Friday, November 30, 2007

Pakai Kuitansi atau Tidak
---------------------------------------
>> Anwar Holid



‘Bagasinya mau pakai kuitansi atau tidak?’ tanya petugas check in di bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng kepadaku, yang memang sudah jelas terlalu banyak bawa beban. Dia seorang pemuda dengan pakaian seragam yang rapi; menawariku pilihan sambil tersenyum. Aku dari awal sudah malas dengan keramahan yang dibuat-buat dari wajah portir sejak aku turun dari mobil, menawarkan trolley, hingga membawaku ke hadapan petugas check in.
‘Ya, pakai.’
Aku jelas sekali dengar dia berkata, ‘418 ribu rupiah,’ sambil melanjutkan, ‘ini barang pribadi atau perusahaan?’
‘Perusahaan,’ kataku sambil menyodorkan uang.
‘Bayar di kasir,’ kata dia, menampik pemberianku.

Jadi aku jalan ke kasir, menyerahkan tiket beserta kode kelebihan beban. Setelah diperiksa-periksa, yaitu dengan dibolak-balik, ternyata biaya kelebihan beban itu adalah Rp.814.000,00.
‘Lho... dia bilang tadi 418 ribu,’ aku tersentak dengan biaya sebesar itu. Di luar dugaan; dalam hati akulangsung berteriak, mending dikirim dengan jasa kurir biasa.
‘Bapak di mana diperiksa?’ tanya dia sambil menyerahkan tiket pada rekannya. Aku menunjuk meja tempat periksa bagasi. Rekan kasir itu langsung menuju meja tersebut.
‘Di sana,’ jawabku sambil menunjuk dengan jemari. Sesaat kemudian rekannya sudah balik menyerahkan tiket ke kasir, dan mengoper kepadaku.
‘Coba bapak tanya lagi ke petugas itu; silakan periksa.’
Aku jadi balik lagi ke meja pemeriksaan bagasi. Begitu sampai aku langsung menyergah, ‘Mas, kok jadi 814 ribu? Tadi Anda bilang 418 ribu?’
‘Memang 814 ribu. Mungkin bapak salah dengar.’ Dia menanggapi dengan tenang.
Fucking what!? Salah dengar? Dengan kesal aku balik ke kasir, menyerahkan tiket. ‘Kata dia memang jadi 814.’

Periksa sebentar, aku menyerahkan uang. Mengambil kembalian dan kuitansi biaya kelebihan beban. Aku jadi membayar sebanyak itu, langsung tahu arti ‘pakai kuitansi atau tidak.’ Dongkol sekali perasaanku, meski sebenarnya tak punya hubungan dengan uang itu, karena memang bukan milikku, melainkan punya lembaga yang membayar ongkos keberangkatanku. Dari sana aku melanjutkan jalan, ke tangga pemberangkatan. Portir menenteng sebagian bawaanku, yang sebenarnya ringan dan ingin aku bawa sendiri; tapi dia tetap memaksa membawakan.

‘Tadinya bapak bisa bayar setengah kalau jadi minta bantuan teman saya di meja check in itu. Tapi bapak bilang mesti pakai kuitansi sih...’ cerocosnya; barangkali dengan begitu dia bisa menenangkan kedongkolanku. Dia sengaja menekankan kata ‘jadi’ waktu berkata-kata.

Jadi begitu permainan mereka, batinku. Aku menyerahkan uang portir. Dia langsung menyelipkan lembar 10.000 ke balik baju seragam; membawa yang 15.000. Aku jadi berani berprasangka; yang dia tilep itu pasti untuk pribadi; sisanya barangkali buat setoran. Walhasil, di dompetku tinggal tersisa Rp.31.000,00. Astaga, cepat benar duit amblas di bandara ini. Tersedot hilang hanya dalam hitungan langkah. Aku jadi mengandalkan bawaan pribadi, yang aku ambil dari duit sisa biaya bersalin istri. Jumlahnya Rp.100.000,00. Aku pasrah menerima kejadian menjengkelkan ini. Yang paling menjengkelkan dari sini ialah penipuan biaya pemeriksa tiket ke kasir pembayaran, persis karena aku mengharuskan mereka memberi kuitansi pembayaran. Di pikir-pikir apa yang sebenarnya terjadi kalau aku tak punya kuitansi? Pertama, mungkin uang itu akan masuk ke kantong pribadi mereka; kedua: aku bisa klaim berapa saja untuk biaya kelebihan beban ke lembaga tempat aku kerja---tapi tanpa bukti. Risikonya adalah aku bisa dituduh korupsi. Ha ha ha... betapa pintar mereka mencoba menjebak aku. Sementara kalau barang hilang aku nggak bisa klaim karena nggak punya bukti pembayaran. Selama nunggu pesawat itu ajy membatin: barangkali inilah bayaran dari sebuah perjalanan pertama. Terkejut dan sulit membantah karena tak tahu apa-apa. Aku anak bawang dalam hal ini, mereka memanfaatkan kelemahan itu. Lagi pula aku kehilangan alasan untuk keberatan, terutama karena terdesak waktu; di sisi lain aku masih bisa menahan kejengkelan meski benar-benar ditipu. Berapa orang yang berhasil mereka tipu dengan mudah setiap hari?

Aku jadi ingat cerita-cerita tentang perjalanan yang sulit dan heroik; entah karena alasan pribadi atau kekurangan biaya dan terpaksa mesti dilakukan. Ada orang pergi mengarungi Indonesia dengan sepeda atau jalan kaki, pergi ke Aceh dengan mobil butut atau bus kelas ekonomi; ke Balikpapan menumpang kapal laut dalam dek kelas ekonomi. Semua jelas lebih sulit dibandingkan perjalananku; mereka bisa kepanasan, kelelahan, berdesak-desakan, keringat bercucuran, tubuh kekurangan cairan, atau muntah-muntah selama perjalanan karena kalah oleh bau dalam ruangan. Aku yakin perjalananku ini lebih menyenangkan, hanya sedikit khawatir karena duit tinggal sedikit. Mestinya aku baik-baik saja, karena toh bisa menelepon bala bantuan dengan mudah. Apalagi waktu subuh aku sudah berdoa mohon keselamatan kepada Allah (i.e. Tuhanku), menyerahkan segala urusan dan peristiwa kepadanya.

Aku akan memulai sedikit selingan hidup sekitar dua bulan di Banda Aceh; ditemani lima buku Soni Farid Maulana, After The Plague (kumpulan cerpen T.C. Boyle), buku Mengubah Dunia (David Bornstein), buku Pamusuk Eneste dan Natalie Goldberg, Joyce Wycoff, dan Al-Qur’an. Aku sedikit ragu mampu membaca Al-Qur’an selama di sana, tapi toh tetap tak tega bila meninggalkan, terlebih diperingatkan oleh Ubing. Tapi aku akan berusaha membaca kitab itu. Aku sudah baca-baca puisi SFM, berusaha menamatkan Mengubah Dunia, belum bisa menikmati cerpen T.C. Boyle. Tapi semua itu BUKAN tujuanku ke sana. Aku ke sana karena diamanati jadi fasilitator kelas di Seuramo Teumuleh. Untuk itulah aku bekerja dan nanti melakukan evaluasi kinerja. Aku mestinya menjalankan itu dengan baik---dan untuk itu aku butuh sejumlah rujukan dan pengayaan, terutama sejenis buku karya Goldberg, Wycoff, dan Pamusuk Eneste. Aku pernah sesekali jadi teman diskusi untuk topik tulis-menulis atau penyuntingan; kali ini yang aku hadapi adalah satu kelas, yang jumlahnya diperkirakan bisa mencapai 25 orang, setiap hari.

Sehari sebelum keberangkatan aku bertemu dengan senior-senior di Mizan, termasuk dengan editor penerbit Hikmah yang sudah aku kenal via email tapi belum pernah bertemu---mereka menghadiahi aku tiga buku. Beberapa orang menyelamati aku menjelang pergi ke Banda Aceh; aku senang dengan salam itu, seolah-olah jadi ajimat keselamatan dan benteng ketenangan. Tapi yang terus membuat aku takjub sekaligus kecapaian luar biasa adalah aku bolak balik Jakarta-Bandung pada malam 1 November 2006 hanya berselang beberapa jam karena Ubing melahirkan Kimya. Aku sempat memperhatikan wajahnya yang kemerah-merahan, mirip sekali dengan Ilalang waktu bayi, bahkan tempat bekas tekanan darahnya sekalian. Setelah mengubur ari-ari menjelang tengah malam, aku langsung balik ke Jakarta. Selama perjalan ke Banda Aceh, hanya kejadian itu yang terus teringat, diselingin pemandangan gumpalan awan yang mirip batu mengapung di danau tenang, bukan kejadian menjengkelkan habis mengeluarkan biaya besar karena kelebihan beban. Puji Tuhan, betapa luas Dia memberi aku peluang mendapat kegembiraan.[]2 & 5/11 06


Kontak: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B, Bandung 40141 Tel. (022) 2037348 SMS 08156140621 email: wartax@yahoo.com

No comments: