Thursday, February 21, 2008

Laku Seribu atau Sepuluh Ribu
-----------------------------------------
>> Anwar Holid

ORANG bisa bilang apa saja tentang buku yang laris atau seret, dan mungkin pendapat kontradiktif itu sama-sama benar dari sudut pandang masing-masing. Segi positif buku laris ialah ia menggairahkan pasar dan menjanjikan kesuksesan bagi setiap orang yang terlibat menggarapnya. Buku bisa laris dengan caranya sendiri, dan terkadang tetap seret meski seratus satu cara sudah dilakukan untuk membuatnya laku.

Orang perbukuan sering terheran-heran kenapa sebuah judul bisa laku tapi juga kerap takjub kenapa usaha membuat buku laris gagal. Bila sudah sulit cari alasan kenapa buku laris, mereka baru menganggap buku itu sebagai "berkah penulis" atau "rezeki penulis", biar pembicaraan selesai.

Simak ucapan Curtis Sittenfeld, novel debutnya Prep versi hardcover secara mengejutkan terjual lebih dari 133.000 kopi di AS per Mei 2007, sedangkan versi paperback laku 329.000 kopi. Novel itu berkisah tentang perkembangan jiwa remaja yang tumbuh di sekolah asrama. Waktu belum selesai menulis, teman-teman dia meledek. "Buku tentang sekolah asrama sudah banyak, kenapa kamu menulis itu lagi?" Tapi setelah bukunya jadi best seller, dia dengar orang meremehkan buku itu. "Jelas saja buku itu laris, itu kan buku tentang sekolah asrama!" Dia hanya mesem menyimak itu. Faktanya, buku kedua dia (The Man of My Dreams) penjualannya lebih seret, meski diterbitkan dengan mengandalkan kesuksesan yang sudah barusan dia raih. Prakiraan dan rencana untuk buku kedua itu meleset jauh dibandingkan uang muka yang dia terima.

Penerbit mencintai buku, tapi mereka juga melihat buku sebagai komoditas. Penerbit dituntut bisa menjual dan mereka suka buku yang punya pesan pemasaran jelas. Karena itu penerbit senang dengan segala bentuk jaminan yang bisa membuat terbitan mereka laku, baik judul tersebut baru menang sayembara penulisan, diangkat sebagai film, masuk dalam berbagai daftar "buku terbaik", dipuji-puji oleh kritikus yang disegani atau diulas media terkemuka, jadi topik hangat di berbagai milis dan blog.

Penerbit terus berusaha seakurasi mungkin mengetahui selera pasar, tujuannya agar mereka secara persis bisa menyediakan buku yang dibutuhkan calon pembeli, memproduksi buku sebanyak-banyaknya karena tahu bahwa pasar bakal menyerapnya. Mereka memperhatikan dinamika pasar, bertanya pada pemerhati buku, mendeteksi sedini mungkin ke ceruk dan kelompok pasar khusus, bahkan kalau perlu melakukan gebrakan pasar dan melontarkan isu kontroversial. Penerbit berusaha mengetahui selera konsumen, yang kerap merupakan misteri besar yang menarik namun sulit dan pelik untuk dipecahkan, sebab pertaruhan penerbit memang di penjualan. Begitu gagal memancing dengan umpan judul yang mereka lempar, bisnis segera bermasalah. Begitu penjualan turun, imbasnya bisa terasa sampai ke bawah-bawah.
Menjadikan buku laris memang persoalan yang patut dipecahkan. Kalau satu judul bisa laku ratusan ribu kopi, kenapa judul lain perlu menunggu satu tahun untuk terjual seribu kopi? Semua orang akan girang bila dagangannya laris, dan bakal manyun menghadapi barang yang menumpuk di gudang. Demi melempangkan jalan agar laris, penerbit menempuh berbagai cara, mulai dari yang biasa hingga mengejutkan. Mereka tahu bahwa buku laris itu dipengaruhi banyak faktor. Tapi kalau diselisik, penerbit yang bisa mendayakan berbagai faktor itu hanya sedikit; itu jelas dipengaruhi oleh kemampuan penerbit. Misal, sejauh ini hanya satu-dua penerbit Indonesia yang mampu beriklan secara rutin di media massa, antara lain GPU bareng sesama kawan di KKG, mengiklankan "Book of the Month." Meski begitu kini semua penerbit bisa beriklan lebih murah, ialah lewat milis ataupun blog.

Ahmad Taufiq dari Ufuk Press menyatakan setidaknya ada tiga faktor yang bisa membuat sebuah judul laku, pertama, reference's group; kedua, word of mouth (getok tular); ketiga, buku yang "menggedor" pembaca. Begitu satu judul memenuhi salah satu faktor---idealnya memenuhi semua, bisa dijamin buku tersebut bakal dicari-cari orang.

Sayang kita sering dengar berita penerbit bisa malas-malasan mendukung buku bila mereka kehilangan feeling bahwa judul tersebut bakal laris. Kejadian menjengkelkan itu bisa menimpa siapa saja. Penerbit sering membiarkan satu judul bertarung sendirian di toko, melepaskan mereka menjalani tes pasar. Kalau sukses akan dicetak ulang, kalau gagal tinggal ditunggu pulang. Padahal fakta porsi terbesar keuntungan finansial buku jatuh ke penerbit, bukan penulis; wajar bila penerbit yang mestinya mau mengusahakan agar produknya laku. Mau berhasil menjual seribu atau sepuluh ribu, jelas bergantung banyak pada keputusan penerbit bersangkutan.

ORANG bisa mereka-reka jawaban apa pun untuk setiap keberhasilan dan kegagalan sebuah buku. Sebagian orang mengaku kepalanya mau pecah kebingungan menjual tiga ribu kopi dalam setengah tahun, namun sebagian lagi ternyata bisa cetak ulang tiga ribu kopi dalam seminggu. Mana lebih menyenangkan bagi insan perbukuan? Saya berani jamin, semua penerbit mau bukunya selaris jajanan pasar. Caranya bagaimana? Bikin buku terbaik yang bisa memenuhi kebutuhan publik sebanyak mungkin. Apa rahasia buku seperti itu?

"Sebagian dari buku terbaik dan paling menarik punya hal bertentangan yang menarik dan mengejutkan," begitu kata Susan Weinberg dari PublicAffairs. Hal menarik dan mengejutkan itu sering jadi misteri yang baru ketahuan setelah buku beredar, berhadap-hadapan dengan selera publik. Orang industri percaya memang selera massa bisa diperkenalkan dan akhirnya dibentuk, tapi mereka bingung bila menyaksikan sebuah kebetulan meledak jadi booming, lantas jadi mode yang massif gila-gilaan.[]

Note: Kolom ini awalnya dipublikasi harian Republika Minggu, rubrik Selisik, Desember 2007.

ANWAR HOLID, penulis & penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.

KONTAK: 08156140621 - (022) 2037348 wartax@yahoo.com Panorama II No. 26 B, Bandung 40141

No comments: