Eksplorasi Sosial dan Eksperimen yang Menggugah
Oleh: Anwar Holid
Penulis: Anggit Rizkianto
Penerbit: MCL Publisher, 2024
Tebal: 284 hlm.
ISBN: 9786235915449
Di bulan Ramadan tentu relevan jika kita mengajukan bacaan bernuansa Islam atau menyangkut kehidupan orang Muslim. Entah sengaja atau kebetulan, seluruh cerpen di buku Pelayaran Terakhir karya Anggit Rizkianto (MCL, 2024) ini berkaitan dengan kehidupan orang-orang Islam, meskipun bisa jadi muatan agamanya sangat tipis dan lebih tersirat dalam kebiasaan atau latar kehidupan sehari-hari. Alasan ini saja sudah membuat buku ini pantas direkomendasikan. Muatan cukup eksplisit misalnya terasa di cerpen "Pilkada di Kampung Lada." Cerpen ini mengetengahkan pertentangan antara seseorang yang berusaha taat menjalankan ajaran agama, tapi malah banyak berdampak buruk pada kehidupan dan sosial, terutama pada orang-orang terdekatnya.
Kik Saman pulang kampung setelah merantau di Jawa. Dia kembali setelah istrinya meninggal dunia dan mengundurkan diri dari pekerjaan yang dianggapnya tidak Islami (tidak berkah.) Di kampung dia menikah lagi, jadi petani lada, dan jadi guru ngaji di masjid yang sesuai dengan keyakinannya. Dia sering berkonflik dengan masyarakat setempat, meskipun di sisi lain dihargai dan dianggap sangat paham ilmu Islam. Dia melarang istrinya jualan rokok, menolak bersalaman setelah salat, tidak mau mengumandangkan azan saat penguburan jenazah, tidak mau tahlilan, mengecam budaya yang dianggap musyrik, namun membayar rendah upah kerja ipar yang mengerjakan kebun. Dia terlibat kampanye untuk tidak memilih kepala daerah non-muslim, tapi setelah kandidat yang didukungnya menang, marbot di masjidnya kehilangan gaji bulanan sehingga urusan masjid banyak terlantar.
Cara bertutur Anggit terasa tenang, mengalir stabil, membuat pembaca terseret untuk terus mengikuti narasi hingga akhir. Dia memiliki daya tarik tersendiri, mampu mengubah hal-hal biasa menjadi narasi yang memikat. Karena cerita-ceritanya banyak yang tragis dan melankolis, suasana yang dihasilkan kerap menorehkan perenungan atas kesedihan nasib manusia. Anggit paling menyimpan kejutan di ending cerita sering dibiarkan terbuka, sedikit menyisakan pertanyaan dan kesan menggantung yang memancing pembaca untuk berpikir lebih jauh.
Semua cerpen di buku ini termasuk kategori long short-story (cerpen panjang), sehingga terasa kompleks dan menawarkan eksplorasi lebih luas dibanding cerpen biasa. Pendekatan ini memungkinkan Anggit menggali lebih dalam karakter dan situasi yang diciptakan, termasuk bereksperimen dengan teknik penulisan "cerita dalam cerita" — misalnya di cerpen "Tamu."
Cerpen-cerpen dalam kumpulan ini sarat dengan nuansa lokal Indonesia, khususnya kehidupan masyarakat Pulau Belitung. Anggit menampilkan kekayaan budaya dan keragaman hayati daerah tersebut dengan baik, mencakup detail seperti jenis makanan khas, ikan, dan tumbuhan yang menjadi bagian integral cerita. Latar sosial-budaya bukan sekadar tempelan, tetapi diungkapkan dengan rinci dan berperan penting sebagai elemen pendukung narasi, memperkuat atmosfer dan konteks cerita. Di luar Belitung, Anggit menghadirkan kisah berlatar urban Surabaya.
Fokus cerpen kebanyakan menyinggung kehidupan masyarakat biasa, kelas pekerja, dan kelompok lemah. Pilihan ini membuat isu yang muncul mencerminkan realitas yang kuat, bahkan di sana-sini memunculkan petisi pada ketidakadilan, misalnya atas nasib wanita atau konflik yang lahir karena perbedaan ras (etnis). "Lelaki Patah Hati yang Membela Tauhid" menghadirkan fakta keras betapa seorang pemuda Jawa gagal menikahi gadis pujaannya karena ditolak keluarga calon istri yang keturunan Arab. Pemuda ini menggugat, meski Islam mengajarkan kesetaraan manusia, tetap ada pemisah yang terlalu berat untuk dirobohkan.
Cerpen "Pelayaran Terakhir" yang dijadikan pengikat buku ini, menghadirkan Asna menanti kepulangan suaminya dari pelayaran terakhir setelah puluhan tahun jadi pelaut. Usai pulang kampung, tak lama kemudian sang suami meninggal dunia. Waktu menjelang Idul Fitri, Asna tetap menganggap suaminya masih hidup. Dia menyiapkan masakan yang banyak untuk keluarganya, meski kedua anaknya juga tidak bisa mudik karena ada Covid-19. Masakan itu dibagi-bagikan ke tetangga dan pengontrak rumahnya. Di malam takbiran, setelah salat Isya, Asna tertidur dan mimpi seperti menyambut suami dan anak-anaknya pada datang pulang mudik. Dia sadar oleh azan Subuh, tapi sebenarnya tidak ingin bangun selama-lamanya. Di tangan Anggit, paduan penantian, harapan, dan kesedihan itu menghadirkan suasana realisme magis yang sangat menggugah.
Sebagai debut fiksi, Pelayaran Terakhir sungguh tidak mengecewakan. Secara keseluruhan, buku ini cocok bagi pembaca yang menghargai narasi eksploratif dengan sentuhan budaya dan realitas sosial yang tajam. Akmal Nasery Basral, prosais yang membaca awal naskah ini memberi endorsement: "Kumpulan cerpen ini menunjukkan Anggit Rizkianto sebagai pengamat sosial yang jeli dan pecinta estetika yang murni. Dia mencoba menyeimbangkan kadar dua elemen itu dalam semua karya yang tersaji." Di review singkatnya, begini komentar Ivan Lanin atas kumpulan cerpen ini: "Alur tiap cerita cukup cepat dengan narasi yang mengalir, enak dibaca, dan mudah dipahami. Deskripsi yang diselipkan di sana-sini membuat saya membayangkan adegan yang terjadi. Dialog dibubuhkan dengan cukup tepat. Anggit tampak ingin mengangkat satu topik untuk direnungkan pembaca melalui cerita-ceritanya."[]
Anwar Holid, bekerja sebagai editor dan penulis. IG: @anwarholid.
No comments:
Post a Comment