Tuesday, June 08, 2010
[halaman ganjil]
Membayangkan Kita Sebagai Orang Lain
---Anwar Holid
Sambil dicukur, kami ngobrol soal sepakbola dan Piala Dunia 2010 yang akan berlangsung dalam beberapa hari lagi. Tukang cukur ini gemar nonton pertandingan liga dunia dan Indonesia. Bacaannya Top Skor dan Tribun Jabar, yang punya banyak halaman berita bola. Dua koran itu bertumpuk-tumpuk di ruang kerjanya. Sudah beberapa kali dalam pertemuan kami dia membayang-bayangkan betapa gaji pesepakbola itu fantastik dan kesejahteraan mereka terjamin.
"Ah, semua pekerjaan punya risiko kok," kataku diplomatis.
Sebenarnya aku malas bicara lagi soal pendapatan, persis karena pendapatanku juga kecil dan aku takut sekali lagi dianggap mengeluh atau mengadu, dan lama-lama menumbuhkan iri hati dibandingkan kondisi orang lain yang lebih sejahtera.
"Banyak kok pemain bola yang hidupnya sengsara. Kayak kemarin, Aaron Ramsey (pemain Arsenal) patah kaki waktu bertanding. Banyak pemain bola yang cedera sampai akhirnya karirnya tamat dan itu membuat dia frustrasi sampai mau bikin bunuh diri. Kayak empat tahun lalu Alessio Tacchinardi (pemain Juventus) coba bunuh diri waktu Piala Dunia di Jerman. Kehidupan Paul Gascoigne kayaknya juga awut-awutan, meskipun jelas dia punya duit lebih banyak dari kita."
Obrolan ini membuat aku jadi berpikir tentang pekerjaanku yang belum beres karena gagal melaksanakan Hukum Pareto. Hukum itu sederhananya begini: untuk sejumlah kejadian, kira-kira 80 % dari dampak itu berasal dari 20 % upaya. Ada 20 % aktivitas yang bisa berdampak terhadap 80 % keluaran yang bisa dihasilkan seseorang. 20 % aktivitas ini justru bernilai paling tinggi dalam pekerjaan, dan biasanya merupakan tugas paling sulit dan menantang. Sedangkan 80 % pekerjaan biasanya hanya bernilai 20 % dari keluaran seseorang, yang biasanya berupa tugas ringan dan mudah. Orang cenderung mengerjakan yang mudah, padahal tugas itu insignifikan. Menurut Prinsip Pareto, orang harus disiplin dan memfokuskan energi untuk mengerjakan hal yang lebih penting dan bernilai paling tinggi. Aku masih kesulitan melaksanakan dua puluh persen pekerjaan yang justru bisa memberi dampak delapan puluh persen bagi kesejahteraan keluargaku. Aku lagi berusaha fokus ke sana.
Poinnya ialah aku malas membanding-bandingkan kehidupanku dengan orang lain, meskipun kemungkinan untuk membandingkan itu begitu terbuka. Beberapa orang menganggap kehidupan sebagai penulis enak, padahal aku punya banyak utang kerjaan dan merasa masih kesulitan meningkatkan karir secara signifikan. Sedangkan kebutuhan dan kewajiban membayar tagihan mustahil dihadang. Aku merasa pikiranku lagi kosong. Dalam kondisi seperti itu, membayangkan bahwa kita adalah orang lain sungguh-sungguh menyenangkan. Padahal itu justru sangat meracuni. Seperti beberapa minggu lalu ketika aku ngobrol dengan seorang sopir yang kerja sebagai tenaga outsource di sebuah perusahaan.
"Kerja di sini enak, driver juga enggak dianggap sebagai driver," katanya. Entah kenapa dia selalu bilang "driver" sebagai ganti "sopir" untuk profesinya. Mestinya dengan pengakuan itu dia baik-baik saja disebut "sopir." Mungkin buat dia menjadi driver itu lebih berderajat dari sopir. Mungkin driver itu bekerja di perusahaan bonafide, sementara sopir ialah sopir angkot atau sopir truk rombengan.
"Oh, begitu ya," aku berusaha menahan kecamuk batin yang mau bermunculan akibat mendengar kata-katanya. Dalam hati aku bilang, kalau kamu menolak dianggap sebagai driver, lantas kamu ingin dianggap sebagai apa? Pemilik mobil? tanyaku sinis. Manajer sepakbola atau head hunter? Apa lagi sebutan paling pantas bagi seorang driver kecuali seratus persen dipanggil sebagai driver? Bukankah itu bentuk penghargaan tertinggi untuk karirnya? Tentu absurd kalau bilang profesiku penulis tapi lebih ingin dianggap sebagai fotografer. Aku bahkan bukan seorang scriptwriter atau wartawan, meski kegiatannya sama-sama menulis. Kita bisa dikenali persis karena yang kita lakukan. Aku ingin dikenal sebagai penulis, penyunting, publisis, orang yang antusias terhadap perbukuan---bukan sebagai editor-in-chief atau motivator, misalnya. Lain halnya kalau minggu ke depan aku benar-benar jadi editor-in-chief dan tengah memotivasi orang satu stadion.
Setelah ngobrol dengan sopir, tukang cukur, direktur utama sebuah perusahaan, juga para mantan manajer, muncul pertanyaan-pertanyaan naif dalam kepalaku:
Apa satpam sebuah showroom toko mobil punya mobil sendiri?
Apa tukang parkir bank punya rekening di bank tempatnya kerja?
Apa sopir seorang rektor bisa menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi?
Apa office boy sebuah penerbit pernah terpikir untuk membeli buku-buku eksklusif keluaran perusahaannya?
Apa karyawan pabrik pupuk pernah terpikir untuk jadi petani yang suka kesulitan membeli harga pupuk?
Apa pekerja Apple mendapat fasilitas iPad gratis?
Apa semua pemain bola bisa ikut Piala Dunia?
Apa para penulis kelihatan mulia?
Belum tentu. Belum tentu hidup seorang direktur utama menyenangkan, meskipun dalam beberapa hal mungkin kita ingin seperti mereka. Apa kita mau jadi direktur utama yang akhirnya dipecat lantas diseret ke pengadilan, harus mempertanggungjawabkan hal yang mungkin bukan kesalahan kita, dan ujung-ujungnya di penjara? Baru-baru ini ada seorang komisaris utama perusahaan besar dicokok ke pengadilan dan hakim menyatakan ia bersalah. Hukumannya penjara dan denda. Beberapa gubernur telah di penjara karena terbukti korup ketika berkuasa. Kita mau menjadi seperti mereka? Jelas tidak. Dari baca-baca majalah atau buku, aku berani bilang banyak kehidupan rockstar yang sengsara, meskipun namanya menjulang dan bisa menjual album gila-gilaan. Mestinya kita tahu setiap orang punya kesulitan dan kejayaan sendiri-sendiri. Setiap profesi punya tantangan dan risiko. Kamu enggak tahu kapan kehidupan akan jaya atau nyungsep. Apa hebat kalau kamu bikin album hanya untuk menebus narkoba? Apa bagus kalau aku nulis hanya untuk mabuk-mabukan? Apa hebatnya seorang walikota kalau ia ternyata berlangganan pelacur? Kita hanya mau sisi hebat orang lain, tapi menolak wujud rudinnya. Padahal sebuah koin punya dua sisi, kehidupan punya yin dan yang. Kita maunya cuma sebelah, padahal ia harus diterima secara utuh. Jadinya mirip orang paling kaya berkat kolusi-korupsi-menipu, sementara utangnya yang sebesar gunung dikemplang maupun dimanipulasi. Tapi, bantah seorang kawan, meski banyak utang, faktanya toh ia punya banyak kekayaan. Orang malas melihat neraca, aslinya seperti apa. Memang. Inilah yang sering bikin aku nelangsa.
Mungkin kesengsaraan menjadi diri sendiri ini yang membuat seseorang suka membayangkan enaknya jadi orang lain. Padahal jangankan orang lain, jadi diri sendiri saja repot bukan main. Tepat. Menasihati diri sendiri, mengubah diri sendiri itu susah. Sementara mengomentari atau memberi tahu orang lain itu luar biasa mudah. Tinggal ngecap. Tinggal kuat berdebat. Sementara untuk jadi diri sendiri, orang kadang-kadang frustrasi, kesulitan memahami diri sendiri dan juga kejadian terdekatnya, merasa depresi, harus berdarah-darah. Risiko hidup-mati ditanggung sendiri.
Selesai ngobrol dengan tukang cukur dan orang berprofesi lain, aku berharap pikiran untuk membayangkan diri sebagai orang lain menguap perlahan-lahan. Gantinya aku makin sibuk dengan diri sendiri, berusaha fokus pada kerja dan prioritas yang sudah aku susun dan ternyata belum selesai. Alamak![]6/2/2010
Anwar Holid pernah menggunakan account lain untuk merasakan kepribadian lain. Dia bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
4 comments:
yg mau bunuh diri tu bukan tacchinardi mas,,tp gianluca pessotto... thn 2006 tacchi maen di villareal :D
emm.. kayaknya tacchinardi deh. coba cek. atau mungkin ingatanku yang salah. apa pun, thanks sudah baca ya. makasih atas respons kamu.
halo anonymous. aku barusan cek di wikipedia. benar kata kamu, yang berusaha bunuh diri itu gianluca pessotto. makasih mengingatkan aku.
wasalam,
ahhahhahha... ya jelas saya benar ... secara juventini sejati... :-P
Post a Comment