Sunday, May 25, 2008

[halaman ganjil]

Kalau Kalah, Jangan Sampai Kamu Kehilangan Pelajaran
---Anwar Holid*


Pada 8 Mei 2008 ini Frank Rijkaard dipecat sebagai pelatih klub Barcelona (Barca). Pemecatan tersebut merupakan buntut dari kekalahan 4-1 dari rival besar mereka, Real Madrid, yang baru saja minggu sebelumnya jadi juara La Liga Spanyol.

Sebenarnya aku rada-rada malas mengurusi pemecatan Frank Rijkaard karena jelas itu bukan urusanku. Karena itu aku juga nggak tahu seberapa sedih dia kehilangan pekerjaan. Menurutku, menggunakan istilah Budiarto Shambazy, kalau toh dipecat, dia "tetap jatuh di kasur empuk." Dibandingkan nasibku yang hanya seorang jutawan dengan sekian utang, nasib Frank Rijkaard tentu lebih beruntung. Hanya saja pemecatan itu menyisakan pertanyaan buat aku yang kadang-kadang tegang sendirian nonton pertandingan sepak bola, termasuk ketika Barcelona kalah 0-1 di kandang Manchester United---kesebelasan favoritku.

Seberapa hebat orang harus berprestasi biar tidak dipecat, batinku sehabis baca berita itu di BBC.com

Frank Rijkaard diangkat jadi pelatih Barcelona pada 2003. Prestasi terbesarnya untuk klub itu ialah dia memenangi La Liga pada 2005 dan pada 2006 dia juara dobel: memenangi La Liga sekaligus Champions League, mengalahkan Arsenal yang waktu itu dikapteni Thierry Henry---dan kini Henry membela Barcelona. Musim lalu (2007), Barcelona adalah runner up La Liga dan di Champions League bertahan hingga perempat final. Sementara Real Madrid pada 2007 di Champions League sudah keok duluan, meski mereka juara La Liga. Menurutku, yang paling menyakitkan Barcelona---mungkin juga Frank Rijkaard---ialah kondisi pada musim 2007. Waktu itu sejak awal hingga menjelang akhir musim Barca terus memimpin klasemen, tapi di ujung-ujung musim mengalami sejumlah kekalahan, sampai akhirnya disalip Real Madrid. Jelas menyakitkan kalah di ujung pertandingan setelah kamu memperlihatkan kinerja yang hebat. Itu seperti kamu terus-terusan dapat nilai bagus saat ulangan, tapi akhirnya kamu sendirian yang nggak naik kelas.

Dengan prestasi seperti itu bersama Barca, menurutku kinerja Rijkaard masih hebat dan tak pantas dipecat. Tapi kita tahu presiden Barca Joan Laporta memecat dia dan mengumumkan Josep Guardiola sebagai pengganti. Josep Guardiola merupakan salah satu legenda klub tersebut; mitosnya barangkali seperti Robby Darwis bagi bobotoh Persib. Kata ahli sepak bola Spanyol Graham Hunter, penyebab Rijkaard dipecat ialah para direktur kehilangan kepercayaan pada dia selama beberapa bulan belakangan.

Para direktur itu menurutku mengidap sindrom "Didera Serba Kekurangan." Mereka tak puas dengan kondisi yang ada dan kehilangan kesabaran menunggu waktu agar Rijkaard bisa kembali dan berprestasi tahun depan. Graham Hunter sangat ragu bahwa Guardiola bakal bisa menyabet trofi tahun depan mengingat kurangnya pengalaman dan kemampuan manajemen yang dia miliki.

Pemecatan pelatih atau manajer klub sepakbola sungguh sangat biasa dan terjadi kapan saja. Pada musim 2007 ini di liga-liga Eropa, tercatat Jose Mourinho, Sven Goran Erikkson, Ronald Koeman, Alan Curbishley sudah dipecat. Apa ada pemecatan itu yang mengundang empati? Rasanya tidak. Pemecatan paling heboh terjadi pada Jose Mourinho, mengingat dia bisa langsung membangun Chelsea jadi juara Liga Inggris, dan gayanya juga sangat high-profile. Aku sebenarnya juga sangat suka melihat sepak terjang dan kata-kata Mourinho yang berkarakter, kecuali setiap kali dia bisa mengalahkan Man Utd. Arsene Wenger juga pelatih yang termasuk sering aku perhatikan, lepas bahwa Arsenal akhir-akhir ini sering kalah. Aku masih ingat ucapannya waktu kalah di final Liga Champions 2006 di tangan Barca: "Tapi di final, hanya klub yang menanglah yang diingat."

Memang agak sulit menghitung seberapa hebat orang harus berprestasi agar bisa terus dihormati atau sulit dijadikan kambing hitam. Ada kalanya orang harus menerima kopi pahit dan menaruh itu sebagai bagian dari drama kehidupan. Kata Arvan Pradiansyah: kalau kamu kalah, jangan sampai kamu kehilangan pelajaran. Di zaman yang haus prestasi ini, para pecundang memang kehilangan tempat. Orang butuh kemenangan, kesuksesan, kebesaran, pencapaian besar, melebihi target, rekor, dan segala yang berbau hasil. Aku cukup yakin bahwa selama dunia belum kiamat, manusia bakal terus haus oleh prestasi. Kaum beragama pun, yang suka bicara tentang kesalehan atau menenangkan hawa nafsu, juga haus oleh prestasi, misal oleh perolehan jumlah jamaah atau keberhasilan dakwah juga perolehan hasil sumbangan/amal yang lebih besar, dan hal-hal badaniyah sejenisnya.

Aku sendiri dari dulu mengakui memang didera kekurangan---lepas bahwa aku berusaha bersyukur seikhlas-ikhlasnya. Dan entah bagaimana aku memenuhi kekurangan itu. Aku pernah bilang ke seorang teman bahwa targetku tahun ini meningkatkan penghasilan dan kinerja, tapi aku kelimpungan dengan disiplin dan didera banyak kesulitan. Aku jelas khawatir bila suatu hari nanti kehilangan kepercayaan para klien. Kalau sudah begitu, aku bisa mampus.

Tapi agak aneh juga bahwa aku ternyata termasuk orang yang mudah jengkel kalau mendengar ada orang suka membangga-banggakan prestasi, meski tahu bahwa prestasi itu selalu ingin dicatat di CV---termasuk yang kecil-kecil sekalipun. Bahkan dengar orang mengulang-ulang prestasi lamanya pun aku malas. Untuk ukuran duniawi, apa ada di urutan ke-3 La Liga adalah prestasi kecil? Jelas bukan kalau dibandingkan dengan kesebelasan yang degradasi. Tapi rupanya orang malas bersabar dan memilih perubahan. Siapa tahu ada angin segar. Kadang-kadang aku merasa nelangsa dengan nasibku yang nyaris tak punya banyak harta benda ini; tapi kalau diingat-ingat aku nggak harus antre minyak tanah, nggak sampai putus asa nenggak racun karena takut miskin, baru-baru ini bisa ke Pizza Hut bareng anak-istri, dihadiahi CD mp3 Pink Floyd oleh orang yang bersimpati karena baca tulisanku, bisa dengar Explosions in the Sky sambil sedikit demi sedikit mencangkul menyelesaikan order, atau bolak-balik baca buku menarik, dan terus membuntuti berita Obama... jelaslah aku masih pantas bersyukur dan optimistik bisa meningkatkan prestasi.

Jelas prestasi dihukumi dengan pengharapan, target, juga biaya dan fasilitas. Tapi boleh jadi prestasi merupakan sebuah sukses kebetulan dengan bonus yang mustahil terulang. Mungkin kamu menulis sebuah buku dan secara mengejutkan ia best seller gila-gilaan, sampai orang-orang berharap agar buku kamu selanjutnya sesukses yang pertama. Namun sukses itu ternyata tak kunjung tiba, meski kamu menulis lima buku setelahnya. Wah, apa pun itu, tetap saja prestasi kamu patut disyukuri. Tahun lalu Rijkaard kalah secara menyakitkan, tahun ini pun kurang-lebih sama. "Lebihnya" ialah Barca berhasil mencapai semi final Liga Champions. "Kurangnya" tentu saja Barca ada di urutan ke-3 La Liga dan gagal masuk final Liga Champions. Apa itu bukan sebuah "prestasi"? Ternyata bukan. Itu hanya statistik. Jadi prestasi itu apa? Tentunya harus menang La Liga dan juara Liga Champions. Seberat itu ternyata yang namanya prestasi.

Jadi kalau presiden SBY bilang bahwa program pengentasan kemiskinannya belum memuaskan; itu artinya dia gagal. Kalau aku bilang nggak bisa nyetor tulisan sesuai janji; aku juga gagal. Bila seorang striker tak memasukkan gol maupun menyumbang umpan, jelas dia gagal. Kalau seorang tentara luput menembak musuh atau target, tentulah dia pun gagal. Sangat mudah bilang bahwa seseorang gagal, tanpa perlu cari alasan sekalipun. Mungkin ini penilaian terlalu kaku atas prestasi, sebab terlalu mengabaikan proses maupun nol toleransi terhadap apa pun yang berkonotasi kegagalan. Tapi bukankah dunia begitu? Untuk kegagalan, penghargaan yang tersedia ialah Razzie Award atau sebutan "the worst" di edisi-edisi pilihan majalah Time dan sejenisnya. Aku ingat, album musik Jenderal Wiranto pernah masuk kategori "The Worst Album" di majalah itu.

Siapa bisa memandang kegagalan dengan senyum, kecuali orang tua yang tengah menenangkan anak karena nilai ulangan turun dan rangkingnya anjlok? Orangtua itu mungkin akan bilang, "Ibu tahu kok kamu belajar keras tahun ini. Gak apa-apa nilaimu jelek. Kamu tetap anak ibu tersayang. Tahun depan kamu pasti bisa juara satu lagi, kalau berusaha." Coba itu terjadi pada Rijkaard! Tapi sayang, dunia butuh drama.[]10/5/08

---Anwar Holid, suka merayakan prestasi kecilnya di Rumah Buku sambil minum espresso. Penulis Barack Hussein Obama (Mizania, 2007).

No comments: