Thursday, October 25, 2012

Menemukan Sepuluh Detik Pertama yang Menegangkan
---Wawancara dengan Taufiq Rahman

Taufiq Rahman---jurnalis di The Jakarta Post dan co-founder Jakartabeat.net---baru saja menerbitkan buku pertamanya Lokasi Tidak Ditemukan: Mencari Rock and Roll Sampai 15.000 Kilometer. Buku ini memuat catatan personalnya dalam menikmati dan menjelajahi musik, baik melalui album, nonton konser, juga menziarahi tempat-tempat legendaris di dunia rock and roll. Dia menemukan dan menawarkan banyak hal dari penjelajahan itu, termasuk upaya membabat klise yang beredar di kalangan banyak pendengar.

Berikut wawancaraku dengan beliau.

Taufiq Rahman

Anwar Holid (AH): Selamat atas terbitnya buku kamu! Apa ada harapan khusus atas buku ini?

Taufiq Rahman (TR): Sebenarnya sederhana sih. Ketika saya pergi ke toko buku, pilihannya cuma dua, majalah musik franchise (yang agak mahal) atau buku kord gitar. Saya tidak menemukan buku tentang musik yang ditulis dengan gaya bercerita menarik. Bukan berarti saya menganggap tulisan saya menarik dan lebih baik, cuma saya belum pernah lihat tulisan tentang musik dalam Bahasa Indonesia seperti Nick Hornby atau Chuck Klosterman yang membuat pengalaman menikmati musik menjadi personal dan sekaligus ekistensial. Saya lihat memang di blog banyak yang melakukannya, cuma ya masalahnya tidak ada yang berani menerbitkan. Saya juga pertama berpikir, siapa yang mau membaca tulisan saya dalam bentuk buku. Saya memang rajin menulis, tapi saya tidak punya name recognition seperti penulis-penulis besar itu. Tapi kemudian ada beberapa orang mendorong saya dengan mengatakan, “Bung kayaknya perlu ada kumpulan tulisan Anda.” Saya masih ingat pagi-pagi Risky Summerbee mengirim SMS ke saya sehabis membaca tulisan tentang Justin Bieber di Jakartabeat.net dan bilang, “Bung tampaknya perlu ada tulisan the thoughts of Taufiq Rahman.” Saya pikir well, sudah ada satu audience dan kalau Risky saja mau membaca, saya berharap ada beberapa puluh orang yang mau baca. Pagi itu saya langsung kontak Harlan Bin untuk menjadi editor dan menulis kata pengantar. Akhirya dua bulan kemudian buku ini bisa terbit secara independen. Independen karena saya tidak yakin ada penerbit arus utama yang mau menerbitkannya. Saya pernah mencoba pergi ke penerbit konvensional atas saran rekan, cuma respons yang saya dapat tidak terlalu ramah. Ya sudah why not go it alone. Harapannya adalah kalau saya saja bisa menerbitkan buku, mereka yang jauh lebih baik dari saya harus juga menerbitkan dan saya harap akan lebih banyak buku testimonial personal tentang musik akan lebih banyak terbit, biar toko-toko buku besar itu tidak diisi buku motivasional dan kumpulan 140 karakter dari Twitter.

Album/musik seperti apa yang kira-kira bisa memaksamu menulis review?

Terus terang hanya album-album yang penting secara sosial saja yang saya tertarik untuk menulisnya, seperti album Godspeed You! Black Emperor (GY!BE) terakhir. Album itu dengan mudah bisa diletakkan ke dalam suasana yang membungkus sebuah masa dan zaman. Menarik karena saya ingin menulis bahwa di era saturasi media seperti sekarang, ternyata musik GY!BE ternyata lebih ‘bunyi’ ketimbang lagu protes sosial yang literer. Musik semacam itu jarang keluar. Jadi sebagai akibatnya saya jadi tidak terlalu sering menulis tentang musik (Barat). Selain karena kesibukan yang semakin menggila, juga karena saya sudah agak jarang mendengarkan musik dari poros-poros tradisional New York, London, West Coast. Saya mulai mencari musik-musik eksotis seperti Omar Khorsid, Khourosh Yaghmaei, dan Shin Jun Hyun yang tidak hanya monumental tapi juga sangat gawat muatan politiknya. Omar mati ditembak fundamentalis Islam karena main bersama Yehudi Menuhin di Gedung Putih sesaat sebelum Anwar Sadat bernasib sama. Shin Jun Hyung di penjara karena menolak menulis musik untuk diktator Korea Park Cung Hee. Khourosh juga berhenti bermusik setelah rezim Mullah berkuasa. Mereka ini lebih menarik karena berkesenian dalam kondisi yang sulit dan tidak hanya sibuk dengan sex, drugs, dan rock and roll.


Kamu bilang bahwa menulis musik ialah menulis soal manusia, tapi sebagian musisi bilang bahwa musik hanyalah hiburan dan reviewer/kritik suka terlalu mengada-ada atau cenderung 'over-intellectual.' Apa komentarmu tentang hal itu atau kira-kira apa ada kompromi di antara keduanya?

Memang tidak semua musik layak untuk ditulis. Saya tidak anti-intelektual, tapi juga tidak suka dengan review musik yang formalis belaka. Bagi saya overintelektual tidak apa-apa asal tetap menarik dibaca dan menawarkan sesuatu yang baru. Masalah dengan musik adalah---dan ini bisa membuat orang malas menulisnya---karena musik dan menjadi fan bisa mengakibatkan cinta buta dan tidak memberi ruangan untuk menjadi curiga. Kini semua orang mendewakan Radiohead, (menilai) they can do no wrong, dan mengkritik Radiohead bisa dianggap menjadi bidah. Saya rasa tidak pada tempatnya fans menjadi seperti itu dan Radiohead bukan nabi. Orang bisa tidak beragama tapi justru ketika sampai pada musik malah bisa lebih radikal. Come on man, it’s only rock and roll, tidak ada yang suci. Tidak usah menjadi berhala baru. It’s only music, for god sake.


Aku tidak merasakan beda yang sangat jelas antara nada "amarah" dan "telaah" di buku ini, bisa diterangkan lebih jauh? Kenapa kedua hal ini mesti dipisahkan?

Sebenarnya Amarah itu untuk bagian-bagian di mana saya tidak suka dengan conventional wisdom seperti misalnya bahwa The Ramones atau The Sex Pistols adalah yang paling baik. Saya kemudian menawarkan Marquee Moon sebagai penolakan terhadap wisdom of the crowd saja. Biar ada alternatif dari terhadap yang itu-itu saja. Kalau tidak salah ada juga soal Lady Gaga di seksi Amarah. Saya marah karena bagaimana tiruan Madonna yang buruk itu bisa dipedulikan oleh jutaan orang di dunia. Oleh karena itu saya kemudian menulis semacam dekonstruksi terhadap Lady Gaga, sama ketika saya melakukan dekonstruksi industri motivasional. Kemarahan tidak selalu buruk. Kata The Clash, “anger can be power.” :D

Bagian Telaah sesungguhnya agak pretensius sih. Saya cuma memasukkan tulisan di mana saya menjadi sedikit lebih pintar dengan memahami musik dengan tangan dingin. Inginnya seperti Carl Wilson yang memahami Celine Dion dengan Pierre Bourdieu, tapi berhubung saya cuma punya pengetahuan amatir terhadap Pierre Bourdieu dkk, ya mungkin hasilnya tidak terlalu bagus. Cuma kecenderungannya begitu. Kalau menulis musik sudah dengan kerangka pemahaman yang kaku dan teoretis memang jadi agak kering. Bahkan ada saat ketika Jeremy Wallach atau Emma Baulch jadi agak kering ketika membahas musik di Indonesia dengan teori-teori itu.

Sangat menyenangkan/menarik kamu menulis esai soal Suarasama, Lokananta, dangdut dan musik Indonesia; tapi sayang kenapa porsinya di buku ini sangat sedikit dibandingkan musik Barat?

Mungkin ini masalah perjalanan hidup saja. Kecil saya tumbuh dengan Julius Sitanggang, Ida Laila, dan musik yang paling mainstream di Indonesia. Ketika indie scene di Indonesia bergejolak, Puppen, Pure Saturday, dan band-band lokal yang keren itu berkuasa, saya masih di kampung dan tidak punya akses ke informasi tentang mereka. Begitu saya kuliah saya ingin menjadi berbeda dan langsung melakukan leap of faith dengan mencari musik-musik yang asing dari yang paling asing. Mungkin saya mulai dengan POD dan Linkin Park, tapi akhirnya berakhir dengan Pavement, Silver Jews, Neutral Milk Hotel, dan semua itu kemudian menjadi semacam obsesi ketika saya tinggal di Amerika Serikat. Saya bisa mengalami kedekatan fisik dan itulah yang kemudian saya tulis menjadi semacam ziarah. Tidak ada niat berziarah sebenarnya karena saya lakukan perjalanan itu sambil kuliah dan mengurus anak, dan itu yang menjelaskan kenapa judulnya Lokasi Tidak Ditemukan. Karena yang sangat serius merencanakan mencari rock and roll seperti Chuck Klosterman di Killing Yourself To Live saja tidak ketemu, apalagi saya yang cuma sambil lalu. Jadi akhirnya buku itu lebih kepada renungan tentang menikmati dan memahami musik saja. Sangat personal sesungguhnya.

Seberapa terbuka kamu terhadap sebuah genre musik?

Saya mendengarkan apa saja dan dari mana saja (terutama akhir-akhir ini). Saya kini  misalnya mendengarkan One Direction dengan anak perempuan saya setiap mengantar dia ke sekolah dan saya hapal dengan semua lagu itu, Big Time Rush juga. Saya kini mendengarkan Omar Khorsid dan The Abstracts dari Pakistan,  atau Les Dugs-Dugs dari Meksiko, musik dari Shan State Myanmar atau Answer Sheet dari Yogyakarta. Dan sudah mulai meninggalkan musik mainstream Barat terus terang! Radiohead atau Weezer misalnya, saya sudah sama sekali matikan. Mereka sudah membantu saya menjadi dewasa, tugas mereka sudah selesai, dan saya tetap menaruh hormat kepada mereka. Don’t get me started on Guns N Roses :D

Kalau ada musik/album yang "tidak bisa" kamu pahami/nikmati, musik seperti apakah itu?

Emo! Saya tidak bisa paham dengan rengekan vokal dan raungan gitar pada waktu yang bersamaan. Album yang tidak bisa saya pahami sepenuhnya adalah semua musik dari Tame Impala. Saya sudah berulang-ulang dengar, resapi, dibawa tidur, di mobil, di Ipod, tetap tidak bisa saya nikmati. No offense buat fans Tame Impala, tapi mungkin musiknya bukan buat saya. Not my cup of tea.

Menurut kamu, apa yang paling berharga dari sebuah album?

Saya tertarik dengan kerja keras seniman untuk menghasilkan karya seni yang tidak biasa. Dan memang agak jarang muncul musisi yang mencoba membabat hutan dan menemukan sesuatu yang baru. Anda akan tahu album bagus hanya dari 10 detik pertama saja dan menemukan 10 detik pertama ini yang menegangkan. Di sepuluh detik pertama di "We Drift Like Worried Fire" dari GY!BE ‘Allelujah, saya segera tahu ini bukan main-main dan akan menjadi musik paling baik tahun ini. Beda misalnya dengan 10 detik piano intro lagu Adele atau Coldplay, Anda akan segera tahu bahwa ini adalah musik yang diciptakan untuk banyak orang. Nada-nada miring yang sengaja diulik untuk mendapatkan massa sebanyak-banyaknya. Lebih dari bentuk fisik sebuah album, semangat kerja keras seniman dan upayanya untuk menjadi berbeda itu lah yang membuat saya tertarik.

Sebagai penikmat/kritik, menurutmu apa yang ada dalam kepala musisi ketika mereka merekam/merilis album: ingin menyampaikan misi, albumnya laris dan sukses secara finansial, atau tenar?

Tergantung kan. Kalau orang semacam Efrim Menuck atau Benny Soebardja ketika mereka menulis musik di kepala mereka cuma ada satu ide: “Screw the system, I will go my own way.” Sedangkan di benak Chris Martin atau Favourite’s Group, yang ada di kepala mereka mungkin berisi “wah saya harus mencari nada-nada catchy yang akan didengar oleh banyak orang dan menjual banyak album.” Nah di antara kedua jenis musisi ini ada band istimewa semacam Rage Against The Machine dan Gang of Four yang berpikir “musik kita harus bagus sehingga kita bisa menyampaikan pesan akan pentingnya revolusi sosial dan perjuangan kelas." Mereka tidak selalu berhasil memang, tapi musiknya tetap laku kan? Well, ini cuma dugaan saya. Toh saya bukan musisi, bukan produser, bukan pelaku, dan tidak banyak kenal banyak musisi juga.

Btw, bagaimana cara/ritual kamu menikmati sekaligus menyimak sebuah album?

He he he, kayak saya public figure saja ditanya soal begini. Biasa saja sih. Matikan lampung kamar, nyalakan tombol on di turntable, pindah speed ke 33 rpm, letakkan jarum, dan menutup mata. Kadang menangis, kadang senyum bahagia di dalam gelap, dan sebaiknya dilakukan dengan semua smartphone jauh dari jangkauan. Tempat menikmati musik terbaik kedua saya adalah di mobil. Saya sengaja copy ke CD album-album MP3 yang tidak bisa saya peroleh di sini dan saya dapat hanya dari internet dan saya putar di mobil. Kadang-kadangsaya sengaja berkendara lebih jauh sebelum sampai rumah untuk menyelesaikan sebuah CD. Misalnya di CD Omar Khorsid Guitar El Chark ada track ke lima luar biasa indah yang pasti tidak akan saya dengar kalau saya menitipkan mobil di stasiun kereta api dekat rumah. Sebagai akibat saya tidak mau skip langsung ke track ke lima---karena empat track sebelumnya memilki flow yang nyaris sempurna---saya harus berkendara ke dua stasiun agak jauh dari rumah dan menyelesaikan track lima. Untuk ini tentu lebih banyak bahan bakar dan biaya tol yang harus dibayar kan? Tapi pengorbanan itu terbayar oleh kesyahduan menikmati musik surgawi Omar Khorsid. Selain juga karena saya malas berkendara terlalu jauh ke Jakarta. Macet!

Sepertinya ada kecenderungan anggapan bahwa musik bikinan industri yang memenuhi selera massa itu buruk/bernilai rendah, tetapi bukankah selalu ada kemungkinan album pop yang bagus?
Bisa saja ada yang bagus, tapi dalam bermusik niat baiklah yang menentukan. Sebagus apa pun musik dari industri kalau niatnya hanya mencetak hits ya akhirnya cuma hiburan. Saya tentu dengarkan juga sama seperti saya mendengar musik One Direction bersama anak saya, tapi saya tidak akan serius mengharap mendapat apa-apa dari musik itu bukan? Sama seperti kita menonton film Hollywood untuk ditipu oleh CGI dan superhero. Tapi ada saatnya, meski tidak bisa terlalu sering, kita menonton film Iran atau film independen dari Meksiko.

Terakhir: sebenarnya apa sekarang ini Indonesia punya peluang untuk kembali memiliki industri musik berbasis vinyl?

Wah saya tidak tahu kalau soal itu. Saya bukan pelaku soalnya. Tapi saya amati sudah lumayan ramai, meski ini tidak bisa diharapkan menjadi default format. Ini hanya akan menjadi niche, mengingat memang hanya sedikit saja orang yang mencintai musik sampai sebegitu rupa. Tapi tidak apa-apa, semua orang punya pilihan dalam mendengarkan musik. Yang masih mau ke Carrefour atau Ratu Plaza mencari musik Ramadhan silakan, tapi yang mau mencari musik sampai ke pojok-pojok dunia ya silakan maju sendiri.[]

Situs terkait dan pemesanan buku: http://jakartabeat.net
Follow Taufiq Rahman on Twitter: @rahmantaufiq