Friday, September 05, 2008









Cinta di Balik Jeruji
Oleh Septina Ferniati


Love Me Better
Judul asli: This is what an abusive relationship looks like
Penulis: Rosalind Penfold
Penerjemah: Dini Pandia
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2006
Halaman: 257 h.
ISBN 979-22-1933-1



Kalau kita melepaskan kekuatan pribadi atas nama cinta, kita berisiko menghancurkan diri sendiri perlahan-lahan.
---Rosalind Penfold


JIKA seseorang mengalami peristiwa traumatik dalam hidup, otaknya tak sanggup memuat trauma itu. Otak tak tahu cara menyortir atau menyimpan kenangan-kenangan buruk, dan membiarkannya tetap begitu. Sebagian besar potongan kenangan pahit itu tiada karena otak berusaha melindunginya. Itulah sebabnya seseorang selalu bisa kembali dan kembali pada tempat atau orang yang menjadi penyebab trauma itu. Sementara kenangan manis tersimpan dengan rapi seperti album foto kenangan, sebagai cerita dengan awal, tengah dan akhir cerita. Seseorang bisa mengingat kenangan manis karena otaknya menyortir kenangan manis itu dengan logis. Semuanya masuk akal.

Dalam Love Me Better, Rosalind Penfold (Roz)---nama samaran---mengisahkan pengalaman buruknya hidup bersama seorang duda empat anak yang kerap melakukan kekerasan verbal, emosional, seksual, dan fisik pada dirinya. Buku ini merupakan memoar berbentuk novel grafis (graphic novel) karyanya sendiri. Kalimat-kalimat yang menyertai gambar-gambar di dalamnya sangat menyentuh dan berpengaruh.

Diawali ajakan Rosalind untuk melihat-lihat gambar hasil karyanya selama menjalin hubungan dengan kekasihnya Brian, buku ini dibagi dalam enam bagian, yaitu Mulai (Bulan Madu), Tersesat (Jekyll and Hyde), Terluka (Bertahan), Keluar (Melepaskan), Pulang (Menemukan jati diri), dan Epilog (Lima tahun kemudian). Love Me Better merupakan buku pertama mengenai kekerasan yang ditulis oleh korban penyiksaan tanpa siratan dendam ataupun amarah, persis kata Roz di bagian pembukaan, "Aku tak mau menyakiti, aku hanya ingin membantu."

Awalnya, sebagaimana perempuan korban kekerasan lain, Rosalind selalu menyangkal dirinya disakiti atau terluka. Di bagian awal penyangkalan itu jelas tampak dengan terlontarnya kalimat seperti “Mungkin aku tidak sensitif, mungkin dia cuma stress, aku tahu dia mencintaiku, dia tidak jahat, pekerjaannya bagus, kalau saja aku lebih pengertian, bukan salahnya, aku yakin dia tidak berniat begitu,” dan masih banyak lagi. Dalam banyak kasus, malah korban justru sering merasa bersalah dan merasa layak diperlakukan begitu. Padahal pada dasarnya kekerasan adalah kekerasan, bagaimanapun wujud dan rupanya.

ROSALIND bertemu Brian di sebuah pesta. Mereka saling tertarik sejak awal. Seiring waktu mereka semakin dekat dan saling mencintai. Kehidupan lajang Roz berubah. Karena kekasihnya punya empat anak, kehidupan anak-anak itu otomatis menjadi tanggung jawabnya. Tidak ada keberatan baginya. Landasan hubungannya dengan Brian benar-benar berdasarkan cinta.

Kemudian kekerasan pertama terjadi, disusul kekerasan-kekerasan lain yang sangat mengganggu. Kekerasan tak pernah lepas dalam bab demi bab buku ini. Kekasihnya kerap marah karena hal sepele, dan bila itu terjadi, kata-kata kasar atau pukulan pun mendarat pada Roz, tak peduli tempat, atau waktu. Kekerasan itu pun menimpa anak-anak. Semakin lama semua semakin tak terkendali. Jika kekasihnya mengamuk, tak seorang pun luput dari amuknya.

Kekerasan Brian dilakukan pada semua anggota keluarga, bahkan orang lain. Tom dipaksa minum minuman keras, Lizzie dilecehkan secara seksual, Megan dicap sebagai pembunuh ibunya, Jim diintimidasi dengan kata-kata kasar. Bahkan anjing peliharaan anak-anak dipenuhi belatung hingga harus disuntik mati, karena Brian tak pernah mengizinkan anjing itu masuk rumah, meski cuaca dingin membeku. Roz mendapatkan pelecehan paling parah dan paling sering, sampai-sampai dia tak mampu lagi mengenali siapa dirinya. Dalam keadaan lelah dan sakit secara fisik dan mental, Brian malah kerap memperlakukannya seperti binatang.
Kekerasan menghadirkan ekses sangat mengerikan. Dia "membunuh" jiwa orang-orang yang ada di sekitarnya. Roz kehilangan kendali atas dirinya. Yang terjadi selama sepuluh tahun benar-benar menyiksa. Masa-masa manis hanya berlangsung sekejap. Sedangkan masa-masa suram berlangsung seolah selamanya, tak berakhir dan intens. Namun anehnya, Roz selalu bersedia kembali dan kembali, demi cinta. Semua bagian dari dirinya telah direnggut sedemikian rupa, sehingga Roz menjadi tergantung dan menganggap kekasihnya adalah sumber kehidupannya. Dalam sebuah novel karya Alexander McCall Smith, Kantor Detektif Wanita No.1, ada kalimat sangat kuat yang terlontar dari mulut seorang dokter pada pasien korban kekerasan, “Sudah pasti Anda akan kembali padanya. Selalu begitu. Sang wanita kembali untuk minta tambah lagi.”
Dari halaman 214 sampai 217 Roz menceritakan percakapannya dengan Brian melalui telepon. Brian memohon Roz mencabut tuntutan ke pengadilan dengan dalih anak-anak, padahal saat itu sangat menentukan dalam hidup Roz mencanangkan keadilan bagi dirinya. Dengan pengaduan dan bukti-bukti fisik berupa lebam di tubuhnya, Brian bisa di penjara. Namun Roz menyerah. Dengan cerdas dia menggambar simbol hati yang awalnya terpenjara dalam jeruji, lalu perlahan-lahan terbuka hingga akhirnya benar-benar terbuka dan membuat gambar hati itu terlepas bebas dari jeruji. Cinta. Benar-benar cinta yang membuatnya rela menarik pengaduannya dan melepaskan Brian dari jerat hukum.
Namun cinta saja tidak cukup. Apalagi jika cinta itu bukan cinta yang baik. Roz bahkan sempat terpikir untuk mengakhiri hidup. Ingatan pada anak-anak membuatnya rela menderita. Padahal jangankan menolong anak-anak, menolong dirinya ke luar dari siklus kekerasan saja dia tak berdaya. Tanpa sadar dia semakin membenamkan diri dalam siklus yang selalu terulang dan terulang lagi.

SETELAH sepuluh tahun berisi daftar panjang kekerasan, Roz berjuang untuk ke luar dari siklus itu. Dia mendatangi seorang terapis yang membantunya mengenali dirinya lagi. Perlahan-lahan Roz mulai berani berjarak dari kekasihnya, demi menemukan dirinya kembali. Dia dapati dirinya begitu sedih karena harus berpisah. Pengalaman membaca membuatnya mengetahui teori dua merpati---hasil percobaan psikolog B.F. Skinner---yang dikondisikan untuk merasa aman dan tidak aman. Merpati pertama mendapatkan makanan setiap kali menekan tuas; sedangkan merpati kedua dikondisikan tak pernah tahu kapan dan apakah akan mendapatkan makanan, jadi tak pernah bisa merasa aman. Ketika makanan untuk kedua merpati itu diambil, merpati pertama langsung mengerti sambil menunggu; sementara merpati kedua terus berusaha lebih keras dan semakin keras mematuk tuas sampai hampir mati kelelahan. Roz sadar, dirinya mirip merpati kedua.
Yang patut disayangkan ialah pertama Roz melepas kemungkinan Brian diadili. Padahal jika diadili, Roz dapat membantu orang lain terhindar dari kemungkinan menjadi korban Brian selanjutnya. Jika di penjara, Roz membantu Lizzie terhindar dari kemungkinan dilecehkan Brian. Kedua butuh rentang waktu sangat lama (sepuluh tahun) untuk ke luar dari siklus kekerasan. Sejak pertama kali dicekik di lantai dansa karena Brian cemburu, harusnya Roz mendengarkan kata hati. Apalagi setelah tahu ada perempuan-perempuan lain, pelecehan terhadap anak kandung, aborsi, sungguh mengejutkan dia masih mau bertahan dan berharap Brian berubah.
Ketika benar-benar ke luar dari siklus kekerasan, Roz hanya ingin dicintai orang yang mampu mencintainya dengan lebih baik. Karena baginya, cinta yang baik dapat membuat orang menjadi lebih baik. Di epilog, setelah lima tahun berpisah dari Brian yang menikah dengan perempuan lain, dengan jujur Roz merasa dirinya kurang. Dia masih merasa jangan-jangan dia bersalah sehingga hubungan mereka gagal. Padahal ketidaksetiaan, perilaku buruk dan kekerasan terus terjadi jika pelaku tidak diganjar setimpal, entah oleh hukum negara maupun masyarakat.

Jika hubungan antar dua manusia dilandasi cinta, kasih sayang, pengertian, dan saling menghormati, cinta bisa tumbuh dan berkembang dengan subur. Namun sebagian besar hubungan yang hanya dilandasi perasaan cinta semata kemungkinan kurang berhasil, apalagi jika disertai kekerasan berulang-ulang. Para pelaku kekerasan sangat ahli membuat korbannya percaya bahwa mereka melakukan kekerasan dengan dalih cinta. Padahal alih-alih mencintai, pelaku bahkan tidak tahu siapa diri mereka sebenarnya. Salah satu penderitaan terbesar manusia adalah ketika seorang individu gagal mengetahui atau mengenal siapa dirinya sebenarnya.



Kekerasan bisa terjadi pada siapa saja, tanpa pandang bulu. Laki-laki, perempuan, anak-anak, dan orang dewasa dapat menjadi korban. Pasti ada Rosalind-Rosalind lain di manapun, kapanpun. Buku ini dengan gamblang dan jujur memperlihatkan tanda-tanda kekerasan. Jika mendapati diri kita seperti Rosalind, buku ini dapat membantu kita berjuang ke luar dari lingkaran kekerasan yang hanya akan menciptakan penderitaan dan ketidakbahagiaan.

Karena sesungguhnya, kita begitu berharga.[]

Penulis adalah eksponen komunitas Textour dan instruktur Klab Nulis Tobucil Bandung.

No comments: