Waduh, Aku Seorang Pendendam!
---Anwar Holid
Tadi pagi aku menjawab survei sewaktu ikut workshop untuk mengukur indeks kemampuan memaafkan. Hasilnya? Wah, ternyata aku ini seorang pendendam! Ini susah aku percayai sendiri bila mengingat keyakinan yang selama ini aku pegang bahwa aku orang yang gampang memaafkan atau iktikad kebaikan yang aku tanamkan dalam menjalani kehidupan.
Survei itu sederhana saja. Pertama-tama, tetapkan orang yang pernah paling menyakiti diri kita. Bagaimana perasaan Anda terhadap orang itu sekarang? Meski pengalaman pahit itu telah berlalu bertahun-tahun lalu, ketika Anda mengingatnya sekarang, di luar dugaan hasilnya bisa mengejutkan. Mungkin Anda merasa telah memaafkan atau berusaha berdamai, tapi ternyata sakit hati sukar disembuhkan, membuat memaafkan itu harganya mahal.
Aku mendapat skor 22 untuk hal-hal yang mengungkapkan penghindaran, misalnya:
* sepakat berusaha menjaga jarak dari orang yang pernah menyakiti sejauh mungkin
* menolak menganggap bahwa orang tersebut tidak ada
* sepakat bahwa aku tidak percaya kepadanya
* menolak bila menilai bahwa aku sulit bersikap hangat kepadanya
* bersikap netral untuk menghindari dia
* bersikap netral bila memutuskan hubungan dengan dia
* sepakat menarik diri darinya.
GAWAT, GAWAT! Batinku waktu membaca petunjuk penilaian itu. Skor 22 hanya berselisih 0,8 poin dari nilai tertinggi kelompok yang menghindari orang yang pernah menyakiti diri kita. Kelompok ini HARUS berlatih memaafkan. Skor rata-rata orang Amerika Serikat dewasa menurut survei ini adalah 12,6.
Tentu saja aku berusaha MENYANGKAL. Iya dong! Bagaimana mungkin aku berpotensi jadi seorang pendendam bila dari dulu yakin bahwa waktu pasti menyembuhkan (time does heal). Ketika mengingat orang-orang yang aku nilai pernah bermasalah cukup serius dengan aku, aku selalu bilang dan yakin bahwa kami sekarang sudah baikan. Hubungan kami sekarang baik. Apa indikasinya? Aku bisa berkomunikasi dengan normal kepadanya, bisa bercanda, bahkan dari sisi bisnis, misalnya, kami menjalin kerja sama, dan kerja sama itu sampai ada repeat order. Mungkinkah ada dendam dari orang yang melakukan repeat order?
Sementara itu untuk pernyataan yang mengungkapkan pembalasan, aku mendapat skor 11, masuk dalam kelompok sepertiga orang yang paling pendendam. Kembali, aku HARUS berlatih memaafkan. Skor tertinggi kelompok orang pendendam ialah 13,2; padahal nilai kelompok rata-ratanya ialah 7,7---asumsinya ialah orang-orang yang paling memaafkan. Inilah lima poin yang mengungkapkan pembalasan:
* aku bersikap netral bila suatu saat berniat membuatnya dihukum karena perbuatan yang membuat aku sakit
* aku sangat menolak bila dia ditimpa sesuatu yang buruk --> seolah-olah memperlihatkan betapa baik diriku!
* aku menolak bila orang itu mendapat balasan yang setimpal
* aku sangat menolak bila akan membalas perbuatannya
* menolak bahwa aku ingin melihatnya terluka dan merasakan sakit.
Tampaknya dari poin-poin itu aku cukup murah hati dan baik. Tapi kalau dilihat dari cara penilaian, hasilnya rada mengejutkan dan tampak ada sesuatu yang salah, entah dari metode survei atau di dalam diriku. Survei itu langsung mengingatkan aku pada kemarahan terakhir, yang menunjukkan bahwa aku masih reaktif dan kurang bisa menunda atau menahan respons.
Nah, apa aku percaya survei? Hasil survei itu dengan tegas memerintahkan bahwa aku harus BERLATIH MEMAAFKAN. Tentu sekalian diawali dengan kebiasaan MEMINTA MAAF. Iya tidak? Baiklah. Kawan-kawan, aku minta maaf atas kelakuan burukku. Apa pun bentuknya. Terlalu banyak hal ada perbuatan yang bisa membuat orang lain tersinggung atau marah, dan itu mungkin menumbuhkan dendam.
Aku akan berdamai dengan diri sendiri dulu, setelah itu berusaha menghapus dendam.[]
Anwar Holid, masih bermasalah dengan kehidupan.
No comments:
Post a Comment