Thursday, August 21, 2008



Apa yang Membuat Tempat Berarti?

---Anwar Holid


move to another town
try hard to settle down

---Peter Gabriel


Tom Abercrombie, seorang jurnalis-fotografer National Geographic, pada 1956 dikirim ke Lebanon, negeri luar pertama yang dia kunjungi selain tanah kelahirannya, Amerika Serikat. Dari sana dia meliput negeri-negeri Arab, sampai akhirnya pernah menginjakkan kaki ke semua benua, termasuk menjadi dua jurnalis pertama yang mencapai Kutub Selatan pada 1957. Perjalanannya ke negeri-negeri Muslim mempengaruhi keyakinannya, sampai akhirnya pada 1965 dia memeluk Islam.

Sebelum pergi ke Mekkah untuk naik haji, Malcolm X berpandangan rasis terhadap bangsa kulit putih. Namun begitu pulang dari sana ia jadi sama sekali berubah. "Aku sadar bahwa ras yang semua berbeda setara di hadapan Tuhan." Setelah banyak mengunjungi daerah kepulauan di negerinya sendiri, Indra J. Piliang berpendirian: "Indonesia nyatanya tidak seperti yang kita baca lewat informasi buku dan media." Pandangan Karen Armstrong, seorang komentator agama, juga banyak berubah setelah mengunjungi Yerusalem untuk keperluan program televisi tentang tempat-tempat bersejarah agama yang waktu itu dia pegang.

Pada 1977 Ahmad Thomson, seorang pengacara Inggris, memutuskan jalan kaki dari London, Inggris di benua Eropa menuju Mekkah, Saudi Arab, kawasan Timur Tengah dia untuk menunaikan ibadah haji. Beserta dua temannya dia melintasi kota demi kota dalam suatu perjalan yang berat demi menunaikan ibadah sebagaimana perintah agama baru yang diyakininya. Ketegaran dia dalam perjalanan itu terpancar dalam spirit bukunya: The Difficult Journey.

Dalam Into the Wild Jon Krakauer mereka-reka ulang rute petualangan nekat Christopher McCandless, atlet dan mahasiswa brilian dari Universitas Emory, Atlanta, Amerika Serikat. Begitu lulus pada 1990, Chris berhenti bicara pada keluarga, menyumbangkan tabungan sebesar US$24,000 ke OXFAM (sebuah LSM), dan memulai perjalanan panjang tanpa diketahui siapapun. Di tengah perjalanan dia meninggalkan mobil dan membakar semua sisa uang dalam dompetnya. Menyusuri dataran AS kurang lebih dua tahun lamanya, petualangan itu mempertemukan dia dengan beberapa orang unik yang mengubah hidupnya sebelum berhadap-hadapan melawan bahaya di dalam hutan belantara.

April 1992 Chris mendapat tumpangan dari Jim Gallien sampai di Stampede Trail, Alaska---wilayah negara bagian AS paling dingin karena sudah masuk kawasan Artik. Dalam perjalanan di alam liar itu dia disergap salju, bekalnya hanya buku harian, beras 10 pound, senapan angin kaliber kecil, beberapa kotak peluru, alat kemping, dan beberapa buku, di antaranya panduan lapangan untuk tanaman setempat yang bisa dimakan. Dia tak berbekal peta atau kompas. Di sana dia menikmati hidup di alam yang benar-benar liar, menyatu dengan salju, gunung, pohon, dan kesunyian. Menurut Krakauer, kira-kira setelah bertahan 112 hari, tubuhnya ditemukan telah membusuk oleh pemburu moose.

Dalam Y tu mamá también (Alfonso Cuarón), perjalanan Julio dan Tenoch demi menemukan pantai utopia malah berakhir buruk. Setelah berkawan lama dengan sangat akrab, perjalanan itu membongkar aib masing-masing, lantas secara mengejutkan melahirkan peristiwa yang amat mengguncangkan diri masing-masing. Setelah pulang, mereka jadi kawan yang menolak bertegur sapa.

Michael K menuju tanah kelahiran ibunya lewat jalan semak-semak, menyusuri pinggiran desa, masuk perbukitan, dan melintasi gunung untuk menghindari perang yang berkecamuk dan pemerasan tentara di jalan umum. Orang mungkin pergi ke suatu tempat; tapi mungkin itu pilihan karena ia dibuang, nyawanya diancam, atau kalah secara politik. Orang bisa jadi sulit mudik ke kampung halaman dan memutuskan tinggal di kota yang dia singgahi karena khawatir akan di penjara oleh rezim penguasa, atau urusan administrasi dengan negara berubah runyam dan menganggap dia pesakitan.

Apa yang dicari Chris, Thomson, Abercrombie, Michael K, dan semua avonturir? Chris boleh jadi mencari jalan asketik sebagaimana tersirat dalam tulisan Leo Tolstoy, Henry David Thoreau, dan Jack London yang jadi favoritnya. Ketiga penulis ini pun menjalani hidup sederhana kembali ke alam. Haruskah orang jadi begitu nekat untuk pergi dan bertualang? Orang bisa memilih perjalanan yang lebih selamat dan menyenangkan, kalau perlu bahkan penuh kenang-kenangan dan oleh-oleh. Kita mungkin tak tahu kini ada seorang pejalan yang tengah menjelajahi jalan-jalan kumuh di kota negara dunia ketiga, gurun, hutan belantara, atau malah tersesat di antara perang sipil di sebuah negeri asing.

Apa perjalanan benar-benar bisa mengubah seseorang? Sulit dibantah. Namun, becermin pada Immanuel Kant dan Henry David Thoreau, dua tokoh yang tak pernah meninggalkan kota kelahirannya, ternyata orang tak perlu bepergian dari kota kelahirannya untuk jadi dihormati dengan reputasi terpandang di mana-mana; namun sebaliknya, sebagian orang menempuh perjalanan karena berbagai alasan, mulai dari penjelajahan, petualangan, maupun pengusiran.

Petualangan dari tempat ke tempat hingga kini terus berlangsung. Sebagian dilakukan dengan nyaman sebagai turis berkantong tebal, ditemani biro pariwisata, dihormati negara karena mendatangkan devisa. Sebagian dilakukan dengan ngegembel sebagai backpacker. Mereka hanya berbekal tas punggung berisi kebutuhan hidup minimal, tidur di mana saja, kadang-kadang bahkan dikejar-kejar aparat negara atau dituduh imigran gelap.

Namun tanpa menginjakkan kaki sama sekali di dunia nyata, orang pun bisa pergi ke mana-mana sesuka hatinya, bahkan ke tempat imajiner. Film Matrix dengan sempurna memungkinkan hal itu. Google Map bisa menolong orang mengantarkan memasuki lorong-lorong yang sulit dibayangkan oleh pencopet sekalipun. Contoh klise kota imajiner ialah Macondo yang didirikan keluarga Buendia pada 1820-an di Amerika Latin, sampai akhirnya hancur pada 1920-an karena topan badai, sebagaimana ditulis Gabriel Garcia Marquez. Sedangkan dalam Invisible Cities Italo Calvino menulis kisah tentang kota-kota gaib yang disinggahi Marco Polo di wilayah kekaisaran Kubilai Khan. Kota-kota dalam buku itu sering mengilhami rancangan para arsitek.

Apa beda substantif antara tempat yang nyata ada, bisa didatangi orang, dengan tempat dalam imajinasi, yang bisa dijelajahi orang dengan pencerapan? Ini mungkin pertanyaan sulit bagi mereka yang yakin bahwa pengalaman langsung mustahil diganti dengan pengalaman hiperealitas. Dengan cara tertentu, mistikus melakukan perjalanan ke alam khayal. Meski mungkin hanya suatu "penglihatan", seseorang bisa dibawa ke padang asing, luas, sendiri, mendebarkan. Mungkin dia kesulitan memastikan tempat seperti apakah itu dan kenapa dia bisa berada di sana. Tempat itu seperti dipenuhi gunung karang merah besar-besar, jurang tajam, dan gurun. Ketika bangun ke alam dunia, tahu-tahu perjalanan itu membuat rambutnya ubanan atau tangannya benar-benar terbakar.

Apa yang membuat tempat berarti? Apa pergi merupakan cara terbaik untuk mendapat sesuatu? Ada orang yang pergi ke luar negeri dengan segumpal rasa bangga di dada, menganggap itu prestasi yang sulit disamai kebanyakan kawannya; namun ada orang yang merantau sampai ke luar negeri secara nekat dengan menyelundup ke dalam perahu dan jadi buruh nelayan. Samuel Mulia menulis: "Apakah memang ada sensasi lain mengatakan pergi ke luar kota dan ke luar negeri? Secara tidak langsung, saya ingin dikenal sebagai orang yang punya gengsi, yang pernah ke kota kondang itu. Dan, kemudian mengharap bahwa orang lain berpikir, saya juga kondang dan bergengsi. Menyebut nama-nama kota itu bisa membuat orang lain berpikir saya adalah manusia internasional."

Hegarmanah, Cidadap, Bandung, boleh jadi sama menariknya dengan Sukadana, Mumbay, Soweto, Timbuktu, dan setiap tempat di manapun kalau orang bisa menemukan hal terbaik yang layak diceritakan. Orang tertarik masuk Bosnia, Darfur, Lebanon, Iraq persis karena di sana terjadi konflik dan krisis kemanusiaan. Orang juga bisa tertarik Jakarta, Sao Paulo, karena kekumuhan dan kegawatannya. Norman Lewis pada 1990 menulis perjalanannya ke Wamena, Irian Jaya, bertemu suku Dani yang mengenakan koteka merupakan pengalaman terhebat yang pernah dia lakukan tahun itu. Di Among the Believers dan Beyond Belief V.S. Naipaul menulis tentang orang-orang Muslim Indonesia. Mengutip Naipaul, Mula Harahap menulis: "Saya tidak merasakan adanya perbedaan yang berarti antara menulis novel dan menulis kisah perjalanan. Saya hanya mau bercerita dan menulis apa yang saya pikirkan serta rasakan."

Orang bisa pergi bahkan dalam mimpi; atau memang sungguh-sungguh pergi ke tempat atau ruang lain begitu nafas berhenti.[]

Anwar Holid, tinggal, tumbuh, dan berkarya (paling lama) di Bandung.

Dead Poets Society
Membaca Film dalam Buku

Oleh: Septina Ferniati


Ketika Harry Potter difilmkan, saya, suami dan anak saya menyambutnya dengan antusias. Kami menyukai novel karya J.K. Rowling tersebut, karena ceritanya seru, menegangkan, dan disukai anak saya. Begitu seringnya saya membacakan ceritanya menjelang ia tidur, hingga suatu hari ia bilang: “Bu, Lalang sudah bisa bilang 'ermayoni' lho!” Hasil adaptasi dari Harry Potter pertama yang jumlah halamannya 382 menjadi 1,5 jam pasti merupakan hasil kerja keras yang rumit, karena terjadi penyederhanaan setting dan peristiwa. Ketika menonton film, kita tinggal duduk diam dan serius mencerna kejadian-kejadiannya. No sweat, kata orang. Meskipun ada juga film-film yang membutuhkan pemikiran mendalam, seperti film Hiroshima, Mon Amor yang difilmkan dari naskah karya Marguerita Duras. Tetapi ketika membaca, kita harus berusaha lebih keras untuk memahami dan berimajinasi dengan pikiran dan wawasan kita. Bayangkan kesulitan yang kita alami ketika membaca sebuah buku dan mencoba memahaminya dengan baik, syukur-syukur bila kemudian bisa kritis terhadap bacaan itu.

Hal sebaliknya saya alami terhadap Dead Poets Society (DPS). Saya mendapatkan novel itu sebagai hadiah dari paman terdekat. Disutradarai Peter Weir, naskah filmnya adalah karya Tom Schulman yang pada 1989 mendapat Academy Award (piala Oscar) sebagai naskah film terbaik. Kemudian N.H. Kleinbaum mengadaptasinya menjadi sebuah novel. Agak mengejutkan bagi saya, karena buku hasil adaptasi film agak jarang ditemui. DPS dibintangi Robin Williams, Ethan Hawke dan Robert Sean Leonard, seorang spesialis aktor drama Broadway yang bermain sangat cemerlang di film ini. Menurut seorang kawan, di luar negeri sudah lazim sebuah film sukses kemudian dinovelkan; salah satu contohnya adalah novel The Piano. DPS adalah hasil adaptasi Kleinbaum yang ke tiga, setelah Growing Pains dan D.A.R.Y.L. Artinya dari film diadaptasi menjadi novel, bukan sebaliknya seperti yang sering kita temui selama ini, misalnya film The Firm yang dibintangi Tom Cruise yang merupakan hasil adaptasi novel karya John Grisham dan film The Color Purple yang diperankan oleh Whoopy Goldberg yang juga hasil adaptasi novel karya Alice Walker. Apakah lantas kerja Kleinbaum menjadi lebih mudah? Atau sebaliknya?

Saya mencoba membayangkan kesulitan Kleinbaum mengangkat kisah dari layar lebar menjadi sebuah novel, karena bahasa visual/bahasa film jelas-jelas berbeda dari bahasa tulis. Ada beberapa hal seperti suasana, perasaan-perasaan hati seseorang yang kemungkinan susah digali ke dalam bahasa tulis kecuali dinarasikan/dipaparkan. Dalam film selalu ada setting peristiwa ketika seseorang merenung, tertegun atau tertekan, yang kesemuanya sangat mungkin sulit dibahasakan. Tetapi Kleinbaum mencobanya, dan sejauh ini berhasil melakukannya.

Ia, misalnya, berhasil membuat pembaca novel tidak terlalu kehilangan poin-poin peristiwa penting dalam novelnya, karena paparannya nyaris sama dengan setting dalam film. Kejadian-kejadian saat Keating mulai mengajar dengan gaya unik dan berbeda digambarkan sama walaupun sedikit lebih panjang dari setting dalam film. Begitu pun ketika Neil berperan sebagai Puck dalam sebuah sandiwara antarsekolah, kejadiannya tidak terlalu berbeda, baik dalam film maupun novel. Ketika Charlie yang spontan senantiasa berlagak untuk mendapat perhatian orang lain, Kleinbaum benar-benar berhasil memaparkannya dalam novel, sama baiknya dengan Charlie dalam film. Hampir semua kejadian dalam film berhasil dinarasikan ke dalam bahasa tulisan, meskipun Kleinbaum harus lebih dalam menggali kalimat-kalimat dalam novelnya untuk bisa dengan baik memaparkan suasana hati para tokoh dalam filmnya. Itu bukan pekerjaan yang mudah, tentu saja, dan ia boleh berbangga hati karena cukup berhasil melakukannya.

Dalam novel ada peristiwa ketika salah satu anggota Dead Poets Society, si pendiam Todd, menangisi kematian sahabat sekaligus pemimpinnya. Ia menangis dengan perasaan kehilangan dan luka teramat dalam. Tetapi yang menarik, adegan dalam film berbeda sama sekali dengan peristiwa yang terjadi di dalam novel. Dalam film digambarkan bagaimana Todd menahan tangisnya hingga tubuhnya sakit, dan ia berlari ke tengah hamparan salju yang turun deras sambil menangis menjeritkan nama sahabatnya. Dalam novel, yang terjadi adalah Todd menangis hingga dadanya mau pecah menahan sesak perasaan dan duka teramat dalam dalam kamar mandi. Jelas terjadi perbedaan peristiwa dalam novelnya.

Ada juga salah satu peristiwa penting dalam film yang tampaknya berbeda dipaparkan ke dalam bahasa tulis, yaitu ketika Todd versi novel menolak menandatangani surat pernyataan bahwa ia telah diprovokasi gurunya, Keating, untuk menjadi anggota DPS yang secara tidak langsung menjadi penyebab kematian Neil, dan karenanya Keating harus berhenti mengajar, padahal ia tahu mengajar bagi Keating adalah hidup. Ketika ayahnya yang gusar bertanya padanya, “What do you care about him?” Todd menyahut keras, “What do you care about me? He cares about me! You don't!” Tidak ada dialog itu dalam film, yang terjadi justru ambiguitas, kesan bahwa Todd tidak menandatangani surat pernyataan itu sama kuatnya dengan kesan Todd menandatanganinya.

Bagi saya, membaca DPS jauh lebih mengasyikkan, karena saya merasa lebih terikat dengan tokoh-tokohnya tinimbang jika saya menonton filmnya. Terasa sesuatu mencekam hati ketika Neil memulai prosesi bunuh dirinya yang sakral sekaligus tragis, membuat hati saya terasa sakit ketika ia melakukannya. Dalam film, adegan itu terasa lebih singkat dan tidak terlalu dalam. Mungkin karena kegundahan-kegundahan hatinya dengan jelas dan gamblang terpaparkan dalam novel, memudahkan kita untuk membayangkan, merasakan kesedihan-kesedihannya dan larut dalam pusaran perasaan itu.

Perbedaan-perbedaan itu tidak lantas menjadikan saya bingung, tentu saja. Saya hanya bertanya-tanya sedikit, begitukah yang terjadi bila film coba “ditafsirkan” menjadi sebuah novel? Ada beberapa hal yang hilang, ditambahkan atau dibiarkan tetap sama. Mungkin Kleinbaum mencoba berpikir praktis seperti misalnya dalam adegan Todd menangis dalam kamar mandi alih-alih di tengah hujan salju pada subuh pagi. Kalau ia ingin menceritakan Todd menangis di tengah-tengah salju di luar sekolah, mungkin ia harus agak repot menceritakan cara Todd dan teman-temannya yang keluar sekolah sepagi itu. Di sekolah seketat Welton, agak bisa dipastikan bahwa izin akan merupakan hal yang lumrah dilakukan, apalagi untuk keluar lingkungan sekolah.

Sastra bisa menjadi sesuatu yang mencengangkan. Pertama kali Keating mengajar, ia menyuruh siswa-siswanya merobek buku tentang teori puisi yang ditulis oleh Pritchard, karena menurutnya, menulis bukan saja definisi, bunyi, atau rima, melainkan pengalaman batin dan serangkaian kata bermakna yang membekas dalam diri mereka masing-masing. Todd yang sangat pendiam pun pada akhirnya mampu mengeluarkan kata-kata yang berasal dari dalam hatinya, hal mana sangat sukar dilakukannya. Awalnya mungkin mereka menyukai sikap Keating yang revolusioner, lama-kelamaan mereka larut dalam petualangan kata-kata indah yang mampu membuat mereka menyelami hidup lebih dalam lagi. Mereka tahu yang harus mereka lakukan dan menjadi mudah mengekspresikan perasaannya.

Dead Poets Society memang bukan cerita kacangan, ia sastra yang indah dan memesona, apalagi dengan adanya larik-larik puisi dari Shelley, Tennyson, Keats dan Whitman. Saat membacanya, saya seolah dibawa menuju suatu dunia bebas tanpa tekanan yang mengasyikkan, di mana saya bebas mengekspresikan perasaan, dan timbul gairah menggelora terhadap kehidupan. Dalam diri Keating ada begitu banyak hal positif yang bisa dibaginya kepada anak-anak didiknya. Meskipun kisah DPS tidak berakhir bahagia, hal mana tak lazim terjadi dalam film-film Hollywood pada umumnya, namun ia memberi pembacanya kebebasan berimajinasi untuk menerka-nerka atau pun sekadar menerima akhir tak bahagia itu. Toh dalam hidup ada begitu banyak peristiwa berharga yang bisa dijadikan cermin. Seperti kata Keating kepada anak-anak didiknya, seize the day! Raihlah Kesempatan! []


Septina Ferniati, penerjemah & penulis. Terjemahan terakhirnya ialah The Hebron Journal (Art Gish; Mizan, 2008)

Thursday, August 14, 2008


Buat Apa

--Anwar Holid

Buat apa ada negara kalau rakyatnya masih pada sengsara?
Buat apa pemerintahan kalau orang-orangnya
menolak mengakui ada sekian ribu penduduknya ternyata
kelaparan atau mati seolah-olah mereka pendatang haram,
yang tak layak dapat simpati dan perhatian?
Buat apa gonta-ganti menteri
kalau mereka ini ternyata mau enaknya sendiri

Buat apa ada polisi kalau mereka ternyata kadang-kadang
malah suka memperkosa atau menganiaya
orang-orang tak berdosa


Buat apa capek-capek bilang harus taat pada negara tapi
ternyata mereka senang menghajar orang-orang yang menuntut keadilan
seolah-olah mereka penjahat yang suka mengganggu orang-orang tanpa daya
Buat apa sekolah-sekolah tinggi didirikan
dengan harapan muluk tentang peradaban, keunggulan,
padahal sebenarnya itu bisnis sertifikasi

agar seseorang merasa yakin bahwa dia bisa bersaing
dan memperoleh kesempatan

Buat apa ada guru kalau murid-muridnya degil
atau mereka malah diperingatkan
begitu minta perhatian lebih pantas dari pemerintah

atas kerja keras dengan bayaran tak layak


Buat apa begitu banyak perguruan atau organisasi didirikan
mungkin dengan maksud baik, tapi akhirnya malah membuat penghuninya
jadi fanatik, dipenuhi esprit de corps buta untuk membela kawan
yang dalam pandangan mereka teraniaya
atau membuat pemimpinnya despotik
mereka yang berkumpul besar-besaran jadi pintar
mencari cara buat membalas
dendam

Buat apa memberitakan kemiskinan, orang-orang yang gagal beli obat murah,
mati dengan mudah karena dokter malas masuk
tempatnya terlalu miskin untuk dikunjungi
dan departemen kesehatan telah menghapus peta transportasi ke arah sana
sementara pemerintah pusat terlalu keras tawar-menawar
membagi-bagi pos kekuasaan

tapi beberapa menit kemudian kita dengan jernih mendengarkan
orang-orang yang mungkin dengan santai
bisa sedot lemak seharga lima ratus juta
demi sebuah penampilan atau kebugaran
menyatakan bahwa itu bagus buat kesehatan
agar tubuh mereka terus segar
dan mati pasti jadi cukup sulit menghampiri

Buat apa banyak-banyak baca buku
atau mungkin tahu hampir segala sesuatu

tapi sulit percaya ada anak kecil
lahir dari keluarga miskin,
setiap hari harus kerja bawa karung
telanjang kaki, menelusuri seluruh sudut kota
terutama tempat sampah di depan rumah mewah
yang anak-anak seusianya menyaksikan takjub di balik pagar besi tinggi
sedang mencari apakah dia dari barang-barang buangan keluarga?
mencari penghasilan membantu keluarga
melupakan sekolah, terbiasa capek dan berkeringat
mereka mungkin tak terhitung, tapi kerap jadi keprihatinan atau alasan
banyak lembaga untuk mencari permohonan sumbangan

namun duitnya ditelan sendirian

Buat apa bilang ingin sederhana dan lebih spiritual
tapi hidup tak bisa lepas dari banyak benda
cd player, lagu favorit, makan enak,
uang banyak, pulsa melimpah
kebebasan pribadi terjamin, bebas dari ancaman
paling takut kalau harus kehilangan sesuatu
makanya menjaminkan segala benda yang dimilikinya
untuk jaga-jaga kalau bencana melanda
jadi sebenarnya ingin sederhana dalam hal apa?
semua mau ada, tak mau kekurangan sedikit saja

Buat apa bilang ada Tuhan
kalau ada seorang anak kecil
yang amat miskin, hanya bisa main bola dari buntalan rombeng
dia berdoa minta diberi bola plastik saja
tapi bola itu tak kunjung datang dan
yang jatuh dari langit
daun kering dari atas pohon tempatnya berteduh

Buat apa menulis
kalau ternyata semua tampak begitu sulit
dicari maknanya
dan yang bisa dilakukan baru mengira-ngira.

4:36 13/12/05