Thursday, October 27, 2005

"Aib" JM Coetzee
------------------

>> Katrin Bandel, Peneliti Sastra Indonesia, Tinggal di Yogyakarta

Aib
Judul asli: Disgrace
Penulis: J. M. Coetzee
Penerjemah: Indah Lestari
Penerbit: Jalasutra, 2005
Tebal: 317 hlm; format: 15 cm x 21 cm
ISBN: 979-3684-33-X
Harga: Rp.35.000,-


David Lurie, tokoh utama novel Aib karya JM Coetzee (1999), adalah seorang antihero. Sebagai dosen senior dengan keahlian sastra Inggris zaman Romantik, dia seperti sudah hampir dengan sendirinya melambangkan segala sesuatu yang 'ketinggalan zaman' di Afrika Selatan pasca-apartheid. Sebagai orang kulit putih, dia menjadi bagian dari bekas penguasa/penjajah yang dapat dianggap mesti 'tahu diri' dalam sebuah negeri dengan mayoritas penduduk kulit hitam yang baru membebaskan diri dari sistem rasis.

Sebagai laki-laki, apalagi laki-laki tua hidung belang yang meniduri mahasiswinya, dia merupakan prototipe laki-laki yang dicurigai para feminis. Keahliannya pun menjadi ciri khas 'sistem lama', yaitu mempelajari dan mengajarkan karya para 'master' sastra Eropa (kebanyakan Inggris) yang semuanya laki-laki kulit putih.

Dalam studi pascakolonial, pendidikan kolonial, antara lain pendidikan sastra, sering disebut sebagai salah satu cara pengukuhan kekuasaan. Karya-karya pengarang Eropa diajarkan sebagai kanon yang 'universal', sedangkan sastra dan budaya lokal tidak diacuhkan sehingga anak didik mendapat kesan hanya Eropa yang berbudaya dan 'beradab'.

David Lurie dalam novel Aib mewakili kanon lama tersebut, tetapi kanon itu kini sudah kehilangan pamor dan kekuasaannya. Di Cape Technical University, tempat dia mengajar, Fakultas Sastra dan Bahasa telah ditutup dan kini dia terpaksa mengajar Ilmu Komunikasi. Hanya satu mata kuliah sastra yang masih bisa diajarkannya setiap semester. Akan tetapi, mahasiswanya tampaknya hanya mengikuti kuliah sebagai kewajiban saja. Sebagian teman kerjanya pun menganggap dia sebagai 'peninggalan masa lalu' yang sebaiknya disingkirkan.

Lurie bukan hanya mengajar dan berkarya ilmiah tentang 'kanon lama' tersebut, karya dan kisah hidup para sastrawan itu---terutama Lord Byron (1788-1824), penyair Inggris yang sedang menjadi fokus studinya---selalu menjadi rujukannya dalam kehidupannya sehari-hari. Tidak pernah dia menyebut sastrawan Afrika Selatan atau negara Afrika lainnya, yang kulit putih atau kulit hitam. Juga tidak ada sastrawan perempuan yang mendapat perhatiannya. Kesempitan wawasan ini membuat Lurie terasing di negeri dan lingkungannya.

Keterasingan Lurie makin mendalam setelah dia dipecat sebagai dosen, lalu tinggal di pedalaman bersama anaknya yang menjadi petani. Pada suatu saat dia duduk di halaman belakang rumah seorang kawan sambil menyanyikan syair opera tentang Byron yang sedang dikarangnya. Ketika dia memergoki beberapa anak kecil sedang mengintipnya, dia menyadari betapa bagi mereka dirinya tentu tampak seperti orang gila. Bagaimana mungkin sebuah opera dalam bahasa Italia tentang seorang pengarang Inggris yang sudah lama mati dapat memiliki makna bagi penduduk kampung di pedalaman Afrika!

Ada dua peristiwa utama yang dialami David Lurie yang membawa perubahan besar dalam hidupnya. Keduanya adalah kasus pelecehan seksual: yang pertama melibatkan dirinya sebagai pelaku, yang kedua terjadi pada Lucy, anak perempuannya.

Kasus pertama adalah affair Lurie dengan seorang mahasiswinya, Melanie Isaacs, yang berakhir dengan sangat memalukan bagi Lurie: Melanie mengadukan hal itu sebagai pelecehan seksual (sexual harassment), dan Lurie dipecat oleh universitasnya.

Kasus ini jauh dari sederhana. Meskipun pada saat meniduri Melanie pertama kali, Lurie menyadari bahwa persetubuhan itu tak diinginkan Melanie, toh tidak terjadi pemaksaan. Melanie tidak menolak, dia memilih bersikap pasif dan membiarkan Lurie menggaulinya.

Beberapa waktu kemudian, Melanie bahkan muncul di rumah Lurie dan minta diizinkan tinggal di sana untuk beberapa waktu. Setelah terjadi hubungan seks beberapa kali, Melanie kemudian menghilang kembali. Lalu, pacarnya melibatkan diri, juga keluarganya. Akhirnya Lurie tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan bahwa dirinya sedang dituntut karena melakukan pelecehan seksual.

Setelah dipecat, Lurie 'melarikan diri' ke tempat anaknya yang memiliki sebidang tanah di pedalaman Eastern Cape. Lucy hidup sebagai petani, menanam bunga dan kentang yang dijualnya di pasar, dan di samping itu membuka tempat penitipan anjing. Kasus kedua terjadi di situ, pada Lucy. Suatu hari mereka didatangi tiga laki-laki kulit hitam yang tidak mereka kenal, dirampok, dan Lucy diperkosa. Lurie tidak dapat membantu anaknya sebab dia dilukai dan dikunci di kamar mandi.

Kasus ini pun jauh dari sederhana. Pemerkosaan yang terjadi pada Lucy bisa dipahami sebagai semacam aksi balas dendam orang kulit hitam terhadap orang kulit putih. Di samping itu, ternyata Petrus, laki-laki kulit hitam yang bekerja untuk Lucy dan telah membeli separuh tanah darinya, terlibat dalam kasus tersebut.

Bentuk keterlibatan itu tak dapat sepenuhnya dipahami Lurie dan Lucy, tetapi tampaknya bukan secara kebetulan saja Petrus sedang tidak di tempat saat perampokan dan pemerkosaan itu terjadi. Juga, ternyata salah satu dari ketiga penjahat itu, seorang pemuda yang tampaknya terganggu kesehatan mentalnya, merupakan kerabat Petrus yang bahkan kemudian ikut tinggal bersama Petrus dan keluarganya.

Tampaknya hubungan antara Petrus dan Lucy menjadi kunci peristiwa itu. Petrus awalnya bekerja pada Lucy sehingga relasi kekuasaan tidak jauh bergeser daripada yang lazim di zaman apartheid: Si kulit hitam menjadi tenaga kasar yang bergantung pada majikannya yang kulit putih. Tetapi kemudian Petrus membeli sebagian tanah Lucy.

Setelah mendapat dana bantuan dari pemerintah, dia pun mampu membangun rumah. Petrus kini lebih pantas disebut tetangga meskipun dia masih bekerja pada Lucy. Relasi kekuasaan berubah, status Petrus tidak lagi lebih rendah daripada Lucy. Namun, Petrus belum puas dengan keadaan itu. Dia menginginkan tanah yang lebih luas lagi. Kehadiran Lucy terasa mengganggu.

Tampaknya peristiwa perampokan dan pemerkosaan berfungsi sebagai semacam ancaman: Lucy 'disadarkan' bahwa tanpa perlindungan Petrus keamanannya tidak terjamin. Di akhir novel, Lucy pasrah: dia menerima tawaran Petrus untuk menjadi 'istri ketiga' atau 'simpanan'-nya, menyerahkan seluruh tanahnya dan sebagai imbalan menerima perlindungan dari Petrus. Relasi kekuasaan sama sekali berbalik, kini Lucy yang sepenuhnya tergantung pada Petrus.

Dalam kedua kasus ini, David Lurie tidak dapat sepenuhnya memahami apa yang terjadi. Apa yang dipikirkan dan dirasakan Melanie tetap menjadi rahasia baginya. Karena seluruh novel diceritakan dari perspektif Lurie, bagi pembaca pun kisah Melanie tetap menjadi teka-teki. Mengapa Melanie tidak menolak dengan tegas ketika diajak berhubungan seks oleh Lurie? Mengapa dia tiba-tiba mengadukan peristiwa itu sebagai pelecehan seksual? Benarkah dia merasa dilecehkan atau dia ditekan oleh keluarga dan pacarnya?

Persoalan jarak antargenerasi juga sangat berperan dalam hubungan Lurie dengan anaknya. Cara Lucy menghadapi musibah yang terjadi padanya sama sekali tidak dapat dipahami ayahnya. Lucy memilih tidak melaporkan kasus pemerkosaan itu kepada polisi. Dia juga memilih tidak menggugurkan anak yang dikandungnya akibat pemerkosaan itu. Dia bertahan hidup di rumah dan tanahnya, dan dengan tegas menampik desakan ayahnya untuk meninggalkan tempat itu.

Bagi Lucy, Afrika Selatan pasca-apartheid dengan masyarakatnya yang tidak lagi disegregasi adalah apa yang perlu dihadapinya. Dia berpendapat mungkin pemerkosaan yang dialaminya adalah bayaran yang harus direlakannya sebagai orang kulit putih yang ingin berdiam di tempat itu. Dia sangat trauma dan sadar bahwa dengan menerima tawaran Petrus untuk menjadi 'istri ketiga'-nya dia sangat merendahkan diri, tetapi dia tidak melihat jalan lain yang lebih baik.

Ketika di akhir novel David Lurie menemui keluarga Melanie untuk berusaha sekali lagi memberi penjelasan dan menyampaikan permintaan maaf, ayah Melanie berkomentar: 'How the mighty have fallen'---betapa yang berkuasa telah jatuh. Kata 'mighty' membuat Lurie tercengang. Apa dirinya pantas disebut 'berkuasa'?

Sebetulnya, dalam kedua kasus yang dialami Lurie, relasi kekuasaan telah berbalik dan dia tidak dapat lagi dikatakan berada di pihak yang kuat dan berkuasa. Ketika dituduh melakukan pelecehan seksual, Lurie sadar bahwa dirinya berada di pihak yang lemah.

'Kesadaran jender' di kampusnya telah dengan sangat kuat memengaruhi pandangan dan perasaan orang maupun prosedur kampus dalam menangani kasus semacam itu sehingga Lurie tidak bisa mengharapkan simpati dan pembelaan. Hal yang serupa berlaku dalam peristiwa yang menimpanya bersama Lucy. Dia dan Lucy sebagai orang kulit putih kini berada di pihak yang lemah, tanpa perlindungan orang kulit hitam mereka tak dapat hidup dengan aman.[]

NOTE:Resensi ini awalnya dimuat di rubrik 'Buku', Kompas, Minggu, 23 Oktober 2005.

Saturday, October 22, 2005

[HALAMAN GANJIL]

Kerja Serius dan Penghargaan Sepantasnya
------------------------------------


>> Anwar Holid


Suatu hari Ugeng, temanku yang kini sudah lama sekali tak jumpa, bilang, 'Tax, gaji kamu berapa di sini?'
- Sekian.
- Itu cukup buat hidup kamu sekeluarga?
- Alhamdulillah.
- Masih sering kekurangan?
Aku ketawa. Dia tahu orang selalu haus dan kurang.
- Kamu kerja seharian kan di sini?
- Iya.
- Tahu nggak Tax, kata dia, ada loh orang yang setiap jam gajinya senilai dengan gaji kamu. Setiap jam! Jadi mau banting tulang sekeras apa pun, tetap saja gaji kamu nggak akan nyusul dia. Sementara kamu kerja keras setiap hari untuk dapat gaji sebulan, dia bisa menunggu itu dalam sejam saja.
- Tapi apa itu cukup buat dia? tanyaku.
- Ha ha ha. Jangan dibalik-balikin begitu dong.

Sejujurnya, penghasilan dan kerja kerap nggak nyambung logikanya. Tepatnya begini: orang boleh-boleh saja menggratiskan kerja keras, amal paling mulia, sentuhan paling menakjubkan, tapi adalah kewajiban orang lain/rekanan orang untuk menghormati kinerja tersebut dengan sepantas dan semampunya. (Layak adalah kata yang kualitatif). Sederhana saja, yang penting mah ridha, ikhlas. Orang bisa ikhlas memberikan harta paling besar/banyak di jalan yang dia yakin bermanfaat, tapi bisa mungkin tetap tak rela memberi uang seratus perak pada anak kecil yang sudah sekarat. Kita nggak tahu orang sebutuh apa pada harta, penghargaan, sebab itu sesuatu yang personal (baru terbuka setelah diungkap), tapi menurutku orang lain wajib bertanya kerja itu sebaiknya dihargai seperti apa. Orang memang senang dengan yang gratisan, bahkan termasuk pada yang murahan. Orang mungkin nggak butuh materi dari sesama manusia, dia bisa ikhlas atas nama Allah, bisa damai dengan kerja keras tanpa bayaran, tapi apa karena itu orang lain jadi lantas merasa baik-baik saja bila tak membayarnya? Dengan apa sebaiknya amal baik itu dibayar? Mungkin tidak dengan materi, tapi dengan sikap, mental, perilaku. Nilai seorang guru tentu tidak pada berapa dia dibayar, tapi pada apa murid itu mampu mencerap pengetahuan yang diberikannya atau mampu mengeluarkan kemanusiaan terbaik dari dalam dirinya.

Bayaran paling pantas buat guru musik adalah bila anaknya menguasai instrumental yang diajarkan dengan teknik atau pencapaian terbaik. Banyak sekali kerja keras tak diganjar materi atau uang, tapi benarkah itu betul-betul gratis? Rasanya tidak. Aku ingat tentang yang namanya 'amal baik.' Aku yakin itu yang abadi, itu yang terus menerus akan diberikan/dibayarkan kepada orang yang bekerja keras.

Jadi inget punya kenalan penulis yang menurutku ikhlas menjalani karir penulisnya. Dia santai saja tuh menulis, termasuk sampai akhirnya bisa menerbitkan novel melalui sebuah penerbit. Dia bilang, saya menulis untuk menghibur, menyenangkan orang. Di sisi materi, dia mendapat royalti yang rutin dia berikan untuk bayaran SPP kuliah adiknya; di sisi nonmateri, dia berhasil menghibur banyak pembaca bukunya. Bayaran untuk keikhlasannya justru dua: penghiburan dan kekayaan. Tapi meski begitu aku kerap sedih dengan respons kurang pantas orang lain atas yang telah dicapainya, seolah-olah itu sama sekali tak layak dilirik.

Omong-omong tentang penulis, banyak tuh penulis yang nggak dapat apa-apa dari tulisannya, kecuali warisan tentang kemuliaan untuk manusia, reputasi (i.e. nama baik) yang mengabadikan namanya sebagai orang mulia. Boethius tidak dapat apa-apa dari risalah tulisannya, De Consolatione Philosophiae, kecuali kematian dan setelah itu betapa berharganya filsafat. Bayaran buat dia jelas bukan royalti, apalagi kekayaan, tapi keabadian. Keabadian untuk amal baiknya, keikhlasannya, pandangannya. Nyawanya boleh melayang oleh hukuman mati, tapi tidak risalahnya.

Jadi kita bisa mengembalikan pada setiap orang, bayaran apa sesungguhnya yang dia inginkan.

Orang bisa berdamai dengan banyak hal, termasuk pada kepapaan yang dialaminya. Selalu ada penghiburan untuk setiap kekecewaan; selalu ada ironi di dalam kehidupan. Ada komedi di balik tragedi. Orang bisa merasa cukup dengan kepemilikannya, sebaliknya setelah berkuasa begitu kuat pun bisa jadi hasratnya tak pernah bisa dibendung, tak tahu batas di mana keinginan itu akan berakhir. Apa justru setiap orang tahu batasnya, dan orang lain tak tahu apa yang sebenaraya terjadi?

Suatu hari aku meng-copy cd ke seorang teman. Setelah selesai, aku tanya, berapa bayarnya?
- Tiga ribu, dia bilang.
- Kok cuma tiga ribu?
- CD blank itu harganya juga tiga ribu kok.
- Loh, memang listrik, transportasi, tenaga, energi, peralatan, atau kemampuan kamu itu nggak perlu diganti?
Dia hanya ketawa, 'Itu cukup kok buatku.'

Kadang-kadang orang hanya tidak mau rugi, atau sekadar ingin beramal baik. Sesederhana itu. Asal tidak rugi, atau hatinya syukur, memuaskan dirinya, semua selesai. Orang tahu kadarnya. Kita bisa menyangka banyak tentang orang lain, tapi kadang-kadang prasangka itu sama sekali salah.

Kadang-kadang penghargaan kita pada usaha orang lain tidak pantas, itu mungkin lebih krusial untuk dipikirkan. Karena kita sulit menduga orang lain perlunya apa, mungkin bisa dikira-kira, pantasnya usaha itu dihargai seperti apa. Sesuai akal sehat nggak, sesuai dengan nurani kita nggak. Yang lebih wajar mungkin bertanya, apa penghargaan itu cukup untuk dirinya? Mungkin orang tidak merasa butuh sesuatu lagi, tapi kita tak pernah tahu persis apa yang dia inginkan bila tak ditanya. Kecuali dia bilang secara terbuka. Bila seseorang berkata, 'Aku ingin kerjaku dibayar sekian,' tapi ternyata tidak bisa dipenuhi rekanannya, apa juga gunanya bilang sekian tarifnya? Cukuplah seseorang menghargai kerja orang lain sepantas sesuai standar yang mampu diberikannya. Barangkali tak masalah bila itu sebenarnya tak pantas buat seseorang. Seorang pengemis mungkin bahkan tak pantas dibayar seratus perak, tapi kalau pemberi ikhlasnya segitu, apa pengemis jujur tak akan mensyukuri pemberian itu?

Seorang profesor mungkin tak pantas dibayar seratus ribu bahkan saat ceramah di kelas aktivis mahasiswa, tapi kalau mahasiswa hanya bisa bayar segitu, dan semata-mata haus pengetahuan, sementara profesor senang diberi kesempatan mengamalkan pengetahuan, dan kedua pihak sama-sama ikhlas, rasanya tak ada persoalan. Dalam berdagang, orang boleh berusaha mendapat untung sebesar-besarnya, asal penjual & pembeli ridha, tapi kalau nggak, orang boleh keberatan, atau asal tidak rugi.

Orang hidup dengan ukuran dan anggapannya sendiri, dia akan tahu kapan kurang dan cukup. Sulitnya justru ketika harus bersinggungan dengan orang lain. Tapi untunglah manusia menghasilkan akal sehat, kepantasan, standar, juga kebajikan, kewarasan, juga kemanusiaan. Seneca bilang, 'Manusia itu suci bagi manusia lainnya.' Yah, Islam atau agama lain juga punya banyak sekali hikmah seperti itu, tapi apa dengan itu lantas sesama Muslim orang juga mau mengamalkannya? Kan tidak. Apa dengan begitu orang mau menghargai sesamanya tanpa memandang predikatnya? Nonsense. Ada kecintaan, kedekatan, penghormatan, termasuk prioritas, yang membuat standar dan nilai jadi relatif dan berbeda-beda berlakunya. Lebih-lebih manusia mengenal adanya 'maklum', penerimaan, batas minimal, dan sebagainya.

Suatu hari aku bilang ke seorang teman, bahwa aku ingin cari utangan cukup besar untuk mengembangkan rumah. Mungkin ke saudara, teman yang lebih mampu, atau siapalah yang rela ngasih. Karena nyicil rumah itu juga hanya bisa sedikit-sedikit, tentu akan lama lunasnya. Barangkali dengan asal-asalan pula mengembalikannya. 'Enak amat kalau ada!' kata dia ketus, sambil ketawa. 'Aku juga mau dapat kalau gitu!' Bisakah aku mendapatkan yang aku inginkan itu, bahkan bila aku teriak keras-keras? Menghina diri atau menghiba di hadapan banyak orang? Rasanya belum perlu seputus asa itu. Adakah yang mau mendengar keinginan itu? Barangkali orang malah menyangka aku gila, atau putus asa. Tapi selama tidak dosa atau mengganggu kebenaran, orang bisa maklum dan aku mungkin tak salah dan sia-sia. Kenapa tidak? Barangkali ada seseorang sambil prihatin bilang ke aku, 'Hidup sekarang memang mahal ya... Kita juga kesulitan kok.' Ha ha ha. Tapi setidak-tidaknya hidup telah mengajarkan orang cara berbahagia. Dalam batas tertentu orang ingin bekerja terus, tak mau istirahat, terus mencari penghasilan, sedikit atau banyak; di batas lain orang boleh berleha-leha, berpuas-puas diri, bersyukur atas segala yang dimilikinya, sesedikit apa pun miliknya, sesederhana apa pun jenis kebahagiaan itu.

Suatu hari Alexander The Great (aka Iskandar Zulkarnain), bertemu Diogenes di pagi hari cerah. Alexander adalah kaisar, penguasa Macedonia dan belahan dunia lainnya; Diogenes adalah orang yang rumahnya di dalam tong. Alexander menyangka barangkali Diogenes butuh sesuatu darinya, dan bisa memenuhi permintaan apa pun karena dia kaisar.
- Apa yang kamu butuhkan dariku? kata Alexader.
- Coba kamu minggir sedikit, biar tidak menghalangi sinar matahari ke arahku, kata Diogenes.

Alexander boleh jadi kaisar dua belah dunia, tapi yang memiliki matahari ternyata Diogenes. Karena itu, tentu sulit menyangka bila Diogenes tidak bahagia hanya karena tidak punya benda apa-apa selain yang melekat di badannya. Dia punya kerajaan alam, lebih dari seluruh kerajaan duniawi seluas apa pun.

Pada titik paling dasar, orang bisa menyatakan punya matahari, pegunungan, laut, air, tanah, rumah, kerajaan untuk membuatnya bahagia; tapi di baliknya tetap saja mudah mengeluh karena menganggap tidak punya apa-apa, terlalu mudah digerogoti rasa tidak punya atau kekurangan, cepat khawatir pada sesuatu gejala halus yang tak mengenakkan hatinya, bisa bereaksi berlebihan atas prasangka. Orang mengeluh karena tak punya buku tertentu, padahal banyak buku lain di tempatnya tak terbaca; mengeluh rumahnya kecil atau jelek, padahal rumah tetangganya lebih sempit karena dihuni lebih banyak orang, atau persis tahu ada seseorang kehilangan tempat tinggalnya, sebab rumahnya digusur oleh penguasa. Khawatir pada utang, padahal kadang-kadang honor juga datang pada saatnya, atau masih punya piutang yang bisa dianggap sebagai tabungan. Apa yang bisa dikeluhkan seseorang ternyata sesuatu yang sangat berharga bagi orang lain. Apa yang sebenarnya wajar dikeluhkan, bahkan bila kita tak punya apa-apa selain diri sendiri? Apa yang pantas disyukuri, termasuk ancaman kematian tragis atau kenyataan buruk yang tiba-tiba menjerembabkan seseorang sekalipun?

Orang kadang-kadang tak tahu apa yang bakal terjadi pada dirinya, baru setelah terjadi seseorang bisa mengira-ngira atau merekonstruksi sesuatu dalam konteks tertentu, mencoba menghubungkan segala sesuatu agar semua tampak bisa dijelaskan atau akhirnya nalar, seolah-olah memang begitu seharusnya kejadiannya. Semoga prakiraan seperti itu memang tidak terlambat sama sekali. Barangkali sebenarnya yang diperlukan orang adalah penghiburan, penenangan, pendamaian? Living Colour---salah satu band rock favoritku, sudah bubar cukup lama---pernah menyanyi begini:
...a wise man said to know thyself
'cause in the end there's no one else
just the solace of you...


Orang kadang-kadang bahkan tidak bisa menyangka yang dilakukannya baru punya dampak setelah dirinya mati. Apa sekali lagi kita harus menyatakan itu adalah tragik dan ironik? Mungkin tidak perlu. Banyak sekali realitas terjadi di luar kehendak manusia, sisa buat manusia adalah mereka jadi sedikit tahu kenapa begini, kenapa begitu, mahfum terhadap segala kemungkinan, tidak terlalu mudah terkejut (seperti aku, ha ha ha). Jelas sekali itu untuk jadi tanda bahwa salah satu hal paling penting dalam kemanusiaan adalah nilai yang diperjuangkan seseorang, sesuatu yang ingin dicapai, bayaran wajar yang dikehendaki seseorang atas usaha dan kerja seriusnya.[] 2/19/05 Penghiburan untukku, Ubing, dan Lalang.

Tuesday, October 18, 2005

[HALAMAN GANJIL]

GAKIN
--------

>> Anwar Holid, ayah seorang anak

Gakin. Terdengar seperti kata yang aneh. Belum diakui sebagai kosakata bahasa Indonesia.

Tapi bila gakin adalah 'keluarga miskin', ini sebuah frasa yang jelas maksudnya. Kita pasti tahu artinya. Kedua kata itu ada dalam KBBI dan kenyataan.

Keluarga miskin di negara kita ini sekarang (paro ke-2 2005) bisa mendapat kartu keluarga miskin (kartu gakin) senilai seratus ribu per bulan sebagai imbangan atas kenaikan BBM dan harga-harga lain. Kupon itu mungkin harus didapat dengan cara yang berbelit-belit dan sukar (mungkin mirip menguruss KTP dan surat-surat lain), sampai akhirnya ternyata banyak keluarga yang nyata-nyata miskin tak mendapat kartu itu, sementara keluarga (orang) yang jelas-jelas mampu malah bisa mendapat kartu itu.

Ini kan ganjil sekaligus memalukan sekali. Keluarga miskin yang tinggal berdekatan dengan pengurus/panitia kartu tak mendapatkannya. Barangkali panitia menganggap mereka pura-pura miskin atau gagal menyaksikan keberadaan keluarga miskin itu. Sementara itu keluarga yang mampu malah mendapat kartu itu. Barangkali keluarga itu kerabat panitia dan bisa mendapat kartu dengan mudah, gratis, tanpa prosedur, seolah-olah itu sumbangan dari gerombolan Robin Hood. Memang benar, menurut berita, banyak penerima kartu salah sasaran dan orang mampu yang menerima kartu itu ternyata kerabat panitia kartu gakin.

Memalukan sekali. Orang yang masih mampu mengaku-ngaku miskin dan dibiarkan mengambil jatah orang miskin sementara orang miskin dipersulit mengakui kemiskinannya, menyangka jangan-jangan bila mereka mengaku ternyata itu adalah hasil kemunafikan. Keadaan memang begitu terbalik-balik. Di tempat tinggalku sendiri ternyata ada keluarga mampu yang berhasil mendapat kartu itu. Mereka sangka barangkali itu adalah semacam rezeki yang jatuh dari langit, tak disangka-sangka datangnya.

Mengakui miskin saja rasanya sudah merupakan beban mental, semacam penghinaan diri. Tapi ternyata kalau ada imbalannya, orang mau-mau saja melakukan apa pun untuk mendapatkannya. Coba bayangkan kalau kita diteriaki orang lain, 'Dasar miskin kamu!' Kita pasti nggak rela, atau berusaha menolak mentah-mentah, bila perlu termasuk dengan marah. Kalau kita gagal beli barang kemudian ada orang bertanya, 'Kenapa nggak terbeli? Nggak mampu ya? Apa kamu kekurangan uang?' Kita pasti berusaha mengelak dengan alasan karena kita memprioritaskan hal lain. Padahal sebenarnya harga itu tak terjangkau karena memang kurang uang. Kita memang makhluk yang pandai bersilat lidah.

Miskin barangkali salah satu tabu manusia. Kita sering sekali dengar cerita bagaimana seseorang menyamar karena malu bahwa dirinya miskin, baik dengan berbohong, menyombong, membual, menyewa, mengutang, dan mencuri. Ada banyak kisah mengenaskan tentang keluarga miskin; namun ternyata jumlah cerita mulia, utama, dan mengharukan tentang kemiskinan tak kalah banyaknya. Silakan mencari mana yang kita sukai.

Baru-baru ini aku baca 'Ketika Hati Harus Memilih' (Erico Verissimo), juga bercerita tentang kemiskinan. Aku kenalan dengan Eugenio Fontes. Seorang anak yang lahir dari keluarga miskin. Ayahnya penjahit. Saking miskin bagian pantat celananya bolong-bolong, dan dia diteriaki anak-anak satu sekolahan. Dia terus diperingatkan oleh guru agar membayar SPP. Betapa memalukan jadi orang miskin. Sampai kemiskinan itu menggerogoti harga diri dan merupakan hantu paling menakutkan bagi dirinya, bahkan ketika dia sudah jadi dokter, menikah dengan perempuan dari keluarga kaya, bisa menyediakan segala rupa. Betulkah kemiskinan sejenis penyakit yang harus dihindari, dibasmi? Betulkah kemiskinan yang betul-betul ingin dia lenyapkan dari pandangannya? Manakah yang lebih berharga: membasmi kemiskinan atau mencari kebahagiaan? (Pertanyaan nggak nyambung!)

Saking miskin, seorang anak SD bisa bunuh diri. Karena malu miskin, seorang anak bisa memutuskan menyangka lebih baik mati daripada dirundung malu. Karena miskin orang merasa wajar memilih jadi pelacur. Karena miskin seseorang bisa begitu dendam pada orang kaya. Karena miskin orang bisa jadi buas di hadapan orang lain, termasuk bisa membunuh. Orang jadi bisa mata gelap dan bertarung habis-habisan. Karena miskin seorang ibu jadi tega membunuh bayi yang baru dilahirkannya. Karena miskin seseorang bisa menjual anaknya sendiri, atau menjual organ tubuhnya. Karena miskin orang berharap bisa mengubah keadaan dengan memasang togel. Karena miskin ada seseorang yang mempertaruhkan hidupnya dengan mencuri. Karena miskin orang rebutan kartu gakin.

Fakta itu menunjukkan sebenarnya 'miskin' hanya punya sedikit efek pada kita, orang yang barangkali sedikit lebih mampu. Kita tahu kemiskinan di depan mata, tapi seperti sebagian pengurus kartu gakin itu, gagal melihatnya. Kita menyangka kita juga termasuk miskin, akibatnya kita nggak berbuat apa-apa.

(Aku bersyukur belum pernah mengalami peristiwa mengerikan seperti itu. Rasanya aku belum pernah dihina-hina karena pakaianku buruk atau diancam karena orangtuaku nggak bisa bayar SPP.)

Sementara orang lain bela-belain korupsi biar kaya. Rela disuap atau menyuap biar lebih mudah mendapat kekayaan. Mau melakukan apa pun agar terhindar dari kemiskinan: merampok, mark-up anggaran, bikin sindikat, mengancam, memaksa dapat bagian, bekerja sama melakukan kejahatan, jual narkoba, dapat jatah siluman, dan sebagainya. Tega merusak alam dengan alasan produksi dan eksplorasi; terpaksa nggak tidur sehari semalam biar bisa makan. Orang lain bisa mencatut apa saja---sumbangan, proyek, aspal, minyak, sembako, pajak, penghasilan---untuk mengelak dari kemiskinan. Haram nggak ada ceritanya.

Bagaimana rasanya miskin?
Seperti apa itu miskin?
Seberapa pantas seseorang disebut miskin? Atau boleh mengaku miskin?
Sebenarnya apa arti miskin?
Dalam hal apa kita miskin?
Apa bedanya dengan kaya?
Seberapa berani kita mengklaim bahwa kita juga miskin?
Ada orang miskin yang kaya. Ada orang kaya yang miskin.


Orang miskin adalah mereka yang berhak mendapat sedekah; mendapat sedikit bagian dari harta milik seseorang yang lebih mampu. Mereka berhak mendapat hibah. Dalam Islam, mereka adalah satu satu penerima zakat dan sedekah. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.

Tapi 'keadaan kekurangan' menurutku bermasalah. Itu berhubungan dengan mental.

Bila seseorang bilang, 'Rasanya aku miskin habis tidak bisa menghadiahi pacar berlian atau gaun seharga sekian.' Atau ternyata, 'Penghasilanku belum cukup untuk membiayai dua istri dan tiga anak.' Miskin semacam apa itu? Barangkali itu namanya kemiskinan yang berlebihan.

Misalnya aku kekurangan uang untuk memperbaiki rumah, belum bisa beli mobil atau belum bisa ke luar negeri, apa aku berhak bilang dalam keadaan kekurangan atau miskin? Apa karena miskin maka aku sejak dulu belum juga membelikan Ilalang sepeda? Apa karena miskin aku kadang-kadang kecewa merasa uang terlalu cepat habis? Apa karena miskin aku kerap melarang Ubing belanja ini-itu? Apa karena miskin akhirnya Ilalang masuk TK yang mungkin tidak istimewa? Apa karena khawatir miskin aku malas sekali dengan ide punya anak lagi? (Bukankah ini wajar?) Apa karena miskin aku lebih memilih bertahan dengan produk bajakan? Apa karena miskin aku membiasakan diri bilang cukup? Apa karena miskin aku tak bisa buru-buru menolong penulis yang kritis di rumah sakit? Apa karena miskin aku masih berharap dapat undian berhadiah mobil sedan? Penghasilanku belum cukup untuk itu semua.
Barangkali, mungkin karena miskin aku banyak gagal atau belum mengalami sejumlah hal. Mungkin karena miskin aku nggak pernah zina dengan pelacur. Mungkin karena miskin aku belum pernah merasakan narkoba atau beli minuman keras.

Tapi justru karena mental, seharusnya aku buru-buru bergerak meski tetap kekurangan banyak hal. Bukankah katanya uang tidak bisa membeli kebahagiaan? (Ah, masa).

Manusia selalu kekurangan. Karena itu manusia senantiasa merasa miskin. Sangat sedikit orang yang bisa dengan rela bilang, 'aku cukup.' Bukankah ada sebuah buku jelas-jelas mencantumkan: Tetapi sebenarnya kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Tuhan bagi hamba-hamba-Nya. Pernyataan ini jelas-jelas bombastik, tapi mari bertaruh, apa ada yang salah dengan pernyataan itu? Coba uji sendiri, misalnya, apa iman dan keyakinan kita tetap bisa utuh bila digoda oleh uang haram sebanyak empat puluh milyar?

Sampai di mana seseorang akan terus merasa miskin atau cukup? Sampai kapan seseorang merasa boleh meminta-minta? Mempertaruhkan hidup dari belas kasih, derma, atau kemurahan hati orang lain?

Konon, dulu, di zaman ketika orang suci kerap berwujud papa dan hina, meminta-minta, mengemis, mengharapkan sumbangan orang lain, ternyata itu dilakukan untuk menertawakan gaya hidup berlebih-lebihan. Dalam agama apa pun ternyata kisah orang suci yang miskin ternyata jamak. Tapi coba sekarang. Apa kita mau menyisihkan receh pada pengemis jalanan, pengamen, peminta-peminta, pembawa kencleng, pembawa surat permohonan yang bisa setiap saat kita jumpai? Kita malah dengan mudah mengecam: 'Ah, itu memang pekerjaan mereka.' Kenapa kita tidak khawatir jangan-jangan mereka orang suci yang menyamar?

Rasanya miskin juga identik dengan kurang. Misalnya, 'Dia miskin pengalaman'; 'Pendapatnya miskin'; 'Karyanya miskin aksi'; 'Ia miskin kasih sayang.' 'Permainannya miskin variasi.'

Tapi untunglah, aku harus memuji Tuhan untuk ini, andai benar aku miskin, itu belum membuat aku putus asa sampai meminta bantuan teman-teman untuk ramai-ramai menyumbang untuk memenuhi segala kekuranganku. Barangkali nanti, suatu ketika, kalau aku benar-benar tak bisa berbuat apa-apa lagi dan itu satu-satunya harapan.

Aku adalah salah satu keluarga (orang) yang belum dipaksa oleh Nasib biar ikut merebutkan kartu gakin dan bersyukur masih bisa memenuhi kebutuhan hidup dari seluruh berkah yang berhasil kami dapat. Aku bersyukur untuk keadaan yang kami alami.

Tapi aku memang judes, sinis, sebal, gelisah ternyata kartu gakin itu tetap saja bisa bikin kisruh dan membuat keadaan jadi memalukan.

Jadi ingat, dulu seorang teman bilang, 'Cukup itu ada di sini.' Dia menunjuk dadanya. Betapa lega bisa menghayati itu.

Semoga kita diberkahi oleh rasa cukup dan kemiskinan kita dikurangi.[]19:09 18/10/05 web http://halamanganjil.blogspot.com
Metafora Sejarah Bangsa dari Sebuah Keluarga

Harafisy
Judul Asli: The Harafish
Penulis: Naguib Mahfouz
Penerjemah: Fajar Sri Wahyuni
Penerbit: Bentang Pustaka, 2004
Tebal: 549 halaman
ISBN: 979-3062-21-5


Andai kata keinginan menulis sempat meninggalkanku, aku ingin hari itu jadi hari terakhirku.
--- Naguib Mahfouz

Menurut semua kritik sastra, Harafisy sebenarnya bukanlah karya Naguib Mahfouz yang disarankan untuk mula-mula dibaca oleh khalayak pembaca sastra. Tapi bagi pembaca Indonesia, tentu saja kedua judul tersebut bolehlah dipilih dan dijadikan alternatif menarik, sebab karya Mahfouz yang sangat direkomendasikan tidaklah mudah ditemui di toko buku. Buku Mahfouz yang paling direkomendasikan sebenarnya ada dua: Pertama, Al-Thulatiya Al-Qohirah (The Cairo Trilogy), yang terdiri dari Bayn Al-Quasrayn (Palace Walk, 1956); Quast Al-Shawq (Palace of Desire, 1957); Al-Sukkariyah (Sugar Street, 1957). Menurut Joko Suryatno, seorang penerjemah sastra Arab, trilogi itu tebalnya kurang-lebih 1500 halaman. Kedua adalah Aulad Haratina (Children of Gebelaawi, 1959).

Setahu saya The Cairo Trilogy sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tapi sejauh ini belum diterbitkan; sedangkan Aulad Haratina sudah diterjemahkan Joko Suryatno dan diterbitkan menjadi beberapa judul, setelah sebelumnya dimuat secara berkala di harian Republika dan Pikiran Rakyat. Patut dicatat bahwa Joko Suryatno pun berhasil menerjemahkan karya Mahfouz lainnya, antara lain Al-Liss Wa-Al-Kilab, Al-Sarab, Al-Hubb Taht Al Matar, Al-Karnak, dan Hams Junun. Karya Mahfouz yang pernah beredar di pasar selain judul di atas ialah Awal dan Akhir, Pengemis, Kisah 1001 Siang dan Malam, Miramar, Yawm Maqtal Al Za'im, dan lain-lainya. Dengan daftar itu, rasanya tidak berlebihan ternyata pembaca Indonesia sebenarnya sudah cukup familiar dengan Mahfouz; bahkan barangkali kitaa boleh berspekulasi dia adalah penulis Arab yang karyanya paling banyak diterjemahkan setelah Kahlil Gibran.

Produktivitas dan kualitas Mahfouz dalam menulis tentu saja sudah tidak perlu diragukan lagi, apatah lagi dia mendapat Hadiah Nobel Sastra pada 1988. Kemenangan ini di satu sisi menjadikannya penulis Arab pertama yang menerima hadiah tersebut, tapi di sisi lain menurut sejumlah pengamat pemberian itu terlambat, sebab baru diberikan setelah dia berkarir di dunia sastra lebih dari 30 tahun lamanya. Dalam rentang waktu yang begitu panjang itu, sudah puluhan buku dia tulis, dan hanya karena kini kesehatannya buruk saja dia tidak mampu lagi menulis karya panjang. Punggung Mahfouz cacat karena ditikam oleh seorang Muslim fundamentalis, sementara matanya kini menjelang buta. Sedangkan kecenderungan menulisnya pun mengalami perubahan ciri khas dan periodisasi. Sebelum menulis novel, pada awalnya Mahfouz sempat menulis nonfiksi, yakni dalam bidang filsafat dan sejarah, sesuai dengan jurusan yang dia ambil di universitas.

Dengan memperhatikan karya dan ciri khasnya, kritik mengategorikan karyanya dalam empat fase. Salah satunya diajukan Rasheed El-Enany, dalam Naguib Mahfouz: The Pursuit of Meaning (Routledge, 1993), yakni:

1. periode novel 'roman sejarah' yang bersumber pada sejarah Mesir kuno, termasuk alegori dan simbolisme cerita-cerita nabi (1939-1944).

2. periode realistik/naturalistik, yakni mengubah ketertarikan pada isu kekinian, pada pengaruh psikologis karena perubahan sosial pada masyarakat umum. Puncaknya ketika menghasilkan The Cairo Trilogy.

3. periode modernis/eksperimental, yang menghasilkan sejumlah novela dengan alur cepat disertai unsur narasi stream of consciousness dan dialog seperti dalam script film. Periode ini banyak menghasilkan novel alegoris, simbolik dan filosofis.

4. periode simbolik-sufistik, yang komposisinya lebih pendek-pendek namun kembali pada bentuk penulisan tradisional, dengan tema lebih spiritual.

Dari bentuknya, Harafisy dapat dimasukkan ke dalam periode realistik. Meskipun jarak penciptaannya cukup lama dengan periode kedua, rupanya Mahfouz kembali pada narasi-narasi pendek yang memang sangat dikuasainya; dalam Harafisy hal itu diperkuat lagi melalui pembabakan yang enak sekali untuk diikuti. Pembabakan itu dia gunakan baik untuk pergantian alur cerita maupun memaparkan suasana dan kesimpulan. Sebagaimana lazim dalam novel epik-sejarah, rentang waktu dalam Harafisy juga sangat panjang, beralih-alih generasi, dari awal pembentukan kejayaan hingga pergantian dan perebutan kekuasaan yang kerap memakan korban, melahirkan permusuhan antarkeluarga, fitnah, dengki, konspirasi, konflik kepentingan, tak jarang malah memunculkan rasa jijik atas sesuatu yang dimaknai sebagai 'kejayaan', 'keagungan,' dan 'kemuliaan.'

Harafisy berfokus pada sejarah keluarga Al-Nagi, yang awal kejayaannya dibangun oleh Asyur bersama istrinya Fulla. Asyur membangun keluarga sederhananya di perkampungan kumuh yang porak-poranda karena bencana alam. Dibimbing oleh mimpi agar lebih dahulu meninggalkan kampungnya agar tidak terkena bencana, dia seolah-olah merupakan penjelmaan manusia setengah dewa yang jadi begitu bijak setelah mengalami sejumlah tempaan hidup. Begitu kembali dan menyaksikan kampungnya hancur dan nyaris menghabiskan seluruh penghuni, dia menjadi manusia dewasa yang mampu mengayomi seluruh penduduk, tempat para harafisy tinggal. Harafisy adalah gelandangan, orang kebanyakan, yang dalam novel ini berusaha dimaknai secara positif. Mereka terdiri dari pekerja kasar, buruh, pengangguran, dan tunawisma. Karena miskin, mereka tinggal di perkampungan kumuh, yang biasanya dipimpin oleh seorang kepala suku. Kepala suku dalam sebuah harafisy menempati posisi yang sangat penting, karena perannya yang sangat sentral terhadap kondisi psikologis dan sosial masyarakat itu. Perebutan menjadi kepala suku biasanya berlangsung dalam suatu pertarungan brutal; pemenangnya menjadi kepala suku, sementara yang kalah, kalau tidak tewas, harus bersumpah setia terhadap pemimpin baru. Yang aneh, kadang-kadang perebutan kekuasaan itu terjadi begitu saja, bisa dipicu oleh kejadian yang tidak disangka-sangka. Lain halnya dengan Asyur, yang menjadi kepala suku secara alamiah, lebih disebabkan karena kebesaran jiwa dan kearifan menghadapi penduduk yang perlahan-lahan memenuhi perkampungan itu. Dia rendah hati, disegani, dan menjadi legenda abadi setelah meninggal dunia.

Peran paling penting yang dilakukan kepala suku adalah melindungi penduduk setempat serta menyantuni dan mengayomi mereka. Kepala suku inilah yang melindungi mereka seandainya aparat pemerintah sewenang-wenang atau bila kampung lain tiba-tiba menyerang. Kekuasaan kepala suku yang besar, penghormatan penduduk kepadanya, menjadikan kedudukan itu merupakan prestise yang layak diperjuangkan dengan segala cara. Ketika Asyur beranak-pinak, dan akhirnya meninggal, keturunannya secara alamiah juga masuk ke dalam pusaran kepentingan itu, meskipun sebagian di antara mereka kadang-kadang sebenarnya tidak kompeten, bahkan menggunakan kekuasaan itu untuk menindas atau mengumpulkan keuntungan pribadi. Kadang-kadang mereka dikalahkan keluarga lain, atau ada juga yang sejak awal tidak tertarik dengan kepemimpinan seperti itu, lebih ingin mengurus kesejahteraan dan menjadi orang biasa. Namun menjadi keturunan Al-Nagi tidaklah semudah yang dibayangkan siapa pun. Mereka hidup dalam legenda, arus kepentingan, bertaruh reputasi dan kehormatan. Dalam novel ini akhirnya muncul seorang keturunan Al-Nagi yang dengan sempurna mampu mengembalikan idealisme keluarga sebagaimana diwariskan Asyur Al-Nagi.

Di tangan Mahfouz sejarah panjang sebuah keluarga yang berlangsung puluhan generasi, berlangsung di suatu tempat di Mesir, dengan drama dan peristiwanya diolah begitu memikat. Pembaca mungkin sedikit kesukaran langsung mampu mengingat sejumlah nama yang jumlahnya banyak, dengan karakter yang masing-masing kuat dan mengesankan, datang dan menghilang apabila sudah waktunya, namun sebagai epik, novel ini tampil dengan segala kekuatan dan pesonanya. Berbeda dengan Lorong Midaq yang lebih menampilkan tempat alih-alih karakter (tokoh), Harafisy menampilkan potret panjang sebuah keluarga yang silsilahnya dipelihara baik-baik demi menjaganya dari keruntuhan. Mahfouz mengolah mitos, sifat dan hasrat manusia, dihadapkan dengan kondisi sosial-politik, moralitas, persaingan, di dunia yang kompleks dan senantiasa diintai perubahan. Bila dalam Awal dan Akhir Mahfouz menampilkan kronik keluarga dalam satu generasi; sementara Children of Gebelawi menggunakan folklor Mesir kuno dan Islam sebagai medium narasi, Harafisy memperlihatkan paduan teknik bercerita di antara keduanya, dan hasilnya memikat.

Harafisy dengan jelas memperlihatkan bahwa Mahfouz sangat memperhatikan Mesir dan masyarakatnya. Negeri itu bukan semata-mata bernilai geografis dan historis, melainkan telah menjadi semacam jiwa, yang nilainya tak bisa diganti oleh apa pun dalam karir kepenulisannya. Edward W. Said menegaskan arti penting Mesir bagi Mahfouz itu dalam sebuah artikel di New York Review of Books, 30 November 2000: ‘Mesir bagi Mahfouz tidak memiliki bandingan dengan bagian dunia manapun. Kuno melampaui sejarah, perbedaan geografis disebabkan Nil dan pegunungan suburnya, Mesir bagi dia adalah akumulasi sejarah yang sangat panjang, dengan rentang waktu ribuan tahun, dan meskipun berkali-kali berganti penguasa, rezim, agama, dan ras (bangsa) tetap mampu mempertahankan identitas tanpa pernah putus.’[] Terima kasih kepada Tobucil dan Penerbit Bentang Pustaka. Kontak: wartax@yahoo.com sms: 08156140621

Anwar Holid, eksponen komunitas TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.

SEJUMLAH KARYA NAGUIB MAHFOUZ:

01. ABATH AL-AGDAR, 1939 - Mockery of the Fates
02. RADUBIS, 1943
03. KIFAH TIBAH, 1944
04. KHAN AL-KHALILI, 1944
05. AL-QAHIRAH AL-JADIDAH, 1946 - New Cairo
06. ZUQAQ AL-MIDAQQ, 1947 - Midaq Alley
07. IGNIS FATUUS, 1948
08. AL-SARAB, 1949
09. BIDAYAH WA-NIHAYAH, 1949 - The Beginning and the End
10. AL-THULATIYA, 1956-57 - The Cairo Trilogy;
- BAYN AL-QUASRAYN (1956) - Palace Walk
- QUAST AL-SHAWQ (1957) - Palace of Desire
- AL-SUKKARIYAH (1957) - Sugar Street
11. Children of Gebelaawi, 1959 - Children of the Alley
12. AL-LISS WA-AL-KILAB, 1961 - The Thief and the Dogs
13. AL-SUMMAN WA-AL-KHARIF, 1962 - Autumn Quail
14. AL-TARIQ, 1964 - The Search
15. AL-SHAHHADH, 1965 - The Beggar
16. THARTHARAH FAWQ AL NIL, 1966 - Adrift on the Nile
17. AWLAD HARITNA, 1967 - Children of Gebelawi / Children of the Alley
18. MIRAMAR, 1967 - trans.
19. AL MARAYA, 1971 - Mirrors
20. AL-HUBB TAHT AL MATAR, 1973
21. AL-KARNAK, 1974 - Three Contemporary Egyptian Novels
22. QUAB AL-LAYL, 1975
23. HADRAT AL-MUHTARAM, 1975 - Respected Sir
24. MALHAMAT AL-HARAFISH, 1977 - The Harafish
25. ARS AL-HUBB, 1980
26. AFRAH AL-QUBBAH, 1981 - Wedding Song
27. LAYALI ALF LAYLAH, 1981 - Arabian Nights and Days
28. AL-BAQI MIN AL-ZAMAN SA'AH, 1982
29. RIHLAT IBN FATTUMAH, 1983 - The Journey of Ibn Fatouma
30. AMAM AL-'ARSH, 1983
31. AL-A'ISH FI AL-HAQIQAH, 1985
32. Akhenaten, Dweller in Truth, 1985 (translated from the Arabic by
Tagreid Abu-Hassabo)
33. YAWM MAQTAL AL ZA'IM, 1985 - The Day Leader Was Killed
34. HADITH AL-SABAH WA-AL-MASA, 1987
35. THARTHARAH ALA AL-BAHR, 1993
36. Echoes from an Autobiography, 1994
[HALAMAN GANJIL]

Buku, Iman, Ruang Publik
------------------------------

>> Anwar Holid, anggota beberapa milis

Buku, di dalam Pengantar Penerbitan (Penerbit ITB, 1993) oleh Sofia Mansoor-Niksolihin didefinisikan sebagai: 'terbitan bercetak yang tidak berkala dengan tebal sekurang-kurangnya 49 halaman, tidak termasuk halaman sampul.' (Jacob, 1976). Itu adalah definisi yang ditetapkan Unesco pada konferensi 1964.

Dengan definisi seperti itu, sudah tentu kitab suci (apa pun namanya, untuk agama manapun) adalah sebuah buku. Apakah buku itu? Adalah lembar cetakan berisi huruf atau huruf pada sekumpulan kertas---definisi ini terlalu rapuh, sebab sekarang CD-ROM yang sebagian isinya teks, ensiklopedia, atau merupakan bentuk multimedia sebuah teks (bukan game atau program misalnya), dinamakan buku, dan itu ditegaskan melalui kode ISBN pada produk tersebut. Dulu, ketika kertas belum ditemukan, tulisan ditulis di lembaran dari berbagai bahan, seperti tanah liat, batu, permukaan kulit binatang, kayu, atau daun, disebut perkamen, lembaran, manuskrip, naskah, dan sebagainya, semua itu merupakan cikal bakal buku, alias codex, kitab, boek, book.

Persoalannya, suci atau tidak sebuah kitab sangat bergantung pada definisi keyakinan/keimanan setiap orang terhadap teks tersebut, terhadap apa yang dianggap sakral (suci) dan tidak. Ada teks yang secara historik terbukti Ilahiah (berasal dari wahyu, tidak terbukti merupakan buah pikiran manusia) bagi sebagian orang tak lebih merupakan igauan atau merupakan pewahyuan yang berasal dari ketidaksadaran; sebaliknya, ada teks yang sungguh-sungguh tulisan makhluk, seperti teks lagu, slogan, peribahasa, kutipan ucapan, kutipan tulisan, dapat sangat menggugah seseorang, dan dengan begitu maknanya bagi individu melebihi yang Ilahiah. Teks seperti itu tidak berlebihan bila dianggap mencapai tingkat suci, minimal dilihat dari pengaruhnya secara kejiwaan. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada anggapan apakah sesuatu suci atau tidak adalah interpretasi. Sulitnya, dalam sejarah manusia, interpretasi justru sering muncul dalam bentuk perang untuk saling mengalahkan, untuk mencapai yang absolut, alih-alih upaya pengayaan pada kemanusiaan.

Mengabaikan (isi) kitab suci dari pembicaraan buku artinya contradictio in terminis. Bicara buku itu artinya membicarakan isi, teknik, penilaian, interpretasi, dan segala hal yang berkenaan dengan terbentuknya buku sebagai 'wujud'; itu sudah inheren, merupakan unsur tak bisa dipisahkan. Seperti bila membicarakan kue, kita boleh membicarakan rasa, proses, warna, bahan, resep, cara buat, penyajian, dan segala hal yang membuat kue tersebut 'ada' dan mewujud sebagai bahan pembicaraan. Bahwa faktor terbitnya buku merupakan sejarah tersendiri, itu merupakan bahan pembicaraan yang tak kalah menarik dibandingkan dengan isinya sendiri. Kadang-kadang buku bahkan melampaui isi dan sejarahnya; bila didukung oleh kondisi tertentu, ia kapan saja bisa menjadi fetish, dan itu dengan segera mengubah makna buku, sama sekali lepas dari persoalan isi dan materinya.

Buku bisa dan boleh dibicarakan dari segi apa pun; mulai dari teknisnya seperti format (bentuk), cetakan, kertas, font, lay out (perwajahan), kualitas tinta, kualitas ilustrasi, binding (jilid), sampai hal nonteknis seperti penulis, penyuntingan, penerbit, kualitas isi, terjemahan, cara penyajian, bahasa, argumen, dari mana inspirasinya, isinya plagiat atau bukan, terobosan atau cuma cuplikan, dan sebagainya. Bila pembaca boleh mengeluh soal kualitas cetakan, harga, distribusi, royalti, biaya produksi, promosi, mengulas penulis, menilai isi, kenapa juga pembaca dilarang berkomentar soal sesuatu yang masih bisa berkaitkan dengan buku? Buku bisa didekati dari segala sisi: biografi, mitologi, psikologi, psikoanalisis, konteks sosial, gender, moral, agama, seksual, genre, dan segala teori kritik sastra yang mungkin diambil.

Asal diskusi bisa dipertangggungjawabkan, argumen ada dasarnya, apa yang tidak sah, coba? Bila pembaca tahu seorang penulis kawin-cerai, kehidupan pribadinya kacau, keluarganya berantakan, tidak jujur, sombong, apa yang tidak boleh dibicarakan dari sana? Asal relevan, ada konteksnya, boleh saja. Apalagi dari isi, interpretasi, yang seringnya berdasar pada pengetahuan dan keyakinan, justru di situlah inti maksud pembaca membicarakan buku. Itulah gunanya buku. Ada orang bilang bahwa buku pasti mencerminkan diri penulisnya---tampak atau samar, mudah dikenali atau kabur, tapi dengan berbagai teknik pembacaan kritis, relasi penulis dan tulisan bisa ditelusuri, cepat atau lambat.

Misalnya membicarakan iman, kenapa pembaca harus dilarang membicarakannya, terlebih-lebih bila itu muncul setelah mereka baca buku, apalagi bila subjek buku itu pun tentang iman. Membicarakannya tentu wajar, beralasan, patut didukung. Tidak usah khawatir bahwa pembicaraan itu akan 'mengguncang' iman orang lain, dicurigai 'menghina' keyakinan tertentu, atau merusakkan reputasi agama dan Tuhan. Piscine Moliter Patel, orang saleh aneh yang menganut tiga agama, bilang: 'Dari dalamlah Tuhan mesti dibela, bukan dari luar. Medan tempur yang utama bagi kebajikan bukanlah medan tempur terbuka di arena publik, melainkan di dalam relung kecil hati setiap manusia.' Andre Comté-Sponville, seorang profesor ateis, menegaskan: Seseorang yang bilang 'Aku tahu bahwa Tuhan tidak ada' adalah orang bodoh, bukan ateis; tapi seseorang yang bilang 'Aku tahu bahwa Tuhan ada' adalah orang bodoh yang beriman. Kata seorang filosof, peradaban ini salah satunya dibangun oleh pertengkaran tentang iman, keyakinan, konsep, dan sebagainya.

Oleh karena itu membicarakan buku idealnya harus dibuka selebar dan sedalam mungkin, sebab ketertarikan orang pada buku juga tanpa batas, tak jarang merupakan rangkaian pembicaraan berantai, simultan, penuh rinci, sangat teliti---bisa merupakan pembicaraan intrinsik dan ekstrinsik buku sekaligus. Yang patut diperhatikan dan awas dari pembicaraan itu justru para komentator sendiri, seberapa dewasa dan sedingin apa dia mampu menanggapi komentar, pendapat, informasi, pandangan, interpretasi, dan lain sebagainya dari orang lain; bagaimana cara berinteraksi dengan etika tetap terjunjung tinggi, meskipun diskusi itu anarkis, sepintas lalu sembarangan, seakan-akan hanya merupakan letupan pernyataan yang kehilangan konteks. Apa pentingnya diskusi selebar dan sedalam-dalamnya bagi peserta itu? Tidak lain adalah untuk memberikan pengetahuan apa adanya, sebagaimana diketahui para pembawanya. Apalagi diskusi itu terjadi di pasar, memang sebuah ruang publik tempat anggota komunitas berinteraksi, melakukan tukar-menukar, isinya sangat beragam, tawarannya sangat banyak, dan orang hanya perlu langsung menanggapi subjek yang menarik hatinya. Di ruang publik, orang sebenarnya hanya butuh iktikad baik dan menghormati etika, agar jangan sampai membuat orang lain terluka atau tahu rambu-rambu umum apa saja yang bisa membuat orang lain marah hingga kehilangan akal sehatnya, tidak memprovokasi. Prinsipnya, menjaga agar martabat kemanusiaan tidak jatuh.

Tapi sebenarnya, kekhawatiran kekhawatiran seperti itu pada dasarnya sudah berlebihan. Manusia tidak serentan yang diduga kebanyakan orang, melainkan---seperti juga makhluk lain---sangat sulit berubah, keras kepala, egois, mau menang sendiri, defensif, suka menyangkal, hidup sesuai pemahaman sendiri. Hanya bila terpaksa saja manusia mau berubah, itu pun jarang dengan ikhlas, meski akhirnya bukannya tak mau terima. Seharusnya kita tidak usah khawatir, sebab manusia per individu sebenarnya akan terus baik-baik saja, setidaknya menurut dia sendiri. Dan bila seperti itu, apa coba yang bisa mempengaruhi seseorang?

Contoh, jangankan khawatir akan terprovokasi 'menghina' iman seseorang, untuk mengubah keyakinan sendiri saja sulit sekali kok; sejarah telah memberi banyak sekali bukti. Apa yang telah terjadi sebelum akhirnya manusia pasrah menerima bahwa Bumi bulat? Apa yang pernah terjadi ketika 'kebenaran' disebarkan? Apa yang sempat terjadi sebelum akhirnya keyakinan-keyakinan lama tumbang? Awalnya diskusi baik-baik, mengutarakan argumen, berusaha berkomunikasi sebaik mungkin, tapi bila akhirnya tidak diterima, gagal kompromi, terus 'iman' bicara, kekerasan pun dengan segera terlibat. Tapi tetap jangan khawatir, itu adalah bukti paling jelas bahwa sebenarnya manusia itu degil, sulit sekali belajar, dan hal minimal setelah 'iman' diserang, terancam teritori otoritasnya, dia membela diri, awalnya defensif, namun pada saatnya dia tak segan ofensif. Hukum ruang publik sebenarnya juga demikian: seseorang mencari individu yang bisa diajak transaksi, kalau tidak dia akan mencari komunitas (e.g. pasar) lain. Bila transaksi menyentuh kepentingan orang banyak, mampu menggerakkan banyak orang, subjeknya ramai, permintaan banyak, yang ingin ikut pun tambah banyak. Dipandang secara berjarak, interaksi itu memperlihatkan yang sebenarnya 'ramai' tak lain individu yang bertahan sendiri-sendiri, melancarkan tawaran, melontarkan serangan, mempertahankan iman, menyodorkan fakta, tak mau berubah, mencoba meruntuhkan pendapat, takut menghadapi sesuatu yang di luar pemahamannya.

Saya sarankan kita baca novel Yann Martel, Kisah Pi (GPU, 2005) agar bisa mendapat contoh pembicaraan sangat bagus tentang individu, hidup, iman, dan Tuhan.

Di ruang publik memang sering terjadi pertentangan, peperangan dan kekerasan, termasuk atas nama iman. Sekali lagi itu bergantung atas keyakinan yang dipegang pembawanya. Kita bisa ambil contoh kontroversi antara fatwa mati yang diucapkan Ayatullah Khomeini kepada Salman Rushdie setelah menulis The Satanic Verses. Ayatullah beriman pada Tuhan, sementara Rushdie beriman pada sastra. Rushdie berargumen atas nama kebebasan berekspresi, sedangkan Ayatullah berargumen orang yang menghina iman harus dihukum. Bukankah cukup fair orang berperang atas imannya? Rushdie mengerahkan organisasi penulis, masyarakat sekular (negara, pers), untuk membela dia; Ayatullah mengajak orang religius dan pemeluk teguh. Rushdie bersembunyi ketakutan, sambil sesekali melakukan serangan lewat tulisan, sedangkan Ayatullah muncul di depan, mencari, mengajak orang seiman, dengan perasaan melakukan tugas suci. Di ruang publik seperti itu bisa terjadi perang terbuka, yang tidak berkepentingan boleh abai. Ranah lain masih begitu luas untuk dijelajahi, sebab bagi begitu banyak orang iman bukanlah satu-satunya urusan penting.

**

Besar harapan kita semua bahwa ruang publik virtual seperti milis (mailing list) pada akhirnya menjadi alternatif tempat orang berbagi dengan cara sehat, penuh integritas, meski dengan nickname paling rahasia sekalipun. Alasannya sederhana, justru terbukanya kebebasan dari ruang paling privat diharapkan muncul pendapat paling jujur di ruang publik. Ruang publik seperti ini sebenarnya melatih individu jadi kritis, terbuka, bisa menerima perbedaan paling kontras sekalipun, sekaligus mengayakan pengetahuan, bisa memberi alternatif perspektif yang cukup berbeda, memberi ruang dialog cukup longgar. Bukankah itu salah satu cara manusia memuliakan dirinya, agar kita terus berusaha mewujudkan kebajikan.

Milis adalah salah satu cara menjadikan agar bara kritis yang ada di dalam diri anggotanya nyala terus, karena itu pantas bila iklim bagus harus terus dipertahankan. Dengan apa dijaganya? Dengan posting tulisan, salam dan sapa, diskusi, lontaran ide, transaksi, humor, berita, pertanyaan, sentilan, pancingan, sesekali: provokasi. Yakinlah provokasi di dunia virtual tidak akan membuat dunia real kebakaran, paling-paling membuat individu yang terlibat gerah dan bersemangat. Bersemangat menjadi pusat perhatian, mencari argumen, mengeksplorasi kemungkinan, dan di ujung, barangkali kembali mempertanyakan pembacaan, melihat kualitas diri, dan sebagainya.

Di ruang publik, didukung kemampuan literasi lebih maju, kans melahirkan individu lebih beradab, membentuk masyarakat terbuka, plural, sebenarnya lebih baik. Di tangan kaum dengan tingkat literasi relatif tinggi, yang dibutuhkan adalah mengelola informasi dan menggunakannya demi kebaikan masa sekarang, untuk kemajuan masa depan. Informasi melimpah, tingkat keterbukaan lebih besar, dan kemungkinan menerima perbedaan lebih toleran adalah faktor penting kenapa di milis---mewadahi ketertarikan anggota terhadap subjek tertentu---diskusi bisa terjadi dengan semangat meledak-ledak, sampai kemungkinan flame tersulut juga mudah. Tapi syukur, justru disebabkan oleh sifat virtual itu, pada akhirnya individu bisa berusaha untuk diharapkan kembali ke nalar, pada kemanusiaan, kesadaran, kebajikan.

Diskusi di ruang terbuka memang berisiko menimbulkan konflik, sebab dari ruang terbuka selalu muncul kemungkinan gema, gaung, bisa membuat subjek kabur. Di samping secara elegan bisa mendedah subjek sedalam mungkin, saling bantu, kadang-kadang orang mudah tersulut, kehilangan konteks, tersinggung oleh pernyataan provokatif, bila tak awas mudah menjalar ke ranah tak bertuan---tapi bukankah petualangan selalu mendebarkan dan mengasyikkan? Dibandingkan kemungkinan buruk melahirkan flame, berlarut-larut meledek tanpa rasa, provokasi tak bertanggung jawab, tentu tetap bisa diharapkan pembicaraan terus diarahkan jadi alat eksplorasi sebuah buku, tulisan, teks, sebab semua itu bisa dikuliti oleh sekian banyak orang terpelajar, dari berbagai sudut, dan masing-masing suka rela menyumbangkan wawasan dan pengetahuannya. Bagi saya sendiri, milis adalah salah satu ruang ideal untuk berbagi (sharing), berinteraksi, termasuk mencari bantuan, mendapat wawasan baru, dikoreksi; jadi sangat nalar kalau di tempat seperti ini saya justru berharap banyak pada kebaikan dan manfaat.[] 6:08 AM 1/26/05 Dedikasi untuk pasarbuku@yahoogroups.com wartax@yahoo.com HP: 08156140621

Sunday, October 16, 2005

[HALAMAN GANJIL]

QUEEN SEBAGAI TEMAN TERBAIKKU
---------------------------------------



Agak aneh tiba-tiba aku mendengar beberapa album Queen di akhir minggu ini. Barangkali karena aku pernah menemukan file berisi seluruh lirik lagu mereka dari sebuah warnet. Aku terutama mendengar album awal mereka, kecuali 'A Night at the Opera' yang sudah begitu terkenal.

Queen adalah satu-satunya band yang aku sukai terus-menerus; band beranggotakan Freddie Mercury (vokal, piano), Brian May (gitar, vokal), John Deacon (bass), Roger Taylor (drum, vokal). Mereka inaktif ketika Freddie meninggal karena AIDS. Aku ingat waktu malam-malam sendirian di depan tv, mendengarkan berita kematiannya di TVRI; rasanya ada sesuatu yang lenyap, sekejap saja, yaitu pengakuan bahwa aku menyukai mereka sebagai band, musik yang mereka mainkan, lirik yang mereka nyanyikan (bila aku baca liriknya). Ada pengakuan, 'Mereka adalah bagian dari aspek mentalku, dan sekarang salah satunya hilang.' Apa yang tersisa dari sebuah rasa suka? Barangkali kenikmatan; kenikmatan yang mungkin imaterial, kadang-kadang sulit dijelaskan.

Waktu dulu di SMP awal-awal menyukai Queen, aku merasa itu adalah pilihan yang aneh. Hampir semua temanku favoritnya adalah The Beatles, The Rolling Stones, atau Iwan Fals. Kalau aku bilang bahwa aku suka Queen mereka tertawa seolah-olah hendak bilang bahwa itu adalah pilihan yang ganjil. Tapi rupanya hingga sekarang pun rasanya Queen tetap ada di urutan teratas kalau aku ditanya, 'Apa band favoritmu?' Kalau diingat-ingat, salah satu sebab kenapa aku bertahan suka Queen adalah kesan bahwa mereka adalah band yang sopan dan baik-baik saja. The Rolling Stones rasanya terlalu liar; sementara The Beatles rasanya terlalu kuno (kesan salah yang aku sadari beberap tahun belakangan). Kalau dibandingkan dengan band sekarang, mungkin Queen mirip Coldplay atau Dave Matthews Band yang nyaris tak pernah diberitakan buruk. (Kesan ini juga rasanya terlalu naif; sebab aku toh berjarak sangat jauh dengan mereka dalam kenyataan.) 'Noda hitam' yang kerap membuat Queen tidak populer adalah fakta bahwa Freddie mati karena AIDS, tambah kecenderungan biseksualnya. Karena suka, dulu aku pernah punya semua album (kaset) mereka. Tapi karena Uaku sering sebal oleh orientasi musik rock itu, dia sering bilang 'apa artinya itu buat kamu?' Sampai aku ketemu seorang guru praktik di SMP yang juga suka Queen; akhirnya semua kaset itu berikan pada dia. Rasanya aku memberikan sesuatu yang sangat berharga, dan aku tak menyesal sama sekali. Sekarang aku masih punya beberapa kaset Queen; yang paling 'berharga' adalah album Flash Gordon, soundtrack film tersebut. Gantinya aku punya satu disk CDROM mp3 penuh dengan album Queen. Bahkan dulu aku punya kliping sisipan Queen dari Hai, yang mungkin masih ada kalau aku selisik seluruh simpanan klipingku. Tapi kadang-kadang muncul pertanyaan yang pernah dilontarkan Uaku dulu, 'apa artinya itu buat kamu?' hingga akhirnya aku cukup biasa saja suka pada Queen, tidak sampai tergila-gila, yang menganggap seolah-olah itu adalah sesuatu yang begitu berharga.

Favorit orang memang beda-beda, dan cenderung bisa berubah. Aku dulu heran ada teman sekelas suka Bob Dylan, Joan Baez, Astrud Gilberto; waktu karena penjelajahan aku bisa beralih ke musik-musik yang cenderung aneh, termasuk jazz, eksperimental, etnik, aku tahu bahwa kesukaan itu tentu biasa saja. Sekarang ini rasanya aku bisa mendengar semua musik, termasuk lagu-lagu Pance Pondaag kalau terpaksa. Buatku sendiri, Queen sekarang seolah-olah sesuatu yang ada dalam bawah sadar; aku tahu rasanya mustahil bagian lenyap dari diriku, meskipun kalau hilang, aku yakin juga akan baik-baik saja. Queen sekarang hanya salah satu dari sekian banyak band atau penyanyi yang aku sukai. Aku sekarang suka Coldplay, Dave Matthews Band, juga Pat Metheny, Michel Portal, Peter Gabriel, belum A Perfect Circle atau Opeth (khusus album Damnation).

Banyak yang suka Queen; karena itu favoritku bukan lagi big hit mereka seperti Bohemian Rhapsody, Another One Bites the Dust, atau Love of My Life dan We Will Rock You, melainkan lagu-lagu minor seperti '39, Don't Try Suicide, Soul Brother, Seven Seas of Rhye dan Brighton Rock. Kecenderungan ini ternyata ada penjelasannya dalam kajian popular culture, yaitu orang cenderung resisten terhadap selera massa, ingin jadi elite, ingin beda, eksklusif. Jadi, sadar ada jutaan orang suka Queen, aku mencari (dan menemukan) sesuatu yang bukan selera pasar, pada lagu-lagu yang orang jarang tahu. Padahal harus diakui, selera seperti itu manusiawi banget sebenarnya, sekadar agar seseorang merasa mudah dikenal, tampak khusus.

Setelah Freddie mati aku pernah baca Queen berusaha mencari penyanyi utama; konon, kandidat utamanya adalah George Michael atau Roger Daltrey. George Michael pernah nyanyi bareng mereka di 'The Freddie Mercury Tribute Concert', membawakan Somebody To Love, yang menurutku sangat bagus. Aku sendiri sangat mengejutkan ternyata sangat suka satu album George Michael, Listen Without Prejudice Vol. I; bagiku sendiri itu adalah album pop pertama yang bisa aku nikmati secara maksimal, bahkan sampai beli CD-nya. Tapi akhirnya berita itu tak jadi kenyataan. Roger Daltrey adalah mantan vokalis The Who, yang sudah biasa bekerja sama dengan Brian May. Barangkali memang sudah demikian seharusnya, bahwa Queen adalah satu dalam empat orang. Setelah inaktif, mereka meninggalkan kesan tak ada yang harus menggantikan Freddie; persis seperti Led Zeppelin yang langsung bubar setelah Bonzo mati, Nirvana setelah Cobain bunuh diri. Rasanya hanya beberapa band yang bisa bertahan begitu lama tanpa perubahan formasi sekalipun, salah satunya adalah Queen. Moral seperti ini dijalani band lebih muda seperti U2, Dave Matthews Band, dan Coldplay. Lebih banyak band yang berubah formasi; atau terus jalan meski ditinggalkan unsur utamanya, seperti kasus Pink Floyd yang ditinggal Roger Waters, Genesis oleh Peter Gabriel, Marillion oleh Fish, atau Van Halen oleh David Lee Roth.

Waktu SMP gara-gara suka Queen aku ingin bisa main gitar. Kebetulan kakak teman sekelasku sudah bisa dan aku berusaha belajar dari dia. Tapi gagal. Aku kerap mengeluh, kenapa suaranya nggak sebagus di kaset? Dia ngakak betapa naif aku menyangka musik itu terdengar sebagaimana adanya tanpa bantuan peralatan dan teknologi untuk mendapatkan bunyi yang merdu. Tapi salah satu hasil dari kebiasaan mendengar musik adalah aku rasanya bisa mudah menyimpulkan memutuskan mana musik yang cocok atau tidak buat aku.

Persis sekarang ini, bagiku Queen telah menjadi relik. Aku senantiasa tergerak bila kembali mendengar musik mereka; tapi cukup begitu. Dia pernah ada di dalam diriku, dan aku biarkan hidup, belum ditolak atau dilenyapkan. Seberapa banyak yang telah aku lupakan dalam diriku? Barangkali rasa sebal, pengalaman buruk, trauma (kalau ada), borok-borok hidup. Tentu saja Queen bukan segala-galanya; tapi setidaknya ia adalah 'sesuatu' yang bisa menemaniku hidup, dengan musik dan sisi indahnya. Aku ingin menghargai sesuatu sebagaimana adanya; mengambil yang baik, mensyukuri kenikmatan yang aku ambil dari hidup. Barangkali harus aku akui, bisa jadi Queen adalah salah satu hal terbaik yang pernah aku dapat dari menyukai musik.[]5:42 AM 8/22/05

Nasib Manusia dalam Pusaran Politik

Angsa-Angsa Liar
Judul asli: Wild Swans: Three Daughters of China
Penulis: Jung Chang
Penerjemah: Honggo Wibisana
Penerbit: GPU, 2005
Tebal: 600 hlm; format: 15 cm x 23 cm
ISBN: 979-22-1394-5
Harga: Rp100.000,-


POLITIK, sebagaimana cuaca, adalah salah satu hal yang sulit sekali diramalkan. Orang boleh memperkirakan akan hujan karena melihat awan, tapi cuaca ternyata memiliki 'logika' sendiri, mudah berubah dan terlalu sulit diperkirakan hanya oleh satu faktor. Politik pun begitu: orang boleh menganalisis berdasar banyak faktor dan kecenderungan yang tampak, tapi politisi terlalu pintar untuk dikira-kira dan mereka bisa melakukan perubahan lebih cepat dari yang diduga siapa pun. Tepat sekali yang ditulis E.A. Freeman (1823-1892) dalam Methods of Historical Study: Sejarah adalah politik masa lalu, sementara politik adalah sejarah hari ini. Ini memberi maklumat manusia sebenarnya hanya bisa menulis sesuatu yang pernah terjadi dan sadar betapa tak berdaya mereka di hadapan waktu dan sejarah, apalagi jika disempitkan menjadi 'negara', 'revolusi.' Di hadapan negara, orang mirip debu di udara, terlalu rapuh untuk membuat perubahan dan perbedaan. Pernyataan Socrates seperti 'Aku bukan orang Athena, tapi warga Dunia' tentu merupakan utopia, sebab kematiannya ditentukan oleh dewan kota; begitupun parodi ucapan John F. Kennedy 'Jangan tanya yang engkau berikan pada negara, tapi tanya apa yang negara berikan kepadamu' juga terlalu muluk untuk mampu mengubah wajah kaku politik, sistem, negara, pemerintahan, agar lebih luwes memandang manusia sebagai individu.

Angsa-Angsa Liar yang luar biasa ini rasanya juga tak akan mampu memberi banyak pengaruh pada subjek tulisannya, yaitu sejarah dan politik China. Rekor dan pencapaiannya bisa dihempaskan begitu saja oleh keangkuhan kekuasaan. Jutaan pembacanya boleh tergetar, terpukau, berharap bisa berbuat lebih dari kebanyakan buku, tapi negara terlalu tinggi hati untuk mau mendengarkan pendapat seseorang. Bahkan tanpa alasan jelas bisa secara tidak resmi melarang beredar di negara bersangkutan. Setelah tamat mencerap isi, terpesona penyampaian, memuji dan mengakui kedalaman dan kejujuran penulis, pembaca akan sadar bahwa faktor terpenting perubahan politik adalah kepentingan. Bisakah politik atau negara berubah hanya karena sebuah buku, berdasar catatan seorang warga negara mantan 'korban' perubahan politik? Keinginan itu terlalu muluk, meski tetap layak menanti jadi kenyataan. Jadi andai tak mampu mengubah apa pun kondisi China minimal impak buku ini bisa diukur dengan beberapa hal.

Waktu terbit di Inggris pada 1991, Angsa-Angsa Liar mencatat rekor mencengangkan. Ia merupakan buku nonfiksi paling laris dalam sejarah penerbitan Inggris, waktu itu terjual lebih dari tiga juta kopi, dan lebih dari sepuluh juta di seluruh dunia, menerima dua penghargaan buku bergengsi di Inggris, mendapat pengakuan kritik dari berbagai media massa serta raksasa sastra antara lain Martin Amis, Penelope Fitzgerald, dan Ian McEwan. Dengan reputasi sebagus itu, cukupkah membuatnya memiliki energi untuk mendobrak lebih banyak hal, misalnya mengubah tabiat ideologi? Setidak-tidaknya ada sedikit yang terjadi karena buku ini, misalnya menjadi pembuka tabir terbesar tirai bambu ketertutupan Republik Rakyat China sampai tahun 2000-an ini, boleh diperdebatkan merupakan buku nonakademik paling berpengaruh tentang China sampai kini; merupakan buku tentang China yang paling disarankan sekaligus contoh autobiografi standar, antara lain oleh Bloomsbury Good Reading Guide (2001). Bahkan orang bisa tersenyum oleh komentar begini, 'China? Saya tahu sedikit tentang negeri itu; tapi saya sudah baca Angsa-Angsa Liar.'

Buku tebal ini memang berisi semua hal tentang China, sejak akhir kekaisaran Manchuria (1870) sampai 1978, terbit dua tahun setelah demonstrasi di Lapangan Tiananmen pada 1989. Rentang 108 tahun ini mampu dimanfaatkan secara efektif oleh Jung Chang untuk menceritakan sejarah China modern menemukan format politik negara-bangsa. Fokusnya memang mengisahkan tiga generasi wanita China (nenek, ibu, anak), namun dengan sempurna pula mengisahkan muatannya untuk menceritakan seluruh aspek sosial, budaya, politik dengan kecermatan dan ketabahan tiada tara. Dalam skala kecil buku ini adalah wasiat kisah cinta sebuah keluarga yang hidup di masa pemerintahan komunis; namun dalam skala besar merupakan catatan sejarah China yang gelombang politiknya bergolak hampir tak pernah henti. Hasilnya, nasib ketiga wanita itu dapat dijadikan wakil warga China pada umumnya. Neneknya hidup di masa akhir runtuhnya tradisi lama, meski dia sendiri masih terkena berbagai kewajiban tradisi seperti ikatan kaki agar kelak bila gadis bentuknya mungil dan memikat pria, mengalami perebutan wilayah antarpanglima perang; ibunya tumbuh pada masa komunisme perlahan-lahan menjadi ideologi negara dengan Mao Zedong sebagai pusat kuasa; sementara Chang sendiri hidup ketika komunisme memperlihatkan sisi brutal kekuasaan, yang dampaknya tidak saja dia rasakan sendiri, termasuk menghancurkan keluarga---bagian paling emosional dalam diri seseorang. Chang dengan sangat baik pertama-tama fokus pada sejarah panjang keluarga, untuk kemudian ditautkan secara paralel dengan peristiwa politik dalam sejarah China.

Saking kaya, buku ini bisa masuk dalam berbagai kategori. Di sejumlah situs, ia masuk kategori autobiografi dan memoar, sejarah, isu sosial/politik, dan kajian wanita, yang bila ditilik isinya memang relevan. Di Indonesia, GPU mengategorikan buku ini sebagai novel (sejarah), yang mungkin ditempuh agar pembaca mudah menerima drama keluarga Chang, ini pun masih sah mengingat kemampuan Chang bercerita begitu memukau sekaligus sangat sederhana. Penelope Fitzgerald memuji, 'Chang adalah pendongeng klasik yang menggambarkan sesuatu yang sulit dipercaya dengan gaya bercerita yang mengalir tenang.'

KISAH CHANG sekeluarga memang sulit sekali dipercaya bila pembaca tak menyisakan adanya faktor keberuntungan (berkah) atau kasih sayang dalam diri seseorang. Dia bukan saja memperlihatkan betapa tak berdaya manusia di hadapan nasib, takdir, namun juga menegaskan bahwa individu, keluarga, kesetiaan, bisa tak berarti apa-apa di hadapan revolusi, negara, partai, dikendalikan secara tiranik-despotik oleh satu orang yang sangat mudah curiga oleh sedikit manuver lawan. Chang sendiri ada kalanya gagal menerima kenyataan bahwa ayah dan ibunya yang patriotik, loyal, jujur, bangga dan berbakti pada revolusi, negara, dan Partai Komunis China, akhirnya terkena fitnah---disebut kontrarevolusi dan antek borjuis di masa Revolusi Kebudayaan---bersama gelombang gelombang politik yang senantiasa gelisah, melindes seluruh keluarga inti. Ayah, ibu, kakak, adik, dan dia sendiri dipisah-pisah menjalani kerja paksa di daerah terpencil, berbahaya, dan hanya selamat karena dihentikan keadaan. Kurang puas, politik bahkan memerintahkan dia dan saudara-saudaranya mengingkari orangtua. Begitu loyal, ayahnya kadang-kadang berdalih terpaksa mengingkari hati nurani dengan berkata, 'Penderitaan akan membuatmu jadi komunis yang lebih baik.' Saking keras kenyataan menimpa mereka, ayah Chang akhirnya gila, skizofrenia, dan mati dalam keadaan namanya belum bersih politik. Hanya keteguhan, kehormatan, kasih sayang seorang ibu (istri), yang mampu menenangkan terjangan dahsyat yang membolak-balik hidup sekeluarga.

Ibunda Chang sebenarnya jadi protagonis dan suri teladan, sekaligus merupakan sumber lahirnya buku ini. Pada 1988 ibunya mengunjungi Chang yang memutuskan tinggal di Inggris setelah meninggalkan China karena meraih beasiswa di Universitas York. Dia menceritakan seluruh kisah diri dan neneknya. Dibantu Jon Halliday---sejarahwan Inggris, kelak jadi suaminya---ditulislah kisah tiga anak angsa liar di danau kehidupan negeri China. Disertai derai air mata, kenangan, trauma, juga kesedihan, Chang menyelesaikan buku ini selama dua tahun. Dia menyempurnakannya dengan riset keluarga, menapaktilasi China, mengunjungi sahabat orangtua, kolega, sahabat pejuang gerilya ayahnya, dan mengecek kebenaran pada ibu dan saudara-saudaranya. Hasilnya memang pantas dipuji; dari sisi finansial saja penjualan Angsa-Angsa Liar memungkinkan pasangan itu membiayai riset selama sepuluh tahun untuk proyek buku selanjutnya, Mao: The Unknown Story (2005).

'TULISAN SAYA adalah cara saya sendiri menghadapi masa lalu,' ujar Chang dalam sebuah wawancara. Dalam buku ini dia berusaha berdamai dengan kehidupan personal, artinya sebagai individu menghadapi drama maupun memandang hidup sebagai anak, wanita, bagian keluarga, penduduk yang seumur hidup tunduk dan hanya mengenal satu nama pemimpin negara; namun pada saat bersamaan memiliki idealitas, berusaha lepas dari kerangkeng kuat sekalipun. Meski hidup dalam rezim yang mengabaikan perkembangan mental dan intelektual manusia; Chang tetap bisa bertahan waras berkat disiplin didikan, limpahan kasih sayang orangtua, mencintai ilmu pengetahuan, menghargai dan membaca sastra, dan secara umum lebih terbuka.

Di titik ini sebenarnya intervensi totaliter negara bisa dimentahkan oleh individu tertentu. Negara memang memiliki banyak teknik dan instrumen untuk mengendalikan warga baik secara fisik maupun psikis, tapi kerap terbukti secara mental orang bisa mengabaikan dan terus menerus melakukan resistensi, salah satu yang paling efektif ialah dengan sikap kritis, jujur terhadap pengalaman dan penglihatan, perasaan dan kenyataan. Keluarga Chang yang jujur, secara tradisi pun memiliki modal sosial dan intelektual, membuktikan bahwa prahara akhirnya takluk juga, minimal oleh ketabahan dan waktu, dan keyakinan selalu ada kesempatan perubahan. Dengan cara sangat sederhana Chang membuktikan orang memang harus memiliki integritas untuk mampu mengalahkan kegilaan politik atau tekanan totaliter, memaksa, mampu menghancurkan mental. Dia lebih jelas lagi menekankan dengan dukungan keluarga, respek, orang yang tulus mencintai, tak ada petaka yang mustahil dilawan.

Satu-satunya yang pantas dikritik pada edisi Indonesia ini adalah keputusan penyunting tetap menggunakan satuan standar tradisional Barat, alih-alih dikonversi dalam satuan yang langsung bisa dirasakan emosinya oleh pembaca Indonesia. Kita, misalnya, biasa menggunakan ukuran Celcius, meter, gram, liter; jadi mungkin pembaca sedikit kesulitan membayangkan seberapa dingin -20° F, sebab itu berbeda dengan -20°C; sejangkung apa orang tingginya 6 kaki, sebab pasti bukan 6 meter. Selebihnya, buku ini perlahan-lahan pasti akan menjadi bacaan klasik, terus dicari, baik karena amat kaya berisi khazanah informasi maupun kandungan nilai universal kemanusiaannya.[]

Anwar Holid, eksponen komunitas TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.
Awal Bagus Mencapai Kematangan

Tabula Rasa
Penulis: Ratih Kumala
Penerbit: Grasindo, 2004
Tebal: vii + 184 halaman
ISBN: 979-732-714-0


Novel debut Ratih Kumala, Tabula Rasa, merupakan pemenang ke-2 Sayembara Novel DKJ 2003. Pemenang pertama dan ke-2nya saja aku tak sempat memberi perhatian penuh sama sekali. Aku belum membaca semua pemenang itu.

Tapi aku baca kritik Acep Iwan Saidi atas Dadaisme, dan menurutku dia sangsi sama sekali (i.e. curiga) kenapa karya itu bisa jadi pemenang pertama. Aku nggak mau menyoroti Tabula Rasa sebagai salah satu pemenang sayembara itu, alih-alih aku akan berusaha sewajarnya menghargai pencapaian itu, dan melakukan kritik yang benar-benar ingin aku sampaikan.

Mulailah aku membaca novel itu sejak diberikan Bilven sampai 24/09/04 malam. Tentu saja aku ngebut dan harus mengabaikan buku lain. Secara keseluruhan aku menikmati cara bertuturnya. Ratih Kumala lancar bercerita, lincah menceritakan peristiwa, cukup berani menyelami kepribadian karakter-karakternya; tapi sebaliknya aku merasa bahwa konfliknya sederhana---barangkali klise; dia hampir semuanya menggunakan penuturan orang pertama 'aku'---tentu itu memiliki risiko; dan aku merasa bahwa novel itu memiliki aspek psikoanalisis yang cukup kuat. Dua bagian pertama novel ini bicara 'in memoriam': kenangan seseorang tentang kematian, yaitu kematian dua orang perempuan bernama Krasnaya oleh kekasihnya Galih; dan kematian perempuan bernama Violet oleh 'kekasih rahasianya' bernama Raras. Di dua bagian terakhir ceritanya lebih menjurus: tentang krisis identitas dan keputusan terhadap pilihan. Krisisnya adalah keraguan Raras merasa dirinya sebagai seorang lesbian, dan keputusannya adalah meyakini dirinya memang benar lesbian, dan dia berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan dan lingkungannya itu dengan respons emosional yang baik, berusaha tidak membuat konflik dengan sikap orang lain. Di ujung novel Raras merasa dirinya adalah sebuah tabula rasa, dirinya terbentuk oleh jalan hidup. Tapi menjelang tamat, sebuah ramalan (writing on the wall?) tertulis: aku masih tetap larva, entah untuk berapa lama. Siapakah yang menulis itu? Aku lirik atau penulis?

Di sela-sela kenikmatan itu, aku justru kerap sekali terganggu oleh sebuah hal: kegenitan penulisnya menggunakan bahasa asing (Rusia dan Inggris) yang tidak esensial sama sekali, tidak perlu. Tepatnya: seberapa esensial dia berbahasa Inggris pada novel itu? Menurutku pilihan menggunakan bahasa asing itu merupakan keputusan yang buruk, sebab kualitas bahasa asing yang digunakan adalah bahasa asing rendah, kelas percakapan tingkat permulaan yang jelas-jelas bisa diganti dengan ungkapan Indonesia (dan ironiknya kebanyakan memang dia terjemahkan dengan baik ke Indonesia). Bahasa asingnya tidak berbeda jauh dari yang ada di buku mahir berbahasa asing; kadang-kadang bahkan lebih parah, dia tidak segan mencampur aduk kosakata asing dan Indonesia untuk sebuah percakapan. Bagiku, kecenderungan itu adalah gejala yang persis juga muncul di sinetron-sinetron, snobisme kelas menengah Indonesia yang merasa bangga bila bisa mengucapkan Inggris dengan cukup lancar. Aku heran editornya membiarkan saja penggunaan begitu banyak bahasa asing mentah itu. Salah satu risikonya adalah ternyata penulis (dan editornya) terpeleset sendiri dengan keputusan itu: menulis Edgar Allen Poe bukannya Edgar Allan Poe, Effiel daripada Eiffel, alhtough alih-alih although, carcoal alih-alih charcoal, positif alih-alih positive, juga yahoomail.com alih-alih mail.yahoo.com. Bila dibandingkan dengan cerpen Umar Kayam (Seribu Kunang-kunang di Manhattan) atau Budi Darma (Orang-orang Bloomington), yang semua setingnya terjadi di luar negeri, berinteraksi dengan orang asing, termasuk logatnya, penggunaan bahasa asing dalam Tabula Rasa tidaklah memberi sumbangan apa pun dalam kekayaan sastra, justru memperlihatkan kemalasan penulis mengeksplorasi (setidak-tidaknya: menggunakan) bahasa Indonesia. Umar Kayam dan Budi Darma hanya menggunakan kosakata asing 'bila benar-benar' perlu, hanya untuk menggantikan kosakata yang waktu itu belum ada padanan Indonesianya, atau yang memang mustahil diganti, misalnya martini, bourbon, concierge, mistuh (logat Black-America nuntuk 'mister'), madame, atau home run. Kedua penulis ini tahu mereka sedang berkarya (menulis/berekspresi) dalam bahasa Indonesia, untuk khalayak pembaca Indonesia, jadi harus mengeksplorasi kosakata Indonesia. Jadi percakapan orang asing pun langsung dalam Indonesia, lengkap dengan alam pikirannya. Akibatnya kosakata unik Indonesia seperti brangasan, tuyul, keparat, malah digunakan. Budi Darma langsung mengindonesiakan syair yang ditulisnya. Langkah sebaliknya dilakukan Ratih: dia gampang sekali menggunakan kosakata dan kalimat asing, namun malah membiarkan teks asing yang nyata-nyata sukar diindonesiakan, di antaranya puisi Jones Very, Wilfred Owen, Elizabeth Barrett Browning, larik-larik lagu, atau puisinya sendiri. Kesulitan? Memilih membiarkannya? Sayang sekali dia memilih itu, sementara dia rela menerjemahkan sebuah chatting yang tidak penting. Tentu saja mengindonesiakan puisi-puisi yang signifikan terhadap perkembangan karakter adalah esensial, dan karenanya bisa memicu pertanyaan, seberapa keras dia mengeksplorasi bahasa Indonesia dalam novel itu? Bila dibandingkan Puthut EA, Nukila Amal---sebagai sesama penulis prosa---eksplorasi Ratih pada bahasa Indonesia tidaklah menonjol, dia kadang-kadang mencoba melakukan percobaan, dengan pencapaian yang patut diperhatikan, misalnya monolog interior puitis pada awal bagian In Memoriam: Violet (hal. 67-70), ungkapan simile bagus pada hal. 121, termasuk menggunakan unsur dialek Jawa dengan baik. Dalam politik bahasa, langkah menelusuri khazanah bahasa bangsa sendiri (baik bahasa setempat atau kosakata kuno) selalu lebih patut dipuji daripada mudah tergoda menggunakan kosakata asing yang sebenarnya dangkal.

Aku merasa kekuatan utama novel ini ada pada cara bertutur yang lancar dan menarik. Meminjam pembagian cerita a la diari, rata-rata menggunakan tuturan orang pertama 'aku', Ratih lincah menceritakan perkembangan masing-masing karakter, mempertemukannya dalam alur peristiwa, berinteraksi, menghasilkan drama yang asyik dibaca, bisa jadi mudah, dan karena itu kronologi waktu yang tak beraturan bisa dikesampingkan. Aku sepakat dengan komentar Maman S. Mahayana bahwa pencerita---aku, dia, engkau---seenaknya gonta-ganti menyesuaikan diri degan tuntutan cerita, akibatnya pembaca seperti diajak menyaksikan serangkaian fragmen yang bergerak cepat ke sana-kemari: begitu filmis. Tapi teknik seperti itu berisiko tak memberi ruang luas pada pembaca secara mandiri merasakan persoalan psikologis dari luar, lebih berjarak. Ketika Violet sakaw dan setelah diperabukan misalnya, penulis memilih bercerita melalui 'aku', namun hasilnya pembaca mungkin segera berkomentar: seperti itukah kondisi orang sakaw?, bisakah dia menceritakan ulang kondisi mental dan pengalamannya?, dan lebih menantang: bagaimana mencari nalar jasad yang baru diperabukan (atau nyawa yang sudah mati) menceritakan pikirannya? Menurutku Ratih berhasil memasuki masing-masing diri karakter, mengembangkan wawasan dan pandangan dunianya. Meskipun sosok karakter itu ternyata tidak sangat kuat, setidak-tidaknya aku yakin mampu mempesona pembaca, terutama Galih dan Raras. Kelemahan karakter itu bisa dilihat dari konflik yang mereka alami dan cara menghadapinya. Raras misalnya, sebagai seorang yang terbiasa dengan puisi Inggris klasik, lancar Inggris, akrab dengan cyberspace, diam-diam menyadari dirinya lesbi (tepatnya: homoseksual predominan), ternyata masih asing dengan istilah homophobia. Janggal sekali. Ratih berusaha membangun kekuatan karakter dari percakapan, peristiwa, cara mereka menghadapi konflik, juga berinteraksi satu sama lain. Dia memang tidak berusaha mendeskripsikan tokoh secara konvensional, dan langkah itu boleh disaluti, tapi menurutku perkembangan dan perubahan karakternya gagal didalami sungguh-sungguh. Tepatnya: karakter itu gagal mempesona secara luar biasa. Bila Galih Praditama dibandingkan dengan Adrian Mole, menurutku Adrian Mole jauh lebih mempesona, padahal Sue Towmsend pun tidak mendeskripsikan perkembangan jiwa dan karakter Adrian melalui penjelasan harfiah maupun fisik, melainkan dari perkembangan pandangan dan pikirannya. Selain teknik bercerita dan isinya, persoalan karakter menurutku merupakan aspek yang harus diperhatikan dalam penciptaan sebuah fiksi.

Melampaui itu semua, bagaimanapun Tabula Rasa adalah novel layak baca, mengasyikkan. Di luar sejumlah penggarapan kurang maksimal dan perdebatan keputusan penyuntingan, buku ini pastilah mampu hadir dengan kekuatannya sendiri. Keterbacaan besar, tema ceritanya kontekstual dengan masa 2000-an, isu yang dikembangkannya luas, dari persoalan psikologis, politik, religiositas, homoseksualitas, hingga HIV/AIDS, persoalan waktu pun mampu dia lipat dengan cukup memikat. Di masa depan, kita boleh kembali berharap agar penulisnya berkarya lagi, mengeksplorasi, dengan teknik yang barangkali lebih dewasa. Sebuah buku selalu tidak cukup, malah merupakan pijakan awal yang baik untuk mencapai kematangan. Pencapaian pertamanya ini patut dihargai siapa pun khalayak pembaca Indonesia, merupakan salah satu fiksi yang berhasil baik dari segi sastra dan kelancaran bercerita.[]

Anwar Holid, eksponen komunitas TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.
[HALAMAN GANJIL]

Tiga Buku yang Indah
--------------------

>> Anwar Holid, eksponen TEXTOUR Rumah Buku Bandung.

1/
Pada akhir Juli 2005 ini datang lagi buku ke rumah kami. Dua dari GPU, satu lagi dari Jalasutra. Semua terbitan baru. Dan aku belum tahu akan memutuskan baca mana lebih dulu.

Sebenarnya aku sedang berusaha menamatkan buku tentang Said Nursi, karya Ihsan Kasim Salih, yang diterjemahkan Nabilah Lubis. Buku itu sudah cukup lama aku miliki, tapi terus tersendat-sendat menuntaskannya. Barangkali karena buku itu pengemasannya buruk. Padahal aku suka sekali isinya. Aku merasa perlu berjanji untuk bila sudah menamatkannya. Lepas dari bahasa, penyampaian, terjemahan, dan kemasan buruknya, aku suka buku itu---terutama pada sosok Said Nursi, sisanya dengan perjalanan hidup dan pemikirannya. Sebelumnya, buku terakhir yang aku tamatkan adalah Sosok Seorang Pejuang (Chinua Achebe), terbitan lama YOI. Buku ini juga bagus, tapi aku kehilangan semangat menulis usai baca---barangkali karena aku putus-putus membaca hingga tamat. Setidak-tidaknya aku bersyukur telah menamatkannya. Komentarku tentang Sosok Seorang Pejuang: Buku ini ternyata bisa sangat Indonesia kalau mau menarik simbol-simbolnya, apalagi bila musim kampanye dan pemilihan penguasa setempat. Khas Dunia Ketiga.

Di tengah-tengah baca Said Nursi ini tiga buku ini muncul, dan aku tak bisa janji mana yang akan aku baca lebih dulu. Tapi di sisi lain pembacaanku tentang Said Nursi ini juga terganggu. Begitu datang tiga buku ini segera merasuk pada antusiasme bacaku. Setidak-tidaknya ketiga buku ini sudah aku baca bab pertama dan terakhirnya.

2/
Yang pertama ingin aku ceritakan adalah buku A Beautiful Mind (Sylvia Nasar), biografi tentang John Nash, jenius matematika yang pemikirannya berdampak besar dalam teori ekonomi. Banyak di antara kita sudah tahu tentang A Beautiful Mind karena sudah nonton film berjudul sama, dibintangi Russel Crowe. Tapi perhatian: Begitu membuka buku ini, kita akan tahu betapa beda Russel Crowe dengan John Nash. Kita akan tahu betapa pintar Hollywood membuat drama, betapa serius mereka berusaha menghidupkan cerita. Waktu pertama kali sadar wajah Nash seperti apa, aku tertawa sendiri karena tak pernah punya keinginan mengecek seperti apa hidup dan Nash sebenarnya.

Buku ini merupakan bahan dasar film tersebut. Jadi ada banyak bahan yang akhirnya tak diolah dalam film itu. Buku ini adalah khazanah untuk banyak hal yang karena keterbatasannya, tak bisa disajikan dalam film. Bagaimanapun buku ini sudah membuktikan sendiri reputasinya. Ia adalah pemenang Natioal Book Critics Circle Award 1998 (untuk biografi) dan finalis Pulitzer Prize. Dengan seluruh daya jangkaunya, buku ini tentu saja berpotensi lebih berharga dari filmnya. Tepatnya: Karena buku inilah film itu ada; jadi keliru bila kita (calon pembaca) berpikiran akan menempatkan buku ini sebagai pelengkap. Fakta malah sebaliknya. Aku sendiri sudah sempat sedikit sekali menyebut buku ini waktu meresensi buku Ken Steele (Mereka Bilang Aku Gila). Waktu itu aku bilang, kira-kira seperti ini: 'Karena buku Nasar tidak diterbitkan dalam Indonesia---sementara filmnya sudah---bolehlah buku Ken Steele itu mendampingi film tersebut. Sekarang, setelah buku itu terbit Indonesianya, mungkin ada baiknya aku membuktikan sendiri keunggulan yang sebelumnya aku yakinkan. Aku harap janji itu terpenuhi. Sekarang perlahan-lahan aku memulainya.

Seorang temanku---juga editor di penerbit lain---langsung bilang begini waktu buku ini tanpa sengaja aku perlihatkan kepadanya, 'Siapa yang akan baca buku ini ya?' Aku sepakat. Maksud kami: Siapa pangsa pasar/pembaca target buku ini? Ini jadi pertanyaan menarik buatku, tapi mungkin bisa mudah dicari penjelasaannya. Kenapa menarik, karena John Nash, lepas dia menerima Nobel bidang ekonomi, bukanlah ilmuwan yang sosok pribadinya terkenal secara
umum. Dia bukan Feynman, apalagi Einstein---yang relatif sudah begitu dikenal masyarakat umum. Barangkali persamaannya ialah: sama-sama mengurus angka, perhitungan, nomor. Tapi barangkali mengingat keunggulannya, buku ini tetap punya pesona bagi pembaca Indonesia, meski akan mudah dianggap memanfaatkan terkenalnya film A Beautiful Mind dan akting Crowe yang sangat mengesankan. Bagiku sendiri, ini buku-tebal-lain terbitan GPU yang aku baca. Sebelumnya, sektiar Juni lalu, aku tenggelam dalam pesona Angsa-Angsa Liar (Jung Chang). Buku yang sangat bagus, luar biasa---bisa disarankan pada banyak pembaca umum, terutama keluarga, peminat sejarah dan politik, apalagi China. Aku berharap resensiku atas buuk itu bisa dimuat sebuah media, jika dinilai layak.

Di sisi lain tentu timbul pernyataan: 'Apa sih yang tak bisa diterbitkan GPU dengan segala kemampuan dan keunggulannya? Seskeptik apa pun kita dipersilakan mengomentari, sebagai seorang book enthusiast, pembaca yang bersemangat, yang berusaha mendedikasikan hidup dan kemampuan di dunia pustaka, terbitnya buku ini layak disyukuri. Aku ingat kata temanku, 'Kalau demi kebaikan, kita dukung saja. Ambil sisi baiknya.' Aku sepenuhnya sepakat. Aku sudah baca prolog, epilog, dan bab pertama A Beautiful Mind. Semua berlalu dengan mengesankan. Aku terpaku oleh akhiran prolognya: Ini kisah tentang John Forbes Nash, Jr. Ini kisah tentang misteri pikiran manusia. Sebuah kisah dalam tiga babak: genius, ketidakwarasan, kebangkitan.

3/
Buku kedua adalah Aib (J.M. Coetzee), yang diterjemahkan dari Disgrace oleh Indah Lestari. Kebetulan aku yang menyunting terjemahan itu, jadi tentu saja sempat menyelami novel itu cukup dalam, bahkan saking terpikat, selesai menyunting aku tak bisa menunda lagi menulis tentang David Lurie, protagonis novel itu. Sebagai individu, dia diceritakan sangat mengesankan. Aku yakin orang akan mudah tertipu bila bertemu dia, tapi bila sudah berkenalan akan bingung juga menentukan sejenis apakah dia sebenarnya. Gara-gara tulisan tentang David Lurie itu aku kenalan dengan seorang penerjemah dari Malang,
namanya Wawan Eko Yulianto. Sejauh ini perkenalan kami cukup intens. Aku menyarankan agar Jalasutra menghadiahi dia Aib, minimal untuk diresensi. Aku berharap editan itu berhasil; kalaupun tidak, semoga ada kritik yang memberi tahu kesalahan dan kelemahanku. Aku senang bila bisa mengetahui kesalahan, mempelajari, dan berusaha tak mengulanginya.

Reputasi Aib dan Coetzee juga sangat mengagumkan, bahkan sangat sulit dicari tandingannya. Aib (1999) adalah buku yang menyebabkan dia menjadi satu-satunya peraih Booker Prize dua kali. Dia pertama kali meraih Booker Prize pada 1983, untuk novel berjudul Life and Times of Michael K. Pada 2003 Coetzee dianugerahi Nobel Sastra. Di negerinya sendiri, Afrika Selatan, dia tiga kali menerima anugerah sastra paling terkemuka di sana, yaitu Central News Agency (CNA), pada 1978, 1980, 1983. Buku seperti ini terlalu sayang dibiarkan berlalu tanpa mendapat perhatian dari seorang pembaca. Aku sendiri masih terobsesi menulis tentang Coetzee, minimal biografi singkatnya. Sejauh ini aku browsing cukup banyak di Net tentang dia. Aku berharap bisa menulis tentang dia, aku rencanakan untuk Matabaca.

Bagaimana cara menyarankan agar buku ini betul-betul bisa diterima pembaca umum di sini, dengan sesedikit mungkin keberatan? Ini selalu jadi kekhawatiran bagi penerbit kecil yang tak punya anggaran khusus untuk mengiklankan buku agar punya daya tonjol khusus di tengah-tengah ribuan judul yang hadir di rak buku. Tapi barangkali penerbit sudah cukup lega sekadar karena menyaksikan buku itu terbit dan berusaha mampu menguatkan reputasinya? Dari sekian komentar review atas Aib, aku paling suka yang berasal dari The New
Yorker: 'Aib adalah buku yang mudah dan jelas---bahkan dalam banyak hal mampu mengikat pembaca; tapi yang paling menarik buku ini merupakan catatan kesaksian jiwa, ratapan jiwa dari abad yang memalukan.'

Di luar harapan-harapan pribadi atas Aib, aku juga ingin memuji cover yang dibuat oleh Antorio Bergasdito (aka Rio). It's a really fine art cover. Tapi, harus diakui juga, sebagaimana aku sering khawatir terhadap kualitas cetakan cover Jalasutra, hasilnya lebih buram daripada yang tampak di komputer. Bukan WYSIWYG. Baru-baru ini Rio kembali menggarap cover untuk buku kumpulan cerpen Kurniasih, Kembang Kertas, yang sebentar lagi diterbitkan Jalasutra. Cantik; tapi aku tetap khawatir detail-detail rumit dan gradasi desain itu seperti biasa tak terkejar oleh percetakan. Tapi semoga ada perbaikan.

3/
Blink (Malcolm Gladwell) adalah buku ketiga yang ingin aku tulis singkat kali ini. Buku ini desain covernya sederhana, berupa permainan tipografi pada dasar hijau yang unik. Blink ditulis warna perak, ditambah ikon bintang. Blink-blink. Apa yang indra kita dapat dari bunyi seperti itu? Mengerjapkan mata. Apa maksud Gladwell dari situ? Itu dia jelaskan sebagai 'Kemampuan Berpikir Tanpa Berpikir.' Apa bedanya dengan impuls kalau begitu? tanya temanku waktu aku
cerita tentang review buku itu. Atau insting? Aku belum bisa jawab. Tapi pendahuluan dan kesimpulannya menguatkan keyakinan Gladwell itu. Waktu baca sekilas buku ini, aku bingung dengan kategori buku seperti ini. Apa ini sejenis buku ilmu sosial kontemporer seperti The Tao Physics atau The Little Book of Philosophy? Sekali lagi buku ternyata bisa sulit dikategorikan, kalau bukan berusaha meleburkan sejumlah disiplin ilmu.

Saat selesai baca pendahuluan, aku ingat saudara sebayaku yang tinggal di Kuningan, persis di pinggir jalan besar. Jalan itu dilalui bus antarkota. Sejak kecil dia bercita-cita jadi sopir bus. Saking banyaknya bus lewat di depan rumahnya, dia lama-lama tahu nama bus dari kejauhan hanya dari bunyinya saja. Ternyata dugaannya selalu tepat. Hm, itu semacam blink? Atau apa bisa dicontohkan dengan semacam instingku pada musik. Sekali dengar, rasanya aku bisa memutuskan musik seperti apa yang menurutku 'menarik' atau 'bagus.' Padahal aku tidak bisa main musik. Ini rasanya sudah terbukti berkali-kali. Yang terbaru adalah kasus Opeth (album Damnation), A Perfect Circle---yang akhirnya bisa aku dengar utuh berkat kebaikan Iit dan Trie dari Omuniuum---juga Damien Rice. Harus blink sekali lagi. :D

Ada sisi menarik lain dari Malcolm Gladwell. Salon.com memberitakan dia adalah penulis dengan rekor uang panjer terbesar dalam sejarah dunia penerbitan, US$ 1,5 juta, yaitu untuk buku pertamanya, The Tipping Point. Ini kan gila. Penulis yang belum terkenal (meski dia staf New Yorker), bisa mendapat kontrak sebesar itu. Sampai-sampai Salon.com perlu bertanya sangsi: Layakkah mendapat panjer sebesar itu?

ZLINK!

Fakta itu tentu akan membuat para penulis kita tersenyum kecut.

4/
Tiga buku (sebenarnya: lima), terjemahan semua. Mana karya penulis Indonesia sendiri? Di sela-sela pertanyaan itu, naskah Pak Purnama Salura tentang arsitektur Sunda yang aku sunting belum aku serahkan ke Rani buat didesain. Untuk sementara naskah itu siap dilay out. Tapi secara keseluruhan editing belum selesai. Di lain pihak, Rani tampaknya masih di puncak kesibukan membuat film tentang gambang kromong. Aku penuh harap menanti novel Rama Wirawan segera terbit; tinggal menunggu cover dan lay out ulang karena komputer Acia jebol. Dari dulu aku ingin beli Ayat-Ayat Cinta (Habiburrahman El Shirazy) tapi belum juga punya duit yang bisa dialokasikan; dulu aku sempat tanya tentang 5 cm (Donny Dhirgantoro), tapi tampaknya begitu juga. Tertumpuk oleh kesibukan, bacaan dan tulisan lain.

Tapi kesempatan untuk mensyukuri segala keadaan tetap terbuka dan tersedia.[]2:17 AM 7/30/05 Kali ini berterima kasih khusus kepada AYH, GPU, Jalasutra