Monday, September 19, 2011


Hari Vinyl Pertamaku
---Anwar Holid

Selesai menyaksikan Arvan Pradiansyah memotivasi sembilan ribu orang di Istora Senayan, Jakarta, aku secepatnya ke stasiun Palmerah menuju stasiun Rawa Buntu, Tangerang. Hari itu aku juga semangat dengan keramahan Taufiq Rahman mengajak ke rumahnya untuk mendengarkan vinyl. Taufiq adalah co-founder Jakartabeat.net, sebuah situs yang secara virtual menjadi komunitas penggemar musik dan ide-ide humaniora pada umumnya.

Aku dijemput di stasiun, dan begitu membuka pintu mobilnya, terdengar gelegar band AKA yang bernyanyi dalam bahasa Inggris. "Tiap merilis album, minimal mereka menciptakan dua lagu berbahasa Inggris, dan anehnya lagu itu pasti lebih bagus dari lagu Melayu mereka yang menya-menye," terang Taufiq. "Ada sekitar empat belas lagu Inggris ciptaan mereka. Itu cukup untuk bikin kompilasi yang bisa diterbitkan di luar negeri." Lebih informatif lagi cerita dia, AKA juga merilis album berbahasa Jawa maupun irama kasidah---yang sekarang dengan gampang dinilai sebagai "musik religius", benar-benar kontras dengan citra mereka sebagai rocker yang brutal.

Setelah AKA, Led Zeppelin segera muncul. "Kompilasi apa nih?" tanyaku karena urutan lagunya rada aneh. "Ah, ini cd bajakan," kata. Aku ngakak dengar jawabannya.

Aku pertama kali bertemu Taufiq waktu jadi juri "Jakartabeat Music Writing Contest 2011" yang menghasilkan banyak tulisan menarik tentang kondisi musik Indonesia. Tapi ini pertemuan pertamaku untuk melihat-lihat dan menyimak koleksinya.

Aku audiofil kere. Tidak terbayangkan bahwa suatu saat aku punya turntable sekalian dengan vinylnya. Meski sekarang kenal tiga-empat orang yang fanatik vinyl, aku belum punya pengalaman mendengar vinyl secara komprehensif. Aku tumbuh dengan mengoleksi kaset, dulu jumlahnya sampai ratusan, dan setelah itu aku menganggap cd lebih hebat, karena kemasannya memang lebih mewah dan sleevenya bisa berbentuk buku. Aku juga sempat punya puluhan cd yang aku anggap benar-benar istimewa, tapi sekarang bersisa belasan.

Selama pengalamanku mendengar musik, vinyl bukan pilihan. Aku mengganggap vinyl kuno dan ribet. Tapi barangkali yang lebih tepat ialah aku tidak punya akses dan tidak punya turntable. Aku pikir cd merupakan teknologi tertinggi dalam industri musik, paling tinggi derajat dan kualitasnya. Orang seperti Taufiq bisa membantah pendapat ini secara sophisticated apa kelebihan vinyl dibandingkan kaset, cd, maupun mp3 lossless.

Perkenalanku dengan orang sejenis Taufiq membuat aku tahu dunia vinyl membentuk komunitas fanatik yang punya banyak cerita menarik. Seorang kawanku punya vinyl amat langka dengan nilai kolektibel tinggi: cetakan pertama debut album Dara Puspita. Lainnya bilang, waktu pertama kali tergila-gila pada vinyl, dirinya bisa menghabiskan dua juta rupiah per bulan untuk beli piringan hitam. Untung dia segera waras, kalau enggak bisa segera kere. Harga vinyl album Guruh Gypsy bisa mencapai satu juta rupiah. Dengan uang segitu kamu bisa tenggelam dalam segunung cd mp3 bajakan dengan kualitas mengerikan sambil mabuk. Demi Tuhan, jangan lakukan itu!

Memang apa istimewanya mendengar musik via vinyl?


Itu juga pertanyaan terbesarku ketika pertama kali kenal dengan Taufiq beserta kefanatikannya pada vinyl. Aku dari dulu curiga bahwa segala yang berbau fanatisme pasti bersifat fetish. Taufiq tidak menyangkal itu. Dia cerita, sewaktu kuliah S2 di Northern Illinois University, Amerika Serikat, dia dan Philips Vermonte---sang founder Jakartabeat.net---sering dengan antusias mengunjungi toko rekaman yang ada di dekat kampus mereka. Meski tahu bahwa koleksi toko itu tidak setiap hari berubah dan mereka pun hanya bisa beli kalau lagi mampu, toh mereka suka melihat-lihat koleksinya, membicarakan berbagai aspek albumnya, atau mendadak menemukan album legendaris yang sudah lama diincar dengan harga miring. Rasanya seperti orang beragama mengunjungi tempat ibadah. Mungkin memang ada kebutuhan spiritual tertentu yang terpenuhi dengan mendatangi tempat seperti itu. Mirip seorang temanku yang sudah punya ribuan koleksi album---terutama cd dan sekarang beranjak pula ke vinyl---namun masih juga menyempatkan pinjam atau lihat-lihat koleksi musik di Kineruku, Bandung. Mungkin yang ingin dia temui ialah justru sesama kawan yang antusias, nuansa atau scene yang hidup di tempat seperti, bukan semata-mata menambah atau mendengar koleksi lain. Dengan mengunjungi tempat seperti itu hatinya jadi senang dan ada sesuatu dalam dirinya yang terpenuhi.

Salah satu alasan paling indah sekaligus telak ialah konon vinyl merupakan media yang bisa menyimpan rekaman suara mendekati aslinya. Barangkali benar. Pendapat itu disahkan ensiklopedia. Pengalamanku sekitar lima jam mendengar, membuka-buka, melihat-lihat, dan mencoba-coba berbagai album, apalagi boleh dibilang semuanya merupakan album magnum opus atau notable dan dinilai "critically acclaim" oleh kritikus paling tega sekalipun, lantas diputar dengan volume memadai, rasanya para musisi itu langsung main di tempat. Suara dari vinyl memberi pengalaman spasial (meruang) yang hebat dan mengagumkan. Musisi seolah-olah persis ada di depan kita. Rasanya sungguh lain bila dibandingkan mendengar album itu dari versi mp3 dengan bitrate tinggi sekalipun.

Salah satu yang paling aku ingat kemarin ialah mendengar Refused, sebuah band punk yang punya visi bahwa suatu ketika genre itu akan menjadi "hardcore." Begitu diputar, album The Shape of Punk to Come benar-benar nendang, apalagi virtuositas mereka rapi sekali. Begitu selesai, aku langsung janji: "Aku harus punya versi mp3nya!"

Taufiq bukan "banci koleksi", tapi dia sangat selektif. Kebanyakan koleksinya berstatus "cult", seperti halnya Jakartabeat mampu mengenalkan musik yang dinilai di luar jangkauan radar industri musik populer. Jakartabeat sukses membuat menulis musik menjadi hal penting. Tapi yang lebih ambisius lagi ialah Jakartabeat berusaha meruntuhkan ikonoklasme dalam jurnalisme musik. Itu sudah terbukti dari lomba yang mereka buat dan di buku Like This yang banyak direview.

Pengalaman pertama mendengar vinyl hari itu benar-benar mengesankan. Piringan hitan dan jarum itu membuatku bergetar, apalagi aku sudah lama sekali tak mengalami ketakjuban terhadap album sebagai benda seni atau karya utuh yang wujudnya bisa raba dan dirasa-rasa. Like this![]

Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010).

SITUS TERKAIT
http://jakartabeat.net
http://twitter.com/jakartabeat
http://www.facebook.com/profile.php?id=857175555 <--Facebook Taufiq

No comments: