Sunday, May 11, 2008

PERNYATAAN:
Artikel ini saya comot dari Citizen Journalism, Kompas Cyber Media. Ejaan dan kata saya edit sedikit agar lebih pas untuk konsumsi pembaca umum. (Anwar Holid)

Kompas Cyber Media, Kolom Kita, Jumat, 15 Februari 2008

ON THE QUESTION OF ORIGINALITY AND PLAGIARISM
---Rarasiwi, Midwest

Ketika saya membaca koko tentang pertanyaan Evi (saya tidak tahu Evi Irons atau Evi Jerman, atau Evi yang lain, kalau ada) apakah tulisan Ican tentang Top Five Jadul yang dimuat KoKi edisi akhir pekan merupakan ide orang lain atau ide asli Ican, saya jadi tergelitik untuk mengomentari. Kebetulan beberapa hari sebelumnya, topik ini mengemuka di kelas saya.

Saat itu kami, para mahasiswa, berdiskusi mengenai topik disertasi kami dan salah satu teman saya mempertanyakan orisinalitas topiknya. Dia bilang "I am not sure whether my topic is original or not since I have limitations when it comes to searching for relevant literature." Maksud dia, mungkin saja ada peneliti lain yang menulis tentang topik itu tapi tidak ketemu waktu dicari di database. Sang begawan (saya bilang begitu karena professor saya ini sangat pakar dalam bidangnya dan sangat bijaksana) hanya tersenyum dan seperti biasa dia malah melemparkan pertanyaan itu kepada kami. Karena sepertinya tidak ada yang mau menjawab dulu, maka saya beranikan bertanya balik, "Is there such thing as 100 % original? In any study, isn’t it common to look at previous studies and develop our topic from there? If not, why do we need Chapter 2, The Literature Review?"

Ketika saya meneruskan komentar saya, mengangguk-angguklah sang begawan. Pertanyaan teman saya mencerminkan percakapan antara Evi dan Ican. Evi mempertanyakan orisinalitas tulisan Ican karena dia membaca artikel yang hampir sama (mungkin lho, karena saya juga tidak tahu artikel yang dimaksud.) Ican, yang tidak pernah membaca artikel itu, jelas menyanggah. (Saya pun juga akan bilang hal yang sama if I were Ican). Kalau saja Evi tidak pernah membaca artikel yang dia email ke teman-temannya, mungkin dia akan memberi komentar lain. Maksudnya?

Begini argumen saya: dalam suatu tulisan akademik atau nonakademik, ide tidak pernah terlepas dari isi (content/delivery), dan bahan mentah (materials). Ide bisa saja original tapi isi tidak, atau sebaliknya isi orisinal tapi idenya milik orang lain. Jadi, orisinalitas itu relatif, tergantung viewpoints (idenya, isinya, atau bahannya yang dimaksud?), dan prior knowledge (pernah-tidaknya ketemu artikel yang mirip-mirip.) Saya kasih contoh yang dekat-dekat saja: Saya selalu kagum dengan Fire yang tidak pernah kehabisan ide menghibur. Apakah "tulisannya" (sekali lagi tulisan = ide, isi, dan materi) original? Bisa iya dan bisa tidak. Ide dan isinya orisinal tapi bahannya tidak, wong bahannya diambil dari sumber di Koki sendiri, entah komentar, entah panggilan untuk Zeverina. Salahkah itu? Jelas tidak. Malah tulisan-tulisan Fire segar dibaca karena diambil dari bahan yang akrab dengan Kokiers semua.

Astuti juga melakukan hal ini dalam tulisannya. Mensintesis (ini higher order of thinking dibandingkan dengan sekadar meringkas, jadi saya salut sekali) tulisan dan komentar menjadi tulisan yang menarik. Apakah tulisannya orisinal? Idenya iya, isinya iya, karena hasil sintesis itu, bahan mentahnya, tidak, karena sumbernya dari tulisan dan komentar yang ada di Koki. Boleh tidak seperti ini? Boleh sekali, begitu jawab saya. Semoga Kokiers tidak bingung. (Suami saya selalu bilang saya selalu mempersulit hal-hal yang mudah, yang harusnya tidak usah dipermasalahkan. Tapi bagi saya, justru orang sering take for granted hal-hal yang remeh itu tadi.)

Saya jadi teringat komentar teman diskusi saya di rumah, suami saya tercinta, yang berkata "Tahu nggak ada pakar yang bilang bahwa ilmu filsafat modern ini hanya merupakan catatan kaki Plato." Ha! Lha kalau filsafat yang merupakan payung segala macam ilmu merupakan catatan kaki Plato, kesimpulannya apa? Mungkin saja yang bilang begitu terlalu mengagungkan Plato atau meremehkan ide filsuf lain, saya tidak tahu. (Romo Flores saya yakin bisa lebih canggih kalau menjelaskan hal seperti ini). Bagi saya, yang menarik ya keterkaitan antara schools of thought, di bidang apa pun, keterkaitan satu ide dengan ide lainnya. Satu aliran muncul sebagai reaksi, atau bahkan penyempurnaan aliran lain. Postmodernism merupakan reaksi terhadap modernism, deconstructionism merupakan reaksi terhadap structuralism, begitu seterusnya. Sama seperti ide saya yang muncul sebagai reaksi terhadap percakapan di dunia maya antara dua kokiers (dalam tataran yang berbeda lho tapi, karena saya bukan filsuf). Saya tidak tahu apakah ide saya seperti ini pernah ditulis orang lain, atau bahkan ditulis kokiers di edisi yang dulu-dulu, yang mungkin saya pas kelewatan bacanya atau pas tidak sempat membuka Koki sama sekali. Kalau ada, saya yakin cara penyampaiannya berbeda. Masa orang tidak boleh punya ide yang sama?

Pertanyaan ini menggiring pikiran saya pada topik berikutnya, plagiarisme. Untuk menjelaskan plagiarisme, saya akan bercerita tentang pengalaman saya. Dalam mata kuliah yang saya ajarkan, sosiolinguistik, saya selalu memberi tugas mahasiswa saya untuk membuat makalah akhir. Pada akhir semester, salah satu mahasiswa saya mengumpulkan makalah yang topiknya tidak pernah saya bahas di kelas (karena sosiolinguistik merupakan topik yang luas dan saya harus memilah-milah mana yang doable (mungkin bisa dikerjakan atau dicapai---peny.) dan yang penting bagi mahasiswa saya). Itu satu. Yang membuat kening saya berkerut adalah bahasa Inggrisnya yang perfect. Bukannya saya meremehkan, tapi saya tahu bagi mahasiswa semester 6, tulisan itu terlalu sulit, tidak hanya bahasanya tapi juga konsepnya. Karena saya curiga, saya google judulnya. Muncullah artikel yang sama persis, tanpa ditambahi dan dikurangi. Mahasiswa itu saya panggil dan saya minta untuk menjelaskan. Karena saya punya buktinya, dia tidak bisa menyanggah. Akhirnya keluarlah nilai E.

Saya mencoba untuk menyadarkan dia bahwa yang terpenting bagi saya adalah membuat makalah sendiri. Bahasa tidak harus perfect (wong saya saja tidak perfect), ide bisa tidak orisinal (dalam penelitian dinamakan replication study) tapi bahan mentah harus original, atau ide original tapi pakai data orang lain (misalnya data UN, NCES, PISA). Dia menangis dan minta maaf, tapi itu semua tidak mengubah keputusan saya, nilai tetap E. Tahun berikutnya dia mengambil mata kuliah saya lagi, dan kali ini dia lulus dengan baik. Makalahnya pun saya nilai baik karena datanya asli dan analisa dia juga baik. Saya bahagia karena semua berakhir dengan baik juga.

Lalu apa definisi plagiarisme?

Ini saya kutipkan dari web sites University of Indiana: "Plagiarism is defined as presenting someone else’s work, including the work of other students, as one’s own. Any ideas or materials taken from another source for either written or oral use must be fully acknowledged, unless the information is common knowledge. What is considered "common knowledge" may differ from course to course." (http://www.indiana.edu/~istd/definition.html).

Kalau kasus seperti mahasiswa saya tadi, menurut definisi ini ya jelas plagiat (dan bagi saya merupakan academic misconduct). Kalau menurut suami saya mengutip perkataan profesornya, plagiat atau tidak hanya dibedakan dengan tanda kutip. Kalau saya mengutip artikel Ican, entah beberapa kalimat atau paragraf dan kemudian saya tulis di tempat lain tapi saya tidak mencantumkan nama Ican, ya saya melakukan plagiat. Kalau saya tulis lagi yang sama, pakai tanda petik, dan saya tulis nama Ican, ya itu tidak plagiat. Kalau kalimat di paragraf yang saya ambil, saya ubah sedikit sedikit dan saya klaim sebagai tulisan saya, ya tetap saja plagiat. Tapi kalau saya terinspirasi ide Fire dan melakukan hal yang sama dengan bahan yang berbeda (misalnya saya hanya memfokuskan pada komentar dengan bahasa selain bahasa Indonesia) dan membahas dari sudut pandang yang sama sekali berbeda, ya itu bukan plagiat.

Nah sekarang kalau judul saya "On the Question of Originality" bagaimana? Plagiat tidak karena kalau digoogle akan banyak results dengan frasa sama. Words are in public domain, begitu kata sang begawan saya. Kalau tidak, maka semua orang akan melakukan plagiat. Bayangkan saja frasa ini: The purpose of this article is to provide insights on the issue of …Kalau itu dianggap plagiat, ya hampir semua peneliti junior maupun senior yang menulis frasa itu melakukan plagiat. Karena itu words are in public domain, but concepts, ideas, viewpoints are not.

Kalau pada edisi yang lalu ada artikel tentang Pak Harto yang diambil dari buku dan ditulis di Koki tanpa menyebut bukunya, plagiat tidak? Ada yang protes saat itu di koko dan kemudian judul bukunya ditambahkan oleh Zev. Saya susah menjawabnya karena di dunia persuratkabaran jiplak menjiplak ini biasa-biasa saja. Berita yang dimuat di Kompas bisa saya baca di MSNBC atau CNN (dalam versi bahasa Inggrisnya) karena sumbernya dari Associated Press. Berita yang saya baca di Yahoo News bisa saya baca di Suara Merdeka dalam versi bahasa Indonesia karena sumbernya dari Reuters. Kalau Koki dianggap dunia surat kabar, ya tidak masalah kalau ada penulis yang menulis artikel bersumber dari koran atau buku lain, tapi masih dengan catatan, harus disebutkan sumbernya. Kompas saja selalu menyebutkan sumber kok, entah itu AP, Reuters, atau Antara. Kalau artikel itu dibawa ke tataran scholarly writing, lain lagi jalan ceritanya. Artikelnya pasti sudah dikategorikan academic misconduct.

Satu pertanyaan lagi, kalau identitas saja tidak asli masa tulisan diminta asli? (Weekss, saya bisa menuai protes ini… semoga tidak ada yang membaca artikel saya, dengan demikian saya tidak diprotes…) Silakan kokiers sendiri yang menjawabnya. Saya hanya melemparkan pertanyaan (bukan batu bata lho) yang bisa menjadi pemikiran untuk semua. Apakah tulisan kita di Koki harus menepati aturan-aturan penulisan pada umumnya atau tidak (yang berarti harus menyebutkan sumber, memberi tanda kutip kalau mengutip persis dari sumber lain)? Atau karena Koki bukan diskursus akademik maka ya seenaknya sajalah, mau ngutip kek, mau nyontoh kek, mau kutip satu buku atau satu halaman persis juga gak papa? Atau barangkali semua itu tidak penting? Atau EGP lah, gitu aja kok repot, wong nulis gak ada honornya? (Bagi saya ada lho.. intangible incentives tapi.) Anda semua saya persilakan menjawab pertanyaan ini.[]
Catatan:
koko = kolom komentar
KoKi = Kolom Kita

No comments: