu-tahu dia sudah menerbitkan buku.

"Aku mau ngeresensi buku kamu, tapi biasa, karena berbagai prioritas, belum jadi saja. Gimana soal bisnis sosialnya?"

Aku juga sebenarnya sudah siap meresensi Ketika Cinta tak Mau Pergi (Nadhira Khalid)--tapi itu pun belum kelar.

Ceritanya Marina gabung dengan LSM bernama Choice (ejaan nanti aku cek), yang gerak di bidang ekonomi, persisnya "local currency." Dia ingin menjadikan beberapa tempat usaha sebagai semacam "merchant" tempat orang bisa melakukan jasa yang dibayar dengan sistem "local currency." Kata Marina, contoh "local currency" yang ada di Indonesia ialah banjar di Bali. Karena ketemu aku, dia berharap Rumah Buku bisa jadi salah satu pilihan. Beberapa tempat, baik itu distro, restoran, di Bandung sudah mau. LSM Marina menyasar kelompok anak jalanan & pengamen/pengemis. Aku bilang, aku pernah ikut Habitat untuk Kemanusiaan, yang salah satu syaratnya ialah ikut bantu-bantu ketika sesama anggota sudah mulai kerja membangun/merenovasi rumah.

"Kalau begitu nanti aku kenalin kamu ke Rani, pemilik Rumah Buku," janjiku. Untuk sementara itu yang terbaik bisa aku janjikan.

Dalam bayanganku, mungkin bisnis sosial yang bakal diajukan Marina ialah seperti yang dilakukan J.B. Schramm dalam hal literasi kepenulisan di Mengubah Dunia atau di film Freedom Writers. Tapi ternyata bukan sama sekali.

Bisnis sosial, "local currency," anak jalanan, ... rasanya semua berkelebat-kelebat dalam kepalaku. Kira-kira dua minggu lalu aku dikenalkan Eppel ke seorang "pemimpin anak jalanan" bernama Kopral, yang mau memperlihatkan autobiografi/diari untuk ditilik apa menarik diterbitkan atau tidak. Baca Creating World Without Poverty membuat aku yakin bahwa bisnis sosial bisa jalan dengan baik, minimal oleh Grameen Bank & Danone di Bangladesh. Kehausanku yang akut pada uang kerap menghadang dengan pertanyaan, "Apa yang bisa aku lakukan tanpa uang?", "Apa aku bisa gerak?", "Bagaimana aku bisa menghasilkan uang dari sini?", "Bagaimana aku tambah menyejahterakan keluarga dengan aktivitas baru yang aku lakukan?"

Aku suka ide-ide brilian, apalagi kalau dilakukan konsisten dan inovatif. Muhammad Yunus & Grameen Bank persis seperti itu. Voluntir di buku Mengubah Dunia penerima beasiswa Ashoka Foundation, yang menurut mereka melakukan "wirausaha sosial" (social entrepreneurship), juga seperti itu. Aku tertarik oleh kebaikan. Tapi entah inkonsistensi atau wanprestasi atau banyak kebutuhan membuat aku mudah pecah konsentrasi. Aku sudah sering dikritik atas kelemahan ini. Aku mudah tertarik pada sesuatu yang tampak baik, tapi belum tentu ngotot aku lakukan. Salah satu moral dari Muhammad Yunus ialah "Kita harus sama-sama ambil bagian dalam semua aktivitas sosial." Aku beruntung dan bersyukur ikut Habitat, kenal sejumlah teman, mendapat kebaikan dari sana.

Tenang. Semua berjalan sesuai aturan. Satu hal, aku berharap kebaikan merajai kejadian.

Keep up the good work![]18/06/08

Kuliah Sinclair Lewis tentang Penulisan


Suatu hari Sinclair Lewis, sastrawan AS pertama yang menerima anugerah Nobel Sastra, menerima undangan Universitas Harvard agar memberi kuliah tentang penulisan. Dia memenuhi panggilan itu, meski kelihatan agak kacau.

Ketika sampai di podium dia berteriak kepada para mahasiswa, "Ayo angkat tangan, siapa di antara kalian yang ingin jadi penulis?"

Tentu saja semua orang mengacungkan tangan.

"Kalau begitu kenapa kalian semua tak ada di rumah dan terus menulis?" tanya dia mendelik dan meninggalkan podium.

Kuliah selesai![]

Dicomot oleh Anwar Holid dari The Writer's Book of Wisdom (Steven Taylor Goldsberry.)


[HALAMAN GANJIL]

QUEEN SEBAGAI TEMAN TERBAIKKU
--Anwar Holid


Agak aneh tiba-tiba aku mendengar beberapa album Queen di akhir minggu ini. Barangkali karena aku pernah menemukan file berisi seluruh lirik lagu mereka dari sebuah warnet. Aku terutama mendengar album awal mereka, kecuali 'A Night at the Opera' yang sudah begitu terkenal.

Queen adalah satu-satunya band yang aku sukai terus-menerus; band beranggotakan Freddie Mercury (vokal, piano, keyboard), Brian May (gitar, vokal), John Deacon (bass), Roger Taylor (drum, vokal). Mereka inaktif ketika Freddie meninggal karena AIDS. Aku ingat waktu malam-malam sendirian di depan tv, mendengarkan berita kematiannya di TVRI; rasanya ada sesuatu yang lenyap, sekejap saja, yaitu pengakuan bahwa aku menyukai mereka sebagai band, musik yang mereka mainkan, lirik yang mereka nyanyikan (bila aku baca liriknya). Ada pengakuan, 'Mereka adalah bagian dari aspek mentalku, dan sekarang salah satunya hilang.' Apa yang tersisa dari sebuah rasa suka? Barangkali kenikmatan; kenikmatan yang mungkin imaterial, kadang-kadang sulit dijelaskan.

Waktu dulu di SMP awal-awal menyukai Queen, aku merasa itu adalah pilihan yang aneh. Hampir semua temanku favoritnya adalah The Beatles, The Rolling Stones, atau Iwan Fals. Kalau aku bilang bahwa aku suka Queen mereka tertawa seolah-olah hendak bilang bahwa itu adalah pilihan ganjil. Tapi rupanya hingga sekarang pun rasanya Queen tetap ada di urutan teratas kalau aku ditanya, 'Apa band favoritmu?' Kalau diingat-ingat, salah satu sebab kenapa aku bertahan suka Queen adalah kesan bahwa mereka adalah band yang sopan dan baik-baik saja. The Rolling Stones rasanya terlalu liar; sementara The Beatles rasanya terlalu kuno (kesan salah yang aku sadari beberapa tahun belakangan). Kalau dibandingkan dengan band sekarang, mungkin Queen mirip Coldplay atau Dave Matthews Band yang nyaris tak pernah diberitakan buruk. (Kesan ini juga rasanya terlalu naif; sebab aku toh berjarak sangat jauh dengan mereka dalam kenyataan.) 'Noda hitam' yang kerap membuat Queen tidak populer adalah fakta bahwa Freddie mati karena AIDS, tambah kecenderungan biseksualnya.

Karena suka, dulu aku pernah punya semua album (kaset) mereka. Tapi karena Uaku sering sebal oleh orientasi musik rock itu, dia sering bilang 'apa artinya itu buat kamu?' Sampai aku ketemu seorang guru praktik di SMP yang juga suka Queen; akhirnya semua kaset itu berikan pada dia. Rasanya aku memberikan sesuatu yang sangat berharga, dan aku tak menyesal sama sekali. Sekarang aku masih punya beberapa kaset Queen; yang paling 'berharga' adalah album Flash Gordon, soundtrack film tersebut, produksi tahun jebot. Gantinya aku punya satu disk CDROM mp3 penuh dengan album Queen. Bahkan dulu aku punya kliping sisipan Queen dari Hai, yang mungkin masih ada kalau aku selisik seluruh simpanan klipingku. Tapi kadang-kadang muncul pertanyaan yang pernah dilontarkan Uaku dulu, 'apa artinya itu buat kamu?' hingga akhirnya aku cukup biasa saja suka pada Queen, tidak sampai tergila-gila, yang menganggap seolah-olah itu adalah sesuatu yang begitu berharga.

Favorit orang memang beda-beda, dan cenderung bisa berubah. Aku dulu heran ada teman sekelas suka Bob Dylan, Joan Baez, Astrud Gilberto; waktu karena penjelajahan aku bisa beralih ke musik-musik yang cenderung aneh, termasuk jazz, eksperimental, etnik, aku tahu bahwa kesukaan itu tentu biasa saja. Sekarang ini rasanya aku bisa mendengar semua musik, termasuk lagu-lagu Pance Pondaag kalau terpaksa. Buatku sendiri, Queen sekarang seolah-olah sesuatu yang ada dalam bawah sadar; aku tahu rasanya mustahil bagian lenyap dari diriku, meskipun kalau hilang, aku yakin juga akan baik-baik saja. Queen sekarang hanya salah satu dari sekian banyak band atau penyanyi yang aku sukai. Aku sekarang suka Coldplay, Dave Matthews Band, juga Pat Metheny, Michel Portal, Peter Gabriel, belum A Perfect Circle atau Opeth (khusus album Damnation), dan Explosion in the Sky.

Banyak yang suka Queen; karena itu favoritku bukan lagi big hit mereka seperti Bohemian Rhapsody, Another One Bites the Dust, atau Love of My Life dan We Will Rock You, melainkan lagu-lagu minor seperti '39, Don't Try Suicide, Soul Brother, Seven Seas of Rhye dan Brighton Rock. Kecenderungan ini ternyata ada penjelasannya dalam kajian popular culture, yaitu orang cenderung resisten terhadap selera massa, ingin jadi elite, ingin beda, eksklusif. Jadi, sadar ada jutaan orang suka Queen, aku mencari (dan menemukan) sesuatu yang bukan selera pasar, pada lagu-lagu yang orang jarang tahu. Padahal harus diakui, selera seperti itu manusiawi banget sebenarnya, sekadar agar seseorang merasa mudah dikenal, tampak khusus.

Setelah Freddie mati aku pernah baca Queen berusaha mencari penyanyi utama; konon, kandidat utamanya adalah George Michael atau Paul Rodgers. George Michael pernah nyanyi bareng sisa anggota Queen di 'The Freddie Mercury Tribute Concert', membawakan Somebody To Love, yang menurutku sangat bagus dan mengesankan. Aku sendiri sangat mengejutkan ternyata suka sekali satu album George Michael, Listen Without Prejudice Vol. I; bagiku itu album pop pertama yang bisa aku nikmati secara maksimal, bahkan sampai beli CD-nya. Semua lagunya top. Tapi akhirnya berita bahwa Michael bakal menggantikan posisi Mercury tak jadi kenyataan. Paul Rodgers adalah mantan vokalis Free, Bad Company, The Firm, dan sudah biasa bekerja sama dengan Brian May.

Barangkali memang sudah demikian seharusnya, bahwa Queen adalah satu dalam empat orang. Setelah inaktif, mereka meninggalkan kesan tak ada yang harus menggantikan Freddie; persis seperti Led Zeppelin yang langsung bubar setelah Bonzo mati, Nirvana setelah Cobain bunuh diri. Rasanya hanya beberapa band yang bisa bertahan begitu lama tanpa perubahan formasi sekalipun, salah satunya adalah Queen. Moral keutuhan grup seperti ini dijalani band lebih muda seperti U2, Dave Matthews Band, dan Coldplay. Lebih banyak band yang berubah formasi; atau terus jalan meski ditinggalkan unsur utamanya, seperti kasus Pink Floyd yang ditinggal Roger Waters, Genesis oleh Peter Gabriel, Marillion oleh Fish, atau Van Halen oleh David Lee Roth.

Waktu SMP gara-gara suka Queen aku ingin bisa main gitar. Kebetulan kakak teman sekelasku sudah bisa dan aku berusaha belajar dari dia. Tapi gagal. Aku kerap mengeluh, kenapa suaranya nggak sebagus di kaset? Dia ngakak betapa naif aku menyangka musik itu terdengar sebagaimana adanya tanpa bantuan peralatan dan teknologi untuk mendapatkan bunyi yang merdu. Tapi salah satu hasil dari kebiasaan mendengar musik adalah aku rasanya bisa mudah menyimpulkan memutuskan mana musik yang cocok atau tidak buat aku.

Persis sekarang ini bagiku Queen telah menjadi relik. Aku senantiasa tergerak bila kembali mendengar musik mereka; tapi cukup begitu. Dia pernah ada di dalam diriku, dan aku biarkan hidup, belum ditolak atau dilenyapkan; bahkan mungkin sebagian unsur itu membatu. Seberapa banyak yang telah aku lupakan dalam diriku? Barangkali rasa sebal, pengalaman buruk, trauma (kalau ada), borok-borok hidup. Aku masih menyimpan beberapa kaset Queen, di antaranya yang aku anggap paling langka ialah soundtrack Flash Gordon produksi tahun jebot. Tentu saja Queen bukan segala-galanya buatku; tapi setidaknya ia adalah "sesuatu" yang bisa menemaniku hidup, dengan musik dan sisi indahnya. Aku ingin menghargai sesuatu sebagaimana adanya; mengambil yang baik, mensyukuri kenikmatan yang aku ambil dari hidup. Barangkali harus aku akui, bisa jadi Queen adalah salah satu hal terbaik yang pernah aku dapat dari menyukai
musik.[]5:42 AM 8/22/05


NB: Esai ini merupakan revisi dari artikel yang pernah ditanggapi/diralat oleh Akmal Nasery Basral dan beberapa orang lain.

Tentang Buku Pak Muh
---Agus Kurniawan

Mencari Nama Allah yang Keseratus
Penulis : Muhammad Zuhri
Penerbit : Serambi Jakarta
Cetakan : Pertama, Juli 2007
Tebal : 215 halaman



Tentang buku Pak Muh (
Mencari Nama Allah yang Keseratus) mending baca sendiri atau tanya orang lain saja deh. Gak berani menjelaskannya, takut tidak tepat. Tapi sedikit yang saya bisa cerna (maklumlah "pencernaanku" jelek banget untuk urusan dunia pemikiran) mungkin begini:

Allah telah menawarkan nilai- nilai, yang secara artikulatif disimbolkan melalui asmaNya yang jumlahnya 99 (asma'ul husna, nama-nama yang agung). Tapi sumber itu tidak akan berarti apa-apa bagi seseorang bila tidak direalisasi dalam bentuk tindakan, gerak, amal, atau keterlibatan diri, yang memberi manfaat bagi kehidupan. Ketika sudah direalisasikan dan menginternal dalam diri seseorang, maka seseorang itu akan menemukan/dianugrah i suatu "cara" atau metode yang efektifitasnya sangat tinggi dalam menjalankan amanatnya sebagai khalifah Allah. "Cara" tadi benar-benar khas milik orang itu sendiri, yang berbeda masing- masing orang. Sama-sama nabi, sama-sama ulama, sama-sama sufi, sama-sama pejuang, tapi perannya masing-masing khas dan berlainan. Atau setidak-tidaknya apa yang dihayatinya berbeda-beda. Pada saat itulah dia dikatakan telah menemukan asma Allah yang keseratus. Mungkin maksudnya begitu ya.

Dalam pemahamanku, istilah yang digunakan Pak Muh itu merupakan elaborasi imajinatif (dalam konteks positif lho) terhadap konsep literal yang sudah baku. Tujuannya adalah untuk meneguhkan tentang perlunya keterlibatan sang subjek dalam merealisasikan nilai atau konsep sehingga menjadi aktual. Dalam tradisi Jawa, sejauh yang saya tahu, terdapat model pemaparan serupa itu. Misalnya "sedulur papat kelima pancer", atau empat bersaudara dan yang kelimanya adalah sang pelengkap, sebuah elaborasi simbolik dari "kehadiran" Pandawa Lima. Puntodewo, si sulung, adalah simbol keikhlasan. Werkudoro/bimo simbol kejujuran (bahkan dia ditakdirkan tidak bisa berbasa-basi) . Arjuno simbol ilmu pengetahuan atau kemampuan mengelola kehidupan duniawi. Nakulo simbol kerendah hatian dan refleksi diri (na=tidak ada, kulo=aku atau ego). Sedangkan pelengkapnya adalah si bungsu sadewo (yang arti harfiahnya adalah berkemampuan layaknya dewa). Awalan "sa" atau "se" dalam bahasa Jawa artinya bisa "satu" tapi bisa juga "serupa" . Misalnya dalam kalimat "isinku segunung", yang artinya "rasa maluku sebesar gunung". Jadi "Sadewo" bisa diartikan satu dewa, bisa juga berarti berkemampuan serupa dewa. Tapi aku lebih sepakat yang kedua karena konteksnya lebih pas.

Sadewo adalah simbol keterlibatan si subjek dalam mengamalkan nilai-nilai sehingga menjadi aktual. Begitu empat nilai itu menginternal dalam diri si subjek, maka dia akan memiliki efektifitas yang tinggi dalam manajemen semesta, dan layak menjadi wakil Tuhan di bumi, atau bisa dikatakan mewarisi kemampuan ilahiyah. Sadewo, seperti kita tahu dalam cerita pewayangan, secara simbolik memiliki kemampuan seperti itu. Salah satu yang terkenal adalah kemampuanya mengetahui masa depan. Dalam cerita wayang, ada dua sosok yang memiliki kemampuan seperti itu, yakni Kresno dan Sadewo. Tetapi kemampuan Kresno lebih disebabkan karena dia memiliki senjata pemberian dewa, yaitu koco paesan (cermin penerawang masa depan = simbol perkakas analisis) . Sedangkan kemampuan Sadewo adalah natural, berasal dari dirinya sendiri.

Konsep itu juga analog dengan istilah Jawa yang lain, yakni "ilmu lan laku". Ilmu tentu saja artinya adalah pengetahuan atau kebijaksanaan. Tetapi ilmu tidak akan berarti apa-apa bila tidak disertai dengan laku atau keterlibatan si subjek. Oleh karena itu dalam tradisi Jawa dikenal istilah "nglakoni", atau melibatkan diri dalam berbuat kebaikan kepada masyarakat. Salah satu bentuk "laku atau nglakoni" adalah "poso ngrame". Poso hampir sama artinya dengan kata puasa dalam bahasa Indonesia, tapi maknanya lebih luas. "Poso" lebih tepat diartikan memaksa diri atau berkomitmen untuk melakukan sesuatu. "Ngrame" dari kata "rame" yang makna konotatifnya adalah meramaikan kehidupan dengan berbuat kebaikan. Memang bentuk "poso ngrame" adalah menolong siapapun yang membutuhkan pertolongans, seperti dilakukan Raden Rama saat mencari Shinta, dimana dia menolong kera Sugriwo (dalam cerita wayang Jawa Lho) yang dianiaya oleh kakak kandungnya Subali.

Jadi, ringkasnya, dalam pemahaman saya, Pak Muh lewat bukunya ingin menyampaikan bahwa: nilai-nilai (sebaik apapun) belum sempurna bila belum direalisasikan kedalam kehidupan faktual. Mungkin begitu maksudnya. Sehingga apapun harus digenapkan atau disempurnakan, bukan oleh siapa-siapa, tapi oleh diri si pelaku. Seperti dalam lakon Roro Jonggrang yang populer, seluruh patung yang diminta oleh Roro Jonggrang sebagai punagi (mas kawin) ternyata belum lengkap kecuali dilengkapi oleh diri Roro Jonggrang sendiri. Dan syahdan, Jonggrang pun akhirnya menjadi patung. Lengkaplah sudah, sempurnalah sudah.[]

Diedit oleh Anwar Holid

Awalnya tulisan ini diposting di cyberaki@yahoogroups.com


Robert Zimmerman
--Anwar Holid



Tiba-tiba aku mendapati sejumlah gambar Bob Dylan di sebuah folder komputer warnet. Aku hanya punya dua teman yang suka dia. Dulu, temanku tumbuh remaja, Iwan Sofyan, sudah suka dia, bareng dengan Joan Baez dan Nana Miskouri. Menurutku itu selera yang aneh. Tiap kali masuk kamar dia, kami selalu dengar mereka nyanyi.

Aku malah baru suka lagu Bob Dylan yang dinyanyikan orang lain. Guns 'N Roses, Youssou N'Dour, U2, Dave Matthews Band, dan banyak lagi suka membawakan lagu-lagu Bob Dylan. Itu artinya dia seorang musisi hebat yang pengaruhnya diakui tanpa sanggahan.

Waktu aku kenal Rani dan Rumah Buku, keanehanku bertambah lagi. Gadis ini mungkin punya semua album Dylan, juga buku tebal hard cover berisi lirik lengkap karya dia.

Hanya ada satu bait lirik dia yang cukup baik aku ingat, yaitu dari "Blowin' in the Wind" (1962).

How many roads must a man walk down
Before you call him a man?

Aku bertanya-tanya, orang seperti apa di zaman sekarang yang tetap suka dia, hingga aku ikut mengopi gambar-gambar dia?[] 2:43 16/06/08




 





Kawin, Talak, Cerai, Rujuk
---Anwar Holid





Bagaimana rasanya menikah dengan duda beranak tiga? Tanyalah Senny atau Jenna. Tapi mungkin pertanyaan itu hanya akan membuat orang lain sebal, jijik, benci. Sejujurnya aku pun bukan orang yang suka memancing keributan. Barangkali jika diletakkan sebagai pertanyaan saja, bisa diajukan pada siapa pun, hal seperti itu tak akan menyebabkan orang lain sebal. Tapi kalau kita menganggap bahwa perkawinan adalah sesuatu yang wajar, tidak terlalu diagung-agungkan dengan alasan kabur, barangkali pertanyaan itu justru menguji keyakinan seseorang atas pendapatnya tentang cinta, perkawinan, kebahagiaan, keluarga, dan lain-lain. Perkawinan itu sesuatu yang wajar dan alamiah, seperti halnya perceraian, pertengkaran, berjanji, bayar utang, atau mungkin kebelet. Perjanjian bahwa itu disaksikan Allah aku pikir terlalu dibesar-besarkan, karena toh sebenarnya orang juga mudah lalai atas janjinya sendiri, meski disaksikan banyak orang sekalipun. Benar bahwa itu memang disaksikan Allah dan malaikat-Nya, tapi mereka adalah "sesuatu yang lain," jadi sebenarnya tak terlalu diperhatikan. Yang mungkin lebih diperhatikan barangkali tentang mahar, acara, atau dengan siapa seseorang kawin.
Aku menghadiri perkawinan Jenna dan Titon, direktur Oxymedia Publishing (penerbit tempat aku pernah freelance agak lama), di sebuah desa yang mungkin hanya akan aku datangi sekali saja, Margacinta, di daerah Jepara. Ini desa mengingatkan aku pada desa orangtuaku di Lampung. Suasana, kebun-kebun, rumah, juga sungainya. Hanya saja lalu lintas di situ terlalu sibuk dan kendaraan lalu-lalang terlalu cepat. Aku datang dini hari, jadi baru sadar esok harinya, terlebih-lebih ketika pergi meninggalkannya menuju Semarang, ke rumah sodara di Simpang Tiga. Beberapa orang dari kota lain juga datang, kebetulan ada yang satu-dua aku kenal. Banyak yang datang berpasangan, meski ada juga perempuan yang sendirian, datang mengenakan gaun memperlihatkan banyak anggota badan. Sebenarnya aku malas banget datang-datang ke acara seperti ini; tapi demikianlah, aku sudah menikah, dan sejak awal sudah janji akan menghadiri perkawinan mereka. Dulu aku juga tega tak datang ke perkawinan Kodrat, dan rasanya setelah nikah, keputusan itu sedikit aku sesali. Termasuk ke pernikahan Pras, nggak aku bela-belain datang ke sana. Barangkali karena di Jakarta.

Tapi, bayangkan, aku mau bela-belain datang ke Pesta Buku; apa karena ada Bang Mula di sana? Kalau mengingat jasa baik Pras, keakraban kami di masa lalu, sejujurnya aku merasa bersalah tak datang ke resepsi pernikahannya. Tapi aku bersyukur sudah berkenalan dengan istrinya. Rasanya aku rindu untuk ketemu dengan dia terus, tapi barangkali belum waktunya. Bahwa aku diberi tahu dia sendiri ketika akan menikah, betul-betul membuat aku terharu. Aku merasa dulu kehilangan sekali tak berhubungan dengan dia lama sekali, dan bersyukur bisa kembali berhubungan dengan dia, meski jarang.

Sejujurnya aku tak terlalu tertarik dengan urusan rumah tangga atau perkawinan orang lain. Perkawinan itu sangat manusiawi, sebuah hubungan personal orang per orang yang diikat oleh perasaan, kerelaan, dan sejumlah chemistry lain-lain. Marx malah lebih sinis memandang perkawinan; dia bilang perkawinan adalah semacam usaha orang mempertahankan kelas atau daya tawar menaikkan kelas sosial. Sejujurnya aku suka dengan pandangan Marx, terlebih-lebih andai aku kurang beriman dan mengabaikan aspek religius dan spiritual. Tapi, coba terus dikejar: apa itu religius, apa itu spiritual? Aku juga gagal menjawab dengan pasti dan tegas.

Itulah sebab aku menganggap perkawinan tak demikian sakral, melainkan sebuah kerelaan/keridhaan seseorang menerima orang lain, atas izin Allah yang diimaninya. Kalau tidak demikian, orang boleh hidup bersama baik-baik saja. Tapi karena ada faktor agama, ketakutan primordial pada dosa, Tuhan, dan hal-hal yang tak terjelaskan, perkawinan sering dimistifikasi, termasuk oleh lembaga pemerintah dan lain-lain.
Dulu, sekitar sampai September 2004, ada dua perkawinan selebritas yang jadi sorotan media gosip besar-besaran. Satu, perceraian Ray Sahetapy-Dewi Yull; dua, rencana perceraian Reza Artamevia-Adjie Massaid. Kenapa bikin heboh, karena selama ini perkawinan mereka dianggap baik-baik saja, bersih dari gosip keretakan. Tapi barangkali itu masalah kecerdikan mengemas masalah saja. Aku dulu pernah baca berita bahwa Adjie Massaid ketangkap berzina dengan wanita lain (siapalah, aku nggak tahu), dan aku pikir setidaknya dugaan dia zina itu bisa jadi benar. Ray menikah lagi dengan seorang dosen UI. Kata Ubing, body-nya yahud. Menurut dugaan media dia menikahi perempuan itu karena masalah tubuh saja, tapi siapa yang tahu sebenarnya? Aku pernah baca di Nova, istri baru Ray itu (siapalah, aku nggak tahu) bilang, dia mau menikah dengan Ray karena Raylah satu-satunya lelaki yang berani melamarnya. Ha ha ha, aku tertawa ngakak baca perkataan itu. Jadi apa persoalannya berani melamar atau tidak? Bagaimana kalau aku melamar Aria G, dan diterima; apa aku akan begitu saja mencampakkan istri dan anak? Sebuah alasan yang terlalu sederhana untuk menikah; tapi siapa tahu benar. Aku pernah dengar ada teman ngomong, kenapa seseorang mau menikah dengan orang lain, hanya karena dia ingin menikah dengan seorang 'aktivis'. Barangkali memang ada orang yang ingin menikah karena dia penyair, penulis, pelukis, dokter, tentara, pengusaha, cakep, dijodohkan, diberi wangsit, bahkan karena playboy dan pintar merayu. Hanya seseorang sendiri yang tahu alasan kenapa dia mau menikah. Termasuk alasan kenapa seseorang masih lajang.

Ada banyak aspek perkawinan, termasuk unsur yang rendah-rendah, di balik hal-hal luhur yang kerap diusungnya. Barangkali ada kejujuran di sana, tapi rasanya selalu ada yang disembunyikan oleh setiap orang, bahkan dari orang terdekatnya sekalipun. Kenyataan mengajari aku bahwa perkawinan kadang-kadang adalah jalan selamat yang mungkin paling mudah, dan aman.

Di perkawinan Jenna dan Titon kemarin, waktu akad nikah disebut semoga pernikahan itu adalah "perkawinan pertama dan terakhir" oleh lebe. Padahal Titon itu kan duda. Itu perkawinan keduanya. Sementara Jenna gadis. Boleh jadi itu juga bukan perkawinan terakhir mereka. Tentang perkawinan pertama Titon aku nyaris tak tahu sama sekali, dan mungkin juga sia-sia aku ingin mengetahuinya. Tapi setidaknya aku pernah diberi tahu seseorang, dia pernah beristri, dengan anak tiga. Jelas dia juga tak pernah cerita padaku tentang perkawinan pertamanya itu; tapi dia pernah cerita dia punya anak. Namun aku juga tak melihat anak-anaknya ada di resepsi pernikahan itu. Aku tanya seorang kenalan, apa anak-anaknya ikut? Dia bilang tidak. Jadi anak-anak yang ikut rombongan itu adalah saudara-saudaranya dari Purbalingga. Barangkali ketiga anaknya sengaja tak diajak, atau mereka ikut ibunya. Istri pertamanya juga tidak ada. Mungkin dia menolak datang, atau tak diundang. Ayah mempelai pria juga tak ada, mungkin dia mengalami kesulitan untuk datang.

Jelas aku tak mendengar keterangan bahwa Jenna menikah dengan seorang duda beranak tiga dari panitia; tapi kalau iya, apa pentingnya? Apa itu akan menimbulkan aib bagi mereka? Apa sih bedanya 'duda', 'lajang', 'janda', dan sebagainya itu? Aku dulu pernah baca sebuah buku, mungkin judulnya "Memulai Perkawinan Baru", dan itu selalu membuat aku tertawa setiap kali ingat judulnya. Waktu mahasiswa aku pernah dengar olok-olok tentang seorang foto model seronok yang mendadak kawin dengan seorang musisi. Kawanku yang memasang poster dia di kamarnya bilang, "Jangankan jandanya, mayatnya juga gua masih mau!" Benar saja, segera setelah perkawinan singkat itu mereka cerai dan si foto model langsung jadi janda kembang.

Pada dasarnya orang ingin sempurna, dan menganggap bahwa perceraian adalah sebuah kegagalan---betapapun ada hikmahnya itu. Jika aku suatu ketika cerai, lalu menikahi jomblo kaya, yang mungkin lebih tua, tak sepadan, apakah itu akan jadi sebuah "cerita"? Aku hingga sekarang yakin bahwa pasangan suami-istri itu diciptakan sempurna pas mereka dinikahkan. Entah kenapa. Aku merasa bahwa aku dan Ubing itu sempurna, sepadan; begitu juga dengan Anna-Anwar; Mas Rindang-Mbak Ima. Bagaimana dengan Dewo dan Desi, Troilus dan Cressida? Rasanya juga baik-baik saja. Ubing selalu marah kalau aku bilang bahwa aku tidak ingin bersama dia di akhirat nanti; tapi siapa jamin bahwa aku akan bersama dia; siapa jamin aku akan bersama orang lain? Kadang-kadang aku punya keinginan, tapi tahu jika keinginan itu tak terwujud, rasanya akan baik-baik saja.

Mungkin orang itu terlalu terobsesi pada perkawinan sempurna, maka mereka seakan-akan mengharamkan perceraian. Padahal kalau kita baca hukum perkawinan dalam Islam---dan itu artinya harus dipertimbangkan masak-masak oleh pengadilan agama/negara---orang bisa (mengajukan) cerai hanya gara-gara, misalnya, pasangannya dianggap tidak cakep, terlalu miskin, atau tidak sepadan. "Tapi, yah, itu sekalian menunjukkan kualitas orang itu memang segitu," komentar temanku. Aku pernah baca seorang istri menggugat cerai karena suaminya ngorok; atau suami gugat cerai karena istrinya ngiler. Yah, perkawinan kan masalah personal, manusiawi, kerelaan. Apalagi kalau disebabkan oleh perkara zina, selingkuh, dan sebagainya. Tambah afdol/kuat alasan orang bisa bercerai dari pasangannya, mencari ganti yang baru.

Kalau melihat sejumlah perkawinan di keluargaku, rata-rata perkawinan mereka memang tak diwarnai perceraian. Perkawinan orangtuaku rasanya baik-baik saja, setidaknya sejauh yang aku tahu. Ayah-ibuku dianugerahi anak tiga. Bahasa Sunda menyebut anak itu sebagai 'bati', artinya keuntungan. Jadi, mungkin, perkawinan orangtuaku cukup baik. Dulu sekali, waktu aku kecil, aku pernah ngelihat ayah-ibuku bertengkar; aku dan Ubing juga kini pernah beberapa kali bertengkar hebat. Kalau bantah-bantahan sih kadang-kadang sulit dihindarkan. ...Tapi sejujurnya, aku cinta dia, dengan alasan apa pun. Perkawinan adik-adikku sejauh ini juga baik; meskipun aku jarang sekali dengar kabar dari mereka. 

Satu-satunya perkawinan yang diwarnai peceraian justru berasal dari ua, ibu angkatku, orang paling dekat dengan aku, yang memelihara aku bertahun-tahun lamanya. Ini sebenarnya membuat kaget aku banget, tapi mungkin untungnya baru aku tahu menjelang perkawinanku dengan Ubing. Alangkah lama aku tak tahu apa-apa tentang perkawinannya, menyangka dia memang sudah tak punya suami sejak aku tinggal dengannya ketika kelas 5 SD. Gila, betapa aku anak kecil yang tak diberi tahu apa-apa. Dia tak cerita apa-apa tentang perkawinannya hingga aku dewasa; mendengar bahwa suaminya kawin lagi dengan muridnya(!); sementara dia menolak dimadu, memilih pisah, pindah ke Bandung, hidup sendiri, membawa anak tunggalnya, hingga kini. Aku beranggapan bagaimanapun uaku perempuan hebat, perempuan kuat. Dia pernah cerita, beberapa lelaki juga melamarnya, tapi dia menolak menerima mereka dengan sebaik mungkin, tak mau nikah lagi. Mungkin melajang aman buat dia. Rasanya sampai sekarang dia baik-baik saja. Dan hidup sendiri (i.e. tanpa suami) tidaklah sengeri yang disangka orang. Secara pendidikan, dia berhasil menyekolahkan semua anak yang dititipkan padanya dengan baik; kecuali mungkin aku. Anaknya sendiri secara formal berhasil; dia masuk AKABRI Laut, dan sekarang entah apa pangkatnya, tapi mungkin tinggi sebab ketahuan sejumlah orang pasti berdecak kagum dengan prestasinya. Dengan kriteria apa pun, aku yakin sebagai orangtua dia berhasil, bahkan dengan segala kebengalan yang aku miliki (atau sedikit apa pun keberhasilanku). 

Keluarga Ua Sum juga baik-baik. Dulu, seingatku, hanya perkawinan Teh Tini-Kang Asep yang kerap diancam perceraian, tapi hingga akhir hidupnya, perkawinan mereka selamat. Dari keluarga ibuku, mungkin ada satu perkawinan yang rusak, yakni perkawinan pamanku, ayah Andi & Suprih. Bahkan entah siapa nama pamanku itu, karena tak pernah ketemu. Dia kabur entah ke mana (mungkin ke Singapura), begitu juga dengan ibunya. Aneh sekali ada orangtua seperti itu. Andi dan Suprih akhirnya diasuh nenek kami, sampai mereka dewasa.

Perkawinan dari keluarga Ubing aku pikir lebih variatif, berwarna. Kakaknya persis di atas dia janda tanpa anak; sekarang menikah dengan lajang. Kakak sulungnya sudah menikah dua kali; yang pertama tanpa anak, yang kedua sudah punya anak; semua suaminya bule. Kakak keduanya jadi istri kedua(!) seorang manajer perusahaan besar, dan aku kerap dengar cerita karena perkawinan itu keluarga Ubing kerap jadi sasaran kemarahan istri pertama sang manajer. Kalau kebetulan aku ada di sana dan keluarga istri pertama itu marah-marah, aku janji akan menghadapi mereka sebisa mungkin. Bukan karena aku ingin membela kakak ipar (apa hubunganku?), tapi aku hanya ingin beri pelajaran agar orang jangan sembarangan berperi laku buruk di rumah orang lain, apalagi itu rumah mertuaku. Agar orang itu tahu konteks, bukan mengancam atau menakut-nakuti istri kedua, tapi suaminya juga harus diberi tahu risiko apa artinya beristri dua. Sementara itu adik Ubing persis di bawahnya, menikah dengan mantan pacar kakaknya; nah, tentu saja ini masa lalu yang kompleks. Adik bungsu Ubing sudah pernah cerai dengan suaminya, tapi rujuk lagi, meski akhirnya talak tiga dengan buntut seorang anak perempuan. Tante Ubing menikah dengan seorang bule, yang konon womanizer (dan dia sendiri mengakuinya.)

Aku dari dulu berpendapat perkawinan itu sederhana saja. Inti perkawinan ialah kerelaan. Pendapat ini agak lain dengan keyakinan banyak orang yang bilang bahwa inti perkawinan itu cinta atau kecocokan. Seorang yang cinta atau cocok belum tentu rela. Kalau rela, kamu bisa kawin dengan janda tua dengan anak lima, meski kamu mahasiswa favorit dengan masa depan gemilang. Kamu bisa jadi mencintai seseorang, tapi ternyata dia tak rela jadi istri kedua. Bagaimana, coba? Kalau begitu kamu gagal menikahinya. Kerelaan bisa membuat suami perokok berat menghentikan kebiasaan itu demi memenuhi kebutuhan susu anaknya. 

Karena sederhana, jika sudah tak rela, sebaiknya pasangan itu cerai. Jika masih ingin bersatu, rujuk. Jika ada yang masih berharga untuk dipertahankan, teruskan. Jika ingin nikah, tinggal cari pasangan. Jika malas punya anak, tinggal hati-hati dan cari caranya. Jika ingin punya anak tinggal siapkan mental dan bekal. Menyenangkan kok prosesnya. Jika mau punya istri baru, cari saja yang mau. Kalau sulit, mungkin dengan sembunyi-sembunyi juga bisa, apalagi kalau baik. (Tapi rasanya aku belum pernah dengar ada contoh perkawinan sembunyi-sembunyi yang diajarkan orang dahulu.) Jika mau suami baru, ajukan cerai. Di novel Rumah Cinta Kelana, Sofie Dewayani cerita ada seorang suami (i.e. bapak beberapa anak) ternyata punya istri baru, dan kehidupan keluarga mereka baik-baik saja. Si istri muda itu rela jadi istri simpanan yang betul-betul rahasia, bahkan istri tua tak pernah tahu suaminya nikah lagi, dan rumah tangga mereka berjalan sempurna. Barangkali itu soal manajemen dan sistem informasi saja.

Sementara itu tipe perkawinan juga macam-macam. Bahkan di Friendster ada opsi "open marriage." Nah, apa itu bukan semacam alternatif bahwa di dalam perkawinan pun masih terbuka kemungkinan mencari pasangan baru? Kadang-kadang aku merasa konyol dengan perkawinan hancur atau buruk yang ingin terus dipertahankan, dengan alasan apa pun, padahal iktikad baik masih sulit mengobati luka. Realistik saja, kalau perceraian bisa membuat orang bebas, bisa membuat orang berkembang, aku pikir lebih baik pisah saja. Sejarah mengajarkan, ternyata manusia itu terlalu mudah khawatir tentang hal yang belum terjadi, dan mudah panik terhadap masalah yang sebenarnya familiar.[]

Anwar Holid, perkawinannya dengan Septina Ferniati pada 1999 kini membuahkan anak dua.

Friday, June 13, 2008



JEDA AGAK LAMA TENTANG KEHIDUPAN
---Anwar Holid



Rasanya aneh punya adik mendadak jadi janda. Tapi kalau kehidupan menghendaki, semua bakal terjadi. Hidup mah ada-ada saja.



Setelah menikah kira-kira 6-7 tahun (aku bahkan lupa persis tahun perkawinan mereka), adikku kehilangan suaminya awal Juni ini. Mereka punya satu anak lelaki berumur 5,5 tahun, masih TK. Anak ini diberi nama berkebalikan dengan anak sulungku. Anak mereka melayang ke angkasa---diberni nama Bintang; anakku menancap ke bumi, diberi nama Ilalang. Adik iparku meninggal karena sakit sirosis (gagal hati akut). Dia berumur 34 tahun, sama dengan aku. Adikku sendiri 30 tahun.



Karena meninggal itu aku langsung ke Purwokerto, tempat tinggal mereka. Aku sangat jarang ketemu dengan adikku, apalagi dengan suaminya. Mungkin baru ketemu 3-4 kali. Ini memperlihatkan bahwa aku kurang peduli sama keluarga dekat. Harus kuakui ini benar. Aku paling-paling kirim SMS ke adikku, itu pun kalau perlu. Dulu, waktu masih lajang, aku beberapa kali kirim surat ke dia. Dia tinggal di P. sejak kuliah hingga kini. Aku sesekali ke kosan dia waktu mahasiswa dulu; untuk pertama kalinya menikmati soto khas daerah itu yang ditaburi bubuk kacang tanah. Waktu zaman "sastra pedalaman", aku minta dibelikan buku Lingkar Tanah Lingkar Api karya Ahmad Tohari yang diterbitkan di Banyumas, kota kembarnya. Praktis adikku nggak punya sodara sedarah di kota yang datar jalannya itu. Gara-gara kematian suaminya, aku jadi ketemu lagi dengan bapak dan emak, juga bibiku. Ayah dan ibuku datang lebih awal, meski mereka berangkat dari Metro, Lampung. Sementara bibiku dari Cijulang, Ciamis. Rupanya kematian bisa mempertemukan keluarga yang jauh tinggalnya. Ayah ibuku tinggal di Lampung, sementara paman dan uaku di Cijulang, desa dekat Pangandaran. Waktu menginap di rumah mereka aku mendapati beberapa buku yang dulu aku kirim buat dia. Menarik. Kenanganku langsung tersedot ke masa silam.



Aku jelas buta tentang perkawinan adikku. Aku hanya sesekali dengar kisah mereka dari ibu atau adik bungsuku. Mereka bilang dia seorang wiraswasta. Dulu mereka sama-sama kuliah di Universtias Jenderal Soedirman (Unsoed), cuma beda jurusan dan angkatan. Setelah menikah, dia mencari nafkah dari sewa-menyewa soud system. "Obsesinya memang bikin studio musik," kata adikku di sela-sela obrolan kemarin. Tapi mungkin bisnis itu kurang sukses buat dia, sampai aku dengar dia mengelola rumah makan dan pemancingan. Tapi mungkin kerja ini juga amat berat, hingga dia katanya jadi jarang pulang karena terlalu sibuk. Baru-baru ini dia melepas bisnis rumah makan itu, dan mendirikan warnet. Aku dengar adikku, mereka pinjam dari tiga bank untuk mengelola warnet dengan jaminan rumah wasiat dari orangtua adik iparku. Total utang ke bank itu kira-kira 100 juta rupiah. Itu jumlah yang besar sekali menurutku. "Mungkin gara-gara utang itu dia kelihatan stes," kata adikku. Tapi tentu adikku pun pasti dagdigdug kalau melihat bahwa dia kini sendiri jadi penanggung jawab utang. Aku sendiri masih punya utang ke sodara dan teman, dan hingga kini kesulitan kapan bisa mencicilnya.



Dulu waktu menghadiri perkawinan mereka, iparku ini nyanyi dan main musik; aku gagal memainkan satu alat musik pun. Di panggung mereka nyanyi dangdut---"Sepiring Berdua?" aku sudah lupa. Di rumah mereka kini aku lihat puluhan majalah tentang musik dan audio juga teknologi rekaman. Ini menarik buatku, karena aku suka dengar musik. Setiap ada jeda aku selalu buka-buka majalah itu. Terus terang aku sangat bergantung pada orang lain agar bisa baca berita musik, kalau bukan sengaja aku cari di Net. Akhir-akhir ini aku sering pinjam Rolling Stone Indonesia ke Budi Warsito, kalau bukan buka-buka di Rumah Buku. BTW, Rumah Buku kemarin masuk Rolling Stone Indonesia sebagai "the coolest library in town." Hooraai!
Aku kecut dengar tentang penyakit suami adikku, sirosis. Aku jadi sadar betapa berharga arti kesehatan. Aku nggak tahu apa dalam tubuhku ini ada penyakit parah; siapa tahu. Aku yakin kepalaku merupakan bagian yang paling rawan. Dulu kepalaku terbentur keras sekali, dan sekarang aku berdoa dan berusaha agar itu tak fatal. Aku sangat hati-hati agar jangan sampai kepalaku terbentur lagi, karena kalau nggak, aku bisa demam tinggi. Mumet sedikit saja biasanya bisa membuat kepalaku sakit dan itu artinya aku harus segera mengistirahatkannya.



Hati yang kena sirosis betul-betul hancur dan rusak sama sekali; total gagal berfungsi. Kata adikku, hati suaminya boyak-boyak. Dulu waktu masih hepatitis (mungkin C), hatinya difoto. Adikku bilang, "Ini foto hati mas dan ini hati yang kena sirosis. Jangan sampai hati mas jadi yang seperti ini!" Tapi ternyata hatinya tambah rusak. Adikku cerita betapa parah sirosis mendera suaminya, sampai dia muntah darah, koma dua hari, bahkan darah keluar dari hidungnya. Belum lagi ketika di rumah, pencernaannya gagal berfungsi sama sekali. Hanya sendiri dengan anak kecil, terbayang betapa dia menjalani masa hidup paling sulit dalam perkawinan demi mengurus pasangan. Apa yang bisa aku lakukan agar kesehatanku terjaga, batinku. Aku belum tentu sehat, meski tidak merokok, mengharamkan alkohol, bebas narkoba, juga tidak pernah keluyuran. Paling aku agak sering begadang untuk mengganti jam kerja yang kacau; tapi tidurku rasanya cukup. Makananku juga cukup sehat. Ubing sangat perhatian dengan gizi yang kami konsumsi. Yang menonjol aku merasa diriku masih malas dan kurang kerja keras.



Suami adikku di kubur di samping makam eyangnya, ibunya, dan sodaranya. Ibunya juga meninggal karena sakit hati, hepatitis. Bintang, waktu kami melayat ke kuburan ayahnya yang masih merah bertabur bunga, bilang, "Ini tempat ayah sekarang, mah?"
"Iya."
Anak kecil itu sudah tahu sedikit tentang kematian ayahnya. Begitu di rumah tak ada ayahnya, dia rewel dan mencari-cari ayahnya atau menciumi foto-foto ayahnya. Tapi ketika tahu dia ada di dekat ayahnya, meski di kuburan, dia tenang.



Aku mendadak kasihan pada adikku. Semoga dia diberi ketenangan menghadapi semua yang harus dihadapi. Ayah & ibuku mungkin menemani dia sekitar 6-7 hari. Adikku tentu harus mengurus semua karena kematian itu; mulai dari harta hingga persoalan yang mungkin tak dia ketahui. Apa misalnya dia menyembunyikan deposito atau warisan. Mengurus kematian aku yakin sama repotnya mengurus kelahiran. Aku saja repot mengurus kelahiran dua anakku dulu. Bedanya, suasana mengurus kematian mungkin sedih; sementara mengurus kelahiran gembira. Bagaimana kalau ternyata suami adikku punya utang besar yang selama ini tak ketahuan? (Semoga tidak.) Aku berharap keluarga suaminya tetap baik sebagaimana mereka buktikan selama ini. Aku sendiri janji akan tambah rajin menghubungi adikku.



Dari P. aku menuju Cijulang, tanah leluhur keluargaku. Cijulang ini desa di sekitar pantai Pangandaran. Keluarga besar ayahku tinggal di sini. Aku juga sangat jarang ke sana. Istri pertama Aa Gym---Teh Ninih---berasal dari sini. Dia anak ajengan sebuah pesantren. Sekarang, di Cijulang ini tinggal paman dan dua uaku. Banyak juga sodara lainku di sini, tapi semua itu terhubung sempurna oleh ayahku dan sodara-sodaranya. Pamanku baru-baru ini dirawat 29 harian karena sakit jantung. Waktu aku ketemu, tangan kanannya masih gagal digerakkan, sementara yang kiri sudah cukup normal, bisa buat pegang hp. Yang parah kakinya, masih sakit luar biasa, meski sekarang agak mending. Mungkin ini sakit dia yang paling parah. Dari cerita bibiku, pamanku mengalami near-death experience di puncak sakit waktu dirawat. Dia berkali-kali meracau tentang ibunya (nenekku.) Terakhir kali aku mau diajak ke Cijulang ialah waktu Lebaran lalu (1428 H), oleh keluarga lengkap Kang Indra. Sayang aku nggak bisa karena masih di Serang, di keluarga mertuaku.



Pulang ke Bandung sambil mulai baca Imperium (Robert Harris). Novel ini ditulis dengan rancangan sempurna, terutama dari sisi setting dan pembentukan karakter. Aku merasakan Romawi zaman kuno, pidato khas para politikus (terutama tentu saja oleh Cicero), intrik politik, keculasan bandit politik, bahkan kuil-kuil yang berdiri di sana. Rasanya gambaran tentang Romawi kuno yang sering aku lihat di buku filsafat atau sejarah terwujud sempurna di situ. Keterbacaan terjemahan Femmy Syahrani dan editan Siska Yuanita ini juga top. Sekali buka, aku menghabiskan lebih seratus halaman. Tapi sayang kini belum bertambah lagi karena aku harus fokus lagi pada order yang belum beres.



Kematian suami adikku memberi aku jeda agak lama tentang kehidupan. Entah kenapa bareng dengan kematian adik iparku itu keluargaku banyak kena musibah. Keponakanku dari pihak istri, yang seusia Shanti (menjelang 2 tahun), baru-baru ini terguyur air mendidih; sementara uaku (ibu angkatku) sampai dirawat di rumah sakit karena shock mau diperas penjahat dengan bilang bahwa cucu dan menantunya kecelakaan parah. (Sebenarnya, ini tipuan klise.) Kematian terakhir yang bikin aku terdiam ialah wafatnya Lisa Lukman; teman dari Jakarta yang tiap ke Bandung pasti nginep di rumah. Dia sebentar lagi jadi sarjana dari Driyarkara; tapi hidup lebih cepat menghendaki kematiannya.



Suatu hari aku bakal mati. Aku hidup ini juga salah satunya menunggu mati. Betulkah? Rasanya semua kematian itu mendadak. Baru-baru ini Ubing dapat sms bahwa Wira meninggal. Wira ini anak Klab Nulis yang dulu dia fasilitasi, juga pernah mengiringi Ilalang main gitar waktu perpisahan TK. Itu mendadak sekali. Kata ibuku, dulu, waktu masih kelas 4 SD (tahun 80-an), aku juga sudah hampir mati. Aku kena muntaber bareng kakakku. Tapi aku yang akhirnya selamat dan sehat; sementara kakakku meninggal. Dia kelas 6 kalau tidak salah. Sekarang, aku rasanya masih ingat bagaimana sakit disentri, rumahku tiba-tiba penuh sesak oleh orang lain, sekilas terlihat mata ibuku sembab, juga orang bikin patok.



Boleh jadi aku bohong sedang menunggu mati, sebab aku juga tak menyiapkan apa-apa buat pergi ke sana. Aku bahkan tambah banyak menumpuk dosa. Salah satu yang bikin aku semangat menghadapi kematian ialah aku agak yakin bahwa kematian bakal menghentikan dosaku. Waaah---apatis sekali kamu, Wartax!



Seperti apa rasanya jadi janda? batinku. Mungkin terlalu dini membicarakan itu pada adikku. Sebagian temanku cerai, kawin sama janda/duda, kawin lagi dengan gadis. Uaku sendiri janda cerai, dan ia tampak bisa mengarungi hidup baik-baik saja sepengetahuanku. Kalau aku perhatikan dari reaksi orang di sekitar Panorama, aku yakin uaku dihormati banyak tetangga. Itu membuat aku lega. Tiga dari sodara kandung Ubing juga pernah jadi janda. Jelas kualitas orang tak ditentukan apa dia janda atau gadis dan sejenisnya. Kadang-kadang, dalam putus asaku menghadapi perkawinan dan rumah tangga, aku pikir mungkin menarik jadi janda/duda; sebab orang bisa bebas lagi menentukan segala sesuatu sendirian. Tapi hidup sendiri juga punya drama. Jadi hadapilah kenyataan kamu sebaik-baiknya.



Semoga adikku baik-baik saja dengan kehidupannya, termasuk diberi kekuatan dan ketabahan menghadapi segala tantangan.[]11/Juni/08



PS:
* Adikku bernama Umi Kulsum. Dia alumni Universitas Jenderal Soedirman, jurusan biologi; sementara suaminya bernama Anggoro.
* Soal betapa fatal sirosis, cek http://en.wikipedia.org/wiki/Cirrhosis dan eksternal linknya.










 




Terlalu Melangitkah Cara Kita Beragama?
Sejenak Merenungkan Cara Kita Beragama
---Agus Kurniawan

Terus terang, saya sangat kecewa atas terjadinya insiden Monas. Terlepas dari siapa pelakunya dan siapa yang benar, peristiwa itu justru mengalihkan perhatian orang dari nestapa nyata yang baru saja diderita bangsa kita, yakni kenaikan harga BBM. Peristiwa monas itu seolah-olah menihilkan arti dari meningkatnya beban hidup dan sekaligus meningkatnya jumlah orang miskin baru (4 - 5 juta orang, menurut versi pemerintah.) Dengan peristiwa itu, seolah-olah masalah nyata kehidupan di dunia (kemiskinan, eksploitasi alam, kesenjangan ekonomi, dan lainnya) tidak lebih berharga dibanding isu-isu langit seperti pemurnian agama atau pluralisme atau yang lainnya. Betapa beruntung Juru Bicara Istana saat ini, karena tidak lagi harus pusing-pusing menjawab pertanyaan orang mengapa BBM naik, atau apa rencana pemerintah menanggulangi dampaknya. Ya anggap saja suatu blessing in disguise. :)


Ini memang paradoks. Sebagai seorang Muslim, saya tahu bahwa Rasulullah Muhammad Saw. justru meletakkan keadilan sosial sebagai salah satu fokus ajaran dan reformasinya. Begitu pula di zaman khalifah. Keadilan sosial adalah salah satu pilar Islam, sesuatu yang begitu gigih diperjuangkan. Hal ini telah diakui secara global, juga oleh agama-agama lain, dan menjadi sumber kekaguman umat lain terhadap Islam.

Tetapi mari kita renungkan cara kita berislam di zaman kita ini. Terlepas apakah peristiwa Monas adalah kebetulan, direncanakan, konspirasi, ataupun diperalat, pokok persoalannya justru karena "cara beragama kita" saat ini yang tidak meletakkan permasalahan aktual kehidupan manusia sebagai fokus perhatian. Agama terlalu berbicara tentang isu-isu langit, kehidupan di hari akhir, atau isu dentitas. Mari kita jujur, seberapa besar porsinya para khatib membahas tentang keadilan sosial, pengentasan kemiskinan, kesenjangan ekonomi, degradasi moral, eksploitasi alam, pendidikan, ilmu pengetahuan, penegakan hukum, perburuhan, dan isu aktual lain dalam khotbah Jumat? Sejauh manakah fatwa-fatwa menjadi inspirasi dalam mencari solusi terhadap masalah-masalah aktual manusia? Menurut saya, agama sama sekali tidak boleh menjauh dari permasalahan aktual manusia. Dengan semakin kompleknya dan ambigunya problematika aktual kehidupan manusia, maka seharusnya semakin besar peran agama dalam menjawab permasalahan tersebut. Bukan hanya dalam hal memberi batasan (membuat hukum atau tata nilai) tetapi yang lebih penting adalah dalam hal menciptakan dorongan dan menginspirasi. Seperti halnya kehidupan Rasulullah, para ulama dan ilmuwan masa lampau, Al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Rusd, dan seterusnya.

Dalam keyakinan saya, Allah menciptakan manusia agar berperan membangun kehidupan di muka bumi lebih baik. Tetapi ketika cara kita beragama malah menjauh dari urusan aktual manusia, sudah benarkah cara kita beragama? Mari kita renungkan.

/*/


Saya ingin curhat dari pengalaman pribadi. Saya sekeluarga tinggal di pinggiran Bandung sebelah selatan. Rumah saya dikelilingi pabrik-pabrik besar, kebanyakan garmen. Akibatnya rumah saya juga dikelilingi kost-kostnya para buruh, selain juga penghuni desa yang sebagian juga buruh. Sebagian besar mereka adalah buruh biasa dan berstatus kontrakan. Satu atau dua orang memang memiliki jabatan koordinator, supervisor, tapi itu sangat sedikit. Jabatan lebih tinggi tentu akan dipegang orang-orang yang lebih berpendidikan.

Buruh pabrik berpenghasilan tidak jauh dari dari UMR. Anggap saja ditambah lembur, take homepay kira-kira 1 - 1,2 juta per bulan. Saya coba menghitung overhead mereka sebulan:
-----------------------------------------------
Beras: Rp 6,000 x 30 = 180.000
Lauk-pauk: Rp 10,000 x 30 = 300.000
Pendidikan anak: Rp 10,000 x 25 = 250.000 (asumsi 1-2 anak SD)
Transportasi: Rp 5,000 x 25 = 125.000
Kesehatan: Rp 5.000 x 25 = 125.000
Total Rp 980.000,-/bulan.
Sisa akhir bulan = 20.000 sampai 220.000.
-----------------------------------------------

Ok, hidup bisa terus jalan kan. Rejeki nomplok kalau pasangannya juga bekerja, sehingga penghasilan keluarga jadi dobel. Tetapi standar hidup yang saya hitung di atas kan masih terlalu sederhana. Dan biasanya kenyataan tidak seindah teori. Hitungan itu juga belum memasukkan komponen lain, seperti cadangan, tabungan, pakaian, rekreasi, apalagi kalau harus nyicil rumah, nyicil motor. Sebagai gambaran, cicilan rumah tipe 21 rata-rata sudah mencapai 400 ribu per bulan. Malapetaka akan terjadi bila salah satu anggota keluarga masuk rumah sakit. Dapat dipastikan bahwa mereka akan menangguk utang, yang biasanya dibayar dengan nyicil dari gaji. Akibatnya makin melemahkan kemampuan finansial.

Anehnya, buruh pabrik di desa saya (yang porsinya cuman kira-kira 10 - 20 % dari penduduk desa) masih termasuk kelompok masyarakat yang hidupnya lebih enak. Mungkin karena mereka mendapat penghasilan yang rutin dan pasti. Lalu bagaimana dengan masayarakat yang tidak berpenghasilan rutin, seperti sopir angkot, petani, buruh serabutan, buruh tani, tukang becak, dan seterusnya. Bapak saya, yang masih mendapat penghasilan rutin dari uang pensiun, masih tetap menanam padi lebih untuk mengisi waktu dibanding mengharapkan penghasilan. Bagaimana tidak, dari tanah 1000 m persegi, untung yang diperoleh dari menanam padi selama 4 bulan hanya 200 ribu. Atau rata-rata 50 ribu sebulan.

Lalu bagaimana kalau tiba-tiba BBM naik dan menjadikan harga barang-barang naik 5 - 10 %?

Repotlah. Itulah yang bikin saya kesel ketika ada orang bikin moving atas nama agama (siapapun itu) dengan isu-isu yang tak menyentuh hajat hidup. Padahal harusnya para agamawan yang lebih peka menyelamatkan rakyat kecil dari ketidakadilan kan? Bisa jadi mereka sekadar diperalat kali ya. Memang mudah sekali kita dipermainkan.[]


Dirapikan seperlunya oleh Anwar Holid.

Kartun oleh Erick S.

Awalnya tulisan ini di posting di smansa89@yahoogroups.com, manteos@yahoogroups.com, cyberaki@yahoogroups.com

Sunday, June 08, 2008






Buku Pengubah Iman
---Anwar Holid








MUSIM PANAS 1987, dua puluh satu tahun lalu. Ingrid Mattson akan mengadakan perjalanan panjang karena mau kerja di daerah perkebunan di kawasan pegunungan British Columbia, provinsi Kanada bagian paling barat, bersisiran dengan lautan Pasifik Utara. Dia berangkat dari Kitchener-Waterloo, Ontario, kampung halamannya, wilayah timur yang banyak danau. Waktu itu perempuan asli kulit putih ini baru lulus dari Universitas Waterloo, Ontario, Kanada, dan sedang dalam masa-masa awal secara personal mempelajari Islam.

Ia menempuh perjalanan dengan kereta api. Beberapa hari menjelang berangkat itulah dia menemukan buku Islam karya Fazlur Rahman di sebuah toko buku. Dia bawa buku itu sebagai salah satu bekal, dan sepanjang perjalanan itu dia baca-baca.

"Selama membaca buku itu dalam perjalanan menyusuri padang rumput, membuat saya memutuskan melamar sekolah pascasarjana di bidang kajian Islam. Buku Fazlur Rahman memancarkan hasrat yang amat besar dalam diri saya untuk mempelajari warisan teologi dan hukum Islam klasik," kata dia tentang kehebatan buku tersebut. "Saya malah melangkah lebih maju, memutuskan mengirim sepucuk surat kepada beliau---ini semua terjadi sebelum kita semua menggunakan e-mail; menjelaskan keadaan yang saya alami dan bertanya apa mungkin belajar dalam bimbingannya. Saya menaruh surat di kotak pos di dekat-dekat daerah pegunungan Rocky dan kemudian lupa sampai saya pulang ke rumah di daerah timur pada Agustus. Di sana saya dapat balasan tulisan tangan dari beliau, mengundang saya agar datang ke Universitas Chicago dan belajar bersama beliau. Rahman meninggal sebelum saya tiba di Chicago, tapi buku dialah dan dorongannya yang menginspirasi saya untuk memulai memasuki jalan setapak pada pembelajaran yang saya rasakan begitu berharga."

Di rentang panjang aktivitas dan akademik, pada 2000 perempuan berjilbab ini terpilih sebagai wakil presiden ISNA (Islamic Society of North America), lantas pada 2006 terpilih sebagai presiden. Dia menjadi perempuan kulit putih sekaligus mualaf pertama yang memimpin lembaga tersebut, sebuah organisasi Islam terbesar di Amerika Utara yang berperan penting dalam penyiaran Islam.

Akan halnya Islam, buku itu terbit pertama kali pada 1966 oleh Holt, Rinehart, and Winston, kemudian pada 1968 hak ciptanya dibeli Anchor Books, sejak 1979 ada di tangan The University of Chicago Press, dan kini menjadi buku klasik pengantar Islam, sejarah dan peradabannya, termasuk membahas perbedaan, sekte, dan geliat memasuki zaman modern. Tulisan Rahman analitik sekaligus kritis. Edisi Indonesia terbit pada 1984 oleh Penerbit Pustaka berdasar edisi 1979, disertai Epilog yang baru ditambahkan.


BUKAN HANYA Islam buku yang mampu mengubah iman seseorang. Al-Quran sudah tentu merupakan contoh utama kenapa seseorang akhirnya mau berserah diri dan bersaksi untuk memeluk Islam. Orang yang akan saya sebut ialah Cat Stevens dan Mark Hanson. Cat Steven sudah begitu terkenal karena dia dulu salah seorang ikon generasi 70-an dan penyanyi legendaris yang menelurkan banyak hits. Dia mendapat oleh-oleh Al-Quran pada 1976 dari kakaknya yang melancong ke Yerusalem. Kakaknya menghadiahi itu karena tahu kecenderungan spiritualitas Cat Stevens.

"Itu betul-betul awal penemuanku pada Islam. Waktu itu belum ada berita tentang Islam. Islam waktu itu masih rahasia. Hanya ada sedikit buku ketimuran yang mengulas sekilas agama ini. Saya membaca Al-Quran dan menemukannya sendirian, tanpa seorang pun bilang pada aku cara memikirkan dan menafsirkannya. Sungguh heran bahwa aku tak menemukan agama ini sebelum ini." Praktis Cat menemukan Islam bukan dari dakwah Muslim lain. Dia mulai menemukan ketenangan diri dan mengawali transisi menuju Islam, sampai akhirnya memeluk Islam dan mengubah nama menjadi Yusuf Islam.

Mark Hanson lebih kritis lagi kondisinya ketika memutuskan masuk Islam. Pada 1977, ketika umurnya 17, dia mengalami kecelakaan mobil sampai membuat dirinya mengalami peristiwa menjelang kematian (NDE, near-death experience.) Dalam proses perawatan itu dia membaca Al-Quran dan akhirnya mengubah hatinya berpaling menuju Makkah. Dia memilih nama baru: Yusuf Hamza. Setelah itu dia berkelana ke negeri-negeri Arab dan Afrika Utara, belajar Islam baik di universitas maupun ulama di sana. Setelah lebih dari satu dasawarsa, dia kembali ke AS mengambil kajian agama di San José State University. Pada 1996 bersama Hesham Alalusi dia mendirikan Zaytuna Institute, berbasis di Hayward, San Francisco Bay, California. Kini dia kerap mendapat perhatian media dan pengamat politik karena diundang presiden George W. Bush pasca peristiwa 9/11 dan jadi penasihat nonformal untuk urusan Islam, bahkan pemerintah Inggris pun suka berkonsultasi kepadanya.

Keith Ellison, Muslim pertama yang jadi anggota Kongres AS dari Partai Demokrat, sangat terpengaruh waktu baca The Autobiography of Malcolm X (1965), karya yang diceritakannya kepada Alex Haley, penulis keturunan Afrika-Amerika terkemuka. Waktu itu tahun 1983, Ellison berumur 19, masih kuliah di Wayne State University. Pada dasarnya universitas tersebut sudah lama terkemuka merupakan pusat bagi perkembangan aktivis kulit hitam. "Saya begitu terilhami buku itu," akunya sebagaimana dipublikasi baystatebanner.com. Ditambah pertemanan dengan sesama mahasiswa di sana yang telah mempraktikkan agama Islam, akhirnya dia pindah keyakinan. Dia cenderung memilih aliran Sunni yang menurutnya lebih moderat.



CERITA keempat orang ini menunjukkan betapa buku menjadi sesuatu yang penting bagi peradaban. Buku bisa mengubah dan menggerakkan mental. Lama-lama mental membentuk seseorang menjadi seperti yang sekarang dilihat atau didefinisikan orang lain. Nah, mungkin kini giliran saya boleh tanya: "Buku apa yang bisa mengubah Anda?"[]






Note: Kolom ini awalnya dimuat di Selisik, Republika Minggu