Thursday, June 09, 2016


Harapan
Oleh: Agus Kurniawan

Sewaktu kecil saya menemukan komik strip di koran bekas, yang dipakai sebagai pembungkus belanjaan ibu saya dari Pasar Grabag, suatu kecamatan di pinggiran Kabupaten Magelang. Komik itu berbahasa Jawa, berkisah seperti ini.

Syahdan seorang pejabat kerajaan berpangkat rendah bermuram diri di jalan setapak suatu hutan di tepi kota. Berteriak, memaki, dan menyumpah. Bersamaan itu, berlalulah seorang pengelana tua, berjenggot putih tak terawat dan bersorban dekil. Sang pengelana yang tampak kurang meyakinkan penampilannya itu pun diliputi empati, lalu bertanya.
"Kisanak, apakah gerangan yang membuatmu berduka, marah, hingga mengutuki Tuhan?"
"Ah, kau orang tua tahu apa. Aku ini pejabat. Mau marah, teriak, mengumpat, suka-suka saya... Tuhan itu tidak adil. Aku pejabat yang baik, selalu patuh dan berbakti pada kerajaan, mengapa ditimpakan fitnah yang keji. Salahku apa, dosaku apa."
"Kisanak, sekalipun penderitaanmu berat, tetapi tidak semestinya engkau mengutuki Sang Pencipta. Jika kau tetap menyumpahi-Nya seperti itu, kau akan tertimpa adzab yang lebih besar."
"Hai tua bangka," suara pejabat itu menggelegar bak petir. Kemarahannya makin tak terkendali, apalagi setelah seorang pengelana tua yang tampak bukan siapa-siapa itu mengguruinya. Dicabutnya keris, lalu mengancam, "Kalau kau tak pergi dari sini sekarang juga, ujung kerisku yang akan membuat nyawamu pergi."

Pengelana tua itu pun beranjak, tetapi sambil berucap, "Allah Maha Kuasa, apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi."

Beberapa waktu kemudian, entah mengapa pejabat itu ditimba musibah beruntun, yang teramat pedih, yang jauh lebih berat dari sebelumnya. Persis seperti perkataan pengelana tua itu. Pejabat pun jatuh sakit, dan merasa selalu dihantui oleh perkataan dan wajah sang pengelana. Berbulan-bulan tak kunjung sembuh, sampai seorang kyai tabib menyelidiki asal-muasalnya.
"Kyai, ini semua terjadi karena saya mengancam seorang pengelana tua di hutan..."
"Pengelana? Bagaimana kejadiannya? Coba kau sebutkan ciri-cirinya."
Setelah sang pejabat menceritakan dengan terbata-bata kejadian tempo dulu, dan tentang ciri-ciri sang pengelana yang begitu dihapalnya, kyai itu pun menjerit, "Astaghfirullah. Kau, malang sekali. Itu Sunan Bonang. Kau kena kutukan Sunan Bonang!"

Apakah komik itu ingin bercerita tentang kesaktian Sunan Bonang, salah seorang Wali Songo, ulama maksum yang berperan besar dalam menyebarkan Islam di Tanah Jawa? Folklorenya sih begitu. Tapi, bagi saya, moral ceritanya bukan itu. Komik ini mengisyaratkan tentang satu kata yang termasuk paling penting dalam kehidupan manusia, yakni harapan. Komik itu sama sekali tak bercerita tentang kutukan ulama masyhur itu. Tetapi berkisah tentang kondisi mental seseorang yang berprasangka buruk terhadap kemungkinan. Dampaknya memang dahsyat.

Ketika seseorang secara intensif menganggap dirinya tak mampu melakukan sesuatu, maka 'mental state'-nya akan menjadi seperti itu. Lalu secara tidak nampak, individu itu akan menyesuaikan perilaku dan tindakannya sesuai dengan kondisi mentalnya. Semacam alam bawah sadar. Refleks, otomatis. Bukan sunan yang mengutuk pejabat itu, tetapi dia sendiri yang mengondisikan dirinya ke arah kehancuran.

Masih tentang harapan, saya pernah menonton film epik, Jakob The Liar, dibintangi aktor maestro, Robbin Wiliams. Kisah ini tentang seorang Yahudi tahanan Jerman bernama Jakob, pada masa Perang Dunia II. Dia melata di kamp kosentrasi yang papa, dan terus-menerus berbohong hingga dihukum mati karena kebohongannya. Dia membual memiliki radio--barang terlarang, yang setiap hari mengudarakan pergerakan tentara Sekutu mengganyang Jerman. Tentu dia tak punya radio, tetapi terus saja berbohong. Mengapa? Bualannya ternyata melimpahkan semangat hidup yang tiada banding kepada seluruh penghuni kamp. Pernah sekali dia jujur, lalu fatal akibatnya. Teman baiknya di kamp mati gantung diri, merasa tak punya lagi harapan hidup. Jakob berbohong untuk memasok harapan.


Adakah sesuatu yang lebih penting dan langka ketimbang harapan, pada saat penderitaan dan kematian akrab berkarib? Dan harapan itu nyatanya memang menyelamatkan teman-temannya dari penderitaan, dari kematian yang tak perlu.

Harapan telah bertakhta agung dalam setiap kisah zaman. Bangsa Yunani, misalnya, memiliki legenda tentang ini. Kita mengenalnya sebagai hikayat Pandora. Konon, Pandora adalah perempuan pertama di dunia, yang dilimpahi beragam anugerah oleh para dewa: kecantikan, kepandaian, kelembutan, hasrat, dan juga nyanyian merdu. Tetapi dia sesungguhnya diciptakan sebagai petaka bagi sang terhukum, Promotheus, yang lancang mencuri api dari haribaan Zeus, tetua para dewa. Oleh mereka, Pandora yang molek itu dititahkan untuk menggoda lalu menikahi kakak Promotheus yang memang dianggap pendek akal, yakni Epimetheus. Promotheus sudah memperingatkan kakaknya agar menolak hadiah dari Zeus--"pandora" juga berarti hadiah. Tapi sang kakak tak menghiraukannya. Mana bisa menolak hadiah perempuan jelita yang tak ada duanya di Bumi.

Padahal sesungguhnya Pandora telah dibekali sebuah "bom" oleh para dewa, yang akan diledakkannya di depan Epimetheus. Dan benar saja, begitu sampai di depan calon suaminya, Pandora pun membuka "bom" itu, sebuah kotak berisi segala bentuk kejahatan dan keburukan, tetapi juga harapan. Alhasil, bumi yang semula tanah surgawi, replika citra kahyangan, yang bisa dinikmati tanpa perlu bersusah-susah, mendadak menjadi tempat yang buruk, dekil, dan menyesatkan. Pandora hanya menyisakan satu saja di dalam kotak itu, yang kemudian disimpannya rapat-rapat sebagai pusaka, yakni harapan. Hanya harapan yang tersisa di dalam kotak, sebuah modal awal dari perjuangan menaklukkan dunia yang buruk dan menyesatkan itu.

Suatu sore Faiza, si bungsu anak saya yang lagi gemar-gemarnya melahap ensiklopedia, bercerita dengan gayanya yang agak show-off. 
"Ayah, kenapa bangsa Indonesia itu jadi bangsa yang menyedihkan, ya?"
"Maksudnya?"
"Kan Allah sudah memberikan berbagai kekayaan kepada kita. Misalnya cadangan emas, sekian juta kilo (dia menyebut angka yang diambil dari bacaannya). Terus laut yang luas, yang produksi ikannya sekian juta ton (dia menyebut angka). Mengapa bangsa kita tetap miskin dan terbelakang?"

Sudah tentu saya harus menjawab pertanyaan itu setidaknya sama atau lebih baik dari Jakob. Saya mustahil mengiyakan pesimisme si kecil yang bisa jadi akan mematri menahun. Lalu saya pun bercerita tentang tanah-tanah subur yang merangkai kepulauan nusantara ini. Kelak tanah ini akan menghasilkan energi terbarukan yang tak dimiliki oleh banyak bangsa lain, sekalipun itu bangsa-bangsa besar. Jagung atau singkong kita kelak akan memasok bahan bakar biologis ke seluruh dunia, menggantikan BBM jika sudah terkuras habis. Makanan kita akan memenuhi pasar-pasar negara manca karena kita memiliki tanah yang subur. Listrik kita juga akan melimpah, karena kita memiliki sinar matahari dan angin meruah, untuk menggantikan listrik konvensional.
"Jadi, nanti negara kita akan jadi negara maju, Ayah?"
"Tentu. Tentu saja, anakku."

Sambil menyembunyikan mata saya yang berkaca-kaca, saya teringat sebuah hadist qudsi, yang bunyinya, "Aku (Allah) sesuai persangkaan hamba-Ku."[]

Agus Kurniawan, seorang karyawan. Bekerja di Jakarta, tinggal di Banjaran, Kab. Bandung.

No comments: