Wednesday, July 19, 2017



Memetik Hasil Gerakan Literasi Banding
Oleh: Wawan Eko Yulianto

Judul: Suara dari Marjin: Literasi sebagai Praktik Sosial
Penulis: Sofie Dewayani dan Pratiwi Retnaningdyah
Penerbit: PT Remaja Rosdakarya
Cetakan: I/Mei 2017
Tebal: 234 hal.
Harga: Rp78.500,-

Buku yang menyegarkan dan menyadarkan. Biarkan kalimat itu mengawali postingan ini. Buku karya bersama Sofie Dewayani dan Pratiwi Retnaningdyah ini pertama-tama akan membuat kita tidak “lupa diri” di tengah gegap-gempita gerakan literasi dewasa ini. Tentu “lupa diri” di sini harus diberi tanda kutip, karena sedikit pun saya tidak bermaksud bahwa gegap-gempita literasi dewasa ini adalah sesuatu yang melenakan secara negatif. Namun, tetap harus kita sadari bahwa bahkan segala yang bagus bisa membuat kita lupa diri kalau tidak kita kritisi dulu. Buku ini punya sikap yang demikian. Dia mengajak kita merayakan literasi, sambil tetap berpikir kritis lazimnya seorang literat.

Suara dari Marjin ini adalah olah ulang hasil penelitian terpisah untuk disertasi kedua penulisnya. Sofie Dewayani mengadaptasi disertasinya yang membahas literasi di kalangan “anak jalanan” di kawasan Pasundan, Bandung. Sedangkan Pratiwi Retnaningdyah mengadaptasi disertasinya mengenai praktik literasi di kalangan Buruh Migran Indonesia (BMI), khususnya yang bekerja (atau pernah bekerja) di Hong Kong. Pada intinya buku ini menegaskan argumen yang banyak disuarakan para teoretikus Kajian Literasi Baru, yakni bahwa literasi bukan hanya seperti lazimnya yang kita pahami di sekolah–yaitu kemampuan membaca, menulis, dan berpikir kritis sesuai metode dan praktik formal–tapi juga bisa terjadi melalui praktik informal, berlandaskan praktik keseharian, memiliki tujuan akhir yang lebih relevan dengan keseharian pelakunya.

Konsep-konsep Kajian Literasi Baru dalam buku ini bisa terlihat dalam sejumlah kata kunci yang disampaikan penulis pada bagian pendahuluan, analisis, dan kesimpulan buku ini. Konsep dari para pemikir seperti Paulo Freire, Pierre Bordieu, dan lain-lain tersebut antara lain adalah “literasi ideologis,” “habitus,” “kapital budaya,” dan “teks kultural.” Konsep-konsep ini pada hakikatnya menyatakan bahwa usaha penumbuhan literasi seyogyanya juga membantu membangunkan kesadaran akan diri si pelaku, dan hal ini bisa terlaksana dengan memahami lingkup sosial mereka, sehingga pada akhirnya praktik literasi akan mengentaskan mereka dari kemiskinan atau ketertindasan. Untuk melakukannya, praktik literasi ini mengidentifikasi hal-hal yang paling vital dalam memperbaiki harkat hidup si pelaku serta menggunakan elemen kultural yang ada dan dekat bagi para subjeknya.

***
Sofie dan Pratiwi menerangkan dengan gamblang teori-teori fundamental ini pada bagian awal buku, kemudian mengulangnya kembali untuk menjelaskan hasil temuan mereka dari studi etnografis di kalangan buruh migran di Hong Kong dan anak-anak yang bekerja di jalan. Dari penjelasan mereka kita mendapati bahwa di kedua komunitas marjinal tersebut terjadi praktik literasi yang menegaskan konsep-konsep yang saya singgung di atas.

Lebih konkret, di kalangan BMI, kita bisa mendapati upaya pendidikan literasi yang tidak begitu lazim--baik dilakukan secara mandiri maupun dengan bantuan tokoh dari luar--menggunakan sumber daya terdekatnya bertujuan meningkatkan harkat hidup mereka. Di antara kasus yang dibahas Pratiwi, kita bisa melihat kisah Rie rie, seorang BMI asal Jawa Timur yang mengajar dirinya sendiri blogging hingga akhirnya dia banyak membuahkan tulisan menggambarkan adanya kehidupan tidak lazim BMI di Hong Kong, mengubah citra BMI yang cenderung dipandang rendah karena pekerjaan mereka sebagai pembantu rumah tangga. Bahkan, buah dari praktik literasi ala Rie rie ini akhirnya juga dia tularkan kepada para BMI lain melalui pelatihan-pelatihan blogging dan kepenulisan. Masih ada beberapa kisah lain dari bagian ini, termasuk kita Mbak Ani, seorang mantan BMI yang menjadikan pekerjaan BMI sebagai langkah awal mendapatkan modal untuk mengejar pendidikan tinggi dan bahkan berkarya sebagai pembuat film yang cukup disegani.

Dari studi Sofie mengenai praktik literasi di kalangan anak-anak yang bekerja di perempatan Pasundan, kita bisa mendapati keberhasilan praktik literasi tidak lazim yang dilakukan oleh Bu Sri dan LSM Pelangi. Menurut pengamatan Sofie, Bu Sri yang mendirikan dan mengelola PAUD Bestari banyak menjalankan praktik yang selaras dengan konsep Literasi Baru, yang jelas terlihat sejak awal dengan tujuan mulianya untuk menghindarkan anak-anak balita dari ikut turun ke jalan bersama teman-teman dan–terutama–keluarga mereka sendiri (=inilah inti dari literasi ideologis). Dalam praktik pengajarannya pun Bu Sri menyadari potensi pemahaman “teks kultural” yang telah dimiliki anak-anak, kemudian mengoptimalkannya guna membuat anak-anak nyaman dalam belajar di PAUD yang serba diliputi keterbatasan. Demikian pula dengan praktik yang dilakukan oleh LSM Pelangi, upaya mereka dalam memberi pendampingan belajar bagi “anak-anak jalanan” membantu anak-anak mendapatkan ijazah Kejar Paket A, yang merupakan satu syarat minimal demi mendapat pengakuan untuk dapat bekerja di pabrik. Dalam usahanya ini, LSM Pelangi juga menyertakan kegiatan yang membantu “anak-anak jalanan” lebih memahami identitas mereka, misalnya melalui kegiatan penulisan kreatif tentang cita-cita mereka.

***
Dari pengamatan etnografis atas praktik literasi di lingkup marjinal, kita mendapati kesimpulan yang perlu dipertimbangkan di tengah demam literasi dewasa ini. Satu hal yang paling penting adalah bahwa gerakan literasi hendaknya tidak dipahami hanya sebagai suatu gerakan yang menumbuhkan minat baca, tulis, dan berpikir kritis yang dilakukan secara formal dengan pola seragam dari atas (dalam Kajian Literasi Baru dikenal sebagai literasi otonom). Namun, upaya literasi bisa berlangsung di mana saja, dengan cara berlainan, dan bertujuan riil meningkatkan harkat hidup pesertanya (literasi ideologis). Simpulan lainnya adalah upaya literasi di lingkup formal (sekolah) hendaknya mempertimbangkan elemen-elemen yang berhasil tersebut, misalnya dengan menyertakan elemen kultural dari kehidupan sehari-hari pelakunya dan dengan cara yang lebih ramah terhadap keberagaman minat peserta didik. Tentu saja berbagai upaya literasi informal itu juga sudah sejak awalnya mengintegrasikan elemen-elemen literasi otonom di dalamnya. Intinya, banyak hal dari upaya literasi ideologis (atau “literasi banding”) yang bisa dipetik bagi kita yang saat ini dilanda demam literasi dan mungkin tanpa sadar hanya menjalankan elemen-elemen literasi otonom atau formal.

Tentu masih ada simpulan-simpulan lain yang bisa dibicarakan mengenai buku tersebut. Namun, saya akhiri posting tentang buku Suara dari Marjin karya Sofie Dewayani dan Pratiwi Retnaningdyah sampai di sini.

Salam literasi 1438 H![]

Wawan Eko Yulianto, dosen, tinggal di Malang; blogger di http://timbalaning.wordpress.com